Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 03
PADA suatu
hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa
kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut goa
lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain
suling.
Selama berdiam
di goa itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis
itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya
masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!
Ketika dia
sedang asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang
makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan
seorang wanita berpakaian serba merah. Dia berdiri di depan goa, tidak jauh
dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh
tak bergerak.
Cin Hai juga
melihat kedatangan orang itu. Namun dia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli
sama sekali, karena yang datang adalah seorang wanita asing.
Wanita itu
adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas
tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya, dengan sepasang mata lebar
bersinar-sinar dan mulut yang sangat manis dengan sepasang bibir yang berbentuk
indah dan berwarna merah. Pakaiannya serba merah dan bersih sekali, juga
sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju
merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengar
dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak
akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dahulu, yaitu Kui-sianseng,
memang ahli menyuling dan dari mendengarkan gurunya itu bersuling, maka
dapatlah Cin Hai meniru lagunya.
Makin lama
makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa
terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam.
Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis
itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.
Dara muda
itu terlihat kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali,
mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.”
Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai
merengut ketika disebut ‘hwesio cilik’. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong
kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”
Melihat anak
itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Dia memang merasa aneh dan
ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul
berada di tengah-tengah hutan liar seorang diri, dan anak ini pandai bersuling
pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
“Saudara
kecil, kalau kau memang bukan seorang hwesio, kenapa kepalamu gundul dan pakaianmu
jubah hwesio?”
Baru kali
ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela
pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan engkau? Kau
cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”
Walau pun
kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara
Baju Merah itu tidak marah, malah memperlihatkan senyum yang agaknya akan
membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja dia sudah dewasa. Namun senyum
nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona
itu berhati sabar dan tidak mudah marah.
“Engko
cilik, apa bila aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu,
tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”
“Boleh, asal
saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”
Mendadak
gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kau tahu
bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman supaya Cin Hai
mengaku.
Cin Hai
merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya
menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai
menari.”
Maka
tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku akan
menari untukmu.”
Cin Hai
merasa girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut goa yang gelap sehingga
pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar
belakang goa hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju
Merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.
Sambil
menyuling Cin Hai memandang gadis itu dan dia bagaikan kena pesona. Bukan main
indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian
seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan
membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!
Dara Baju
Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan
gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah
menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling
yang ditiup Cin Hai dan pada saat Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang,
maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar
pedang yang berwarna putih dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai
kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya
meniup suling, barulah dia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan
tariannya yang luar biasa dan indah itu.
“Hebat
sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.
“Lebih hebat
adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan dua matanya yang
lebar.
“Kau
menyukai tarianku?” tanya gadis itu.
“Suka
sekali, dan tentu jauh lebih dari pada sukamu kepada suara sulingku,” kata Cin
Hai cepat-cepat dan sejujurnya.
Gadis itu
tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”
Cin Hai
menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih
suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”
Gadis itu
untuk beberapa lama menatap wajahnya, memandang kepalanya yang gundul dan
besar, kemudian ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang,
dia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,
“Memang kau
kelihatan tolol dan bodoh!”
Cin Hai
mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku bodoh dan
tolol, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat,
bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”
Si Nona Baju
Merah mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak
mengerti.”
“Bukankah
sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar
pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang tak akan lenyap dan berakhir
dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam yang gelap lagi
buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat
saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona
cantik jelita.”
“Stop segala
omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik
yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil tetapi bicara
seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”
Cin Hai
tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”
“Jadi kau
ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”
Cin Hai
cepat-cepat menggelengkan kepalanya, “Aku bukanlah pendeta, dan mengenai
pakaian…” dia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya
ada satu yang terpaksa kupakai.”
Dara Baju
Merah itu tertawa geli. Sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu tampak
berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai
bersuling ini.
“Engko
gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”
“Aku dibawa
oleh orang tua yang berjuluk Kanglam Sam-lojin.”
“Ahh? Jadi
mereka itu suhu-suhu-mu?”
Cin Hai
cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini
siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I
Niocu…”
Nona itu
meloncat dengan amat kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I
Niocu?”
Cin Hai
menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang
macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu
itu bercerita.”
Gadis itu
tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”
Cin Hai
mengangguk.
“Kalau
begitu, mari kita bertukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin
sekali belajar menyuling.”
Cin Hai
mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih
kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu
berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari
padanya.
“Boleh,
boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”
Sambil
tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”
Kini Cin Hai
lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu
berkata, “Mengapa? Apakah kau juga takut kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku
begitu menyeramkan?”
“Tidak,
tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”
“Dan tidak
takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.
“Dan tidak
takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.
“Kalau
begitu, lekas kau kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”
Cin Hai
memandang pada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu.
Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata, “Barang-barangku?” Ia lantas
memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya.
“Barangku hanya suling dan pakaian ini.”
Pandangan
mata Ang I Niocu mengandung perasaan iba. “Jadi kau tak berbohong ketika tadi
berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”
“Membohongi
orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai menirukan bunyi
sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu
mengosok-gosok kepalanya yang gundul.
“Kalau
begitu mari kita berangkat!”
Cin Hai
mengangguk. Namun pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan
orang. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin
Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ.
Mereka ini bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan
mereka.
Melihat
bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil
dengan suara keras. Namun Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa, lalu
melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kanglam Sam-lojin merasa
penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan
biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.
“Hai, Tolol,
kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar
dengan suara mengguntur.
“Ji-totiang,
teecu hendak pergi belajar menari!”
“Apa?
Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” Giok Keng Cu si pendek bertanya
dengan heran.
“Belajar
kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di
sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?”
Ang I Niocu
hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu
memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Mendadak ketiganya saling
berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.
“Kami
bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan
dengan Nona yang gagah itu?”
“Sam-wi
Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Aku betul Ang I
Niocu.”
Kalau
dilihat sungguh mengherankan, oleh karena begitu mendengar nama Ang I Niocu,
tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini lalu nyata sekali tampak
terkejut dan dari jauh mereka mengangkat tangan memberi hormat.
“Sungguh
pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu apakah
keperluan yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”
Ang I Niocu
tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung
pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Dia kemudian bersyair sambil
memandang ke langit.
Berkawan
sebatang pedang,
Menjelajah
ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud
tiada tujuan,
Hanya
mengandalkan kaki dan hati.
Kau masih
bertanya maksud keperluan?
Tanyalah
kepada burung di puncak pohon,
Terbang ke
sini berkehendak apa?
“Bagus,
bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar
aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”
Ang I Niocu
mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada
tiga tosu itu, “Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya
kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah
bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”
Kanglam
Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena bagaimana pun juga,
mereka sudah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh
diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat
mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka
masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan.
Akan tetapi,
Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang memiliki watak agak sombong, melihat
bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang
berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.
“Eh, Ang I
Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang
gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah
seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu peraturan kang-ouw! Ataukah
kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang
ajar?”
Sungguh pun
Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja,
akan tetapi sebetulnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun
lebih namanya sudah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya
yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang sangat berani dan
dapat menyimpan perasaannya.
Kini
mendengar betapa ada orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum
manis, karena walau pun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek
pendek itu bahwa dia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di
dunia ini yang tidak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari
usianya yang sebetulnya.
Karena
inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya, “Totiang,
bicaramu agak berlebihan. Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang
tua dan berbuat kurang ajar?”
“Anak tolol
itu adalah murid kami, mengapa tanpa minta ijin kau kini hendak menculiknya
begitu saja? Bukankah hal itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu
dengan marah.
Sebelum Ang
I Niocu menjawab, Cin Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
“Ehh, ehh,
semenjak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa
teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”
Sementara
itu, Ang I Niocu yang tadinya mengira bahwa Cin Hai yang membohonginya, kini
melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu
itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah
dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang
menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab
kata-kata Cin Hai.
Melihat
keadaan sute-nya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapa pun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja.
Biar pun dia bukan murid kami, tetapi dia sudah ikut kami dan tidak boleh
diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”
Giok Yang Cu
sengaja berkata keras karena dia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita
oleh sute-nya, apa lagi memang dia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin
Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!
“Kalian ini
orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai
merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka
rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”
Kini Giok Im
Cu yang menjawab sesudah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti
biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan. “Hm, Ang I Niocu, melihat
sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah
seorang yang tinggi hati dan sombong. Apa bila kau berkeras hendak membawa anak
ini, biarlah kami bertiga lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk darimu!” Ini
adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau hendak mengajak pibu (mengadu
kepandaian).
“Begini
lebih bagus, tak usah membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu
dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika dia mencabut pedang
dari pinggangnya.
Ketiga
pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut
sebatang ranting kayu dari bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan
Giok Keng Cu meloloskan goloknya.
Melihat
mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pibu atau
pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa
ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata, “He, Sam-wi Totiang, apa
kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti
Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu
sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka sekaligus maju
bertiga agar gembira kau menonton!”
Sebenarnya
ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut
kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya
ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar
kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi
sesudah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas
bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, sehingga
mereka kini tidak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi,
Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata, “Ang I Niocu, benar-benarkah kau
menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami
keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang,
kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku sheji-sheji (sungkan) segala?” kata
Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini
marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan
mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga
senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.
