Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 15
"Kun
Hong, kalau aku dahulu membujukmu supaya ikut denganku ke puncak gunung dan
bertapa, sekarang sudah tak mungkin lagi. Kau telah mengikatkan dirimu dengan
pelbagai urusan dunia dan sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan
engkau harus terus melanjutkan semua tugasmu sampai selesai. Selama ini aku
selalu mengikuti sepak terjangmu, dan jurus yang kau mainkan untuk membunuhi
lawan-lawanmu itu sungguh-sungguh keji sekali!"
Kun Hong
terkejut sekali, mengeluh dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
"Ahh, Susiok... berilah petunjuk..."
Diam-diam
dia merasa malu terhadap diri sendiri. Kiranya susiok-nya ini sekarang sudah
menjadi orang yang demikian saktinya sehingga dapat mengikuti semua
pengalamannya. Benar-benar hebat.
"Dahulu
teecu pernah berlancang mulut memberi nasehat kepada Susiok supaya jangan
membunuh Hwa-i Lokai, sekarang teecu sendiri malah telah banyak membunuh
orang."
"Kun
Hong, aku tidak bisa menyalahkanmu karena perbuatanmu itu semata-mata hanya
dalam tugas membela diri, sama sekali tidak ada niat sebelumnya di dalam hatimu
untuk membunuh. Kau masih muda, tapi banyak kali hatimu terluka, terutama oleh
peristiwa di puncak Thai-san di mana kau kehilangan kekasih dan sekaligus
kehilangan sepasang mata. Semua itu terjadi karena kau terlalu diperhamba oleh
perasaan dan sekarang pun masih menjadi hamba perasaanmu sendiri sehingga tanpa
kau sengaja kau malah telah menghancurkan pengharapan dan kebahagiaan seorang
wanita mulia seperti nona muka hitam itu."
Kakek itu
menarik napas panjang dan Kun Hong tiba-tiba menjadi merah mukanya. Bukan main
kakek ini. Sampai urusannya dengan Hui Kauw sekali pun sudah diketahuinya.
"Susiok,
mohon petunjuk...," dia hanya dapat mengulang kata-kata ini.
"Agaknya
sudah menjadi kehendak alam bahwa manusia ini hidupnya dipengaruhi dan
dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan
perbuatan. Jadi setiap perbuatan merupakan pelaksanaan dari pada kehendak yang
akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya sering kali dipermainkan
oleh nafsu. Nafsu inilah pokok pangkal segala peristiwa di dunia, karena
nafsulah yang mendorong segala sesuatu di dunia ini sehingga dapat berputar.
Nafsu ini besar kecilnya tergantung pada pihak ke’aku’an yang ada pada diri
setiap manusia. Orang yang selalu memikirkan diri sendiri, orang yang selalu
mementingkan diri pribadi, dialah seorang hamba nafsu dan sering sekali
melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran."
Kun Hong
adalah seorang pemuda yang sejak kecil banyak membaca filsafat, dan filsafat di
atas sudah pula diketahuinya. Akan tetapi, selama ini tidak pernah dia
mendapatkan seorang teman untuk diajak berdebat tentang kebenaran
filsafat-filsafat itu, maka saat ini berhadapan dengan seorang sakti, dia
sengaja ingin memperdalam arti pengetahuannya dan minta petunjuk agar tidak
terlalu risau hatinya.
"Susiok,
kalau begitu, apakah sebaiknya kita membunuh saja nafsu diri sendiri sehingga
terhindar dari pada penyelewengan dalam hidup?"
Sin-eng-cu
Lui Bok tertawa. "Aku tahu bahwa kau sudah mengerti akan hal ini akan
tetapi agaknya menghendaki keyakinan. Baiklah, akan kucoba untuk menjelaskan.
Ada orang yang bertapa dan sengaja berusaha untuk membunuh nafsunya sendiri.
Sudah tentu bagi orang-orang yang melakukan hal demikian usaha ini benar. Akan
tetapi bagi aku pribadi, usaha seperti itu bukanlah merupakan jalan untuk
mencapai kesempurnaan. Nafsu tidak boleh dibunuh karena seperti yang sudah
kukatakan tadi, nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala di dunia ini
hingga dapat berputar dan berjalan sebagaimana mestinya menurut hukum alam.
Tanpa adanya nafsu, dunia akan sunyi, akhirnya segala akan mati dan diam tak
berputar lagi. Karena itulah maka kuanggap keliru bila ada yang berusaha
mencari kesempurnaan dengan jalan membunuh nafsu-nafsunya sendiri."
Kun Hong
mengangguk-angguk. Dia pun pernah membaca mengenai orang-orang yang
berkeyakinan bahwa jalan menuju arah keutamaan dan kesempurnaan adalah membunuh
nafsunya sendiri. Dan dia dapat menerima pendapat paman gurunya ini.
"Kalau
begitu, bagaimana seyogyanya menghadapi nafsu-nafsu sendiri yang kadang kala
menyeret kita dalam perbuatan-perbuatan maksiat itu, Susiok?"
"Nafsu
adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia kalau
boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu merupakan kuda-kudanya
yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat bergerak maju sendiri
tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda nafsunya memang liar dan
binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar dan membedal semauaya
sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu, akan dapat menjerumuskan kereta ke
dalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin berikut kusirnya sekalian karena
kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang sejati, jiwa yang menguasai seluruh
kereta. Kalau kusir itu cukup pandai mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan
tali-temali berupa kesadaran, maka kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu
dapat dipergunakan tenaganya untuk menarik maju si kereta menuju ke jalan yang
benar, sesuai dengan kehendak alam. Segala sesuatu harus bergerak maju, namun
kemajuan yang lurus dan benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng
pasti akan hancur ke dalam jurang kesengsaraan. Mengertikah kau, Kun
Hong?"
Kun Hong
mengangguk-angguk. "Teecu mengerti, Susiok. Sungguh teecu tak menyangka
bahwa Susiok tahu akan segala peristiwa yang menimpa teecu, bahkan secara
kebetulan Susiok turut menyaksikan pula diserbunya Thai-san-pai oleh
orang-orang jahat sehingga Susiok berhasil menyelamatkan Cui Sian. Akan tetapi,
Susiok, bolehkah teecu bertanya, mengapa Susiok tidak membantu paman Beng San
menghadapi orang-orang jahat yang merusak Thai-san-pai?"
"Aku
tidak perlu mencampuri urusan pertempuran-pertempuran orang lain, hal itu bukan
urusanku. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Cui
Sian menjadi korban pertentangan orang-orang tua itu."
Kun Hong
merasa tidak puas, dia mengerutkan keningnya. "Maaf, Susiok, terpaksa
teecu harus membantah. Sungguh pun pertempuran itu bukan urusan Susiok, namun
kiranya Susiok dapat membela kebenaran. Bukankah sikap seorang gagah harus
selalu membela kebenaran dan keadilan di dunia ini?"
Sin-eng-cu
Lui Bok tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, Kun Hong, kau bilang kebenaran dan
keadilan, akan tetapi kebenaran yang mana dan keadilan yang mana? Kebenaran
untuk siapa dan keadilan untuk siapa? Anakku, tahukah kau bahwa dunia ini
menjadi kacau, manusia saling bermusuhan, tidak lain dan tidak bukan hanya
karena mereka itu saling memperebutkan kebenaran? Kebenaran itu hanya satu,
akan tetapi menjadi banyak sekali sifatnya karena tiap orang mempunyai
kebenarannya sendiri-sendiri! Benar dan adil bagi yang satu, belum tentu benar
dan adil bagi yang lain. Dan apa bila ada dua orang saling bermusuhan untuk
memperebutkan kebenaran, katanya, maka jelaslah bahwa keduanya sudah
menyeleweng dari pada kebenaran sejati dan yang mereka perebutkan itu adalah
kebenaran palsu, karena kebenaran untuk dirinya sendiri, kebenaran dan keadilan
demi kepentingan masing-masing. Kalau di waktu itu aku membantu Thai-san-pai,
apa kau kira mereka yang memusuhi Thai-san-pai menganggap aku benar dan adil?
Ha-ha-ha, kurasa tidak, muridku."
Tentu saja
Kun Kong dapat menerima ini karena dia pun sudah tahu akan filsafat tentang
kebenaran ini. Akan tetapi dia masih penasaran karena dia amat yakin bahwa
kebenaran berada di pihak pamannya.
"Maaf,
Sosiok. Memang tepat apa yang Susiok uraikan itu, akan tetapi, Susiok, teecu
yang bodoh berpendapat bahwa dengan melihat watak orangnya, mudah ditarik
kesimpulan siapa yang benar di antara dua orang yang bermusuhan. Juga dengan
pertimbangan dan akal, dapat pula kita menilai dari urusan-urusannya, siapa
yang patut disebut berada di pihak kebenaran. Saya kira, tidak mungkin apa bila
paman Tan Beng San yang terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa
dan luhur budi pekertinya, tidak berada di pihak benar."
"Belum
tentu juga, Kun Hong. Yang datang menyerbu adalah orang-orang yang hendak
membalas dendam atas kematian orang-orang yang mereka kasihi dan dalam hal ini,
isi hati mereka sama sekali tidak ada bedanya dengan isi hatimu sekarang yang
hendak membalas dendam Thai-san-pai terhadap mereka yang telah
merusaknya."
"Ahhh...
begitukah kiranya...??" Kun Hong tercengang. "Bagaimana, Susiok
apakah yang teecu harus lakukan? Harap beri petunjuk."
"Kau
masih muda, Kun Hong. Kau sudah melibatkan dirimu dalam tali-temali karma,
tidak mungkin kau dapat membebaskan dirimu sekarang. Akan tetapi, jalan
satu-satunya untuk mendapatkan karma yang baik adalah bertindak selaras dengan
kebajikan. Dengan dasar kebajikan dan kesadaran, kau boleh menentukan sendiri
yang mana yang harus kau bela. Engkau berbeda dengan aku, engkau adalah seorang
pendekar muda, harus melangkah atas dasar jejak satria. Aku seorang pertapa
yang sudah mencuci tangan, sudah bebas dari pada ikatan duniawi, atau
setidaknya, yang sedang berusaha untuk pembebasan itu. Kau lanjutkan saja
pelaksanaan tugas-tugasmu karena semua itu tidak menyeleweng dari pada
kebenaran. Kalau kau menimbang bahwa menyampaikan surat rahasia kepada raja
muda yang berhak menerimanya itu sudah benar dan patut, kau lakukanlah itu.
Kalau kau merasa bahwa orang-orang yang menyerbu Thai-san-pai itu berada di
pihak keliru, kau boleh mencari dan menghajar mereka. Mereka adalah orang-orang
Ching-coa-to bersama teman-temannya, hampir semuanya mempunyai dendam terhadap
Thai-san Paicu (ketua Thai-san-pai). Ada pun tentang diri nona muka hitam itu,
dialah wanita satu-satunya yang tepat untuk menggantikan kedudukan mendiang
nona Tan Cui Bi di sampingmu."
Mendengar
kata-kata ini muka Kun Hong berubah menjadi merah dan hatinya berdebar tidak
karuan. Disinggung-singgungnya Hui Kauw dalam percakapan ini membuat dia tidak
dapat membuka mulut lagi.
"Sekarang
perhatikan baik-baik nasehatku yang terakhir, Kun Hong. Aku sudah melihat
sebuah jurusmu yang sangat hebat dan keji itu, jurus perkawinan antara Im-yang
Sin-hoat dan Kim-tiauw-kun. Dari dua macam ilmu kesaktian yang amat lurus dan
bersih, kenapa bisa diciptakan menjadi sebuah jurus yang demikian keji? Siapa
yang memberi petunjuk kepadamu?"
"Locianpwe
Song-bun-kwi,” jawab Kun Hong terus terang.
"Ha-ha-ha,
pantas, pantas saja kalau dia, si tua bangka dimabuk nafsunya sendiri itu! Kun
Hong, seandainya gurumu, Bu Beng Cu masih hidup dan dapat melihat jurusmu itu,
sudah pasti beliau akan merasa sedih dan malu sekali. Juga kalau pamanmu Tan
Beng San melihatnya, kau tentu akan mendapat marah. Jurus apa itu
namanya?"
Dengan
perasaan sungkan dan malu Kun Hong menjawab lirih, "Locianpwe Song-bun-kwi
yang memberi nama... ehh, jurus Sakit Hati..."
"Ha-ha-ha,
namanya sama jahatnya dengan jurusnya. Tepat, tepat!" dia terkekeh-kekeh
geli. "Tahukah engkau untuk apa gunanya orang mempelajari ilmu
silat?"
"Untuk
membela diri, menjaga diri dari pada serangan dari luar, dan untuk membela
pihak yang tertindas, kaum lemah yang membutuhkan pertolongan, juga untuk
menundukkan pihak yang mempergunakan kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang,
untuk membela kebenaran dan keadilan."
"Hemmm,
kalau kau sudah tahu ini, kenapa menciptakan jurus yang khusus hanya untuk
membunuh orang?"
Suara kakek
ini demikian bengis sehingga buru-buru Kun Hong berkata, "Teecu salah
selanjutnya tidak akan berani menggunakan jurus sesat itu lagi..."
Suara kakek
itu lunak kembali ketika berkata, "Bukan begitu maksudku. Kau juga berhak
menggabungkan Im-yang Sin-hoat dengan Kim-tiauw-kun, apa lagi kalau diingat
bahwa kedua ilmu silat itu sumbernya sama, yaitu peninggalan dari Sucouw Bu Pun
Su. Tanpa dasar dendam dan sakit hati kau akan dapat menciptakan jurus-jurus
sakti dari kedua ilmu itu, malah tidak terbatas hanya satu jurus saja. Biarlah
aku menggunakan kesempatan sekarang ini untuk memberi petunjuk kepadamu. Nah,
kau bersilatlah dengan Im-yang Sin-kiam-sut kemudian Kim-tiauw-kun agar dapat
kulihat kemungkinan dan letak rahasia penggabungannya nanti."
Dengan
girang Kun Hong lalu bersilat, mainkan tongkatnya dengan Ilmu Pedang Im-yang
Sin-kiam-sut yang telah dia pelajari dari Tan Beng San. Kemudian dia bersilat
lagi dengan Kim-tiauw-kun, dengan langkah-langkahnya yang ajaib beserta
gerakan-gerakannya yang aneh.
Berkali-kali
Sin-eng-cu Lui Bok berseru menyatakan kekagumannya dan pada akhirnya dia
berkata, "Hebat sekali! Aku tua bangka Lui Bok benar-benar berbahagia
sekali, mata tua ini masih dapat menyaksikan kedua ilmu silat sakti dimainkan
olehmu begitu baiknya. Gurumu, mendiang Suheng Bu Beng Cu tentu akan bangga
sekali bila dapat melihatmu, malah Sucouw Bu Pun Su sendiri tentu tidak pernah
mengira bahwa ilmu ciptaannya akan dapat dimainkan sehebat ini oleh seorang
cucu murid yang buta."
Selanjutnya
kakek yang sakti ini, yang selama berdiam di puncak Liong-thouw-san sudah
memperdalam ilmunya, memberi petunjuk-petunjuk kepada Kun Hong bagaimana
caranya menggabungkan kedua ilmu kesaktian itu menjadi sebuah ilmu silat
gabungan yang luar biasa.
Hebatnya,
ilmu ini masih menggunakan tenaga yang bertentangan, yaitu tenaga Im dan tenaga
Yang seperti dalam ilmu sakti Im-yang Sin-hoat, akan tetapi gerakan-gerakannya
dicampur dengan Kim-tiauw-kun sehingga boleh dikatakan bahwa kalau tangan kanan
yang memegang tongkat pengganti pedang mainkan Im-yang Sin-kiam-sut, adalah
kedua kaki mainkan langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun dan tangan kiri juga mainkan
jurus-jurus serangan Kim-tiauw-kun.
Malah jurus
yang disebut jurus Sakit Hati dapat dimasukkan dalam ilmu silat gabungan ini,
hanya kini lain sifatnya, tidak seganas tadinya yang sekali bergerak tentu
merupakan jurus maut. Biar pun daya serangannya masih hebat, tapi sekarang
gerakannya dilakukan dengan penuh kesadaran sehingga dapat digunakan menurut
ukuran, tidak seperti tadinya yang gerakannya dipengaruhi perasaan sakit hati
dan hawa amarah sehingga dilakukan secara membuta dengan tujuan membunuh untuk
memuaskan nafsu belaka.
Dengan amat
tekun Kun Hong menerima petunjuk teori penggabungan itu dan diam-diam dia
mencatat semuanya dalam ingatan. Malah dia lalu bersilat dengan gerakan
gabungan ini, disaksikan oleh Sin-eng-cu Lui Bok yang memberi petunjuk-petunjuk
di bagian yang kurang tepat.
Sementara
itu, A Wan dan Cui Sian sudah kembali ke tempat ini dan dua orang bocah itu
dengan bengong duduk di atas tanah sambil menonton Kun Hong bersilat. Cui Sian
adalah puteri suami isteri pendekar besar sehingga semenjak kecil dia sudah
sering kali melihat orang bersilat, maka tidak mengherankan apa bila sekarang
ia amat tertarik dan gembira menyaksikan Kun Hong bergerak-gerak seperti itu.
Yang
mengherankan adalah A Wan. Bocah ini tak pernah melihat seorang bersilat, akan
tetapi sekarang amat tertarik hatinya dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia
memang berbakat dan berminat.
"Nah,
sekarang kita harus berpisah, Kun Hong. Aku akan kembali ke Liong-thouw-san. A
Wan akan kubawa serta karena selama kau melanjutkan usahamu untuk menyelesaikan
tugas-tugas yang sangat penting dan berat itu, A Wan hanya akan menjadi
penghalang bagimu. Lagi pula, kurang baik kalau anak ini kau bawa menempuh
bahaya-bahaya dan pertempuran, karena dia belum mempunyai dasar batin yang kuat
sehingga aku khawatir kalau-kalau kelak anak ini akan menjadi tukang pukul yang
kerjanya hanya memamerkan kepandaian untuk memukul orang. Juga Cui Sian kubawa,
kelak kalau sudah tiba saatnya akan kukembalikan kepada orang tuanya."
Kun Hong
membungkam. Mendadak hatinya terasa sunyi mendengar ucapan ini. Semua akan
meninggalkannya, orang-orang yang dikasihinya ini. Apa lagi ketika terdengar
suara burung rajawali emas merintih perlahan. Makin sedih hatinya.
Tiba-tiba
dia berkata, "Susiok, ijinkanlah kepada Kim-tiauw-ko (kakak rajawali emas)
untuk menemani teecu beberapa waktu lamanya. Teecu masih amat rindu
kepadanya."
Sin-eng-cu
Lui Bok tertawa. "Dia bebas, kalau dia mau boleh saja. Nah, selamat
berpisah, Kun Hong."
Kakek itu
menggandeng tangan kedua orang anak itu dan mengajak mereka pergi. A Wan
beberapa kali menengok kepada gurunya, hanya kedua matanya saja yang memandang
sedih, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak kakek itu.
Yang luar
biasa sekali adalah burung rajawali emas. Agaknya dia dapat menangkap arti
percakapan tadi. Buktinya sesudah dia diberi kebebasan, agaknya dia suka
memenuhi permintaan Kun Hong. Matanya memandang ke arah Lui Bok yang pergi
bersama kedua orang bocah itu, akan tetapi dia tidak kelihatan bergerak hendak
pergi.
Kun Hong
bangkit berdiri dan merangkul lehernya. "Tiauw-ko, kau tentu suka menemani
aku, bukan? Aku kesepian sekali, Tiauw-Ko..."
Burung itu
mengeluarkan suara perlahan, paruhnya yang besar mengkilap dan kokoh kuat itu
membelai jari-jari tangan Kun Hong. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara aneh
lalu mendorong Kun Hong dengan sayapnya. Tubuh Kun Hong terpental dan burung
itu sudah menyerbu dan menyerangnya!
"Ha-ha-ha-ha,
Tiauw-ko, kau mengajak latihan?" Kun Hong tertawa-tawa gembira, teringat
akan kebiasaan mereka dahulu di puncak Bukit Kepala Naga.
Dahulu pun
burung inilah yang menjadi teman berlatih, malah boleh dibilang burung inilah
yang menjadi guru pertama dalam ilmu silat! Dia sudah mengenal suara burung itu
kalau mengajak berlatih dan dia tahu pula bahwa burung ini kalau mengajak
latihan berkelahi, selalu berkelahi seperti sungguh-sungguh dan tidak boleh
dipandang ringan sedikit pun juga!
Timbul
kegembiraannya dan tiba-tiba dia teringat akan usahanya yang telah dibantu oleh
Sin-eng-cu Lui Bok tadi, yaitu menggabungkan kedua ilmu silat sakti. Segera dia
bergerak menghadapi dengan ilmu silat gabungan ini, menggunakan tongkatnya yang
ampuh.
Kim-tiauw
memang hebat luar biasa. Dari gerakan-gerakannya tahulah Kun Hong bahwa selama
beberapa tahun ini, kim-tiauw sudah mendapatkan kemajuan pesat dan hebat. Kini
gerakan-gerakannya jauh lebih cepat, lebih matang, sedang
pancingan-pancingannya lebih bertambah.
Tetapi harus
dia akui dengan hati iba bahwa dalam hal tenaga, burung ini sudah mundur banyak
sekali, tanda bahwa burung ini sudah mulai tua! Sebaliknya, kim-tiauw beberapa
kali mengeluarkan seruan-seruan yang bagi telinga Kun Hong terdengar seperti
terkejut dan kadang-kadang kagum.
Memang
baginya, dengan ilmu silat gabungan ini, amatlah mudah menghadapi kim-tiauw.
Langkah ajaibnya dapat mengimbangi gerakan kim-tiauw itu, tongkatnya bisa
menandingi paruh dan tangan kirinya dapat membalas semua serangan sayap. Malah,
dengan amat mudahnya dapatlah dia berkali-kali menampar burung itu sebagai
pengganti tusukan atau hantaman maut.
Girang
hatinya bahwa kini dia dapat mempergunakan jurus Sakit Hati dengan berhasil
baik tanpa membinasakan lawan. Hal ini adalah karena dia dapat menimbang
tenaganya. Biar pun tenaga sakti yang amat hebat dan dahsyat itu tersalur dari
dalam melalui setiap pukulannya, tetapi dia dalam keadaan sadar dan dapat
mengurangi atau pun menambah tenaga, bahkan dapat menariknya kembali setiap
saat dia kehendaki. Karena inilah maka kini dengan mudah dia dapat mengganti
pukulan maut dengan tepukan atau tamparan tak berarti pada semua bagian tubuh
rajawali emas itu tanpa melukainya.
Setelah
berlatih ratusan jurus, akhirnya rajawali emas merintih perlahan lalu mendekam
di atas tanah, berkali-kali mulutnya mengeluarkan suara pujian.
Kun Hong
merangkulnya dan tertawa-tawa gembira. "Wah, Tiauw-ko, dengan adanya kau
di sampingku, teringat aku akan masa lalu yang sangat menggembirakan. Dengan
kau di sini aku tidak akan merasa kesepian lagi!"
Sehari itu
Kun Hong bermain-main dengan rajawali emas yang mencarikan buah-buahan
untuknya. Setelah beristirahat mereka lalu berlatih kembali. Burung itu selalu
memenuhi permintaannya untuk berlatih dan makin lama makin payahlah kim-tiauw
melawannya.
Bukan main
girangnya hati Kun Hong dan dia amat berterima kasih kepada Sin-eng-cu Lui Bok
karena berkat petunjuk kakek sakti itu, dia benar-benar telah menciptakan ilmu
silat yang luar biasa, yang kehebatannya setingkat dengan jurus Sakit Hati akan
tetapi tidak sekeji itu. Sehari suntuk dia berlatih dan menciptakan jurus-jurus
baru yang sekiranya cocok, diambil dari pada gabungan dua ilmu silat sakti itu.
Malah
sedikit banyak terdapat pula unsur saripati Ilmu Silat Hoa-san-pai yang juga
dia masukkan ke dalam ilmu silat ini bila mana terdapat kecocokan. Bagaimana
pun juga, Hoa-san-pai adalah partai yang dipimpin ayahnya, maka dia tidak mau
meninggalkan ilmu silat partai ini.
Setelah
malam tiba, Kun Hong yang sejak sore tadi beristirahat sambil bersemedhi, duduk
bersila mengheningkan cipta untuk menyempurnakan hasil ciptaan ilmu silat
gabungan itu sambil memulihkan tenaga dan sekalian menyembuhkan luka-lukanya,
sekarang bangkit dari duduknya. Telinganya mendengar suara mengiang-ngiang dan
kiranya di tempat itu terdapat banyak sekali nyamuk yang mulai beroperasi
setelah sinar matahari menghilang.
Kun Hong
membuat api dengan jalan mencetuskan ujung tongkatnya kepada batu hitam,
membakar daun-daun kering dan sebentar kemudian di sana telah menyala api
unggun. Kim-tiauw sudah biasa pula dengan pekerjaan ini, maka tanpa diperintah
burung sakti ini mengumpulkan kayu-kayu kering dengan paruhnya dan menjajarkan
dekat api unggun.
Setelah itu,
dua orang makhluk yang bersahabat itu melayang ke atas pohon. Kun Hong duduk
bersila di atas sebuah cabang pohon besar, sedangkan kim-tiauw mendekam di
dekatnya. Kehangatan bulu-bulu burung itu membuat Kun Hong lebih cepat dapat
terlena dalam semedhinya.
Tanpa terasa
malam merayap cepat dan bulan purnama mulai muncul di ufuk timur. Api unggun
masih bernyala sambil mengeluarkan bunyi gemeretak memakan kayu-kayu dan
daun-daun kering.
Nyanyian
burung malam yang menyambut munculnya bulan purnama menyadarkan Kun Hong dari
semedhinya. Dia kemudian termenung dan diam-diam memikirkan keterangan
Sin-eng-cu Lui Bok tentang orang-orang yang menyerbu Thai-san-pai.
Jadi
ternyata musuh-musuh Thai-san-pai itu adalah Ching-toanio dan teman-temannya?
Pantas saja mampu menyerbu Thai-san-pai, ternyata orang-orang sakti yang berada
di Ching-coa-to itu adalah musuh-musuh Thai-san-pai. Dia lalu mengingat-ingat.
Menurut
keterangan Hui Kauw, memang ada permusuhan antara pihak mereka dengan
Thai-san-pai. Ching-toanio sendiri adalah kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin yang
tewas di Thai-san-pai, tentu nyonya galak itu memusuhi Thai-san-pai, terutama
memusuhi Tan Beng San.
Orang ke dua
adalah Bouw Si Ma, murid Pak Thian Lo-cu yang juga tewas di Thai-san ketika
bertanding melawannya. Ada pun Ang Hwa Sam-ci-moi, tiga orang wanita sakti yang
juga menjadi tamu dan sahabat Ching-toanio, adalah adik-adik seperguruan dari
Hek-hwa Kui-bo yang merupakan musuh besar Tan Beng San pula.
Hanya Ka
Chong Hoatsu dan Pangeran Souw Bu Lai yang tidak mempunyai permusuhan secara
langsung dengan Thai-san-pai. Akan tetapi menilik hasil yang dicapai oleh para
penyerbu, bukanlah hal yang dapat disangsikan lagi bahwa kakek Mongol itu tentu
ikut pula membantu.
Bagaimana
dengan Bun Wan putera ketua Kun-lun-pai yang dulu juga berada di Ching-coa-to?
Apakah ia ikut pula membasmi Thai-san-pai? Tak mungkin dan Kun Hong menjadi
lega hatinya ketika teringat bahwa ketika dia merampas kembali mahkota di Pulau
Ching-coa-to bersama Hui Kauw, pemuda Kun-lun-pai itu berada di sana sedangkan
Ching-toanio dan semua orang kosen tidak berada di pulau itu. Ini hanya berarti
bahwa mereka sedang pergi menyerbu ke Thai-san-pai dan pemuda Kun-lun itu tidak
ikut.
"Hemmm,
sewaktu-waktu aku akan membalaskan penasaran ini dan akan menghadapi mereka
seorang demi seorang."
Pikirannya
mengingat tokoh-tokoh tadi, akan tetapi sekarang dia tak lagi dipanaskan oleh
dendam dan sakit hati. Kalau dia berniat melawan mereka, adalah karena dia
yakin bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik.
Hal ini
dapat dibuktikan dari sepak terjang mereka terhadap dirinya ketika di Pulau
Ching-coa-to, juga mengingat akan tokoh-tokoh yang mereka balaskan sakit
hatinya adalah tokoh-tokoh jahat seperti Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-coa-ong Giam
Kin. Maka tak perlu diragukan lagi bahwa mereka tentu termasuk golongan hitam
yang selalu ditentang oleh para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan,
kebenaran dan keadilan.
Bulan
purnama sudah mulai naik ke atas puncak pohon-pohon di sebelah timur dan hawa
malam makin dingin. Api unggun yang tadi masih bernyala gembira itu
mendatangkan kehangatan yang nikmat selain mengusir nyamuk.
Tiba-tiba
rajawali emas mengeluarkan suara melengking. Kun Hong kaget dan biar pun dia
masih duduk bersila di atas cabang, namun seluruh perhatiannya dia tujukan
kepada pendengarannya. Suara burung itu menandakan bahwa dia marah dan curiga,
dan hal ini hanya bisa terjadi kalau burung itu melihat orang asing mendatangi
tempat itu.
Anehnya,
burung itu mendadak mengubah suaranya seperti merintih dan ragu-ragu, kini
berdiri di atas cabang, tidak mendekam lagi dan kedua sayapnya bergerak-gerak.
Kun Hong juga sudah dapat menangkap langkah-langkah kaki dua orang mendekati
tempat itu, langkah-langkah dua orang yang mempergunakan ilmu meringankan
tubuh.
Burung
rajawali makin aneh sikapnya, sebentar marah sebentar ragu-ragu, dan pada saat
itu terdengar seruan seorang wanita.
"Paman
Hong...!"
Suara
seorang laki-laki yang nyaring menyusul terdengar, "Betul, paman Kun Hong
dan kim-tiauw...!"
Bukan main
girang dan kagetnya hati Kun Hong. Dia mengenal baik suara dua orang itu. Sin
Lee dan Hui Cu! Saking girangnya Kun Hong lalu melompat turun diikuti
melayangnya burung rajawali itu dari atas cabang pohon.
Rajawali itu
masih kelihatan curiga dan marah, akan tetapi dia tidak bergerak menyerang. Apa
lagi melihat betapa Kun Hong segera berangkulan dengan Sin Lee dan memegangi
tangan Hui Cu dengan girang sekali.
Tan Sin Lee,
laki-laki yang tegap dan tampan ini adalah keponakannya sendiri, karena ibu Sin
Lee adalah mendiang Kwa Hong, kakak perempuan lain ibu tunggal ayah. Sin Lee
adalah putera tunggal Kwa Hong dan Tan Beng San.
Sedangkan
Thio Hui Cu adalah puteri tunggal paman gurunya, Thio Ki dan bibi Lee Giok.
Telah kurang lebih lima tahun dia tak bertemu dengan mereka, semenjak dia
menghadiri pernikahan mereka di Hoa-san dahulu.
Rajawali
emas ketika melihat betapa Kun Hong bersikap ramah terhadap dua orang itu,
segera menghampiri Sin Lee dan mengeluarkan suara lirih sambil
menggosok-gosokkan kepalanya pada pundak orang gagah itu.
Sin Lee
merangkulnya dan suaranya terharu ketika berkata, "Kim-tiauw-ko, ternyata
kau tidak lupa kepadaku..." Di dalam suaranya ini terkandung penyesalan
besar mengingat akan sikapnya yang buruk terhadap burung ini dahulu.
Dahulu, di
waktu masih kecil, burung ini adalah teman bermain Sin Lee. Malah sebelum Kun
Hong bertemu dengan rajawali emas ini, lebih dahulu Sin Lee sudah menjadi teman
bermain-main dan berlatih silat. Akan tetapi karena Sin Lee bersikap keras,
burung ini akhirnya pergi meninggalkannya.
"Sin
Lee, Hui Cu, benar-benar amat mengejutkan kedatangan kalian ini! Sama sekali
tak pernah aku mimpi bertemu dengan kalian di tempat seperti ini. Kalian hendak
ke manakah dan dari mana? Dan sudah berapa orangkah anak kalian?"
Sin Lee
tertawa dan Hui Cu menjadi merah mukanya.
"Ahh...
paman Hong...!" cela Hui Cu.
"Ha-ha-ha-ha,
Hui Cu, kau masih seperti dahulu, pemalu sekali. Apa salahnya bertanya
keturunan? Sudah jamak sanak keluarga mau pun handai taulan, kalau saling
bertemu setelah berpisah lama, tentulah anak yang ditanyakan lebih dulu,
bukannya harta benda. Anak-anaklah harta benda dunia akhirat yang paling
berharga. Bukahkah begitu?"
"Ha-ha-ha,
paman Hong betul sekali. Anak kami hanya satu orang, baru berusia empat tahun,
laki-laki dan sehat."
"Wah,
bagus! Tetapi mengapa masih begitu kecil sudah kalian tinggalkan?" Dia
cepat menegur.
"Kami
titipkan kepada para inang pengasuh yang sudah kami percaya penuh," jawab
Hui Cu. "Terpaksa anak itu ditinggalkan setelah kami mendengar berita
buruk dari locianpwe Song-bun-kwi..."
Wajah Kun
Hong menjadi sungguh-sungguh. "Hemmm, jadi kalian telah mendengar akan
peristiwa di Thai-san itu?"
"Betul,
paman Hong. Setelah mendengar peristiwa yang menimpa keluarga ayah, kami segera
meninggalkan Lu-liang-san. Aku berpendapat bahwa yang melakukan perbuatan
biadab itu adalah musuh-musuh ayah dahulu dan agaknya untuk mencari jejak
mereka, tempat yang paling baik adalah di kota raja. Karena itu kami akan
menuju ke kota raja. Sungguh tidak kami sangka akan bertemu dengan paman Hong
di sini."
"Berbesar
hatilah kalian. Adikmu Cui San sudah tertolong, baru siang tadi aku bertemu
dengannya."
"Benarkah?
Di mana dia? Bersama siapa?" Sin Lee cepat mendesak.
Kun Hong
lalu menceriterakan pertemuannya dengan kakek Sin-eng-cu Lui Bok dan Cui Sian.
Dia hanya menceriterakan yang penting saja, yaitu tentang diselamatkannya Cui
Sian, tidak menceriterakan tentang hal A Wan dan lain-lain.
"Cui
Sian sudah selamat dan sekarang sementara dibawa pergi oleh Susiok. Kelak tentu
akan dikembalikan kepada ayahmu."
Lega rasa
hati Sin Lee dan Hui Cu. Akan tetapi dengan amat penasaran Sin Lee bertanya,
"Dan siapakah orang-orang yang menyerbu ke Thai-san?"
Kun Hong
mengerutkan kening. Dia maklum akan kepandaian dan watak Sin Lee. Orang ini
kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi agaknya akan berbahaya sekali kalau
diberi tahu bahwa musuh-musuh itu adalah orang-orang di Ching-coa-to, karena di
tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai. Apa lagi Sin Lee pergi bersama
Hui Cu yang dia tahu tingkat kepandaiannya tidak setinggi suaminya.
Watak Sin
Lee amat keras, kalau sudah tahu tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat
membalas dendam. Maka dia segera berkata,
"Sin
Lee dan Hui Cu, tentang itu, untuk sementara ini kiranya tidak perlu kalian
ketahui. Serahkan saja hal itu kepadaku karena aku pun tidak akan tinggal diam
sebelum memberi hajaran pada mereka. Soalnya memang berbelit-belit, berpangkal
pada balas membalas urusan dahulu! Sekarang, ada tugas yang amat penting yang
hendak kuserahkan kepada kalian, tugas yang lebih penting dari pada urusan
balas membalas ini. Cui Sian sudah selamat, malah ayah dan ibumu sudah pergi
meninggalkan Thai-san, tentu akan mencari orang-orang jahat itu pula. Kebetulan
sekali kalian datang sehingga dapat mewakili aku melakukan tugas ini.
Bersediakah kalian?"
Semenjak
dahulu, Sin Lee sudah mempunyai hati kagum dan tunduk kepada Pendekar Buta ini.
Dia maklum bahwa Pendekar Buta ini biar pun sikapnya seperti orang lemah dan
bodoh, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, yang sudah dia
saksikan dahulu ketika terjadi adu kepandaian di Thai-san.
Lagi pula,
mereka meninggalkan Lu-liang-san terutama karena terdorong rasa khawatir akan
keselamatan Cui Sian. Sekarang setelah Cui Sian berada dalam keadaan selamat,
memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Baiklah,
Paman Hong. Urusan apakah itu, lekas beri tahukan kepada kami, pasti akan kami
laksanakan," jawabnya.
Dengan
singkat akan tetapi jelas Kun Hong menceriterakan mengenai surat rahasia dari
mendiang kaisar untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo di utara,
menceriterakan pula betapa surat rahasia ini dijadikan perebutan karena amatlah
penting artinya.
"Mengingat
akan perjuangan Paman Tan Hok yang sampai mengorbankan nyawanya itu, aku telah
mengambil keputusan akan melindungi surat ini dan menyampaikannya kepada yang
berhak, walau pun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Akan tetapi aku
seorang buta, agaknya lebih sukar bagiku untuk dapat menyampaikannya kepada
yang berhak. Oleh karena itu, aku minta bantuan kalian, bawalah surat ini dan
sampaikanlah kepada Raja Muda Yung Lo di utara. Tugasmu ini tidaklah ringan dan
apa bila sampai terpenuhi, jasamu untuk negara bukanlah kecil. Aku yakin surat
wasiat ini akan banyak mengurangi pertumpahan darah kalau sampai terjadi perang
saudara, karena tentu para pembesar di selatan yang masih setia kepada mendiang
kaisar, akan tunduk terhadap seluruh isi surat wasiat ini dan tidak akan
membantu kaisar muda."
Sin Lee
menerima surat itu, menyimpannya dan menyanggupi untuk melaksanakan tugas itu.
"Setelah
selesai tugasmu, kalian kembalilah saja ke Lu-liang-san. Kasihan anak kalian
ditinggal ayah bundanya terlalu lama. Kelak aku pasti akan datang ke
Lu-liang-san, ingin aku memondong anakmu itu!"
Malam itu
mereka bermalam di hutan, semalam suntuk tidak dapat tidur karena mereka
bercakap-cakap menceriterakan pengalaman masing-masing. Terlebih lagi Hui Cu
yang merasa amat kasihan kepada pamannya ini, membujuk-bujuk agar Kun Hong
kembali ke Hoa-san dan suka memilih jodoh.
Bujukan ini
hanya disambut dengan senyum pahit oleh Kun Hong yang sama sekali tidak berani
berceritera tentang Hui Kauw. Sementara itu, Sin Lee melepaskan rindunya kepada
rajawali emas dengan mengajak burung itu bercakap-cakap seperti dulu ketika dia
masih kecil. Banyak dia bicara dengan burung itu yang mendengarkan dengan
terharu. Karena memang sudah bertahun-tahun burung ini hidup di samping Sin
Lee, maka dia dapat mengerti banyak apa yang dibicarakan pendekar ini.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Lee dan Hui Cu berangkat meninggalkan
Kun Hong. Tujuan mereka adalah ibu kota di utara. Dengan terharu Hui Cu
memegang tangan Kun Hong dan berkali-kali ia berkata dengan suara penuh
permohonan agar sang paman ini benar-benar akan segera datang menjenguk anaknya
di Lu-liang-san.
Akhirnya
mereka berpisah, suami isteri itu pergi ke utara, sedangkan Kun Hong bersama
rajawali berjalan perlahan keluar dari hutan, hendak pergi ke Ching-coa-to,
karena Kun Hong ingin menghadapi orang-orang yang telah merusak Thai-san-pai….
Loan Ki dan
Nagai Ici dengan mudah dapat memasuki kota raja. Gadis ini adalah seorang yang
berwatak jujur, juga memang sedikit banyak dia sangat membanggakan ayahnya,
maka siapa yang bertanya, ia pun akan mengaku terang-terangan bahwa ia adalah
puteri tunggal Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
Justru
sikapnya ini menguntungkannya, karena begitu para penjaga pintu gerbang kota
raja mendengar bahwa gadis itu puteri Sin-kiam-eng dan pemuda tampan itu
seorang sahabat baiknya, tanpa banyak cerewet lagi mereka mempersilakan mereka
berdua masuk tanpa diperiksa lagi. Siapa orangnya di antara para penjaga tidak
mengenal tokoh besar yang sekarang sudah menjadi seorang di antara para tokoh
undangan The-kongcu itu?
Para
mata-mata dan penyelidik pun sesudah tahu bahwa gadis ini adalah puteri tunggal
Sin-kiam-eng, otomatis tidak berani sembarangan melakukan pengintaian sehingga
Loan Ki dan Nagai Ici menjadi bebas dapat berkeliaran di kota raja tanpa ada
yang mencurigai mereka.
Setelah
melakukan perjalanan bersama Nagai Ici selama beberapa pekan ini, Loan Ki
merasa makin tertarik kepada pemuda perkasa dari Jepang itu. Memang harus
diakui bahwa pemuda itu adalah seorang ksatria Jepang yang berwatak gagah dan
berperibudi luhur.
Meski pun
seorang kesatria Samurai, akan tetapi Nagai Ici tidak seperti sebagian besar
golongannya yang suka menghambakan diri sebagai tukang-tukang pukul bayaran.
Dia benar-benar seorang pemuda berwatak pendekar pembela kebenaran dan
keadilan.
Dia banyak
berceritera kepada Loan Ki tentang negerinya sehingga gadis lincah ini tertarik
sekali dan beberapa kali menyatakan keinginan hatinya hendak menyeberangi
lautan dan menyaksikan negeri aneh itu dengan matanya sendiri. Tentu saja
diam-diam Nagai Ici merasa berbahagia sekali. Dia sudah jatuh cinta betul-betul
kepada gadis yang demikian gagahnya, yang dapat mainkan pedang sedemikian
hebatnya, mampu melawan Samurai merahnya!
Juga di
sepanjang perjalanan, di waktu beristirahat, keduanya bertukar ilmu dan saling
mengisi sehingga bagi Nagai Ici, mulailah dia melihat kehebatan ilmu silat yang
tentu saja dapat dia jadikan bahan untuk mempertinggi ilmu pedangnya.
Kedatangan
Loan Ki di kota raja itu terutama sekali hendak mencari ayahnya karena ia
bermaksud untuk memperkenalkan Nagai Ici kepada ayahnya dan ingin minta kepada
ayahnya agar supaya suka menerima pemuda Jepang itu sebagai murid. Ketika pada
hari itu ia tiba di kota raja dan mencari kamar di rumah penginapan, pelayan
yang menyambut mereka dengan manis budi menyuruh mereka mengisi nama pada buku
daftar tamu.
Dengan lagak
gagah Loan Ki menuliskan namanya, ditambah ‘puteri Sin-kiam-eng dari
Pek-tiok-lim’, sedangkan nama Nagai Ici ia tuliskan sebagai nama Han, yaitu Na
Gai It!
Girang
hatinya karena pengurus rumah penginapan itu serta merta memberi hormat dan berkata
manis penuh hormat, "Ah, kiranya puteri dari Tan-taihiap (pendekar besar
Tan)!"
Lalu
pengurus ini membentak para pelayan, "He, mengapa kalian begini sembrono,
tidak cepat-cepat menyambut kedatangan Tan-lihiap (pendekar wanita Tan)? Hayo
lekas antar lihiap ke kamar yang paling besar! Totol kalian ini, apakah tidak
tahu bahwa lihiap adalah puteri Tan-taihiap yang menjadi jagoan undangan
kaisar?"
Kalau
tadinya hati Loan Ki merasa girang dan bangga sekali, adalah kalimat terakhir
itu menimbulkan penasaran dan tidak enak di hatinya. Ayahnya menjadi jagoan
undangan kaisar. Menjadi hamba kaisar yang begitu buruk wataknya?
Ia masih
teringat betapa orang-orang jahat menangkap-nangkapi gadis-gadis cantik untuk
dijadikan selir kaisar baru. Malah ia bersama Nagai Ici telah membasmi
orang-orang jahat yang menawan gadis-gadis itu. Di dalam hatinya, ia sudah
menjadi tidak senang kepada kaisar baru, kenapa sekarang ayahnya malah membantu
kaisar itu? Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan sesuatu, hanya mengikuti
para pelayan dan ia minta disediakan dua buah kamar.
Malam
harinya, ia bersama Nagai Ici melakukan perjalanan berkeliling kota raja.
Setelah mendengar bahwa ayahnya menjadi hamba kaisar, ia merasa ragu-ragu untuk
menemui ayahnya di kota raja ini.
Kebetulan
sekali malam hari itu dia mendengar tentang keributan yang terjadi pada hari
kemarin, tentang seorang penjahat buta yang dikejar-kejar kemudian dikeroyok
oleh para pengawal istana. Hatinya menjadi berdebar. Teringat ia akan Kun Hong.
Kalau bukan Kun Hong, siapa lagi di dunia ini ada seorang buta yang demikian
perkasa sehingga dikeroyok oleh pengawal-pengawal istana?
"Wah,
agaknya gawat di kota raja ini," bisiknya kepada Nagai Ici. "Kalau
benar Hong-ko (kakak Hong) orang buta yang dikeroyok itu, kita harus
menyelidikinya dan kalau perlu menolongnya."
Dengan
singkat dia lalu menuturkan kepada Nagai Ici tentang orang buta itu. Pemuda
Jepang ini lalu bangkit semangatnya mendengar tentang diri Pendekar Buta yang
gagah perkasa itu, tidak hanya ingin membantu, malah ingin bertemu dan
bersahabat. Selama ini, baru sekali dia bertemu orang pandai, bukan lain gadis
lincah inilah.
Demikianlah,
pada keesokan malamnya, kembali Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelidiki sampai
jauh malam. Kemudian secara kebetulan dia mendengar ribut-ribut pertempuran di
pondok janda Yo karena ia dan Nagai Ici berada di dekat tempat itu.
Cepat dia
bersama pemuda Jepang itu lari mendekati dan alangkah terkejut hati Loan Ki
pada saat dia melihat bahwa orang yang dikeroyok adalah benar-benar Kun Hong
sendiri. Lebih kaget lagi hatinya ketika dia melihat ayahnya adalah seorang di
antara mereka yang mengeroyok Kun Hong.
"Kita
bantu dia,... wah, dia hebat...!" bisik Nagai Ici.
"Sssttt..."
Loan Ki menarik tangan pemuda itu dan mengajaknya menyelinap ke tempat gelap,
"...jangan..."
Nagai Ici
terheran-heran dan Loan Ki menjadi pucat wajahnya. Tentu saja tidak mungkin dia
membantu Kun Hong apa bila ayahnya pun berada di situ melawan Kun Hong. Mana
mungkin dia melawan ayahnya sendiri?
Lagi pula,
dia dapat melihat betapa orang-orang yang mengeroyok Kun Hong terdiri dari
orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Pemuda berpedang itu, hwesio
tinggi besar itu. Hebat mereka, tidak kalah oleh ayahnya! Membantu Kun Hong pun
tidak akan ada gunanya.
"Wah-wah...
celaka...," katanya, wajahnya yang pucat itu tampak bingung.
"Kenapa?
Nona, kenapa kita tidak cepat membantunya? Dia hebat... luar biasa, hampir
tidak dapat aku percaya seorang buta sehebat itu gerakannya..."
"Sssttttt...
mari ikut aku..."
Loan Ki
mengajak Nagai Ici menyelinap mengitari pondok itu. Ia adalah seorang gadis
cerdik dan ia ingin mencari kesempatan membantu secara menggelap. Kalau perlu,
dari dalam pondok itu atau dari samping pondok dia akan mempergunakan senjata
rahasia menyerang orang-orang yang mengeroyok Kun Hong biar pun ia tahu hal ini
tidak akan banyak berarti karena musuh-musuh Kun Hong amat sakti, akan tetapi
sedikitnya dapat menganggu mereka dan dapat merupakan hiburan hatinya bahwa ia
sudah menolong.
Kalau saja
di situ tidak ada ayahnya, sudah pasti ia akan langsung menyerbu dan nekat
serta mati-matian mengajak Nagai Ici membantu Kun Hong. Dengan adanya ayahnya
di situ, nyalinya kuncup dan ia tidak berani lagi!
Ketika dia
menyelinap di belakang pondok, dia melihat bayangan seorang laki-laki sedang
merampas sebuah benda dari tangan seorang anak laki-laki kecil yang
mempertahankan benda itu sambil berteriak-teriak, "Lepaskan... ini
punyaku, lepaskan!"
Loan Ki
memandang penuh perhatian. Waktu itu fajar hampir menyingsing dan di dalam
keadaan gelap, Loan Ki serasa telah mengenal laki-laki yang sedang berusaha
merampas benda di tangan anak itu. Timbul amarahnya ketika orang itu mendorong
si anak sampai terguling roboh.
"Serang
dia, rampas benda itu!" katanya kepada Nagai Ici yang tidak menanti
komando ke dua lagi, serta merta memekik dan menyerbu.
Loan Ki
sendiri meloncat ke dekat anak itu. Lega hatinya ketika melihat bahwa anak itu
tak terluka, hanya menderita lecet-lecet saja. Perhatiannya kembali kepada
Nagai Ici yang menyerbu orang itu.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika melihat betapa orang itu ternyata
bukanlah orang sembarangan. Buktinya Nagai Ici masih belum mampu merampas benda
tadi. Jangankan merampas benda, malah kini mereka sudah bertempur mempergunakan
pedang dan Si Samurai Merah nampaknya terdesak!
"Keparat,
lihat pedangku!" Loan Ki marah dan serta merta mencabut pedangnya sambil
menyerbu.
Orang itu
kaget menyaksikan berkelebatnya pedang di tangan Loan Ki yang amat gesit. Dia
bergerak miring, menyambut pedang Loan Ki dengan tangkisan.....
"Traaanggggg…!"
Loan Ki
merasa tangannya tergetar dan lebih kagetlah ia pada saat mengenal muka orang
itu setelah kini berdekatan. Kiranya orang itu adalah Bun Wan, pemuda
Kun-lun-pai yang pernah ia lihat ketika ia menjadi tawanan di Ching-coa-to! Ia
makin marah ketika sekarang mengenal pula bahwa benda yang dirampas oleh Bun
Wan dari tangan anak itu ternyata adalah mahkota kuno yang dahulu diperebutkan
di Ching-coa-to.
"Ehh,
kiranya kau, keparat! Kembalikan mahkota itu!"
Ia menerjang
marah, pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung. Nagai Ici juga memekik dengan
penasaran, menggerakkan pedang samurainya mengeroyok laki-laki itu.
Orang itu
memang Bun Wan adanya, putera ketua Kun-lun-pai! Ketika dia mengenal Loan Ki
dia terkejut dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat ke belakang,
menggunakan ginkang-nya terus melarikan diri!
"Keparat,
jangan lari!" Loan Ki membentak dan mengejar.
Nagai Ici
ikut pula mengejar. Pemuda Jepang ini tertinggal jauh karena dalam hal ilmu
lari cepat, dia kalah jauh oleh Bun Wan mau pun Loan Ki. Hal ini menyulitkan
Loan Ki karena ia tidak ingin meninggalkan Nagai Ici di tempat asing dan
berbahaya itu.
"Hayo,
cepat kita kejar dia!" Loan Ki menunggu Nagai Ici, kemudian setelah
temannya itu mendekat, ia menyambar tangannya dan diajaknya membalap untuk
mengejar Bun Wan.
"Wah,
hebat bukan main larinya. Kau kejarlah dulu, Nona, biar aku mengejar di
belakang. Jangan biarkan dia minggat!"
Akan tetapi
Loan Ki terpaksa memperlambat larinya. Memang ia harus mengejar Bun Wan dan
merampas kembali mahkota itu yang agaknya sangat penting bagi Kun Hong. Akan
tetapi sekali-kali dia tidak mau membiarkan Nagai Ici tertinggal di tempat ini,
salah-salah bisa ditangkap dan didakwa mata-mata oleh para pengawal istana!
Karena waktu
itu sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, maka biar pun
tertinggal jauh, dapat juga Loan Ki melihat ke mana arah larinya Bun Wan. Ia
terus mengajak Nagai Ici mengejar dan dengan kagum ia melihat betapa Bun Wan
secara nekat sudah menerjang para penjaga pintu gerbang. Pemuda Kun-lun-pai
yang berilmu pedang lihai sekali itu ternyata berhasil lolos dari pintu gerbang
dan kabur keluar kota raja dengan cepat!
Pada saat
Loan Ki dan Nagai Ici mengejar sampai di situ, gadis ini cepat berteriak
membentak para penjaga yang agaknya hendak menghalangi mereka berdua.
"Tolol
kalian semua! Tidak tahu jika aku puteri Sin-kiam-eng? Aku dan temanku bertugas
mengejar bangsat yang kalian lepaskan tadi. Minggir, keparat!"
Di antara
para penjaga ada yang mengenal gadis ini pada saat kemarin berjaga di pintu
gerbang di mana Loan Ki masuk, maka mereka segera memberi jalan Loan Ki bersama
Nagai Ici mengejar terus.
Belum lama
mereka mengejar, tampak bayangan berkelebat dari sebelah kanan. Loan Ki
memandang dan kagetlah dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Hui
Kauw, nona muka hitam yang pernah dilihatnya di Ching-coa-to.
Wah, agaknya
orang-orang Ching-coa-to sudah menyelundup ke kota raja, pikirnya. Tentu nona
itu bersekongkol dengan Bun Wan. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu melompat dan
menerjang dengan pedangnya.
"Perempuan
berhati palsu!" bentaknya karena ia lalu teringat akan semua pengalamannya
ketika di Ching-coa-to, di mana wanita ini hampir dijadikan pengantin dengan
Kun Hong.
Hui Kauw
memang sedang mengejar Bun Wan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, gadis
ini meninggalkan Kun Hong untuk mencari A Wan yang sudah terlalu lama tak juga
kembali.
Ketika
mencari di belakang pondok, ia tidak dapat menemukan A Wan karena tidak tahu di
mana anak itu menyimpan mahkota kuno. Dia berputar-putar mencari, lalu
mendengar suara ribut-ribut dan masih sempat melihat A Wan dikurung beberapa
orang pengawal. Hatinya kebat-kebit penuh kekhawatiran, kemudian terjadilah hal
yang amat luar biasa.
Seorang
kakek entah dari mana datangnya, dengan gerakan ringan seolah-olah bayangan
sehingga bukan merupakan manusia lumrah lagi, tahu-tahu telah berada di
tengah-tengah tempat itu. Sekali menggerakkan tangan dan kaki, A Wan telah
disambar dan dibawanya pergi seakan-akan melayang!
Para
pengawal melongo menyaksikan hal ini, kemudian maklum bahwa kakek itu tentulah
seorang sakti. Mereka melakukan pengejaran, tapi kakek itu telah lenyap dari pandangan
mata.
Hui Kauw
mengerahkan kepandaiannya, berlari cepat mengejar pula. Ia dapat mendahului
para pengawal dan dengan cepatnya ia mengejar sampai ke luar pintu gerbang.
Kakek itu
seperti bukan manusia, melarikan diri bukan melalui pintu gerbang, melainkan
melayang naik ke atas tembok kota yang luar biasa tinggi itu! Dia sendiri
dengan mudah dibiarkan lewat pintu gerbang oleh para penjaga. Akan tetapi
sesampainya di luar tembok kota, ia tidak melihat lagi bayangan kakek aneh itu.
Selagi dia
kebingungan, dia melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa keluar dari
pintu gerbang. Ketika dia mengenal bahwa orang itu adalah Bun Wan dan
gerak-geriknya amat mencurigakan, dia cepat-cepat mengejar, tidak memperhatikan
lagi dua orang yang sudah mengejar lebih dahulu. Maka dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika tahu-tahu Loan Ki memaki dan menerjangnya.
"Aiihhh,
kiranya kau di sini?" tegurnya seraya mengelak.
"Kau
dan manusia she Bun itu bersekongkol, ya? Awas, hari ini aku tak akan ampunkan
kalian berdua!" seru Loan Ki mendongkol.
Memang telah
menjadi kebiasaannya untuk bersikap menang-menangan sendiri sehingga ucapannya
pun jumawa sekali, padahal ia tahu bahwa baik Bun Wan mau pun Hui Kauw ini
memiliki kepandaian yang melebihi dirinya!
"Hee,
kau jangan sembarangan menuduh!" seru Hui Kauw mendongkol. "Siapa
yang sudi bersekongkol dengan dia itu? Aku pun hendak mengejarnya, karena dia
kelihatan sangat mencurigakan."
Sambil
berkata demikian, tanpa mempedulikan Loan Ki lagi, Hui Kauw cepat mengejar Bun
Wan. Loan Ki dan Nagai Ici juga mengejar.
Dalam ilmu
lari cepat, ternyata Bun Wan masih kalah setingkat oleh Hui Kauw. Memang ibu
angkat nona ini, Ching-toanio, terkenal lihai ilmu lari cepatnya yang disebut
Chouw-siang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan ilmu lari cepat yang luar biasa
ini juga sudah diturunkan kepada Hui Kauw. Maka sesudah lewat sepuluh li
jauhnya, Hui Kauw sudah dapat menyusul Bun Wan. Sambil mencabut pedangnya Hui
Kauw berseru keras,
"Berhenti
dulu!" Nona ini sudah melihat betapa tangan kiri Bun Wan memegang mahkota
kuno itu. "Kembalikan mahkota itu kepadaku!"
Bun Wan
memandang heran dan penasaran. "Nona Hui Kauw, ketahuilah, aku merampas
mahkota ini untuk ibumu!"
"Tidak
peduli, kau harus serahkan kepadaku dan pergilah dengan aman."
"Tapi...
bagaimanakah kau ini? Mahkota ini hendak kuserahkan ke Ching-coa-to..."
"Berikan
kepadaku!"
"Nona,
apakah kau sekarang membalik dan memusuhi ibumu sendiri!"
"Tak
usah banyak cakap, kembalikan kepadaku!"
Bangkit
kemarahan Bun Wan. Kesempatan ketika berhenti lari ini dia pergunakan untuk
memasukkan mahkota kuno yang tidak besar itu ke dalam saku bajunya, kemudian
dia menggerakkan pedang yang sejak tadi sudah berada di tangan kanan.
"Heemmm,
banyak sekali aku mengalah kepadamu. Sekarang terpaksa aku tidak dapat
menyerahkan mahkota itu kepadamu, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
"Pedangku
akan memaksamu!" Hui Kauw membentak dan pedangnya langsung bergerak
melakukan penyerangan kilat.
Bun Wan
cepat menangkis dan pemuda ini maklum akan kepandaian nona yang ternyata lebih
lihai dari pada Hui Siang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga dan mainkan Ilmu
Pedang Kun-lun Kiam-sut yang kuat. Dia maklum bahwa dirinya sedang menjadi
kejaran para pengawal kerajaan, maka dia tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Semua jurus
yang dimainkannya adalah jurus pilihan dari Kun-lun Kiam-sut sehingga lihainya
bukan kepalang. Dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja, paling banyak
dalam sepuluh atau belasan jurus, dia akan sudah mampu menundukkan lawannya
ini.
Akan tetapi
alangkah heran, kaget dan penasarannya ketika dia menghadapi ilmu pedang yang
aneh dan kuat bukan main, ilmu pedang yang jauh berbeda dengan ilmu pedang yang
dia kenal dimiliki oleh Hui Siang dan Ching-toanio. Hebat ilmu pedang gadis
muka hitam ini, malah agaknya tidak kalah oleh kepandaian Ching-toanio sendiri.
"Kau
benar-benar tidak tahu orang mengalah!" bentak Bun Wan.
Pedangnya
sekarang melakukan serangan kilat yang mematikan, karena dia tidak mau memberi
hati lagi, apa lagi setelah melihat betapa dari jauh datang berlarian dua orang
yang tadi di kota raja sudah mengeroyoknya, yaitu nona lincah galak yang dahulu
pernah dia lihat di Ching-coa-to bersama Kun Hong, dan seorang pemuda yang dia
tidak kenal, akan tetapi yang mempunyai pedang panjang aneh serta ilmu pedang
yang ganjil pula.
Menghadapi
kedua orang yang pernah mengeroyoknya tadi itu, dia tidak merasa gentar, akan
tetapi ilmu pedang milik Hui Kauw ini benar-benar membuat dia pusing. Hendak
lari, selain malu, juga akan percuma saja sebab tadi sudah ternyata olehnya
betapa hebatnya ilmu lari cepat nona ini, sama dengan Hui Siang hebatnya.
Dengan
seluruh kepandaiannya Bun Wan menyerang Hui Kauw. Terasalah oleh nona ini betapa
kuat ilmu pedang pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mulai terdesak, karena sungguh pun
ilmu pedang rahasia yang dia pelajari itu adalah ilmu pedang yang aneh dan luar
biasa, namun selama ini ia hanya berlatih seorang diri saja, tidak pernah ia
pergunakan untuk bertempur sehingga sekarang kurang berhasil.
Tetapi
betapa pun juga, daya pertahanan ilmu pedang ini jauh lebih kuat dari pada ilmu
pedang yang dia pelajari dari Ching-toanio. Sungguh pun sekarang ia mulai
terdesak dan jarang dapat membalas serangan lawan, namun untuk mengalahkan ilmu
pedangnya ini, kiranya membutuhkan waktu yang tidak pendek.
Sementara
itu, Loan Ki dan Nagai Ici yang mengejar cepat, sekarang telah tiba di tempat
pertempuran. Melihat betapa Hui Kauw benar-benar bertempur melawan Bun Wan,
Loan Ki dapat cepat mengambil pihak. Ia memberi tanda kepada Nagai Ici dan
menyerbulah mereka berdua, langsung mengeroyok Bun Wan!
Tentu saja
pemuda Kun-lun-pai itu menjadi repot bukan main, apa lagi ilmu pedang Loan Ki
terhitung ilmu pedang yang tinggi juga, gayanya indah membingungkan karena ilmu
pedang ini adalah Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Hanya saja nona ini belum
matang betul kepandaiannya, karena memang dia anak manja yang sering kali
malas-malasan untuk berlatih.
Juga ilmu
pedang pemuda tampan gagah yang sangat aneh itu membingungkan dirinya, karena
ilmu pedang pemuda itu mempunyai daya serang yang berbahaya dan luar biasa
kuatnya. Walau pun jarang sekali menyerang karena gayanya banyak diam menanti
saat dan kesempatan, akan tetapi sekali menyerang amat mengagetkan dan
membahayakan.
Setiap ada
kesempatan, pedang panjang itu lalu berkelebat seperti halilintar menyambar dan
jika sekali terkena sabetannya, tentu tubuh akan putus menjadi dua potong! Apa
lagi pekiknya yang sangat nyaring serta mengandung tenaga dalam, benar-benar
menambah ampuhnya serangan itu.
Bun Wan
mulai gelisah dan akhirnya dia dikurung rapat, menangkis kanan kiri, mengelak
ke sana ke mari tanpa sanggup balas menyerang. Akhirnya dia berkata dengan
suara keras, "Kalian bertiga ini apakah telah menjadi anjing-anjing istana
pula? Nona Hui Kauw, apakah kau selain memusuhi ibu sendiri juga menghambakan
diri kepada kaisar?"
Marah sekali
Loan Ki karena dia dibawa-bawa dalam tuduhan ini. "Tutup mulutmu yang
rusak! Siapa menjadi anjing istana? Kembalikan mahkota itu kepadaku. Benda itu
dahulu milikku sebelum dirampas di Ching-coa-to!"
"Hemm,
manusia-manusia goblok yang hanya mengejar harta benda!" Sambil menangkis
pedang Loan Ki, Bun Wan kembali berteriak. "Kalau kalian menghendaki
mahkota ini, aku pun tidak membutuhkannya. Akan tetapi tunggulah aku mencari
sesuatu di dalamnya, setelah benda tersembunyi itu kuambil, biarlah mahkota ini
kuberikan kepadamu. Bagai mana?"
Memang yang
dia perebutkan adalah surat rahasia, bukan mahkotanya, maka setelah dia
terdesak hebat, Bun Wan mencari akal dengan jalan damai. Kalau surat itu sudah
dapat dia temukan, untuk apakah baginya mahkota emas ini?
Loan Ki dan
Nagai Ici tidak tahu-menahu mengenai surat rahasia, maka mendengar ini mereka
meragu dan mengendurkan penyerangan. Loan Ki masih ingat betapa di Ching-coa-to,
pemuda Kun-lun-pai ini telah menolong Kun Hong dan minta kepada orang-orang
Ching-coa-to untuk membebaskan Kun Hong. Oleh karena itu, ia pun tak pernah
berniat membunuhnya dan kalau tidak terpaksa karena memperebutkan mahkota emas,
ia pun tidak akan memusuhi pemuda ini.
Akan tetapi
tidak demikian dengan Hui Kauw. Mendengar omongan Bun Wan itu, ia pun terkejut
sekali. Ia mempertahankan mahkota kuno itu demi kepentingan Kun Hong dan ia
telah mendengar dari Kun Hong bahwa Pendekar Buta itu sama sekali tidak
menginginkan mahkota, melainkan surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Apa
pun juga jadinya, ia harus membantu Kun Hong, dan surat itu harus dapat ia
berikan kepada Kun Hong, kalau bisa tentu saja berikut mahkotanya.
"Tak
usah banyak cakap, berikan mahkota itu kepadaku atau mampuslah!" pedangnya
menyambar hebat sehingga terpaksa dengan gugup dan cepat Bun Wan lalu menangkis
sekuatnya.
"Trannggggg...!"
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika kedua batang pedang itu bertemu dengan
kerasnya. Alangkah kagetnya hati Bun Wan ketika tiba-tiba pedang di tangan Hui
Kauw itu begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung
mengirim bacokan ke arah pundaknya.
Dia segera
menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan, maksudnya hendak menggunakan cara ini
untuk menjauhkan diri, dan mencari kesempatan untuk meloncat dan melarikan
diri. Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin disusul bersiutnya sambaran pedang
bersinar merah.
Dia lebih
kaget lagi, cepat melompat bangun sambil menggerakkan pedang menangkis. Itulah
pedang samurai merah dari Nagai Ici yang sudah menerjangnya, disusul pedang
Loan Ki. Dalam sekejap mata saja Bun Wan sudah dikurung dan dikeroyok tiga
lagi.
"Baiklah,
aku akan mengadu nyawa!" teriak Bun Wan dan dia menjadi nekat, membalas
serangan tiga orang pengeroyoknya dengan jurus-jurus terlihai.
Akan tetapi
kenekatannya tiada guna, malah membahayakan karena memang tiga orang
pengeroyoknya itu berada di pihak yang jauh lebih kuat. Lewat belasan jurus,
pedang Hui Kauw berhasil melukai pundaknya yang sebelah kanan. Pada saat itu,
pedang samurai merah di tangan Nagai Ici menyambar ganas ke arah lehernya.
Bun Wan
tidak sempat lagi mengelak. Pundaknya terasa sakit dan menghadapi samurai merah
yang berkelebat itu, dia menangkis dan pedangnya terlepas dari tangan. Tenaga
Nagai Ici amat besar dan pada saat itu, pundak kanan Bun Wan sudah terluka
sehingga tenaga tangan kanannya berkurang dan ketika menangkis, tanpa dapat dia
pertahankan lagi pedangnya terlepas dari tangan.
Secepat
kilat Hui Kauw menyambar dengan pedangnya. Terdengar kain robek dan di lain
saat mahkota itu sudah berada di tangan si nona muka hitam dan baju Bun Wan
sudah terobek ujung pedang.
Loan Ki dan
Nagai Ici berbareng mengirim tusukan. Bun Wan maklum bahwa tak mungkin dia
dapat menghindarkan dua tusukan ini, maka dia meramkan mata menanti maut.
"Traanggg!
Traanggg!"
Loan Ki dan
Nagai Ici cepat menarik pedang masing-masing dan merasa tangan mereka tergetar.
Kiranya Hui Kauw yang menangkis senjata mereka tadi.
"Jangan
bunuh dia!" kata Hui Kauw, suaranya gemetar. "Dia calon suami Hui
Siang..."
Loan Ki
memandang tajam pada Hui Kauw, dapat mengerti perasaan nona ini dan tidak terus
menyerang.
Hui Kauw
melihat Bun Wan menundukkan kepala akan tetapi sepasang mata pemuda itu melirik
dengan penuh kekecewaan. Dia lalu berkata perlahan, "Pergilah!"
Bun Wan
membanting kakinya. "Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!"
Akan tetapi
karena dia tidak berdaya lagi, dia memungut pedangnya lalu pergi dari tempat
itu dengan cepat.
"Berikan
benda itu kepadaku!" Loan Ki berkata, kini menghadapi Hui Kauw dengan
sikap mengancam.
Nagai Ici
juga sudah berdiri di sampingnya, siap untuk membantu nona kekasih hatinya ini
menghadapi siapa pun juga. Hatinya mulai merasa kagum. Dalam waktu singkat dia
telah menyaksikan banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.
Pemuda yang
dikeroyok tadi juga sangat mengagumkan hatinya. Luar biasa sekali ilmu
pedangnya. Lalu nona muka hitam ini, bukan main. Apa lagi Si Pendekar Buta tadi
yang dikeroyok oleh banyak orang pandai. Mulai dia merasa girang, timbul
harapannya untuk mendapatkan guru sakti seperti yang dicita-citakannya.
Melihat
sikap Loan Ki, Hui Kauw tersenyum. Ia maklum bahwa Loan Ki ini adalah sahabat
baik Kun Hong, maka tentu saja ia tidak mau memusuhinya. Dengan halus ia
berkata,
"Adik
Loan Ki, ketahuilah, aku memperebutkan mahkota ini untuk kuserahkan kepada Kun
Hong." Mendadak mukanya yang menghitam itu menjadi gelap karena dia merasa
jengah menyebutkan nama ini di depan Loan Ki yang dahulu menyaksikan peristiwa
pengantin gagal di Ching-coa-to.
"Kau
bohong! Kulihat tadi Kun Hong dikeroyok dan hampir celaka oleh banyak orang
pandai, kau tidak membantunya malah ikut memperebutkan mahkota."
Kaget sekali
hati Hui Kauw mendengar ini. "Betulkah itu? Siapa yang
mengeroyoknya?"
"Kulihat
ada seorang hwesio kosen, seorang laki-laki hitam, seorang pemuda berpedang
dan... dan..." Loan Ki lantas tergagap karena berat rasa lidahnya untuk
menyebut nama ayahnya.
"Dan
ayahmu juga?" Hui Kauw menegas dengan muka berubah pucat dan hati berdebar
penuh kecemasan.
Celaka kalau
Kun Hong sudah dilihat musuh dan dikeroyok. Pantas saja A Wan juga diganggu,
kiranya para jagoan istana sudah datang. Ia tahu bahwa pasti ayah Loan Ki,
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui juga ikut pula mengeroyok, biar pun Loan Ki diam saja
namun sinar mata gadis lincah itu nampak gugup dan malu.
"Adik
Loan Ki, kau berpihak kepada siapakah? Kun Hong atau ayahmu?" Mendadak Hui
Kauw bertanya dengan sungguh-sungguh.
Bingunglah
Loan Ki saat ditanya begini oleh Hui Kauw, "Ahh... aku tak bisa
memilih..." akhirnya dia menjawab juga. "Kalau tadi aku tidak melihat
ayah di sana, pasti temanku ini aku ajak membantu Kun Hong..."
Hui Kauw
segera mengambil keputusan cepat.
"Bagus,
adikku." katanya sambil memegang tangan Loan Ki yang menjadi kaget melihat
perubahan sikap ini. "Kau terimalah mahkota ini dan kau wakililah Kun
Hong. Kau tentu mau membantunya, bukan?"
Melihat Loan
Ki mengangguk tanpa menjawab, Hui Kauw cepat menyambung, "Tidak ada banyak
waktu lagi. Mahkota ini mengandung sebuah surat rahasia yang menjadi rebutan.
Kau wakili Kun Hong, bawa mahkota ini ke utara dan berikan kepada Raja Muda
Yung Lo. Dengan begini tidak akan sia-sia Kun Hong mempunyai sahabat yang dia
aku sebagai adik seperti kau ini, Maukah kau?"
Loan Ki
adalah seorang yang jujur, dia percaya kepada Hui Kauw. "Dan kau
sendiri?" tanyanya. "Kenapa bukan kau sendiri yang mewakilinya?"
"Bodoh
kau! Bukankah Kun Hong dikeroyok di sana? Aku harus membantunya, aku harus
menolong... suamiku...!" Berkata begini, Hui Kauw melepaskan mahkota di
tangan Loan Ki, lalu melesat pergi dengan kecepatan kilat.
Loan Ki
melongo sampai lama. Dia baru sadar ketika Nagai Ici menegurnya. Cepat-cepat
mahkota itu dia simpan dalam buntalan pakaian.
"Jadi
Pendekar Buta yang gagah itu adalah suami nona muka hitam ini, nona Loan
Ki?"
"Bukan...
ehh, tapi... ohhh,... begitulah agaknya...," jawabnya tidak karuan.
Kemudian dia memandang tajam kepada jago muda Jepang itu. "Nagai Ici, aku
akan pergi memenuhi permintaannya. Aku akan membawa mahkota ini ke utara dan
akan kusampaikan kepada Raja Muda Yung Lo. Apakah kau suka ikut denganku?"
Serta merta
Nagai Ici mengangguk. "Tentu saja, Nona, Ke mana pun kau pergi, kalau kau
menghendaki, tentu aku menyertaimu. Malah... kalau kau mengijinkan, aku... aku
akan membantumu dalam segala hal, biar kupertaruhkan nyawaku,
selamanya..."
Kaku dan
tidak karuan kalimat yang keluar dari mulut Nagai Ici, karena sukar sekali dia
mengeluarkan isi hatinya yang berdebar-debar itu dengan bahasa yang belum
betul-betul dikuasainya.
Sepasang
mata yang jeli itu melebar, kemudian meledaklah suara tawa dari mulut yang
berbibir manis mungil dan merah segar itu, yang segera ditutupnya dengan
tangan. "Kau lucu... hi-hik. Tetapi kau baik sekali, Nagai Ici. Mulai
sekarang, jangan sebut aku dengan nona-nonaan segala, cukup sebut namaku
saja."
Dengan hati
penuh kebahagiaan, Nagai Ici mengangguk-angguk. Akan tetapi mukanya berubah
ketika dia melihat ke belakang Loan Ki dan cepat dia menuding. "Lihat,
siapa mereka?"
Loan Ki
cepat membalikkan tubuh dan melihat beberapa orang berlari cepat sekali dari
arah kota raja. Ada empat orang yang berlari cepat ini dan melihat cara mereka
berlari, kagetlah Loan Ki.
"Cepat,
kita harus segera pergi. Mereka itu jagoan-jagoan istana yang mengejar!"
Para
pengejar itu masih terlalu jauh sehingga Loan Ki tidak dapat melihat siapa
adanya mereka. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit ia menduga apakah ayahnya
juga terdapat di antara mereka yang mengejarnya itu. Tanpa banyak cakap lagi ia
menyambar tangan Nagai Ici dan berlari-larilah kedua orang muda itu menuju ke
timur.
Celakanya, empat
orang itu kini memutar arah dan jelas bahwa mereka itu mengejar dua orang muda
ini. Lebih payah lagi, jalan menuju ke timur ini melalui tegal rumput yang
gundul, tidak ada pohonnya sama sekali sehingga mereka berdua mudah tampak dari
jauh.
Di depan, kurang
lebih lima li dari situ, kelihatanlah sebuah hutan yang hijau tebal. Melihat
hutan di depan ini Loan Ki mengajak Nagai Ici mempergunakan seluruh kekuatan
untuk berlari cepat karena jika sampai mereka berdua dapat mencapai hutan
sebelum tersusul, mereka akan mendapatkan tempat bersembunyi.
Sampai
tersengal-sengal napas dua orang muda itu akibat mereka menggunakan tenaga
melewati ukuran dalam usaha mereka membalap ini.
Nagai Ici
agaknya kurang setuju dan beberapa kali sambil terengah-engah dia berkata,
"Kenapa kita harus berlari-lari seperti dikejar setan? Empat orang itu
kita lawan saja, takut apa?"
Memang,
sebagai seorang pendekar, pantang baginya berlari-lari seperti ini, melarikan
diri dari hanya empat orang yang mengejar mereka.
Loan Ki tadi
sudah menengok beberapa kali dan jantungnya serasa hampir copot ketika ia
mengenal bahwa seorang di antara keempat pengejar itu adalah... ayahnya!
Mendengar ucapan Nagai Ici, dengan tersengal-sengal dia menjawab, "Kau
tahu apa...? Seorang di antara mereka adalah ayah!"
Nagai Ici
terkejut, akan tetapi anehnya, dia malah mengendurkan larinya.
"Hee,
hayo lari cepat. Bagaimana sih engkau ini?"
Nagai Ici
tersenyum, tampan sekali. "Kau aneh, Nona... ehh, Loan Ki. Kalau dia
ayahmu, mengapa takut setengah mati? Bukankah kita pergi ke kota raja justru
untuk mencari beliau?"
Dengan habis
sabar Loan Ki menggoyang-goyang kepalanya sehingga rambutnya yang awut-awutan
karena dipakai berlari itu kini sebagian menutupi pipinya, manis sekali. Dia
menyambar tangan Nagai Ici lagi dan ditariknya untuk berlari lebih cepat.
"Kau
tidak tahu...! Ayah membantu mereka, membantu kaisar..."
Nagai Ici
tidak mengerti. "Biar pun begitu, masa hendak menyerang anak sendiri?
Takut apa?"
"Iihhh,
bodohnya! Aku tidak takut mereka menyerangku, tapi aku takut mereka merampas
mahkota ini. Hayo!"
Nagai Ici
mulai mengerti dan dia mau berlari lebih cepat lagi. Diam-diam dia bingung
juga. Benar-benar kacau-balau. Sang ayah membantu kaisar, tapi si anak
memusuhinya. Bagai mana ini? Mana yang benar? Apa pun juga jadinya, dia akan
membantu dan membela Loan Ki, salah atau benar!
"Heeeiiiii...
Loan Ki...! Berhenti...!" Mendadak terdengar suara bentakan Sin-kiam-eng
Tan Beng Kui.
Loan Ki
pucat. Mereka sudah tiba di pinggir hutan, tetapi suara ayahnya sudah dekat di
belakang. Ketika ia menengok ternyata empat orang pengejar itu sudah dekat
sekali. Tak mungkin dapat bersembunyi lagi, biar pun sudah tiba di pinggir
hutan.
Loan Ki
putus asa dan terpaksa dia berhenti, membalikkan tubuh, tangan Nagai Ici dia
lepaskan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar memandang ke depan. Nagai
Ici juga berdiri tegak, dadanya yang bidang turun naik karena napasnya memburu.
Dia pun bersiap-siap membela nona itu, mempertaruhkan segalanya.
Empat orang
pengejar itu bukan lain adalah tokoh-tokoh istana, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui,
Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio dan It-to-kiam Cui Hwa! Cepat sekali gerakan mereka
dan dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba di situ, dan tidak seorang pun
di antara mereka yang terengah-engah seperti halnya Loan Ki dan Nagai Ici.
Empat orang
ini tadinya mengejar keluar kota raja ketika melihat rajawali emas membawa lari
Kun Hong. Sebelum keluar dari kota raja, mereka mendengar pula dari beberapa
orang pengawal istana tentang mahkota kuno yang katanya dirampas oleh seorang
pria tidak dikenal dan yang dikejar oleh sepasang orang muda, yaitu puteri
Sin-kiam-eng dan temannya.
Mendengar
ini, Tan Beng Kui terkejut. Tak disangkanya bahwa Loan Ki sudah berada di kota
raja, bersama seorang pemuda tampan yang gagah. Siapakah pemuda itu? Karena
khawatir akan keadaan anaknya, maka dia lalu mengejar, bersama tiga orang itu
yang juga ingin mengejar Kun Hong.
"Loan
Ki, kenapa engkau berlari-lari?" ayahnya bertanya, suaranya bengis dan
matanya menatap wajah puterinya dengan tajam.
Tan Beng Kui
lalu mengerling penuh curiga kepada pemuda tampan di sebelah puterinya.
Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan dan gagah, dengan pedang
panjang yang melengkung di pinggang. Pemuda yang sama tidak dikenalnya.
"Ayah...
aku... aku menyusul Ayah ke kota raja dan..."
"Omitohud,
kiranya puteri Tan-sicu? Benar-benar hebat, ayah harimau anak pun harimau pula.
Nona, apakah kau sudah berhasil merampas mahkota kuno itu?" tanya
Bhok-Hwesio sambil tertawa bergelak dan matanya yang lebar memandang ke arah
buntalan pakaian di punggung Loan Ki. Buntalan itu menjendol dan mencurigakan.
Loan Ki
tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan ini, matanya menatap wajah
ayahnya, penuh permohonan dan pengharapan. Akan tetapi wajah Tan Beng Kui
dengan bengis tidak memberi hati kepadanya, malah terdengar orang tua itu
bertanya,
"Loan
Ki kau dengar pertanyaan Bhok Losuhu? Mana mahkota itu, apakah kau sudah
merampasnya?"
Biar pun ia
sudah biasa dimanja, akan tetapi Loan Ki selamanya tak pernah berbohong kepada
ayahnya karena ayahnya sangat benci kepada kebohongan dan semenjak kecil
menanamkan dalam hati anaknya agar tidak suka berbohong.
"Sudah,
Ayah. Akan tetapi mahkota kuno ini adalah milikku. Dahulu akulah yang sudah
merampasnya dari tangan para perampok, dan kini sudah kembali kepadaku. Benda
itu punyaku, Ayah. Sungguh, punyaku dan tidak boleh diminta oleh orang
lain!"
Sin-kiam-eng
cukup mengenal watak puterinya. Jujur dan keras hati. Sekali berkata tidak
boleh, tentu akan mempertahankannya! Dia menjadi ragu-ragu dan berkata kepada
Bhok Hwesio.
"Ada
betulnya juga ucapan anak ini. Benda itu dahulu lenyap, lalu terjatuh ke tangan
perampok dan anakku yang merampasnya."
Bhok Hwesio
tertawa pula. "Menurut The-kongcu, yang terpenting bukanlah mahkotanya,
melainkan surat yang tersimpan di dalamnya. Nona, biarkan pinceng (aku)
memeriksa sebentar mahkota itu, untuk mencari surat rahasia yang tersembunyi di
dalam benda itu. Pinceng hanya membutuhkan surat itu, apa bila sudah terdapat,
biarlah benda emas itu pinceng berikan kepadamu untuk main-main.
Ha-ha-ha!"
Loan Ki
mengerutkan kerungnya. Ia pun bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa Kun Hong
mempertahankan mahkota itu bukan semata-mata karena emasnya, akan tetapi karena
rahasia yang dikandungnya itulah. Susah payah mahkota itu hendak disampaikan
kepada Raja Muda Yung Lo, tentu saja bukan karena benda itu terbuat dari pada
emas berharga, melainkan karena hendak menyampaikan surat rahasia itulah.
Sekarang surat itu hendak diambil, habis untuk apa mahkota itu dibawa-bawa ke
utara? Apa kepentingannya lagi kalau suratnya sudah diambil?
"Siapa
yang percaya omonganmu? Aku tak mengenalmu!" jawabnya sambil memandang
hwesio itu dengan sinar mata berapi, sedikit pun juga tidak memperlihatkan rasa
takut.
"Ha-ha-ha,
betul-betul anak harimau! Nona, pinceng adalah sahabat baik ayahmu, masa kau
tidak percaya?" kata hwesio itu.
"Loan
Ki, kau berikan mahkota itu untuk diperiksa oleh Bhok-losuhu."
Loan Ki
merengut kemudian ia menepuk-nepuk buntalan pada punggungnya. "Ayah, aku
mendapatkan ini dengan susah payah, dengan pedang dan dengan bahaya maut. Masa
sekarang orang lain begini mudah hendak menerimanya dariku? Aku mendapatkan
benda ini dengan mengandalkan kepandaian, masa orang lain tanpa mengandalkan
kepandaian boleh mengambil begitu saja? Ayah, di mana kehormatan kita?"
"Omitohud,
benar-benar cerdik dan gagah anakmu, Tan-sicu. Eh, saudara Lui-kong Thian Te
Cu, maukah kau mewakili kita dan memperlihatkan sedikit kepandaian kepada Nona
ini untuk memindahkan mahkota itu ke tangan kita?"
Lui-kong
Thian Te Cu terkekeh ketawa, kemudian melangkah maju. Loan Ki memandang tajam.
Kalau saja keadaannya tidak begitu menegangkan hati, tentu ia sudah tertawa
geli melihat orang ini. Seorang kakek bertubuh pendek gemuk tetapi tangannya
panjang sekali sampai hampir mencapai tanah, mukanya bulat seperti muka
kanak-kanak. Mau apakah badut ini, pikirnya.
"Nona,
kepandaian manusia tiada batasnya, akan tetapi kau hendak main-main dengan
kepandaian. Jangan katakan aku orang tua keterlaluan terhadapmu kalau terpaksa
aku mempergunakan kebodohan untuk mengambil mahkota itu dari buntalan di
punggungmu. Tan-sicu, maafkan aku, bukan maksudku menghina puterimu. Nona,
awas!"
Tiba-tiba
tangannya yang kanan terulur panjang, tangan itu bergerak cepat dan tahu-tahu
sudah melewati kepala Loan Ki kemudian melengkung hendak merenggut buntalan
dari punggung!
Loan Ki
terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan kaki mengelak. Berkat ilmu langkah
ajaib yang dia pelajari dari Kun Hong, dengan tiga kali gerakan kaki dia dapat
berhasil membebaskan diri dari kurungan lengan panjang itu.
"Ho-ho-ho,
kau hebat, Nona!" kata Thian Te Cu yang kini tidak berani memandang rendah
lagi. Tubuhnya berkelebat dan seperti seekor burung menyambar-nyambar, dia
berusaha merenggut buntalan dari punggung Loan Ki.
"Jangan
kurang ajar!" tiba-tiba Nagai Ici membentak dan sekali dia menggerakkan
dua tangannya, dia sudah berhasil menangkap kakek itu dan di lain saat kakek
itu sudah terlempar ke udara oleh ilmu gulatnya.
Hebat
kejadian ini, sampai-sampai membuat Bhok Hwesio, Tan Beng Kui dan Gui Hwa
melongo saking kaget dan herannya, mengira bahwa pemuda teman Loan Ki itu
begitu saktinya sehingga Thian Te Cu yang demikian lihai itu dalam satu
gebrakan saja dapat dilempar ke udara!
Padahal
kejadian itu bisa timbul karena Thian Te Cu terlalu memandang rendah kepada
pemuda ini dan tidak mengenal keanehan ilmu gulat Jepang sehingga tanpa dapat
dia pertahankan lagi, kakek gemuk pendek ini melayang ke udara bagaikan sebuah
peluru kendali. Akan tetapi segera Thian Te Cu dapat menguasai kekagetannya dan
dengan cekatan dia dapat melayang turun kembali lalu tiba-tiba dia menyerang
Nagai Ici.
Pemuda
Jepang ini karena marah hendak melindungi Loan Ki, menyambut serangan si kakek
dengan kepalan tangannya. Akan tetapi kali ini dia kaget, karena begitu kepalan
tangannya bertemu dengan telapak tangan kakek itu, dia berteriak kesakitan dan
menarik kembali tangannya yang sudah menjadi bengkak. Sambil meringis kesakitan
Nagai Ici memegangi kepalan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.
"Kakek
jahat, berani kau melukai temanku!" Loan Ki berseru dan kini ia sudah
mencabut pedang, langsung ia menerjang Thian Te Cu.
Namun kakek
yang lihai ini sudah bersiap sekarang. Dengan gerakan aneh dia miringkan
tubuhnya, tangan kirinya diulur mencengkeram tangan Loan Ki yang memegang
pedang.
Gadis itu
kaget, cepat menarik kembali pedangnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa
buntalan pada punggungnya sudah direnggut orang. Ketika ia menoleh, kiranya
tangan kanan yang panjang dari Thian Te Cu sudah berhasil merampas buntalan
itu. Kini kakek itu sambil terkekeh-kekeh menyerahkan mahkota kepada Bhok
Hwesio dan melemparkan buntalan pakaian kembali kepada Loan Ki yang
menyambutnya dengan uring-uringan.
"Bagaimana
tanganmu?" Ia menghampiri Nagai Ici yang memperlihatkan kepalan tangan
kiri yang membengkak.
Loan Ki
mengurut pergelangan lengan itu beberapa kali dan sebentar saja bengkak itu
mengempis. Memang tangan Nagai Ici itu tidak terluka, hanya keseleo saja ketika
bertemu dengan telapak tangan Thian Te Cu yang mengandung tenaga lweekang amat
kuat.
Diam-diam
Sin-kiam-eng menyaksikan semua peristiwa itu. Jantungnya serasa tertikam ketika
dia menyaksikan sikap mesra Loan Ki terhadap pemuda itu, dan dia pun terharu
menyaksikan betapa pemuda aneh itu tadi tanpa mengukur kepandaian sendiri sudah
berani membela Loan Ki mati-matian.
Sementara
itu, Bhok Hwesio sudah mulai memeriksa mahkota. Diputar-putar ke sana ke mari,
lalu diperiksa sebelah dalamnya. Dipencet sana, pencet sini, akan tetapi tidak
dapat dia menemukan sesuatu. Dengan kening berkerut hwesio itu lalu menggunakan
tenaga tangannya yang luar biasa. Sekali dia berseru keras, kedua tangannya
telah mematahkan mahkota menjadi dua! Dia memeriksa secara teliti dan tampaklah
olehnya tempat rahasia di dalam mahkota yang sudah kosong!
"Omitohud...
orang muda hendak mengakali orang tua!"
Dia
melemparkan potongan mahkota ke atas tanah dan kini memandang kepada Loan Ki
dengan muka merah. "Nona, di dalam mahkota ini terdapat surat rahasianya,
tetapi kini ternyata sudah kosong. Harap kau jangan main-main dan lekas
serahkan surat itu kepada pinceng."
Loan Ki
sendiri heran dan penasaran ketika melihat bahwa mahkota itu ternyata tidak
mengandung sesuatu. Hampir saja dia melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia.
Apa artinya dia membawa benda itu jauh-jauh ke utara kalau ternyata tidak ada
apa-apanya? Siapakah yang telah mengambil isi mahkota itu?
"Aku
tidak tahu tentang surat-surat segala," katanya.
Bhok Hwesio
menoleh kepada It-to-kiam Gui Hwa. "It-to-kiam lihiap, kau seorang wanita,
maka sepantasnya kaulah yang menggeledah Nona ini. Tentu surat itu telah
diambil dan disimpannya."
It-to-kiam
Gui Hwa adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya kecil
kurus, gerak-geriknya gesit. Ia melangkah maju dan siap menggeledah tubuh Loan
Ki.
Nona ini
mengerutkan keningnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya.
"Nona
cilik, harap kau jangan mempermainkan kami orang-orang tua. Serahkan saja surat
itu dari pada aku terpaksa harus menggunakan kekerasan," Gui Hwa
mengancam.
"Ayah,
apakah kau akan membiarkan saja anakmu dihina orang?" Loan Ki menjerit
sambil memandang ayahnya.
Sin-kiam-eng
Tan Beng Kui bingung. Tentu saja dia pun tidak senang melihat puterinya didesak
begitu rupa dan diperlakukan dengan cara menghina.
"Loan
Ki, kalau kau memang sudah mengambil surat itu, kau serahkan saja, jangan kau
mencampuri urusan negara ini," katanya dengan suara bengis dan
berpengaruh.
"Aku
tidak tahu menahu tentang surat, Ayah," kata Loan Ki, suaranya tegas
karena dia memang tidak membohong.
"Lebih
baik jika kau berterus terang saja, Nona. Jangan main-main!" It-to-kiam
Gui Hwa mengancam.
"Nenek
buruk, aku sudah berterus terang, tidak tahu-menahu tentang surat itu. Kau mau
apa?!" bentak Loan Ki.
"Baik,
kalau begitu jangan salahkan aku jika pedangku akan merobek-robek bajumu dan
menelanjangimu di sini." Gui Hwa berseru marah sambil mencabut pedangnya
yang tipis dan panjang.
"Srattttt!"
Loan Ki juga
mencabut pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara getir, "Ayah,
bila kau tetap membiarkan anakmu dihina orang, biarlah sekarang pedangku yang
akan melindungiku, lihatlah betapa anakmu tidak akan membiarkan begitu saja
dihina lain orang!"
Tan Beng Kui
bingung, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Gui Hwa telah
menerjang maju menggerakkan pedangnya dengan maksud merobek-robek pakaian Loan
Ki agar surat yang disembunyikan dapat dirampas, karena kalau digeledah begitu
saja gadis ini tentu tidak akan mau menyerah.
Loan Ki
dengan marah juga menggerakkan pedang sehingga dua orang wanita tua dan muda
ini sudah bertempur dengan hebat, seru dan mati-matian.
"Jangan
menghina Loan Ki!" Nagai Ici yang sudah sembuh tangan kirinya, ternyata
telah mencabut pedang samurainya dan kini maju hendak membantu Loan Ki.
Sikapnya garang dan bersemangat seperti seekor singa muda.
"Ho-ho-ho-ho,
pemuda sombong, jangan bergerak!" Lui-kong Thian Te Cu melompat ke depan,
menghadang gerakan Nagai Ici dan dia pun sudah mengeluarkan senjatanya yang
aneh, yaitu sebatang tanduk seperti tanduk rusa yang panjangnya kurang lebih
empat kaki, runcing dan bengkok-bengkok.
Dengan
gerakan cepat dia mendahului pemuda ini, mengirim pukulan dengan senjata aneh
ini ke arah pundak kanan untuk membuat tangan pemuda itu lumpuh. Dia pun sama
sekali tidak berniat membunuh pemuda ini, hanya untuk merobohkan dan
mengalahkan pemuda ini.
"Traaanggg...
singgg... Hiaaaaattttt!!"
Kaget bukan
main Lui-kong Thian Te Cu. Seperti juga tadi, kali ini dia dibikin kaget oleh
gerakan aneh pemuda ini karena begitu menangkis, pedang panjang itu langsung
saja menyambarnya dengan kecepatan luar biasa dan tenaga yang amat kuat. Hampir
saja dia celaka oleh serangan balasan yang otomatis dari Nagai Ici ini, karena
kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan lehernya terkena
sambaran pedang panjang itu, tentu sekarang dia sudah menjadi setan tanpa
kepala.
"Wah-wah,
ilmu pedang ganas seperti iblis mengamuk! Kau ini orang apakah?" bentak
kakek itu yang cepat menerjang kembali, kini dengan hati-hati sekali mainkan
senjatanya yang aneh.
Karena
memang tingkat kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada Nagai Ici, maka
sebentar saja jago muda Jepang itu sudah menjadi repot sekali, terpaksa
menggerakkan pedang samurainya ke sana sini untuk menangkis tanduk rusa yang
sepertinya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya, mengurung dirinya
dari segala penjuru. Juga Loan Ki amat repot menghadapi pedang It-to-kiam Gui
Hwa. Nenek ini merupakan seorang tokoh Kun-lun-pai dan dalam hal ilmu pedang,
kepandaiannya bahkan lebih matang dari pada kepandaian Bun Wan. Tentu saja
tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada Loan Ki.
Dengan mudah
saja nenek ini mempermainkan Loan Ki yang terpaksa mempergunakan langkah ajaib
untuk menyelamatkan diri. Namun, mana bisa orang bertempur hanya main tangkis
dan kelit saja? Kalau diteruskan, akhirnya dia tentu akan celaka, akan terobek
bajunya dan mengalami hinaan yang hebat. Melihat keadaan itu, Tan Beng Kui
menjadi lemas kaki tangannya, jantungnya berdebar dan kerongkongannya terasa
kering.
Tiba-tiba
saja terdengar suara keras dan... pedang samurai di tangan Nagai Ici sudah
terlempar ke atas kemudian jatuh menancap tanah, sedangkan pangkal lengan kanan
pemuda itu sendiri sudah terluka oleh pukulan senjata Thian Te Cu. Pukulan
keras yang membuat lengan itu serasa lumpuh dan pemuda ini hanya berdiri
memegangi lengannya, tidak mampu berdaya lagi menghadapi kakek yang lihai itu.
Thian Te Cu tertawa-tawa bergelak atas kemenangannya. Akan tetapi, melihat
betapa Loan Ki didesak hebat oleh Gui Hwa, Nagai Ici mengeluarkan pekik
menyeramkan dan dengan tangan kosong dia maju menyerbu, menerkam Gui Hwa tanpa
mempedulikan keselamatannya sendiri!.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment