Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 02
SUNGGUH amat
baik nasibnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu
turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu
siapa adanya orang ini, tentu dia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya
orang itu tidak menyebut namanya.
Orang
berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan
namanya telah terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya
amat tinggi juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar
yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah
seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan
seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).
Kakak
seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika
pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak
seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen.
Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!
Julukan ini
diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis
mengamuk apa bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi
orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal
ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi
julukan Pengemis Iblis!
Secara
kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan
makan di restoran itu sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun
tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia
telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di
kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang
dari Turki itu.
Akan tetapi
ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu,
dia merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak
mau makan, sedangkan melihat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak
itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah
laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh
perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Alangkah
terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok
itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok
jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan
itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa
sakit yang hebatnya luar biasa!
Gilakah Si
Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian
memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada
orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan
Lili dari pengaruh totokannya kembali.
Jelas
kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air
mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari
mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini
tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat
mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan
dia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai
bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.
Akan tetapi
pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa
Bouw Hun Ti tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas
lantai sambil menyumpah-nyumpah.
“Bangsat dan
penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang
pipinya.
Sesungguhnya,
tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong
tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan
membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah.
Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit
yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.
Penyakit ini
memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama
sekali Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia
lantas memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga
hancur berkeping-keping!
Pelayan yang
tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat
keras serta sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya
kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan
mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang membuat ribut.
Dengan
langkah lebar dia menghampiri lalu membentak, “Orang kasar dari manakah yang
berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang
kami? Kau harus mengganti harganya!”
Pelayan itu
memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti
yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang
mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin
berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan
hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.
“Apa katamu
tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual
daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki
aku?”
“Siapa
bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong
sehingga tak kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa
orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.
Diam-diam Lo
Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan
itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun
Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang
tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan
tepat menotok jalan darah di dadanya.
Pelayan itu
segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak,
“Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!”
Gegerlah
semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi
besar melangkah maju.
“Bangsat
kurang ajar! Kau berani memukul orang?”
Dua orang
pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu
sambil tersenyum simpul. Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki
tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa
Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan
tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu.
Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua
orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju
merupakan cengkeraman garuda.
“Bukk!
Bukk!”
Dua pukulan
itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si
Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan
itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan
biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!
Sementara
itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua
orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua
orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya,
membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.
“Dukk!”
Ketika Bouw
Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan
pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan
mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan
seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan
menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!
Pada saat
itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau, “Jago
dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya
seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.
Inilah
Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal
sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang
tinggi, akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain
mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya
sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak
sombong.
Pada waktu
terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang
berada di luar rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan
tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah
makannya dan membentak Bouw Hun Ti.
Ketika
melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun
Ti yang masih marah itu bertanya dengan suara kasar, “Muka Hitam, siapakah kau
dan mau apa?”
Thio Seng
dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab
sambil mengangkat dada, “Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan
pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu
tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa
restoran itu miliknya.
Akan tetapi,
selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab,
“Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang,
orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk
tapi dijual!”
Marahlah
Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang
tidak tahu aturan ini?”
“Siapa
adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak
pergi!” Sambil berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak
menarik gadis cilik itu keluar dari sana.
Akan tetapi
Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata, “Hemm, sabar dulu,
sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada
pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan
harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah
dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian
muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.
Inilah
kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng
pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi
membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi
pecah!
Mendengar
ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia
segera melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi
yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.
“Kau mau
melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”
“Rasakan
pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.
Melihat
gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam
memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandaian yang
tidak rendah.
Akan tetapi,
dia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika
pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun
Ti segera melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat
kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.
“Bukkk!”
Terdengar
suara keras saat pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali.
Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke
belakang seakan-akan dia baru saja terdorong oleh tenaga amat besar!
Lo Sian
terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang
brewok itu memiliki lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Oleh karena
itu, maka maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi
masak-masak. Dia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena
dengan jalan kekerasan, belum tentu dia akan dapat menangkan Si Brewok itu.
Sementara
itu, Thio Seng yang barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia
merasa seakan-akan memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak
seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia
sudah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu bahwa
lawannya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu
mengambil jalan pendek dan nekat.
“Bangsat
rendah, awas serangan balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan
kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan
yang hendak menyerang.
“Hemm,
majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti
sambil memasang perutnya ke depan!
Pada saat
itu Lo Sian sudah mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa
dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka
secara diam-diam dia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian
setelah membidik dengan hati-hati, dia lalu menyambitkan daging itu ke arah
leher Lili.
Anak ini
sedang asyik menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya
merasa heran serta marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar
dan memberi hajaran kepada penculiknya ini!
Tadi ketika
melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan
kalah dan binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para
pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si
Brewok yang amat dibencinya itu. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini
merasa putus asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta
kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya!
Ketika
daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga
tiba-tiba dia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia
serukan hanya jeritan, “Ayah... Ibu... tolong...!”
Pada saat
itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan
kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa
anak itu sudah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan
pada saat itu pula, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun
Ti dengan kepalanya yang botak licin!
Tadinya Bouw
Hun Ti tidak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak
mempermainkannya. Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok
sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan
kepala dari Si Muka Hitam itu sedemikian kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi
baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan...
“Ceppp!”
Kepala Thio
Seng menancap pada perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon!
Memang betul-betul luar biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala
menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang!
Dengan
sinkang-nya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot
perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala
lawannya menyeruduk perutnya dia segera menggunakan tenaga lweekang untuk
menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!
Ketika Bouw
Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam
keadaan tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw
Hun Ti sudah membuat tenaga serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya
sendiri sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu
juga!
Melihat hal
yang mengerikan ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti
menengok untuk membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh
seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!
“Lepaskan
anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya
melompat dalam serbuan itu.
Lo Sian
melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat
mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi
dan ahli lweekeh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung
ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh,
sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.
Bukan main
marahnya Bouw Hun Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah
disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga
lweekang demikian tingginya.
“Bangsat
rendah kau ingin mampus!”
Dan dia lalu
bergerak maju kembali untuk melakukan serangan. Akan tetapi, para pelayan
bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng
telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju
menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus
menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya dia segera memutar tubuhnya
dan menghadapi para penyerangnya.
Bukan main
ributnya pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan
senjata, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan
tubuh para pengeroyoknya jatuh tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata
sampai kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja
sudah membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!
Tentu saja
kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi
terkejut dan gentar hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw
Hun Ti cepat menengok, akan tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju
tambalan yang tadi memondong Lili.
“Kau hendak
lari ke mana?!” dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang
melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!
Bouw Hun Ti
melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja
dia tidak melihat adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah
dan mendongkol hatinya, tapi kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa
marahnya? Dia melompat turun lagi dan ketika dia melihat salah seorang di
antara para pelayan itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan
tendangannya.
Pelayan yang
bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh
di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa
kedongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh
seorang lagi!
Ia lalu
melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat,
dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak
kecil tawanannya itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis
Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!
Lo Sian lalu
membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah
selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam
pondongannya dan ketika diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya
dengan pukulan kedua tangannya!
Lo Sian
berseru terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu
dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa
heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini sangat indah dan baik
sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!
Ia mengelak
cepat dan berkata, “Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”
Akan tetapi,
tanpa berkata sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta,
menggerakkan kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam
keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana
kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka dia tetap mengelak
ke sana ke mari dengan cepatnya.
Makin lama
makin terheranlah dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang
dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang
luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya!
Dia paham dengan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai,
Gobi-pai dan lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar
belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak
memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan
anak itu tentu saja tak akan mendatangkan bahaya apa pun terhadap tubuhnya.
Dia lalu
mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.
“Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”
“Kau juga
penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu
memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.
Makin
tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini
tentu bukan anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan
kekerasan hati anak ini.
“Bukan,
bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi!
Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”
Lili memang
cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju
tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak
sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja dia menangis
tersedu-sedu!
Lo Sian
menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu. “Kasihan, anak yang
baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam
tangan penculik jahat itu?”
Lili masih
merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul
dan menolongnya. Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan
tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan
mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah
ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah membiarkan
saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!
Penderitaan-penderitaan
yang dia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak
kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam
seperti Bouw Hun Ti, lalu mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada
dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malah dia telah ditotok
hingga merasakan kesakitan yang luar biasa.
Tentu saja
dia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia
menderita sehebat itu! Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu
saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ada waktu dia melihat
orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan
sayang, tiba-tiba dia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!
“Anakku
sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan
tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang
berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu.
Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.
Di dalam
pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya,
orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan
mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.
“Namaku
Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.
“Nama yang
bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”
Mendadak
Lili mengerutkan alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian.
Bibirnya yang manis itu cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air
mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum
saja.
“Ayah ibuku
tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah
dan mengepal tinjunya!
Lo Sian
tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di
dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu
dia anak seorang pendekar, pikirnya.
“Baiklah,
kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau
memberitahukan she-mu dan di mana pula kau tinggal.”
Lili tahu
bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi
karena tadi dia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka
dia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama
kakeknya, maka ia menjawab,
“Aku she Yo
dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”
“Eh, ehh,
kenapa tidak mau pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di
mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang
tuamu,” kata Lo Sian membujuk.
“Tidak,
tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku,
untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”
Lo Sian
tersenyum. “Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam
tangan penculik kejam tadi?”
“Dia datang
dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain.
Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”
Lo Sian
menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan
di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat
keterangan secara jelas ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik
anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.
Yang dapat
memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si
Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum
tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi
saja dia segera maklum bahwa tenaga lweekang orang itu masih lebih tinggi
setingkat dari pada tenaganya sendiri!
“Anak yang
baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa
yang melatihmu?”
“Yang mengajarku
Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”
Terkejutlah
Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga
pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya
juga orang-orang berkepandaian tinggi.
“Siapakah nama
kakekmu, Lili?”
“Kakekku she
Yo, namanya aku tidak tahu.”
Lo Sian
mengangguk-angguk dan menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak
anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.
“Di antara
ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”
Dasar
anak-anak, biar pun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja
dia paling suka membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu
lagi dia menjawab,
“Tentu saja
Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek.”
“Kalau
misalnya Ayahmu bisa menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan
penculik tadi?”
Tiba-tiba
saja Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian
kembali melongo. Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi
seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang mempunyai sifat seperti
ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa
ibunya.
“Tak usah
Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan
dapat dirobohkan!”
Lo Sian
tentu saja tak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual
belaka. Akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia
percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, sambil
mencari-cari orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia
hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat,
oleh karena dia memang belum mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan
apa bila menjadi muridnya.
“Baiklah,
Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi
muridku?”
Dengan muka
girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata,
“Tentu saja suka, Suhu (Guru)!”
Demikianlah,
mulai hari itu juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini
merantau. Biar pun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap
tidak mau memberi tahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya hingga Lo
Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam, karena
sesungguhnya dia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya
kembali.
***************
Di kota
Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang
besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, yang dahulu
ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah
perkasa.
Akan tetapi,
kini rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang
bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh,
tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang
menjadi nyonya Sie Cin Hai.
Kwee An
memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang
dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur.
Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, Kwee An
pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si
Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas
dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu,
ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan
kang-ouw.
Isteri dari
Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini
bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu
silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain
mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah
angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran
Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib
yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur!
Saudara
kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama
suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang
kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng
kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An
hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia
sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan.
Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada
anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek
pada waktu terang bulan!
Dalam usia
sembilan tahun, telah kelihatan bahwa kelak Goat Lan akan menjadi seorang gadis
yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan dimanja
sekali oleh kedua orang tuanya, maka dia menjadi nakal sekali.
Semenjak
kecil dia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang
tuanya, bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya,
sungguh pun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan
tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu
ginkang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun dia telah dapat
melompat tinggi dan sering kali dia berlari di atas genteng atau melompat naik
ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang
mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga sering kali
dua orang tuanya saling pandang dengan heran karena baik Kwee An mau pun Ma Hoa
kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal
mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?