Ketiga orang
tosu itu terkejut sekali melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan
anehnya ini. Mereka kemudian memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali
sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja
mengurung nona itu dari tiga jurusan, berupa kepungan segi tiga yang
sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu
berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kanglam Sam-lojin yang dapat maju
bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi,
dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu
menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini
seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyok dirinya dari
tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap
ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali
senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan ia
masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah
hebatnya!
Cin Hai yang
melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Dia melihat
betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi
hanya merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat
sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak
dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik
itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah
itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan amat sedap
dipandang.
Ia tidak
tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia
ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan yang halus dan nampak lambat
karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan kecepatan lawan saja
hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali
ada serangan lawan yang datang, dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh
sedikit dengan ujung pedang, maka senjata lawan itu pasti lantas menyeleweng
arahnya. Sedangkan dengan pinjaman tenaga dan kecepatan senjata musuh,
pedangnya dapat ia pentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan!
Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi
sehingga setiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya
akan merasa betapa tangan mereka tergetar!
Cin Hai
menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Saking asyiknya
menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat
beterbangan menyambari mukanya. Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira
karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis
kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada
Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Hai
Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio
itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan
ular-ularnya. Akan tetapi kini, walau pun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang
I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Mendadak lalat yang
beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat kemudian salah
masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!
Anak itu
baru sadar dan dengan marah ia lalu menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta
memaki-maki lalat itu. Lalu dia teringat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya
ketika gadis itu menari di depan goa. Sayang kalau tarian seindah ini tidak
dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka dia lalu meniup sulingnya, meniup
lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja,
ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba saja
gerakan pedangnya berubah semakin hebat! Apa lagi ketika Cin Hai meniup
sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin
cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedangnya lenyap terganti gundukan
sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah
pakaiannya!
Tentu saja
perubahan ini membuat tiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang
gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam
waktu yang bersamaan sehingga ketiganya juga meloncat mundur berbarengan!
“Ang I
Niocu, kau memang lihai bukan main! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu
benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang
cukup pantas untuk menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan
suara mengandung ejekan.
“Hemm, Cin
Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kelak kau tentu akan
mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Namun Cin
Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat
betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh
lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara
itu, mendengar kata-kata ketiga pendeta itu, Ang I Niocu lalu berkata sambil
tetap tersenyum, “Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak
akan menjadi gurunya.”
Mendengar
kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata
cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai
berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan
aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa
murid?”
Ang I Niocu
tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu
yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan dan
pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah
beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka kini mengertilah Cin Hai
bahwa ketika dara baju merah itu dahulu bersyair di depan Kanglam Sam-lojin,
maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor
burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke
mana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi,
karena Cin Hai juga sebatang kara dan tak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka
perantauan ini tak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena
Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya.
Wanita muda
itu selain sangat pandai menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang
merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan,
Ang I Niocu segera meminjam suling milik Cin Hai dan mulai belajar meniupnya
dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya,
dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah
ilmu silat luar biasa yang disebut Sian-li Kun-hoat atau Ilmu Silat Bidadari.
Tetapi pada mulanya dia mengalami kesukaran karena betapa pun juga, ia adalah seorang
anak laki-laki dan tentu saja tubuhnya tak selemas tubuh perempuan, padahal
Sian-li Kun-hoat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
Akan tetapi
dengan sabar serta telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga
tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apa lagi juga memberi latihan
Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga
memainkan Sian-li Kun-hoat, biar pun masih agak kaku.
Sementara
itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang
telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu.
Melihat
bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san Kun-hoat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan
berkata, “Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biar pun kau bisa
mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini tak
kan mampu mengalahkan Sian-li Kun-hoat.”
Cin Hai juga
tersenyum. Dia maklum bahwa Ang I Niocu tidak akan melarangnya karena memang
dara itu tidak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia
tetap mempelajari Liong-san Kun-hoat sampai dia hafal semua delapan puluh jurus
yang telah dicatatnya.
Sudah lima
tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan hampir selalu bertemu dengan
orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat dia jemu. Hampir semua laki-laki
yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung
maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki.
Akan tetapi
perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur,
demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga
dia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka sungguh pun
dia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tapi dengan sungguh hati ia hendak
menurunkan Sian-li Kun-hoat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari
oleh Cin Hai itu.
Juga Ang I
Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya
mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, dia kagum akan pengertian Cin Hai tentang
sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat
indah didengar. Apa lagi nyanyian To-tik-keng sangat menarik hatinya hingga
setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat dari pada kitab
peninggalan Nabi Locu yang sangat bijaksana itu.
Sebaliknya,
Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap
gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandang matanya
yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan dia akan Loan Nio, Ie-ie-nya
(bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.
Akan tetapi
bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga dia maklum bahwa rasa
suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu
hidup sebatang kara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan
bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu
sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia
ikuti.
Pernah pada
suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh
Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah
masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala
kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.
Ia teringat
akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu
disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki!
Karena inilah, maka dia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu mengenai
kenakalan-kenakalan Kwee Tiong beserta adik-adiknya, tidak menceritakan
kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi,
pada waktu Cin Hai bertanya mengenai riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya
tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya
berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
“Ah, Niocu,
kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu
padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, engkau berlatih meniup suling,
sedangkan aku berlatih menari.”
Ang I Niocu
kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia menatap Cin Hai
dengan rasa terima kasih terkandung di dalam sinar matanya, lalu dia mengambil
suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung
lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak
menari!
Memang
berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan
dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih
mudah diingat oleh Cin Hai. Biar pun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih
dari setengah tahun, namun dia baru saja mampu memainkan beberapa belas jurus
tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan
tidak tepat! Karena itu dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sian-li
Kun-hoat itu.
Juga karena
sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari
kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga bila
orang kurang latihan tentu tidak akan sanggup menarikannya sampai lama.
Sehabis
latihan, Ang I Niocu berkata, “Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang
sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima
belas yang sudah lumayan. Akan tetapi selebihnya, mulai jurus ke enam belas,
masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu
dengan hidup, karena gerakan-gerakan jari itulah yang akan menghidupkan jurus
gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga
adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, karena itu semua gerakannya
mengandung arti dan maksud tertentu. Dalam gerakan ini jari-jari kita akan
merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan,
maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan
dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya.
Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat dipergunakan untuk
menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal
semua?”
Demikianlah
Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai
dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa
sulit dan lihainya Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat itu, karena satu jurus saja
mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!
Setelah
berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang
I Niocu menuturkan mengenai tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai.
Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil
Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai
Kong Hosiang!
“Kau sungguh
mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang.
Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, walau pun ia bukanlah
seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak
berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat
sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi, oleh karena
telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh seorang kakek yang
mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya
kakek itu? Dia adalah Su-siok-couw-ku (Kakek Paman Guru) sendiri!”
Cin Hai
sangat terkejut mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couw-mu?
Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya
menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”
Ang I Niocu
menganggukkan kepalanya. “Memang beliau adalah Susiok-couw-ku, karena mendiang
ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ahhh, sukar untuk
diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak
emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kanglam Sam-lojin, atau
oleh beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”
“Tiga
gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.
“Emas sisa
simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan
oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di
dekat kota Tiang-an, ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan yang
segera berusaha merampasnya. Tapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang
gagah yang masih setia pada Pemerintah Han sehingga mereka cepat-cepat
mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk dipergunakan
bila mana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar,
para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang
kang-ouw semacam Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun
mempunyai telinga yang tajam sehingga mendengar pula tentang harta karun itu
dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di
Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan
Kanglam Sam-lojin berjumpa di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagai
mana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang ingin merampas
emas, semua ketakutan dan lari pada saat melihat Bu Pun Su yang sengaja turun
gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Dan secara kebetutan
sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal
yang aneh sekali?”
“Dia orang
pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”
Ang I Niocu
tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai
(ganjil) dan selama hidupnya belum pernah memiliki seorang murid pun. Menurut
kata-kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali pada orang-orang yang berkepandaian
silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan mala
petaka saja! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri
adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia
ini! Dan sekarang secara tiba-tiba saja dia mengangkat engkau sebagai muridnya.
Bukankah ini aneh sekali?”
“Tetapi aku
tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.
“He,
mengapa?” Ang I Niocu bertanya.
“Entahlah,
tetapi rasa hatiku, aku lebih senang belajar darimu dari pada harus belajar
dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku
harus berpisah darimu?”
Ucapan ini
dikatakan dengan hati jujur seorang kanak-kanak, akan tetapi Ang I Niocu
mendengarkan dengan hati terharu sekali.
“Berjanjilah,
Niocu, kau tak akan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.
Ang I Niocu
mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku tidak akan pernah
meninggalkan kau.”
Sebenarnya
kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan ‘Niocu’
yang biar pun artinya ‘nona’ namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami
atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang
I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya ‘niocu’ begitu saja, karena hatinya yang
jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu
juga tidak peduli akan sebutan ini.
Ketika Cin
Hai yang pernah mendengar dari Kanglam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang
Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang
berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu.
Kemudian
Gadis Baju Merah itu menjawab, “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu
adalah cici-ku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena dia adalah murid
Ayahku.”
Tetapi Cin
Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang
I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandang matanya yang amat tajam, anak yang
berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan
seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!
Demikanlah,
Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika
mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun sudah berlalu semenjak Cin Hai
ikut Ang I Niocu merantau......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment