Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 01
KOTA Shaning
terletak di lembah Sungai Yang-ce yang mengalir melalui Propinsi An-hui. Kota
ini cukup besar dan penduduknya padat terbukti dari bangunan-bangunan rumah
yang berhimpit-himpitan. Berbeda dengan tempat-tempat di sekitar lembah Sungai
Huai yang juga mengalir melalui Propinsi An-hui dan yang sering kali membanjiri
kanan kirinya, lembah di sekitar Sungai Yang-ce amat subur dan makmur. Demikian
pula keadaan kota Shaning.
Kemakmuran
kota ini terpancar keluar dan dapat dilihat dari seri wajah para penduduknya.
Di sepanjang Sungai Yang-ce nelayan-nelayan melakukan pekerjaan mereka sambil
bernyanyi gembira, juga petani-petani mengerjakan sawah ladang dengan giat dan
muka berseri-seri, yakin akan hasil tanah yang diolahnya, para penggembala
menghalau hewan ternaknya dengan perasaan ayem dan hati senang sambil
memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di bawah pohon
memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau segar.
Juga di
dalam kotanya sendiri jelas nampak kemakmuran dengan banyaknya
pedagang-pedagang yang menjual kebutuhan penduduk dengan harga murah.
Pembesar-pembesar setempat melakukan tugas mereka dengan sangat baik, jujur,
dan adil, berbeda sekali dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan
kedudukan dan kekuasaan mereka untuk menghisap rakyat dan memenuhi kantung
mereka sendiri.
Hal ini
tidak terjadi karena kebetulan saja pejabat-pejabat di Shaning adalah
orang-orang yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena pengaruh seorang
pendekar besar yang bertempat tinggal di kota Shaning. Pendekar inilah yang
membuat para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras
rakyat. Bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar kota Shaning
menjadi aman sekali. Tak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah
ini.
Memang tidak
mengherankan apa bila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau
dunia penjahat) tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar
ini bukan lain adalah Sie Cin Hai, yaitu pendekar berilmu tinggi yang telah
membuat gempar seluruh dunia persilatan dan kelihaiannya telah diakui oleh para
tokoh persilatan di empat penjuru.
Di samping
pendekar ini yang di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh,
juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang tidak kurang-kurang
lihainya, karena isterinya ini adalah bekas sumoi-nya (adik seperguruan)
sendiri, yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.
Di samping
sepasang suami isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi
seorang yang juga amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama
Yo Se Fu. Melihat warna kulitnya dan potongan mukanya, orang akan menduga bahwa
Yo Se Fu ini bukanlah seorang Han. Memang betul, kakek tua yang disebut Yo Se
Fu ini berasal dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang bangsawan
Turki yang selain berilmu tinggi juga amat baik budi.
Di dalam
cerita Pendekar Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini sudah
diangkat sebagai ayah oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya
Sie Cin Hai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu
hoat-sut (sihir) yang cukup tinggi.
Dengan
adanya keluarga inilah, maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah
mereka yang besar mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning,
seakan-akan di dalam rumah besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan
yang boleh dipercaya.
Pada suatu
pagi yang cerah, semua penduduk Shaning sudah keluar dari pintu rumah
masing-masing untuk melakukan pekerjaan mereka. Ada yang hendak pergi ke ladang
untuk mencangkul tanah, juga ada yang pergi ke sungai untuk mulai dengan
pekerjaan mereka mencari ikan atau menambangkan perahu, ada pula yang pergi
untuk berdagang dan lain-lain.
Yang amat
menarik adalah kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka
begitu saja sungguh pun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan
oleh para penghuninya yang pergi bekerja. Memang telah lama sekali penduduk
Shaning tak mengenal adanya perampokan atau pencurian sehingga mereka boleh
meninggalkan rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!
Kalau pada
pagi hari itu di jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan demikian
ramainya, di lorong-lorong kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah
sunyinya karena semua orang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiba-tiba
terdengar suara nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh
dua deretan rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari
suaranya yang bening dan tinggi nadanya itu dapat diduga bahwa yang bernyanyi
adalah seorang anak perempuan. Di samping merdu sekali, juga suara itu
terdengar sangat gembira dan jenaka.
Plak! Plok!
Plak! Plok!
Si Tolol
naik kuda,
Kudanya
sudah tua,
Jalannya
kaya onta!
Kemudian
dari sebuah belokan di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok betul dengan
suaranya yang bening merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan
tahun itu luar biasa cantik dan manisnya.
Rambutnya
yang hitam serta panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di
kanan kiri yang membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih
kemerahan, dengan sepasang mata yang indah bening bagaikan mata burung Hong.
Kesegaran
mukanya ini makin jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga
kanannya. Kalau melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan
mulut kecil mungil dan merah yang selalu tersenyum gembira itu. Baik dari
sepasang matanya yang bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang kecil mancung
dan dikembang-kempiskan dengan cara lucu, mau pun dari bibirnya yang
tersenyum-senyum, nampak kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.
Pakaian yang
dikenakannya juga amat pantas, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya
berwarna merah dengan pinggiran putih. Celananya warna putih bersih dengan pita
lebar warna hijau di bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik
baju mau pun celananya terbuat dari pada sutera mahal yang indah dan juga
sepatunya yang baru dan baik itu menunjukkan bahwa dia adalah anak seorang yang
berkeadaan cukup baik, dan kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.
Siapakah
anak perempuan yang sangat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang
memandangnya ini?
Apa bila
pertanyaan ini diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik dia
petani, nelayan, mau pun pedagang, baik dia kakek-kakek, orang dewasa, mau pun
anak kecil, akan dapat menjawabnya dengan cepat. Dia adalah anak kedua dari
pendekar Sie Cin Hai. Anak perempuan ini sebetulnya bernama Sie Hong Li, akan
tetapi ibunya yang sangat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk
memudahkan, lebih baik kita pun menyebut Lili saja kepadanya.
Lili memang
memiliki sifat periang dan jenaka, sungguh pun harus diakui bahwa kadang kala
dia amat bengal sehingga sering kali dimarahi oleh ayahnya. Jauh bedanya dengan
kakaknya yang usianya dua tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga
Sie yang bernama Sie Hong Beng.
Semenjak
kecil Hong Beng menunjukkan sifat pendiam, akan tetapi kedua matanya yang
bersinar-sinar bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar
biasa. Sebaliknya, Lili tidak begitu maju dalam hal pelajaran membaca dan
menulis. Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlampau bodoh, akan
tetapi karena dia memang tak suka duduk diam dan tekun belajar.
Pada waktu
menghafalkan pelajaran, pikirannya lebih sering melayang pada kesenangan
bermain-main, dan bahkan sering kali dia mengganggu serta menggoda kakaknya
yang sedang tekun belajar sehingga dia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau
sudah begitu, tentu ibunya yang akan datang menghibur dan memanjanya, atau juga
kakeknya, yakni Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi
makin bengal.
Betapa pun
juga, dalam hal pelajaran ilmu silat harus diakui bahwa Lili mempunyai bakat
yang luar biasa dan baik sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya amat lemas dan
indah kadang-kadang mengingatkan ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang
pendekar wanita kenamaan yang menjadi sahabat baik mereka dan yang tinggal
dengan suaminya di seberang laut, di sebuah pulau kecil.
Oleh karena
bakatnya ini maka biar pun usianya baru saja delapan tahun dan sungguh pun dia
tidak dapat menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya
itu, Lili sudah menjadi seorang anak yang pandai ilmu silat, bahkan laki-laki
dewasa yang biasa saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!
Lili memang
benar-benar nakal. Hampir setiap hari dia pasti pergi dari rumah, pergi ke
kampung-kampung, bermain-main dengan kawan-kawan satu kampung atau berkelahi!
Memang luar biasa sekali, apa lagi pada jaman itu, ada seorang anak perempuan
selalu mencari jago-jago kecil di setiap kampung dan mengajaknya mengadu
kepalan!
Dan hasilnya
selalu tentu Lili yang menang, ada pun jago kecil itu mendapat telur yang
menjendol di kepala atau pipinya menjadi matang biru. Apa bila sudah begitu,
orang tua anak itulah yang akan datang mengadu sehingga sering kali Lili
dimarahi secara keras oleh ayahnya.
“Lili!
Apakah kelak kau akan menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak
perempuan bertingkah sekasar itu!” Ayahnya mengomel.
Akan tetapi
di luar tahunya Cin Hai biar pun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat
mendongeng di depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya ‘pertempuran’ yang
tadinya dia lakukan dengan anak laki-laki itu!
Demikianlah,
pada hari itu seperti biasa, Lili telah mulai ‘keluyuran’ dan keluar dari rumah
sejak pagi-pagi sekali. Kali ini dia lebih bebas dari pada biasanya, oleh
karena telah ada sepekan ini ayah dan ibunya pergi ke barat untuk mengantarkan
kakaknya, Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama Pok Pok Sianjin
yang juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!
Sepuluh
tahun yang lalu, sebelum Hong Beng lahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah
dengan Lin Lin, kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa kelak dia
akan memberi pelajaran ilmu silat tongkat kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka
setelah kini Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama isterinya lalu
membawa putera mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih
janji, sekalian melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.
Lili yang
hanya tinggal berdua dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf
memang amat memanjakan cucu perempuannya ini. Sambil menyanyikan lagu-lagu lucu
yang dia pelajari dari Yousuf karena kakek asal Turki ini sering mendongeng
kisah-kisah kuno kepada kedua cucunya, dongeng Turki yang didongengkan sambil
bernyanyi. Lili berjalan sambil berlompatan meniru larinya kuda yang
dinyanyikannya dalam lagu 'Kisah Si Tolol Naik Kuda'.
Lorong kecil
yang dilaluinya itu dipasangi batu-batu lebar dan rata pada bagian tengah,
dijajarkan memanjang dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan
karena jalan kecil itu tentu akan menjadi amat becek berlumpur.
Kini Lili
melompat-lompat dari satu batu ke batu lain sambil bernyanyi gembira, kadang
kala diseling oleh suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja
yang melihat kelucuan dan kegembiraan anak perempuan ini, tentu akan ikut
tertawa gembira.
Memang Lili
sedang gembira sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini
berarti bahwa ia tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno
yang sulit itu, tidak usah menghafalkan ujar-ujar dan sajak-sajak kuno yang
sering membingungkan kepalanya.
Sebetulnya,
oleh ibunya telah ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalkan dan
ditulisnya, dan Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya. Akan tetapi, kakek
ini tidak kuat menghadapi senyum atau rengek Lili dan sekali saja anak perempuan
ini dengan pandang mata manja menyatakan keinginannya hendak pergi bermain,
Yousuf tak dapat dan tidak tega melarangnya pula!
Ketika Lili
sedang berlompatan sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar
bunyi derap kaki kuda yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan
batu itu dengan mata dipentang lebar. Dari sebuah tikungan jauh di depan,
muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan dua lainnya di
belakangnya.
Dan ketika
dia melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak terasa lagi, Lili memandang
dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata perlahan, “Ahh, dia itu benar-benar
Si Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kongkong (Kakek)!”
Penunggang
kuda yang di depan itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat
puluh tahun. Mukanya cukup tampan dan hidungnya mancung, akan tetapi ia
memelihara cambang bauk yang membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga
sampai ke dagu dan bawah hidungnya, menutupi mulutnya. Kepala dibungkus dengan
ikat kepala yang lebar, menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat kepala ini
berwarna merah.
Pakaiannya
berwarna putih dan sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat dari pada kulit.
Di pinggang kirinya nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera
merah. Kuda yang ditungganginya berwarna putih dan bagus, dengan kendali warna
merah pula. Pendeknya, seorang setengah tua yang gagah.
Lili
menganggap laki-laki ini seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh
karena memang di dalam dongeng kakeknya itu, terdapat seorang lelaki tampan
yang naik kuda, akan tetapi karena ketolotannya, dia sering kali menghadapi
hal-hal yang lucu.
Dua orang
yang menunggang kuda di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang
berjubah putih dan yang ke dua berjubah hitam. Keduanya memakai topi putih yang
bentuknya segi empat.
Memang tidak
terlalu salah bila mana Lili mempersamakan penunggang kuda itu dengan tokoh
dalam dongeng kakeknya, karena orang-orang ini memang bukan orang Han, dan muka
mereka memiliki potongan yang sama pula dengan Yousuf. Dan bila Lili mengenal
siapa adanya Si Brewok itu dan tahu apa maksud kedatangannya di kota Shaning,
tentu anak ini takkan berdiri setenang dan sesenang itu menghadapi ketiga orang
penunggang kuda ini!
Melihat ada
seorang anak perempuan yang cantik jelita sedang berdiri di tengah jalan sambil
memandang dengan mata terbelatak, Si Brewok lantas menahan kudanya, diturut
oleh kedua orang pengikutnya.
“Hei, Nona
kecil! Tahukah kau di mana rumahnya bangsat tua Yousuf?” suaranya parau dan
kata-katanya ini diucapkan dalam bahasa Han yang sangat kasar dan kaku, akan
tetapi yang amat menyakitkan hati Lili adalah sebutan ‘bangsat tua’ kepada
kakeknya itu!
Lili sudah
tahu pula bahwa kongkong-nya itu mempunyai nama yang aneh, dan pernah kakeknya
itu menceritakan bahwa ia datang dari negeri barat yang amat jauh dan di sana
ia disebut sebagai ‘Yousuf’. Akan tetapi Lili sendiri selalu menyebutnya
‘Yo-kongkong’. Ia dapat menduga bahwa orang berkuda ini tentu mencari
kongkong-nya, akan tetapi dia sengaja menjawab dengan mulut mentertawakan orang
itu.
“Tidak ada
bangsat-bangsat di sini, biar tua mau pun muda. Apakah kau yang bernama
Aladin?” Lili menyebutkan nama tokoh dongeng yang diceritakan oleb kakeknya
itu.
Si Brewok
itu memandang heran mendengar pertanyaan ini. “Eh, apa maksudmu?” tanyanya
sambil menahan kendali kudanya yang telah tidak sabar dan kaki depannya
menggaruk-garuk tanah.
Lili tidak
menjawab, hanya tersenyum mengejek, kemudian dia pun membuat gerakan
melompat-lompat seperti kuda dan terdengar pula nyanyiannya.
Plak! Plok!
Plak Plok!
Si Tolol
naik kuda,
Kudanya
putih tua,
Jalannya
seperti onta!
Ia sengaja
mengganti kata-kata kudanya sudah tua menjadi kudanya putih tua karena kuda
yang ditunggangi oleh Si Brewok itu memang berbulu putih.
Mendengar
nyanyian ini, Si Brewok dan dua orang kawannya nampak terkejut dan heran.
Nyanyian dongeng Turki, bagaimana anak bangsa Han ini dapat menyanyikannya?
“Bocah
kurang ajar, siapakah yang mengajarmu bernyanyi seperti itu?” Laki-laki brewok
itu membentak sambil memandang tajam.
Lili masih
tersenyum-senyum lucu dan karena mengira bahwa tiga orang itu mengagumi
nyanyiannya seperti orang-orang lain, dia lalu menjawab bangga,
“Di kota
ini, siapa lagi kalau bukan Yo-kongkong yang dapat mengajarkan nyanyian yang
bagus-bagus? Kalau kau mencari orang, lebih baik kau bertanya kepada kakekku Yo
Se Fu, akan tetapi jangan berlaku kurang ajar kepadanya!”
Berubahlah
wajah Si Brewok itu pada saat ia bertanya, “Jadi Yo Se Fu adalah kakekmu?
Apakah kau anak dari Sie Cin Hai?”
“Dia memang
ayahku! Siapa yang tidak tahu akan hal ini?” kata pula Lili dengan bangga
karena memang dia tahu bahwa ayahnya dipuji-puji dan disegani orang.
Akan tetapi
alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Si Brewok itu ketika mendengar
bahwa dia adalah cucu Yo Se Fu dan anak Sie Cin Hai, lalu mukanya berubah
beringas dan sambil mencabut golok tajam yang tergantung di pinggang,
membentak, “Bagus! Kalau begitu, kau pun harus mampus mendahului Yousuf!”
Setelah
membentak demikian, Si Brewok itu segera majukan kudanya dan menggunakan
goloknya membacok ke arah Lili yang masih berdiri di atas jalan batu, di
sebelah kanan kudanya itu!
Bacokan itu
cepat dan kuat sekali sehingga yang nampak hanya sinar putih berkelebat dari
goloknya yang tajam berkilau, yang diikuti sinar merah dari ronce-ronce
goloknya. Bagaikan kilat menyambar, golok ini menyambar ke arah leher Lili yang
masih berdiri tak bergerak. Agaknya dengan sekali bacok saja, akan putuslah
leher anak itu!
Akan tetapi,
biar pun usianya baru delapan tahun, Lili adalah anak dari Pendekar Bodoh,
seorang pendekar gagah perkasa yang mempunyai kepandaian tinggi, dan sejak
kecil Lili telah mendapat gemblengan ilmu silat dari ayah dan ibunya, bahkan
mendapat banyak petunjuk dari Yousuf.
Maka biar
pun dia belum memiliki ilmu silat tinggi, namun dia telah memiliki
dasar-dasarnya dan telah pula memiliki gerakan otomatis dan gaya reflek, yakni
gerakan yang timbul dengan sendirinya pada kondisi bahaya, gerakan yang dikendalikan
oleh perasaan dan urat syaraf apa bila melihat atau mendengar sesuatu yang
mungkin mendatangkan bahaya atau serangan pada dirinya, seperti yang dimiliki
oleh semua jago silat yang telah tinggi kepandaiannya.
Karena itu,
ketika Lili melihat berkelebatnya sinar golok ke arah lehernya dan mendengar
bunyi angin sambaran senjata itu, otomatis dia lalu membuang tubuh bagian atas
ke kiri sehingga golok itu menyambar lewat di atas punggungnya. Demikian cepat
dan kerasnya sambaran golok itu sehingga Lili merasa betapa leher dan
punggungnya menjadi dingin!
Ketiga orang
itu melongo pada saat melihat betapa anak perempuan itu dengan gerakan yang
indah dapat mengelakkan diri dari serangan tadi, padahal Si Brewok itu biasanya
bila sudah turun tangan, jarang sekali dapat digagalkan biar pun yang diserang
memiliki kepandaian silat. Apa lagi hanya seorang anak-anak!
Merasa bahwa
dirinya berada dalam bahaya maut, Lili cepat menggunakan kesempatan saat ketiga
orang itu masih terheran-heran, lalu melompat cepat ke pinggir sebuah rumah dan
melarikan diri. Dia mendengar suara kaki orang turun dari kuda dan mengejarnya.
Cepat
bagaikan seekor tikus yang dikejar oleh kucing, Lili menyelinap masuk ke dalam
sebuah pintu rumah yang terbuka dan bersembunyi di balik pintu. Dia sama sekali
tidak merasa ketakutan, akan tetapi tidak berani pula mengeluarkan suara, hanya
berdiri diam sambil mengepal kedua tinjunya yang kecil!
Para
pengejarnya berlari cepat melewati pintu rumah itu dan tak lama kemudian mereka
datang kembali dengan langkah perlahan. Ketika tiba di depan pintu rumah itu,
Si Brewok melangkah masuk, akan tetapi hanya menjenguk ke dalam saja. Melihat
di dalam rumah tidak ada orang, dia lalu keluar lagi dan berkata kepada
kawan-kawannya.
“Setan cilik
itu sudah pergi, biarlah kita mencari Yousuf terlebih dahulu. Mudah saja untuk
mencarinya kemudian!”
Orang-orang
itu lalu pergi lagi dan Lili yang bersembunyi di balik daun pintu tersenyum
girang, lantas keluar dan melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah
kawan-kawannya. Anak kecil ini tidak begitu mempedulikan ucapan orang-orang
tadi dan tidak tahu akan adanya bahaya yang mengancam kakeknya, karena biar pun
dia dapat menduga bahwa mereka tidak mempunyai maksud baik terhadap kakeknya,
akan tetapi ia percaya penuh bahwa kakeknya yang amat pandai itu akan dapat
mengusir mereka.
Siapakah
sebetulnya tiga orang tadi? Dan mengapa mereka mencari Yousuf dan tiba-tiba
menyerang Lili anak kecil itu pada waktu mendengar bahwa Lili adalah cucu
perempuan Yousuf dan anak Sie Cin Hai? Untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, marilah kita meninjau secara singkat
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dua belas tahun yang lampau.
***************
Kira-kira
dua belas tahun yang lalu, beberapa kali Kerajaan Turki mengirim ekspedisi ke
Tiongkok ketika mendengar bahwa di tempat-tempat tertentu di Tiongkok terdapat
harta terpendam yang nilainya sangat besar.
Ekspedisi
pertama dilakukan untuk memperebutkan sebuah pulau di seberang timur laut
Tiongkok, yang disebut Kim-san-tho (Pulau Bukit Emas) dan yang disangka
mengandung bukit penuh logam kuning berharga itu. Dalam usaha memperebutkan
pulau ini, terjadilah perang hebat antara barisan Turki, barisan Mongol, dan
juga barisan Kerajaan Tiongkok untuk maksud yang sama.
Pemimpin
besar dari barisan Turki adalah seorang gagah perkasa bernama Balutin yang amat
sakti sehingga ekspedisi itu berhasil sampai di tempat tujuan. Akan tetapi
kemudian Balutin tewas dalam pertempuran ketika melawan tentara Tiongkok yang
dibantu oleh seorang hwesio lihai sekali bernama Hai Kong Hosiang bersama
supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang gagu akan tetapi memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya.
Kemudian, di
Turki terjadi perpecahan setelah ada usaha-usaha yang jahat dari seorang
pangeran yang disebut Pangeran Muda. Pada waktu itu, yang berkuasa di Turki
adalah Pangeran Tua yang adil dan bijaksana, dan diantara kedua orang pangeran
ini timbullah permusuhan, akan tetapi akhirnya pengaruh Pangeran Muda serta
kaki tangannya yang terdiri dari orang-orang jahat dapat dihancurkan. Peristiwa
hebat ini dapat diikuti dengan jelas dalam cerita Pendekar Bodoh.
Dalam
keributan-keributan itu, terdapat seorang pemuda yang dilupakan orang. Pemuda
ini adalah putera tunggal dari Balutin yang gagah perkasa itu, dan yang telah
berusia dua puluh lima tahun ketika ayahnya gugur dalam ekspedisi mencari Pulau
Bukit Emas.
Tentu saja
dia merasa amat berduka dan hatinya penuh diliputi dendam. Akan tetapi, biar
pun dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya, namun dia maklum
bahwa ia tidak berdaya membalas dendam atas kematian ayahnya itu. Sedangkan
ayahnya sendiri masih kalah melawan jago-jago bangsa Han apa lagi dia.
Pemuda ini
mempunyai darah Tionghoa, oleh karena ibunya adalah seorang bangsa Han pula
yang dahulu diculik oleh Balutin dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi,
ibunya meninggal dunia ketika melahirkannya sehingga terpaksa dia dirawat oleh
seorang inang pengasuh yang juga seorang perempuan bangsa Han yang diculik oleh
Balutin.
Ia telah
menganggap inang pengasuh itu sebagai ibu sendiri dan oleh inang pengasuh itu
ia juga diberi nama Tionghoa, yaitu Bouw Hun Ti. Selain ini, Bouw Hun Ti juga
mendapat pelajaran membaca dan menulis bahasa Tionghoa oleh inang pengasuhnya,
maka selain bahasa Turki, Bouw Hun Ti juga mahir bahasa Han. Mungkin karena ia
masih berdarah Tionghoa, maka ia cinta sekali kepada inang pengasuhnya itu.
Balutin
sendiri tak begitu peduli pada puteranya, karena panglima ini memang berwatak
kurang baik dan sungguh pun dia mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi dia
terkenal pula sebagai seorang laki-laki mata keranjang.
Betapa pun
juga, dia memberikan latihan ilmu silat tinggi kepada putera tunggalnya itu
sehingga Bouw Hun Ti mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi yang
tidak diketahui oleh banyak orang.
Setelah
Balutin tewas dalam pertempuran, Bouw Hun Ti kemudian keluar dari negerinya,
bersama inang pengasuhnya yang kini sudah menjadi nenek-nenek pergi ke
pedalaman Tiongkok, di mana ia lalu mengembara setelah mengantar inang pengasuh
itu kembali ke kampung halamannya. Cita-cita Bouw Hun Ti hanya satu, ialah
membalas dendam atas kematian ayahnya.
Oleh karena
maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih belum cukup tinggi untuk dapat
melaksanakan maksud ini, maka dia mulai mencari guru dalam perantauannya.
Akhirnya dia pun bertemu dengan Ban Sai Cinjin, yakni seorang yang berilmu
tinggi. Bouw Hun Ti lalu mengangkat guru kepada orang berilmu ini dan
mempelajari ilmu silat, terutama ilmu golok yang amat lihai gerakannya.
Sesudah
bertahun-tahun mempelajari ilmu silat dari Ban Sai Cinjin, dan kepandaiannya
sudah banyak maju, Bouw Hun Ti lalu mencari musuhnya, pembunuh ayahnya.
Alangkah kecewanya pada saat dia mendengar bahwa Hai Kong Hosiang dan Kam Ki
Sianjin telah meninggal dunia. Pada waktu itu, inang pengasuhnya sudah
meninggal dunia pula akibat usia tua.
Hal ini
membuatnya tidak kerasan untuk tinggal lebih lama di pedalaman Tiongkok dan ia
segera kembali ke negaranya, dengan hati tetap mengandung dendam yang belum
dapat terbalas. Di dalam hati kecilnya dia merasa benci terhadap orang-orang
Han yang telah membunuh ayahnya, dan terutama sekali ia memindahkan
kebenciannya dari dua musuh besar yang telah mati itu kepada para pendekar yang
dahulu pernah memusuhi pengikut Pangeran Muda.
Memang, Bouw
Hun Ti juga menjadi pengikut setia dari Pangeran Muda, maka setelah ia kembali
ke Turki, dia pun kembali bersekutu dengan Pangeran Muda bahkan sekarang
mendapat kepercayaan besar dan kedudukan tinggi karena Pangeran Muda tahu bahwa
dia telah memiliki kepandaian tinggi.
Kedudukan
yang tinggi membuat watak Bouw Hun Ti yang sudah kejam dan sombong makin
menjadi. Pengaruhnya besar sekali dan mengandalkan kepandaiannya, dia mulai
mendesak pengaruh Pangeran Muda dan bahkan dia mulai bercita-cita untuk
mendesak pula kedudukan raja dengan pengaruhnya!
Pangeran
Muda yang melihat hal ini menjadi khawatir sekali, maka segera dicarinya akal
untuk melenyapkan orang berbahaya ini. Pada suatu hari, dia memanggil Bouw Hun
Ti menghadap dan dinyatakannya bahwa dia amat membutuhkan seorang penasehat
yang cerdik pandai. Dalam percakapan ini, disebutnya nama Yousuf.
“Kalau saja
Yousuf bisa didatangkan dan membantuku, ah, hatiku akan menjadi senang. Ia
adalah seorang yang arif bijaksana dan pandai mengurus pemerintahan. Oleh
karena itu harap kau suka mencarinya di pedalaman Tiongkok, dan apa bila
mungkin, sekalian kau balaskan sakit hati kita terhadap seorang pendekar yang
disebut Pendekar Bodoh, bernama Cin Hai, she Sie! Menurut para penyelidik,
sekarang Yousuf tinggal di rumah Pendekar Bodoh itu, di kota Shaning dalam
Propinsi An-hui.”
Maka
berangkatlah Bouw Hun Ti ke pedalaman Tiongkok untuk melakukan tugas ini. Ia
membawa dua orang pengikut yang mempunyai kepandaian cukup tinggi dan langsung
menuju ke Propinsi An-hui.
Pada luarnya
saja dia seakan-akan mentaati perintah Pangeran Muda, padahal di dalam hati dia
mempunyai pendapat lain. Kalau sampai orang yang bernama Yousuf itu dibawa ke
tanah airnya, maka hal itu berarti bahwa ia akan menghadapi saingan berat, apa
lagi dia mendengar bahwa Yousuf juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Hatinya yang
kejam dan penuh kedengkian membuat dia merasa sangat benci terhadap Yousuf,
lebih-lebih sesudah dia mendengar dari para prajurit yang dulu turut melakukan
ekspedisi mencari pulau emas, bahwa Yousuf pernah mengkhianati Kerajaan Turki,
dan mengkhianati ekspedisi yang dipimpin oleh Balutin, ayahnya. Ia menganggap
kegagalan ayahnya adalah akibat dari pada pengkhianatan Yousuf ini dan oleh
karena ini Yousuf harus dibunuh, tidak saja untuk membalaskan dendam ayahnya,
akan tetapi juga untuk mencegah orang tua itu memperoleh kedudukan tinggi di
Turki!
Demikianlah
sedikit riwayat Bouw Hun Ti, seorang yang berkepandaian tinggi dan yang kini
datang memasuki kota Shaning dengan maksud yang sangat buruk dan berbahaya.
Kalau saja dia tadinya tidak memandang rendah kepada anak perempuan yang
menjadi cucu Yousuf itu, tentulah Lili sudah menjadi korbannya yang pertama.
Baiknya Lili dapat mengelak serangannya dan karenanya membuat Bouw Hun Ti
terheran-heran sehingga terlambat mengejarnya.
Kini Bouw
Hun Ti bersama dua orang pengikutnya melanjutkan perjalanannya mencari rumah
kediaman Pendekar Bodoh. Ia adalah orang yang cerdik dan sebelum memasuki kota
Shaning terlebih dahulu dia telah melakukan penyelidikan sehingga dia tahu
bahwa Cin Hai beserta isterinya sedang keluar kota dan yang berada di rumah
hanyalah Yousuf seorang.
Berita ini
sangat menggembirakan hatinya karena sepanjang pendengarannya, Pendekar Bodoh
dan isterinya adalah orang-orang yang merupakan lawan amat tangguh, ditambah
pula dengan Yousuf, maka ia merasa jeri juga! Kini kedua suami isteri itu tidak
berada di rumah dan hal ini merupakan kesempatan yang amat baik baginya.
Rumah Sie
Cin Hai adalah sebuah bangunan besar yang dilindungi pekarangan luas, sedangkan
di kanan kiri dan belakang rumah ditanami bunga-bunga indah. Tanaman ini diurus
oleh Yousuf sendiri yang memang amat suka bunga. Karena adanya pekarangan ini,
maka letak rumah-rumah tetangga di kanan kiri agak jauh dari bangunan itu.
Pada pagi
hari itu, Yousuf yang kini telah tua sekali itu sedang berada di kebun bunga
sebelah kiri rumah, memetik dan membuangi daun-daun kering dan membunuh
ulat-ulat yang mengganggu tanaman. Dengan perlahan dan asyik sekali, ia
melangkah dari pohon ini ke pohon itu, dan nampaknya amat gembira.
Memang,
kakek tua ini merasa hidupnya bahagia sekali. Betapa tidak? Anak angkatnya yang
terkasih, sudah mempunyai rumah tangga yang baik dan dia telah mempunyai dua
orang cucu sedangkan kehidupan mereka sekeluarga dalam keadaan aman dan damai.
Ketenteraman hati ini membuat dia sehat-sehat saja dan jarang sekali menderita
sakit, sungguh pun usianya telah tua dan tenaganya telah banyak berkurang.
Seorang
pelayan wanita lalu datang menghampirinya dan membungkuk sambil berkata,
“Yo-loya, minuman untuk Loya telah tersedia di ruang tengah.”
Yo Se Fu
atau Yousuf mengangguk, kemudian menjawab, “Biarlah dulu, dan lebih baik kau
menyediakan makan pagi untuk Siocia (Nona Kecil).”
“Siocia
semenjak tadi telah pergi keluar, Loya.”
Yousuf
menggeleng-geleng kepala, “Ah, anak itu! Sepagi ini telah pergi. Kalau nanti
ayah ibunya datang dan mendapatkan ia tidak berada di rumah, bukan saja ia akan
mendapat marah, aku pula akan mendapat teguran. Mengapa kalian tidak
mencegahnya dan tidak menyuruh ia memberi tahukan lebih dulu kepadaku sebelum pergi?”
“Siocia
tidak bisa dicegah, Loya. Kami pun telah minta ia memberi tahu lebih dulu
kepada Loya, akan tetapi dia menjawab bahwa Loya takkan melarangnya keluar
bermain dengan teman-temannya.”
Yousuf hanya
menggelengkan kepala dan berkata, “Sudahlah, dan kau bersama pelayan lain
bekerjalah baik-baik, jaga agar semua barang dalam rumah nampak bersih agar
tuan dan nyonyamu akan senang hati kalau datang nanti.”
“Baik,
Yo-loya,” kata pelayan itu yang kemudian mengundurkan diri.
“Anak
bandel...” Yousuf berkata seorang diri dengan mulut tersenyum, “mungkin seperti
ibunya ketika masih kecil.”
Dia lalu
melanjutkan pekeriaannya membuangi daun-daun kering dan ulat-ulat.
Kadang-kadang Yousuf tersenyum geli seorang diri kalau ia teringat akan
kenakalan-kenakalan Lili, dan tersenyum bangga apa bila teringat kepada Hong
Beng yang pendiam, tampan, dan cerdik.
Amat
berbahagialah orang tua yang mempunyai anak seperti Hong Li dan Hong Beng dan
Yousuf merasa turut beruntung melihat Sie Cin Hai dan Lin Lin berbahagia,
karena kedua orang yang dianggap laksana anak sendiri itu memang orang-orang
baik hati dan juga amat berbakti kepadanya. Tidak ada kesenangan lain bagi hati
kakek tua ini kecuali melihat Cin Hai serumah tangga sehat-sehat dan hidup
beruntung.
Tiba-tiba ia
mendengar derap kaki kuda dan ketika ia menengok, ia merasa terkejut dan heran
karena melihat ada tiga orang penunggang kuda masuk ke dalam pekarangan itu.
Orang-orang yang baru datang ini adalah Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya.
Yousuf segera melangkah dan menghampiri tiga orang pengunjung itu.
Mudah saja
bagi Bouw Hun Ti untuk menduga siapa adanya kakek tua yang berpakaian seperti
orang Han akan tetapi berwajah orang Turki itu, karena itu dengan cekatan dia
melompat turun dari kudanya dan bertanya, “Apakah Saudara Yousuf yang terhormat
baik-baik saja?”
Yousuf
terkejut sekali mendengar pertanyaan ini dan dia lalu memandang dengan penuh
perhatian. Matanya yang tua itu sudah agak lamur, akan tetapi dia masih dapat
melihat bahwa orang ini adalah seorang Turki, baik dipandang dari kepalanya mau
pun bentuk mukanya sungguh pun kulitnya kekuning-kuningan seperti kulit orang
Han.
Akan tetapi,
betapa pun ia mengingat-ingat, ia tidak merasa pernah melihat orang ini, maka
jawabnya ragu-ragu, “Maaf, Saudara Muda, sepasang mataku telah terlalu tua
untuk mengingat kembali wajah orang-orang yang sudah lama tidak bertemu
denganku. Saudara ini siapakah dan datang dari mana?”
Bouw Hun Ti
tertawa bergelak hingga Yousuf merasa tak enak di dalam hatinya, karena suara
tawa ini menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berhati kejam dan
sombong. Memang Yousuf mempunyai perasaan halus dan pandangan tajam, dapat
mengenal watak-watak manusia hanya dengan mendengar suara tawanya atau melihat
wajahnya.
“Saudara
Yousuf, walau pun kau sudah lupa kepadaku, agaknya kau tidak lupa kepada
Panglima Besar Balutin yang telah gugur dalam menjalankan tugas yang gagal
karena pengkhianatan bangsa kita sendiri!”
Makin tidak
enaklah hati Yousuf mendengar ucapan ini, karena dia maklum bahwa yang
dimaksudkan dengan pengkhianatan itu tentu dia sendiri. Akan tetapi dengan
tenang dia mengangguk dan menjawab,
“Tentu saja
aku kenal Panglima Balutin yang gagah perkasa, sungguh pun harus kuakui bahwa
perkenalan itu tidak sangat erat. Akan tetapi, aku masih belum mengerti apakah
hubungannya perkenalanku dengan Balutin itu dengan kunjunganmu sekarang ini.
Apa kau sengaja datang jauh-jauh dari Turki hanya untuk mencariku?”
Bouw Hun Ti
mengangguk. “Memang kami sengaja datang untuk mencarimu, dan amat kebetulan
kita bisa bertemu dengan mudah. Saudara Yousuf, lupakah kau kepada Bouw Hun Ti,
putera dari Balutin? Dulu aku hanya dapat melihatmu dari jauh, mengingat akan
kedudukanmu dan selalu aku memandangmu dengan kagum, yaitu sebelum mendengar
betapa kau mengkhianati ekspedisi pemerintahan kita.”
Yousuf
teringat bahwa Balutin memang mempunyai seorang putera yang berkepandaian
tinggi, akan tetapi dulu ia belum pernah berhubungan dengan orang muda itu.
“Sudahlah, tidak ada gunanya kita membicarakan hal yang sudah lampau. Setiap
orang mempunyai kesalahan-kesalahannya sendiri, tergantung dari sudut orang itu
memandangnya. Yang terpenting sekarang beritahukanlah maksud kedatanganmu ini.”
“Ha-ha-ha!
Setidaknya kau masih memiliki sifat terus terang dan langsung seperti sifat
bangsa kita!” Sekarang suara Bouw Hun Ti berubah kasar dan tanpa penghormatan
pula. “Yousuf, aku datang atas perintah Pangeran untuk membawamu ke Turki!”
Mendengar
ini, Yousuf merasa kaget dan memandang penuh kecurigaan. Ia tahu bahwa Pangeran
Tua tak mungkin akan memanggilnya, karena ia telah minta ijin dari Pangeran Tua
untuk meninggalkan tanah air dan masuk menjadi bangsa Han sedangkan Pangeran
Tua telah memberi perkenan sepenuhnya. Dan semenjak saat itu, hubungannya
dengan Turki telah putus sama sekali dan ia telah menganggap diri sendiri
sebagai seorang Han asli. Mengapa sekarang tiba-tiba Pangeran Tua yang
memanggilnya?
“Bouw Hun
Ti, kalau benar Pangeran Tua memanggilku, tentu ada suratnya. Perlihatkan
suratnya kepadaku.”
Bouw Hun Ti
tersenyum sindir. “Untuk memanggil seorang hambanya, Pangeran tidak perlu
menggunakan surat. Apakah kau tidak percaya padaku? Ketahuilah, Yousuf bahwa
aku adalah tangan kanan Pangeran dan kalau kau sudah tiba di sana, akan kau
ketahui sendiri.”
“Kau selalu
menyebut Pangeran, yang mana maksudmu? Tentulah bukan Pangeran Tua yang
menyuruhmu, bukan?”
“Siapa sudi
membantu Pangeran yang lemah itu? Pangeran Muda yang mengutus aku untuk membawamu
kembali!”
Kini
mengertilah Yousuf, dan dia tahu pula bahwa orang ini memang sengaja datang
hendak membikin ribut. Semua orang tahu belaka bahwa dia, Yousuf, adalah
pengikut Pangeran Tua dan yang selalu memusuhi segala tindakan yang tak patut
dari Pangeran Muda, maka tentu saja kalau sekarang pangeran itu mengutus
seorang untuk memanggil atau membawanya ke Turki, itu berarti bahwa utusan ini
telah diberi wewenang penuh untuk membawanya hidup-hidup atau pun mati!
Akan tetapi,
walau pun telah tua sekali, Yousuf masih belum kehilangan keberanian dan
kegagahannya. Dia memandang tajam dan berkata, “Dengarlah, Bouw Hun Ti! Apa
bila Pangeran Muda yang memanggilku, jangankan tanpa surat, biar pun dengan
surat yang disimpan dalam kotak emas permata sekali pun, aku tidak akan mau
mentaatinya!”
“Ha-ha-ha!
Bagus, Yousuf, memang inilah yang kukehendaki! Dengan jawabanmu ini, maka ada
alasan bagiku untuk memenggal batang lehermu!” Sambil tertawa bergelak, Bouw
Hun Ti lalu menggerakkan tangan kanannya dan goloknya yang tajam berkilauan
telah dicabutnya!
Yousuf sama
sekati tidak takut menghadapi Bouw Hun Ti, biar pun dia dapat menduga bahwa
putera Balutin ini tentu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi ketika Bouw
Hun Ti mencabut goloknya, tiba-tiba saja wajah Yousuf menjadi sangat pucat dan
sepasang matanya terbelalak lebar.
Diluar
dugaan Bouw Hun Ti, kakek ini segera menjatuhkan diri berlutut menyembah dengan
jidat menempel di tanah sambil berkata penuh hormat, “Hamba menanti perintah.”
Melihat hal
ini, Bouw Hun Ti yang tadinya merasa heran, menjadi girang sekali karena ia
mengerti bahwa goloknya inilah yang membuat Yousuf bersikap seperti itu. Golok
yang dipegangnya ini adalah golok pusaka yang biasa digunakan oleh Pangeran Tua
dan yang dipergunakan sebagai lambang kekuasaannya. Menurut peraturan lama dari
kerajaan itu, barang siapa pun yang diberi kekuasaan oleh Pangeran Tua untuk
memegang golok ini, maka dia berhak menghukum setiap orang sebagai wakil penuh.

Biar pun
Yousuf merasa heran kenapa golok pusaka dari Pangeran Tua itu bisa terjatuh ke
dalam tangan orang ini, akan tetapi kesetiaannya terhadap Pangeran Tua membuat
ia tidak berani banyak cakap dan segera berlutut, karena ia pikir bahwa di
bawah pengaruh golok itu, ia harus menyerah dan membiarkan dirinya dibawa ke
Turki!
Akan tetapi,
Yousuf masih tidak tahu akan kekejian hati Bouw Hun Ti yang memang telah
memiliki keinginan untuk membunuhnya. Ketika melihat Yousuf bertutut dan
menyembah di hadapannya seperti itu, manusia berhati kejam dan curang ini lalu
mengayun goloknya ke arah leher Yousuf!
Bukan main
terkejutnya hati Yousuf ketika mendengar sambaran angin di atas lehernya, namun
sudah terlambat. Sebelum ia tahu apa yang terjadi atas dirinya, golok yang
tajam itu telah membabat lehernya! Dari lehernya darah mengalir keluar bagai
pancuran ketika kepala kakek tua yang bernasib malang itu menggelinding ke atas
tanah!
Dua orang
pelayan wanita menjerit ketika mereka keluar dan melihat tubuh Yousuf rebah di
tanah dengan leher putus. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi hanya
dengan satu lompatan saja Bouw Hun Ti sudah dapat menyusul mereka dan dua kali
goloknya bergerak, maka robohlah dua orang pelayan itu dalam keadaan mandi
darah dan tidak bernyawa lagi!
Melihat
darah para korbannya itu, Bouw Hun Ti menjadi makin buas.
“Tunggu di
sini, biar aku mengadakan pemeriksaan di dalam!” katanya kepada dua orang
pengiringnya yang memandang semua kejadian itu dengan muka menahan kengerian
hati.
Bouw Hun Ti
segera berlari masuk ke dalam rumah Sie Cin Hai, aduk sana bongkar sini
membunuh dua orang pelayan laki-laki yang kebetulan berada di situ, kemudian
keluar lagi. Dia lalu mengambil kepala Yousuf dengan memegang rambutnya dan
membungkus kepala itu dengan sapu tangan lebar, lalu memberi tanda kepada dua
orang pengiringnya untuk pergi dari situ.
Beberapa
orang yang kebetulan lewat di depan rumah itu, menjadi ketakutan dan segera
melarikan diri sambil berteriak-teriak, memberi tahu kepada semua orang bahwa
Kakek Yo telah dibunuh orang! Orang-orang sekota menjadi gempar dan mereka lalu
membawa senjata dan beramai-ramai menuju ke tempat itu.
Akan tetapi,
Bouw Hun Ti dan kedua pengiringnya sambil membawa kepala Yousuf telah pergi
dari situ. Orang-orang itu hanya mendapatkan mayat Yousuf yang kepalanya hilang
beserta mayat empat orang pelayan.
Gegerlah
keadaan di situ, dan terdengarlah suara tangis para wanita ketika mendengar
bahwa Empek Yo yang baik hati itu terbunuh orang. Mereka lalu mencari-cari ke
dalam rumah dan ketika mereka tidak melihat Hong Li, keadaan menjadi makin
ribut lagi.
“Aduh
celaka! Nona Lili lenyap...!” Mereka mengeluh dan peluh dingin keluar dari
jidat mereka karena mereka dapat membayangkan betapa akan marahnya pendekar
besar Sie Cin Hai dan isterinya apa bila mengetahui hal ini!
Sementara
itu, Bouw Hun Ti yang melarikan kuda bersama dua orang pengiringnya itu, lalu
memberikan bungkusan kepala itu kepada mereka dan berkata,
“Kalian
berdua kembalilah dulu ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian
boleh ceritakan kepada Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa
kubunuh mati. Aku sendiri hendak mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu
dan kemudian sebelum kembali ke Turki, aku hendak mengunjungi guruku.”
Kedua orang
pengiringnya tak berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi
lalu berkata dengan muka pucat, “Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami
tiba di Turki.”
Bouw Hun Ti
tertawa bergelak, lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata,
“Campurkan obat ini dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan
kepala itu, terutama beri yang banyak pada bagian leher, tentu akan terpelihara
baik dan tidak rusak kepala jahanam itu!”
Setelah
memberikan obat itu kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong di
mana tadi dia telah bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya
yang merasa tidak aman berada di dalam kota itu lebih lama lagi, segera
membalapkan kuda keluar dari kota sambil membawa bungkusan kepala itu.
***************
Agaknya
memang sudah nasib Hong Li untuk mengalami bencana pada hari itu, karena anak
perempuan ini kebetulan sekali sedang berjalan hendak pulang dan di tengah
jalan tiba-tiba dia bertemu dengan Bouw Hun Ti yang melarikan kuda dari depan,
muncul di sebuah tikungan!
Lili
terkejut sekali pada saat mengenal Si Brewok yang tadi mengejar-ngejar dan
hendak membunuhnya. Cepat anak ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi
Bouw Hun Ti telah melihatnya dan sambil berseru girang, orang ini melompat
turun dari kuda dan mengejar!
Lili telah
menerima latihan silat dari dua orang tuanya, maka sekecil itu dia telah
memiliki kepandaian lari cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang
mengejarnya ialah seorang laki-laki biasa saja, tidak mungkin dia akan dapat tertangkap.
Akan tetapi, yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Maka, dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah
berhasil menyusulnya.
“Anak setan,
kau hendak lari ke mana?”
Lili maklum
bahwa percuma saja ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar
biasa warisan kedua orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah
datang dekat, tiba-tiba ia berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri sambil
memasang kuda-kuda dan sepasang matanya memandang dengan tajam dan berani!
Bouw Hun Ti
merasa kagum juga melihat sikap anak perempuan ini, apa lagi ketika Lili
tiba-tiba menyerang dengan kepalan tangannya yang mungil itu, melakukan
serangan ke arah pusarnya dengan pukulan yang dilakukan amat indah dan baiknya,
kekagumannya bertambah dan timbullah rasa sayangnya kepada anak ini! Dia lalu
mengulur tangan dan dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat dia berhasil
menangkap tangan Lili dan sekali dia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan
berada dalam pondongannya!
“Setan
kecil, kau mungil sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi,
Lili tidak mau menyerah demikian saja. Biar pun tangan kanannya yang tadi
memukul telah terpegang dan dia telah dipondong orang, kini tangan kirinya
memukul ke arah kepala dan muka yang brewok itu, sedangkan kedua kakinya
meronta-ronta hendak melepaskan diri!
Tapi apakah
daya seorang anak perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli
silat yang tangguh itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak
Lili, anak perempuan itu mengeluh lantas tubuhnya menjadi lemas tak berdaya
sama sekali. Kaki tangannya serasa lumpuh tak bertenaga sehingga dia kini tidak
dapat meronta-ronta lagi.
“Ha-ha-ha!
Setan cilik, kau harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya
dapat berbuat apa!”
Bouw Hun Ti
lalu membawa anak dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan dia segera
melompat naik ke atas kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya ke luar kota.
Hal ini tidak terlihat oleh siapa pun juga, oleh karena semua orang yang
mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi di rumah Sie Cin Hai,
berbondong-bondong pergi ke rumah itu.
Penduduk
kota Shaning segera merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka
semua menghormati Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga
peramah dan berpengetahuan luas. Apa lagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah
angkat dari Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada yang perintah, mereka lalu
membeli peti mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan segala
kehormatan.
Setelah
kelima jenazah itu dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah
peti mati itu dijajarkan di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang.
Mereka, atas anjuran dari Kepala Kota Shaning, siang malam menjaga peti-peti
ini, dan orang yang datang untuk bersembahyang serta ikut berduka cita, terus
membanjir setiap waktu tiada hentinya. Mereka akan menunggu sampai datangnya
Sie Cin Hai suami isteri, sebelum mengubur peti-peti itu.
Tiga hari
kemudian, dari luar kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang
laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan
keduanya nampak gagah sekali.
Yang
laki-laki berpakaian sederhana, wajahnya tampan dan tenang serta sikapnya gagah
sekali. Gagang pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya. Yang wanita
cantik sekali dan senyumnya selalu meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita
ini terlihat gagah perkasa dengan pedang yang tergantung pada pinggangnya.
Mereka ini tidak lain adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar
Bodoh dengan isterinya yang baru pulang dari barat.
“Hai-ko,”
terdengar Lin Lin berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan
girang sekali melihat kita datang!”
Sinar
gembira memancar dari wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu pada waktu ia
mendengar isterinya menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal namun
selalu mendatangkan kegembiraan itu.
“Girang?”
katanya. “Kurasa di samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis
mencela kita yang tidak mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau
betapa dia dulu menangis dan hendak memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”
“Memang dia
agak keras hati dan bandel,” Lin Lin membenarkan.
“Seperti
ibunya,” kata Cin Hai.
Lin Lin
menengok kepada suaminya sambil cemberut. “Kau anggap aku keras hati dan
bandel? Kalau begitu, mengapa kau dulu menikah dengan aku?”
Cin Hai
tertawa. “Karena keras hati dan kebandelanmu itulah!”
“He?!
Bagaimana pula ini?”
“Aku suka
kepadamu karena kau adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!” Mereka saling
pandang dan akhirnya keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah,
sepasang suami isteri ini selalu masih suka bersendau gurau dengan gembira,
menandakan bahwa mereka hidup bahagia sekali.
“Bagaimana
pun juga Hai-ko, jangan kau terlalu keras terhadap Lili, dia masih kecil dan
kecerdikannya memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”
“Kalau
terlalu dikasih hati dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat
ia menjadi bodoh seperti...” Cin Hai hendak berkata seperti ‘keledai’ akan
tetapi ia didahului oleh isterinya.
“Seperti
ayahnya!”
Sekarang Cin
Hai yang menengok dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol,
karena ia baru saja memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin
menyatakan bahwa anaknya bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan dialah
yang dipersamakan dengan keledai!
“Jadi kau
anggap aku bodoh?”
Lin Lin
tertawa geli sampai menekan perutnya dan dia menuding ke arah muka Cin Hai
sambil berkata, “Tidak ada orang lainnya di seluruh dunia ini yang lebih bodoh
dari pada Pendekar Bodoh! Kau masih berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”
“Dan kau
suka kepada orang bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.
“Kalau kau
tidak bodoh, aku tak akan suka kepadamu!”
Demikianlah,
di sepanjang perjalanan mereka, setiap waktu kedua orang ini bersenda gurau,
saling menggoda, seolah-olah mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari
sepasang pengantin baru! Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat
cermat pandangannya, lupa dalam mabuk kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan
kesusahan selalu timbul silih berganti.
Cin Hai yang
telah kenyang mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu di masa
kecilnya, pada saat-saat bergembira ria dengan isterinya seperti waktu itu,
seakan lupa dengan bunyi ujar-ujar nasehat bahwa jangan terlalu bergembira
dalam kesenangan dan jangan terlalu berduka dalam kesusahan!
Setelah
sampai di gerbang kota, Lin Lin sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas
melihat rumah, bertemu dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dia
mencambuk kuda yang ditungganginya agar berlari lebih cepat lagi. Cin Hai
mengikuti dari belakang. Mereka berdua sama sekali tak melihat betapa
orang-orang di pinggir jalan memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan
duka.
Baru setelah
tiba di pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka
menjadi pucat dan dada berdebar keras. Untuk beberapa lamanya Lin Lin bahkan
duduk saja di atas kudanya seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh
tubuhnya seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan hebat.
Cin Hai
melompat turun terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu
berlari cepat menuju ke ruangan depan di mana nampak meja sembahyang dan peti
mati berjajar-jajar, hio yang sedang mengebulkan asapnya, dan banyak orang
duduk sambil memandang mereka dengan muka sedih!
Kedatangan
mereka disambut oleh Kepala Kota serta isterinya yang langsung memeluk Lin Lin
sambil menangis.
“Kui-lopeh,
apakah yang telah terjadi?” tanya Cin Hai. “Dan siapakah yang... meninggal
dunia...?”
Sementara
itu, Lin Lin segera bertanya dengan suara keras, “Mana anakku...? Mana...
Ayah...?”
“Sabarlah,
Taihiap, dan kau juga Lihiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga semua
orang lainnya, menyebut taihiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut
lihiap (pendekar wanita) kepada Lin Lin. “Memang telah terjadi hal yang sangat
hebat selama kalian pergi. Terjadinya sudah tiga hari yang lalu. Seorang
laki-laki brewok bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya
dan apa sebabnya, telah datang ke sini pada pagi hari tiga hari yang lalu
kemudian orang brewok itu telah membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga
membunuh mati empat orang pelayanmu.”
“Dan...
Lili... bagaimana?” tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang
kepada Kepala Kota itu seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.
“Itulah yang
membingungkan kami, Taihiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu,
anakmu sedang pergi bermain keluar rumah, akan tetapi, meski kami telah mencari
di setiap tempat, namun tak juga bertemu dengan Lili, entah ke mana ia pergi.”
Cin Hai
mengangguk-angguk. “Hmm, jika orang sudah berani membunuh gakhu (mertua
laki-laki), tentu ia berani menculik anakku pula.”
Mendengar
ini, bagai meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.
“Keparat
jahanam! Siapa dia itu dan di mana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!” Sambil
berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan…
“Srttt!”
pedang Han-le-kiam yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabut
keluar dari sarung pedang.
Cin Hai
memegang lengan isterinya. “Sabarlah, dan tenanglah.”
“Bagaimana
aku bisa bersabar kalau mendengar ada anjing berkeliaran di kota ini dan berani
mengganggu Ayah serta Anakku? Mari, Hai-ko. Mari kita mencarinya sekarang juga!
Hendak kulihat sampai bagaimana lihainya sehingga anjing itu berani main-main
dengan aku!”
Cin Hai
membujuk isterinya dan menarik tangannya. “Lebih dahulu kita harus memberi
hormat dan menghaturkan maaf kepada gakhu karena kita telah meninggalkan dia.
Kalau kita berada di sini, apakah hal ini akan dapat terjadi?”
Mendengar
ucapan ini, dengan gerakan perlahan Lin Lin menengok ke arah peti Yousuf, dan
tiba-tiba saja nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari
ke depan peti mati Yousuf, lalu berlutut memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah...
Ayah, ampunkan anakmu yang tak berbakti ini...” Lin Lin menjambak rambutnya
sendiri sehingga menjadi awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah...
bersenang dan tertawa-tawa di jalan, tidak tahunya Ayah mengalami nasib seperti
ini...!” Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah
peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar
itu pun penuh air mata.
“Ayah!
Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah
olehnya? Ayah! Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang
juga!” Akan tetapi ia teringat kembali bahwa ayah angkatnya telah mati, maka ia
lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit dia berusaha
membuka tutup peti yang telah dipaku.
Cin Hai tadi
pun berlutut di belakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, dia
cepat memegang lengannya dan berkata perlahan,
“Lin Lin,
kau hendak berbuat apakah?”
“Buka! Buka!
Aku hendak melihat ayahku...!”
Orang-orang
yang berada di sana tidak dapat menahan mengucurnya air mata melihat
pemandangan yang amat mengharukan ini, akan tetapi mereka kaget sekali
mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan
kuatir sekali, maka dia melangkah maju dan berkata mencegah,
“Taihiap,
lihat! Jangan dibuka peti itu...!”
Tiba-tiba
Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata
bernyala! “Apa katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?”
Melihat
wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota
melangkah mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung
lidahnya terpaksa dia telan kembali!
“Hayo buka!”
Sekali lagi Lin Lin memekik.
“Kui-lopeh,
biarlah. Buka saja tutup peti mati ini supaya kami dapat memandang wajah gakhu
sekali lagi,” kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.
Kepala Kota
she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja
bibirnya bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,
“Hayo buka
sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti
itu dengan paksa.
Cin Hai
merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak bila Lin Lin mengerahkan
tenaganya, maka ia segera memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa
menyuruh para penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan
tangan-tangan gemetar oleh empat orang.
Peti dibuka
perlahan. Semua orang menahan napas, sedang di sana-sini terdengar isak
tertahan. Begitu peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke
dalam peti itu, keduanya langsung menjerit seakan-akan dari dalam peti itu
melayang ular-ular yang menggigit mereka.
“Ayah...!!”
Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Dia
pingsan!
“Gakhu...!”
Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.
Siapa
orangnya yang tidak akan merasa ngeri serta hancur hatinya melihat ayah dan
mertuanya mati dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi,
Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan
hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak
berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya
kembali.
Ia kemudian
mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah. Dia
merasa kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan
penderitaan batin isterinya ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang,
tewas sekeluarganya terbunuh oleh orang, dan sekarang ayah pungutnya juga tewas
terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.
Setelah
siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cin Hai. Akan tetapi
betapa pun juga, bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah
dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang
dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya terbang
melayang.
Peristiwa
ini amat berat, tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan
tetapi juga anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh
jahat dan kejam itu! Sungguh pun tak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah
yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani
melakukan perbuatan keji ini.
“Aku harus
mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin
berulang-ulang sambil menangis!
“Tentu saja
isteriku!” kata Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus
berlaku tenang dan mempergunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur
hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Jika
penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan di sini
seperti yang diperbuatnya terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya
lagi. Hanya sayangnya, penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan nama-nama
yang jejak, sehingga sulitlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu
ke jurusan mana kita harus mencari!”
Terhibur
juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu
beralasan. Kalau penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya
pergi.
“Bagaimana
pun juga, kita harus mencarinya!” katanya kemudian.
“Tentu saja,
akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus
melakukan penyelidikan di sini, kalau-kalau ada orang yang dapat menceritakan
terjadinya peristiwa itu lebih jelas lagi!”
Penguburan
kelima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan.
Sebagian besar penduduk kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam
suasana berkabung.
Setelah
selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau
ada yang dapat menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi,
orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, sudah
melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang
memegang golok berlumpur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya
memakai ikat kepala warna merah dan walau pun kulitnya kuning, akan tetapi
potongan mukanya seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf,
usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Bisa jadi
orang itu adalah musuh dari gakhu,” kata Cin Hai sesudah memutar otaknya karena
keterangan-keterangan itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang
Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari
orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu
merupakan utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”
“Akan
tetapi, mengapa dia menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.
“Inilah yang
harus kita selidiki. Sekarang tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke
barat!”
“Ke Turki?”
tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.
“Kalau perlu
kita boleh menyusul ke sana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan
dan menyelidiki ke daerah barat di mana terdapat banyak orang-orang Turki.”
“Ke daerah
Kansu di barat?” tanya pula Lin Lin.
Pendekar
Bodoh mengangguk. “Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan
betapa para pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur
melawan pengikut-pengikut Pangeran Muda?”
Lin Lin
mengangguk dan tentu saja dia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang
ketika mereka bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke
daerah Kansu di mana mereka mengalami peristiwa-peristiwa hebat.
Memang di
daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki, maka apa bila hendak
mencari keterangan tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu,
tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.
“Baiklah aku
menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar mesti ke
seberang lautan sekali pun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.
“Dan kita
sekalian mampir di Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee
An,” kata Cin Hai.
Demikianlah,
sepasang pendekar yang sedang bersedih hati itu kemudian menyerahkan penjagaan
rumah mereka kepada para tetangga, lantas mereka berangkat menunggang kuda,
mulai dengan usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang
terculik orang.
***************
Marilah
sekarang kita ikuti nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti.
Sebenarnya putera Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji dari pada
ayahnya. Tidak dibunuhnya Lili bukan sekali-kali timbul dari hati nuraninya,
oleh karena manusia ini agaknya tidak memiliki pribudi sama sekali dan hatinya
sudah membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tak mengenal peri
kemanusiaan lagi, seakan-akan ia adalah iblis bertubuh manusia!
Ia tidak membunuh
Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu,
kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan
diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji.
Dia hendak
merawat anak perempuan itu karena dia dapat membayangkan bahwa paling banyak
tujuh delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis
remaja yang luar biasa cantiknya. Dan ia berniat mengambil anak ini sebagai
isterinya apa bila anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat
busuk dan keji!
Bouw Hun Ti
menuju ke tempat tinggal suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang
berwatak jauh lebih rendah dari pada Bouw Hun Ti sendiri. Biar pun usianya
telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal pula
sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini
muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya, masih muda-muda lagi
cantik-cantik! Dia dapat melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh
dan ditakuti orang, juga dia terkenal kaya raya.
Gedungnya
besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat dari pada kapas halus serta tebal yang
berharga sangat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup
jubahnya. Juga tua bangka yang tidak tahu diri ini memilih warna yang mencolok
untuk pakaiannya, jika tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang
membayangkan bahwa biar pun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda dari
pada seorang teruna!
Ban Sai
Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan
dan berada di sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, sesudah keluar
dari kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke barat dan memasuki Propinsi
Hupei.
Jalan yang
ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai beserta
isterinya, oleh karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat
tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke
utara.
Biar pun
Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan
tetapi oleh karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian
ia baru tiba di tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas
sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali
tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!
Apa bila
berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan. Akan tetapi tiap
kali memasuki kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu
agar jangan sampai berteriak minta tolong.
Pada hari
ketiga itu dia sampai di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini
adalah dusun Sin-seng-chun dan adanya dua buah rumah penginapan serta tiga buah
rumah makan besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan
banyak didatangi tamu dari luar!
Bouw Hun Ti
menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik, kemudian mengikat
tali kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu.
Kemudian ia menuntun Lili memasuki rumah makan.
Dia merasa
gelisah bukan main dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan
menderita sakit dan mati di tengah jalan. Oleh karena itu, kali ini ia hendak
memaksanya makan! Ia memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta
semangkuk bubur untuk Lili.
Setelah pesanannya
dihidangkan oleh pelayan rumah makan, dia lalu berkata kepada Lili dengan suara
halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
“Kau
makanlah!”
Akan tetapi,
seperti yang sudah dilakukannya selama dia diculik oleh Si Brewok itu, Lili
menggelengkan kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar
merasa kewalahan dan diam-diam dia merasa heran melihat kekerasan hati anak
ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan
mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia
mulai merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan
kepusingan dan kesukaran kepadanya.
“Makanlah!”
katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak
keras. Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,
“Tuan,
apakah Nona kecil ini menderita sakit?”
Bouw Hun Ti
memang sedang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah
mundur.
“Mau apa kau
tanya-tanya? Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi
segera pergi dengan ketakutan seperti seekor anjing yang sedang diancam dengan
cambuk.
“Mau makan
atau tidak?” sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap
menggeleng kepala.
Bukan main
marahnya Bouw Hun Ti. Kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin
menimbulkan onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika
itu juga! Ia lalu mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga
mukanya nampak kejam sekali.
“Kau tidak
mau makan, anak manis?” Sambil berkata demikian, dia lalu menepuk-nepuk
punggung Lili, akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, dia telah
melakukan tiam-hoat (totokan) pada jalan darah di punggung anak itu pula.
Lili merasa
kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia
menggeliat-geliat kesakitan seperti cacing terkena abu panas! Kalau saja urat
gagunya tidak tertotok, tentu dia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi,
karena dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur
turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya
penderitaan nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai
berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.
“Bagaimana?
Kau masih mau makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.
Biar pun
Lili masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka
dia tahu apa artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena
dapat menduga bahwa penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan
tentu akan terus menyiksanya apa bila dia membangkang, terpaksa dia
menganggukkan kepalanya dan tangannya yang telah menggigil akibat kesakitan dan
kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.
“Anak baik,
kau makanlah yang kenyang!” Bouw Hun Ti berkata sambil menepuk-nepuk punggung
anak itu.
Seketika itu
juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai
makan bubur dalam mangkuk dan biar pun dia makan dengan otomatis tanpa
menikmati rasa bubur itu, namun ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas
seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah
penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.
Para tamu
yang berada di situ sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut
merasa lega melihat betapa ‘anak sakit’ itu makan dengan lahapnya.
“Nah,
begitulah!” kata Bouw Hun Ti kepada Lili. “Dan mulai sekarang, kau harus
menurut segala kata-kataku, kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan
siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?”
Dalam
pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi
nasehat kepada anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili kata-kata itu
merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia tidak menurut, ia akan menderita
siksaan seperti tadi!
Akan tetapi,
orang salah menduga apa bila mengira bahwa di antara semua orang yang berada di
tempat itu tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Si
Brewok dan anak kecil itu!
Di sudut
rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang lelaki berusia
antara tiga puluh lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut
hitam dan bermata tajam. Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal
laksana jenggot kambing.
Yang aneh
sekali adalah pakaiannya, karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan
tambal-tambalan, akan tetapi terbuat dari pada bahan yang sangat bersih! Bahkan
kain berwarna putih yang dipergunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun
demikian bersihnya seakan kain baru yang sengaja ditambalkan di situ! Juga
pengikat rambutnya yang terbuat dari pada sutera itu sama sekali tidak sesuai
dengan bajunya yang penuh tambal-tambalan seperti baju seorang pengemis!
Lama sebelum
Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan
kelakuannya sudah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat
seorang berbaju tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan
muka masam dan berkata dengan nada menghina,
“Tidak ada
tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!”
Orang yang
berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum sambil
menjawab, “Yang kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”
“Apa
maksudmu?” tanya pelayan yang sombong itu.
“Kau
memandang orang dari keadaan pakaiannya, orang semacam kau ini benar-benar
menyebalkan!”
“Aku tak
peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua
pesanan makanan harus dibayar dimuka!”
Sikap serta
omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali. Akan tetapi orang
itu masih tetap tersenyum sabar, sungguh pun jawabannya menyatakan bahwa ia
amat mendongkol.
“Berapa kau
menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!” Sambil berkata demikian,
orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata
bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!
Tentu saja
pelayan itu menjadi sangat malu dan juga tercengang ketika melihat seorang
berpakaian tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki
uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi dia lalu mengundurkan diri dan
lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment