Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 01
SUNGAI
Huang-ho atau Sungai Kuning yang amat terkenal di Tiongkok itu menumpahkan
airnya di laut Pohai yang termasuk di Propinsi Shan-tung sebelah utara.
Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kerajaan boleh ganti-berganti, jutaan
manusia mati dan hidup lagi, namun Sungai Kuning tetap mengalirkan airnya ke
dalam laut.
Ketika itu,
Kerajaan Tang yang semenjak abad ke tujuh hidup subur dan makmur, dalam
permulaan abad ke delapan mulai mengalami perubahan besar. Korupsi
besar-besaran yang dilakukan oleh para pembesar dan pegawai negeri dari yang
terendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, membuat negara menjadi lemah,
rakyat menjadi sengsara, dan kekacauan timbul di mana-mana.
Juga
bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Tibet yang tadinya sudah menjadi sahabat baik
sejak Sron-can Gam-po, kepala suku bangsa Tibet, menikah dengan Puteri Wan
Ceng, kini mulai kelihatan mengambil sikap kurang baik. Suku bangsa Tibet yang
menjadi kuat sekali itu, sering kali menunjukkan sikap bermusuhan dan menghina
kepada bala tentara Tang yang menjaga di tapal batas utara. Juga suku bangsa
Nam-cow memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Semua ini
bisa timbul karena Kerajaan Tang nampak kacau di sebelah dalam. Kekuatan
pasukan menjadi rusak, penuh oleh kutu busuk yang berupa panglima-panglima
tukang korupsi besar-besaran. Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi.
***************
Sunyi sekali
di pinggir Laut Po-hai di mana air Sungai Kuning itu tumpah, karena di situ
memang merupakan tempat yang liar dan tidak didiami orang. Siapakah berani
mendiami lembah Sungai Kuning di dekat laut? Sama halnya dengan hidup di dekat
mulut seekor naga yang liar, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan mencaplok
orang yang berada di dekatnya. Tiap kali datang musim hujan, lembah yang nampak
kehijau-hijauan dan amat subur itu berubah menjadi lautan ganas!
Akan tetapi,
pada waktu itu musim hujan sudah lama lewat. Lembah Sungai Kuning itu merupakan
tanah yang subur serta penuh dengan rumput-rumput hijau. Pemandangan indah
sekali, dan suara air laut bergelombang memukuli batu-batu karang di pinggir
laut, merupakan dendang yang tak kunjung habis.
Walau pun di
tempat itu belum pernah ada manusia yang datang, akan tetapi pada saat itu
tampak sesosok bayangan orang berdiri tegak di atas puncak bukit batu karang
yang menghitam. Orang ini sudah tua, pakaiannya penuh tambalan seperti pakaian
pengemis, rambutnya panjang tidak terpelihara, tubuhnya tinggi kurus akan
tetapi melihat wajahnya, nampak agung dan berpengaruh laksana wajah seorang
kaisar saja! Usianya sebetulnya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi dia
sudah tampak tua karena tidak merawat dirinya.
Kakek ini
berdiri tegak sambil kadang-kadang memandang ke arah gelombang laut yang
membuas, kadang-kadang melihat air Sungai Kuning yang menggabungkan diri dengan
saudara tuanya, yaitu air laut. Ia mengembangkan kedua lengan tangannya yang
kurus, lalu terdengar dia bicara seorang diri.
"Air
Huang-ho berasal dari hujan, dan hujan berasal dari laut. Lihat, mendung
bergulung-gulung dari atas laut, bukankah ini namanya kembali ke asal? Alam
begini besar, kuasa, dan adil, mana dapat dibandingkan dengan kekuasaan kaisar?
Alam bersifat memberi, selalu memberi, tidak seperti kaisar yang selalu minta!
Ah, alangkah bodohnya adik Pin, mana aku mau mengikuti jejaknya? Hari ini dia
diangkat menjadi menteri, lalu bercanda dengan kedudukan dan kemewahan, mana
dia bisa tahu kebahagiaan sejati? Biarlah aku bercanda dengan kekayaan
alam!"
Setelah
berkata demikian, kakek ini lalu berlenggang-lenggang turun dari gunung karang
itu. Bukit batu karang besar itu licin sekali karena selalu tersiram air laut,
juga ujungnya runcing-runcing dan tajam, ditambah lagi dengan bentuknya yang
amat terjal. Akan tetapi betul-betul mengherankan sekali, kakek itu dapat
berjalan turun dari batu itu seolah-olah batu itu datar saja. Ia tidak
kelihatan menggunakan keseimbangan tubuh, hanya berjalan biasa saja tanpa
melihat batu karang yang diinjaknya.
Yang lebih
hebat lagi, sambil berjalan turun, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi!
Suaranya keras sekali, mengimbangi suara gelombang air laut yang membentur
karang, sehingga kalau didengar-dengar, suara air laut itu seolah-olah
menimbulkan irama musik mengiringi nyanyian kakek itu. Dengan suara makin lama
makin keras seakan-akan dia tidak mau kalah oleh suara ombak yang makin
menderu, dia bernyanyi berulang-ulang.
Kalau kau
menarik gendewa,
sampai
sepenuh-penuh lengkungnya,
kau akan
menyesal mengapa tak kau hentikan pada waktunya.
Kalau kau
mengasah pedangmu seruncing-runcingnya, ujung pedang itu takkan dapat bertahan
lama.
Kalau emas
permata memenuhi rumahmu, kau akan repot dan bingung untuk menjaga semua itu.
Menyombongkan
harta dan mengagulkan kedudukan, berarti menyebar benih keruntuhan.
Mengasolah
setelah tugas selesai, sesuai dengan jalan Thian-to (Hukum Alam)!
Kata-kata
yang keluar dari mulut kakek itu sesungguhnya bukan nyanyian sembarangan saja,
melainkan kata-kata bersajak dari pujangga atau ada kalanya disebut Nabi Besar
Lo-cu! Kakek itu kini sudah tiba di atas tanah berpasir, kemudian dia berjalan
menuju ke laut!
Apa yang
hendak diperbuatnya? Sungguh aneh! Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang
lebar, kedua tangan bertolak pinggang menghadapi laut. Ia berdiri di sebelah
batu karang itu, menantikan datangnya gelombang ombak yang sebesar bukit!
Pada waktu
itu angin bertiup keras dan ombak yang datang benar-benar dahsyat serta
mengerikan. Ombak ini makin dekat dengan pantai menjadi makin bergelombang,
sikap ombak ini benar-benar merupakan ancaman maut. Akan tetapi, di antara
suara ombak menderu, terdengar suara kakek itu tertawa bergelak-gelak.
Ombak datang
dengan luar biasa hebatnya, membawa tenaga yang ribuan kati beratnya,
menghantam batu karang dan juga kakek yang berdiri itu, menimbulkan suara
hiruk-pikuk menggelegar yang terdengar sampai belasan li jauhnya.
Akan tetapi,
di antara suara menggelegar ini, masih terdengar suara ketawa dari kakek aneh
tadi. Ketika ombak datang, dia mementang kedua lengannya lalu mendorong ke
depan, tubuhnya tidak tegak lagi, melainkan agak membungkuk ke depan.
Ombak
memecah pada batu karang dan lenyap menjadi air yang mengalir kembali ke tengah
laut. Batu karang tadi bergoyang-goyang terpukul ombak, dan setelah ombak
lenyap, batu itu masih berdiri tegak, memperlambangkan kekuatan yang luar
biasa. Dan kakek tadi? Masih nampak berdiri, agak terengah-engah, akan tetapi
masih ketawa-tawa senang!
"Ha-ha-ha,
kakek batu karang, bukankah sang ombak tadi mempergunakan ilmu pukulan
Tin-san-ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung)? Ha-ha-ha, pukulan itu terhadap kau
dan aku sama saja dengan pukulan seorang bocah saja!" Sesudah berkata-kata
kepada batu dia berseru, "Kakek ombak, hayo kau datanglah, pergunakan
segala tenagamu, hendak kulihat apakah kau mampu menggulingkan kakek batu
karang!"
Ombak datang
memukul dan pergi lagi, namun batu karang dan kakek itu tetap berdiri teguh.
Benar-benar seperti kata-katanya tadi, kakek ini sedang bercanda dengan ombak
dan batu karang, sedang bercanda dengan alam!
Setelah
menahan pukulan ombak sampai lima kali, angin mulai mereda dan ombak yang
datang hanya ombak-ombak kecil saja. Kakek itu menjadi bosan dan ketika dia
hendak mendarat, mendadak dari atas batu karang itu melompat turun sesosok
bayangan orang dengan gesitnya. Tahu-tahu di hadapannya berdiri sambil tertawa
seorang hwesio gundul yang tubuhnya seperti bola karet, bulat segala-galanya,.
Kemudian dia membungkuk, lalu mendorong batu karang itu.
Benar-benar
hebat sekali. Batu karang yang tadi tertimpa gelombang berkali-kali bahkan yang
entah sudah berapa ribu kali terdorong ombak tanpa bergeming, hanya
bergoyang-goyang sedikit saja, kini terkena dorongan hwesio bulat ini, menjadi
miring dan akhirnya roboh!
Hwesio itu
terengah-engah sedikit, lalu menghadapi kakek tadi sambil tertawa-tawa.
"He-heh-heh,
Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah), biar pun kakek ombak amat kuat,
namun dia tidak mempunyai akal budi seperti kita. Mana bisa dia mendorong roboh
batu karang ini?"
Kakek
pengemis itu pun tertawa sambil memandang ke langit. "Di tempat ini
berjumpa dengan Jeng-kin-jiu (Tangan Seribu Kati), sungguh amat menggembirakan.
Ada sahabat datang dari tempat jauh, bukankah itu amat menggirangkan
hati?" Kalimat terakhir ini pun adalah ujar-ujar kuno yang diucapkan Nabi
Khong Cu. "Ehh, Kak Thong Taisu, jauh-jauh kau datang dari selatan ke
sini, apakah hanya untuk merobohkan batu karang ini?"
"Pengemis
bangkotan! Merobohkan batu karang benda mati ini, apanya sih yang aneh? Apa
bila kakek ombak yang mampu mendorong roboh kakek batu karang, barulah boleh
dibuat kagum. Sebaliknya kalau pinceng mampu mendorong roboh pengemis
bangkotan, batu karang hidup, itu baru namanya cukup berharga!"
Kakek yang
dipanggil Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah itu tertawa lebar.
"Kepala gundul, jadi kau ingin mencoba kepandaianku! Itukah maksud
kunjunganmu?"
"Ayam
jago dari selatan bertemu ayam jago dari timur, mengapa banyak berkeruyuk lagi?
Masih tanya-tanya maksud kedatangan?" setelah berkata demikian, hwesio
gundul yang bertubuh bundar itu lalu menubruk maju dengan kedua tangan
dipentang seperti hendak menubruk dan menangkap seekor katak.
Ang-bin
Sin-kai maklum bahwa meski pun kelihatannya serangan ini seperti main-main,
akan tetapi hebatnya bukan main. Ketika dia mengelak sambil melompat ke kiri,
pasir di belakangnya yang terkena angin terkaman ini berhamburan ke atas dan
batu karang di belakangnya bergoyang-goyang!
"Lihai
sekali kau punya ilmu pukulan Yu-coan Swe-jiu (Pukulan Menembus Air)!"
berkata Ang-bin Sin-kai sambil membalas serangan lawannya dengan tak kalah
hebatnya.
Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh yang terbesar namanya di wilayah selatan.
Di kalangan ahli-ahli silat dan perantau yang gagah perkasa, Si Tangan Seribu
Kati ini dianggap sebagai jago tua yang paling lihai dan disegani. Orang-orang
takut dan segan kepadanya karena selain ilmu silatnya lihai sekali, juga
tabiatnya aneh dan sukar dilayani.
Oleh sebab
itu, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ini hidupnya seolah-olah terasing. Ia tinggal
di sebuah pulau kosong yang kecil di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan
tidak ada seorang pun manusia yang berani mendatangi pulau ini. Orang-orang
hanya bisa melihat hwesio gemuk ini bila ia menyeberang dan mengadakan perantauan
di daratan Tiongkok.
Ilmu
kepandaiannya amat tinggi, dan dia terkenal sebagai seorang ahli gwakang
(tenaga luar) yang sudah memiliki kepandaian sempurna sekali sehingga tenaganya
sukar untuk diukur bagaimana besarnya. Oleh karena tenaga gwakang-nya inilah
maka dia disebut Jeng-kin-jiu.
Dan
sebaliknya, kakek pengemis yang tinggi kurus itu pun bukanlah orang
sembarangan. Namanya tidak ada orang mengetahui, bahkan Kak Thong Taisu sendiri
tidak tahu siapa nama asli dari pengemis tua bangka ini. Dan hanya tokoh-tokoh
besar seperti Kak Thong Taisu saja yang tahu bahwa kakek pengemis ini berdarah
bangsawan!
Dia jarang
memperlihatkan kepandaiannya dan bila berada di tempat ramai, orang hanya
menganggapnya sebagai seorang pengemis biasa saja. Tentu saja tidak ada orang
yang mengetahui bahwa walau pun dia disebut pengemis dan keadaannya seperti
pengemis, akan tetapi selama hidupnya belum pernah mengemis!
Nama julukan
Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah didapatnya karena kulit mukanya
memang selalu kemerah-merahan seperti kulit seorang bayi yang sangat sehat.
Berbeda dengan Jeng-kin-jiu yang tadi sudah mendemonstrasikan tenaga
gwakang-nya yang hebat ketika mendorong roboh batu karang, Ang-bin Sin-kai ini
adalah seorang ahli lweekang yang juga telah mendemonstrasikan tenaganya saat
dia menyambut serangan gelombang ombak tadi.
Dengan
demikian, pertempuran yang terjadi di dekat laut ini adalah pertempuran antara
seorang ahli gwakang dengan seorang ahli lweekang! Bagi orang-orang yang
tingkat ilmu silatnya masih rendah, memang dengan mudah akan mengatakan bahwa
pertempuran antara ahli gwakang dengan ahli lweekang tentu akan dimenangkan
oleh ahli lweekang itu. Namun, hal ini tidak demikian kalau si ahli gwakang
sudah memiliki kepandaian yang sempurna. Pada hakekatnya, sumber atau dasar
kepandaian mereka adalah sama, tapi Jeng-kin-jiu lebih mengandalkan tenaga
kasar, ada pun Ang-bin Sin-kai mengandalkan tenaga lemas.
Bukan main
hebatnya pertempuran itu. Keduanya berlompat-lompatan, saling serang dan saling
mengelak. Kadang-kadang saling tangkis sehingga keduanya terhuyung-huyung.
Beberapa kali mereka melompat dengan menggunakan ginkang yang sudah sempurna
sehingga seakan-akan mereka merupakan dua ekor burung raksasa yang saling
terkam.
Bahkan
pernah Ang-bin Sin-kai terlempar masuk ke laut dan terpaksa berenang minggir
lagi. Pada lain saat si teromok gundul itu terlempar menabrak batu karang, akan
tetapi kiranya bukan kepalanya yang pecah, melainkan batu karang itu yang
hancur pinggirnya!
Ketika
mereka bertempur tadi, matahari masih berada di atas kepala mereka, akan tetapi
kini matahari telah lenyap dibalik gunung sehingga cuaca telah menjadi
remang-remang. Namun pertempuran masih dilanjutkan dengan ramainya dan ternyata
keadaan mereka benar-benar berimbang.
Dari
pertempuran yang semula mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, keduanya
sampai bertempur dengan lambat sekali, seperti sedang berlatih silat, namun
sebenarnya serangan-serangan yang lambat ini mengandung tenaga yang sanggup mengirim
nyawa salah seorang ke hadapan Giam-lo-ong (Malaikat Maut) kalau sampai terkena
pukulan!
Berhubung
dengan datangnya sang malam, angin mulai menyerang lagi. Suara gemuruh
dibarengi getaran-getaran pada tanah pesisir itu menandakan bahwa gelombang ombak
membesar menghantami batu-batu karang di pantai.
Kedua orang
kakek yang aneh itu masih saja melanjutkan pertandingan mereka. Makin lama
mereka merasa makin gembira karena setelah berpisah bertahun-tahun, sekarang
ternyata kepandaian masing-masing menjadi makin maju dan hebat. Oleh karena air
laut telah pasang, mereka kini terpaksa pindah dan melanjutkan pertempuran di
tempat yang agak tinggi.
Angin
mengamuk, langit tertutup mendung tebal sekali sehingga keadaan menjadi gelap
gulita. Hanya orang berkepandaian tinggi sekali mampu melanjutkan pertempuran
dalam keadaan seperti itu. Mereka sudah tak dapat melihat lawan masing-masing,
karena tidak mungkin lagi dapat melihat semua yang di depan. Tangan sendiri pun
tidak tampak, apa lagi orang lain. Akan tetapi dengan alat pendengaran mereka
yang terlatih baik, mereka dapat mendengarkan sambaran angin pukulan lawan!
Menjelang
tengah malam, keduanya sudah amat lelah. Beberapa kali mereka telah dapat
saling pukul, akan tetapi pukulan-pukulan itu tidak terlalu keras bagi tubuh
mereka yang sudah kebal sehingga keduanya masih mampu terus bertahan. Akhirnya
usia lanjut yang menang, tubuh mereka menjadi makin lemas dan lelah.
Pada saat
mereka sedang mengadu tenaga dan kedua tangan saling tempel dan saling
mendorong lawan supaya jatuh ke dalam laut dari batu karang yang tinggi,
tiba-tiba batu karang itu terpukul ombak yang maha kuat sehingga miring!
Keduanya cepat melompat turun karena khawatir terbawa jatuh dan tergencet batu
karang. Sesudah tiba di bawah, kembali mereka berhadapan!
Tiba-tiba
saja di dalam gelap itu nampak cahaya hijau menjulang tinggi dari tengah laut.
Kembali nampak cahaya kehijauan melayang ke atas dan sesudah sampai di atas
lalu padam.
"Ahh,
itulah tanda kapal dalam bahaya!" seru Ang-bin Sin-kai.
"Benar!
Kau perhatikan, bukankah di tengah laut itu nampak lampu merah sebentar ada
sebentar hilang?" ujar Jeng-kin-jiu.
Keduanya
memperhatikan dan benar saja. Sebentar-sebentar, bila ombak yang setinggi
gunung sudah turun, nampak lampu merah berkelip-kelip jauh sekali dan
berkali-kali api hijau itu melayang ke atas.
"Nasib
mereka sudah pasti!" kata Ang-bin Sin-kai perlahan.
"Ikan-ikan
hiu akan berpesta pora setelah badai mereda. Dalam badai seperti ini, bagai
mana mereka dapat meloloskan diri?" kata hwesio itu.
"Kita
pun tidak berdaya menolong mereka," kata kakek pengemis.
"Benar,
sungguh sayang. Melihat sesama manusia dipermainkan oleh maut namun tidak dapat
turun tangan menolong, alangkah menyedihkan!" si hwesio berkata dan
suaranya benar-benar terdengar sedih.
Mendengar
suara ini, si kakek pengemis juga menjadi sedih. Keduanya kini duduk di atas
batu karang yang tinggi dan sambil duduk berdampingan. Dua orang yag tadi
bertempur mati-matian itu memandang ke tengah laut. Kadang-kadang mereka
berseru girang kalau melihat api merah itu, akan tetapi berdebar-debar gelisah
apa bila api itu tidak kelihatan lagi.
"Mereka
masih ada!" seru hwesio itu kegirangan bila mana melihat sinar hijau
melayang ke atas.
"Moga-moga
mereka selamat!" si pengemis berdoa.
Sampai
setengah malam badai mengamuk dan dua orang kakek aneh itu masih saja duduk di
situ, melepas lelah akan tetapi dengan hati tidak karuan rasanya melihat betapa
ada sebuah perahu besar diombang-ambingkan oleh gelombang dan menjadi permainan
badai.
Menjelang
fajar, badai mereda dan ombak menghilang. Aneh sekali kalau dilihat, akan
tetapi air laut yang tadinya mengganas bagaikan semua penghuni laut melakukan
perang besar itu, kini menjadi tenang dan diam, bening bagaikan kaca hijau yang
besar sekali.
Bahkan
matahari yang timbul dari permukaan laut dan yang bayangannya tercermin di
dalam air, nampak diam tak bergerak sedikit pun juga, tanda bahwa air itu
benar-benar diam tak bergerak! Seakan-akan raksasa besar itu kini tertidur
melepaskan lelah setelah setengah malam lamanya memperlihatkan kehebatan tenaga
mereka yang dahsyat.
Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai masih duduk bersanding sambil mata mereka
tidak pernah berkejap memandang ke tengah laut. Keduanya nampak lesu dan muram
seperti orang menyedihkan sesuatu. Hal ini tidak aneh, karena semenjak badai
mereda lampu merah itu tidak kelihatan lagi!
"Kita
seperti pengkhianat-pengkhianat yang melihat bangsanya terbunuh tanpa sanggup
menolong," kakek pengemis itu berkata lambat.
"Apa
daya kita bila menghadapi kekuasaan alam?" Jeng-kin-jiu menghiburnya.
"Giam-lo sudah merenggut nyawa orang-orang itu, siapa yang dapat
menghalangi pekerjaannya? Dari pada kita menyedihkan sesuatu yang sudah lalu,
kenapa kita tidak melanjutkan pibu kita?"
Pengemis itu
tersadar, lalu menoleh kepada hwesio itu sambil tersenyum. "Kau benar, di
antara kita belum ada yang kalah atau menang. Mari!"
Ia lalu
meloncat turun dari batu karang, diikuti pula oleh hwesio gemuk itu dengan
wajah gembira dan sebentar kemudian kedua musuh gerotan ini sudah berhadapan
lagi sambil memasang kuda-kuda!
Tiba-tiba
saja dua orang itu mendengar sesuatu dan mereka saling pandang, kemudian
keduanya tetawa bergelak-gelak. Bunyi yang mereka dengar tadi adalah suara isi
perut masing-masing yang tak dapat ditahan lagi telah berkeruyuk saking
laparnya. Isi perut pengemis itu mengeluarkan suara yang nyaring dan tinggi,
sedangkan isi perut hwesio itu berkeruyuk dengan suara rendah. Perkelahian
malam tadi benar-benar sudah membuat mereka menjadi lapar sekali.
"Gundul
busuk, apakah tidak baik kalau kita menyuruh mereka ini tutup mulut lebih dulu
dan menyumbat mulut mereka dengan makanan-makanan?" tanya Ang-bin Sin-kai.
"Akur!
Memang menjemukan sekali kalau mereka terus berkeruyuk dan merengek seperti
perempuan-perempuan cengeng," jawab hwesio itu.
"Ehh,
hwesio murtad! Bagaimana kau si kepala gundul ini dapat bicara tentang urusan
perempuan? Apakah di luarnya kau bersujud kepada Buddha dan menyucikan diri
akan tetapi hatimu selalu mengenang perempuan cantik?" tanya pengemis itu
sambil matanya mencorong memandang penuh kecurigaan.
Jeng-kin-jiu
hanya tertawa. "Di tempat seperti ini, dari manakah kita bisa mendapatkan
makanan?"
Si pengemis
tua tersenyum dan menunjuk ke arah laut. "Ada samudera luas di depan mata
kita, takut apakah? Perutmu yang gendut itu kukira takkan dapat menghabiskan
isi laut."
Setelah
berkata demikian, kakek pengemis itu lalu terjun ke dalam laut dan berenang ke
tengah untuk menangkap ikan.
"He,
kantong nasi gundul, apakah kali ini kau masih tetap hendak ciakjai (pantang
makan daging) dan membiarkan perut gendutmu kosong dipenuhi angin busuk?"
pengemis itu masih sempat berteriak.
Hwesio itu
tertawa bergelak, "Siapa sudi mulutnya pantang makan daging dan selalu
dijejali sayuran akan tetapi hati dan pikirannya mengenangkan ekor ikan lee
yang lezat?" sesudah berkata demikian, hwesio ini pun kemudian terjun ke
air dan berlomba dengan pengemis itu untuk mencari ikan yang sebesar-besarnya.
Setelah
hwesio gundul itu yang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak di atas
daratan dasar laut, akhirnya dia dapat menangkap seekor ikan yang gemuk seperti
dia. Ikan itu meronta-ronta. Biar pun kalau di darat Jeng-kin-jiu adalah
seorang ahli gwakang yang tenaganya tak kalah oleh seekor gajah, namun di dalam
air ia tidak dapat melawan ikan ini. Hampir saja ikan itu terlepas lagi apa
bila dia tidak dapat cepat menusuk kepala ikan itu dengan kedua jari tangannya
sehingga pecahlah kepala ikan itu!
Setelah
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mumbul ke permukaan air, dia bisa melihat Ang-bin
Sin-kai juga sedang berenang dari tengah. Juga pengemis itu memondong sesuatu
yang dari jauh kelihatannya seperti ikan. Akan tetapi, sesudah mereka keduanya
mendarat di pantai, hwesio itu dengan mata terbelalak memandang ke arah ikan
yang di pondong oleh pengemis itu.
"Omitohud!"
hwesio itu menyebut nama Buddha. "Benar-benarkah kau sudah berhasil
menangkap seekor ikan duyung?"
"Tutup
mulutmu, Gundul! Lebih baik lekas kau tolong anak ini. Jika aku tidak tahu
bahwa kau mengerti ilmu pengobatan, buat apa aku membawanya ke pantai?"
Pengemis itu lalu meletakkan tubuh anak kecil yang dipondongnya tadi di atas
pasir.
Anak itu
pingsan dan mukanya biru, perutnya gembung penuh dengan air asin. Kepala anak
itu gundul dan melihat pakaiannya, dia tentunya anak dari keluarga cukup. Hanya
pakaian ini sekarang compang-camping dan sepatunya tinggal sebelah kiri saja!
Usianya kurang lebih lima tahun.
"Omitohud!
Akhirnya bisa juga kita menolong seorang di antara para penumpang perahu yang
tenggelam itu," kata hwesio gemuk sambil berjongkok memeriksa anak tadi.
Ia suka
sekali melihat anak ini karena anak ini memiliki wajah yang tampan dan ketika
dia memeriksa tubuh anak itu, dengan girang sekali dia mendapat kenyataan bahwa
anak itu mempunyai tulang-tulang yang baik sekali, tulang seorang calon ahli
silat yang pandai! Yang terutama sekali membuat hwesio ini merasa senang adalah
kepala anak ini yang gundul pelontos dan licin seperti kepalanya sendiri!
"Anak
baik... anak baik..." Berkali-kali hwesio itu berkata sambil mengelus-elus
kepala yang gundul licin itu.
Si pengemis
menjadi dongkol sekali melihat ini.
"Kau
hendak mengobatinya atau hendak mengelus-elus kepalanya?" tanyanya marah.
Mendadak
hwesio itu berdoa dan dia mengucapkan sebuah syair dari pelajaran Buddha
Gautama,
Tidak ada
perbedaan antara
Nirwana dan
Sengsara
Tidak ada
perbedaan antara
Sengsara dan
Nirwana
"Banyak
mulut tidak bekerja merupakan watak seorang siauw-jin (orang rendah). Banyak
kerja tutup mulut barulah seorang kuncu (orang budiman)!" Pengemis itu
berteriak marah.
Akhirnya
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mulai mengobati anak itu. Ia memegang dua kaki
anak itu dalam tangan kiri, menjungkir-balikkan anak itu dengan kaki di atas dan
kepala di bawah, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk perut anak itu yang gembung
penuh air.
"Buang
air itu, untuk apa memenuhi perut?" katanya.
Seketika itu
juga air laut mengalir keluar dari mulut anak itu sehingga perutnya menjadi
kempis kembali. Lalu ia meletakkan anak itu di atas tanah, telentang dan
menggerak-gerakkan kedua tangan anak itu sehingga dada itu terangkat beberapa
kali. Akan tetapi tetap saja anak itu tidak dapat bernapas lagi. Si hwesio
menjadi gemas.
"Anak
bandel, bandel dan tolol!" makinya.
Akan tetapi
biar pun dia memaki demikian, namun dia lalu mendekatkan mulutnya pada bibir
anak itu, lalu menempelkan mulutnya yang besar memenuhi bibir kecil anak tadi
dan meniup serta menyedot beberapa kali!
Si pengemis
tua hanya memandang saja. Diam-diam dia merasa sangat iri hati terhadap
kepandaian hwesio gemuk ini, oleh karena dia sendiri sama sekali tidak mengerti
tentang cara-cara penyembuhan.
Tak lama
kemudian, terdengar anak itu mengeluh dan pernapasannya berjalan kembali. Hanya
sebentar dia mengeluh sambil menggeliat-geliat, lalu setelah membuka matanya,
anak itu melompat berdiri.
Dua orang
kakek itu diam-diam memandang kagum. Anak ini benar-benar memiliki tulang yang
baik dan juga daya tahan luar biasa sehingga baru saja terhindar dari bahaya
maut, sekarang telah bergerak dengan tangkas pula.
"Anak
baik, siapa kau?" pengemis tua itu bertanya.
"Bagaimana
dengan nasib penumpang-penumpang lain?" hwesio itu pun bertanya.
Untuk
sejenak anak itu memandang bingung. Biar pun dia telah mengingat-ingat, namun
dia benar-benar telah kehilangan ingatannya.
"Siapa
aku? Di mana aku? Ahh... aku tidak tahu. Siapakah lopek dan losuhu ini?"
Anak ini
mempunyai suara yg nyaring dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam sekali.
Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Ka Thong Taisu saling pandang, lantas mereka
berdua tertawa besar.
"Aku
dipanggil Ang-Bin Sin-kai," pengemis itu memperkenalkan diri.
"Dan
pinceng adalah Kak Thong Taisu," menyambung hwesio gemuk.
"Mengapa
aku berada di sini?" anak itu bertanya.
"Kalau
tidak ada Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) ngamuk, mana bisa kau ditelan ombak?
Dan kalau tidak ada kami dua orang tua bangkotan, mana bisa kau berada di
sini?" kata kakek pengemis itu yang memang sudah biasa mempergunakan
kata-kata yang sukar dimengerti.
Akan tetapi
ternyata anak itu cerdik sekali. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua
orang kakek itu sambil berkata, "Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku
tenggelam di laut, akan tetapi atas pertolongan Ji-wi losuhu, aku benar-benar
merasa berterima kasih sekali. Semoga Kwan Im Pouwsat memberkahi Ji-wi yang
mulia." Dia lalu berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
berkali-kali.
Dua orang
kakek itu saling pandang dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka merasa girang
sekali melihat sikap anak ini.
"Eh,
anak baik, agaknya orang tuamu pemuja Kwan Im Pouwsat. Bagus sekali!" Kata
Kak Thong Taisu. "Siapakah orang tuamu dan siapa pula namamu? Dari mana
kau datang?"
Anak itu
menggeleng-gelengkan kepala dengan muka sedih. "Aku tidak tahu siapa orang
tuaku, siapa pula namaku aku sudah lupa lagi. Dari mana aku datang? Entahlah,
yang terang dari laut, karena bukankah Ji-wi mengeluarkan aku dari laut?"
dia menudingkan jarinya yang kecil itu ke arah laut.
Kembali dua
orang kakek itu saling pandang.
"Hemmm,
dia sudah kehilangan ingatannya karena mengalami hal yang amat dahsyat di
tengah laut. Kasihan!" kata Kak Thong Taisu.
"Anak,
kalau begitu, aku hendak memberi nama kepadamu, maukah kau?"
Anak itu
mengangguk. Ang-bin sin-kai menjadi girang sekali.
"Kalau
begitu, mulai sekarang kau she (bernama keturunan) Lu!"
Terdengar
Kak Thong Taisu tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya ini nyaring sekali
sehingga anak itu terkejut. Ia merasa telinganya sakit sekali mendengar suara
ketawa ini, maka cepat-cepat dia menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Mengapa
kau tertawa, setan gundul?" Ang-bin Sin-kai membentak marah.
"Ha-ha-ha,
kau jembel tua bangka ini biar pun di luarnya seperti jembel, ternyata masih
belum sanggup melupakan asal keturunan bangsawanmu! Biarlah anak ini kau beri
she. Bagiku, apakah artinya nama keturunan? Merepotkan saja! Anak baik, kau
sekarang she Lu seperti she pengemis tua bangka ini. Akan tetapi namamu adalah
aku yang akan memilihkan. Kau sekarang memakai nama Kwan Cu."
"Lu Kwan
Cu" anak itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri. Tadi saat
melihat hwesio itu berhenti tertawa, dia sudah menurunkan tangan yang dipakai
untuk menutupi telinganya.
"Ya, Lu
Kwan Cu, nama baik, bukan?" si pengemis berkata girang. "Dan mulai
sekarang kau menjadi muridku!"
"Eh,
eh, ehh, Ang-bin Sin-kai, kau melantur apa lagi? Siapa bilang dia menjadi
muridmu? Dia adalah muridku, tahu?"
"Tidak,
hwesio gundul terlalu banyak makan! Dia adalah muridku. Lu Kwan Cu adalah murid
Ang-bin Sin-kai!"
"Gila!
Dia muridku!"
"Aku
yang datang menolongnya dari gelombang laut!"
"Dan
aku yang mengalirkan kembali nyawa ke dalam tubuhnya!"
Kedua orang
kakek ini kembali saling berhadapan dengan mata mencereng, siap untuk
memperebutkan anak itu. Keduanya bersitegang dan akhirnya tanpa dapat dicegah
lagi keduanya lalu bertanding pula! Mereka mengeluarkan ilmu pukulan yang
paling dahsyat sehingga pasir berhamburan terkena angin pukulan mereka.
Bahkan
ketika anak yang kini bernama Lu Kwan Cu itu terdorong oleh angin pukulan, anak
itu lantas terguling-guling bagaikan sehelai daun tertiup angin keras. Tentu
saja dia menjadi terkejut sekali dan anak ini lalu mencari tempat perlindungan
di belakang sebuah batu karang besar. Ia mengintai dan menonton pertempuran itu
dengan kedua matanya yang lebar dan tajam itu terbuka lebar-lebar.
Kini
pertempuran yang terjadi jauh lebih hebat dari pada malam tadi, karena kalau
malam tadi mereka bertempur hanya mengandalkan pendengarannya, sekarang mereka
dapat mengerahkan seluruh kepandaian dan ketajaman mata mereka. Rasa lapar
terlupa dan adanya hanya nafsu untuk menang!
Tiba-tiba
terdengar suara yang nyaring dari anak itu,
"Aneh,
aneh! Aku kesunyian mencari kawan. Dua orang ini di tempat yang begini sunyi
saling bertemu dan mendapat kawan, mengapa bahkan saling pukul seperti kerbau
gila? Ahh, celaka, tentu mereka berdua ini miring otaknya!"
Mendengar
omongan ini, biar pun sedang berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang
sambil membelalakkan mata. Akan tetapi mereka kembali melanjutkan perkelahian
itu. Ketika anak kecil tadi melihat betapa dua orang kakek itu masih saja
berkelahi, agaknya dia menjadi bosan. Diam-diam dia lalu pergi meninggalkan
tempat itu.
Jeng-kin-jiu
dan Ang-bin Sin-kai tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi mereka sedang
mengerahkan seluruh kepandaian untuk merobohkan lawan yang amat tangguh, hingga
mereka kurang memperhatikan anak yang pergi itu.
Setelah
matahari naik tingi, kelelahan dan rasa lapar membuat keduanya menjadi lemas
dan dengan sendirinya perkelahian itu berhenti pula! Mereka duduk di atas pasir
dengan napas terengah-engah sambil saling pandang.
"Kau
tua bangka gundul sungguh hebat kepandaianmu!" Ang-bin Sin-kai berkata
memuji.
"Dan
kau pengemis kurus kering ternyata lebih hebat dari pada dulu. Kalau saja
pinceng berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tentu kau takkan
dapat bertahan begitu lama,” kata Keng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menarik
napas panjang.
"Im-yang
Bu-tek Cin-keng tidak akan terjatuh ke tanganmu, gundul. Kitab itu pasti akan
menjadi milikku. Kau lihat saja!"
"Hemm,
belum tentu. Semua tergantung atas keputusan Thian. Siapa yang terpilih untuk
menjadi ahli silat nomor satu di dunia, barulah akan berhasil mendapatkan kitab
rahasia itu."
"Baik-baik,
mari kita berlomba mendapatkan kitab itu. Sekarang lebih baik kita menunda
pertempuran kita sampai salah seorang berhasil mendapatkan kitab, baru bertempur
lagi. Bagaimana pikiranmu?"
"Baik,
Ang-bin Sin-kai. Memang perutku sudah lapar sekali. Ehh, di mana Lu Kwan
Cu?" Hwesio itu bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Biar
saja, dia sudah pergi. Karena kita tidak dapat disebut mana yang kalah, mana
yang menang, siapa yang akan menjadi gurunya? Biarlah, biar dia sendiri yang
menentukan siapa yang hendak dijadikan guru. Antara guru dan murid harus ada
jodoh, bukan?"
Hwesio itu
mengangguk, kemudian keduanya memanggang ikan yang mereka tangkap dari laut,
lalu makan bersama. Kalau dilihat memang aneh dan menggelikan sekali. Dua orang
kakek tua bangka ini, karena sedikit urusan saja telah saling gempur
mati-matian. Mereka sudah bertempur sampai berjam-jam sampai kehabisan tenaga
dan sungguh pun mereka tak menderita luka-luka parah, akan tetapi setidaknya
tentu ada kulit-kulit pecah dan biru-biru. Sekarang mereka duduk makan-makan
berdua seperti dua orang kawan baik yang sedang berpelesir di pinggir laut!
Sehabis
makan, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata, "Ang-bin Sin-kai, pinceng
hendak pergi sekarang. Dua orang sahabat sudah saling bertemu dan sudah
mengalami banyak kesenangan. Setiap pertemuan tentu berakhir, maka kenapa
menyusahkan perpisahan? Hanya satu hal pinceng hendak berpesan. Dalam hal diri
Lu Kwan Cu, di antara kita siapa yang berhak mendapatkannya lebih dulu, berhak
mengajar lebih dulu selama lima tahun. Sesudah itu harus mengoperkannya kepada
orang lain, jangan mau dimonopoli sendiri saja."
Pengemis itu
mengangguk, "Kecuali kalau orang lain itu mampu merebutnya bukan?"
"Tentu
saja! Anak itu bertulang baik, dia pantas diperebutkan." Setelah berkata
demikian Kak Thong Taisu lalu melompat dan amat mengagumkan ginkang dari hwesio
gendut ini. Walau pun tubuhnya bagaikan bola gendutnya, sehingga kalau berjalan
nampak seperti menggelundung, akan tetapi dalam sekali berkelebat saja,
tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Ang-bin Sin-kai!
Kakek
pengemis ini seperti kawan atau juga boleh disebut lawannya, kemudian berdiri
di pinggir pantai dan memandang ke laut seperti orang melamun. Bibirnya
bergerak-gerak perlahan dan terdengar dia berbisik,
"Im-yang
Bu-tek Cin-keng, kitab rahasia yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, dan
Lu Kwan Cu, anak kecil aneh itu pula....ah, aku seakan-akan melihat pertalian
antara keduanya ini!" Sampai berjam-jam kakek ini terus berdiri di pinggir
laut bagaikan patung, pikirannya terbawa ombak yang bergerak-gerak tiada
hentinya.
Kakek pengemis
yang aneh, hwesio gendut yang ganjil, anak kecil yang penuh rahasia, kemudian
kitab yang disebut-sebut itu pun kitab yang aneh pula. Semuanya ini terjadi di
pantai laut Po-hai yang penuh rahasia alam.
Memang di
dunia ini banyak sekali terjadi hal-hal yang aneh, aneh bagi pandangan mata
manusia. Siapakah berani bilang bahwa alam tak berkuasa? Siapa pula dapat
mengikuti sifat dari pada To? Kekuasaan Thian nampak di mana-mana"
***************
"Lu
Kwan Cu, nama yang baik! Aku suka nama ini. Aku Lu Kwan Cu, ya, aku bernama Lu
Kwan Cu, siapa lagi kalau bukan ini namaku?" berkali-kali kata-kata ini
keluar dari mulut anak kecil yang berjalan seorang diri di jalan raya yang
sunyi dan lebar.
Ia sudah
kehilangan ingatannya, tidak ingat sama sekali tentang apa yang sudah terjadi
padanya. Ia tidak ingat lagi akan orang tuanya yang lenyap bersama dengan kapal
di mana tadinya dia berada. Semua telah lenyap ditelan ombak samudera, dan
kalau anak ini merupakan orang satu-satunya yang selamat, lalu dia kehilangan
ingatannya, siapa lagi orangnya di dunia ini yang dapat menceritakan siapa
adanya anak ini dan siapa pula orang tuanya?
Oleh karena
tidak mungkin menyelidiki siapa adanya keluarga anak ini, maka biarlah kita
mulai sekarang menganggap saja bahwa dia bernama Lu Kwan Cu, anak kecil berusia
lima tahun yang seolah-olah sudah dilemparkan oleh ombak laut Po-hai ke dalam
dunia, seorang diri tak berteman, hanya berkawan perutnya yang memiliki nafsu
makan besar sekali dan baju compang-camping yang kantongnya kosong sama sekali!
Oleh karena
desakan perutnya, maka tak lama kemudian anak ini kelihatan mengemis di
sana-sini untuk dapat mencari makan bagi perutnya yang bernafsu besar! Kwan Cu
memang tidak seperti anak-anak lain. Sikapnya, wataknya, dan cara dia mengemis
pun menjadi bukti bahwa dia adalah seorang yang aneh.
Pengemis-pengemis
kecil lainnya apa bila mengemis tentu akan merengek-rengek, dan menceritakan
kesusahan mereka untuk menarik belas kasihan dari pada pendengarnya. Biasanya
anak-anak seperti ini amat rendah diri, meski dimaki, dipukul, hanya menerima
dengan tangis saja. Berbeda jauh dengan Kwan Cu. Dia tidak pernah merengek,
tidak pernah mengeluh, agaknya anak ini memang tidak mengenal keluh-kesah.
Pada suatu
hari, dalam perantauannya yang tanpa tujuan itu, tibalah dia di kota Lung-to di
tepi Sungai Kuning. Memang Kwan Cu setelah meninggalkan laut, lalu mengikuti
jalan sepanjang sungai besar dan tak pernah jauh meninggalkan Suangai Huang-ho.
Ia memasuki
kota Lung-to dalam keadaan letih dan lapar. Ia telah melakukan perjalanan
sehari semalam lamanya. Daerah ini memang kurang penduduknya dan dari satu kota
ke kota yang lain amat jauh jaraknya.
Semenjak
kemarin, Kwan Cu belum makan apa-apa, dan selama sehari semalam itu dia
terus-menerus berjalan kaki. Tidak ada sesuatu yang bisa dimakannya dalam
perjalanan melalui hutan-hutan itu, kecuali air yang memenuhi perutnya. Akan
tetapi Kwan Cu tidak berani minum banyak-banyak karena hal ini mengingatkan dia
akan air laut. Anak ini mempunyai perasaan takut terhadap air laut yang
bergelombang besar.
Dengan
langkah tersaruk-saruk Kwan Cu memasuki pintu gerabang kota Lung-to. Kota ini
besar dan ramai, banyak terdapat toko-toko dan restoran besar. Maka sebentar
saja Kwan Cu dapat menerima sisa makanan dari sebuah restoran.
Biar pun
perutnya sudah lapar sekali, namun Kwan Cu tidak nampak tergesa-gesa ketika dia
membawa makanan itu ke bawah sebatang pohon besar di pinggir jalan. Kemudian
dia makan sisa makanan yang dia dapatkan dari pelayan restoran. Cara makannya
juga tidak tergesa-gesa, bahkan dengan teliti dia memilih makanan itu.
Dia sama
sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki kota, dia telah diawasi oleh
seorang gemuk yang berwajah menakutkan sekali dan yang gerakan-gerakannya
seperti seekor kucing ringannya.
"Daging
baik, tulang murni...," beberapa kali orang tinggi besar itu berbisik dan
nampak puas sekali.
Tingkah laku
orang tinggi besar ini benar-benar amat megherankan dan mencurigakan. Biar pun
tubuhnya besar, namun dia bergerak cepat dan gesit sekali. Anehnya, tiap kali
bertemu dengan orang, dia lalu menyelinap dan bersembunyi, dan karena dia
memang memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, tak ada orang yang
melihat dia mengikuti Kwan Cu.
Orang ini
tubuhnya besar dan nampak kuat, mukanya bundar dengan mulut lebar seperti mulut
barongsai. Jenggotnya pendek dan kaku bagaikan jarum, sudah putih sebagian.
Yang menyolok adalah pakaiannya, karena bajunya berwarna merah darah sedangkan
celananya berwarna biru! Melihat sesuatu mengganjal di dalam punggung bajunya,
dapat diduga bahwa orang ini membawa sebuah senjata tajam.
Pada masa
itu banyak timbul kekacauan, karna itu soal membawa-bawa senjata tajam bukanlah
pemandangan baru. Bukan hanya ahli-ahli silat yang membawa-bawa senjata pedang
atau golok, bahkan orang-orang yang tak mengerti ilmu silat pun sebagian besar
membawa senjata pelindung diri.
Ketika Kwan
Cu tengah makan, orang tinggi besar itu datang mendekati dengan muka
menyeringai. Kwan Cu mengangkat mukanya memandang. Wajah orang itu sama sekali
tidak membuat dia takut, bahkan anak kecil ini lalu mengerutkan kening.
Ia telah
memilih tempat di bawah pohon di mana tidak ada orang dan sunyi. Dari situ
terlihat orang-orang mondar-mandir di jalan raya, akan tetapi tak seorang pun
menaruh perhatian pada anak kecil jembel yang sedang makan di bawah pohon.
Mengapa orang ini datang dan memandangnya dengan muka menyeringai?
"Orang
tua, apakah kau lapar?" tanya Kwan Cu menunda makannya
Orang itu
melengak, lalu tertawa. "Aku memang lapar sekali!" Nampak sikap orang
itu benar-benar seperti kelaparan dan mengilar.
Kwan Cu
melihat makanan yang masih ada sisanya dan terpegang di tangan kirinya dalam
sebuah mangkok butut. Sebetulnya dia belum kenyang betul, akan tetapi perutnya
sudah tidak perih lagi seperti tadi. Tiba-tiba dia angsurkan mangkoknya kepada
kakek itu dan berkata,
"Nah
kau ambil dan makanlah ini!"
Kembali
orang itu tertegun. Diam-diam dia merasa geli melihat sikap anak kecil ini.
"Kau
tidak tahu siapa aku," pikirnya, "maka kau berani menghina."
Sebetulnya
siapakah kakek yang berwajah menyeramkan ini? Kalau orang-orang yang berjalan
di jalan raya itu tahu siapa dia, tentu akan terjadi geger. Telah beberapa hari
ini timbul kegemparan di kota Lung-to karena beberapa orang anak kecil lenyap
terculik orang.
Telah payah
orang-orang pergi menyelidik, akan tetapi percuma saja karena penculik itu
dalam melakukan pekerjaannya tak meninggalkan jejak sama sekali. Orang-orang
hanya menyangka bahwa penculik itu tentu menculik anak-anak dengan maksud untuk
menjual anak-anak itu sebagai budak belian sebab yang dipilih selalu merupakan
anak-anak yang manis dan sehat.
Bila saja
orang-orang tahu bahwa penculik anak-anak itu ialah Tauw-cai-houw, seorang
setengah gila yang banyak melakukan perbuatan ganas dan sangat menyeramkan,
tentu orang-orang akan menjadi gempar!
Tauw-cai-houw
(Harimau Menagih Hutang) adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang
mempunyai kebiasaan aneh dan mengerikan sekali. Ia menangkap anak-anak kecil
bukan sekali-kali untuk dijual belikan, melainkan untuk dimakan!
Dan kini
Tauw-cai-houw berada di kota Lung-to dan telah menculik beberapa orang anak
kecil. Lebih dari itu, pada hari itu Touw-cai-houw bahkan sedang mendekati Kwan
Cu dan ditawari sisa makanan oleh anak ini!
"Anak
manis, kau makanlah biar kenyang," kata Tauw-cai-houw dengan kedua matanya
berputar-putar. Memang muka yang bundar dari orang ini mirip dengan muka
harimau. "Kalau kau masih kurang, bilang saja, aku akan menyediakan
untukmu."
Kemudian,
kakek ini melihat mangkok di tangan Kwan Cu yang butut serta isinya yang
terdiri dari makanan sisa. Tangannya cepat menyambar dan tahu-tahu mangkok itu
telah dirampasnya dan dibanting hancur. Kwan Cu memandang heran dan juga marah,
akan tetapi Tauw-cai-houw berkata,
"Tunggulah
sebentar. Makanan seperti itu tak seharusnya kau makan. Tunggu sebentar, aku
akan mencarikan makanan yang baik untukmu."
Ia lalu
melangkah lebar ke arah restoran dan tak lama kemudian, betul saja dia kembali
dengan langkah-langkah lebar menghampiri Kwan Cu sambil membawa dua mangkok
penuh terisi makanan-makanan yang hangat mengebul!

Ketika dua
mangkok masakan itu diletakkan di hadapannya, Kwan Cu menjadi mengilar sekali.
Bau makanan yang amat sedap itu telah membuat perutnya yang belum kenyang
tiba-tiba menjadi lapar lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin dia segera
menyikat dua mangkok masakan itu.
Akan tetapi
anak ini memang aneh. Ia bahkan menggerakkan kepalanya menoleh kepada
Tauw-cai-houw, lalu berkata,
"Orang
tua, aku tidak bisa makan masakan ini."
Untuk ketiga
kalinya Tauw-cai-houw melengak. "He?! Mengapa?"
"Kita
tidak saling mengenal, juga tidak ada hubungan sesuatu di antara kita. Kenapa
kau datang-datang menghadiahkan dua mangkok masakan? Tentu ada udang di balik
batu. Apakah sebenarnya kehendakmu?"
Kini
Tauw-cai-hauw benar-benar tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan seorang
anak kecil yang seaneh ini. Kata-kata itu tidak patut keluar dari mulut seorang
anak-anak, pantasnya diucapkan oleh seorang dewasa yang sudah banyak pengalaman
hidup!
"Anak,
siapa namamu? Kau benar-benar cerdik, suka hatiku melihatmu."
"Aku Lu
Kwan Cu, dan siapakah kau, Lopek? Dan apa pula sebabnya kau datang-datang
berlaku manis kepadaku? Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai penukar dua mangkok
masakan yang mahal ini."
Tauw-cai-houw
tertawa bergelak sehingga beberapa orang yang lewat di dekat tempat itu
berhenti lalu memandang. Akan tetapi begitu Tauw-cai-houw itu memelototkan
matanya, orang-orang itu merasa takut dan buru-buru pergi lagi.
"Anak
bodoh, mengapa ribut-ribut mengenai penukaran? Aku pun mengambil
masakan-masakan itu tanpa bayar!"
"Apa?
Kau merampas dengan kekerasan? "tanya Kwan Cu dengan mata terbelalak.
"Tidak
bisa disebut perampasan karena pemiliknya tidak tahu makanannya kuambil."
"Kalau
begitu kau mencuri!" dengan kata-kata ini, Kwan Cu lalu mendorong dua mangkok
masakan itu sehingga terguling dan semua masakan yang masih mengebul panas itu
lalu tumpah di atas tanah yang kotor. "Aku tidak sudi makan barang curian
dan kau pencuri tua ini lekas pergi dan jangan mengganggu aku lagi!"
Dari
perasaan heran, kakek itu kini menjadi marah. "Tolol, disuruh makan biar
gemuk dan sehat, kau banyak membantah. Kau kira dapat membantah di depan
Tauw-cai-houw?"
Sesudah
berkata begitu, tangannya menyambar dan tahu-tahu Kwan Cu telah ditangkap
lehernya seperti harimau menangkap kelinci. Lalu orang tinggi besar yang
mengerikan ini melangkah lebar, membawa Kwan Cu yang tak dapat berkutik lagi.
Orang-orang
yang melihat ini menjadi ribut. Ketika mereka mengejar dan melihat betapa kakek
bermuka harimau itu berlari cepat sekali, mereka berteriak-teriak,
"Ahh,
tentu dia penculik anak-anak itu! Kejar!"
"Tangkap
penculik anak-anak!"
"Bunuh
dia!"
Teriakan-teriakan
susul-menyusul dan para pengejar makin banyak. Akan tetapi kakek itu
benar-benar lihai karena dalam sekejap mata saja dia sudah hilang dari
pandangan mata orang banyak, tidak tahu ke mana menghilangnya.
Sebentar
saja, gegerlah seluruh kota Lung-to dan semua orang membicarakan tentang
penculik itu. Banyak pula orang yang memberi bumbu sehingga tidak lama
kemudian, orang menggambarkan penculik itu sebagai seorang siluman yang bermuka
singa dan yang mengerikan sekali!
Para penjaga
keamanan kota menjadi sibuk karena mereka berusaha untuk mencari dan menangkap
penculik yang telah beberapa hari mengacau kota itu. Akan tetapi tetap saja
tidak ada seorang pun tahu ke mana perginya si penculik.
Pada saat
orang-orang sedang kebingungan dan geger, muncullah seorang wanita yang amat
cantik dan juga bersikap gagah sekali. Wanita ini masih muda, usianya takkan
lebih dari dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna putih, tetapi
kesederhanaan pakaiannya ini yang menambah kecantikan wajah dan potongan
tubuhnya yang langsing serta padat itu makin nampak nyata.
Di
pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya beronce benang-benang
sutera merah. Rambutnya yang panjang terurai ke belakang itu diikat dengan
pengikat rambut dari sutera merah pula. Pinggiran bajunya yang putih bersih itu
berwarna biru, menambah kepantasan. Siapakah wanita ini?
Melihat dari
sikapnya, tak dapat diragukan lagi bahwa ia tentulah seorang wanita perkasa
yang pandai ilmu silat. Dugaan ini tidak salah karena sesungguhnya dia dalah
pendekar wanita yang terkenal dengan sebutan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih).
Sebenarnya nama sebutan ini lebih berdasarkan kecantikannya dan baju putihnya
dari pada kegagahannya.
Namanya Thio
Loan Eng, dan semenjak dewasa memang sudah banyak merantau dan melakukan
perbuatan-perbuatan besar sehingga dapat mengangkat tinggi nama sendiri. Ilmu
pedangnya sangat terkenal di kalangan kang-ouw, karena Loan Eng adalah putreri
dari Thio Keng In, tokoh terkenal dari barat yang mempunyai ilmu pedang turunan
dari keluarga Thio. Menurut kepercayaan orang, ilmu pedang keluarga Thio ini
masih warisan dari ilmu pedang Thio Hui, tokoh besar dari jaman Sam Kok!
Ketika itu
Loan Eng sedang berada di Lung-to. Dia mendengar suara ribut-ribut ini dan
keluar dari kamar di hotelnya. Dengan cepat ia mendengar tentang penculikan
seorang anak kecil oleh seorang saikong yang bermuka harimau, maka cepat
pendekar wanita ini lalu mengadakan penyelidikan.
***************
Sambil
tertawa-tawa, Tauw-cai-houw membawa Kwan Cu ke dalam sebuah hutan yang sangat
liar di sebelah selatan kota Lung-to, terpisah kurang lebih lima belas li. Di
tengah hutan ini memang menjadi tempat persembunyiannya selama dia melakukan
penculikan-penculikan terhadap anak-anak kecil di kota Lung-to.
Setelah tiba
di tempat tinggalnya, yaitu sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pepohonan
besar, dia melemparkan Kwan Cu ke atas tanah. Anak ini terguling, akan tetapi
segera melompat berdiri lagi dengan mata terbelalak. Kini dia benar-benar
merasa seram ketika melihat betapa di atas tanah berserakan tulang-tulang
manusia dan tengkorak-tengkorak. Kalau melihat ukuran tulang-tulang dan
tengkorak-tengkorak itu, dapat di duga bahwa itu adalah tengkorak dan tulang
anak-anak kecil seperti dia!
Tauw-cai-houw
lalu mengambil sebuah kantong yang tadinya dia gantungkan di cabang pohon. Dia
membuka kantong itu dan mengeluarkan sebutir buah yang kulitnya bersisik
seperti kulit ular.
"Kau
makanlah ini!" katanya kepada Kwan Cu sambil mengangsurkan buah itu.
Akan tetapi
Kwan Cu tidak mau menerimanya, hanya menggelengkan kepala. Sinar mata anak ini
sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut terhadap saikong yang setengah gila
itu.
"Hayo
makanlah!" kembali Tauw-cai-houw membentak, akan tetapi dengan bandel sekali
Kwan Cu menggelengkan kepala.
Tauw-cai-houw
menjadi marah. Dipegangnya leher Kwan Cu dan sekali tekan saja mulut anak itu
terbuka. Buah ular itu diremasnya dalam tangan kanan dan dijejalkan ke dalam
mulut Kwan Cu! Rasanya asam dan pahit, akan tetapi karena dijejalkan terus,
terpaksa Kwan Cu menelannya!
Sungguh
aneh, meski pun rasanya asam dan pahit, setelah memasuki perutnya, terasa
perutnya hangat dan enak sekali! Dia tidak tahu bahwa buah ular itu adalah
semacam buah yang langka dan merupakan obat yang sangat mukjijat khasiatnya
terhadap aliran darah. Selain pembersih darah, juga dapat menguatkan tubuhnya.
Ternyata
Tauw-cai-houw memaksa anak itu makan buah obat ini supaya tubuh anak ini
menjadi kuat sehingga daging, darah, serta sumsumnya akan merupakan hidangan
yang amat baik untuknya!
Setelah Kwan
Cu menelan obat itu, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, selama
bertahun-tahun ini belum pernah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau!
Sekali ini aku pasti akan berhasil. Kau adalah seorang anak sin-tong (anak
ajaib), jantung dan otakmu pasti akan menghasilkan semua usahaku selama ini.
Ahhh, kau mengingatkan betapa semua anak-anak ini hanyalah sebangsa boan-tong
(anak nakal) belaka. Hemm, sungguh menyebalkan!"
Kwan Cu
tidak mengerti maksud kata-kata ini, hanya sepasang matanya yang lebar dan
bersinar-sinar itu memandang tajam.
"Kenapa
matamu mendelik terus padaku?" Tauw-cai-houw membentak marah. "Tenang
saja, matamu yang tajam itu tidak akan memasuki perutku, hanya akan membikin
muak saja!"
Setelah
berkata demikian, saikong ini kemudian menyalakan api unggun yang besar dan
memasang pemanggang dari kayu seperti yang biasanya digunakan untuk memanggang
binatang buruan.
Kwan Cu
masih juga belum mengerti, hanya memandang segala tingkah laku orang tua yang
aneh itu. Diam-diam dia membuat perbandingan, mana yang lebih aneh, kakek ini
ataukan dua orang kakek yang saling hantam di tepi laut itu.
"Di
dunia ini sungguh banyak sekali orang-orang aneh. Dia ini tentu juga miring
otaknya!" katanya dan karena kata-kata ini tanpa disengaja diucapkan
keras-keras, maka didengar oleh Tauw-cai-houw.
"Apa
katamu? Kau berani memaki aku gila?"
"Kalau
kau tidak gila, mengapa kau menangkapku dan membawaku ke sini? Kemudian kau
juga memaksaku makan buah yang pahit dan tidak enak, perbuatan ini kalau tidak
dilakukan oleh seorang gila, habis oleh siapa lagi!" Kwan Cu membantah
berani.
"Benar,
benar! Kau adalah sin-tong (anak ajaib), jika tidak demikian tak nanti kau
berani mengeluarkan ucapan-ucapan seperti itu! Ha-ha-ha, ingin kudengar apa
lagi yang akan kau katakan sesudah kau kupanggang di atas api itu!&"
dia menuding ke arah api unggun yang sudah menyala besar.
"Celaka,
memang kau benar-benar gila!" Kwan Cu menarik napas panjang.
Sambil
tertawa dengan suaranya yang serak, Tauw-cai-houw lalu menubruk dan dalam
sekejap mata saja kedua tangan Kwan Cu telah ditelikung ke belakang dan diikat
dengan tambang kulit pohon. Ia seperti seekor babi kecil yang sudah diikat
keempat kakinya dan hendak dipanggang hidup-hidup. Kemudian, lebihan tambang
pengikat tangan Kwan Cu yang masih panjang itu, oleh kakek itu diikatkan di
atas cabang pohon, tepat di atas api yang bernyala-nyala!
Bila anak
lain yang dipanggang seperti itu, tentu akan menjerit-jerit, akan tetapi Kwan
Cu lain lagi wataknya. Anak ini benar-benar berhati baja dan walau pun dia
sudah mulai merasakan hawa panas menyambarnya dari bawah, dia tetap menggigit
bibir tidak mau menangis atau berteriak.
"Benar-benar
sin-tong! Sin-tong!"
Melihat hal
ini Tauw-cai-houw menjadi makin girang. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat
dan memaki-maki api di bawah tubuh Kwan Cu yang mengeluarkan suara"
"Ces,
ces!" lalu padam!
Apa yang
terjadi? Tadi sehabis dijejali buah ular yang masam dan pahit, Kwan Cu ingin
sekali membuang air kecil. Akan tetapi karena dia tak sempat dan telah diikat
tangannya, tentu saja dia tidak dapat membuang air kecil. Kini setelah
digantung di atas, rasa panas membuat dia tak dapat menahan lagi, dan
kencinglah dia begitu saja. Sungguh kebetulan sekali, air kencing yang banyak
itu menimpa api unggun sehingga memadamkan api itu karena kayu bakarnya menjadi
basah semua!
Kwan Cu
berotak cerdik. Kini dia dapat menduga bahwa kakek gila di bawah ini adalah
seorang pemakan daging anak-anak! Diam-diam dia bergidik juga, akan tetapi dia
tidak takut! Agaknya sesudah terlepas dari bahaya maut di tengah samudera,
perasaan takut anak ini memang telah lenyap.
"Lopek,
apakah kau tidak mendengar suara tengkorak-tengkorak itu bicara?" tanya Kwan
Cu kepada Tauw-cai-houw yang sedang mengumpulkan kembali kayu bakar yang kering
sambil mengomel panjang pendek.
Mendengar
ini, Tauw-cai-houw menjadi terkejut sekali.
"Bohong!
Bocah nakal, mana ada tengkorak bicara? Tutup mulutmu, kau sudah kenyang, akan
tetapi aku sudah lapar sekali!"
"Siapa
yang membohong? Aku mendengar dengan jelas tengkorak-tengkorak di bawah itu
berkata-kata."
Kini
Tauw-cai-houw menghentikan pekerjaannya dan dia memandang ke atas di mana Kwan
Cu tergantung dengan muka di bawah.
Kwan Cu
mengeluarkan suara mengejek. :Mana kau dapat mendengarnya? Aku adalah seorang
anak sin-tong (anak ajaib), ingatkah kau?"
Wajah
Saikong itu berubah, sedikit pucat. "Apa kata mereka?" tanyanya,
suaranya tidak begitu keras seperti tadi.
"Turunkanlah
dulu aku dari sini, nanti kuceritakan apa yang kudengar tentang mereka,"
kata Kwan Cu.
Memang otak
Tauw-cai-houw tak begitu beres, maka mendengar ini, dia lalu cepat-cepat
menurunkan Kwan Cu.
"Lepaskan
dulu ikatan tanganku. Ikatanmu kuat sekali sehingga kau membikin tanganku
sakit," kata pula anak ini, suaranya tetap tenang seperti tidak terjadi
sesuatu yang hebat dan yang mengancam nyawanya.
Mendengar
ini Tauw-cai-houw ragu-ragu, akan tetapi dia lalu menggerutu, "Dibuka juga
apa kau kira bisa pergi lari?" dia lalu membuka ikatan kedua tangan Kwan
Cu.
Anak ini
menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya yang terasa sakit dan kulitnya
kelihatan matang biru.
"Hayo
lekas ceritakan, apa yang kau dengar dari tengkorak-tengkorak itu?"
Kwan Cu melirik
ke kanan kiri dan diam-diam dia merasa seram melihat rangka manusia ini. Selama
hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, oleh karena itu
diam-diam dia merasa betapa kepalanya yang gundul itu menjadi dingin sekali.
Tanpa
disengaja dia meraba kepalanya. Dan setelah meraba, dia mengeluarkan seruan
tertahan. Ternyata bahwa kepalanya kini menjadi pelontos dan licin sekali,
semua rambut yang tadinya masih ada sedikit-sedikit telah lenyap sama sekali,
menjadi licin!
Melihat air
muka anak itu terkejut dan terheran-heran, Tauw-cai-houw tertawa bergelak.
"Rambutmu, baik yang di kepala mau pun yang di tubuh, telah rontok semua
oleh daya coa-ko (buah ular) tadi. Apa kau kira aku doyan makan daging berbulu
dan berambut?"
Kwan Cu
mendongkol sekali. Jadi buah yang pahit tadi gunanya untuk membikin rambut dan
bulu-bulunya rontok sehingga dia bagaikan seekor ayam yang dicabut bulu-bulunya
sebelum dimasak? Terlalu sekali!
"Nah,
hayo ceritakan, tengkorak-tengkorak itu berkata apa?" Tauw-cai-houw berkata
tak sabar lagi.
"Mereka
saling bercaka-cakap membicarakan kau," Kwan Cu mulai memberi keterangan.
"Katanya bahwa hari ini adalah hari kematianmu, karena sebagai seorang
anak sin-tong, dagingku panas dan sumsumku beracun, sehingga begitu kau memakan
aku, kau pasti akan mampus!"
Sekarang
Tauw-cai-houw betul-betul menjadi pucat dan tanpa terasa lagi dia melangkah
mundur sampai tiga tindak. Dia memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak,
dan diam saja pada saat melihat anak itu berjalan pergi sambil berkata,
"Karena itu demi keselamatanmu sendiri, jangan kau makan aku!"
Kwan Cu
berjalan pergi dan dia tidak berani menengok lagi. Hatinya berdebar karena dia
tidak mendengar orang itu mengejar. Benar-benarkah dia dapat mengakalinya
demikian mudah?
Akan tetapi,
tiba-tiba dia mendengar angin menyambar dan tahu-tahu dia telah ditangkap lagi!
Seperti tadi, dua tangannya telah diikat kembali dan Tauw-cai-houw berkata
dengan suara mengancam,
"Sin-tong,
betapa pun juga, tetap saja kau akan kupanggang! Kau kira aku akan begitu
bodoh? Aku akan mengambil sekerat dagingmu dan sedikit sumsummu, lalu kuberikan
kepada harimau lebih dulu! Kalau harimau yang makan dagingmu dan sumsummu tidak
mati, kenapa aku harus jeri makan kau?" Sambil tertawa terbahak-bahak Tauw-cai-houw
membawa kembali Kwan Cu ke tempat tadi.
Kali ini
Kwan Cu betul-betul putus harapan. Akan tetapi, anak ini tetap tak mau menangis
atau menjerit minta tolong. Ia menghadapi dengan mata terbuka, bahkan matanya
makin besar cahayanya.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan putih, dibarengi bentakan nyaring.
"Siluman
jahat, lepaskan anak itu!" Bentakan ini dibarengi menyambarnya pedang yang
bercahaya ke arah dada saikong itu.
Tauw-cai-houw
kaget sekali karena gerakan serangan pedang ini bukan main cepatnya. Ia pun
terpaksa melepaskan tubuh Kwan Cu yang jatuh membelakang.
Kwan Cu
merasa jidatnya sakit terbentur batu, akan tetapi anak ini tidak mengeluh dan
cepat-cepat miringkan kepala untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata olehnya
bahwa yang menyerang penculik itu adalah seorang wanita baju putih yang cantik
sekali.
Ketika
penyerang yang bukan lain adalah Thio Loan Eng ini menemukan jejak penculik
yang membawa lari anak kecil, dia kemudian menyusul terus sampai ke dalam hutan
dan kebetulan sekali dia melihat Tauw-cai-houw hendak memegang seorang anak
kecil. Dia terkejut sekali ketika mengenal saikong ini, juga berbareng marah
sekali, maka langsung ia lalu menyerangnya dengan tusukan Sin-liong Jut-tong
(Naga Sakti Keluar Goa).
Tauw-cai-houw
adalah seorang yang tinggi ilmu silatnya, maka biar pun diserang dengan
tiba-tiba secara hebat ini, masih dapat dia melepaskan Kwan Cu. Kemudian sekali
saja tangannya bergerak, dia telah mencabut sebatang golok yang amat besar dan
tajam.
"Bangsat
kecil, siapa kau berani sekali menyerangku?!" bentak Tauw-cai-houw sambil
memalangkan goloknya di depan dada dengan sikap mengancam.
Loan Eng
berdiri tegak sambil menudingkan pedangnya kepada Tauw-cai-houw.
"Siluman
keji! Telah lama nonamu mendengar tentang kejahatanmu dan kebetulan sekali kita
bertemu di sini. Inilah tandanya bahwa riwayat Tauw-cai-houw akan segera tamat.
Orang jahat, kau telah kehilangan anakmu sendiri, mengapa kau sekarang berlaku
kejam terhadap anak-anak orang lain? Apakah kau sudah tidak memiliki perasaan lagi
sehingga kau membuat anak-anak menjadi seperti ini?" Dengan tangan kiri
Loan Eng menunjuk ke arah tengkorak-tengkorak yang menggeletak di kanan kiri
Kwan Cu.
Sejak tadi
Tauw-cai-houw berdiri bengong dan takjub. Belum pernah dia melihat seorang
wanita yang dalam pandangan matanya sedemikian cantik jelitanya, yang
mengingatkan dia kepada istrinya dulu! Kemudian mendengarkan ucapan Loan Eng
dia seperti tersadar dan untuk beberapa lama dia tak dapat berkata-kata!
"Tauw-cai-houw,
bersedialah untuk mampus!" Loan Eng membentak ketika melihat orang itu
hanya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak kagum.
Dengan
seruan ini, wanita perkasa itu kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini
dia menggerakkan pedangnya secara lihai bukan main. Inilah ilmu pedang
keturunan dari keluarganya dan meski pun Tauw-cai-houw amat lihai, namun dia
segera menjadi repot sekali menghadapi serangan pedang ini.
"Nona,
tahan, Nona... aku tak dapat melawanmu..."
Loan Eng
membelalakkan matanya yang bagus. Dia merasa sangat heran mendengar suara
lawannya dan ketika ia memandang, ternyata bahwa saikong yang bertubuh besar
dan bermuka seperti harimau itu telah menangis tersedu-sedu!
"Nona,
jangan serang aku... apa bila kau kehendaki aku akan melepaskan anak ini, aku
akan melakukan apa saja yang kau kehendaki, akan tetapi... jangan kau
tinggalkan aku selamanya..."
Loan Eng
sudah mendengar tentang Tauw-cai-houw, dan sudah mendengar pula tentang riwayat
orang aneh ini, juga tahu bahwa orang ini otaknya miring. Akan tetapi mendengar
kata-kata permintaan itu, mau tidak mau ia merasa jengah dan merahlah mukanya.
"Keparat!"
serunya marah.
Pedangnya
membacok lagi dengan gerak tipu Batu Karang Menimpa Jurang. Bacokan ini hebat
sekali dan demikian cepatnya sehingga tak mungkin bisa dielakkan pula. Terpaksa
Tauw-cai-houw menangkis dengan goloknya.
"Traaang...!"
Bunga-bunga api berpijar dan Loan Eng merasa tangannya tergetar hebat.
"Nona,
jangan serang aku" jangan tinggalkan aku..." berkali-kali
Tauw-cai-houw berkata dengan suara penuh permohonan.
Akan tetapi
Loan Eng menjadi makin penasaran dan sangat marah. Ia menyerang terus
bertubi-tubi dan lawannya hanya menangkis atau mengelak cepat, sama sekali
tidak mau membalas, hanya minta-minta dengan suara pilu.
Sesungguhnya,
Loan Eng sendiri merasa bahwa kepandaian saikong ini masih lebih lihai dari
padanya. Kalau Tauw-cai-houw membalas, tentu wanita perkasa ini akan terdesak.
Akan tetapi, saikong itu tak mau membalas sedikit pun juga dan betapa pun
lihainya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Loan Eng merupakan ilmu pedang yang
amat baik dan juga kepandaian Loan Eng sudah mencapai tingkat yang cukup
tinggi. Maka bagaimana dia dapat mempertahankan diri terus tanpa membalas?
Sesudah
melakukan perlawanan selama lima puluh jurus lebih, akhirnya sebuah bacokan
pedang Loan Eng menyerempet lengan kanannya sehingga ada segumpal daging dekat
sikunya terbabat pedang dan goloknya lepas dari pegangan.
"Aduh,
nona... jangan lukai aku..." Saikong itu berseru.
Akan tetapi
Loan Eng mendesak terus dan...
"Cep!
Cep!" dua kali ujung pedangnya berhasil menusuk pundak dan paha lawannya.
Tauw-cai-houw
mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung mundur. "Nona... Nona.... jangan lukai
aku..." Dia masih terus berseru dan mengangkat kedua tangannya ke atas
sambil memandang kepada Loan Eng dengan sinar mata mengasih.
Diam-diam
Loan Eng merasa kasihan juga terhadap orang ini. Akan tetapi mengingat semua
kejahatan-kejahatannya yang sudah melampaui batas prikemanusiaan, Loan Eng
menggigit bibirnya yang merah lalu melompat maju dengan sebuah tusukan hebat
sekali.
"Aduh,
istriku... mengapa kau berhati sekejam itu?" Tauw-cai-houw menjerit dan
setelah memanggil-manggil istrinya, tubuhnya berkelojotan.
Tak lama
kemudian dia menghembuskan nafas terakhir. Dadanya sudah tertembus oleh pedang
Loan Eng yang cepat membersihkan pedangnya dan sekali tebas saja dia telah
memutuskan tali yang mengikat kedua tangan Kwan Cu.
Loan Eng
mengira bahwa anak ini akan berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya, akan
tetapi dia kecelik besar. Kwan Cu bahkan berdiri tegak di depannya dengan sinar
mata bernyala-nyala, kemudian mencela, "Kau kejam sekali!"
Loan Eng
benar-benar tertegun .
"Apa?
Aku kejam? Kalau aku kejam, habis bagaimana kau menganggap dia itu?"
Dengan pedangnya ia menunjuk ke arah mayat Tauw-cai-houw.
"Dia?
Dia jahat..." Jawab Kwan Cu tanpa ragu-ragu lagi.
"Hemm,
anak bodoh. Kalau aku tidak berlaku seperti yang kau sebut kejam tadi, apa kau
kira sekarang kau masih dapat bernafas lagi? Mungkin kau sudah masuk dan berada
di dalam perutnya yang gendut itu."
"Akan
tetapi tidak perlu dibunuh," bantah Kwan Cu.
Mendengar
kata-kata ini, diam-diam Loan Eng menjadi heran. Ia tadi telah merasa heran
kenapa anak ini tidak pernah mengeluh atau menangis. Tadinya ia mengira bahwa
anak ini tentu ditotok jalan darah bagian Ah-hiat sehingga membuatnya menjadi
gagu, akan tetapi ternyata anak ini tidak apa-apa. Mengapa ada anak demikian
bandel dan kuat?
Jidat anak
itu masih berdarah bekas terbentur ketika jatuh tadi, akan tetapi sedikit pun
tidak pernah mengeluh. Dan sekarang, kata-kata itu lagi. Sungguh-sungguh tidak
pantas keluar dari mulut seorang anak kecil!
Dia merasa
tidak seharusnya berbantah dengan seorang anak berusia lima tahun, akan tetapi
anak ini lain lagi. Kata-katanya membuatnya merasa penasaran. Ia telah menolong
nyawa anak ini dan apa balasannya? Celaan! Sungguh membuat penasaran dan gemas.
"Bocah
ingusan! Kau tahu apa? Kau lihat rangka-rangka itu? Jika si jahat itu tak
kubunuh, kau pun akan menjadi rangka, dan bukan kau saja, masih banyak
anak-anak kecil akan ditangkapnya, kemudian dibunuhnya secara keji. Aku telah
membunuh seorang jahat dan melenyapkan bencana demi keselamatan banyak orang
anak-anak seperti engkau. Dan engkau menganggap aku kejam?"
Setelah
mendengar pembelaan ini, baru agaknya Kwan Cu mau mengerti. Dia kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata, "Toanio, kau
benar dan aku yang salah. Terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi."
Loan Eng mau
tidak mau harus tersenyum biar pun hatinya mendongkol sekali. Alangkah mahalnya
ucapan terima kasih dari anak jembel ini. Akan tetapi diam-diam ia tertarik.
Anak ini bukan anak biasa, dan cara anak ini mengaku kesalahan sendiri,
benar-benar mengherankan dan mengagumkan hatinya.
"Anak,
siapakah namamu?"
"Namaku
Lu Kwan Cu."
"Sebatang
kara?"
Kwan Cu
mengangguk sunyi.
"Tidak
ada tempat tinggal?"
Kwan Cu
menggeleng, juga tanpa berkata sesuatu.
Loan Eng
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Alangkah banyaknya
anak-anak terlantar seperti Kwan Cu ini. Banyak sudah dia bertemu dengan
anak-anak seperti ini, sebatang kara, berkeliaran menjadi pengemis, dan tak
jarang mati kelaparan. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan jembel
kecil seperti Kwan Cu ini. Juga wajah anak ini berbeda sekali dengan lain-lain
jembel.
"Kwan
Cu, maukah kau ikut dengan aku?"
"Ke
mana?"
"Ke
mana saja aku membawamu pergi."
"Mengapa?
Untuk apa?"
"Anak
bodoh, apa kau lebih suka berkeliaran seorang diri di dunia yang penuh
kejahatan ini? Baru saja kau mengalami peristiwa yang mengancam nyawamu, apakah
kau tidak ingin ikut dengan aku, menjadi muridku?"
"Menjadi
muridmu, Toanio? Belajar apa?"
"Benar-benar
pepat pikiranmu. Tentu saja belajar ilmu silat!"
"Untuk
apa belar silat?"
"Bodoh!
Kalau kau memiliki kepandaian silat, apakah segala macam orang jahat seperti
Tauw-cai-houw itu dapat mengganggumu?"
"Tidak,
Toanio," Anak itu menggelengkan kepalanya yang gundul. "Aku tidak
suka belajar silat"
"He?
Kenapa?" Wanita cantik itu bertanya heran.
"Aku
tidak mau belajar menjadi orang kejam" Kwan Cu teringat akan dua orang
aneh di pantai laut. "Ilmu silat hanya dapat dipergunakan untuk memukul
orang, bahkan untuk membunuh orang. Aku tidak suka pukul orang, juga tidak suka
bunuh orang!"
Mendengar
filsafat kanak-kanak ini, hati nyonya itu menjadi tertegun. Betul-betul anak
ini luar biasa sekali. Loan Eng bermata tajam dan sebagai seorang ahli silat
tinggi, ia dapat pula melihat bahwa anak ini bertulang baik sekali untuk
belajar silat.
"Jika
aku mendapat kesempatan belajar, aku ingin belajar membaca dan menulis, bukan
belajar menggerakkan senjata tajam yang mengerikan," jawab Kwan Cu dengan
suara tetap.
"Hemm,
kau kira aku hanya dapat menggerakkan pedang saja? Aku pun pernah belajar ilmu
surat"
Kwan Cu
sangat girang sekali. "Kalau begitu aku mau menjadi muridmu, Toanio!"
Setelah
berkata demikian, serta merta anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Loan Eng yang kembali melengak, kemudian ia tertawa. Ketika Kwan Cu
memandang, anak ini heran juga. Setelah tertawa nyonya ini tampak cantik sekali
bagaikan matahari yang bersinar terang, sedangkan tadinya ada bayangan
kemuraman di wajah manis itu, seakan-akan matahari yang tertutup mendung.
"Toanio,
bolehkah teecu (murid) mengetahui namamu yang mulia?"
"Aku
disebut orang Pek-cilan, namaku Thio Loan Eng."
Kwan Cu
mencatat nama ini di dalam otaknya, kemudian setelah Loan Eng mengajaknya
pergi, dia mengikuti wanita perkasa ini tanpa banyak cakap lagi. Loan Eng
merasa amat kasihan pada Kwan Cu, maka ia ingin menolong anak ini.
"Kau
ikut aku ke rumahku didusun Tun-hang, di sana kau boleh belajar membaca dan
menulis, akan tetapi kau harus membantu pekerjaan di rumah," katanya.
Kwan Cu
mengangguk-angguk. "Tentu saja, Toanio. Aku pun tidak suka bila menganggur
saja."
Diam-diam
Loan Eng berpikir. Anak ini bukan anak sembarangan, pikirnya. Sudah terang anak
ini punya keberanian luar biasa, juga keuletan menderita yang amat mengagumkan.
Selain itu, pandangan serta pikirannya mendalam dan luas, dan ucapan belakangan
ini membayangkan bahwa ia mempunyai keangkuhan pula.
"Di
mana orang tuamu? Siapakah mereka?" tanyanya sambil berjalan perlahan
karena kalau ia menggunakan ilmu berjalan cepat, tentu anak ini akan tertinggal
jauh.
"Aku
tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa namaku adalah Lu Kwan cu, yang lain-lain aku
tidak tahu sama sekali."
Loan Eng
makin merasa heran. Sungguh kasihan, mungkin semenjak kecil sudah hidup
merantau seorang diri, pikirnya.
"Toanio,
kenapa orang gila tadi menyebut kau sebagai istrinya? Dan mengapa ada orang
makan anak kecil?" Kwan Cu bertanya.
Loan Eng
lalu menceritakan keadaan Tauw-cai-houw. Ia telah mendengar riwayat orang itu
dari mendiang ayahnya.
"Dia
mempunyai riwayat yang amat menyedihkan. Isterinya yang masih muda dan cantik
telah lari dengan laki-laki lain, meninggalkan seorang anak kecil. Kemudian dia
merantau bagaikan orang gila mencari-cari isterinya, menggendong anaknya yang
masih kecil itu. Pada waktu dia tiba di dalam sebuah hutan dan menurunkan
anaknya dari gendongan, anaknya itu diterkam harimau! Ketika itu ia tengah
mencari buah-buahan untuk anaknya, dan saat dia datang menolong ternyata sudah
terlambat. Anaknya telah menjadi mangsa harimau yang kelaparan. Ia lalu
mengamuk dan seperti orang gila dia membunuh seluruh harimau yang ada di dalam
hutan itu. Pukulan batin ini terlampau berat baginya sehingga selain benci
terhadap harimau, juga timbul iri hatinya setiap kali dia melihat anak kecil.
Akhirnya, kegilaannya memuncak dan dia membunuh serta makan daging setiap anak
kecil yang diculiknya. Kau masih beruntung hanya menderita luka pada jidatmu
setelah tertangkap olehnya, sedikit saja aku terlambat kau pun akan akan
menjadi mangsanya. Entah bagaimana, dia telah berubah seperti seekor harimau
dan menganggap diri sendiri sebagai harimau yang suka makan anak kecil. Karena
itu maka di kalangan kang-ouw dia dikenal sebagai Tauw-cai-houw atau Harimau
Menagih Hutang, yaitu hutang nyawa anaknya!"
"Aduh
kasihan sekali. Kalau begitu memang lebih baik dia mati," kata Kwan Cu.
Akan tetapi,
pada saat itu Loan Eng memandang padanya. Pendekar wanita ini teringat akan
luka di jidat Kwan Cu dan kini ketika ia melirik ke arah jidat anak itu, ia
menjadi heran sekali. Jidat yang tadinya matang biru dan agak terluka di
tengah-tengah benjol itu, kini lukanya telah lenyap sama sekali.
"Coba
aku melihat luka di jidatmu!" katanya dan cepat ia memegang kepala anak
itu.
Benar-benar
mengherankan sekali karena luka itu sekarang sama sekali tidak berbekas lagi.
Kulit itu halus saja dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas terluka.
Sungguh tak mungkin sekali! Menurut kebiasaan, luka dan benjol seperti itu tak
akan lenyap dalam waktu satu dua hari, akan tetapi baru beberapa jam saja luka
pada jidat anak ini sudah lenyap.
Melihat air
muka nyonya perkasa itu terheran-heran, Kwan Cu bertanya,
"Ada
apakah yang aneh pada jidatku, Toanio?"
"Kau
tadi diberi makan apa oleh Tauw-ci-houw?" tanya Loan Eng tanpa
mempedulikan pertanyaan Kwan Cu.
"Sebelum
dia memanggangku, dia menjejalkan sebutir buah yang pahit dan masam ke dalam
mulutku sehingga terpaksa aku menelannya."
"Buah
yang kulitnya bersisik seperti ular?"
Pada waktu
Kwan Cu mengangguk membenarkan, Loan Eng menjadi terkejut dan girang sekali
sehingga dia memegang kedua pundak Kwan Cu dengan keras. Anak itu lantas
menyeringai kesakitan sehingga Loan Eng cepat melepaskan pegangannya.
"Apanya
yang hebat, Toanio? Buah itu tidak enak sekali."
"Kau
tahu apa? Buah itu khasiatnya hebat bukan main. Ratusan orang kang-ouw bahkan
berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di
puncak Hoa-san dan yang pohonnya hanya berbuah setiap lima puluh tahun sekali
ini! Kau mau tahu kehebatannya?" Loan Eng mencabut pedangnya dan secepat
kilat ia menggoreskan ujung pedangnya pada lengan kiri Kwan Cu.
Anak itu
terkejut, akan tetapi biar pun merasa sakit dan perih, dia tidak mengeluh, hanya
memandang pada Loan Eng dengan perasaan heran. Kulit lengannya terbuka dan
darah mengalir keluar. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena darah itu segera
menutup kulit dan cepat sekali mengering. Sebentar saja lenyaplah rasa sakit
dan pada saat Loan Eng menggosok-gosok darah kering itu, ternyata bahwa luka
pada kulitnya telah tertutup lagi, hanya ada bekas guratan yang halus sekali,
hampir tidak kelihatan!
"Kau
lihat, hebat bukan? Kecuali terputus uratmu, kulit dan dagingmu menjadi kebal
dan biar pun dapat terluka, kau akan segera sembuh kembali. Kalau kau sudah
mempelajari lweekang, bahkan kau tak akan dapat terluka oleh senjata tajam! Kau
benar-benar amat beruntung, Kwan Cu!"
Sebenarnya
Kwan Cu masih kurang mengerti. Akan tetapi melihat khasiat buah itu, dia
mengeluarkan lidahnya saking kagumnya.
"Semua
ini berkat pertolonganmu, Toanio. Kalau kau tidak datang menolong, apa artinya
buah itu bagiku?"
Besar juga
hati Loan Eng. Betapa pun juga, anak ini ternyata tahu akan terima kasih.
"Baiknya Tauw-cai-houw telah gila. Kalau dia sendiri yang makan buah itu,
apakah aku dapat menang dalam pertempuran melawan dia tadi?"
Walau pun
mulutnya bilang begitu, namun di dalam hatinya Loan Eng tahu bahwa kalau saja
Tauw-ci-houw tidak tertarik oleh kecantikannya dan teringat akan isterinya, ia
takkan dapat menang menghadapi orang gila itu yang kepandaiannya lebih tinggi
tingkatnya.
"Kwan
Cu, berjalan seperti ini, dalam sebulan belum tentu kita akan sampai di
Tun-hang. Hayo kugendong kau!"
Kwan Cu
memandang ragu. "Toanio, pakaianku kotor."
"Habis
mengapa?" Wanita perkasa itu memandang sambil tersenyum.
"Pakaianmu
begitu bersih, aku takut akan mengotorkan pakaianmu saja."
"Anak
bodoh!" seru nyonya itu.
Sebelum Kwan
Cu sempat menjawab, ia telah dipondong. Sebentar kemudian Kwan Cu merasa
kepalanya pening karena nyonya itu berlari cepat sekali bagaikan seekor burung
sedang terbang.
"Aduh
cepatnya!" serunya girang setelah dia menjadi biasa dengan kelajuan ini.
"Kau
mau mempelajarinya?"
"Tentu
saja, Toanio. Kepandaian ini amat besar gunanya. Aku suka mempelajarinya."
Loan Eng
tetap berlari cepat dan kembali nyonya perkasa ini tersenyum. Anak ini baik
sekali, cocok untuk menjadi kawan anakku, pikirnya.
"Bukankah
tadi kau bilang tidak suka belajar ilmu silat?"
"Ehh,
apakah berlari cepat termasuk ilmu silat, Toanio? Yang aku tidak suka adalah
ilmu memukul dan membunuh orang. Ilmu berlari cepat seperti ini tidak dapat
melukai orang. Aku suka mempelajarinya!"
Dengan
berlari cepat sekali, dalam beberapa hari saja Loan Eng sudah sampai di dusun
Tun-hang, sebuah dusun kecil di kaki gunung Fu-niu akan tetapi mempunyai daerah
dan tanah yang subur sekali. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam,
akan tetapi meski pun hidupnya sangat sederhana, namun mereka cukup makan dan
sehat, bahkan boleh dibilang makmur.
Rumah
keluarga Thio cukup terkenal, karena selain rumah ini paling besar di antara
semua rumah di Tun-hang, juga siapakah yang tidak mengenal Bun-pangcu, mendiang
suami Loan Eng?
Dahulu Loan
Eng tinggal di situ dengan ayahnya dan kemudian setelah ia menikah dan ayahnya
sudah meninggal dunia, ia tinggal bersama dengan suaminya, seorang gagah
perkasa bernama Bun Liok Si, ketua dari Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti)
yang berpusat di kota Cin-an.
Sin-to-pang
terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, dan seperti dapat diduga dari nama
perkumpulannya, perkumpulan ini terkenal karena ilmu goloknya yang lihai. Tentu
ilmu golok yang amat hebat. Setelah Bun Liok Si menikah dengan Thio Loan Eng,
nama perkumpulan ini menjadi semakin terkenal karena Loan Eng merupakan seorang
tokoh yang diindahkan dari dunia kang-ouw.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment