Saturday, July 7, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Remaja Jilid 02



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo   
        Serial Pendekar Remaja

                  Jilid 02


SUNGGUH amat baik nasibnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu siapa adanya orang ini, tentu dia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.

Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).

Kakak seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!

Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!

Secara kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.

Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan melihat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.

Alangkah terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang hebatnya luar biasa!

Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.

Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.

Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.

“Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya.

Sesungguhnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.

Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping!

Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang membuat ribut.

Dengan langkah lebar dia menghampiri lalu membentak, “Orang kasar dari manakah yang berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!”

Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.

“Apa katamu tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”

“Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tak kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.

Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dadanya.

Pelayan itu segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!”

Gegerlah semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.

“Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?”

Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul. Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.

“Bukk! Bukk!”

Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!

Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.

“Dukk!”

Ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!

Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau, “Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.

Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong.

Pada waktu terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.

Ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang masih marah itu bertanya dengan suara kasar, “Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?”

Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, “Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya.

Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab, “Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi dijual!”

Marahlah Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?”

“Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu keluar dari sana.

Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata, “Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.

Inilah kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!

Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.

“Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”

“Rasakan pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.

Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Akan tetapi, dia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun Ti segera melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.

“Bukkk!”

Terdengar suara keras saat pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke belakang seakan-akan dia baru saja terdorong oleh tenaga amat besar!

Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya.

Oleh karena itu, maka maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi masak-masak. Dia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu dia akan dapat menangkan Si Brewok itu.

Sementara itu, Thio Seng yang barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia merasa seakan-akan memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia sudah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan nekat.

“Bangsat rendah, awas serangan balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.

“Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti sambil memasang perutnya ke depan!

Pada saat itu Lo Sian sudah mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka secara diam-diam dia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati, dia lalu menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.

Anak ini sedang asyik menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran serta marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada penculiknya ini!

Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya itu. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya!

Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga tiba-tiba dia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia serukan hanya jeritan, “Ayah... Ibu... tolong...!”

Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa anak itu sudah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada saat itu pula, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin!

Tadinya Bouw Hun Ti tidak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya. Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu sedemikian kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan...

“Ceppp!”

Kepala Thio Seng menancap pada perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon! Memang betul-betul luar biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang!

Dengan sinkang-nya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala lawannya menyeruduk perutnya dia segera menggunakan tenaga lweekang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!

Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti sudah membuat tenaga serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya sendiri sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga!

Melihat hal yang mengerikan ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!

“Lepaskan anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu.

Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lweekeh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.

Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lweekang demikian tingginya.

“Bangsat rendah kau ingin mampus!”

Dan dia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan. Akan tetapi, para pelayan bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya dia segera memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya.

Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan senjata, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata sampai kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja sudah membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!

Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi terkejut dan gentar hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.

“Kau hendak lari ke mana?!” dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!

Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkol hatinya, tapi kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa marahnya? Dia melompat turun lagi dan ketika dia melihat salah seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan tendangannya.

Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa kedongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!

Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!

Lo Sian lalu membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya!

Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini sangat indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!

Ia mengelak cepat dan berkata, “Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”

Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta, menggerakkan kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka dia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya.

Makin lama makin terheranlah dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Dia paham dengan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan anak itu tentu saja tak akan mendatangkan bahaya apa pun terhadap tubuhnya.

Dia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu. “Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”

“Kau juga penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.

Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.

“Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”

Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu!

Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu. “Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?”

Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya. Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!

Penderitaan-penderitaan yang dia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, lalu mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malah dia telah ditotok hingga merasakan kesakitan yang luar biasa.

Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia menderita sehebat itu! Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ada waktu dia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba dia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!

“Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.

Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.

“Namaku Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.

“Nama yang bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”

Mendadak Lili mengerutkan alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.

“Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya!

Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu dia anak seorang pendekar, pikirnya.

“Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan di mana pula kau tinggal.”

Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi dia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka dia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab,

“Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”

“Eh, ehh, kenapa tidak mau pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo Sian membujuk.

“Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”

Lo Sian tersenyum. “Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?”

“Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”

Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.

Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja dia segera maklum bahwa tenaga lweekang orang itu masih lebih tinggi setingkat dari pada tenaganya sendiri!

“Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”

“Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”

Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.

“Siapakah nama kakekmu, Lili?”

“Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu.”

Lo Sian mengangguk-angguk dan menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.

“Di antara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”

Dasar anak-anak, biar pun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja dia paling suka membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,

“Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek.”

“Kalau misalnya Ayahmu bisa menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan penculik tadi?”

Tiba-tiba saja Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo. Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang mempunyai sifat seperti ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa ibunya.

“Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan dapat dirobohkan!”

Lo Sian tentu saja tak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka. Akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.

Maka, sambil mencari-cari orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, oleh karena dia memang belum mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan apa bila menjadi muridnya.

“Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?”

Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata, “Tentu saja suka, Suhu (Guru)!”

Demikianlah, mulai hari itu juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biar pun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau memberi tahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya hingga Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam, karena sesungguhnya dia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.


                   ***************
  
Di kota Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, yang dahulu ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa.

Akan tetapi, kini rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.

Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.

Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur!

Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.

Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek pada waktu terang bulan!

Dalam usia sembilan tahun, telah kelihatan bahwa kelak Goat Lan akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan dimanja sekali oleh kedua orang tuanya, maka dia menjadi nakal sekali.

Semenjak kecil dia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguh pun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun dia telah dapat melompat tinggi dan sering kali dia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!

Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga sering kali dua orang tuanya saling pandang dengan heran karena baik Kwee An mau pun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?

“Agaknya ia telah mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.

“Tidak mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya sebab mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”

Memang anak itu sangat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno serta sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apa bila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pekhu-nya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.

Dari Kwee Tiong dia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali dia datang ke kuil itu, selalu pekhu-nya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.

Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, dia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhu-nya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.

Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Tapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.

Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan pada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang sangat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.

Sesudah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini kembali diubah menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan di bawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.

Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, sangat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan di antara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang mempunyai ilmu kesusastraan tinggi. Maka, di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja.

Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur. Seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan dia bermain catur, sekarang bahkan merasa sangat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sembilan tahun ini!

Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika dia seorang diri memasuki halaman kelenteng, dia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata,

“Kwee-siocia, baik sekali sekarang kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”

Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya, “Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”

“Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal mereka, keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tidak pernah berhenti main. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapa pun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”

“Aku mau nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.

“Akan tetapi Siocia...”

“Ah, Pekhu tidak akan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”

Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, dia telah mencium bau arak yang sangat wangi dan suara parau seorang berkata, “Tianglo, kudamu sudah terjebak! Ha-ha-ha!” Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.

“Hemm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang prajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.

Goat Lan tidak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang sedang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, tepat benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.

Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan pun maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa dipergunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan di samping keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.

Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan catur, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah bau arak wangi tadi tersiar.

Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi dia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.

“Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu.”

Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau. “Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasehat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi apa bila kau memberi nasehat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali dia tertawa.

“Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi bagaimana pun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Memang agaknya kau tak menghendaki usia panjang.”

Mendengar percakapan serta melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu sudah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!

“Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tak butuh pertolongan dan nasehatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu kini terancam bahaya maut, Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, dia menggerakkan sebuah biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.

Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan hingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!

Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu sangat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi dia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini sudah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.

“Gerakkan benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.

Melihat betapa raja hitam terdesak, tanpa terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan meski pun dia masih tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena dia telah kehabisan jalan, ia kemudian menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.

Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.

“Benteng telah kurampas! Ha-ha-ha, kini kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha-ha-ha!” Tosu kate itu tertawa senang.

Akan tetapi suara tawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”

Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya dia memang sama sekali tidak mengerti apa kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan secara cuma-cuma kepada kuda lawan, tidak tahunya bahwa dengan gerakan memancing itu membuat kuda lawan meninggalkan depan raja hingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!

“Bagus, bagus!” katanya gembira sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu. Bagus!”

Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba saja menjadi masam dan dengan mulut cemberut dia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!

Hingga beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih sangat rendah sehingga setiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka langsung menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!

“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.

Tosu itu tak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, terus memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.

“Menteri setia bergerak melindungi raja, bila perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!

Anak ini merasa tak sabar sekali kenapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur hingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!

Bercahayalah wajah tosu kecil itu. “Ha-ha-ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha-ha-ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!” Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah dari pada ancaman menteri hitam.

Hwesio itu menjadi sangat penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian dia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.

“Memang jaman sekarang ini jaman yang buruk sekali! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”

Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan dia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguh pun hanya menyindir, akan tetapi Goat Lan bisa menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!

DIA lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian dia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapa pun juga.

“Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”

Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang sudah pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga jaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, dua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.

“Otak yang baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!” Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan sekarang ia duduk membelakangi Goat Lan!

“Benar-benar pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang dia perempuan!” Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.

Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimana orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.

Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang mempergunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah.

Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan ginkang-nya, maka tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan dia kembali dapat melihat papan catur itu seperti tadi!

“Ahh, tidak jelek!” kata hwesio gemuk itu.

“Bagus!” Si Tosu juga memuji.

“Inilah murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.

“Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”

Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Apa bila tadi mereka panas karena permainan catur, kini hati mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan hanya diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.

“Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, dia berhak mendapatkan murid ini.”

“Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”

Sin Kong Tianglo lantas menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!

Memang anak ini ahli dalam main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena sering kali raja mereka terkurung, akan tetapi sering kali juga mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.

Betapa pun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat Lan yang benar-benar tidak berat sebelah. Karena itu, setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!

Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun hingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu! Tiada seorang pun di antara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah.

Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhir pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!

Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata, “Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”

Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata, “Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”

“Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.

Hwesio itu tersenyum. “Apakah kita hanya bisa bermain catur dan tidak mempunyai ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian lain untuk menentukan kemenangan.”

“Ho-ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil melangkah keluar dan membawa guci araknya.

“Aku ingin merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.

Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,

“Goat Lan kau sudah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!”

“Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”

“Ehh, anak nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini sedang memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”

Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!

Thian Tiong Hosiang yang merasa sangat khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, “Cari dia dan antarkan pulang ke kota!” Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.

Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu sangat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemana pun juga, bayangan Goat Lan tetap tidak nampak!

Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba kembali di halaman tengah, mereka melihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di tempat itu menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!

Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.

Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biar pun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia juga maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apa bila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apa lagi pada waktu dia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya makin bertambah, maka dia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!

Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri pada saat hendak dipaksa pulang oleh pekhu-nya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di belakang batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, dia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai dari pada pertandingan catur tadi!

Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka?

Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa amat terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.

Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang amat terkenal dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, dia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai seorang ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).


Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su Episode Pendekar Remaja


Biar pun tempat pertapaannya di Pegunungan Gobi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja dia pergi, tentu dia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih terkenal dari pada namanya sebagai seorang ahli silat.


Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Dia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya telah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biar pun dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan lebih suka merantau ke mana-mana, akan tetapi dia jarang sekali memperkenalkan diri.

Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja dua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an.

Sudah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, dia merasa amat gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh.

Dahulu pernah dia berhadapan dengan Bu Pun Su dan sesudah mengadakan pibu (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya dia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah dia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, dia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.

Akibat keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo pergi meninggalkan daerah Gobi-san yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka dia lalu menuju ke kota itu.

Di tengah jalan, ketika dia melalui sebuah dusun, dia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Dia merasa heran sekali karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.

“Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?”

“Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”

“Yang bernyanyi adalah seorang iblis!”

Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan dia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.

Kakek ini terus menerus minum arak sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang dapat membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu!

Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, dia melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci pada tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi.

Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata, “Ha-ha-ha-ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Ehh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”

Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu yang mendengar bahwa hwesio itu ingin mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, dia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu!

Akan tetapi, karena sudah merasa sangat kangen dengan permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka lalu masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!

Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali. Memang ia pun amat suka akan ilmu silat meski pun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!

Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguh pun kalau orang melihat ke atas, langit hitam kelam tak berbintang sedikit pun.

Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, dua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang sangat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya!

Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan perlahan dan lambat bagai orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!

Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biar pun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu dia akan merasakan pula apa yang dirasakan oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!

Lama juga dua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena mereka maklum akan kelihaian lawan masing-masing, maka tanpa dijanjikan lebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya.

Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan ilmu kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silat Im-yang Kim-na-hwat yang permainannya berdasarkan pada gerak berlawanan dari Im dan Yang, maka tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekang-nya telah mencapai puncak yang amat tinggi.

Sebaliknya, sejak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga terus melatih diri sehingga tidak saja tenaga lweekang-nya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Gobi-pai dan bahkan dia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.

Ketika itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena gerakan kedua orang kakek itu sangat lambat, mendadak mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang, “Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?”

Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tidak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.

Memang benar, sebenarnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, dan secara diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran sambil melihat ke arah anak mereka dengan hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan sudah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan.

Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika mereka menuju ke Ban-hok-tong dengan berlari cepat sekali hingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka terlihat jemu dan bosan!

Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.

“Kepandaian mereka benar-benar hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.

Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang. “Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka.”

Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian dua orang kakek itu, dia berkata mencela, “Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek dari pada permainan catur mereka!”

Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.

“Anak bodoh, ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu merupakan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!”

Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu dia melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap sedang menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya.

Baik Im-yang Giok-cu mau pun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.

Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata, “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh sudah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!”

“Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah ibunya lihai dan mempunyai kepandaian tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.

Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya, “Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini dia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam.

Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.

“Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini dia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte bernama Kwee An sedangkan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai.”

Tosu kate itu mengangguk-angguk, “Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tak mengecewakan!”

Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya tingkat kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apa bila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhu-nya itu!

“Sayang sekali bahwa ternyata Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,” kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku.”

“Nanti dulu, Tianglo!” Im-yang Giok-cu berkata. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”

“Eh, ehh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.

“Ji-wi Locianpwe!” mendadak terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh kedua orang kakek itu. “Anakku tidak akan menjadi murid siapa pun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!”

Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka lalu memandang kepada Ma Hoa dengan heran. “Ah, kau betul-betul seorang Ibu yang tidak sayang pada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, kenapa kau malah ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andai kata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biar pun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang adat Si Kate ini agak keras.

Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak menggunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,

“Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, sangat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini.”

Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mau mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.

“Apa bila kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”

Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan segera menjawab, “Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”

Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.

“Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apa lagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.

Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa, lantas berkata dengan muka sungguh-sungguh, “Nyonya muda, kau harus sadar bahwa jaman ini adalah jaman yang buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik dari pada kami kepada anakmu ini?”

Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi kembali dia didahului oleh isterinya yang berkata marah, “Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Mengenai ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”

Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!

Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.

“Bagus, bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita sudah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari kita mencoba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”

“Nanti dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tidak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!” Sambil berkata demikian dia memandang pada Kwee An dan Mai Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, bila kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu ini menjadi muridku!”

“Ehh, bukan! Menjadi muridku!” kata tosu itu.

Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.

“Kalau begini, takkan ada habis-habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Jika nanti kita berdua dapat dikalahkan oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagai mana?”

“Baik sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.

“Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!”

Kedua orang kakek itu segera bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanya isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?

Ma Hoa lalu memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, kedua orang kakek ini memang memandang rendah kepada mereka, ke dua, jika anak tunggal mereka harus menjadi murid orang lain, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu.

Maka berbareng dengan isterinya, dia pun lantas maju menyerang Sin Kong Tianglo, ada pun Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu dua batang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!

Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena heran dan terkejut. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan sangat cepatnya sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.

Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An dengan mempergunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!

Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan pasangan suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring sedikit kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.

“Hebat sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini dia lantas menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!

“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini kemudian melanjutkan kata-katanya. “Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di manakah kelihaianmu!”

Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning). Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani, yang pernah jatuh cinta kepadanya sebelum dia menikah dengan Ma Hoa. Kemudian dia kembali menyerang yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya.

Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa dua orang kakek itu sama sekali tidak balas menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Namun setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua.

Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang milik Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An meski sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, akan tetapi sudah tercampur dengan ilmu pedang lain yang amat aneh dan dahsyat! Memang Kwee An telah mencampur adukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang dia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.

Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerang dengan sepasang bambu kuning dia langsung merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi dia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya.

Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang ada di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang sekarang agaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!

“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.

Biar pun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An mau pun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka sama sekali tidak pernah membalas, dan hanya menangkis atau mengelak saja, namun pertahanan mereka begitu kuat biar pun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.

Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.

“Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?”

Ma Hoa menjura dan menjawab, “Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhu-ku.”

Im-yang Giok-cu tiba-tiba saja tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar. “Ha-ha-ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhu-mu!”

Ma Hoa terkejut sekali, sebab memang suhu-nya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga dia belum pernah tahu bahwa suhu-nya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan). Dia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta.

Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan, “Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning yang kau mainkan itu merupakan ciptaan suheng-ku sendiri sehingga aku tak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok-mu (Paman Guru) sendiri!”

Ma Hoa sebenarnya sudah percaya, tetapi mendengar ucapan ini, dia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata, “Maafkan kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.

Im-yang Giok-cu mempergunakan gucinya menangkis ada pun tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja.

Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram lantas melanjutkan serangannya dengan jurus kedua. Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, jika tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seolah-olah bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya hingga Ma Hoa menjadi bingung.

Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu memiringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, dia cepat menggunakan ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga saat bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum dia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!

Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut, “Susiok!”

Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.

“Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau tak akan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Sungguh tak mengecewakan kau menjadi murid Suheng-ku, sayang bahwa kau agaknya belum cukup lama belajar dari Suheng-ku itu!” Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja.

Kwee An juga memberi hormat dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.

“Dengarlah, Kwee An dan kau juga, ehhh, siapa pula namamu?” tanya kakek itu kepada Ma Hoa.

“Teecu bernama Ma Hoa.”

“Hemm, bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun. Kami akan membawanya ke Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh letaknya dari sini. Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar dari Gobi-san dan ilmu kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah dari pada kepandaianku, sungguh pun tak mudah pula baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Tapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau adalah murid Suheng-ku, tentu saja aku takkan memaksa.”

Sebenarnya Ma Hoa merasa berat sekali jika harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena dia maklum bahwa apa bila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi orang yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.

“Ji-wi Locianpwe,” kata Kwee An dengan hormat, “teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apa bila anak teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena teecu hanya memiliki seorang anak, maka perkenankanlah teecu berdua sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu.”

“Boleh, boleh...,” Im-yang Giok-cu berkata sambil tertawa, “tentu saja hal itu tidak ada halangannya.”

“Goat Lan, kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?” tanya Ma Hoa kepada anaknya. “Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada ayah bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa Locianpwe ini adalah Susiok-kongmu sendiri.”

Semenjak tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka sebagai seorang anak yang cerdik sekali dia segera maklum bahwa tidak ada guru-guru yang lebih sempurna baginya dari pada dua kakek yang aneh dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua).”

Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi Goat Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.

“Ibu, kalau kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu dan pulang sendiri!”

Semua orang tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.

“Jangan khawatir, Goat Lan. Kami juga tak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan kau,” kata Kwee An.

Kedua orang kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari sana, tidak mau ditahan-tahan lagi. Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya dengan mesra, dan mendengar bisikan ibunya, “Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!” Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhu-nya di kanan kiri dan sekali kedua kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari situ!

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang tercinta itu menjadi basah, maka dia lalu mengajak isterinya pulang dan menghiburnya.


Kita tinggalkan dahulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhu-nya untuk berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li, puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama suhu-nya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.

Karena Lili tidak pernah mau mengaku setiap kali ditanya tentang orang tuanya, lambat laun Lo Sian tak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini. Dia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan sesudah dia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.

Lili juga terhibur dan merasa suka kepada suhu-nya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhu-nya ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini mampu menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan perasaan rindunya.

Lo Sian membawa muridnya merantau ke barat, dan pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.

“Lili, mari kita mempercepat perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk memetik kembang.

Dia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang lalu ditancapkan di atas telinga kanan. Bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah.

“Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita kemalaman di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!”

“Tidak apa, Suhu,” jawab Lili sambil tertawa. “Teecu tidak akan jatuh lagi.”

Suhu-nya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar, di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon!

Akan tetapi, anak ini benar-benar mempunyai ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, dia telah sadar dan dapat mempergunakan ginkang-nya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhu-nya melompat ke bawah dan bertanya kepadanya.

“Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!” katanya sambil tertawa!

Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang sudah memiliki ginkang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan serta kepandaian muridnya itu yang mampu menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.

Pada waktu mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba saja Lo Sian menahan larinya dan memandang ke kiri. Lili juga menahan tindakannya dan turut memandang karena wajah suhu-nya memperlihatkan keheranan. Memang sungguh aneh, di tempat yang sunyi itu dan tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.

“Ehh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?”

“Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”

Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang.

Lo Sian mengajak Lili mendekati kelenteng itu dan mendadak mereka mendengar suara anak kecil tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri lantas bersembunyi di balik daun-daun pohon. Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruangan belakang yang berlantai mengkilap itu.

Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak tangannya terikat ke belakang dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya yang pucat serta perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa ia adalah seorang anak miskin yang sering kali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing!

Di depan anak kecil yang tangannya terikat itu, tampak berdiri seorang hwesio kecil yang berkepala gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.

“Ha-ha-ha! Hendak kulihat kebenaran ucapan Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata. “Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang hendak mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing, betapa lucunya! Ha-ha-ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!”

Sambil berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali bahwa anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!

“Kau hwesio gila, persis seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau pun mau membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!”

“Bagus, maling hina dina! Sekarang juga aku hendak mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!”

Hwesio kecil itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya dia meraba-raba perut anak kecil yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih dulu tempat yang tepat untuk dibelek!

“Suhu…,” dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhu-nya dan menunjuk ke arah kedua anak itu, “hwesio gila itu hendak membunuhnya!”

Lo Sian juga merasa terkejut bukan main melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam dia mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan ketika hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil itu lalu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!

Akan tetapi, ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia cepat menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!

“Trangg...!” Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat mundur dengan cepat dan kaget.

Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Dia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, dia menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!

Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!

Sementara itu, Lili segera menghampiri anak yang terikat tangannya dan cepat membuka ikatan tangan. Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih, akan tetapi mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio kecil tadi.

Sebetulnya tidak tepat kalau disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak ingin membalas. Dia memperhatikan gerakan hwesio itu dan diam-diam merasa amat terkejut ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu.

Ia cepat mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera roboh dengan tubuh lemas. Ternyata bahwa Lo Sian sudah menotok jalan darahnya yang membuatnya menjadi lemas dan tidak berdaya, sungguh pun totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.

“Hayo kita cepat pergi dari sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.

Karena maklum bahwa anak miskin itu tidak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran sebab kedua kakinya tidak menginjak tanah dan tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang menolongnya.

Lili merasa heran sekali melihat betapa suhu-nya berlari seolah-olah takut pada sesuatu. Akan tetapi melihat kesungguhan wajah suhu-nya, ia tak banyak bertanya dan mengikuti suhu-nya dengan cepat.

Setelah senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka pun tiba di luar dusun yang berdekatan dengan hutan itu, dan ketika itu barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,

“Kita bermalam di sini saja.” Lalu dia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.

“Mengapa kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?”

Suhu-nya menggelengkan kepala. “Terlalu berbahaya.”

“Suhu, mengapa Suhu melarikan diri? Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah kalah dan kenapa kita harus berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.

“Kau tidak tahu, Lili. Melihat dari gerakan ilmu silatnya, hwesio kecil itu tentu seorang pelayan atau murid dari seorang tua yang sangat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka berbahayalah apa bila kita bertemu dengan dia!”

“Siapakah orang jahat itu, Suhu?”

Lo Sian menghela napas. “Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang sangat sakti dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tak kuat menghadapinya. Kepandaiannya sangat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”

“Akan tetapi, Suhu...”

Tiba-tiba Lo Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.

“Ssshhh...” bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.

Tak lama kemudian, di dalam gelap terlihat bayangan orang yang bergerak cepat sekali. Bayangan itu setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan gerakan dua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu benar-benar hebat!

Lili melihat betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam karena injakan kakinya ketika berlari.

Ketika orang yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka sedang bersembunyi, Lili mendengar suara yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,

“Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.

Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap. “Hebat...!” bisiknya.

“Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”

Gurunya mengangguk di dalam gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”

“Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”

“Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan bahwa ia benar-benar seorang kaya raya! Aneh!”

Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.

“Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”

Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”

Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis.

Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, memiliki banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.

“Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah. Karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong).”

Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu.

Kepandaian Ban Sai Cinjin memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia, pertapa ini sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat mengumpulkan harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang.

Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya digunakan sebagai tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya tempat ini merupakan tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat inilah dia dapat berlaku leluasa, jauh dari mata orang dusun atau orang kota.

Ban Sai Cinjin sangat terkenal akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat dari pada logam yang keras diselaput emas!

Pada waktu-waktu biasa, ia menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas.

Akan tetapi pada saat dia menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa bila ia mengambil tembakau ini lalu dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sebetulnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat.

Apa lagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!

Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar pun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk menjadi seorang ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.

“Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan satu patah pun kata, hanya berkata terputus-putus, “Suhu..., Suhu...”

Setelah pada malam hari itu bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.

Beberapa hari lewat tanpa terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat dari pada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak ini.

Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.

Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang dirinya ini bukan lain adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang sedang berusaha mencari gurunya dan karena dia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka dia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhu-nya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.

Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah merampas Lili dari padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.

Lo Sian maklum bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera mencabut pedangnya yang selalu disembunyikan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.

“Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.

Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur, bahkan mereka lari cerai berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam secara demikian hebatnya.

Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.

Sungguh pun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biar pun andai kata mengenai tubuhnya pun tak akan terasa olehnya!

Kam Seng yang melihat suhu-nya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak menyeramkan, dan juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya!

Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhu-nya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan sambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguh pun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.

“Setan kecil, lebih dulu kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!....
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12