“Agaknya ia
telah mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!”
pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tidak
mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita
hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya sebab
mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”
Memang anak
itu sangat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno serta sajak-sajak baru, dan
selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apa bila Goat Lan suka
sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pekhu-nya, oleh karena Kwee
Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca
kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong
dia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali dia datang ke
kuil itu, selalu pekhu-nya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau
mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An
maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat
Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk
menghibur hati Kwee Tiong, dia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi
pekhu-nya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu
Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan
ditinggalkan terlantar. Tapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang
menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali
murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong
Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan pada Kwee Tiong,
maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang sangat banyak. Tidak kurang
dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee
Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.
Sesudah
menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong
Yu Hwesio itu, kini kembali diubah menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan
Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan di
bawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio
yang berada di kelenteng itu, tua muda, sangat suka dan sayang kepada Goat Lan
yang mungil dan cerdik, dan di antara mereka ini, banyak terdapat orang-orang
yang mempunyai ilmu kesusastraan tinggi. Maka, di bawah petunjuk-petunjuk
mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja.
Selain
kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata mempunyai kecerdikan luar biasa
dalam hal permainan catur. Seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang
mengajarkan dia bermain catur, sekarang bahkan merasa sangat sukar untuk
menjatuhkan muridnya yang baru berusia sembilan tahun ini!
Pada suatu
hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong.
Ketika dia seorang diri memasuki halaman kelenteng, dia disambut oleh seorang
hwesio pembersih halaman yang segera berkata,
“Kwee-siocia,
baik sekali sekarang kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di
kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan
memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,
“Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah,
mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama
dan tempat tinggal mereka, keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki
kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain
catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tidak pernah berhenti main.
Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu
mereka karena betapa pun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus
dihormati.”
“Aku mau
nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi
Siocia...”
“Ah, Pekhu
tidak akan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak
mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil
berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di
sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, dia telah mencium bau arak
yang sangat wangi dan suara parau seorang berkata, “Tianglo, kudamu sudah
terjebak! Ha-ha-ha!” Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan
kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam
sebuah permainan.
“Hemm,
jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini,
mendapat ganti seorang prajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang
tinggi kecil.
Goat Lan
tidak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang sedang
duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, tepat
benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang
pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di
dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk
keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan pun maklum bahwa inilah sebuah
keranjang yang biasa dipergunakan oleh para hwesio untuk mencari dan
mengumpulkan daun-daun obat, dan di samping keranjang obat ini, nampak juga
sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua
juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang
penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih
lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan catur, tiada hentinya tosu ini minum
arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan
tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas.
Dari sinilah bau arak wangi tadi tersiar.
Melihat
bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu
Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi dia salah duga dan menjadi terheran dan juga
geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat
kecil dan tinggi.
“Im-yang
Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan
menderita penyakit dalam perutmu.”
Tosu itu
tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau. “Sin-kong Tianglo, kau boleh
memberi nasehat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi apa bila kau
memberi nasehat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali dia
tertawa.
“Aku tahu
bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi bagaimana pun juga, kau
hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Memang agaknya kau tak
menghendaki usia panjang.”
Mendengar
percakapan serta melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu sudah
mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong
Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tak butuh pertolongan dan
nasehatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat,
rajamu kini terancam bahaya maut, Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, dia
menggerakkan sebuah biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan
catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali
memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan hingga keadaan menjadi sunyi
dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran
sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang
kedudukan raja hitam dari hwesio itu sangat terdesak dan terancam sehingga
hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak
dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya,
sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi dia
juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang
itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan
yang kini sudah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
“Gerakkan
benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu
terdengar.
Melihat
betapa raja hitam terdesak, tanpa terasa pula anak ini membuka mulut memberi
jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya
bergerak-gerak dan meski pun dia masih tidak tahu apakah baiknya gerakan ini
karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan,
akan tetapi oleh karena dia telah kehabisan jalan, ia kemudian menggerakkan
tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini
tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu
tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian
sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng
telah kurampas! Ha-ha-ha, kini kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha-ha-ha!”
Tosu kate itu tertawa senang.
Akan tetapi
suara tawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil
jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan
raja musuh!”
Bukan main
girangnya hati hwesio itu. Tadinya dia memang sama sekali tidak mengerti apa
kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan secara cuma-cuma kepada kuda
lawan, tidak tahunya bahwa dengan gerakan memancing itu membuat kuda lawan
meninggalkan depan raja hingga kedudukan raja merah menjadi terbuka,
memungkinkan menterinya untuk menyerang!
“Bagus,
bagus!” katanya gembira sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan
menodong dada raja lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang
Giok-cu. Bagus!”
Wajah tosu
yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba saja menjadi masam dan
dengan mulut cemberut dia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan
bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Hingga
beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang
sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih sangat rendah
sehingga setiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka langsung menjadi
bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang
Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi
Im-yang Sin-na (nama ilmu silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan
wajah girang.
Tosu itu tak
menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, terus memutar
otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri
setia bergerak melindungi raja, bila perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!”
tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini
merasa tak sabar sekali kenapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan
catur hingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak
berdaya!
Bercahayalah
wajah tosu kecil itu. “Ha-ha-ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha-ha-ha! Hayo,
Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!” Ia lalu menggeser
menterinya ke kiri dan melindungi raja merah dari pada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu
menjadi sangat penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh.
Kemudian dia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya
yang tinggi.
“Memang
jaman sekarang ini jaman yang buruk sekali! Anak-anak saja sudah kehilangan
kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan
adalah seorang anak yang berotak cerdik dan dia telah banyak membaca-baca
kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud
dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguh pun hanya menyindir, akan tetapi Goat Lan
bisa menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tak setia karena
baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!
DIA lalu
menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat
untuk menjawab sindiran ini, kemudian dia berkata dengan suara nyaring,
seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapa pun juga.
“Membantu
yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini
baru bijaksana!”
Ini adalah
ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang sudah pernah membaca
kitab-kitab peninggalan para pujangga jaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini
diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, dua orang kakek itu tercengang dan
keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka
melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang
baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!” Sambil berkata demikian,
tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan sekarang ia
duduk membelakangi Goat Lan!
“Benar-benar
pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang dia perempuan!” Dan tosu ini pun tanpa
menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat
gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimana orang dapat pindah
duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di
atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi,
anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai
yang mempergunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka
itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya,
Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah.
Kini ia
duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur.
Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan
kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua
kaki dan mengerahkan ginkang-nya, maka tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu
mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya
menjadi seperti tadi dan dia kembali dapat melihat papan catur itu seperti
tadi!
“Ahh, tidak
jelek!” kata hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si
Tosu juga memuji.
“Inilah
murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak!
Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua
orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Apa bila
tadi mereka panas karena permainan catur, kini hati mereka menjadi panas karena
hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan hanya diam
saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek
itu.
“Im-yang
Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, dia berhak
mendapatkan murid ini.”
“Boleh,
boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong
Tianglo lantas menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan
lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu
mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal
sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya
merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya
adalah Goat Lan!
Memang anak
ini ahli dalam main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik
sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua
orang kakek itu merasa tegang karena sering kali raja mereka terkurung, akan
tetapi sering kali juga mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang
bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapa pun
juga, yang menjadi pengatur adalah Goat Lan yang benar-benar tidak berat
sebelah. Karena itu, setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam
telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka
bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun hingga
mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang
menonton pula pertandingan catur aneh itu! Tiada seorang pun di antara mereka
berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada
keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua
orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di
antara mereka yang kalah akan menjadi marah.
Akan tetapi
Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhir
pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal
hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan
itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Thian Tiong
Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba
Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata, “Sin Kong Tianglo, kau harus
mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk
itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya,
lalu berkata, “Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji
bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi
dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu
tersenyum. “Apakah kita hanya bisa bermain catur dan tidak mempunyai ilmu
kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian lain untuk menentukan
kemenangan.”
“Ho-ho! Kau
mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata
tosu itu sambil melangkah keluar dan membawa guci araknya.
“Aku ingin
merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil
membawa keranjang obat dan pisaunya.
Sementara
itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian
Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang
lengan Goat Lan sambil berkata,
“Goat Lan
kau sudah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh
seorang Suhu!”
“Tidak,
Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”
“Ehh, anak
nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar
betapa dua orang kakek yang lihai ini sedang memperebutkan Goat Lan untuk
diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi
tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong
Hosiang yang merasa sangat khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan
menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke
dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang
berada di situ, “Cari dia dan antarkan pulang ke kota!” Sedangkan ia sendiri
dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh
kedua orang kakek itu.
Karena malam
amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu sangat luas dengan
kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan
menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemana pun juga, bayangan Goat Lan
tetap tidak nampak!
Ketika para
pencari yang memegang obor itu tiba kembali di halaman tengah, mereka melihat
betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka
menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di
tempat itu menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal
tadi!
Thian Tiong
Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah
berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu.
Akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong
Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biar pun ia
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia juga maklum bahwa
kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apa bila dibandingkan dengan kedua
orang kakek itu. Apa lagi pada waktu dia mendengar dari para hwesio bahwa Goat
Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya makin bertambah, maka
dia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke
Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara
itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri pada saat hendak dipaksa pulang oleh
pekhu-nya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan
kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di belakang batang pohon besar yang
banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio
mencarinya, dia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan
bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan
orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu
yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai dari pada pertandingan
catur tadi!
Sebetulnya,
siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut
mendengar nama mereka?
Tidak heran
bahwa Thian Tiong Hosiang merasa amat terkejut, oleh karena nama-nama itu
adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi
orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong
Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang amat
terkenal dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan
lihai, dia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai seorang ahli pengobatan
sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).

Biar pun
tempat pertapaannya di Pegunungan Gobi-san, akan tetapi jarang ada orang yang
dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari
daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian digunakan untuk menolong orang-orang
yang menderita sakit. Ke mana saja dia pergi, tentu dia akan mempergunakan
ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan
lebih terkenal dari pada namanya sebagai seorang ahli silat.
Tosu yang
pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Dia seorang tokoh
besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya telah amat dikenal. Tokoh
besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biar pun dia tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap dan lebih suka merantau ke mana-mana, akan
tetapi dia jarang sekali memperkenalkan diri.
Oleh karena
itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian
Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja dua orang tokoh besar ini mengadakan
pertemuan di Tiang-an.
Sudah lama
sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar
terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid
terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, dia merasa amat
gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh.
Dahulu
pernah dia berhadapan dengan Bu Pun Su dan sesudah mengadakan pibu (adu
kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya dia tidak tahan menghadapi Bu
Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian.
Sayang bahwa setelah dia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat,
dia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya
beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.
Akibat
keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo pergi meninggalkan daerah Gobi-san
yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh
berada di kota Tiang-an, maka dia lalu menuju ke kota itu.
Di tengah
jalan, ketika dia melalui sebuah dusun, dia mendengar suara orang
bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Dia merasa heran sekali
karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara
nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan
ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara
penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.
“Apakah
Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?”
“Pinceng
mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”
“Yang
bernyanyi adalah seorang iblis!”
Tentu saja
Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan dia minta penjelasan lebih
lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul
seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi
jembatan kecil itu.
Kakek ini
terus menerus minum arak sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang dapat
membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan
diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas
menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya
dari jembatan itu!
Sin Kong
Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja,
dia melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci
pada tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi.
Akan tetapi,
wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal
orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang
Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong
Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata, “Ha-ha-ha-ha! Sungguh untungku baik
sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Ehh,
Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”
Demikianlah,
keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu
yang mendengar bahwa hwesio itu ingin mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu,
dia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan itu!
Akan tetapi,
karena sudah merasa sangat kangen dengan permainan catur, mereka lalu menunda
perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka lalu masuk ke
dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!
Goat Lan
yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka
senang sekali. Memang ia pun amat suka akan ilmu silat meski pun kesukaannya akan
ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!
Keadaan di
bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan,
berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir
pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguh pun kalau orang melihat
ke atas, langit hitam kelam tak berbintang sedikit pun.
Menurut
pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, dua kakek itu melakukan
pertandingan dengan cara yang sangat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan
sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang
sedang menari-nari dengan lucunya!
Im-yang
Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan perlahan dan
lambat bagai orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan
pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang
obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!
Akan tetapi,
sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang
menari atau melawak! Oleh karena, biar pun mereka itu bergerak dengan amat
lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang
tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin
besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali,
tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng,
tentu dia akan merasakan pula apa yang dirasakan oleh para hwesio itu, yaitu
angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka
mereka!
Lama juga
dua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan
dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling
merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena mereka maklum akan
kelihaian lawan masing-masing, maka tanpa dijanjikan lebih dahulu, mereka
membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk
kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang
dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan,
berarti kalah tinggi kepandaiannya.
Telah lima
puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan ilmu kepandaian, akan
tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal
dengan ilmu silat Im-yang Kim-na-hwat yang permainannya berdasarkan pada gerak
berlawanan dari Im dan Yang, maka tenaga serangannya merupakan perpaduan dari
tenaga kasar dan lemas dan lweekang-nya telah mencapai puncak yang amat tinggi.
Sebaliknya,
sejak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga terus melatih diri
sehingga tidak saja tenaga lweekang-nya tidak berada di sebelah bawah tingkat
Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu
silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Gobi-pai dan bahkan dia
telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.
Ketika itu,
Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena gerakan kedua
orang kakek itu sangat lambat, mendadak mendengar suara ayahnya dari sebelah
belakang, “Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?”
Ia cepat menengok
ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah
dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tidak jauh di belakangnya!
Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.
Memang
benar, sebenarnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu,
dan secara diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran sambil melihat ke arah
anak mereka dengan hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian
Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan sudah menimbulkan keributan di
antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak
mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan
Goat Lan.
Mereka
merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi
oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika mereka menuju ke
Ban-hok-tong dengan berlari cepat sekali hingga Thian Tiong Hosiang tertinggal
jauh, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan
muka terlihat jemu dan bosan!
Kedua suami
isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah
dua orang kakek yang masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An
dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.
“Kepandaian
mereka benar-benar hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.
Ma Hoa
mengangguk dan menarik napas panjang. “Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan
nama kosong belaka.”
Goat Lan
bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang
memuji kepandaian dua orang kakek itu, dia berkata mencela, “Apanya sih yang
hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek dari pada permainan catur mereka!”
Kwee An dan
Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan
memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka
mereka tersenyum geli.
“Anak bodoh,
ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu merupakan ilmu silat yang jarang
terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh
besar itu!”
Kwee An
memegang lengan tangan anaknya lalu dia melompat turun ke bawah bagaikan seekor
burung alap-alap sedang menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga
melompat turun dengan indah dan cepatnya.
Baik Im-yang
Giok-cu mau pun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat
berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti
bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan
mereka.
Kwee An dan
Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata, “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang
Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh sudah mendengar bahwa anak kami
telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!”
“Aha, pantas
saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah ibunya lihai dan mempunyai
kepandaian tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.
Tiba-tiba
Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya, “Apakah kau yang bernama
Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini dia tujukan kepada Kwee An sambil memandang
tajam.
Kwee An
tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal
sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.
“Bukan,
Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini dia tinggal di Propinsi
An-hui. Siauwte bernama Kwee An sedangkan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari
Kim-san-pai.”
Tosu kate
itu mengangguk-angguk, “Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia
masih hidup. Bagus, sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tak mengecewakan!”
Diam-diam
Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An
tadi, agaknya tingkat kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah
tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa setelah menerima
pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan
ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga
dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apa bila dibandingkan, memang ilmu
kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhu-nya itu!
“Sayang
sekali bahwa ternyata Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,” kata pula Sin
Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan
tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri
rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku.”
“Nanti dulu,
Tianglo!” Im-yang Giok-cu berkata. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini,
karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”
“Eh, ehh,
kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo
yang tak mau kalah.
“Ji-wi
Locianpwe!” mendadak terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali
melihat betapa anaknya diperebutkan oleh kedua orang kakek itu. “Anakku tidak
akan menjadi murid siapa pun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi
memperebutkannya!”
Kedua orang
kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka lalu memandang kepada Ma
Hoa dengan heran. “Ah, kau betul-betul seorang Ibu yang tidak sayang pada anak!
Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, kenapa kau malah
ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andai kata kau hendak mencarikan guru bagi
anakmu itu, biar pun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan
guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan
penasaran. Memang adat Si Kate ini agak keras.
Kwee An
merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia
memang hendak menggunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua
orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi,
siapa tahu isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan
berkata halus,
“Harap Ji-wi
sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, sangat berat untuk
berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini.”
Akan tetapi
Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mau mempedulikannya, bahkan hwesio
itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
“Apa bila
kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang
akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena
merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan segera
menjawab, “Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan
menjadi gurunya!”
Tiba-tiba
kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang
Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apa lagi anaknya! Anak
itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian
Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa, lantas berkata dengan muka
sungguh-sungguh, “Nyonya muda, kau harus sadar bahwa jaman ini adalah jaman
yang buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik
dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan
kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat
yang lebih baik dari pada kami kepada anakmu ini?”
Melihat
suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi kembali dia
didahului oleh isterinya yang berkata marah, “Locianpwe berdua terlalu
memandang rendah orang lain. Mengenai ilmu kepandaian, siapakah yang belum
mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan,
akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba
dan uji!”
Ucapan ini
merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan
telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang
kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus,
bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita sudah bertemu dengan orang-orang
yang bersemangat! Mari kita mencoba kepandaian orang-orang muda yang
bersemangat besar ini!”
“Nanti
dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tidak boleh ditolak.
Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!” Sambil berkata demikian dia
memandang pada Kwee An dan Mai Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan
kami orang-orang tua, bila kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga,
kalian harus merelakan anakmu ini menjadi muridku!”
“Ehh, bukan!
Menjadi muridku!” kata tosu itu.
Kembali
mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau
begini, takkan ada habis-habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar
berkata, “Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Jika nanti kita berdua dapat
dikalahkan oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih
rendah dan tak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua
menjadi guru anak ini! Bagai mana?”
“Baik
sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian
boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak
kami sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang
kakek itu segera bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An
hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanya isteri dari jago muda itu,
mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa lalu
memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan
mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, kedua orang
kakek ini memang memandang rendah kepada mereka, ke dua, jika anak tunggal
mereka harus menjadi murid orang lain, terlebih dahulu ia harus membuktikan
sampai di mana kelihaian orang itu.
Maka
berbareng dengan isterinya, dia pun lantas maju menyerang Sin Kong Tianglo, ada
pun Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu dua
batang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar
ibu jari tangannya!
Begitu
sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena heran
dan terkejut. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya
muda itu dengan sangat cepatnya sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya,
yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar.
Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah
yang berbahaya.
Juga Sin
Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An dengan mempergunakan ilmu silat warisan
Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan
pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari
terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya
cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental
tangan pasangan suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang
ditangkis hanya miring sedikit kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan
tak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.
“Hebat
sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi
digantungkan di punggung, dan kini dia lantas menyerang dengan guci araknya ke
arah kepala Ma Hoa!
“Lihai
juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini kemudian melanjutkan
kata-katanya. “Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di
manakah kelihaianmu!”
Kwee An
tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu
pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam
yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja
Kuning). Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang
bernama Meilani, yang pernah jatuh cinta kepadanya sebelum dia menikah dengan
Ma Hoa. Kemudian dia kembali menyerang yang disambut oleh Sin Kong Tianglo
dengan pisau dan keranjang obatnya.
Pertempuran
berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa dua orang kakek
itu sama sekali tidak balas menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena
memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Namun
setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua.
Sin Kong
Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang milik Kwee An benar-benar luar
biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tak kalah oleh tingkat kepandaian
Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An meski sebagian
menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, akan tetapi sudah tercampur dengan ilmu
pedang lain yang amat aneh dan dahsyat! Memang Kwee An telah mencampur adukkan
ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang dia terima dari Nelayan Cengeng
dan Hek Moko.
Yang
lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerang
dengan sepasang bambu kuning dia langsung merasa heran dan terkejut, karena
senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur,
yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi dia masih meragukan dugaannya ini dan
melayani nyonya muda itu dengan guci araknya.
Tidak
disangkanya, permainan bambu kuning yang ada di kedua tangan nyonya muda ini
demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya
terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang sekarang agaknya sudah berubah
menjadi puluhan batang banyaknya itu!
“Tahan
dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong
Tianglo.
Biar pun
baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An mau pun Ma Hoa maklum bahwa ilmu
kepandaian dua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi dari
pada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka sama sekali tidak pernah
membalas, dan hanya menangkis atau mengelak saja, namun pertahanan mereka
begitu kuat biar pun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan
Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja
yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata
masing-masing.
Para hwesio
dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ,
merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio,
apakah kau murid Hok Peng Taisu?”
Ma Hoa
menjura dan menjawab, “Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhu-ku.”
Im-yang
Giok-cu tiba-tiba saja tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar.
“Ha-ha-ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu!
Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhu-mu!”
Ma Hoa
terkejut sekali, sebab memang suhu-nya tak pernah mau menuturkan riwayatnya
sehingga dia belum pernah tahu bahwa suhu-nya itu mempunyai seorang sute,
bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak
seperguruan). Dia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang
berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta.
Namun,
Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan, “Tentu kau kurang percaya kalau
belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning yang kau mainkan itu merupakan
ciptaan suheng-ku sendiri sehingga aku tak dapat memainkannya. Akan tetapi
ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat
Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, jika
dalam sepuluh jurus aku tak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa
aku adalah Susiok-mu (Paman Guru) sendiri!”
Ma Hoa
sebenarnya sudah percaya, tetapi mendengar ucapan ini, dia mau mencobanya juga.
Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata, “Maafkan
kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang
Giok-cu mempergunakan gucinya menangkis ada pun tangan kirinya menyerang dengan
cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat
sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih
terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja.
Ia cepat
menarik kembali tangannya yang dicengkeram lantas melanjutkan serangannya
dengan jurus kedua. Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan
gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh,
jika tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat
sekali melakukan serangan, seolah-olah bahkan mendahului gerakan tangan kanan,
dan demikian sebaliknya hingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada
jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan
kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu
pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu memiringkan
kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher
itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, dia cepat
menggunakan ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga
saat bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi
keras bagaikan batu karang dan sebelum dia hilang kagetnya, tangan kiri kakek
itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang,
maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa
melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut, “Susiok!”
Im-yang
Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh,
sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau tak akan
mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Sungguh tak mengecewakan kau menjadi murid
Suheng-ku, sayang bahwa kau agaknya belum cukup lama belajar dari Suheng-ku
itu!” Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat
kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja.
Kwee An juga
memberi hormat dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.
“Dengarlah,
Kwee An dan kau juga, ehhh, siapa pula namamu?” tanya kakek itu kepada Ma Hoa.
“Teecu
bernama Ma Hoa.”
“Hemm,
bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik
itu biarlah dia kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau
lima tahun. Kami akan membawanya ke Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh
letaknya dari sini. Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar
dari Gobi-san dan ilmu kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah dari pada
kepandaianku, sungguh pun tak mudah pula baginya untuk mengalahkan aku. Kalau
kalian rela melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik.
Tapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau
adalah murid Suheng-ku, tentu saja aku takkan memaksa.”
Sebenarnya
Ma Hoa merasa berat sekali jika harus berpisah dari puterinya, akan tetapi
karena dia maklum bahwa apa bila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu
kelak akan menjadi orang yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk
menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.
“Ji-wi
Locianpwe,” kata Kwee An dengan hormat, “teecu berdua tentu saja merasa amat
berbahagia apa bila anak teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh
karena teecu hanya memiliki seorang anak, maka perkenankanlah teecu berdua
sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu.”
“Boleh,
boleh...,” Im-yang Giok-cu berkata sambil tertawa, “tentu saja hal itu tidak
ada halangannya.”
“Goat Lan,
kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?” tanya Ma Hoa kepada
anaknya. “Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada ayah bundamu sendiri,
dan ketahuilah bahwa Locianpwe ini adalah Susiok-kongmu sendiri.”
Semenjak
tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat
teliti, maka sebagai seorang anak yang cerdik sekali dia segera maklum bahwa
tidak ada guru-guru yang lebih sempurna baginya dari pada dua kakek yang aneh
dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, “Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua).”
Im-yang
Giok-cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati
puas, akan tetapi Goat Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.
“Ibu, kalau
kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat
tinggal Suhu dan pulang sendiri!”
Semua orang
tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.
“Jangan
khawatir, Goat Lan. Kami juga tak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak
bertemu dengan kau,” kata Kwee An.
Kedua orang
kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari sana, tidak mau ditahan-tahan lagi.
Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan
Ma Hoa juga tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya
dengan mesra, dan mendengar bisikan ibunya, “Goat Lan, jangan menangis dan
jangan nakal!” Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhu-nya di kanan kiri dan
sekali kedua kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat
dan lenyap dari situ!
Kwee An dan
Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata
isterinya yang tercinta itu menjadi basah, maka dia lalu mengajak isterinya
pulang dan menghiburnya.
Kita
tinggalkan dahulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhu-nya untuk
berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya
nampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti
perjalanan Lili atau Sie Hong Li, puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau
bersama suhu-nya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.
Karena Lili
tidak pernah mau mengaku setiap kali ditanya tentang orang tuanya, lambat laun
Lo Sian tak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada
muridnya yang jenaka ini. Dia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan
sesudah dia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang
indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.
Lili juga
terhibur dan merasa suka kepada suhu-nya yang ramah tamah dan tidak galak. Di
dekat suhu-nya ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf
atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada
kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini mampu
menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati
dan perasaan rindunya.
Lo Sian
membawa muridnya merantau ke barat, dan pada suatu hari mereka masuk ke dalam
sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh
dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.
“Lili, mari
kita mempercepat perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar
berhenti untuk memetik kembang.
Dia tertawa
geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang lalu
ditancapkan di atas telinga kanan. Bunga itu berwarna putih sehingga pantas
sekali dengan bajunya yang merah.
“Hayo kita
berlari cepat, Lili. Hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba.
Kalau kita kemalaman di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas
pohon!”
“Tidak apa,
Suhu,” jawab Lili sambil tertawa. “Teecu tidak akan jatuh lagi.”
Suhu-nya
tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu
ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon
besar, di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting
jatuh dari atas pohon!
Akan tetapi,
anak ini benar-benar mempunyai ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum
tubuhnya terbanting ke atas tanah, dia telah sadar dan dapat mempergunakan
ginkang-nya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan
dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat,
setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi
pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhu-nya melompat
ke bawah dan bertanya kepadanya.
“Suhu, aku
bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!”
katanya sambil tertawa!
Kini mereka
mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili
benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian,
gadis cilik ini memang sudah memiliki ginkang luar biasa berkat latihan ayah
bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat
tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan serta kepandaian
muridnya itu yang mampu menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar
dan mudah sekali.
Pada waktu
mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba saja Lo Sian menahan larinya dan
memandang ke kiri. Lili juga menahan tindakannya dan turut memandang karena
wajah suhu-nya memperlihatkan keheranan. Memang sungguh aneh, di tempat yang
sunyi itu dan tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan
kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya
terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.
“Ehh, Suhu.
Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?”
“Sstt, aku
pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”
Lo Sian
dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan
mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak
kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah
belakang.
Lo Sian mengajak
Lili mendekati kelenteng itu dan mendadak mereka mendengar suara anak kecil
tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri lantas bersembunyi di
balik daun-daun pohon. Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat
dua orang anak laki-laki di ruangan belakang yang berlantai mengkilap itu.
Seorang anak
laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak tangannya terikat ke belakang
dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang
gembung. Melihat wajahnya yang pucat serta perutnya yang gembung itu dapat
diduga bahwa ia adalah seorang anak miskin yang sering kali menderita kelaparan
dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing!
Di depan
anak kecil yang tangannya terikat itu, tampak berdiri seorang hwesio kecil yang
berkepala gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan
tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu.
Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.
“Ha-ha-ha!
Hendak kulihat kebenaran ucapan Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata.
“Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing!
Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam
tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang hendak mencuri makanan dan
sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya
akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat
banyak cacing, betapa lucunya! Ha-ha-ha, biarlah aku menolongmu dan hanya
melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang
pandai!”
Sambil
berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak
yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali bahwa anak kecil
yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
“Kau hwesio
gila, persis seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang
pura-pura menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku
lapar. Sekarang kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau pun mau
membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!”
“Bagus,
maling hina dina! Sekarang juga aku hendak mengeluarkan cacing dari perutmu
yang buncit ini!”
Hwesio kecil
itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya dia meraba-raba perut anak kecil
yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih dulu tempat yang tepat untuk
dibelek!
“Suhu…,”
dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhu-nya dan menunjuk ke arah kedua
anak itu, “hwesio gila itu hendak membunuhnya!”
Lo Sian juga
merasa terkejut bukan main melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam dia
mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya.
Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan
cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan ketika
hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian
menggerakkan tangannya. Buah kecil itu lalu meluncur cepat sekali dan dengan
cepat menghantam ke arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!
Akan tetapi,
ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu,
amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia cepat
menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
“Trangg...!”
Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu
melompat mundur dengan cepat dan kaget.
Pada saat
itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan
berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat
dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya
tadi. Dia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, dia menyambut
kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!
Si Pengemis
Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka
ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Akan
tetapi, alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Sementara
itu, Lili segera menghampiri anak yang terikat tangannya dan cepat membuka
ikatan tangan. Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima
kasih, akan tetapi mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo
Sian dan hwesio kecil tadi.
Sebetulnya
tidak tepat kalau disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya
ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak ingin
membalas. Dia memperhatikan gerakan hwesio itu dan diam-diam merasa amat
terkejut ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu.
Ia cepat
mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu
yang segera roboh dengan tubuh lemas. Ternyata bahwa Lo Sian sudah menotok
jalan darahnya yang membuatnya menjadi lemas dan tidak berdaya, sungguh pun
totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.
“Hayo kita
cepat pergi dari sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.
Karena
maklum bahwa anak miskin itu tidak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang
tangannya dan sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran sebab kedua
kakinya tidak menginjak tanah dan tubuhnya melayang-layang ditarik oleh
pengemis aneh yang menolongnya.
Lili merasa
heran sekali melihat betapa suhu-nya berlari seolah-olah takut pada sesuatu.
Akan tetapi melihat kesungguhan wajah suhu-nya, ia tak banyak bertanya dan
mengikuti suhu-nya dengan cepat.
Setelah
senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka pun tiba di luar dusun
yang berdekatan dengan hutan itu, dan ketika itu barulah Lo Sian menghentikan
larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,
“Kita
bermalam di sini saja.” Lalu dia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di
tempat yang jauh dari jalan kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik
gerombolan pohon.
“Mengapa
kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?”
Suhu-nya
menggelengkan kepala. “Terlalu berbahaya.”
“Suhu,
mengapa Suhu melarikan diri? Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah
kalah dan kenapa kita harus berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara
mengandung penuh penasaran.
“Kau tidak
tahu, Lili. Melihat dari gerakan ilmu silatnya, hwesio kecil itu tentu seorang
pelayan atau murid dari seorang tua yang sangat jahat dan lihai. Kalau betul
dugaanku, maka berbahayalah apa bila kita bertemu dengan dia!”
“Siapakah
orang jahat itu, Suhu?”
Lo Sian
menghela napas. “Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang sangat
sakti dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama
sekali tak kuat menghadapinya. Kepandaiannya sangat tinggi dan ilmu silatnya
luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang
gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat
menduga bahwa kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”
“Akan
tetapi, Suhu...”
Tiba-tiba Lo
Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.
“Ssshhh...”
bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik
sedikit pun.
Tak lama
kemudian, di dalam gelap terlihat bayangan orang yang bergerak cepat sekali.
Bayangan itu setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk
sekali, agak pendek dan gerakan dua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil
menuju ke dusun itu benar-benar hebat!
Lili melihat
betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah,
akan tetapi jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu
melesak ke dalam karena injakan kakinya ketika berlari.
Ketika orang
yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka sedang bersembunyi, Lili
mendengar suara yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan
sedang berdoa,
“Siauw-koai
(Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan
ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap
bersama bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari
menghilang ke dalam dusun di depan.
Barulah Lo
Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap.
“Hebat...!” bisiknya.
“Suhu, dia
itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”
Gurunya
mengangguk di dalam gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan
kalau kita tadi bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam
tangannya yang kejam.”
“Akan
tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun
botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”
“Memang
aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia
agaknya telah menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan
bahwa ia benar-benar seorang kaya raya! Aneh!”
Kalau Lili
dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah
anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.
“Memang Ban
Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”
Setelah
mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di
situ. Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang,
siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”
Anak itu
lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil
karena ayah bundanya meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia
enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota
ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di
depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai
seorang pengemis.
Ia
mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan
besar, memiliki banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan
sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari
Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh
karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun
berani mencelanya.
“Aku
mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan
sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan
masakan-masakan mewah. Karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri
makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang
kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan
Penolong).”
Lo Sian si
Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari
orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah
pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau
penclilik Lili itu.
Kepandaian
Ban Sai Cinjin memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia,
pertapa ini sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat
mengumpulkan harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan
suka mengganggu anak bini orang.
Akan tetapi,
untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya
digunakan sebagai tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya
tempat ini merupakan tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan
cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat inilah dia dapat berlaku leluasa,
jauh dari mata orang dusun atau orang kota.
Ban Sai
Cinjin sangat terkenal akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga
senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena
merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat dari pada logam yang
keras diselaput emas!
Pada
waktu-waktu biasa, ia menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi
dengan tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya
yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang
kekuning-kuningan bagaikan benang emas.
Akan tetapi
pada saat dia menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong
lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa
bila ia mengambil tembakau ini lalu dinyalakan di dalam pipanya, maka akan
tercium bau yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja
sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena
sebetulnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan
semangat.
Apa lagi
kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut
pipa itu menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup
angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin
mendapat julukan Si Huncwe Maut!
Lo Sian yang
berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak
miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar
pun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk
menjadi seorang ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak
ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini
menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.
“Kam Seng,
apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau
terhina orang?”
Mendengar
ucapan ini, tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian
sambil menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan
satu patah pun kata, hanya berkata terputus-putus, “Suhu..., Suhu...”
Setelah pada
malam hari itu bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian
mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng
tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Beberapa
hari lewat tanpa terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat
mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai
itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat dari pada buah leci,
dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai
beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan
minuman yang enak ini.
Pada suatu
hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana
ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan
tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.
Lo Sian
cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang
dirinya ini bukan lain adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang
orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang sedang berusaha mencari gurunya
dan karena dia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka dia telah sampai
di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar
bahwa suhu-nya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.
Kebetulan
sekali di kota Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah
merampas Lili dari padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan
maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.
Lo Sian
maklum bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera
mencabut pedangnya yang selalu disembunyikan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti
tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.
“Jembel hina
dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil
menyerang.
Lo Sian
menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang
yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur,
bahkan mereka lari cerai berai karena takut melihat dua orang itu mainkan
senjata tajam secara demikian hebatnya.
Sementara
itu, ketika melihat bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang
dibencinya, seketika Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi
anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan
lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang
berbahaya dari Bouw Hun Ti.
Sungguh pun
sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa
akan merupakan serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti
sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika
terpukul oleh sinar goloknya, biar pun andai kata mengenai tubuhnya pun tak
akan terasa olehnya!
Kam Seng
yang melihat suhu-nya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah
galak menyeramkan, dan juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau
tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera
menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan
silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh
sinar senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan
gurunya!
Akan tetapi,
Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya
yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat
melihat gerakan suhu-nya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan
sambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguh pun
serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw
Hun Ti.
“Setan
kecil, lebih dulu kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya
berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment