Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 11
Kwee An yang
tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan
terpaksa dia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya dia pernah
berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin dia akan mati di
dalam permainan arus amat kuat itu!
Dia tak
kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar.
Maka, ia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan
batu-batu karang dan membiarkan dirinya hanyut di permukaan air.
Sebentar
saja ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu
besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur sudah lenyap dari
pandangan matanya. Dia masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka
diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.
Ilmu
kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin Hai,
karena sungguh pun pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya,
namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka telah
bertempur lebih dari dua ratus jurus.
Sungguh
harus dia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah dia jumpai,
kecuali Hek Pek Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng
atau kakak seperguruan Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apa lagi
sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya
sekali.
Sebenarnya,
ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang
menjadi rajanya ilmu silat, karena ilmu ini membuat dia dapat mengetahui semua
rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh karena sebelum
mempelajari ilmu kepandaian yang hebat ini Cin Hai belum mempunyai dasar-dasar
ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat
saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang
agresip.
Memang, daya
tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat
merobohkannya. Akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena
untuk dapat menyerang dia hanya dapat memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat
Liong-san yang dulu dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin, atau Ilmu Silat Lima
Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.
Paling
banyak dia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan
tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir. Dan pula, apa artinya ilmu
silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal
serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.
Maka meski
pun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik, akan tetapi juga
amat sukar baginya untuk dapat menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya
ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali dia sudah berhasil menghantam
pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi hwesio ini
mempunyai tubuh kebal sebab dia telah mempelajari dan mempunyai ilmu kebal yang
disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga lweekang hwesio ini telah
cukup tinggi hingga sering kali bila suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia
tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk menutup jalan darahnya
itu sambil mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan itu!
Diam-diam
Cin Hai merasa kagum sekali. Dia tidak menyangka bahwa Hai Kong Hosiang juga
merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apa bila
pemuda ini sudah matang latihannya, tentu dia tidak akan sanggup menghadapinya
lebih lama dari pada seratus jurus!
Sementara
itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah
menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka
juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main!
Pada saat
itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar
sehingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang pada tangan Cin Hai
telah disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak karena
kaget, akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang sehingga papan
yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam.
Dalam
kemurkaannya, hwesio itu lalu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang
terbakar dan terdengarlah suara keras pada saat tiang yang telah terbakar itu
tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan
mengeluarkan suara hiruk pikuk, tiang yang terbakar beserta layar yang masih
menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!
Cin Hai
cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa
tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat, akan tetapi
celaka baginya. Kakinya yang tadi dipergunakan untuk menyapu tiang secara
kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali penarik
layar yang bergantungan di tiang itu.
Oleh karena
ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atasnya roboh ke arah
dirinya! Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tali itu seperti tangan yang
kuat memegangi kakinya sehingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar
serta tebal menyelimuti tubuhnya!
Dengan
kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang masih berhasil pula
menyelamatkan kakinya sehingga kaki itu tidak menjadi patah walau pun tertimpa
tiang sebesar itu, akan tetapi dia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari
selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan
termakan api!
Hai Kong
Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan
dan ia menjadi gugup serta panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan
layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang
tiba-tiba saja merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali menghadapi bahaya
maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula
ia memekik-mekik.
“Tolong...!
Tolong… tolonglah jiwaku...!”
Pada saat
itu Cin Hai sudah berdiri di kepala perahu dan telah bersiap untuk terjun ke
air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Dia memandang ke arah Hai
Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar, dan ia merasa girang
karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang.
Tadinya ia
bersiap sedia, karena jika hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan
layar, ia hendak mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh
yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu
tidak mampu melepaskan diri dari pada kurungan layar dan tiang!
Cin Hai
tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat
pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada
saat itu telinganya mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!
Cin Hai
berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, segera
lenyaplah perasaan permusuhan terhadap Hai Kong Hosiang. Pada saat itu yang
terlintas dalam pikirannya hanyalah ada orang yang sedang terancam bahaya maut
dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal
berpeluk tangan saja melihat orang dimakan api? Ahh, hatinya tak sekejam itu
dan ia menjadi tidak tega meski pun di waktu bertempur, dengan senang hati ia
akan menancapkan pedangnya di ulu hati hwesio itu!
Tanpa banyak
pikir lagi, Cin Hai segera melompat ke dekat layar dan tiang yang masih
mengurung Hai Kong Hosiang, lalu dengan menggunakan sepatunya dia
menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.
Ternyata
keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat
tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang
tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah sambil
terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang!
Melihat muka
hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, kaki Cin Hai segera
menendang pergi tiang yang menindih tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia
lantas mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Dia melompat ke
pinggir perahu dan selagi dia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba dia
merasa pundak kirinya sakit sekali dan terdengar suara Hai Kong Hosiang
tertawa!
Ternyata
bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh
Cin Hai untuk menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah soat-hong-hiat!
Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin
Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang, sedangkan Cin
Hai tadi masih sempat menutup jalan darahnya walau pun sedikit terlambat, maka
pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat sehingga ia merasa
betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh.
Cepat Cin
Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya beserta Hai Kong Hosiang
ke dalam air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh
itu terbanting di air yang mengalir cepat itu.
Hai Kong
Hosiang jatuh dengan terlentang sehingga untuk beberapa saat dia gelagapan.
Akan tetapi hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka dengan cepat
dia dapat membalikkan diri, kemudian dengan matanya yang telah menjadi pedas
dan kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya.
Akan tetapi
Cin Hai tidak nampak di situ. Selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran,
tiba-tiba dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan
kekuatan yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan
oleh Cin Hai dengan hati gemas.
Biar pun
sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun dengan mengeraskan hati dan
mengumpulkan tenaga di tangan kanannya, Cin Hai dapat melancarkan pukulan hebat
itu yang secara tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini
dilakukan oleh Cin Hai dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya
luar biasa hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja, dan biar pun
dilakukan dari dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai
terpental ke atas air. Kepala dan tubuh Cin Hai tidak kelihatan dan hanya
tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, ada pun tangan kirinya
sudah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong
Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya sudah
melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing sekali dan matanya menjadi
gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena
ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu.
Ada pun Cin
Hai yang sudah merasa lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah
melakukan serangan balasan yang hebat ini pun langsung menjadi pingsan dan
tubuhnya hanyut di belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin
Hai tak merasa bahwa dia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami.
Juga Hai
Kong Hosiang ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan
dibawa masuk ke dalam salah satu tempat kediaman pangeran itu yang memiliki
banyak sekali gedung di daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat
tubuhnya yang luar biasa kuatnya, sesudah mendapatkan perawatan dari seorang
tabib Mongol, dalam beberapa hari saja luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang
akibat pukulan Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi.
Juga Cin Hai
telah sadar dari pingsannya, akan tetapi dia merasa tubuhnya masih lemah
sekali. Ia merasa heran kenapa ia mendapat perawatan demikian baiknya dari
Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.
Ketika Hai
Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup serta berada di tempat
itu pula, dia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, tetapi Vayami mencegahnya.
Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran
Vayami yang berpengaruh, bahkan dia diberi tugas membawa surat undangan kepada
pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang
terhormat dan yang perintahnya harus ditaati karena pangeran ini merupakan
calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.
“Hai Kong
Bengyu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah berseri dan
senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia
dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan kepandaiannya.
Ketahuilah bahwa dia sudah terkena pengaruh madu merah dari tabibku dan
sebentar lagi dia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”
Hai Kong
Hosiang mengangguk-angguk dan ia membatalkan niatnya hendak membunuh pemuda
tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa sangat gembira akan
muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin.
Ternyata di
daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan
obat yang luar biasa jahatnya, dan yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh
penduduk Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli
dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung
racun luar biasa terdapat semacam obat yang disebut madu merah.
Madu merah
ini memang madu dari bangsa tawon langka yang terdapat di lain bagian di dunia,
dan hanya terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang
berbahaya bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan dapat
membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu
merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri
dan tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau
sekarang mungkin orang macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran
yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian Cin Hai, karena itu diam-diam dia
menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin Hai dan memperalatnya!
Cin Hai
mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami
sehingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis
rasanya dengan alasan bahwa obat itu berguna untuk menguatkan tubuhnya. Memang
benar tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali, malah luka akibat totokan Hai Kong
Hosiang telah sembuh.
Akan tetapi
dia juga merasa makin hari makin malas dan semua hal yang sudah terjadi
berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan ketika sudah diperbolehkan keluar
kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini!
Cin Hai
hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak
lain. Meski pikirannya telah dipengaruhi obat mujijat itu, tetapi tenaga dan
kepandaiannya masih ada padanya. Hanya kepandaiannya serta julukannya saja yang
dia masih ingat, yaitu ‘Pendekar Bodoh’!
Demikianlah,
dengan cara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang
semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan
segala perintahnya. Hal ini tak mengherankan karena pangeran itu selalu
bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat
ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain
Pangeran Vayami, tidak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini,
karena betapa pun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang
kuat!
Sesudah
tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa
rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar
yang hendak bersekutu dengannya.
Sesudah
menyeberangi sungai, rombongan ini lalu melanjutkan perjalanan dengan naik
kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang
punya tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang
sembarangan dan dinamakan ‘Pek-gin-ma’ atau Kuda Perak Putih yang dapat berlari
seribu li dalam sehari tanpa berhenti!
Pangeran
yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, sehingga
jubahnya yang berwarna merah darah itu kelihatan sangat mencolok. Di sepanjang
jalan pangeran yang tampan ini bersikap gembira sekali dan menyambut
penghormatan para rombongan orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung.
Memang
hatinya sangat gembira dan girang karena kini ia telah memiliki seorang penjaga
pribadi yang juga menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya,
yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang memang sudah nampat bodoh itu kini benar-benar
terlihat bodoh sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan orang
sedang duduk di atas kuda sambil bermimpi!
Pada suatu
hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka
lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya,
penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu,
keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya.
Pangeran ini
namanya sudah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya sebagai
seorang Buddha hidup, bahkan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat
menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang
itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh!
Oleh karena
itu, maka semua penduduk, tua muda, lelaki dan perempuan, bahkan gadis kampung
tidak ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka
menghidangkan hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan satu
rombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat.
Gadis-gadis
bergembira ria dan menari di hadapan Pangeran Vayami yang memandang semua itu
dengan wajah menyatakan bosan. Memang ia tak tertarik menonton tari-tarian itu,
oleh karena gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar
seperti laki-laki dan kulit kehitam-hitaman.
Tiba-tiba
saja, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan
tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu tampak seorang
gadis lain berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda
dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik
jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.
Gadis ini
tidak saja memiliki kulit yang begitu halus dan putih laksana sutera, akan
tetapi juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan serta gerak-geriknya
lemah gemulai menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan
saking gembiranya mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan
tetapi juga para gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum
sehingga mereka menghentikan tarian mereka dan kini hanya berdiri merupakan
sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama
lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba
saja Hai Kong Hosiang berseru di antara cahaya obor yang membuat wajahnya
nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!”
Dia segera
mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu. Akan tetapi Vayami yang duduk
di dekatnya segera mengangkat tangan dan berkata,
“Hai Kong
Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!”
Ucapan ini
merupakan perintah, oleh karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan
Hai Kong Hosiang. Karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang
berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.
Memang
benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini sudah
dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi
karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan tariannya.
Sambil
menari dia mengerling ke arah Cin Hai. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan
mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu
menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan
tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok
meloncat-loncat yang tak ada harganya untuk dipandang.
Dalam
kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya
yang halus itu dapat pula menduga adanya bahaya yang mengancam. Apa lagi ketika
ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula!
Aneh
pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika
ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju padanya penuh
kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu
sehingga berani membentak Hai Kong Hosiang, dia lalu menari lebih indah pula untuk
membuat pangeran itu benar-benar mabok!
Pangeran
Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari ia
melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang
demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apa bila ia
menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu
bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
“Bagus,
bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang
ke mari!”
Dengan
tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu kemudian
menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang
pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.
Ang I Niocu
menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain pada bibirnya yang
merah.
“Nona, kau
yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”
“Sudah
kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai
Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya sekali!”
Akan tetapi
baik Pangeran Vayami mau pun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu,
dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im
Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah
seorang perantau.”
“Ahh, kau
membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali,
aku pun suka pada orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombongan ini?”
“Pangeran
sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci
ini.”
Mendengar
ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini
pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I Niocu
mengerling ke arah Cin Hai, akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat wajah
Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu berkata
pula,
“Hamba telah
kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, malah hamba
pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua juga berada dalam
rombongan Paduka?” tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai
yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
“Ha-ha-ha!
Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan
kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke
kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha-ha, marilah kita
bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang ini.”
“Hamba hanya
menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara
lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan
kedua tangan dilambai-lambaikan, kemudian dengan berani sekali dia lalu
memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju
ke kemahnya. Pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya agar
menyediakan meja perjamuan dan dia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan
gembira.
Dengan
menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil
memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak
telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan dia pun menceritakan sambil
diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.
Bukan main
marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai kini telah berada dalam
pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang ada di
depannya dan sekali dia bergerak, dia sudah menangkap tangan Pangeran Vayami
dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat
sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.
“Ang I Niocu
penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau memiliki niat buruk!” tiba-tiba
terdengar bentakan di luar tenda.
“Mundur atau
leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” bentak Ang I Niocu.
Terpaksa
sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.
“Lekas kau
perintahkan agar kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil
memutar lengan Pangeran Vayami.
Pangeran ini
merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk
membawa kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan,
Ang I Niocu memerintah pula,
“Sekarang
kau panggil Cin Hai ke sini!”
Cin Hai tak
akan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami
memberi tahukan masalah ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan
mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak
berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil termenung.
“Cin Hai,
kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah.
Bagaikan
sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati
Ang I Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.
Sementara
itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami menatap serta
memandang mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam dia mengerahkan tenaga
sihirnya sehingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada
di bawah pengaruhnya sama sekali.
Melihat Hai
Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau
tidak aku tak akan mengampunkan Pangeranmu ini!”
Terpaksa
dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh
sambil memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak
boleh dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa
pangeran yang telah berada di bawah ancaman pedang.
Dengan
tangan kanan masih memegang pedangnya yang ditodongkan kepada Pangeran Vayami,
Ang I Niocu lalu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan
tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekali tidak
mau mempedulikannya dan tetap memandang pada Pangeran Vayami bagaikan seekor
anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah.
Tiba-tiba
Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!”
Memang ia
telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ada pun Ang I
Niocu sama sekali tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar
perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I
Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang
pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini,
maka gadis ini hanya dapat mengeluh,
“Hai-ji...
aduh, Hai-ji...”
Aneh sekali,
panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan
menembus hati Cin Hai. Pada saat itu dia merasa seperti mendengar suara dari
surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam mimpi dan
membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya.
Ini tidak
aneh, karena dulu ketika dia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar
dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut ‘Hai-ji’ atau ‘anak Hai’ inilah
yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya
sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka
kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tidak mudah
terhapus oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba
saja dia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung,
tak tahu harus berbuat apa.
“Cin Hai
tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru.
Akan tetapi
Ang I Niocu segera berkata, “Hai-ji, mari kau ikut aku!”
Ternyata
suara Ang I Niocu ini lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai sehingga sekarang
dia benar-benar berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan
kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu.
Tiba-tiba
dari belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,
“Hai-ji,
mari kita binasakan hwesio binatang ini!”
Oleh karena
tadinya pemuda ini patuh sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami
tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka, ketika kini
mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis
serbuan Hai Kong Hosiang!
Ang I Niocu
membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena
menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa jeri! Ia maklum sepenuhnya bahwa
jika dilanjutkan, ia tak akan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan
ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda
Pek-gin-ma yang masih berdiri di sana dan kendalinya dipegang oleh seorang
pelayan pangeran. Pangeran Vayami tidak berani menghalangi karena ia maklum
kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!
“Hai-ji, kau
naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu
yang lalu melompat ke atas kuda itu.
Cin Hai pun
hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya
untuk menendang roboh pelayan yang memegang kendali dan dia lalu menarik
kendali kuda Pek-gin-ma itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki
depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin!
Sambil
mengucapkan sumpah serapah Hai Kong Hosiang lalu mengayunkan tiga batang piauw
beracun ke arah mereka. Akan tetapi, dengan mengebut lengan bajunya, Cin Hai
berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.
Malam itu
terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya
mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang
mempunyai bulu bagaikan perak tulen!
Ang I Niocu
mencabut sapu tangannya yang lalu digulungnya merupakan cambuk dan ia membujuk
kuda Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari
lebih cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras
sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah!
Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan
sebuah boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
“Hai-ji...
Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh
dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot
itu!
Akan tetapi
Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tapi akhirnya
dia menjawab juga,
“Aku
Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian
ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya
bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu
dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong
Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok sebentar
pengalamannya semenjak dia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga Kwee.
***************
Semenjak Ang
I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali pada Nona
Baju Merah ini sehingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam
kamarnya, dengan terus terang dia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan
betapa dia dan Cin Hai telah saling mencinta.
Ia
menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama
sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam
dari pada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I
Niocu.
Akhirnya Lin
Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,
“Cici yang
baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk
membalaskan dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali
akan keselamatannya. Bagaimana kalau dia sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh
ikut, meski kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai terbinasa sekali pun,
aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”
Ketika Lin
Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia lalu memandang dan melihat bahwa
Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak. Lin
Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia
lalu berbalik menghibur.
“Cici, kalau
engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat
membantu mereka, bukan? Apa lagi dengan adanya kau yang lihai, aku tidak akan
takut menghadapi siapa pun juga.”
Karena
bujukan-bujukan ini akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan begitulah,
dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul
Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap
Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah
menjadi tugasnya untuk mempertemukan mereka kembali.
Bukankah ia
mencinta pada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong oleh
nafsu, akan tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping
wanita yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi
gadis pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu
yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee
An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun
langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada
bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu
tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.
Ketika
mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan
Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Shantung Ngo-hiap dan dua
orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa gembira dan
terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong
Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka
ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara juga.
Ang I Niocu
menyetujui pula dan begitulah, pada keesokan harinya mereka melakukan
pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu
hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang
dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain adalah
Nelayan Cengeng serta muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang
berpakaian seperti laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan
seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong
Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong
Hosiang beserta tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda
yang mengacau di Eng-hiong-koan telah mengejar ke utara, karena itu mereka
merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula.
Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk
seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan.
Walau pun
para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi
mereka tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki. Mereka menyangka bahwa
pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.
Melihat
sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu, Beng Kong Hosiang dapat menduga
bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, karena itu
setelah menjura dia berkata,
“He, kawan
nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, dan berapa
saja upahnya yang kau minta, tentu pinceng bayar lunas!”
Nelayan
Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka
baik-baik. Dia lalu menjawab,
“Hwesio yang
bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali.
Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju
ke manakah?”
Melihat
sikap nelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Beng Kong Hosiang yang
menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa,
maka lalu menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah bahwa pinceng adalah Beng Kong
Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana dan menjadi
penasehat dari kaisar sendiri. Maka jangan kau banyak bertanya lagi dan
seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”
Mendengar
nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka sudah mendengar
dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah
bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka segera bisa menduga bahwa
rombongan ini tentulah sedang mengejar Cin Hai dan Kwee An yang sudah
melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.
“Beng Kong
Hosiang, apa bila kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini,
terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian.”
Seorang
perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,
“He, tua
bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan para perwira
kaisar? Apakah kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak
tingkah lagi!”
Nelayan
Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,
“Perahu ini
adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau
tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian
hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!”
Melihat
sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan
orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan
melayani lagi. Akan tetapi di situ tak ada perahu lain dan perahu nelayan itu
hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,
“Sahabat,
mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tak sudi menolong. Bolehkah
pinceng mengetahui namamu yang mulia?”
Melihat
sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali sehingga kedua
matanya keluar air mata.
“Ha-ha-ha-ha!
Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu!
Ketahuilah, aku hanyalah seorang nelayan tua yang malang-melintang di sungai
ini untuk mencari ikan. Aku jauh lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari
pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tak suka melihat
hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio
yang demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”
Bukan main
marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong
Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan dia segera bertanya dengan rasa
heran, “Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?”
“Ha-ha-ha,
aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan
kau?” jawab Nelayan Cengeng itu.
Jawaban yang
tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar
bahwa Nelayan Cengeng adalah orang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah
seperti orang gila.
Sementara
itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata segera mendekat ke pinggir
perahu dan membentak, “Orang tua, kau lekas keluar dari perahu dan berikan
perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!”
Ma Hoa
semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke
darat sambil menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa
dan segera pemuda itu terkurung rapat.
Nelayan
Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi
Beng Kong Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia
segera menerjang dengan senjatanya yang aneh sekali, yaitu sebatang pacul.
Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu
sebatang dayung yang terbuat dari pada kayu hitam dan keras.
Kepandaian
Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar sekali, maka sebentar
saja Beng Kong Hosiang telah terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk
bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua
orang perwira segera membantunya dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok
Ma Hoa yang segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali.
Sebenarnya
Nelayan Cengeng sama sekali tidak terdesak. Akan tetapi ilmu pacul Beng Kong
Hosiang yang cukup hebat itu, disertai bantuan dua orang perwira yang
terpandai, membuat ia tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.
Dan pada
saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu
melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan
perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia telah bisa
memilih pihaknya.
Ia lalu
berbisik kepada Lin Lin, “Kau bantulah pemuda itu!”
Kemudian
sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah
yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi
teriakannya, “Hwesio penjilat kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!”
Pedang Ang I
Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.
Baik Beng
Kong Hosiang mau pun Nelayan Cengeng telah pernah mendengar nama Ang I Niocu,
maka kini melihat ada seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah datang
menyerbu dengan kepandaian yang demikian tinggi dan gerakannya begitu indah,
segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak
gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa dia menghadapi bantuan
seorang yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak.
“Ha-ha-ha-ha,
Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau
belum mencuci tubuh sehingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!”
Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!
Ilmu pedang
Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apa lagi kalau yang menghadapi dia belum
pernah melihat dan mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan jadi
semakin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja ia telah dapat mendesak dua
orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng, dan akhirnya dengan sebuah
gerakan tipu Bidadari Menyebar Bunga ia pun berhasil melukai tangan mereka
hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini
berteriak kesakitan dan cepat meloncat mundur.
Dan pada
saat itu pula Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang
tepat mengenai paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan sambil
tertawa-tawa Nelayan Cengeng mendupak pantatnya sehingga hwesio itu
menggelinding dan masuk ke dalam sungai!
“Ha-ha-ha-ha,
mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!
Lin Lin juga
tidak mau tinggal diam. Pada saat melihat betapa pemuda yang tampan dan
mempunyai ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira
yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, dara
muda ini lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai berputar-putar di
tangannya!
Tadinya
memang Lin Lin sudah memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan
petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan kepadanya, sekarang kepandaiannya
telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya semakin lihai dan dahsyat.
Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.
Sebaliknya,
ketika melihat seorang gadis manis menyerbu untuk membantunya, Ma Hoa menjadi
girang sekali dan sekarang timbul semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai
laki-laki ini lalu membentak nyaring sedangkan pedangnya membuat gerakan kilat
hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!
“Adikku yang
manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dan mengerling ke arah Lin
Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus.
Mendengar
ini, Lin Lin merasa kaget dan marah karena ia menganggap bahwa ‘pemuda’ ini
sungguh kurang ajar sehingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.
Sementara
itu, ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng
Kong Hosiang telah dikalahkan bahkan dilemparkan ke dalam sungai, para perwira
menjadi takut dan jeri. Mereka lantas membalikkan tubuh dan melarikan diri
secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!
Nelayan
Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, malah
yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.
“Ha-ha-ha,
Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan
Cengeng!” nelayan tua itu berseru keras dengan tertawa geli sampai sepasang
matanya mengeluarkan air mata.
Mendengar
nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah,
tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah
hormat dari aku yang muda!”
Kembali
Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong
belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”
Sementara
itu, melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam serta mulut
cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu
pun hebat sekali! Siapakah namamu?”
Kini Lin Lin
tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang
ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa
menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah
hidung Ma Hoa, ia berkata,
“Kau
janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini
siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?”
Lin Lin
menjadi semakin terheran dan marah pada saat melihat ‘pemuda’ itu tidak marah,
bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa ‘pemuda’
ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan
suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita!
Selagi ia
berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba saja Nelayan
Cengeng juga tertawa dan berkata,
“Nona, dia
ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak
dipukul! Ha-ha-ha!”
“Suhu,
jangan membikin Nona ini menjadi semakin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi
merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa.
Lin Lin
menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak
menampar mulut ‘pemuda’ itu, sambil tersenyum mendadak Ang I Niocu yang bermata
tajam berkata kepadanya,
“Adik Lin
Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak
dapat menduganya?”
Lin Lin
terkejut dan memandang dengan tajam. sedangkan Ma Hoa segera melepaskan
kopiahnya sehingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah
menutupi pundaknya. Kini ‘pemuda’ itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik
jelita dan yang sedang tertawa manis padanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya
menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri
dan memeluk pundak Lin Lin.
“Adikku yang
manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini,
aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.
“Enci, kau
benar-benar nakal sekali! Siapa yang mengira engkau bukan seorang pemuda asli?
Namaku adalah Kwee Lin.”
Sepasang
mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Ehh,
Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda yang bernama... Kwee An?”
Lin Lin
menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apa
engkau telah bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari
dia!”
“Ha-ha-ha!”
Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee
Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang kau bantu itu merupakan
calon Soso-mu (Kakak iparmu) sendiri!”
Lin Lin
tercengang dan cepat-cepat memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk
kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”
Ma Hoa tidak
dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang tergantung
di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan dia segera
memeluk Ma Hoa dengan girang sekali.
“Ahh, benar
engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Ehh, calon
enso-ku yang baik, sekarang beri tahukanlah kepadaku, di mana adanya calon
suamimu itu?”
Ma Hoa
mengerling sambil cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau
berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!”
Sementara
itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai
dan Kwee An pernah berada di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan
dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.
Nelayan
Cengeng segera menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka
dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu.
Mereka memberitahukan bahwa dua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan
mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.
Dalam
kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, mau
pun Ang I Niocu dan Lin Lin sudah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa
di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke dalam
sungai dan kini sedang bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari
permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini
mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika
mendapat kenyataan bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma
Keng In yang ia kenal baik!
Ang I Niocu
dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk
melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam
hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi dia malu untuk menyatakan hal ini dan
pula dia khawatir kalau-kalau dia dikenali oleh para perwira sehingga kedudukan
ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan
kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.
Setelah
semua orang pergi dari situ, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar
dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong
Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu
mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!
Pertemuan
dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa
girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An
telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini
telah dapat mengikuti jejak dua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut
membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!
Dua hari
kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang
sunyi, dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan
kedua orang dari depan itu demikian cepatnya sehingga Ang I Niocu dan Lin Lin
maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan sesudah
dekat ternyata bahwa kedua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar
keluarga Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dengan
sepasang matanya mengeluarkan sinar kejam.
Ternyata
bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang di samping cerdik, juga berwatak
pengecut sekali. Saat ia mendengar bahwa semua teman-temannya telah tewas di
dalam tangan anak-anak muda yang membalaskan dendam keluarga Kwee, dia lalu
cepat-cepat pergi mengunjungi suhu-nya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan amat
pandai Boan Sip dapat membujuk suhu-nya untuk membela dirinya dari ancaman
musuh-musuhnya.
Dan kebetulan
sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan
mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Ketika melihat Lin Lin, tentu
saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh
karena tidak disangka-sangkanya dia dapat bertemu dengan musuh besarnya di
tempat itu.
“Bangsat
rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil
mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan
sengitnya.
Boan Sip
tertawa besar, lantas menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja
mereka sudah bertempur dengan seru dan hebat.
Sementara
itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang
I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi,
Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis
oleh ujung lengan baju hwesio itu! Dia berlaku hati-hati sekali oleh karena
maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi.
Sebaliknya,
melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain dari pada pedang biasa, Bo Lang
Hwesio juga merasa kagum dan membentak,
“Nona yang
gagah, siapakah namamu?”
Akan tetapi,
Ang I Niocu mana sudi memberi tahukan namanya? Dan sambil menyerang terus dia
pun berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan
menyambar lehermu!”
Boan Sip
yang mendengar ini lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, Nona Baju Merah itu
adalah Ang I Niocu yang sombong!”
Bo Lang
Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa dia
berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama
mendengar nama besarmu. Nah, kau perlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat
sampai di mana tingginya!”
Sehabis
berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan
kosong.
Akan tetapi
setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan
mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan
setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu menggigit bibir,
kemudian memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh
ini.
Sebaliknya,
biar pun telah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah
banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang
kosen. Makin lama, pedang Boan Sip semakin rapat mengurung dirinya sehingga Lin
Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya!
Ketika ia
mengerling Ang I Niocu, ia menjadi semakin gugup oleh karena melihat betapa Ang
I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan gugup,
gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip mengenai
pergelangan tangan kanannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan
disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak.
Perwira muda
itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa
harus mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari
tusukan pedang lawan! Dia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas
lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya
oleh Boan Sip sehingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!
Boan Sip
tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku
untuk membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!”
Dia
mengangkat pedangnya ke atas. Akan tetapi ketika dia memandang wajah Lin Lin,
perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Dia lalu
membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!
“Bangsat
hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar.
Akan tetapi
Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya sehingga Ang I Niocu
terpaksa melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan
rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut.
Setelah
mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang
Gadis Baju Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga dia
dapat merobohkan gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil
berkata,
“Cukup, Ang
I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu lagi!”
Ang I Niocu
hendak mengejar. Akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena
merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, membuat Ang I Niocu mengurungkan
maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkan hwesio
ini dan juga tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin? Yang
perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia segera mengendurkan larinya dan
bermaksud untuk mengikuti hwesio itu secara diam-diam agar mengetahui ke mana
mereka membawa Lin Lin.
Akan tetapi
ternyata bahwa waktu yang lama tadi sudah memberi kesempatan kepada Boan Sip
lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya
sehingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment