Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 16
Gui Hwa
terkejut sekali, cepat menghindar, namun ujung bajunya kena dipegang oleh Nagai
Ici dan terdengar suara keras ketika baju itu terobek oleh cengkeraman pemuda
ini. Baju robek menjadi dua sehingga tampaklah pakaian dalam nenek itu.
Dasar Loan
Ki seorang yang nakal. Melihat ini, saking girangnya karena Nagai Ici ternyata
berani mati membelanya, ia mengejek, "Hi-hik, nenek buruk, baju siapakah
yang robek?"
Gui Hwa
menjerit marah, pedangnya cepat berkelebat ke arah dada Nagai Ici merupakan
tusukan maut. Kini ia tidak main-main lagi. Tadi sengaja ia tidak mau melukai
Loan Ki, hanya berusaha mendesaknya dan mencari kesempatan untuk merobek-robek
pakaian gadis itu. Kini dalam kemarahannya, ia menggunakan jurus mematikan
untuk membalas perbuatan Nagai Ici yang ia anggap penghinaan besar itu.
Agaknya
pemuda ini tidak akan mampu mempertahankan dirinya lagi. Baiknya Loan Ki yang
melihat bahaya ini, cepat menangkis pedang Gui Hwa sehingga Nagai Ici terlepas
dari pada bahaya maut.
"Minggirlah,
kau sudah terluka...," pinta Loan Ki sambil mendorong pemuda itu ke
pinggir.
Ia sendiri
menghadapi Gui Hwa yang kini menyerangnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Semua
jurus yang dia lancarkan dalam penyerangan ini adalah jurus yang mengandung
hawa maut, tidak main-main lagi seperti tadi. Loan Ki berusaha mempertahankan
diri, namun pada suatu saat ia kurang cepat dan…
"Breett!"
ujung bajunya terbabat putus sebagai pengganti lengannya!
Ia menjadi
pucat, tetapi tetap melawan terus, biar pun ia didesak hebat. Kembali Nagai lci
meloncat lantas menerkam Gui Hwa karena melihat betapa Loan Ki hampir kalah.
Dia khawatir sekali kalau-kalau gadis pujaan hatinya itu akan terluka hebat,
maka dengan nekat dia menerjang lagi tanpa mempedulikan larangan Loan Ki. Gui
Hwa sudah siap. Begitu melihat tubuh pemuda itu maju selagi pedangnya bertemu
dengan pedang Loan Ki, dia memapaki dengan tendangan.
"Bleeeggg!"
Tubuh Nagai
Ici terjengkang dan pemuda ini muntahkan darah segar. Namun dia bangkit lagi,
menekan dada dan dengan nekat dia hendak maju menerjang lagi untuk membantu
Loan Ki. Sementara itu, melihat Nagai Ici tertendang, Loan Ki menjadi kaget dan
marah sehingga perasaan ini membuat langkah-langkah ajaibnya menjadi kacau
balau. Ketika pedang Gui Hwa menyambar, tak dapat ia mengelak lagi dan terpaksa
menerima dengan pedangnya. Dua pedang menempel dan kedudukan Loan Ki sudah
terjepit. Gui Hwa sudah mengulur tangan kiri hendak merobek pakaian gadis itu.
"Tahan...!"
terdengar bentakan mengguntur.
Mendadak Gui
Hwa terjengkang ke belakang, terhuyung dan cepat menarik pedangnya lantas
bersiap sedia. Kiranya tadi Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang mendorongnya untuk
menolong puterinya. Semua orang memandang ke arah ayah dan anak yang kini
sedang berhadapan muka.
"Ayah,
kau membiarkan anakmu dihina orang, sekarang kau mau apa lagi? Aku tidak tahu
menahu tentang surat, dan aku pun tidak sudi digeledah, lebih baik mati!"
Loan Ki berkata dengan sikap menantang, lehernya tegak, kepala dikedikkan,
kedua mata bersinar-sinar akan tetapi air mata mengalir turun ke atas kedua
pipinya, bibirnya pucat tetapi digigitnya sendiri untuk memperkuat kenekatan
hatinya.
"Loan
Ki, berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu akan surat rahasia
itu?" bentak ayahnya.
"Aku
bersumpah, demi arwah Ibu!"
Terpukullah
hati Beng Kui mendengar sumpah ini, seakan dia diingatkan bahwa puterinya ini
semenjak kecil tidak lagi ditunggui ibunya. Hatinya perih sekali. Tiba-tiba dia
menoleh kepada Nagai Ici yang masih berdiri tegak dengan muka pucat, tetapi
dengan sikap nekat membela Loan Ki.
"Siapa
dia?" tanya Sin-kiam-eng.
"Dia
sahabat baikku, Ayah, tadinya hendak kubawa kepadamu agar menjadi muridmu. Dia
bernama Nagai Ici."
"Apa...?
Seorang Jepang? Bajak laut...?" Tan Beng Kui kaget sekali, kaget dan
kecewa.
"Siapa
bilang dia bajak laut?" Loan Ki juga berteriak, tidak kalah nyaringnya
dengan suara ayahnya. "Dia adalah seorang pendekar, berjuluk Samurai
Merah! Dia orang gagah yang datang ke sini dengan maksud mencari guru yang
pandai. Dia sahabatku, Ayah, buktinya tadi, kalau ayahku sendiri tidak peduli
akan keadaanku, dia membantuku mati-matian!"
Tan Beng Kui
menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berpaling kepada Bhok Hwesio.
"Bhok-losuhu, aku percaya bahwa anakku tidak membawa surat itu. Aku minta
supaya dia dan sahabatnya dilepas dan jangan diganggu lagi."
"Hemmm,
mana mungkin begitu, Sicu? Pinceng pernah mendengar dari pengawal istana
Tiat-jiu Souw Ki bahwa yang merampas mahkota dahulu dari tangannya adalah
puterimu inilah, dibantu oleh Kun Hong si pemberontak buta. Jelas bahwa anakmu
ini membantu para pemberontak. Mana bisa pinceng percaya bahwa surat itu tidak
berada padanya? Kalau memang sudah digeledah tidak ada, biarlah pinceng
memandang persahabatan di antara kita dan pinceng perbolehkan dia pergi."
"Bhok-losuhu,
apakah kau tidak percaya kepadaku?"
Kembali
hwesio itu tertawa dengan tenang. "Tan-sicu, memang biasanya, seorang
gagah di dunia kang-ouw paling memegang teguh kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Tetapi sekarang kedudukan kita lain lagi. Kita bekerja demi
keselamatan negara, dan karenanya peraturan yang berlaku juga peraturan negara,
bukan peraturan kang-ouw lagi. Sebagai petugas, mau tidak mau pinceng harus
mendahulukan kepentingan negara. Pinceng kira bagimu juga seharusnya demikian,
kepentingan tugas lebih tinggi dari pada kepentingan antara ayah dan anak.
Biarkan It-to-kiam Gui Hwa memeriksanya, kalau memang dia tidak membawa surat,
itu, boleh dia pergi."
"Aku
tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menyerah di bawah penghinaan
kalian!" Loan Ki berseru marah.
"Jangan
takut, Loan Ki. Aku membantumu, kalau perlu kita mati bersama!" berkata
pula Nagai Ici dengan tabah dan gagah.
Sin-kiam-eng
Tan Beng Kui kembali menghadapi puterinya, memandang tajam pada dua orang muda
itu sampai lama sekali, kemudian suaranya terdengar menggetar, "Nagai Ici,
kau siap melindunginya dengan jiwa ragamu?"
"Siap!"
seru Nagai Ici dengan sikap tegak.
"Kau...
kau mencinta Loan Ki dengan seluruh jiwa ragamu?"
"Ya!"
jawab pemuda itu pula, tanpa ragu-ragu. "Aku siap mati untuk Loan
Ki!"
Tan Beng Kui
tersenyum getir, kemudian berkata kepada Loan Ki, "Anakku, kau merasa
bahagiakah di samping Nagai Ici?"
Merah muka
yang pucat itu seketika dan air matanya deras mengalir. "Ayah... dia baik
sekali...," jawabnya perlahan.
"Cukup!
Nagai Ici, mulai saat ini aku menyerahkan keselamatan anakku ke tanganmu. Nah,
sekarang pergilah jauh-jauh dan jangan mencampuri urusanku, jangan mencampuri
urusan negara lagi. Pergilah! Cepat!"
Agaknya
Nagai Ici maklum akan isi hati pendekar pedang ini. Dia lalu menggandeng tangan
Loan Ki dan diajaknya gadis itu pergi dari tempat itu.
"He,
jangan pergi dulu!" seru Lui-kong Thian Te Cu.
"Siinngggg…!"
Sinar pedang
berkelebat dan tahu-tahu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah menghadang Thian Te Cu
dengan pedang di tangan serta sikap yang kereng dan gagah menantang. Sepasang
matanya menyala-nyala ketika menatap tiga orang di depannya, Bhok Hwesio, Thian
Te Cu dan Gui Hwa.
"Aku
mengganti mereka dengan nyawaku! Siapa yang berniat mengejar mereka akan
berhadapan dengan pedangku." Suaranya nyaring sehingga bergema, terdengar
pula oleh Loan Ki yang menoleh dan menoleh lagi sambil terisak menangis, akan
tetapi Nagai Ici terus menyeretnya pergi.
"Omitohud!
Tan-sicu apakah hendak memberontak?"
"Bhok
Hwesio, baru kali ini kau muncul dalam urusan negara, tetapi kau sudah hendak
membuka mulut besar bicara mengenai pemberontakan? Huh, kau mau bersikap
sebagai pahlawan? Dengarlah kalian bertiga! Di jamannya mendiang kaisar ketika
masih menjadi pejuang Ciu Goan Ciang, aku Tan Beng Kui sudah menjadi pejuang
mengusir penjajah Mongol. Kalian bertiga tahu apa tentang perjuangan? Kalian
hanya datang dan enak-enak mendapatkan kedudukkan tinggi dan kemuliaan,
sekarang sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri benar? Menjemukan
sekali !"
"Tan
Beng Kui, apa yang kau bicarakan ini?" Bhok Hwesio marah. "Kalau kau
memang tidak mempunyai hati memberontak terhadap kaisar seharusnya kau akan
mementingkan urusan tugas, tidak memberatkan anakmu. Kau telah membiarkan
anakmu terlepas, apa kau kira pinceng tak dapat mengejarnya?"
"Harus
melalui pedang beserta mayatku!" teriak Tan Beng Kui marah. "Anakku
sudah bersumpah demi arwah ibunya. Ini jauh lebih kuat, lebih penting dari pada
segala urusan tetek-bengek. Selama aku masih dapat menggerakkan pedang, jangan
harap kalian akan dapat mengganggu Loan Ki!"
"Kau
memang pemberontak! Dahulu pun pernah menjadi pemberontak, siapa tidak tahu?"'
Lui-kong Thian Te Cu berseru marah.
Dengan
senjatanya tanduk rusa dia sudah bergerak menyerang. Juga It-to-kiam Gui Gwa
sudah menerjang dengan pedangnya. Sambil memutar pedang, Sin-kiam-eng Tan Beng
Kui maju menghadapi dua orang itu. Ilmu pedangnya hebat bukan main. Ilmu Pedang
Sin-li Kiam-sut yang sudah dikuasainya benar sehingga baik It-to-kiam Gui Hwa
mau-pun Lui-kong Thian Te Cu yang lihai merasa terkesiap dan terdesak oleh
sinar pedang yang bergulung-gulung itu.
"Omitohud,
semua pemberontak harus dibasmi, baru aman negara!" Bhok Hwesio berseru
sambil melangkah maju.
Dia
bertempur dengan tangan kosong saja, akan tetapi jangan dikira bahwa dia boleh
dipandang ringan karena tidak bersenjata. Sepasang ujung lengan bajunya
merupakan sepasang senjata yang amat ampuh, kalau digunakan memukul melebihi
kerasnya ruyung baja dan kalau menotok tiada ubahnya senjata toya. Juga kibasan
kedua tangannya sama ampuhnya dengan tebasan pedang tajam. Jangan kata sampai
kena terpukul, baru angin pukulannya saja sudah mendatangkan angin dingin yang
terasa tajam menusuk kulit.
Sesungguhnya
ilmu pedang dari Tan Beng Kui sangat hebat. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat
bahwa dia adalah murid tertua dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan yang
berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding). Kalau mau bicara tentang
ilmu pedang, kiranya tiga orang lawan yang mengeroyoknya ini tidak akan ada
yang mampu menandinginya, biar pun It-to-kiam Gui Hwa juga memiliki ilmu pedang
tingkat tinggi dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi,
ilmu pedang semata bukan merupakan ilmu yang mutlak dapat menentukan
kemenangan, sebab dalam banyak hal lain, dia kalah ampuh oleh ketiga orang
lawannya. It-to-kiam Gui Hwa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
luar biasa, setingkat lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri sehingga dengan
keringanan tubuhnya itu, It-to-kiam Gui Hwa dapat menutupi kekurangannya dalam
hal ilmu pedang.
Lui-kong
Thian Te Cu mempunyai khikang yang hebat, sehingga setiap kali mengeluarkan
bentakan dalam pertempuran, membuat jantung Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tergetar
dan mengacaukan permainan pedangnya. Lebih hebat lagi adalah Bhok Hwesio,
karena hwesio ini benar-benar kosen dan gagah sekali. Hwesio Siauw-lim ini
memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Dorongan kedua tangannya mengeluarkan
angin pukulan yang selalu berhasil memukul miring pedang di tangan Tan Beng
Kui.
Tan Beng Kui
mempertahankan diri mati-matian. Dia pun maklum bahwa kalau dia terlalu cepat
jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan
diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh
tiga orang ini.
Dia tadi
sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya
lega. Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah
terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang
agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya. Kenyataan bahwa pemuda
itu adalah seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya. Dia sudah sering kali
mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu pada jaman dahulunya juga
serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu mempunyai
kecerdikan tinggi.
"Siaaattttt!"
Ujung lengan
baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir. Biar pun dia
sudah berhasil mengelak, tetapi angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia
agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa
dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah menusuk ke
arah perut.
"Siiiinggggg!"
Tarikan
pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri
tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas hingga dia terpaksa melompat
mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan
dan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk
mengirimkan tusukan maut ke arah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.
"Omitohud,
kau bosan hidup...!" seru hwesio itu.
Ujung lengan
bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui
merasa kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat
pedangnya, tak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh
mengelak dari pada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga
serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat ke pergelangan
tangan yang memegang tanduk rusa. Namun pada saat itu, tangan kiri dengan
telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak
dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar.
"Plaakkkk...!"
Tan Beng Kui
mengaduh, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya lepas dari
tangan. Mukanya pucat sekali. Ia telah menerima tamparan maut yang mengandung
tenaga lweekang dan yang telah merusak isi dadanya. Akan tetapi dia benar-benar
gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam,
dengan nekat dia lantas menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan ke
arah Bhok Hwesio sambil mengerahkan semua tenaganya. Bhok Hwesio tersenyum
mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka.
Kedua tangan
itu bertumbukan di udara. Akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke
belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah
hwesio ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dalam keadaan terluka hebat,
lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.
Tan Beng Kui
roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih
sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini
dengan sebuah pukulan tangan kiri. Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga
begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam
Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.
"Criiiinggggg...!"
Gui Hwa
menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat
disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut
memandang dan tahu-tahu di situ sudah berjongkok seorang laki-laki gagah
perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang
pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.
"Omitohud...
bukankah yang datang ini adalah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San
taihiap...?" seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal laki-laki itu.
Memang tidak
salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi
menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan pedang
It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu.
Dia tidak
menjawab kata-kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan
dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini
sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah.
Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak
percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.
"Aduh,
kau Beng San... adikku... siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui
kematianku..." Kemudian dia tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti
ketawa sebab kembali dia muntahkan darah.
Beng San
cepat mengurut dada kakak kandungnya serta menotok beberapa jalan darah untuk
menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri. Mendadak Beng Kui
mendapatkan kembali tenaganya. Dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri
dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.
"Beng
San, adikku, terima kasih... jangan kau mencampuri urusanku."
"Kui-koko,
mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas
dirimu..."
"Tidak!
Mereka adalah orang-orangnya kaisar yang hanya melakukan tugas mereka dan
aku... ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku... ahh...
Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu... dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa
Jepang, Nagai... eh, Nagai Ici, ha-ha-ha! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan
It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui
mayatku. Aku belum menjadi mayat dan... anakku sudah pergi jauh... tidak
mungkin kalian kejar, ha-ha-ha!"
Mendadak Tan
Beng Kui menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara
mengawur. Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak
hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbereng
mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu
bangun kembali. Beng San cepat menghampirinya, berlutut.
"Beng
San... kau melupakan semua kesalahanku dahulu... bagus, beginilah adikku
sejati... huh... aku titip Loan Ki... Loan... Ki..."
Pendekar
pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang
sejak dahulu dimusuhinya. Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan
tubuh kakak kandungnya di atas tanah, kemudian perlahan-lahan dia bangkit,
berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Akhirnya terdengar
suaranya, sangat jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.
"Aku
mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak akan mencampuri urusan kalian
bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran
terhadap Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju
mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!" Dengan pedang
melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya
ditahan-tahan.
"Omitohud...!"
Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Selamanya
Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai-san..."
"Losuhu
tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan
tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!"
Lui-kong
Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa
jeri terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama
besar Raja Pedang ini, apa lagi tadi dengan sekali gebrak saja Raja Pedang ini
berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa.
Hanya Bhok
Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar. "Tugas pinceng adalah
mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang ingin membikin kacau negara,
sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapa pun juga, Tan-taihiap,
selamat berpisah."
Dia lalu
membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu bergegas
meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya. Beng San masih berdiri
tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati
mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak
kandungnya.
Biar pun
kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam
hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu
dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya
itu, pula, ia pun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di
pihak yang salah.
Setelah tiga
orang itu tidak tampak bayangannya lagi, kembali ke jurusan kota raja, dia lalu
berjongkok dan dengan perasaan berat sekali dia lalu memondong jenazah
kakaknya, mencarikan tempat yartg baik tanahnya di dalam hutan sebelah timur
kota raja, kemudian menguburnya dengan penuh hormat dan khidmat.
Tubuh
pendekar pedang ini tampak kurus dan agak pucat. Memang dia telah menderita
tekanan batin yang hebat sekali. Anaknya, Cui Sian, diculik orang, Thai-san-pai
dirusak binasakan musuh, banyak anak murid yang tewas, isterinya marah-marah
dan melarikan diri mencari Cui Sian.
Dia sendiri
sudah berkelana mencari jejak isterinya dan menyelidiki tentang musuh-musuh
yang sudah menyerbu Thai-san dan yang telah menculik anaknya. Dari beberapa
orang kenalan di dunia kang-ouw, dia dapat mendengar bahwa tiga orang wanita
yang berilmu tinggi itu sangat boleh jadi adalah Ang Hwa Sam-ci-moi yang belum
pernah dia dengar namanya karena ketiga orang tokoh ini baru beberapa tahun
saja memasuki pedalaman, datang dari See-thian.
Akan tetapi
ketika mendengar bahwa tiga orang kakak beradik ini adalah para sumoi (adik
seperguruan) Hek-hwa Kui-bo, kecurigaannya menebal. Apa bila mereka itu
sumoi-sumoi dari Hek-hwa Kui-bo, sangat boleh jadi mereka melakukan perbuatan
itu untuk membalas dendam terhadap suci (kakak seperguruan) mereka. Akan
tetapi, agaknya mereka tidak bekerja bertiga saja, tentu ada orang-orang lain.
Sukarnya, tidak seorang pun yang tahu di mana adanya Ang Hwa Sam-ci-moi itu.
Dia
seakan-akan meraba di dalam gelap dan perantauannya membawanya ke kota raja
karena dia berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai keadaan orang-orang besar
di dunia kang-ouw, lebih mudah diselidiki di kota raja. Apa lagi karena urusan
di Thai-san ini agaknya ada hubungannya dengan kematian Tan Hok, berarti ada
hubungannya dengan urusan kerajaan, karena semenjak dahulu Tan Hok adalah
seorang pejuang dan bahkan akhir-akhir ini menjadi pembesar yang dipercaya oleh
kaisar pertama Ahala Beng.
Demikianlah,
secara kebetulan sekali, di luar kota raja dia melihat pengeroyokan atas diri
Tan Beng Kui. Sayang dia agak terlambat sehingga kakak kandungnya itu tewas
dalam pertempuran. Setelah dia selesai mengubur jenazah kakaknya, Beng San
ragu-ragu untuk memasuki kota raja.
Dia lalu
teringat akan Loan Ki. Setelah pertemuan terakhir dengan kakak kandungnya,
timbullah secara tiba-tiba kerinduan hatinya untuk bertemu dengan keturunan
kakaknya ini, dengan keponakan tunggalnya. Semenjak berpisah dengan kakaknya
belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dan tidak tahu keadaan
kakaknya itu. Sekarang pertemuan terakhir membangkitkan kembali kasih sayang
lama.
Loan Ki, Tan
Loan Ki, demikian nama keponakannya. Dengan pemuda Jepang? Pesan terakhir
kakaknya terngiang di telinganya. Lebih baik sekarang menyusul Loan Ki. Kenapa
tidak? Selain dia dapat bertemu dengan keponakannya itu dan dapat menjaganya
serta memberi petunjuk, juga dari keponakannya itu dia dapat mendengar banyak
hal tentang kakaknya, tentang keadaan kota raja. Siapa tahu keponakannya itu
akan mendengar pula tentang Thai-san-pai. Maklumlah, puteri seorang pendekar
seperti kakaknya tentu tidak asing pula dengan keadaan dunia kang-ouw.
Berpikir
demikian, Beng San kemudian melompat dan berlari cepat sekali, menyusul
keponakannya yang agaknya lari ke arah timur seperti yang tadi ditunjuk oleh
kakaknya. Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Beng San ini adalah Ilmu Lari
Cepat Liok-te Hui-teng Kang-hu, ilmu lari cepat yang dilakukan sambil
melompat-lompat dan kecepatannya seperti terbang saja.
Wusssssss...!
"Kanda
Bun Wan...!"
Seruan
girang ini mengagetkan Bun Wan yang sedang berjalan dengan kepala tunduk dan
hati penuh kekecewaan. Dia mengangkat mukanya dan kaget melihat bahwa yang
memanggilnya dengan suara merdu dan gembira itu bukan lain adalah Giam Hui
Siang, gadis dari Pulau Ching-coa-to itu!
Pertemuan
ini sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Sekarang dia berada jauh dari
Ching-coa-to, di sebuah hutan di luar kota raja. Baru saja dia mengalami
kekecewaan dan penyesalan karena dia kalah dalam perebutan mahkota kuno.
"Hui
Siang! Kau dari mana, bagaimana bisa berada di sini?" tanyanya, tersenyum
sambil mengusap rambut kepala gadis yang telah merangkulnya dengan sikap manja
dan penuh cinta kasih itu.
"Kanda
Bun Wan, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang," Hui Siang berkata
manja. "Kenapa kau tinggalkan aku di Ching-coa-to? Kenapa kau pergi secara
diam-diam? Aku kesepian di sana, Ibu belum pulang dan karena kau bilang ingin
pergi ke kota raja, aku lalu menyusulmu. Sungguh kebetulan sekali kita bisa
bertemu di sini, bukankah ini tanda bahwa kita benar-benar berjodoh, kanda Bun
Wan?"
Bun Wan
menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Hui Siang, kau
seperti anak kecil saja. Apakah kau tidak percaya bahwa aku akan datang kembali
ke sana menjemputmu?"
Hui Siang
merengut dan mukanya yang cantik itu kelihatan susah. "Wan-koko, banyak
sudah kudengar laki-laki yang tidak memegang teguh janjinya dalam hubungan
mereka dengan wanita. Hanya bermanis mulut menjual madu di bibir kalau
berhadapan, akan tetapi begitu berpisah lalu bercabang hati dan lupa akan
sumpah dan janji. Banyak sudah contohnya. Ibu sendiri bertahun-tahun menderita
karena Ayah. Kata Ibu, di dunia ini tidak ada lelaki yang boleh dipercaya
janjinya terhadap wanita."
"Hui
Siang, kau kira aku ini laki-laki macam apa?" Bun Wan berseru keras dan
penasaran. "Sungguh pun hubungan kita ini tadinya kuanggap karena engkau
yang membujuk, akan tetapi akhirnya aku insyaf bahwa aku pun bersalah terlampau
menuruti nafsu hati. Aku seorang laki-laki, keturunan tunggal dari Kun-lun-pai,
tidak mungkin aku menyia-nyiakan wanita yang sudah kujatuhi cinta, tidak
mungkin aku mengingkari pertanggungan jawabku. Hui Siang, sudah kukatakan
kepadamu bahwa apa pun yang terjadi, kau tetap akan menjadi isteriku, hanya aku
harus menyelesaikan lebih dulu tugasku yang maha penting."
"Kanda
Bun Wan, bukan sekali-kali aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi setelah kau
meninggalkan aku, aku kesepian dan amat khawatir. Biarkan aku ikut denganmu,
Koko, dan biarlah aku membantu tugasmu sampai selesai."
"Tugasku
berat, mungkin mempertaruhkan nyawa, Moi-moi," kata Bun Wan halus karena
dia terharu pula menyaksikan besarnya cinta kasih gadis jelita ini.
"Apa
lagi kalau harus mempertaruhkan nyawa, tidak boleh aku melepaskan kau, Koko.
Biarlah pertanggungan itu kita pikul berdua, akan lebih ringan."
Bun Wan
menggandeng tangan Hui Siang, dituntunnya gadis itu dan diajaknya duduk di
tempat teduh, di bawah pohon yang tinggi dan besar. Mereka duduk bersanding di
atas akar pohon itu dan dengan sikap manja dan mesra Hui Siang tidak pernah
melepaskan tangan kekasihnya.
"Hui
Siang, lebih baik kau pulang ke Ching-coa-to dan kau tunggulah aku di sana.
Hatiku akan lebih tenteram mengingat bahwa kekasihku menanti di sana, dari pada
harus melihat kau terancam bahaya bersamaku."
"Tidak,
aku tidak mau. Biar bahaya atau mati sekali pun asal bersamamu," kata
gadis itu dengan nekat.
"Wah,
repot kalau kau rewel begini," Bun Wan menggerutu, kemudian berkata lagi
sambil memandang wajah yang cantik itu, "Hui Siang, ketahuilah bahwa
tugasku ini bertentangan sama sekali dengan ibumu, malah mungkin sekali aku
akan menjadi lawan ibumu."
Agak
terkejut Hui Siang mendengar kata-kata ini. Dia balas memandang, agaknya tidak
percaya, akan tetapi melihat kesungguhan wajah Bun Wan, ia pun berkata dengan
nada suara sungguh-sungguh, "Kalau sampai Ibu memusuhimu, aku akan berada
di pihakmu."
Kembali Bun
Wan menarik napas panjang, "Kau mana tahu urusannya? Tak ada urusan
pribadi yang membuat ibumu mungkin memusuhiku. Akan tetapi, ini semata-mata
urusan tugas. Ketahuilah, Hui Siang, aku yang kau jadikan pilihan hatimu, aku
adalah seorang utusan Raja Muda Yung Lo di utara." Sambil berkata
demikian, pemuda itu dengan penuh selidik menatap wajah kekasihnya.
Sejenak Hui
Siang terpukul. Inilah hebat. Kalau begitu, kekasihnya ini merupakan seorang
mata-mata pemberontak! Alangkah beraninya, sudah menggabungkan diri pula dengan
Ching-coa-to. Betapa berani, pandai dan sama sekali tidak disangka-sangka. Akan
tetapi ia segera menjawab mesra.
"Kau
adalah laki-laki pilihanku, kau suamiku. Andai kata kau ternyata seorang utusan
dari neraka sekali pun, aku akan tetap menyertai dan membantumu. Aku tidak
peduli urusan negara."
Bun Wan
terharu dan merangkul leher Hui Siang. Hatinya mulai besar dan bangga. Tidak
keliru dia mencintai gadis ini. Kecantikan Hui Siang luar biasa dan jarang
bandingannya. Kepandaiannya lumayan dan ternyata sekarang memiliki kesetiaan
pula.
"Hui
Siang, aku girang mendengar pernyataanmu ini. Ketahuilah, sejak dahulu aku
adalah keturunan orang-orang pejuang. Kun-lun-pai terkenal sebagai sumber
pahlawan-pahlawan pejuang dan dulu banyak tokoh-tokoh Kun-lun-pai membantu
perjuangan mendiang kaisar pendiri Kerajaan Beng. Karena itu, Raja Muda Yung Lo
yang menjadi keturunan kaisar menaruh kepercayaan penuh kepada Kun-lun-pai.
Sekarang sedang terjadi pergolakan sesudah kaisar tua meninggal dunia. Kaisar
muda agaknya tidak benar dan Raja Muda Yung Lo merasa lebih berhak menggantikan
kedudukan kaisar dari pada keponakannya, kaisar muda sekarang ini. Aku sudah
dipiiih sebagai orang kepercayaan dan utusan untuk menyelidiki keadaan di
selatan serta mengadakan hubungan dengan paman Tan Hok. Sebetulnya aku harus
mendapatkan surat wasiat yang kabarnya oleh mendiang kaisar diberikan kepada
paman Tan Hok yang sudah meninggal pula. Kuduga surat itu berada di dalam
mahkota kuno itu, maka aku ikut pula memperebutkan. Sayang gagal..."
Tiba-tiba
pemuda ini berhenti bicara, menarik tangan Hui Siang dan cepat melompat dari
tempat yang tadi diduduki itu sambil mengangkat muka memandang ke atas. Hui
Siang juga memandang dan... alangkah kaget hati mereka melihat seorang
laki-laki tua berkulit hitam seluruhnya, duduk di atas cabang pohon itu dengan
kedua kaki tergantung.
Kakek ini
sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput. Pakaiannya sederhana berwarna kuning
sehingga kehitaman kulitnya semakin nyata. Mukanya yang hitam itu hampir tidak
kelihatan di antara daun-daun pohon, yang tampak jelas hanyalah biji matanya.
Kakek tua renta berkulit hitam itu kini terkekeh-kekeh dan tiba-tiba tubuhnya
melayang ke bawah.
Kagetlah
hati Bun Wan dan Hui Siang pada waktu melihat betapa kakek itu jatuh seperti
sebatang balok. Terpelanting dan kaku dengan kepala lebih dahulu! Namun,
kekagetan dalam hati mereka berubah kagum dan terheran-heran ketika kepala itu
menyentuh tanah dengan enaknya, sama sekali ttdak bersuara seakan-akan kepala yang
temyata gundul pacul itu terbuat dari pada karet yang lembek dan lunak.
Sejenak
kakek itu berjungkir seperti itu, kemudian dia tertawa pula dan tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas dan kini dia berdiri di atas kedua kakinya. Kiranya
dia seorang yang tinggi dan kulitnya memang hitam semua, memegang sebatang
tongkat yang berwarna hitam pula, lucunya, biar pun usianya sudah ada tujuh
puluh tahun, akan tetapi mulutnya masih bergigi penuh, gigi yang putih berkilau
di balik kulitnya yang kehitaman ftu.
"Heh-heh-heh,
orang-orang Kun-lun-pai memang semenjak dahulu pemberontak semua! Mendiang Pek
Gan Siansu juga pemberontak, cucu-cucu muridnya sekarang juga kaum pemberontak.
Heh-heh-heh!"
Bun Wan
cukup maklum bahwa kakek hitam ini adalah seorang yang memiliki kesaktian
seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi mendengar betapa Kun-lun-pai dicela,
betapa kakek gurunya dimaki pemberontak, dia menjadi penasaran dan mendongkol
juga. Namun dia mempertahankan kesabarannya dan dengan hormat dia menjura dan
bertanya.
"Locianpwe
ini siapa, dan apa dosanya hingga Locianpwe memaki Kun-lun-pai sebagai
pemberontak?"
"Heh-heh-heh,
bocah berlagak pahlawan, mana kau tahu namaku. Aku orang biasa saja, bukan
pahlawan macam orang-orang Kun-lun-pai, dan aku dipanggil orang Hek Lojin dari
Go-bi-san. Heh-heh-heh, kau penasaran karena kukatakan bahwa Pek Gan Siansu dan
semua anak murid Kun-lun adalah pemberontak hina? Hemmm, bocah berlagak
patriot. Setiap orang yang melawan kekuatan pemerintah yang ada dialah
pemberontak! Dahulu melawan kekuasaan Pemerintah Goan (Mongol), kakek-kakekmu
adalah pemberontak. Kau sekarang hendak melawan kekuasaan kaisar yang berkuasa,
kau pun pemberontak. Dan aku adalah orang yang paling benci terhadap
pemberontak. Hayo kalian dua orang pemberontak cilik ini menyerah, menjadi
tawananku dan kubawa ke kota raja."
Sekarang Bun
Wan marah sekali. Dia memang tidak pernah mendengar nama Hek Lojin, karena
memang tokoh sakti dari Go-bi-san ini jarang muncul di dunia kang-ouw dan sudah
mengasingkan diri. Biar pun dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang
sakti, mana dia sudi dijadikan tawanan?
Sementara
itu, Hui Siang sudah tidak dapat menahan kemarahannya karena kekasihnya
dimaki-maki. Ia seorang gadis yang manja dan selalu mengandalkan kepandaian
sendiri. Begitu melihat gelagat tidak baik, diam-diam ia sudah menyiapkan
jarum-jarum beracun, senjata rahasia yang amat dia andalkan karena mengandung
racun ular di Ching-coa-to. Jarum ini amat ganas dan jahat, sedikit saja
mengenai kulit lawan tentu akan mengancam keselamatan nyawanya.
"Kakek
hitam sombong, makanlah ini!" bentaknya dan sekali kedua tangannya
bergerak, puluhan batang jarum melesat keluar dari kedua tangannya, menyerang
tubuh kakek itu dari kepala sampai kakinya.
"Ihh,
ilmu keji!"
Tiba-tiba
kakek itu lenyap dari situ, kiranya dia tadi menggunakan tongkat hitamnya untuk
menjejak tanah sehingga tubuhnya melesat ke atas, tangan kirinya menyambar
beberapa barang jarum dan dari tengah udara dia berseru, "Nih, kau makan
sendiri jarum-jarum beracunmu!"
Bukan main
kagetnya hati Hui Siang ketika serangkum hawa yang amat dahsyat datang menyambarnya.
Ia dapat menduga bahwa itulah pukulan jarak jauh yang amat kuat, pula disertai
sambitan jarum-jarumnya sendiri. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun
terlambat, masih ada tiga batang jarum dengan tepat sekali menancap di atas
dadanya. Gadis itu menjerit dan roboh, tak berkutik lagi karena seketika ia
menjadi pingsan.
Dapat
dibayangkan alangkah terkejut dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa
kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia
pun menerjang kakek itu dengan pedangnya.
Hek Lojin
tertawa bergelak, melayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata
amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya
tergetar dan sakit-sakit. Akan tetapi kemarahannya melihat Hui Siang roboh
membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia memainkan Ilmu
Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.
"Bagus!
Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka
dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!"
Memang
sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan
sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu,
bahkan beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas
dari pegangannya.
Setelah
lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening. Benteng hitam itu makin melebar dan
makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandangan matanya gelap
dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam.
Akhirnya dia tidak tahu lagi di mana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya
telah kena tampar tangan kiri kakek itu.
Perlahan
saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras. Tubuhnya lantas
terguling, roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat
bergerak sama sekali.
"Heh-heh-heh,
segala pemberontak hijau. Biarlah kalian mati di sini, tidak perlu kubawa lagi,
membikin repot saja." Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat
hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.
Akan tetapi
tiba-tiba saja terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga, dari atas
datangnya. Dia merasa kaget bukan main dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam
melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali
emas yang besar sekali menukik ke bawah, ditungganggi oleh seorang laki-laki
muda yang agaknya buta kedua matanya.
"Kim-tiauw-ko,
jangan menyerang orang!" Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas
itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan dia pun melompat turun ke
atas tanah.
Seperti kita
ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama
kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu
dan menyuruhnya terbang berputaran di atas hutan.
Pagi hari
itu, entah kenapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang
orang. Karena itu cepat dia mencegahnya dan meloncat ke atas tanah karena
hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan
mendekati tanah.
Akan tetapi
burung rajawali emas itu tetap saja marah-marah. Dia memekik-mekik dan
mengeluarkan suara melengking tinggi, bersiap untuk menyerang Hek Lojin yang
sudah hilang kagetnya dan kini kakek itulah yang berbalik menjadi marah.
Ia adalah
seorang yang sakti, biasanya ditakuti orang. Melihat mukanya yang hitam saja,
orang-orang sudah pada takut, apa lagi menyaksikan sepak terjangnya yang sakti.
Kini ada seorang bocah buta dan burung rajawali datang-datang menimbulkan
kekagetannya, tentu saja dia marah.
"Burung
keparat, kau kira kau ini luar biasa gagahnya maka berani membikin kaget Hek
Lojin. Apa kau sudah bosan hidup? Keparat!"
Rajawali
emas adalah seekor burung sakti, burung yang sudah banyak bergaul dengan
orang-orang sakti. Andai kata dia tidak dapat menangkap ucapan kakek itu,
setidaknya, dia dapat merasa bahwa kakek itu marah dan memaki-maki serta
menantangnya. Maka dia pun lalu membuka sepasang sayapnya, matanya memandang
berapi-api, siap untuk menerjang. Mulutnya mengeluarkan pekik tantangan mengagetkan
Kun Hong.
"Kim-tiauw-ko,
sabarlah. Locianpwe, harap suka mengalah kepada burung sahabat baikku
ini..."
"Burung
jahat ini harus dibunuh, kalau tidak dia hanya akan mendatangkan kekacauan
belaka!"
Hek Lojin
yang merasa ditantang oleh burung itu, sudah menggerakkan tongkatnya untuk
memukul. Hebat sekali pukulan ini, mendatangkan angin berdesir. Agaknya dia
hendak menewaskan burung itu dengan sekali pukul! Rajawali emas itu agaknya
tahu pula akan kehebatan pukulan ini, maka dia cepat melejit dan mengelak.
Kun Hong
yang dapat menangkap angin pukulan, dia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek
yang berangasan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan lawan burungnya.
Tahu pula bahwa kakek itu benar-benar hendak membinasakan rajawali maka
cepat-cepat dia menjura dan berkata,
"Locianpwe,
sudahlah. Biarlah aku yang mintakan maaf apa bila burungku bersalah, dan
biarlah kami pergi tidak mengganggumu lagi."
Akan tetapi
Hek Lojin sudah semakin panas perutnya. Dia seorang ahli silat kelas tinggi,
seorang yang kesaktiannya telah menggemparkan Go-bi-san, masa sekarang sekali
pukul tak dapat mengenai tubuh burung celaka itu? Apa lagi melihat kini
kim-tiauw lincak-lincak (berloncatan) seakan-akan mengejek, hawa amarah sudah
naik ke ubun-ubunnya.
"Burung
iblis, mampuslah!"
Sekarang
tongkatnya diputar cepat dan sekali terjang dia sudah mengirim belasan jurus.
Kagetlah Kun Hong. Terlebih kaget lagi burung itu sendiri, karena meski pun dia
sudah mengibaskan sayap, sudah mengelak dan menangkis dengan cakarnya, namun tetap
saja punggungnya terkena gebukan satu kali, membuat dia terlempar beberapa
meter dan banyak bulunya yang kuning emas rontok.
Akan tetapi
dasar burung sakti. Walau pun pukulan itu mendatangkan rasa nyeri, namun tidak
melukainya. Hal ini membuat Hek Lojin kaget dan heran, akan tetapi malah makin
marah. Ketika dia menerjang lagi, ternyata Kun Hong sudah berdiri
menghadangnya. Pemuda ini maklum bahwa burungnya tidak mungkin dapat melawan
kakek ini dan kalau dia diamkan saja, berbahayalah bagi kim-tiauw.
"Locianpwe,
sekali lagi, harap kau suka maafkan kami. Di antara kita tiada permusuhan, maka
untuk apakah urusan kecil ini dibesar-besarkan dan pertempuran yang tidak ada
gunanya ini dilanjutkan?"
Melihat
sikap pemuda buta ini, Hek Lojin menahan kemarahannya. Dia dapat menduga bahwa
kalau burungnya demikian hebat, pemiliknya tentu bukan orang lemah pula. Hanya
saja orang ini masih sangat muda, apa lagi buta, kepandaian apakah yang
dimilikinya?
Maka dia
memandang rendah dan berkata, "Kalau kau pemiliknya dan mintakan maaf, aku
mau memberi ampun asal kau bisa menyuruh dia berlutut dan mengangguk tujuh kali
di depanku untuk minta ampun."
Kun Hong
kaget dan bingung. Dia cukup mengenal watak kim-tiauw. Burung itu angkuh
sekali, mana sudi merendahkan diri dan berlutut minta ampun seperti itu? Tidak
mungkin!
"Menyesal
sekali, hal itu tidak mungkin dapat kulakukan, Locianpwe, karena burung itu
tidak pernah diajar berlutut, tentu tidak bisa dan tidak mengerti kalau kusuruh
berlutut." Dalam hal ini Kun Hong membohong, karena kalau dia mau, burung
itu akan melakukan ini dengan amat mudahnya. Soalnya, burung itu tentu tidak
sudi berlutut di depan orang tua galak ini.
"Hemm,
burungnya jahat dan sombong, pemiliknya amat baik," kakek itu menggerutu.
"Sudahlah, kalau dia tidak bisa disuruh berlutut, biar kau yang mewakili
juga tidak apa."
Hebat
kesombongan kakek ini. Akan tetapi, memang pada dasarnya Kun Hong adalah
seorang yang sangat penyabar dan luas pandangannya. Apa salahnya berlutut di
depan seorang kakek yang memiliki kepandaian tinggi ini, pikirnya.
Kalau dia
tidak mau memenuhi permintaan ini tentulah terjadi pertempuran hebat yang sama
sekali tidak ada sebabnya, pertempuran yang tiada gunanya. Maka dia tersenyum
dan segera menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala tujuh
kali.
Kakek itu
tampak girang sekali dan agaknya hendak menguji kelihaian Kun Hong. Karena itu
dia segera mengangkat sebelah kakinya dan dilayangkan ke atas kepala Kun Hong.
Penghinaan yang hebat!
Kun Hong
menggigit bibirnya karena biar pun matanya buta, tentu saja telinganya dapat
menangkap gerakan ini dan kalau dia mau, sekali menggerakkan tangan tentu dia
mampu merobohkan kakek sombong itu ketika si kakek melakukan gerakan yang
menghina dan juga berbahaya bagi diri kakek itu sendiri. Dia pura-pura tidak
tahu dan kakek itu tertawa bergelak-gelak sambil menyeret tongkatnya, pergi
dari situ.
Masih
terdengar suaranya dari jauh terkekeh-kekeh sambil berkata, "Ajaib sekali,
burung yang demikian kuatnya memiliki majikan begitu lemah, heh-heh-heh!"
Sesudah
suara kakek itu tidak terdengar lagi, Kun Hong baru bangkit sambil menggerutu,
"Berbahaya sekali..." Dia maksudkan berbahaya kalau dia tidak mampu
mempertahankan kesabarannya tadi, tentu akan terjadi pertempuran hebat karena
dia pun dapat menduga bahwa ilmu kepandaian kakek itu memang amat tinggi.
"Kim-tiauw-ko,
kenapa kau mencari gara-gara?" Dia menegur burung itu.
Burung
rajawali meloncat mendekatinya, menyambar ujung lengan bajunya dan dengan suara
menggerang panjang burung itu menariknya dari situ. Kun Hong amat heran dan
mengikuti. Burung itu berhenti dan menarik dia supaya berjongkok.
Dengan hati
mengandung penuh pertanyaan Kun Hong berjongkok, tangannya meraba dan jari-jari
tangannya menyentuh tubuh seorang laki-laki yang pingsan dan menderita luka
dalam yang hebat. Tangannya meraba lagi ke kiri dan... sekali ini menyentuh
tubuh seorang wanita.
Dia berseru
kaget karena wanita ini malah lebih hebat lagi keadaannya. Tubuhnya panas
membara seperti terbakar, napasnya sesak, tanda bahwa ia menderita luka yang
hampir mencabut nyawanya.
"Celaka...
ahhh, kim-tiauw-ko, kiranya aku benar-benar buta!" Dia menyumpahi diri
sendiri karena sekarang mengertilah dia bahwa burung itu tadi menyerang seorang
kakek yang baru saja merobohkan dua orang muda secara ganas dan keji!
Cepat dia
memeriksa laki-laki itu. Segera dia tahu bahwa laki-laki itu menderita pukulan dengan
tenaga lweekang yang sangat hebat pada punggungnya. Dia cepat mengurut dan
menotok beberapa jalan darah. Hatinya menjadi lega sesudah dia mendapat
kenyataan bahwa orang ini tidak berbahaya lagi sekarang keadaannya.
Dia cepat
mengalihkan perhatian pada wanita itu. Hatinya berdebar karena sungkan dan ragu
ketika jari-jari tangannya meraba tubuh seorang wanita yang masih muda. Apa
lagi setelah dia melakukan pemeriksaan teliti, dia mendapat kenyataan bahwa
wanita ini telah terkena senjata rahasia yang sangat halus di dadanya dan
berada dalam keadaan yang membahayakan keselamatan nyawanya. Dia bingung dan
ragu.
"Apa
boleh buat, demi menolong nyawanya." Akhirnya dia menggerutu seorang diri.
Cepat dia menurunkan buntalannya dan digeledahnya saku-saku bajunya, kemudian
dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Tanpa ragu-ragu lagi karena maklum bahwa
kalau terlambat akan berbahaya bagi wanita ini, dia segera merobek baju wanita
itu di bagian dadanya. Rabaan jari-jari tangannya menyatakan bahwa kulit dada
itu telah ditembusi tiga batang jarum kecil yang rupanya mengandung bisa yang
mendatangkan hawa panas.
"Hemmm,
agaknya racun ular," Kun Hong bergumam sendiri setelah dia memencet luka
itu, mengeluarkan sedikit darah dan diciumnya darah di jarinya.
Cepat dia mengerahkan
kepandaiannya, menusuki beberapa jalan darah dengan jarum peraknya untuk
mencegah racun itu menjalar. Dari detak jantung dia mendapat kenyataan yang
menimbulkan harapan bahwa racun itu belum menjalar sampai ke dalam jantung.
Pada tusukan terakhir di dekat leher, tubuh wanita itu bergerak dan terdengar
ia mengeluh perlahan sekali, akan tetapi disusul suaranya penuh kekagetan.
"Aduhhhh...
tua bangka keparat... ehh... heeeee, siapa kau, lepaskan aku...!"
Berdebar
jantung Kun Hong karena telinganya serasa mengenal suara ini, akan tetapi dia
lupa lagi siapa dan di mana.
“Tenanglah,
Nona, aku berusaha mengobatimu," katanya dengan suara dingin dan halus.
"Kau...?
Ahh, kau... Kwa Kun Hong Pendekar buta..."
Kini
teringatlah Kun Hong. Kiranya nona ini adalah Giam Hui Siang, ‘siocia’ yang
amat galak dari Ching-coa-to. Kalau begitu, apakah lelaki yang pingsan ini
pemuda Kun-lun-pai, Bun Wan itu? Ah, apa bedanya? Hal itu tak penting baginya,
yang penting hanya bahwa dia harus mengobati dua orang yang terancam bahaya
maut ini, siapa pun juga mereka.
"Harap
kau diam dan jangan bergerak, Nona. Dadamu telah terkena senjata rahasia yang
mengandung racun ular, biar kukeluarkan tiga batang jarum ini."
Hui Siang
mengeluh, akan tetapi ia benar-benar tidak bergerak sekarang. Dua tangannya ia
pergunakan untuk menutupi mukanya karena biar pun ia tahu bahwa Kun Hong adalah
seorang buta dan tidak dapat melihatnya, akan tetapi sebagai seorang gadis
tentu saja ia menjadi jengah dan malu sekali karena bajunya terobek seperti itu
dan Kun Hong sedang meraba-raba kulit tubuh bagian dada!
Karena
maklum bahwa dia berlomba dengan waktu untuk menolong gadis ini, Kun Hong
cepat-cepat mengerahkan tenaga lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang
disalurkan ke telapak tangan, kemudian telapak tangannya dia tempelkan ke atas
luka-luka di dada itu dengan tenaga ‘menyedot’. Dia menekan perasaan hatinya
untuk melupakan perasaan tangannya yang meraba bagian tubuh yang dirahasiakan
itu, membekukan perasaan ini dengan keyakinan bahwa dia tidak memiliki kehendak
lain kecuali sebagai ahli obat yang hendak menolong nyawa seseorang.
Usahanya
berhasil baik. Tiga batang jarum yang telah menancap sampai tidak kelihatan
lagi di dalam dada itu, kini tersembul dan dapatlah Kun Hong menjepit serta
mencabuti keluar ketiganya. Akan tetapi tidak ada darah mengucur keluar.
Kagetlah Kun
Hong. Hal ini hanya menjadi bukti bahwa racun itu telah bekerja, darah telah
membeku dan tidak dapat keluar karena tertutup oleh gumpalan darah matang yang
kotor oleh racun. Kalau saja dia bisa mendapatkan beberapa macam daun obat yang
memiliki sifat menghisap, nona ini akan cepat tertolong. Akan tetapi dia tidak
mempunyai daun itu dan untuk mencarinya, tidaklah mudah, apa lagi dia seorang
buta.
"Nona,
kau maafkanlah aku, tidak ada jalan lain mengeluarkan racun dari dalam luka di
dadamu kecuali dihisap dengan mulut. Kau diam sajalah, tidak lama tentu
sembuh."
Terpaksa
sekali, tanpa mempedulikan apa-apa lagi karena khawatir kalau-kalau racun itu
akan semakin meresap ke dalam, Kun Hong menundukkan mukanya, dan menggunakan
mulutnya menyedot luka-luka di dada itu sambil mengerahkan tenaga sinkang.
Andai kata
seorang biasa yang melakukan hal ini, kiranya akan makan waktu lama sekali.
Akan tetapi Kun Hong bukanlah orang biasa, tenaga sinkang-nya hebat sekali
sehingga sekali sedot saja dia sudah menghisap bersih racun pada satu luka.
Setelah meludahkan darah mati yang dihisapnya, darah segar sudah mulai keluar
dari luka kecil pertama itu. Kun Hong lalu menyedot luka ke dua, kemudian ke
tiga.
Dapat
dibayangkan betapa jengah dan malunya Hui Siang. Tentu saja ia bisa mengenal
kehebatan jarum-jarumnya sendiri dan andai kata ia membekal obat penawarnya,
tentu ia tak sudi diobati secara demikian oleh Kun Hong. Akan tetapi apa daya,
ia lupa membawa obat bekalnya, dan ia pun tahu bahwa jalan satu-satunya untuk
menolongnya memang seperti yang dilakukan Kun Hong itulah.
Teringat ia
akan keadaan cici angkatnya dahulu ketika diobati oleh Kun Kong dan hatinya
tertusuk. Mulailah timbul penyesalannya akan sikap-sikapnya dahulu terhadap Hui
Kauw dan Kun Hong. Pendekar Buta ini ternyata benar-benar seorang manusia yang
berbudi luhur, yang mengobati siapa saja tanpa pamrih sesuatu. Buktinya,
sebelum ia sadar, tentu si buta ini tidak mengenalnya siapa.
Betapa pun
juga, merasa betapa muka dan mulut orang buta itu menempel di dadanya, Hui
Siang tak dapat menahan rasa malunya. Dia menutupi muka dengan kedua tangan,
mukanya yang tadinya pucat sekarang menjadi merah seperti udang rebus.
Ketika Kun
Hong sedang menghisap luka ke tiga atau yang terakhir, dan tubuhnya sedang berlutut
itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan sebuah tendangan kilat yang sangat
kuat membuat tubuh Kun Hong terlempar beberapa meter jauhnya kemudian jatuh
terguling-guling. Baiknya Kun Hong keburu mengerahkan lweekang-nya sehingga dia
tidak terluka, hanya terlempar dan bergulingan saja.
Tadi dia
hanya mendengar bentakan itu, akan tetapi karena seluruh perhatian sedang
ditujukan kepada pengobatan, sedang sinkang-nya pun sedang disalurkan kepada
mulut yang menyedot, dia tidak sempat membela diri.
Ketika dia
cepat melompat bangun, Kun Hong mendengar suara Bun Wan yang penuh kemarahan.
"Kwa Kun Hong jahanam besar! Dulu kau telah menghancurkan hubunganku
dengan perbuatanmu yang tidak tahu malu terhadap Cui Bi, kini kembali kau
melakukan penghinaan terhadap diri Hui Siang! Kun Hong kau benar-benar seorang
berhati binatang, sampai matamu menjadi buta masih saja kau merupakan manusia
iblis. Kali ini aku tidak akan suka menerima penghinaan begitu saja.
Keparat!"
"Wan-koko...
jangan menuduh yang bukan-bukan...!" Suara Hui Siang sangat lemah dan
tercampur isak.
Nona ini
sudah dapat bangun dan tadi saking kagetnya dia tidak mampu bicara, hanya
cepat-cepat menutup bajunya yang robek. Dadanya masih terasa nyeri, akan tetapi
tidak sesak lagi dan kekuatannya sudah pulih. Dengan mata terbelalak dia
melihat betapa Kun Hong terguling-guling dan begitu mendengar suara Bun Wan,
barulah dia sadar kembali bahwa kekasihnya itu telah salah duga.
Akan tetapi
Bun Wan tidak mendengar ucapan Hui Siang ini karena pada saat itu dia sedang
marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan marah kalau begitu dia sadar
dari pingsannya melihat apa yang dilakukan Kun Hong terhadap kekasihnya tadi?
Dengan amarah meluap-luap dia sudah melompati Kun Hong dan mengirim serangan
mati-matian, tidak mempedulikan punggungnya yang masih terasa ngilu dan nyeri.
Mendadak
terdengar suara lengking tinggi dan rajawali emas sudah menerjang Bun Wan,
menggantikan Kun Hong yang masih berdiri termangu-mangu. Burung itu marah
sekali. Biar pun hanya seekor binatang, dia tadi mengerti bahwa sahabatnya
sedang mengobati atau menolong dua orang yang menjadi korban keganasan Hek
Lojin, akan tetapi kenapa yang ditolong oleh sahabatnya itu kini berbalik
menyerang Kun Hong? Maka marahlah dia dan serta merta gerakan Bun Wan tadi
segera dia sambut dengan kepakan sayap dan cengkeraman kukunya yang runcing.
Bun Wan
kaget sekali, namun dia tidak kehilangan akal. Melihat bahwa gerakan burung ini
mengandung kekuataan luar biasa besarnya, dia segera menjejak tanah dan
tubuhnya melayang ke belakang, terluput dari pada serbuan burung itu. Rajawali
emas memekik lagi dan menerjang maju, lebih hebat dari pada tadi.
"Kim-tiauw-ko,
jangan...!" Kun Hong berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke arah burung
rajawali.
Burung itu
meragu ketika mendengar teriakan Kun Hong, menunda serbuannya dan di lain saat
lehernya telah dirangkul oleh Kun Hong.
"Jangan
serang dia...," kata pula Kun Hong, suaranya sedih.
"Kun
Hong, kau manusia tidak tahu malu!" kembali Bun Wan memaki dengan dada
turun naik saking marahnya. "Apakah kau tak bisa mendapatkan lain wanita kecuali
calon-calon isteriku? Apakah karena matamu menjadi buta maka tidak ada wanita
sudi kepadamu? Kami sedang pingsan, namun engkau hendak menggunakan kesempatan
ini berlaku hina kepada Hui Siang. Benar-benar iblis berujud manusia, jahanam!
Kalau memang laki-laki, hayo kita mengadu nyawa, seorang di antara kita harus
menggeletak mampus di sini!"
Kun Hong
hanya tersenyum sedih dan menundukkan mukanya. Sementara itu wajah Hui Siang
menjadi pucat sekali ketika mendengar ucapan kekasihnya ini. Cepat ia memegang
lengan Bun Wan dan diguncang-guncangkan seperti seorang membangunkan seseorang
dari pada mimpi buruk.
"Wan-koko,
diamlah...! Sudah, diamlah jangan bicara dulu...!" Setelah Bun Wan selesai
memaki-maki Kun Hong, baru dia berkata, "Wan-koko, kau salah duga... ahh,
bagaimana kau bisa menjatuhkan tuduhan sekeji itu kepadanya? Wan-koko, kau
lihat ini..."
Ia membuka
bajunya yang robek itu sehingga tampaklah luka bekas jarum-jarum itu pada kulit
dadanya yang putih halus. "Aku tadi terluka oleh tiga batang jarumku
sendiri, aku pingsan dan pasti aku tidak akan dapat berkumpul lagi dalam
keadaan hidup denganmu kalau tidak ada dia yang menolongku. Dia tidak berlaku
kurang ajar, Koko... ahh, jangan salah duga... dia tadi berbuat begitu untuk
menghisap keluar darah yang sudah terkena racun. Tanpa usahanya itu, darah
beracun akan menjalar terus dan merusak jantungku. Wan-koko... kau
sadarlah..."
Bun Wan
merasa seakan-akan mendengar halilintar menyambar di hari terang. Ketika dia
mendengar ini, matanya berkedip-kedip dan mulutnya melongo sambil menatap Kun
Hong yang membelai-belai leher kim-tiauw. Dia tadi merasa kepalanya nanar dan
pening. Kini dia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir rasa pusing itu.
Kemudian dia merangkul leher Hui Siang dan mendekap kepala gadis itu pada
dadanya, matanya dimeramkan dan ketika dibuka kembali tampak dua butir air mata
menitik turun.
"Kun
Hong..." suaranya serak, hampir tidak terdengar, "...Kun Hong... biar
pun aku melek ternyata aku lebih buta dari padamu. Maafkan aku, Kun Hong..."
Kun Hong
tersenyum, bukan senyum sedih lagi, dia gembira dan juga terharu. Sekaligus dia
melupakan sikap Bun Wan yang menyakitkan hati tadi. Untuk melenyapkan suasana
tidak enak, serta merta dia bertanya,
"Bun
Wan, siapakah kakek keji yang merobohkan kalian tadi?"
Bun Wan
masih dalam keadaan terpukul dan terharu, maka suaranya masih menggetar ketika
dia menjawab, "...aku... aku tidak kenal, dia mengaku bernama Hek
Lojin."
Diam-diam
Kun Hong terkejut. Pernah dia mendengar cerita Hui Kauw bahwa The Sun pemuda
cerdik dan sakti itu adalah murid Hek Lojin. Hemm, pantas begitu lihai, kiranya
guru The Sun, pikirnya.
"Kenapa
dia menyerang kalian dan merobohkan secara keji?"
Orang yang
merasa sudah melakukan sesuatu yang salah, dan merasa amat menyesal akan
kesalahannya yang membuat dia nampak tidak baik itu, tentu akan selalu berusaha
mengemukakan alasan segi baiknya untuk menutupi kesalahannya tadi, atau
setidaknya mengurangi kesan-kesan buruk akibat kesalahannya. Apa lagi kalau
orang itu memang memiliki watak yang angkuh.
Demikian
pula dengan Bun Wan. Ia adalah seorang pemuda keturunan ketua Kun-lun-pai,
selamanya menjunjung tinggi kegagahan, merasa bahwa dia sebagai keturunan pendekar
dan patriot, maka kesalahan tadi amat memalukan dan membuatnya menyesal.
Sekarang mendengar pertanyaan Kun Hong, terbukalah kesempatan untuk menonjolkan
diri, untuk menonjolkan segi-segi baik dari dirinya.
"Karena
agaknya dia berpihak kepada kaisar kemudian membenciku sebab mendengar bahwa
aku adalah utusan raja muda di utara. Dia menghina Kun-lun-pai, memaki-maki
mendiang kakek guru dan para tokoh Kun-lun yang dikatakannya para pemberontak.
Aku marahi, tetapi dia lihai... bukan lawan aku dan Hui Siang."
Berubah
wajah Kun Hong mendengar ucapan ini, hatinya berdebar keras dan dia menjadi
sangat terharu. Alangkah jauh menyeleweng pikirannya terhadap Bun Wan selama
ini. Kiranya pemuda ini adalah seorang pejuang pula, malah seorang yang amat
penting, yaitu utusan Raja Muda Yung Lo! Bahkan inilah orangnya yang
dimaksudkan untuk menerima surat rahasia itu.
Dalam
sekelebatan saja otaknya mengingat-ingat dan bekerja. Ahh, tidak aneh, semenjak
dulu memang orang-orang Kun-lun-pai selalu membantu perjuangan dan sudah
terkenal kecerdikan mereka melakukan pekerjaan penyelidikan atau mata-mata.
Masih teringat dia akan ceritera ayahnya mengenai diri Pek-lek-jiu Kwee Sin,
bekas tunangan ibunya, tokoh Kun-lun-pai yang juga menjadi seorang tokoh
mata-mata amat lihai dan cerdik.
Kiranya
pemuda ini menyelundup ke Ching-coa-to hanya untuk mempelajari keadaan dan
menyelidiki keadaan para tokoh kang-ouw sampai kepada tokoh-tokoh jahatnya!
Agaknya dalam menjalankan tugasnya ini, pemuda gagah itu tersandung batu asmara
dan terlibat tali-talinya yang ruwet dengan Hui Siang! Dia menjadi terharu
sekali, lalu cepat-cepat dia mengulurkan tangan memegang tangan Bun Wan.
"Wah,
aku sampai lupa. Saudara Bun Wan, kau duduklah bersila. Kau harus mendapat
pengobatan cepat-cepat karena lukamu di dalam akibat pukulan pada punggungmu
cukup parah." Ucapannya kini terdengar halus dan penuh sayang.
Bun Wan
merasa akan hal ini, akan tetapi dia tidak membantah karena dia pun maklum akan
bahayanya luka oleh tamparan tangan kakek sakti tadi. Cepat dia duduk bersila
dan membiarkan Kun Hong mengobatinya.
Pendekar
Buta itu bersila pula di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan pada
punggung dan leher Bun Wan sambil mengerahkan sinkang-nya. Bun Wan dapat merasa
betapa dari kedua telapak tangan itu menjalar hawa yang panas dan dingin, hawa
panas dari telapak tangan kanan dan hawa dingin dari yang kiri.
Diam-diam
dia kagum bukan main dan menjadi terharu. Alangkah hebat dan baiknya hati
Pendekar Buta ini dan alangkah buruk nasibnya. Diam-diam dia melamun. Urusan
dahulu dengan Cui Bi terbayang dalam benaknya. Dan teringatlah dia akan
urusannya sendiri dengan Hui Siang.
Seperti juga
dia dan Hui Siang, Pendekar Buta ini dahulu terlibat oleh tali asmara dengan
Cui Bi, tanpa dia ketahui bahwa Cui Bi telah ditunangkan dengannya sehingga
percintaan itu berakhir secara amat menyedihkan. Sekarang, kembali dia tadi
sudah mendatangkan penghinaan, menuduhnya yang bukan-bukan.
Padahal Kun
Hong hanya menolong Hui Siang, mungkin merenggut nyawa kekasihnya itu dari pada
tangan maut. Dan dia sudah menghinanya, menuduh yang bukan-bukan seperti yang
pernah dia lakukan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, seperti yang
dia lakukan pula belum lama ini di Ching-coa-to, menuduh Kun Hong mempermainkan
Hui Kauw. Ternyata yang mendatangkan pikiran yang bukan-bukan terhadap diri
Pendekar Buta ini hanyalah akibat sakit hati karena urusan Cui Bi saja, membuat
Pendekar Buta ini selalu salah dalam pikirannya.
Ternyata
semua itu tidak benar. Kun Hong benar-benar seorang pendekar yang bersih dan
sekarang ditambah lagi dengan bukti bahwa betapa pun sudah berkali-kali dihina
olehnya kini Pendekar Buta itu duduk bersila di belakangnya mengerahkan tenaga
dalam untuk menyembuhkannya! Tidak terasa lagi bebetapa butir air mata mengalir
turun dari pelupuk mata Bun Wan.
Apa bila dia
ingat sekarang, dengan pikiran baru karena kesadarannya, dialah orangnya yang
tanpa disengaja telah menggagalkan hubungan antara Kun Hong dan Cui Bi, dialah
orangnya yang tanpa disengaja telah menghancurkan kebahagiaan Kun Hong. Semua
itu masih dia tambah dengan sengaja untuk menghinanya, mendakwanya yang
bukan-bukan, menanam bibit kebencian di dalam hatinya sendiri.
Dan kini Kun
Hong membalasnya dengan kebaikan, dengan pertolongan besar, mungkin dengan
penyelamatan nyawa dia dan Hui Siang karena siapa tahu kalau-kalau dia dan
kekasihnya tidak dibunuh kakek sakti itu karena kedatangan Kun Hong! Dia akan
segera bertanya tentang ini setelah selesai pengobatan itu. Sekarang tidak
mungkin Pendekar Buta itu diajaknya bicara karena dia tahu bahwa Kun Hong
tengah mengerahkan tenaga sinkang untuk menyembuhkannya.
Semakin lama
hawa panas itu semakin membakar di samping hawa dingin yang terasa
menusuk-nusuk. Kedua hawa itu berputaran di sekitar punggungnya dan
mendatangkan rasa nikmat luar biasa, mengusir rasa pegal dan sesak di dadanya.
"Untung
lweekang-mu sudah kuat sekali," akhirnya Kun Hong berkata sambil
melepaskan kedua tangannya, "sehingga pukulan itu dapat tertahan
olehmu."
Kun Hong
bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Bun Wan juga berdiri dan selagi ia
hendak menghaturkan terima kasihnya sambil bertanya mengenai munculnya Kun
Hong, Pendekar Buta itu sudah mendahului berkata,
"Bun
Wan, kaukah orang yang diutus Raja Muda Yung Lo untuk menerima surat rahasia
peninggalan mendiang kaisar tua?"
Bun Wan
kaget. Sebelum pertemuannya dengan Kun Hong sekarang ini, kalau dia ditanya
demikian, sudah tentu dia akan menyangkal keras. Akan tetapi tadi dia sudah
mengaku, maka dia menjawab tanpa ragu lagi, "Betul!"
Kun Hong
tersenyum.
"Lama
sekali aku mencari-cari orangnya, mengharapkan kedatangannya, kiranya engkau
malah orang itu. Jangan kau khawatir, Bun Wan. Surat itu selama ini berada di
tanganku dan sekarang sudah diantarkan kepada Raja Muda Yung Lo."
Kaget dan
herannya Bun Wan tidak kepalang besarnya sampai dia melongo. "Apa kau
bilang? Kau tahu surat wasiat itu?"
"Tentu
saja aku tahu. Paman Tan Hok sendiri yang berkata kepadaku sebelum beliau
meninggal. Surat itu disimpan secara rahasia di dalam mahkota kuno dan..."
"Tetapi
mahkota itu terampas oleh nona Loan Ki..."
"Heee?
Kau bilang Loan Ki?" Kini Kun Hong yang terheran-heran.
Bun Wan lalu
menceriterakan perebutan mahkota itu antara dia dan Loan Ki yang dibantu oleh
seorang pemuda aneh dan kemudian dibantu pula oleh Hui Kauw sehingga terpaksa dia
meninggalkan mahkota itu kepada mereka.
Kun Hong
tersenyum girang, mengangguk-angguk. "Bagus, Loan Ki tidak seperti
ayahnya, ada juga jiwa pahlawan di dalam dadanya, ha-ha-ha! Lucunya, kau dan
mereka itu telah memperebutkan mahkota dengan tujuan yang sama, karena mereka
pun tidak rela kalau surat itu terjatuh ke tangan kaisar yang sekarang. Dan
yang lebih lucu lagi, kalian semua memperebutkan mahkota yang kosong karena
surat itu sudah berada padaku. Sekarang telah dibawa oleh Sin Lee dan isterinya
ke utara."
Bukan main
girangnya hati Bun Wan dan di samping kegirangan yang luar biasa karena surat
rahasia penting itu sudah diselamatkan dan berhasil dikirimkan ke utara, juga
dia menjadi kagum dan terharu terhadap Kun Hong. Siapa kira, Kun Hong yang buta
dan yang dahulu dia pandang rendah ini tidak saja menjadi penolongnya, malah
telah berjasa menyelamatkan surat wasiat itu!
Kekagumannya
yang memuncak membuat dia lalu merasa betapa jahat dan rendahnya sikapnya
kepada Kun Hong, betapa besar dosanya terhadap orang buta itu. Penyesalan yang
luar biasa menyelubungi hati Bun Wan. Dia berdiri tegak, tetesan air mata masih
membasahi pipinya. Dengan perasaan menyesal dia memandang Kun Hong yang masih
saja tersenyum-senyum di depannya itu. Dalam pandangannya, senyum di wajah yang
tidak berbiji mata itu mendatangkan perasaan yang menusuk-nusuk jantungnya,
menimbulkan iba yang menjadi-jadi.
Dia teringat
akan Kun Hong sebelum buta, seorang pemuda tampan dan halus, seorang pemuda
yang dengan gagah berani menghadapi lawan-lawan berat di puncak Thai-san. Dan
karena dia tidak mau mengalah, karena dia membeberkan rahasia di depan orang
banyak, Kun Hong yang tampan dan bermata tajam seperti mata burung rajawali
emas itu kini menjadi buta! Bun Wan merasa betapa dadanya perih laksana ditusuk
pisau.
"Saudara
Kun Hong, kiranya kau adalah seorang pendekar besar yang patut kusembah dan
kujunjung tinggi. Ah, selama ini aku benar-benar telah buta. Kedua mataku tidak
ada gunanya sama sekali, tidak dapat melihat siapa adanya engkau ini. Apa lagi
kalau aku ingat bahwa kebutaan kedua matamu adalah karena aku... ah, dan kau
sudah menolong keselamatan nyawaku dan nyawa Hui Siang... dan kau pun sudah
menyelamatkan surat wasiat... benar-benar aku menyesal. Tidak patut aku menjadi
keturunan Kun-lun-pai!" Suara terakhir ini mengandung isak tertahan.
"Hushhh,
kau jangan bicara seperti itu, Saudara Bun Wan. Tidak perlu kau
membongkar-bongkar peristiwa lama. Kebutaanku adalah sudah dikehendaki Thian
Yang Maha Kuasa, tidak perlu siapa pun menyesalkan. Kau seorang pendekar,
seorang keturunan pahlawan, kau patut menjadi tokoh Kun-lun-pai."
"Ah,
ucapanmu ini menunjukkan kebersihan hatimu, bahwa kau tidak pernah mendendam,
dan aku selama ini... ah, Saudara Kun Hong, selama hidupku aku akan terus
menyesal dan penyesalanku tidak akan pernah berakhir tanpa pengorbanan!"
"Saudara
Bun Wan, jangan...!"
Kun Hong
hanya dapat menduga dengan perasaannya yang halus saja bahwa pemuda Kun-lun
yang berhati keras itu akan melakukan sesuatu yang ‘gila’. Akan tetapi karena
matanya buta, tidaklah dapat dia melihat apa yang akan dilakukannya itu, maka
dia hanya dapat mencegah dengan mulut.
Terdengar
gerakan cepat disusul pekik Hui Siang, "Wan-koko...! Ah, Wan-koko...
kenapa kau lakukan ini...?" Gadis itu menangis.
Kun Hong
hanya berdiri pucat, tidak tahu bahwa untuk menyatakan penyesalan hatinya,
dengan nekat Bun Wan sudah menggunakan jari tangannya mencokel keluar sebuah
biji matanya sebelah kanan! Darah keluar dari lubang mata kanannya itu, akan
tetapi pemuda itu dengan tegak masih berdiri, ditangisi oleh Hui Siang yang
menjadi kebingungan tidak karuan.
"Ha-ha-ha-ha,
Saudara Kun Hong. Puaslah hatiku kini. Untuk membutakan kedua mataku seperti
yang telah kau lakukan, aku tak sanggup karena ilmu kepandaianku tidak mungkin
setinggi tingkatmu. Aku masih membutuhkan mataku yang sebelah lagi demi...
demi... Hui Siang..."
"Ahhh...!"
Pucat wajah
Kun Hong dan sekali berkelebat dia sudah berada di hadapan Bun Wan. Tangannya
meraba muka pemuda Kun-lun-pai itu dan tahulah dia kini bahwa pemuda itu
benar-benar telah melakukan perbuatan gila, telah membutakan mata kanannya
sendiri!
"Kau
gila...! Bun Wan, mengapa kau lakukan ini?"
Dengan suara
gemetar Bun Wan berkata, "Kau pun telah membutakan kedua matamu, karena
aku! Dan kau berani membutakan mata biar pun kau seorang yang tidak bersalah
dan kau masih mampu menjalani hidup ini dengan gagah perkasa, bahkan masih
dapat menolong kami yang bermata! Kalau kau berani sehebat itu, apa artinya aku
yang hanya berani membutakan sebelah mata karena penyesalanku dan karena
dosa-dosaku...?"
"Gila...!
Bocah gila...!"
Kun Hong
cepat menotok jalan darah di tengkuk Bun Wan, kemudian dia menggunakan
tongkatnya untuk mencoret beberapa huruf di dekat kakinya sambil menahan
keharuan hatinya. Dengan suara serak dia pun berkata, "Kau carilah obat
yang kutulis ini, kau pakai mengobati matamu... ahhh, tidak kusangka akan
begini... Bun Wan, Hui Siang, selamat tinggal..."
Cepat-cepat
Kun Hong membalikkan tubuh dan pergi dari situ agar tak tampak oleh dua orang
itu betapa ada dua titik air mata menetes turun dari pelupuk matanya yang sudah
kosong. Burung rajawali emas mengeluarkan suara merintih panjang, terbang di
atasnya dan mengikutinya pergi dari situ, dipandang oleh Bun Wan yang masih
berdiri tegak dan yang ditangisi Hui Siang yang memeluknya. Di bawah, di depan
kaki pemuda Kun-lun-pai itu, di atas batu yang sangat keras, terdapat
huruf-huruf coretan dalam, tadi dibuat oleh tongkat Kun Hong, menggores dalam
seperti dipahat saja….
***************
Sudah
sebulan lebih Kong Bu beserta isterinya, Li Eng, meninggalkan puncak Min-san.
Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga pada saat perginya, kakek
Song-bun-kwi muncul di Min-san. Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut
kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati
mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,
"Kalian
dengar baik-baik. Thai-san-pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, dan
banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, sekarang ayahmu Tan
Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-san untuk mencari jejak musuh dan Cui
Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera ketua Thai-san-pai, apa bila tidak cepat
turun gunung membalas sakit hati ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali puthauw
(durhaka), selain goblok tidak bisa mempunyai keturunan juga durhaka karena
tidak tahu budi orang tua." Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu
membalikkan tubuh lari pula turun gunung.
Kong Bu dan
isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih
saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai keturunan. Sakit hati
mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya
tabah dan keras hati itu sudah menangis.
"Eng-moi,"
Kong Bu menghibur sambil memeluk isterinya, "sabarlah, sudah tidak aneh
lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak
keras dan aneh."
Li Eng
menggelengkan kepala. "Bukan itu... bukan itu..." kata Li Eng menahan
isak. "Aku bersumpah, sebelum aku dapat melihat adik Cui Sian kembali
kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-san-pai, aku
tidak akan mau pulang ke Min-san."
Kong Bu
mengangguk. "Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu ayah mencari
adik Cui Sian sekalian membalas musuh-musuh itu."
Demikianlah,
sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-san dan
mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Semenjak mereka menikah empat
tahun yang lalu, baru kali ini mereka melakukan perjalanan berdua, turun
gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan alangkah menyenangkan
perjalanan ini, alangkah menggembirakan!
Perjalanan
ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang
aneh, lucu dan mesra. Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing
sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuhan mengadu
ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang
setingkat.
Akhirnya Li
Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, ke mana-mana dipondong
di luar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan menggunakan akal, Li Eng dapat
merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu
dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang
jalan. Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu,
menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra,
dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih
mesra di antara mereka.
Memang
sesungguhnya sangatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti
ini. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati,
segalanya sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, tiap hari
terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan
mudah mendatangkan rasa bosan.
Tanpa
disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban
rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka
menjadi hamba dari pada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa
mereka menjadi sebagian dari pada bangunan mesin rumah tangga yang mereka
bentuk sendiri. Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu
menghendaki yang baru dan mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia
maka tubuh ini pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru,
selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru.
Begitu pula
dengan suami isteri. Karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan
sendirinya mereka pun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan
kebahagiaan rumah tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal
baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan
membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah
tangga, akan memperbarui atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri.
Suami isteri
harus pandai memilih saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri dari pada
keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri dari
pada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.
Demikianlah,
dengan kepergian mereka turun gunung, tanpa disengaja Kong Bu dan Li Eng sudah
menciptakan suasana baru. Tidak mengherankan apa bila mereka merasakan
kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka
kini memasuki hidup baru yang jauh berbeda dari pada kehidupan mereka
sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-san.
Biasanya
setiap hari mereka hanya mengenal hal-hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi,
melatih para murid, bekerja di ladang, melatih murid-murid lagi, malamnya
berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal mereka setiap hari.
Pemandangan alam yang dilihat pun itu-itu juga. Kasihan, kan?
Sekarang,
begitu keduanya turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru,
pemandangan baru, pendengaran baru dan semuanya ini menyiram bunga kebahagiaan
yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, bibir
mereka pun tersenyum-senyum, kemerahan pipi Li Eng pada saat memandang
suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu pada saat menatap wajah isterinya,
dan keduanya mendapatkan kebagiaan baru dalam perjalanan ini.
Seperti juga
yang telah dilakukan oleh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-san-pai dan
oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-san ini pun melakukan penyelidikan
di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk
dimintakan keterangan, kalau-kalau ada di antara mereka yang mendengar
siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-san. Akan tetapi tak ada seorang pun di
antara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat
menduga-duga siapa yang memusuhi Thai-san.
Malah berita
ini lalu mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena kejadian itu sudah
pasti akan berekor panjang. Siapa mereka yang begitu berani mati mengganggu
Thai-san-pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw kini
menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tentu saja
tidak boleh tidak pihak Thai-san-pai akan melakukan pembalasan!
"Tidak
ada lain jalan, isteriku," kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang
mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar, "kita harus
mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-san itu agaknya
dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku,
mereka yang menyerbu Thai-san-pai pasti keluarga atau pun handai-taulan dari
musuh-musuh ayah. Tanpa dasar dendam sakit hati, siapakah orangnya yang berani
dan mau menyerbu Thai-san-pai sedangkan ayah terkenal sebagai seorang pendekar
besar?"
Li Eng
sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon
itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk.
Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab, "Memang agaknya begitu, akan
tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu
mereka mengganggu Thai-san-pai?"
Kong Bu
setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar
dicari bandingannya di dunia kang-ouw, ibu tirinya juga seorang pendekar pedang
wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang sakti, takkan mungkin
berani mengganggu ke sana, apa lagi sampai berhasil merusak binasakan dan
menculik Cui Sian.
Ia
mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi ayahnya. Siauw-ong-kwi tokoh utama
dari utara dan muridnya, Siauw-coa-ong Giam Kin, keduanya sudah sama tewas
dalam pertemuan di Thai-san. Toat-beng Yok-mo juga sudah tewas, begitu pun Pak
Thian Lo-cu dan Hek-hwa Kuibo.
Tokoh-tokoh
utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan di antara empat besar yaitu
Song-bun-kwi dari barat, Swi Lek Hosiang dari timur, Siauw-ong-kwi dari utara
dan Hek-hwa Kui-bo dari selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya,
Song-bun-kwi dan Swi Lek Hosiang.
Akan tetapi
Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh ayahnya.
Ada pun kakeknya, walau pun dahulu memusuhi ayahnya, akan tetapi sekarang tidak
mungkin lagi, malah membantu. Siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke
Thai-san? Terbayanglah wajah Hek-hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat
siapa sanak keluarga nenek iblis ini.
Tiba-tiba
dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya. "Wah, kalau bukan mereka
siapa lagi?"
Mendengar
suara suaminya ini, Li Eng lalu membuka kedua matanya yang mengantuk,
terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.
"Ehh,
kau teringat siapakah?" tanyanya, terganggu karena tadi dia hampir pulas
saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.
"Ketemu
sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?"
Li Eng kini
melempangkan punggungnya, duduknya tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka
lebar menatap wajah suaminya. "Duduklah yang baik, bicara yang benar!
Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang
dulu saja."
"Eh,
ehh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?" Kong Bu segera
duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya. "Sejak dahulu kekasihku
hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan
teringat akan murid mendiang Hek-hwa Kui-bo, yaitu ketua Ngo-lian-kauw yang
berjuluk Kim-thouw Thian-li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia
sudah tewas tetapi Ngo-lian-kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat.
Orang-orang Ngo-lian-kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut
dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam
penyerbuan Thai-san-pai."
Li Eng
mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk. "Betul
juga katamu, kalau mengingat mereka, aku pun curiga. Perkumpulan iblis itu
dapat melakukan kejahatan yang bagaimana pun juga."
"Aku
tahu sarangnya!" Kong Bu berkata cepat. "Ngo-lian-kauw (Perkumpulan
Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah barat kota raja
dan sebelah utara kota Ho-pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga."
Kong Bu
melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang
masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya
kini kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng,
menarik-nariknya mengajak bangun. "Hayo, bangunlah...!"
Tetapi dia
menjadi keheranan ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri,
malah merenggut tangannya.
"Ihhh,
kenapakah kau ini?" Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya.
"Kenapa malas benar? Atau tidak enakkah badanmu?"
"Entahlah,
aku malas... ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat
panas, aku ogah melakukan perjalanan. Di sini enak sekali, sejuk dan nyaman.
Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru
amat?”
Kong Bu
memandang amat terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya.
Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak
bagai burung walet, tak mau diam apa lagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah
yang terjadi? Kenapa isterinya mengalami prerubahan watak begini aneh?
"Eng-moi,
sakitkah kau...?" Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat
isterinya.
Akan tetapi
Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku, "Jangan
ganggu aku! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!" Dan ia tidak mau
pedulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar
berusaha untuk tidur.
Kong Bu
tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar
biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah,
akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, bisa diketahui
dari pernapasannya yang panjang. Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda
keberangkatannya ke sarang Ngo-lian-kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang
dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-san-pai.
Memang panas
hawa pada tengah hari yang amat terik itu. Biar pun sinarnya ditangkis oleh
dahan-dahan pohon, tapi sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan
mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu, dan Kong Bu perlahan-lahan
mengantuk juga setelah lama dia memandang wajah isterinya yang sudah tidur
pulas dengan aman tenteramnya.
Akan tetapi
selagi dia layap-layap hendak pulas, dia terbangun lagi. Cepat dia duduk dan
memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan. Suara
orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang
berjalan menuju ke mari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata dalam
lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu. Dia memperhatikan.
Mendengar suara nyaring itu diam-diam dia dapat menduga bahwa orang yang lewat
di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.
Kemenangan
melahirkan kesombongan
menimbulkan
benci permusuhan
hidup tak
tenteram lagi.
Kekalahan
melahirkan penasaran
menimbulkan
dendam memupuk pembalasan
hidup tak
tenteram lagi.
Yang melempar
jauh-jauh kemenangan mau pun kekalahan
dialah orang
bahagia.
Yang
dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman
adalah
kemenangan batin!
Suara orang
yang bernyanyi itu kini tidak semakin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga
berhenti, akan tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau
seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh
tertawa,
"Ha-ha-he-he-he,
pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya,
bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci di antara segala
ayat dari pada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayatnya tetap
suci, para pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci
tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"
Diam-diam
Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat
menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya
ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasanya melakukan sembahyang dan
berdoa dengan lagu seperti itu. Tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut
kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apa lagi pada saat itu dia
bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk
di hari hujan.
Mengenal
keadaan orang lain memang bijaksana
mengenal
diri sendiri barulah waspada.
Mengalahkan
orang lain memang kuat badannya
mengalahkan
diri sendiri barulah kuat batinnya.
"He-he-heh,
segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tek-keng. Akan tetapi hanya
mulut... mulut...! Lidah tidak bertulang, orang nampak manis pada mulutnya,
gigi nampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor... kotor... palsu!
Ha-ha-ha-he-he-he, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang.
Mulut dan hati bagaikan bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti
terang dengan gelap!"
Terdengar
suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh
seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tak boleh main-main. Lebih
baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya.
Dia sudah
banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis.
Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio
(Buddha) mau pun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci
mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, meski pun mengejek kepalsuan
mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang
ini amatlah berbahaya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment