Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 10
KETIKA
melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan
hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya
kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang yang ia
latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya gempur luar biasa sekali
karena seluruh tenaga lweekang, gwakang mau pun ginkang dipersatukan merupakan
pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar.
Khikang
semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan
pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh. Ia sendiri akan mendapat
celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka kepandaian ini
jarang sekali dia keluarkan. Untuk mempergunakan tenaga khikang ini, paling
lama dia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.
Akan tetapi,
akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya
berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding
ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.
Melihat
kehebatan ini, para perwira menjadi kaget sekali. Permainan Shantung Ngo-hiap
menjadi kacau balau sehingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek
dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata
hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung
itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri.
Cin Hai dan
Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam, kemudian sengaja
menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggota Shantung Ngo-hiap dan
kedua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu musuh-musuh
besar muridnya hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua pemuda itu.
Pedang Kwee
An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu, dan serangan pemuda ini disertai
oleh kegemasan yang meluap sehingga dua saudara Tan itu roboh tewas mandi
darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan
diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In.
Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke
rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni jiwa orang tua ini dan hanya
menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang
Liong-koan-kiam!
Melihat
bahwa ketujuh musuh besar itu semua telah dapat dirobohkan, tiba-tiba saja Cin
Hai melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.
“Cuwi
sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa.
Orang-orang yang sudah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanya enam orang
yang sudah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya
diberi hajaran saja, demikian pula Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi
hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi
beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang
jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!”
Akan tetapi,
di antara semua perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia
kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di
tangan, walau pun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang
itu!
Karena tidak
ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya
pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa
ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung
lagi.
Mereka lalu
menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan
ke istana. Keadaan menjadi kalut bukan main, karena sejak Kanglam Chit-koai
mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak
pernah ada orang yang berani mengganggu mereka.
Tak dinyana
bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua sudah
membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih
hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini juga
roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.
Juga Kaisar
menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia segera memerintahkan barisan
pengawal untuk mengejar dan mengepung, tapi ketika itu, Cin Hai dan
kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti
di dalam sebuah hutan.
Kwee An lalu
memperkenalkan Cin Hai kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum
kepada Cin Hai.
“Sie-taihiap,
kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu betul-betul membuat aku menjadi
kagum sekali. Siapakah Suhu-mu yang mulia?”
Sebagaimana
biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhu-nya oleh karena
maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tak suka bahkan membenci segala nama besar
yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu
mewakilinya menjawab,
“Guru
Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”
“Ah!” Eng
Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apa bila kepandaiannya lihai
sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhu-mu biar pun mataku belum
mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu. Akan
tetapi, sesudah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”
Eng Yang Cu
lalu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia
mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang
sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia
berangkat ke kota raja hendak mencari Shantung Ngo-hiap yang sudah membunuh
keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga
dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.
“Baiknya
Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tidak berdaya menolong Saudara
Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai sehingga aku tidak mempunyai
kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.
“Kwee An,
musuh-musuhmu sudah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka
jangan kau melupakan budi yang besar itu.”
“Musuh belum
terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. “Masih ada dua orang musuh besar yang
memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang
yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi
isterinya.”
Eng Yang Cu
terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji ini? Ah, memang
benar kata-kata orang kang-ouw bahwa dalam setiap perbuatan jahat yang sangat
keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Meski ilmu kepandaian Hai Kong
Hosiang mungkin tak lebih hebat dari pada suheng-nya, akan tetapi hwesio itu
terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya
bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan
terbalas!”
Kemudian,
setelah memberi nasehat dan pesanan kepada muridnya agar supaya berlaku
hati-hati dan supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara
ini lalu melanjutkan perjalanannya.
“Kalau pinto
kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto tidak akan tinggal
diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya.
Kwee An
merasa terharu atas pembelaan suhu-nya itu dan menghaturkan terima kasih serta
selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An
itu.
“Suhu-mu itu
berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhu-nya
sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhu-nya itu masih
berada di Goa Tengkorak?
“Saudara Cin
Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan
Sip, ternyata dia sudah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi
ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan
ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”
Setelah
berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan
Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak
mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja
Kaisar tak akan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira.”
Mereka lalu
menunggu sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja pada waktu
malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu
berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.
“Saudara
Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai
Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga
dari Shantung Ngo-hiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, dia agaknya
paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita mengenai tempat
tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan
tidak membunuhnya.”
Dengan
menggunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan
mudah bisa melompati tembok kota di bagian yang tak terjaga dan karena malam
itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan.
Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka
dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yakni di dalam
sebuah gedung besar yang kuno.
Segera
mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja
mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh
seorang pemuda berpakaian biru yang sudah berdiri di sana dengan tangan
memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!
“Hmm, kalian
masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil
menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti
kedatangan kalian berdua!”
Pemuda baju
biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya, namun Kwee An cepat menangkis.
Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik
keluar tanda bahwa tenaga kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut
karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.
“Sobat,
tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”
“Kalian
diam-diam memasuki kota raja dan mencari rumah kediaman Ma-ciangkun. Masih
hendak bertanya mengapa aku di sini menanti dengan pedang di tanganku? Aku
adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas
di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau hadapi dulu
anaknya!”
Sebelum Cin
Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya sudah kembali menyerang
kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut
serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka
dia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian.
Yang
mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan
ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah dari pada kepandaian
Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang
sambil membalikkan tubuh sehingga gerakannya bagaikan seekor naga yang menyabet
dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda
yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!
Juga Kwee An
tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan
seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu
tapi tak dapat mendesak!
“Sahabat,
kita datang bukan dengan maksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan serangan
orang. Akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan
ganasnya.
Pada saat
itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, “Hoa-ji, jangan
berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara
dengan aku!”
Pemuda yang
disebut Hoa-ji oleh ayahnya itu mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu
melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In
telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah kereng.
“Jiwi yang
muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku, ada keperluan apakah?”
Kwee An
membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami.
Sebetulnya kami berdua tak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena
kau tak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon
pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan
Sip, dua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”
Wajah Ma
Keng In memerah. “Hm, kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak
memandang sebelah mata padaku! Kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi
mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Meski kalian akan membunuh dan
memotong lidahku, aku orang she Ma tak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan
sendiri.”
Kwee An
tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In
memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak
muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara
tertawa anak muda itu ia berkata,
“Apakah kau
demikian memandang rendah kepadaku sehingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”
“Ah, tidak,
tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum
melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini
gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi kenapa kau sudi menjadi anggota
Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan
kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi
keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan
kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong
Hosiang dan Boan Sip merupakan orang-orang yang telah melakukan keganasan dan
kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka
kepada kami, itu berarti bahwa kau sudah melakukan perbuatan yang adil.
Ingatlah bahwa permusuhan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau
kedudukan mereka sebagai anggota Sayap Garuda, akan tetapi ini adalah urusan
pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa
perlunya mereka bersembunyi dari pada kami? Kalau kau tetap menolak untuk
memberi tahukan tempat tinggal mereka, hal itu berarti bahwa kau bahkan
merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan
terbunuh oleh kami!”
Ma Keng In
mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak. Dia makin heran
melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga
memiliki pandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan
berkata,
“Alasan-alasanmu
dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati
dan bila ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan padamu tentang
kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku sudah
merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi apa bila
kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran
kepadaku. Hai Kong Suhu bersama Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang
diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di
perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain
telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”
Cin Hai
segera menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang
benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan kita bertemu
kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”
Kwee An juga
menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk
meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.
Akan tetapi,
belum jauh mereka pergi, tiba-tiba saja terdengar suara orang menegur dari
belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur
mereka tadi, telah mengejar mereka!
“Eh, ehh,
kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee
An menegur tidak senang.
“Kalau
hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu
ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di
dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”
Kwee An
merasa mendongkol dan penasaran. “Kenapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami
menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur
sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”
Pemuda itu
membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!”
Kemudian ia
lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.
“Ah, Saudara
An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu
kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan ayahnya,” Cin Hai menegur
dengan suara menyesal.
“Siapa takut
dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali sebab tadi ia
benar-benar tak bisa mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menantangnya
apakah ia harus mundur? “Lagi pula kita pun hendak melewati Pai-san. Apa bila
kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan ditertawakan oleh seorang
kanak-kanak?”
Cin Hai
tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat
mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!
Sesudah
melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun
mengenai rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An
tiba di lereng bukit Pai-san.
Pemandangan
di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di sana subur. Hal ini adalah
karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air
Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huangho,
karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang
besar itu.
Ketika Cin
Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air
sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan
telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju
melawan arus air.
Sesudah
dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera
Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus laksana
tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biar pun melawan arus air, akan tetapi
dengan dayungnya pemuda itu mampu menggerakkan perahu dengan lajunya, sehingga
dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.
Mendadak
terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi suara
riak air.
Di belakang
pintu gerbang merah indah cemerlang
anggur dan daging
berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar
pintu gerbang kotor sunyi melengang
berserakan
tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!
Cin Hai
terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair
yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dahulu keadaan rakyat di bawah
pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat
di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung
bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut
istana Hua Cin.
Oleh karena
merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang
tahunya hanya bersenang-senang belaka tanpa mau mempedulikan keadaan rakyat
yang sangat sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa
patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk
membuat syair itu.
Semenjak
dahulu syair ini dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap
sangat menghina kaisar dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang
mengenalnya lagi, apa lagi menyanyikannya, karena apa bila terdengar oleh kaki
tangan kaisar, tanpa ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak
dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu
itu bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali.
Orang yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tentulah seorang
yang luar biasa dan berilmu tinggi.
“Bagus
sekali syair itu, seolah-olah kulihat Tu Fu menjelma kembali,” dengan suara
keras Cin Hai memuji.
Ketika itu
perahu kecil tadi telah sampai di depan mereka, nelayan itu lalu memandang ke
arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti
tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.
“Hi-hi-hi,
anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.
“Kenal? Ia
adalah sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan
sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.
Mungkinkah
membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar
Untuk
memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia
Yang akan
merasa bahagia biar pun dalam hujan
Karena
gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?
Kalau saja
aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku, biarlah gubukku ini
hancur lebur, biarlah aku mati kedinginan, aku akan mati dengan mata meram dan
jiwa tenteram!
Nelayan itu
melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah girang sekali.
Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu
memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya
pada pundak pemuda itu.
Kepala
nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan. Ketika dia memeluk Cin
Hai dan kedua tangannya merangkul, Cin Hai merasa seolah-olah ia ditindih oleh
sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Dia merasa terkejut sekali dan
tahu bahwa secara diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.
Karena itu
ia segera menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan
yang hebat ini. Ia hampir saja tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan
hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.
Akhirnya
kakek nelayan itu melepaskan pelukannya sehingga Cin Hai merasa lega sekali.
Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya, maka ia lalu menggunakan ujung
lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.
Setelah
memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri-seri dan
wajah gembira, kakek nelayan itu lalu berpaling pada pemuda baju biru yang
sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka.
“Ehh, anak
nakal, pemuda inikah yang kau maksudkan? Ahh, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu
kalah!”
Pemuda yang
bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan
dia, Suhu, yang inilah!”
Kwee An dan
Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka pun tercengang, karena sesudah
melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa wajah pemuda ini benar-benar
tampan sekali serta sikapnya pendiam dan agung!
Ma Hoa lalu
melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,
“Hemm,
ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan
coba kau perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma Hoa segera
melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia.
Kwee An
berdiri bingung karena ia merasa jeri juga menghadapi pemuda yang bersikap
agung dan tenang ini. Dia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang
saling pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek
nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah
sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,
“Mari, mari,
sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!”
Cin Hai
maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka dia tidak
menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.
Pada saat
melihat Kwee An berdiri bengong, Ma Hoa lalu membentak, “Tidak lekas-lekas
mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?”
Marahlah
Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia lantas
mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada
engkau?”
Ma Hoa lalu
menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat
menangkis dan balas menyerang. Sebentar saja keduanya sudah bertempur seru
sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat
gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.
Cin Hai
duduk dengan bengong karena kagum. Dia tidak hanya mengagumi kepandaian kedua anak
muda ini, akan tetapi dia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu
boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya
lagi, walau pun sikapnya congkak sekali, akan tetapi di dalam pertempuran itu
agaknya Ma Hoa tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Hal ini bisa
dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada
seharusnya dalam mengirim serangan maut!
Kwee An tak
pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau dia tidak mengetahui hal ini.
Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum
matang betul kepandaiannya, tetapi karena berkali-kali Ma Hoa sengaja
memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata
pemuda ini mencoba kepandaiannya saja.
Oleh karena
itu, ia segera mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar
pedangnya sedemikian rupa sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, akan
tetapi dia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda lawannya itu. Suatu pertempuran
yang sungguh hebat dan indah dipandang.
Bukan main
girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya
sama-sama tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya dia sudah
merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini,
karena kalau dia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, hal itu berarti
bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya.
Laginya, ia
merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan
hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di sana telah membuat hatinya
bahagia sekali dan tak terasa pula dia kemudian mengeluarkan suling bambunya.
Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali sehingga Cin Hai lalu mulai
menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain
pedang.
Cin Hai
memang pintar sekali menyuling. Pada saat suara lengking sulingnya melagukan
sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak
terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat
dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang
membuat tarian mereka lebih indah.
Kakek
nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya
yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa
sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah
menangis. Oleh karena inilah, maka dia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!
Cin Hai juga
dapat melihat bahwa kedua anak muda itu sudah terpengaruh oleh suara sulingnya.
Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah
berjalan dua ratus jurus lebih! Dia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia
menghentikan tiupan sulingnya.
Keadaan
menjadi sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini
hanyalah riak air. Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua
anak muda itu sehingga dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur.
Wajah kedua
pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi sungguh aneh. Kini Kwee An
tidak mempunyai perasaan penasaran akibat tidak dapat mengalahkan pemuda itu,
bahkan dia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan
ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.
“Bagus,
bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak
seperti anak kecil yang baru diberi kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai
sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil
tersenyum.
“Cocok, sama
tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He,
anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tidak ada pemuda lain yang
lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, ha-ha-ha!” Kakek nelayan yang
luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.
Kwee An merasa
bingung dan tak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai
berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak
mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri
dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang kala sudut matanya
mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia
menjadi mengerti!
Hampir saja
ia menempeleng kepalanya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang
pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian
tinggi pula! Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah
bagai kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani
berkata-kata lagi.
“Bukankah
mereka cocok sekali?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku
yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun tak akan mampu
menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa
kau diam saja?”
Cin Hai
mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku
ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan mengenai perjodohan ini
tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhu-nya karena kedua orang tuanya
telah tidak ada lagi.”
“Ahh, jangan
banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga
suka kepada Hoa-ji seperti dia suka kepadamu?”
Kwee An
memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tak berani bertanya, akan
tetapi sinar matanya mengandung banyak pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini
dapat menduga demikian?
Agaknya
kakek nelayan ini memang dapat membaca pikiran orang sebab setelah tertawa
terkekeh-kekeh ia lalu berkata,
“Dalam
pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari
kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji
bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”
Ma Hoa
memang telah kenal betul akan sifat suhu-nya yang selalu bersikap terus terang
dan jujur. Akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu
saja ia merasa amat malu mendengar orang berbicara tentang perjodohan dan
tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka
ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu
itu meninggalkan mereka!
“Ha-ha-ha...
hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia
tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Jika ia pergi dan berlari, itu
tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan
Cengeng!”
Cin Hai
terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di
antara tokoh-tokoh yang luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut
Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat mau pun di dalam air. Juga
Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhu-nya, maka mereka berdua kemudian
menunjukkan sikap menghormat sekali.
“Locianpwe,
harap kau orang tua sudi memaafkan teecu yang bodoh ini. Sebagaimana dikatakan
oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam urusan perjodohan, bukan teecu menampik, akan
tetapi teecu harus minta nasehat Suhu terlebih dahulu.”
“Ehh, siapa
Suhu-mu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.
“Suhu adalah
Eng Yang Cu.”
“Oh, tosu
dari Kim-san itu? Ha-ha, aku sudah menduga bahwa engkau tentu anak murid
Kim-san-pai, akan tetapi tidak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan
diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena
kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh
bagian!”
“Teecu
menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe, akan tetapi
sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”
Si Nelayan
Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan
yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia
lalu membanting-banting kakinya hingga tanah di mana kakinya terbanting menjadi
berlubang setengah kaki lebih!
“Apa
katamu?! Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat
dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat
ini!”
Kini Cin Hai
yang buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena dia cukup mengenal
adat Kwee An yang walau pun pendiam akan tetapi keras hati dan tidak kenal
takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah
orang tua itu.
“Locianpwe,
sebetulnya Saudara Kwee An sama sekali tak menolak dan bahkan merasa bahagia
sekali karena mendapat kehormatan besar sudah dipilih sebagai jodoh muridmu
yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan
berkabung dan kini sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh
besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh
oleh musuh besar itu.”
Cin Hai
kemudian secara singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga
pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang
sangat menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu
hingga Kwee An merasa amat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air
mata yang membasahi pipinya.
“Jadi dua
musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ahh,
Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku,
tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya
dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,
“Kepandaian
Hai Kong Hosiang kabarnya sudah maju pesat karena dia selalu melatih diri
dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tidak dapat melawannya.
Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio
itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau
mengerti ilmu dalam air?”
Cin Hai
menggelengkan kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa dia hanya dapat berenang
sedikit saja.
“Ah, kalau
begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu,
baik di darat mau pun di air!”
Cin Hai
serta Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu
mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat
latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong Kiam-hoat atau Ilmu Pedang Naga Laut
dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan
renang.
Ada pun
untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran
ilmu pukulan sebab kepandaian pemuda itu katanya malah telah melebihi
kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air.
Oleh karena Cin Hai memang telah mempunyai lweekang yang tinggi dan dapat
menahan napas sampai lama, maka sebentar saja dia pun dapat menguasai ilmu itu
dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.
Tentu saja
kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak
muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak pergi meninggalkan
Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang,
tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu
menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An
tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!
Ketika gadis
itu melompat keluar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka
memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya
lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita
dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya.
Bajunya
berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggang serta pengikat
rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang
pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya.
Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali
menjadi jodoh Kwee An.
Nelayan
Cengeng melebarkan sepasang matanya pada waktu melihat pakaian muridnya itu.
“Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti
ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu ini
hendak pergi melanjutkan perjalanan.”
Memang orang
tua ini terlalu sekali. Kejujurannya yang luar biasa sehingga dia menyebut Kwee
An sebagai tunangan muridnya itu sudah membuat kedua anak muda itu menjadi
jengah dan malu sekali.
“Ma Hoa,
kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya
segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!”
Biar pun
sangat keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhu-nya yang
menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala dia
bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan
perlahan dan tangan gemetar dia lalu melolos pedangnya dan diberikan kepada
suhu-nya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia
mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil.
Nelayan
Cengeng gembira, lalu dia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah, “Kwee
An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu
kepada tunanganmu!”
Dengah sikap
menghormat Kwee An menerima pedang itu, lalu dia mencabut pedangnya sendiri dan
hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang
bergirang hati, berkata,
“Saudaraku,
kau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kau berikan sendiri kepada
tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”
Nelayan
Cengeng itu memandang dengan hati heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya
sebentar saja karena dia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin Hai
berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar
kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”
Dapat
dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan dua orang ini.
Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang
itu.
Akan tetapi,
karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka
sehingga tidak melihat dia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima
pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah,
terpaksa dia menggerakkan bibirnya memanggil,
“Moi… ehh…
Siocia, kau terimalah pedang ini!”
Barulah Ma
Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali
Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan dia lalu
tertunduk kembali!
“Ahhh,
salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, engkau harus memanggil
moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”
Bukan main
girangnya Nelayan Cengeng itu. Dia lalu bersorak-sorak dan meloncat-loncat
sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar, benar...! Bagus...!”
Ma Hoa tidak
dapat lagi menahan jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah
Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu berlari ke
perahunya, segera mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng
tertawa terbahak-bahak.
“Nah, kalian
pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekaslah kembali!” kata Kong Hwat Lojin
sambil bertindak pergi.
Kwee An
dengan mulut cemberut lantas berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh
terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak
bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”
Mendengar
nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya
itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat dia mampu menekan perasaannya
dan berkata, “Ahhh, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau
berbahagia sekali?”
Kwee An
tidak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya
kemudian melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari
hati dan perasaan Kwee An sudah tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di
tepi Sungai Liong-kiang itu!
Beberapa
pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di
mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok.
Pada suatu hari mereka sampai di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat
sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.
Orang-orang
Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu dan mengangkut
kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang
sering merantau ke pedalaman Tiongkok sehingga mereka dapat berbicara dalam
bahasa Han, yang biar pun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan
Kwee An.
Dari mereka
inilah kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang
Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini sudah bertukar nama karena dia
telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama
Sakya Buddha ini. Barang-barang yang lagi diangkut ke dalam perahu itu adalah
sumbangan-sumbangan dari para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada
Pangeran Vayami.
Ketika Cin
Hai serta Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat
Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenali dengan mudah
karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul
licin.
Pada saat
itu perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, ada pun
para pemeluk agama yang berdiri di pinggir sungai sedang berlutut memberi
hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.
Cin Hai dan
Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka
yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang
dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu
dengan bentakan,
“Dua ekor
anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurang ajaran di sini?”
“Hai Kong
Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata dan kau masih
banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.
Hai Kong
Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat serta mengenal wajah Kwee
An, “Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya
mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu
biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar
kau tidak menjadi penasaran!”
Sambil
berkata demikian ia maju ke arah Kwee An. Akan tetapi pada saat itu pintu kamar
yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah
tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan
suaranya yang halus,
“Hai Kong
bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan
anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul
ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang
pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.
Vayami
memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan
berkata dalam bahasa Han yang fasih,
“Jiwi-enghiong
(Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan
mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”
Kwee An dan
Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang
halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa pemimpin agama
ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya!
Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh
Kwee An.
“Maafkan
kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada
di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas
perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada
Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini,
karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu
jiwa dengannya.”
Pangeran
Vayami tersenyum halus akan tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar tajam yang
membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain mempunyai
tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini sangat berpengaruh dan cerdik.
“Jiwi-enghiong
yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan
tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu sekarang menjadi tamu kami dan oleh karenanya,
selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala
tenagaku, bahkan dengan jiwaku sekali pun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang
mukaku dan tak mengganggunya selama dia masih berada di sini!”
Setelah
berkata demikian, pangeran itu lalu menggerakkan dua tangannya dan bertepuk
tangan tiga kali. Mendadak dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya
yang berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.
Cin Hai
dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka dia lalu menuding kepada Hai
Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan
dan perbuatanmu dan tentunya tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan
balas kami. Jika memang kau seorang laki-laki, maka harap kau mau turun ke
darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih
pandai!”
Hai Kong
Hosiang tadi sudah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu,
maka ia pun maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai dari pada Kwee An. Maka
ia berkata,
“Jangan kau
mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tidak pernah lari
dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan
kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”
“Ha-ha-ha,
hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah memiliki hutang padaku. Ingatkah kau
dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong
di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang hendak kau bunuh dulu itu
siapa? Lihatlah mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang
berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”
Hai Kong
Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu
di dalam goa Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jeri. Akan tetapi,
Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia
kang-ouw dan jarang bertemu tanding, karena itu tentu saja dia sama sekali
tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.
“Bagus,
kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup!”
“Hwesio
keparat, kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.
“Ha-ha!
Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku
suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.”
Cin Hai
menjura pada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami
berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!”
Sambil
tersenyum Pangeran Vayami berkata. “Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak
mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.”
Ia kemudian
memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap
mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!
“Saudara An,
kau lawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”
Bukan main
marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki ‘kera tua’! Dia lalu berseru
nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur
dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada,
dia segera mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.
Kelima
pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang
memutar pedangnya secara hebat luar biasa. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol
itu hanya memiliki tenaga hebat dan kuat seperti kerbau jantan, akan tetapi
kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi sehingga Kwee An tak sampai
terdesak oleh mereka.
Akan tetapi,
bagi pemuda itu pun tak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku
hati-hati sekali. Walau pun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan
berbahaya, akan tetapi karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja
terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Karena itu ia berlaku
tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan sangat kuatnya, sedikit pun tak
ingin memberi waktu kepada mereka untuk dapat memukulnya.
Yang hebat
adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Ternyata pendeta ini
betul-betul telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang
pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng.
Karena
berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw
Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak dia kena dikalahkan oleh Biauw Leng
Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang
tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke daerah
utara, dia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat
dan mempelajari kepandaian mereka itu.
Maka dalam
pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat
pendeta ini jauh lebih hebat dari pada ketika ia bertempur di dalam Goa
Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya
seolah-olah telah berubah menjadi seekor ular berbisa yang masih hidup, sangat
berbahaya sekali.
Walau pun
Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam setiap serangan yang hendak
dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia
menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati sekali. Dia lalu mengeluarkan
limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini
dia dapat bergerak gesit sekali sehingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari
menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Melihat
pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dengan Hai
Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di
depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri.
Ia kagum
sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong
Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Akan tetapi
betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat
permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah.
Memang untuk
mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sudah sengaja mencampur
permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang dia mengeluarkan jurus
Liong-san Kiam-hoat, lalu Ngo-lian-kiam-hoat, bahkan kadang kala ia mengimbangi
permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan Jian-coa Kiam-sut
atau Ilmu Pedang Seribu Ular.
Hai Kong
Hosiang tercengang dan heran sekali sehingga dia menunda serangannya dan
membentak, “Bangsat dan maling rendah! Dari mana kau curi ilmu pedangku?”
“Ha-ha,
gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna?
Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu
itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya.
Hai Kong
Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar
menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut, akan tetapi jauh lebih
sempurna. Padahal sesungguhnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong
tadi, hanya saja karena dia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat
yang telah dimainkan itu, dia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat pula
memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah
dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jeri.
Tidak
disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru
ilmu-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia
dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jeri.
Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, dia memperkuat
hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi.
Kini tangan
kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh racun. Jangankan sampai
terpukul oleh sabuk ini, bahkan baru keserempet sedikit saja, maka racun ular
yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali
racun itu dapat meresap ke dalam daging kemudian meracuni darah hingga
membahayakan jiwa lawannya.
Baru saja
sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai sudah mencium bau yang sangat amis,
maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Dia lalu
menggunakan tangan kirinya mencabut keluar sulingnya. Untuk mengimbangi lawan,
dia menggunakan dua macam senjata pula, di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam,
di tangan kiri suling bambunya!
Melihat
suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa
dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya
untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima
ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang
sambil berteriak,
“Anak setan,
kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”
Melihat
kemarahan Hai Kong Hosiang ini, diam-diam Cin Hai merasa amat girang dan ia
melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan
ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan sulingnya tak dikurangi
kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan dua orang
ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.
Sementara
itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san Kiam-hoatnya telah berhasil
merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut
sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa dua anak muda yang sedang
mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan apa bila dilawan
terus akan membahayakan keselamatannya. Maka ia lalu memberi aba-aba dalam
bahasa Mongol.
Beberapa
orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tidak berani turut
membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu
menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah sehingga sebentar
saja api menyala hebat di atas perahu itu. Dia lalu melompat dan hendak turun
ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air.
Akan tetapi,
melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An cepat meninggalkan ketiga orang
pengeroyoknya dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak.
“Jangan kau
berlaku curang!”
Akan tetapi,
ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya
dengan obor yang masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga
dan dilayangkan ke arah pakaiannya. Cepat-cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor
di tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya!
Kwee An
miringkan kepala dan selagi dia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki
Vayami telah berhasil menendang lututnya. Biar pun dia dapat miringkan kakinya
hingga yang tertendang hanya di atas lututnya dan karena dia mengerahkan tenaga
dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu
keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi
tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!
Cin Hai
terkejut sekali. Akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang
mendesaknya dengan hebat. Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran
itu sendiri melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,
“Hai Kong
Bengyu, lekas kau melompat ke sini!”
Akan tetapi
Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini
maklum bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh
besar ini tidak dapat dirobohkan, juga dirinya berada dalam keadaan bahaya. Api
di atas perahu telah mulai membesar dan bahkan kini sudah memakan tiang besar
di tengah perahu!
Oleh karena
ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian sehingga
hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong
Hosiang mengertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.
Masih
terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang. Akan tetapi
karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya
mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena perahu besar di
mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu sudah hanyut ke
tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment