Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 02
PERNIKAHAN
itu amat berbahagia dan Loan Eng beserta suaminya dikaruniai seorang putri yang
mungil dan yang diberi nama Bun Sui Ceng. Akan tetapi ketika Sui Ceng berusia
tiga tahun, terjadi peristiwa yang hebat sekali.
Untuk
mengurus perkumpulannya yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, Bun Liok Si
sering kali pergi ke kota Cin-an. Akhir-akhir ini makin sering Liok Si pergi ke
Cin-an dan semakin lama saja dia berada di kota itu meninggalkan anak
isterinya. Loan Eng tidak bercuriga, karena sebagai seorang isteri yang
bijaksana, ia mencintai dan juga percaya penuh kepada suaminya.
Akan tetapi,
di antara pembantu-pembantu suaminya, terdapat seorang pemuda yang diam-diam
menaruh hati cinta pada Loan Eng yang cantik jelita. Pada suatu hari, pemuda
ini menjumpai Loan Eng dan menceritakan bahwa kini Bun Liok Si mempunyai
seorang kekasih di kota Cin-an, dan bahwa kekasihnya itu telah dijadikan isteri
kedua. Karena itulah maka Bun Liok Si jarang sekali pulang ke dusun dan betah
sekali tinggal di Cin-an.
Thio Loan Eng
adalah seorang wanita yang berhati keras sekali, persis seperti mendiang
ayahnya. Ia mencinta dan percaya pada suaminya, akan tetapi kalau dipermainkan,
dia menjadi seorang iblis wanita!
Dengan marah
sekali ia lalu membawa pedangnya dan menyusul ke Cin-an. Benar saja, ia lalu
mendapatkan suaminya berada dalam rumah seorang nona cantik yang menjadi
penyanyi terkenal di kota itu. Meluaplah kemarahannya dan dia membunuh
perempuan itu. Juga ia menyerang suaminya kalang kabut dengan pedangnya.
Bun Liok Si
merasa bersalah dan minta ampun, akan tetapi Loan Eng tidak mau memberi ampun
dan meyerang terus. Kalau saja Bun Liok Si mau melawan dengan goloknya yang
lihai, agaknya isterinya tak akan menang. Akan tetapi pada waktu itu, Bun Liok
Si yang sudah merasa bersalah itu berlaku mengalah dan tidak mau membalas.
Ilmu pedang
Loan Eng cepat dan ganas sekali, maka akhirnya pedang di tangan nyonya muda
yang marah besar ini menembus dada suaminya sendiri! Di dalam saat terakhir Bun
Liok Si masih memaafkan isterinya dan berpesan supaya isterinya itu merawat Sui
Ceng baik-baik!
Sesudah
melihat suaminya menggeletak tak bernyawa di depan kakinya, barulah Loan Eng
merasa menyesal sekali. Ia lalu mendengar bahwa memang sudah lama suaminya itu
dibujuk-bujuk dan dirayu-rayu oleh nona penyanyi ini. Ketika ia menyelidiki,
ternyata bahwa nona penyanyi ini sudah bersekutu dengan pemuda yang melaporkan
kepadanya tentang ketidak setiaan suaminya!
Loan Eng
menjadi sadar. Pada hari itu juga ia mencari pemuda yang menjadi pembantu
suaminya dan tanpa ampun lagi ia membunuh pemuda ini!
Perkumpulan
Sin-to-pang menjadi gempar, tetapi tak ada seorang pun berani menentang Loan
Eng atau Pek-cilan yang ilmu pedangnya hebat itu. Bun Liok Si sangat dicinta
oleh semua anggotanya, maka para anak buah Sin-to-pang menaruh dendam pada Loan
Eng, sungguh pun mereka tidak berani menyatakan secara berterang. Loan Eng juga
tak mau peduli lagi akan perkumpulan mendiang suaminya, dan ia hidup berdua
dengan puterinya di rumah besar warisan orang tuanya sendiri di dusun Tun-hang.
Pada saat
Loan Eng yang memondong Kwan Cu tiba dipinggir dusun Tun-hang, tiba-tiba dia
menghentikan larinya ketika melihat tiga orang laki-laki yang kepalanya diikat
sapu tangan putih berdiri di pinggir jalan dan memandangnya dengan tajam.
"Mengapa
kalian memandang saja kepadaku?" tanya nyonya cantik ini dengan ketus.
Tiga orang
itu berubah air mukanya dan mereka cepat memberi hormat sambil menjura.
"Tidak,
Thio-toanio, kami tidak bermaksud apa-apa, hanya merasa heran melihat toanio
menggendong seorang anak laki-laki yang tidak kami kenal," berkata seorang
di antara mereka.
"Bukan
urusanmu, jangan ambil pusing! Ehh, siapakah sekarang yang menjadi pangcu
(ketua) dari Sin-to-pang?" tiba-tiba ia bertanya.
"Belum
ada, Toanio, dan kebetulan sekali Toanio bertanya tentang hal ini. Sesungguhnya
kami bertiga untuk sementara ini mengurus perkumpulan, sementara menunggu
adanya seorang ketua. Oleh karena kita sudah membicarakan perkumpulan, biarlah
kami bertiga mengulangi lagi permohonan kami pada Thio-toanio. Harap Toanio
sudi mengingat akan usaha dan jerih payah Bun-pangcu dan suka memimpin
perkumpulan kami yang..."
"Cukup!
Aku sampai bosan mendengarkannya. Berapa kali sudah kukatakan bahwa aku tak
peduli lagi dengan perkumpulan busuk itu? Perkumpulan yang hanya mengutamakan
nafsu dan pelanggaran susila?"
"Toanio
terlalu tidak adil!" Salah seorang di antara mereka berseru." Hanya
seorang yang melanggar, akan tetapi Toanio mengutuk kami semua. Apa kematian
Bun-pangcu masih belum cukup merupakan tebusan dosa? Apakah...?"
Belum habis
orang itu berbicara, tangan Loan Eng menyambar dan terdengar orang itu berseru
kesakitan, lantas tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima langkah. Ternyata
bahwa tangan Loan Eng tadi sudah memukul pundaknya sehingga sambungan tulang
pundaknya terlepas!
Loan Eng
lalu memandang dengan mata penuh ancaman. "Semoga sedikit hajaran ini
membikin kalian kapok dan tidak akan mengganggu aku lagi!" Setelah berkata
demikian, Loan Eng melompat pergi dan sebentar saja nyonya yang keras hati ini
telah masuk ke dalam dusun, langsung menuju ke rumahnya.
Kwan Cu
senang tinggal di rumah keluarga Thio. Tidak saja Loan Eng sangat suka dan
bersikap baik sekali padanya, juga Bun Sui Ceng, putri dari Loan Eng ternyata
adalah seorang anak yang manis dan lincah.
Sui Ceng
senang kepada Kwan Cu karena anak ini jauh lebih cerdik dari padanya, dan dalam
banyak hal selalu Kwan Cu menjadi penasihatnya. Sui Ceng menganggap Kwan Cu
sebagai kakaknya sendiri dan demikian Kwan Cu merasa mendapatkan seorang adik
yang manis. Terhadap Loan Eng, Kwan Cu berlaku penuh hormat dan dia pun amat
rajin membantu pekerjaan rumah sehingga nyonya janda ini amat suka padanya.
Akan tetapi,
apa bila semenjak kecil Sui Ceng amat gemar belajar ilmu silat, sebaliknya Kwan
Cu tidak pernah mau belajar ilmu pukulan, dan lebih tekun mempelajari ilmu
surat dan juga ilmu ginkang! Sebentar saja Kwan Cu sudah memiliki ilmu
meringankan tubuh yang mengagumkan Loan Eng.
Benar
sebagaimana dugaannya, Kwan Cu amat baik bakatnya, bahkan dalam usia enam tahun
anak ini sudah tahu cara-cara melatih diri dalam hal siulian atau semedhi! Di
luar kesadaran anak itu sendiri, diam-diam Loan Eng melatih ginkang dan
lweekang kepada Kwan Cu.
Dua tahun
lewat tanpa terasa dan usia Kwan Cu sudah tujuh tahun. Di dalam waktu dua tahun
itu dia sudah dapat mempelajari ilmu surat, dan kini dia sudah lancar serta
pandai membaca kitab-kitab tebal, bahkan dengan lancarnya dia sanggup membaca
kitab-kitab berat yang berisi ujar-ujar para nabi! Benar-benar dalam hal ini
pun Loan Eng merasa terkejut dan terheran sekali atas kecerdasan otak anak yang
pendiam itu.
Keluarga
Thio adalah keluarga yang kaya, maka selain gedung yang besar itu, Loan Eng
juga menerima warisan berupa barang-barang berharga. Akan tetapi nyonya janda
ini hidup secara sederhana, hanya dibantu oleh dua orang pelayan yang sekalian
bekerja sebagai pengasuh Sui Ceng. Semenjak suaminya meninggal, nyonya ini
sering kali pergi merantau dan meninggalkan anaknya di dalam asuhan pelayan
itu.
Pada suatu
pagi Kwan Cu dan Sui Ceng bermain-main di depan rumah. Thio Loan Eng sedang
pergi ke kota, membeli barang-barang keperluan yang tidak dapat dibeli di dusun
mereka.
Sui Ceng
sedang memamerkan kepandaian silatnya kepada Kwan Cu. Anak perempuan yang
berusia lima tahun ini memang memiliki gerakan yang lincah dan gesit, karena
itu Kwan Cu memandang dengan hati gembira. Di dalam pandangan Kwan Cu, Sui Ceng
bergerak-gerak bagaikan orang menari-nari sehingga tak terasa pula dia bertepuk
tangan memuji.
"Bagus,
adik Ceng. Sayang gerakanmu kurang cepat."
"Apa?
Kurang cepat? Kwan Cu, kau tidak pernah belajar silat, lalu bagaimana kau
berani lancang mengatakan kurang cepat?"Sui Ceng bertanya penasaran.
"Memang
aku tak pernah belajar karena aku tidak suka dengan ilmu pukul orang, akan
tetapi kalau aku melihat ibumu mengajarmu, ternyata gerakan ibumu jauh lebih
cepat dari padamu. Oleh karena itu maka aku bilang gerakanmu kurang
cepat."
Sui Ceng
tidak jadi marah. Jika demikian halnya kata-kata tadi bukan merupakan celaan.
"Mana bisa aku dibandingkan dengan ibu? Tentu saja aku kalah cepat. Ibu
adalah orang yang paling cepat gerakannya di dunia ini."
Kwan Cu diam
saja. Akan tetapi diam-diam dia berpikir bahwa jika dibandingkan dengan dua
orang kakek yang dulu dilihatnya di dekat pantai, ibu anak ini kalah jauh
sekali.
Kedua anak
ini tidak tahu bahwa semenjak tadi, tiga orang laki-laki berdiri agak jauh di
luar rumah itu dan memandang ke arah mereka. Tiga orang itu muncul tak lama
setelah Loan Eng pergi ke Cin-an dan mereka kini bicara kasak-kusuk, lalu
dengan langkah lebar mereka memasuki pekarangan gedung itu.
Kwan Cu
memandang dan dia melihat tiga orang yang telah dikenalnya dua tahun lalu.
Mereka itu adalah orang-orang yang pernah membujuk kepada Loan Eng untuk
menjadi pangcu dari Sin-to-pang, akan tetapi kemudian ditolak oleh Loan Eng,
bahkan seorang di antaranya telah dipukul jatuh. Diam-diam Kwan Cu berkhawatir
dan tanpa terasa lagi dia lalu berjalan menghadang di depan Sui Ceng.
"Toanio
tidak ada di rumah, harap Sam-wi datang lain kali saja," kata Kwan Cu
kepada mereka.
"Ha-ha-ha,
kau bukankah budak pengemis dulu itu? Aku sudah tahu kalau Toanio tidak ada,
tak usah kau banyak buka mulut!" Seorang di antara mereka membentak dan
sekali lagi mengulur tangan, dia telah memegang tangan Kwan Cu, lantas
mendorong anak itu sehingga roboh terguling.
"Kau
manusia busuk!" Sui Ceng dengan marah sekali memaki. "Kau berani
menjatuhkan Kwan Cu? Kupukul kepalamu!" Sambil berkata demikian Sui Ceng
menyerang dengan kepalan tangannya yang kecil!
Akan tetapi,
dengan mudah saja orang itu menangkap tangan dan sekali tarik, Sui Ceng sudah
berada dalam gendongannya dan kedua tangan anak itu dipegang dalam sebuah
tangan tanpa dapat bergerak lagi.
"Lepaskan
dia! Lepaskan adik Ceng!"
Kini Kwan Cu
sudah melompat bangun, menerjang dalam usahanya hendak merampas kembali Sui
Ceng.
Akan tetapi,
kembali sebuah dorongan membuat dia jatuh jungkir-balik. Sungguh heran tiga
orang itu, karena begitu di dorong jatuh, anak gundul itu segera melompat
berdiri lagi dan kembali mencoba untuk merampas Sui Ceng!
"Lepaskan
adik Ceng!" serunya berulang-ulang sambil dengan nekat dia mencoba untuk
merebut anak itu.
Sui Ceng
juga berseru-seru, "Kwan Cu, tolonglah aku...!"
Sebuah
tendangan mengenai kaki Kwan Cu sehingga membuat anak itu terlempar jauh, lalu
jatuh mengeluarkan suara berdebuk. Akan tetapi, seperti tidak merasakan
sesuatu, anak gundul itu telah bangun kembali dan mengejar!
Orang tertua
di antara ketiga orang itu, yang berjenggot kasar, memukul kepala Kwan Cu. Anak
ini tidak pernah belajar silat, akan tetapi perasaannya memperingatkan bahwa
kalau sampai kepalanya sampai kena terpukul, mungkin dia akan binasa. Maka dia
cepat miringkan kepalanya dan sebaliknya yang terkena pukulan adalah pundaknya.
"Bukkk!"
Orang itu
terkejut sekali karena seperti memukul bantal kapuk saja, dan biar pun Kwan Cu
kembali jatuh berguling-guling bagaikan bola ditendang, namun dia segera
melompat kembali dan berteriak-teriak menuntut supaya Sui Ceng dilepaskan!
"Twako,
kita tinggalkan anak setan itu!" orang yang memondong Sui Ceng berkata
sambil melompat pergi, diikuti oleh dua orang kawannya.
"Lepaskan
adik Ceng...!" Kwan Cu mengejar.
Kembali tiga
orang itu terkejut bukan main karena melihat betapa anak gundul itu dapat
berlari cepat! Memang selama dua tahun ini, yang dengan tekun dipelajari oleh Kwan
Cu selain ilmu membaca dan menulis, adalah berlari cepat dan tanpa disadarinya
dia melatih ginkang dan lweekang! Oleh karena dia telah mempunyai tenaga
lweekang, dibantu daya luar biasa dari buah ular yang dahulu dia makan dengan
terpaksa oleh Tauw-cai-houw, maka semua tendangan, pukulan, dan dorongan itu
biar pun membuat dia jatuh bangun, namun tidak melukainya!
Tiga orang
pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng berlari terus memasuki hutan dan
ketika mereka menengok, mereka tidak melihat Kwan Cu lagi. Mereka tertawa
girang dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke tengah hutan.
Tiga orang
ini tidak mengira bahwa diam-diam Kwan Cu mengikuti mereka. Tadi ketika dia
mengejar, dia sendiri merasa heran karena ternyata dalam hal berlari cepat, dia
tidak kalah oleh ketiga orang itu! Bahkan kalau dia mau, agaknya dia akan dapat
berlari lebih cepat lagi!
Kemudian,
saat ketiga orang itu memasuki hutan, Kwan Cu mendapat pikiran yang amat baik.
Apa bila dia terus menerus mengejar, seandainya dia dapat menyusul mereka, apa
gunanya? Ia tidak akan dapat menolong Sui Ceng, dan ini tidak berarti apa-apa.
Lebih baik
dia mengejar dan mengintai secara diam-diam supaya dia tahu ke mana Sui Ceng
dibawa sehingga kemudian dia dapat memberitahukan kepada Loan Eng, ibu dari
anak itu. Cara ini lebih tepat karena kalau sampai dia dapat membawa Loang Eng
datang menyusul mereka, apa sih sukarnya merebut kembali Sui Ceng?
Demikianlah,
ketika tiga orang itu sudah tiba di tempat persembunyian mereka, yakni di dalam
sebuah rumah bambu di tengah hutan itu, dan ketika Kwan Cu melihat Sui Ceng
dibawa masuk ke sana, anak itu cepat-cepat berlari keluar dari hutan, kembali
ke dusun Tun-hang.
Tak seorang
pun di dusun itu tahu mengenai penculikan ini, dan keadaan di dalam dusun tetap
aman seperti biasa. Kwan Cu masuk ke dalam gedung dan ketika pelayan-pelayan
bertanya di mana adanya Sui Ceng, dengan tenang Kwan Cu menjawab,
"Adik
Ceng dibawa lari oleh tiga orang Sin-to-pang, tetapi harap kalian jangan
ribut-ribut, kita menunggu saja sampai Toanio pulang."
Akan tetapi,
dua orang wanita pelayan itu tentu saja tidak mau diam dan mereka segera
mewek-mewek dan sesambatan memanggil-manggil Sui Ceng. Dengan sebal sekali lalu
Kwan Cu keluar dan duduk di halaman depan menanti kembalinya Loan Eng.
Siang hari
itu juga Loan Eng datang membawa bungkusan besar berisi barang-barang belanjaan
dari kota. Segera dua orang pelayan wanita itu berlari-lari dari dalam sambil
menangis.
"Toanio...
Toanio....!" kata mereka megap-megap menahan tangis.
"Diam
kalian!" Kwan Cu membentak marah sehingga dua orang pelayan itu terkejut.
"Kau...
kau setan cilik!" Pelayan itu memaki. "Nona majikan diculik orang,
tetapi kau tidak bersusah sedikit juga pun!"
Akan tetapi,
pada saat mendengar ini, Loan Eng seketika menjadi pucat dan memegang pundak
Kwan Cu.
"Apa
yang terjadi?" tanyanya. Biar pun mukanya pucat, wanita gagah ini masih
bersuara tenang.
"Teecu
sedang bermain-main dengan adik Ceng di pekarangan depan ketika tiga orang
pengurus Sin-to-pang yang dahulu, dua tahun lalu, pernah menjumpai Toanio di
jalan itu datang. Tanpa banyak bicara lagi mereka langsung membawa pergi adik
Ceng. Teecu mencoba untuk merebut kembali, akan tetapi teecu dipukul jatuh
bangun."
"Bohong
dia! Anak ini tidak susah sedikit pun, mana dia berani mencoba menolong?"
Pelayan yang seorang berkata.
"Tutup
mulutmu dan pergi ke belakang!" Loan Eng membentak dan dua orang pelayan
itu dengan ketakutan pergi kebelakang sambil menyusut air mata.
"Lanjutkan
ceritamu, Kwan Cu," kata Loan Eng.
"Ketiga
orang itu membawa adik Ceng keluar dusun dan teecu terus mengikuti
mereka."
"Bagus!
Ke mana mereka membawa Ceng-ji?"
Loan Eng
percaya penuh atas keterangan ini karena maklum bahwa anak ini mempunyai
ginkang yang cukup tinggi dan tanpa disadari oleh anak itu sendiri, dia sudah
memberi pelajaran ilmu lari cepat Chou-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput).
"Mereka
membawa adik Ceng ke dalam hutan di sebelah timur dusun. Di tengah-tengah hutan
itu terdapat sebuah gubug, di sanalah adik Ceng di bawa masuk, lalu teecu cepat
berlari pulang untuk memberi tahu kabar kepada Toanio."
"Bagus,
Kwan Cu. Mari kita kejar mereka!" Sambil berkata demikian, nyonya ini
segera memegang tangan Kwan Cu dan berlarilah ia cepat sekali.
Baiknya Kwan
Cu sudah mempelajari ilmu ginkang sehingga sungguh pun masih juga ia terseret,
namun dia juga masih dapat menggunakan kedua kakinya untuk ditotolkan pada
tanah dan membantu tenaga tarikan itu sehingga mereka maju pesat sekali.
Pada saat
melihat Loan Eng berlari-lari cepat sambil menarik tangan Kwan Cu, beberapa
penduduk dusun menjadi terheran-heran, maka bertanyalah mereka kepada kedua
orang pelayan yang lalu bercerita sambil menangis tentang diculiknya Sui Ceng.
Dalam sekejap mata gemparlah dusun itu.
Ketika
melihat bahwa Kwan Cu dapat mengimbangi larinya dengan menotolkan kakinya pada
tanah, diam-diam Loan Eng menjadi kagum dan senang melihat kemajuan anak ini.
Akan tetapi pada saat itu dia sedang merasa gelisah dan marah karena
terculiknya Sui Ceng, maka dia tidak berkata sesuatu. Karena Loan Eng berlari
cepat sekali, sebentar saja mereka telah sampai di dalam hutan itu dan Kwan Cu
lalu menunjuk ke arah gubug yang berada di tengah hutan.
Ketika Loan
Eng tiba di tempat itu, dia terkejut sekali karena gubug itu sudah dijaga oleh
sedikitnya lima puluh orang yang semuanya diikat sapu tangan putih kepalanya.
Ia tahu bahwa mereka ini adalah anggota-anggota Sin-to-pang, karena memang
sejak suaminya tewas, semua orang itu mengikat kepalanya dengan kain putih
tanda berkabung!
Akan tetapi
Loan Eng tidak merasa gentar dan segera maju menghampiri. Tiga orang pemimpin
Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng cepat berlari maju, menyambut dengan penuh
penghormatan.
"Thio-toanio
sudah datang untuk menyambut Bun-siocia. Harap menerima penghormatan
kami," berkata orang yang berjenggot kasar kepada Loan Eng sambil menjura.
Kemudian dia
memberi aba-aba dan ketika Loan Eng memandang, dia melihat puluhan orang
anggota itu mencabut golok yang dipalangkan di depan dada. Diam-diam nyonya
janda ini terharu juga karena ia tahu karena inilah penghormatan dari
Sin-to-pang seperti yang biasa dilakukan mereka kepada mendiang suaminya!
"Aku
bukan apa-apa, bukan pengurus bukan pula anggota Sin-to-pang, untuk apa segala
penghormatan itu? Aku datang mengambil kembali Ceng-ji dan hendak bertanya
kenapa kalian berani mati sekali menculiknya?"
"Toanio,
kami sedang melakukan upacara pengangkatan ketua. Bun-siocia telah menjadi
pilihan kami untuk menggantikan ayahnya sendiri, mengapa kami dianggap
menculik?"
"Apa
katamu?" Mata Loan Eng terbelalak kaget. "Ceng-ji kalian angkat
menjadi ketua?"
"Benar,
Toanio. Di dalam dunia ini selain Toanio dan Bun-siocia, tak ada lagi orang
yang lebih berhak menjadi ketua Sin-to-pang. Dan oleh karena Toanio menolak,
maka pilihan kami jatuh pada Bun-siocia."
"Kalian
gila! Lepaskan anakku Ceng-ji apa bila kalian tidak ingin melihat aku mengamuk.
Anak baru berusia enam tahun bagaimana bisa menjadi ketua Sin-to-pang?"
"Tidak
bisa dibawa sekarang, Toanio. Kau sendiri pasti sudah tahu bahwa dalam upacara
pengangkatan kepala perkumpulan kami, tidak boleh diganggu. Ada pun mengenai
usia, kami dapat cukup bersabar untuk mendidik Bun-siocia dan sementara ini
kami sanggup mewakilinya."
"Kurang
ajar!" Loan Eng menggerak-gerakkan pedang dengan sikap mengancam sekali.
"Kau mau membebaskan dia atau tidak?"
"Toanio,
kau lihat sendiri. Bun-siocia sedang melakukan sembahyang untuk pengangkatan
itu," kata seorang di antara tiga orang pemimpin sin-to-pang itu.
Loan Eng
memandang ke arah rumah gubuk itu dan benar saja. Dia melihat beberapa orang
hwesio tengah melakukan upacara sembahyang untuk mengambil sumpah kepada Sui
Ceng yang diangkat menjadi ketua Sin-to-pang.
Loan Eng
meloncat ke depan pintu dan di sana dia melihat Sui Ceng sedang berlutut di
depan meja sembahyang di mana terpasang gambar mendiang suaminya, Bun Liok Si
yang tewas dalam tangannya sendiri! Loan Eng tertegun dan berdiri bagaikan
patung. Sementara itu, Sui Ceng sudah mendengar suara ibunya tadi, maka kini
dia menengok. Ketika melihat ibunya, dia berseru girang.
"Ibu,
aku telah berada di antara kawan-kawan ayah!" Sui Ceng menunjuk ke arah
gambar ayahnya. "Lihat, itu dia ayah dan sekarang aku diangkat menjadi
pengganti ayah!"
Hati Loan
Eng tergetar. Memang dia selalu membohongi anaknya itu tentang ayah anak itu.
Dikatakan selalu bahwa ayahnya telah pergi jauh sekali, naik perahu
menyeberangi laut.
"Ceng-ji...!"
katanya perlahan dan ia hendak menyerbu ke dalam gubuk, namun tiba-tiba tiga
batang golok menghadang di depannya.
"Toanio,
puterimu sudah memilih jalannya. Dia telah diambil sumpahnya maka sekarang dia
telah menjadi Bun-siauw-pangcu (ketua Bun cilik), dan harap kau jangan
menggangu Pangcu kami!"
"Bangsat,
aku adalah ibunya!" Loang Eng berseru sambil meloncat kembali ke halaman
depan gubuk itu yang lebar.
Loan Eng
maklum kalau terjadi pertempuran, ia akan dikeroyok oleh banyak orang. Maka ia
harus mencari tempat yang lebar dan luas agar pergerakannya lebih leluasa.
"Thio-toanio,
mendiang Bun-pangcu adalah ayahnya! Dan dia sekarang adalah Pangcu kami, tak seorang
pun boleh mengganggu!"
"Pengangkatan
ketua secara paksa. Ah, tak salah lagi orang-orang ini pasti sudah miring
otaknya! Sungguh banyak sekali orang gila di dalam dunia ini!" Tiba-tiba
terdengar suara nyaring.
Semua orang,
termasuk juga Loan Eng, lalu menengok ke arah suara itu. Ternyata yang bicara
tadi adalah Kwan Cu yang kini sudah nongkrong di bawah pohon dan sejak tadi
memperhatikan peristiwa yang terjadi di depan matanya.
Tiga orang
pemimpin Sin-to-pang itu memandang pada Kwan Cu dengan mata mendelik. Mereka
sangat mendongkol karena dimaki gila, juga dapat menduga bahwa Loan Eng dapat
menemukan tempat mereka tentu atas petunjuk bocah gundul itu. Akan tetapi pada
saat seperti itu mereka tidak sempat melayani bocah gundul itu.
"Huang-ho
Sam-eng (Tiga Pendekar Sungai Kuning), sekali lagi aku bertanya, apakah kalian
tidak mau membebaskan Sui Ceng dengan baik-baik sehingga aku tak perlu turun
tangan?"
"Itu
tidak mungkin, Toanio. Dengan berbuat begitu, berarti kami melanggar sumpah
setia kepada mendiang Bun-pangcu!" jawab seorang di antara mereka.
Memang tiga
orang pemimpin yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Bun Liok Si ini adalah
tiga bersaudara yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-eng dan mereka ini
sudah semenjak mudanya terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman.
"Kalau
begitu kalian mencari penyakit sendiri!" bentak Loan Eng.
"Kami
siap sedia mengorbankan nyawa untuk Sin-to-pang!"
Loan Eng
tidak banyak cakap lagi lalu langsung menggerakkan pedangnya menyerang. Tiga
orang itu lalu mengurungnya, merupakan segitiga dan menggerakkan golok mereka
menangkis. Pertempuran hebat terjadi dan mata Kwan Cu yang menonton pertempuran
itu dari bawah pohon menjadi silau melihat gerakan pedang dari Loan Eng.
Pedang
nyonya ini bergerak cepat, berkelebat ke sana kemari laksana kilat
menyambar-nyambar. Sebentar saja tiga orang pengeroyoknya menjadi terdesak
hebat. Akan tetapi, benar seperti kata-kata mereka tadi, mereka melawan secara
nekat serta mati-matian, bertekad akan melawan sampai titik darah terakhir
dalam membela perkumpulan mereka.
Sebagai
keturunan langsung dari Bun Liok Si, pengangkatan Sui Ceng menjadi ketua
perkumpulan sangat diperlukan untuk menjaga perkumpulan yang sudah
bertahun-tahun menduduki tempat yang baik di dunia kang-ouw itu. Sejak Bun Liok
Si tewas, semangat para anggota menjadi lemah dan perkumpulan itu terancam
keruntuhan.
Biar pun dia
sendiri tidak suka belajar ilmu silat yang dianggapnya sebagai sebagai ilmu
memukul dan membunuh orang, namun melihat cara Loan Eng menggerakkan pedang
menghadapi ketiga orang pengeroyoknya itu membikin Kwan Cu menjadi gembira dan
kagum sekali. Ia menonton dengan sepasang matanya bersinar-sinar, dan dengan
penuh perhatian dia melihat betapa sinar pedang nyonya itu mengurung tiga
pengeroknya.
Benar-benar
sangat mengherankan hatinya. Sudah jelas bahwa nyonya itu dikurung dan
dikeroyok oleh tiga orang, akan tetapi kenapa sinar pedangnya bahkan dapat
mengurung serta mengancam tiga pengeroyoknya?
Memang ilmu
pedang keluarga Thio sangat hebat. Hal ini dapat dirasakan oleh Huang-ho
Sam-eng, dan dengan diam-diam mereka juga kagum sekali. Tidak aneh apa bila
ketua mereka dulu tewas dalam tangan nyonya ini.
Mereka
bertiga sudah menerima pelajaran ilmu golok langsung dari Bun Liok Si, dan di
kalangan kang-ouw kepandaian main golok dari tiga pendekar Sungai Huang-ho ini
telah terkenal sekali. Akan tetapi sekarang ketika menghadapi Loan Eng, mereka
benar-benar terdesak hebat dan tidak dapat menyerang karena mereka tidak
sempat.
Pedang Loan
Eng bergerak cepat sekali. Tiap kali tertangkis oleh sebatang golok, maka
pedang itu terpental dan sekaligus membuat serangan lain ke arah pengeroyok
yang lain lagi! Juga tubuh nyonya cepat bagikan seekor burung walet
menyambar-nyambar, sukar sekali diikuti pergerakannya.
Sementara
itu, Loan Eng yang bernafsu keras untuk cepat-cepat menjatuhkan tiga orang
lawannya dan segera menolong puterinya, lalu berseru nyaring dan tahu-tahu
tubuhnya mencelat ke atas. Kaki kanannya digerakkan secara tiba-tiba menendang
ke arah golok dari pengeroyok yang berada di depannya.
Terdengar
suara nyaring sekali ketika golok di tangan penyerang itu terpukul oleh ujung
kaki sehingga pemegangnya merasa kaget bukan main. Bukan sembarang orang berani
menendang sebatang golok yang terpegang kuat.
Selagi dia
terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, Loan Eng sudah memutar pedangnya
dan menyerang dua orang yang lainnya. Mereka ini terkejut sekali dan cepat
mengelak mundur.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Loan Eng untuk menggerakkan pedangnya ke depan dengan
kecepatan yang tak dapat terduga lebih dahulu oleh lawan-lawannya. Terdengar
jerit kesakitan, lantas orang itu roboh dengan pundak terluka dan goloknya
terlempar dari pegangan.
"Toanio,
jangan bunuh orang...!" berkali-kali Kwan Cu berteriak. Teriakan ini ada
baiknya karena merupakan peringatan bagi Loan Eng yang sedang marah sekali.
Dengan
sangat cepatnya, kembali dia merobohkan dua orang lawannya dengan melukai paha
dan lengan mereka, kemudian bagai seekor burung garuda dia melompat ke dalam
gubuk itu. Beberapa anak buah Sin-to-pang yang menghadang di pintu, hanya
dengan sekali terjang telah dibuat kocar-kacir, jatuh tunggang langgang ke
kanan kiri. Betul-betul hebat sepak terjang nyonya yang sedang marah itu,
laksana seekor harimau betina yang anaknya diganggu.
"Ibu,
jangan ganggu anak buahku!" tiba-tiba Sui Ceng berseru nyaring.
Seruan Sui
Ceng ini tidak saja membuat Loan Eng melengak, juga membuat para anak buah
Sin-to-pang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut,
"Bun-siauw-pangcu!"
Loan Eng
benar-benar tertegun sekali. Teriakan tadi membuat ia teringat pada mendiang
suaminya. Seakan-akan suaminya yang berseru tadi melalui mulut anaknya! Segera
naik sedu sedan dalam kerongkongan nyonya itu dan tanpa banyak cakap lagi ia menyambar
tubuh Sui Ceng dan dibawanya lari keluar!
Ketika Loan
Eng lewat di depan Kwan Cu yang sudah berdiri di bawah pohon, ia berkata,
"Kwan Cu, terpaksa aku meninggalkan kau, anak baik! Aku hendak pergi
bersama Sui Ceng. Kelak kalau kau bertemu Sui Ceng, pesanku padamu, jagalah dia
baik-baik dan bantu dia. Selamat tinggal, Kwan Cu," sambil berkata
demikian, Loan Eng memeluk dan mencium jidat Kwan Cu , lalu pergi cepat sekali
sambil menggendong Sui Ceng!
Kwan Cu
berdiri bagaikan patung dan mulutnya berkemak kemik, "Aku akan menjaga
adik Ceng! Akan kujaga dia baik-baik..." Dan tak terasa pula anak gundul
ini menangis dengan air mata mengalir di kedua pipinya.
Anak ini
merasa ditinggalkan seorang diri, sekarang kembali sebatang kara, ditinggalkan
kepada nasibnya sendiri. Ia tidak berduka, hanya menangis saking merasa terharu
saja. Belum pernah dia dikasihi orang seperti nyonya janda tadi dan ciumannya
pada jidatnya menghangatkan hatinya. Seakan-akan dia kehilangan seorang ibu!
Dengan kedua
kaki lemas anak ini lalu beranjak pergi dari tempat itu. Tetapi baru saja
berjalan beberapa langkah tiba-tiba di depannya telah menghadang tiga orang
pemimpin Sin-to-pang yang terluka. Luka-luka mereka hanya luka-luka kulit saja
dan sebentar saja mereka telah dapat berdiri kembali. Kini kemarahan mereka
tertimpa pada Kwan Cu.
"Anak
gundul, kalau bukan kau yang menjadi biang keladi, tak mungkin Thio-toanio
dapat merebut kembali anaknya!" kata yang berjenggot kasar.
Ketika
tangannya melayang, sebuah tempilingan keras telah melayang ke arah Kwan Cu.
Anak ini tentu saja kalah gesit dan...
"Plakkk!"
terdengar suara yang keras sekali dan tubuh anak ini jatuh bergulingan.
Ia hanya
merasa pening sebentar, akan tetapi tidak merasa sakit, maka dengan cepat dia
telah berdiri lagi. Dia memandang kepada tiga orang itu dengan sepasang matanya
yang besar dan terbelalak lebar dengan sinar terang.
Pemukulnya
menjadi heran sekali. Mengapa anak ini demikian kuatnya sehingga mampu menahan
pukulannya? Orang ke dua lalu maju memukul ke arah dada Kwan Cu. Untuk kedua
kalinya anak ini jatuh bergulingan di atas tanah dan debu mengebul.
Akan tetapi
kembali Kwan Cu bangun lagi dan kelihatannya tidak sakit, sama sekali anak ini
tidak mengeluh. Memang dia merasa dadanya sesak karena terkena hawa pukulan,
akan tetapi sebuah tenaga yang tak kelihatan seakan-akan mendesak perasaan tak
enak ini dari sebelah dalam dan dalam sekejap mata saja rasa sesak itu lenyap
lagi!
Sebelum Kwan
Cu dapat berdiri tegak, sebuah tendangan dari orang ketiga mengenai lambungnya.
Sekarang tubuh anak ini terlempar ke atas dan membentur batang pohon di bawah
mana dia tadi duduk. Dengan menerbitkan suara keras tubuhnya tertumbuk pada
pohon, lalu jatuh lagi bergulingan. Alangkah kaget dan herannya tiga pemimpin
ini ketika melihat Kwan Cu kembali bangkit seperti tak pernah terjadi sesuatu.
Sekarang
mereka saling pandang, juga anak buah Sin-to-pang yang sudah berkumpul di sana
memandang dengan muka heran. Seorang di antara pemimpin Sin-to-pang itu lalu
mengambil goloknya yang tadi terlempar ke atas tanah, kemudian dengan langkah lebar
dia mengejar Kwan Cu, lalu mengangkat golok membacok ke arah Kwan Cu!
"Sute,
jangan!" seru yang berjenggot kasar mencegah adiknya.
Akan tetapi
terlambat, karena golok itu sudah menyambar. Kwan Cu melihat sinar golok dan
matanya menjadi silau, maka dia mengangkat tangannya melindungi lehernya. Golok
itu membacok lengannya, di bawah siku.
Tetapi
anehnya, pembacok itu merasa seperti ada tenaga yang hebat menolak goloknya dan
biar pun dia berhasil melukai lengan anak itu, akan tetapi lengan anak itu tidak
putus, bahkan goloknya terpental dan terlepas dari pegangannya!
Benar-benar
mengherankan sekali hal ini, membuat tiga orang pemimpin itu benar-benar tak
mengerti. Melihat gerakan anak ini, jelas bahwa dia tidak mengerti ilmu silat,
buktinya pada saat dipukul, ditendang, dan dibacok, anak itu tidak mengelak
atau melawan sama sekali.
Akan tetapi
anehnya, semua pukulan dan tendangan tidak melukainya. Malah lengannya kini
terbabat golok yang dibacokkan dengan keras, tapi mengapa lengan itu tidak
putus, bahkan golok itu yang terlempar? Ketika mereka memandang ternyata bahwa
lengan itu mengeluarkan darah banyak juga.
Hal ini
sebetulnya tidak terlalu aneh. Tubuh anak ini sudah memiliki tenaga mukjijat
dari khasiat buah ular yang dijejalkan ke dalam mulutnya oleh Tauw-cai-houw dan
di samping tenaga mukjijat ini. Tanpa disadarinya, Kwan Cu juga telah melatih
diri dengan lweekang yang diajarkan oleh Loan Eng. Anak ini tekun sekali
melakukan siulian (semedhi), karena itu diam-diam ia telah menampung tenaga
lweekang di dalam tubuhnya tanpa dia ketahui sendiri!
Luka pada
lengannya terasa perih sekali dan juga lengannya terasa ngilu dan lumpuh. Akan
tetapi benar-benar luar biasa daya tahan dari anak gundul ini. Ia hanya
menggigit bibirnya dan sama sekali tidak mengeluh.
Sambil
mempergunakan tangan kanan untuk mengusap-usap darah yang mengalir dari lengan
kirinya, Kwan Cu berkata, "Hmm, Sin-to-pang hanya bisa menculik anak kecil
dan melukai anak-anak pula. Apakah ini yang dahulu Bun-pangcu mengajarmu
bertindak?"
Mendengar
ucapan ini, wajah tiga orang pemimpin Sin-to-pang ini menjadi pucat. Tanpa
disengaja, Kwan Cu telah mengingatkan kepada mereka tentang larangan-larangan
yang diadakan oleh mendiang Bun Liok Si, di antaranya bahwa semua anggota
Sin-to-pang dilarang keras mengganggu wanita, anak-anak, dan orang-orang lemah!
Dan kemudian, wajah mereka menjadi makin pucat, sedangkan matanya terbelalak
lebar ketika melihat pemandangan yang benar-benar sukar mereka percaya.
Terdengar
seruan-seruan dari para anggota Sin-to-pang.
"Aahhh...!"
"Aneh...!"
"Dia
seorang anak sin-tong!"
Memang
mengherankan. Beberapa kali saja Kwan Cu mengusap luka di lengannya dan setelah
darah yang mengering di luar luka itu lenyap, ternyata kulit lengan itu telah
halus lagi, tak nampak sedikit pun tanda-tanda bekas luka! Melihat ini, tiga
orang pemimpin itu cepat menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua anak
buah yang berjumlah lima puluh orang!
"Sin-siauwhiap
(pendekar sakti cilik), mohon maaf dan mohon petunjuk yang berharga," kata
si jenggot kasar, orang tertua dari Huang-ho Sam-eng.
Benar-benar
amat menggelikan, akan tetapi juga mengagumkan betapa Kwan Cu yang diperlakukan
seperti ini, dapat berkata dengan sikap bersungguh-sungguh dan tenang,
seakan-akan dia memang benar seorang bocah sakti.
"Cu-wi
sekalian mengapa begitu ribut-ribut? Nona Sui Ceng sudah bersumpah di depan
arwah ayahnya bahwa dia menerima menjadi ketua dari Sin-to-pang, akan tetapi
karena dia masih sangat kecil dan belum mempunyai kepandaian, mengapa dia tidak
boleh ikut ibunya? Cu-wi melihat sendiri betapa hebat kepandaian Thio-toanio.
Jika Siauw-pangcu (Ketua Cilik) belajar silat dari ibunya, bukankah kelak akan
menjadi seorang pangcu yang benar-benar baik? Dari pada Cu-wi meributkan halnya
calon pangcu itu, lebih baik Cu-wi menjaga supaya perkumpulan Cu-wi tetap
berjalan baik dan bersih sehingga kelak kalau Siauw-pangcu datang, Cu-wi takkan
dipersalahkan sebagai anggota-anggota yang sudah melanggar kewajiban! Nah, aku
sudah bicara, bolehkah sekarang aku pergi?"
Semua orang
mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Tidak mengherankan apa bila Kwan Cu
dapat berbicara seperti itu, karena selama dua tahun ini memang dia sangat
tekun membaca kitab-kitab kuno sehingga dia tahu akan peraturan-peraturan dan
filsafat-filsafat! Dasar dia mempunyai otak yang luar biasa, maka apa yang
dibaca itu dapat diingatnya dengan amat baik. Bahkan kalau banyak orang dewasa
tak dapat menangkap inti sari dari pada kitab-kitab kuno itu, Kwan Cu dengan
bakatnya yang luar biasa dapat menyelami arti-artinya!
Kata-kata
Kwan Cu itu berkesan dalam hati para anggota Sin-to-pang sehingga mereka ini
melakukan kewajiban sebagaimana mestinya sambil menanti-nanti datangnya
Siauw-pangcu yang di bawa lari oleh ibunya.
Ada pun Kwan
Cu lalu meninggalkan tempat itu, dan untuk kedua kalinya dia berjalan ke mana
saja kakinya membawa dirinya, tiada arah tujuan, tiada bekal selain pakaian
yang menempel pada tubuhnya.
***************
Lu Pin,
seorang sastrawan yang amat pandai, juga terkenal sebagai seorang ahli pahat atau
ahli ukir patung yang luar biasa, berkat jasa-jasanya dalam urusan
pemerintahan, telah diangkat menjadi menteri oleh kaisar. Sesuai dengan
bakatnya, ia dijadikan menteri urusan kebudayaan, dan karena jasa Lu Pin inilah
maka pada masa itu, kebudayaan di Tiongkok dikembangkan serta dipupuk.
Seni-seni ukir, seni lukis dan lain-lain mendapat perhatian pemerintah.
Dilihat dari
luar, nampaknya penghidupan Menteri Lu Pin ini makmur dan senang. Akan tetapi
kalau orang melihat menteri itu duduk di dalam kamarnya seorang diri, orang itu
akan melihat betapa menteri yang pandai dan berwatak jujur dan adil ini sering
kali duduk termenung dan menghela nafas berulang-ulang.
Pada
wajahnya yang bersinar agung dan keningnya yang lebar itu terbayang kemuraman
dan kedukaan hati yang besar sehingga biar pun usianya baru empat puluh tahun
lebih, namun dia nampak lebih tua. Apakah yang menindih perasaan menteri yang
memperoleh kedudukan tinggi ini? Banyak sekali!
Menteri Lu
Pin berasal dari keluarga rakyat biasa saja, akan tetapi berkat kemauan besar
dan keuletannya, dia dapat melanjutkan pelajarannya sampai mendapat gelar
siucai, dan bakatnya yang memang luar biasa membuat dia menjadi seorang
satrawan dan seniman yang tinggi kepandaiannya. Akan tetapi pada waktu muda dia
sudah banyak menderita, bergaul dengan orang-orang senasib sependeritaan, yaitu
seniman-seniman yang hidup terlantar dan tidak mendapat perhatian dari
pemerintah.
Kini setelah
menjadi menteri, teringatlah dia akan nasib kawan-kawannya, nasib saudara
saudaranya yang masih amat sengsara. Oleh karena itu, maka sering kali dia
termenung dan bersedih hati.
Yang
lebih-lebih membuat hatinya sakit adalah keadaan kakaknya. Di dalam dunia ini
dia hanya memiliki kakaknya itu sebagai saudara satu-satunya, karena keluarga
lain sudah tidak ada lagi. Akan tetapi berbeda dengan dia, kakaknya ini
menuntut penghidupan yang jauh berlainan.
Kakaknya
semenjak kecil biar pun bersama dia mempelajari kesusastraan, namun bakat
kakaknya bukan di sana letaknya, melainkan dalam ilmu silat! Juga watak
kakaknya ini berbeda jauh dengan dia. Kalau Lu Pin bercita-cita tinggi untuk
mencapai kedudukan dan kemuliaan, adalah kakaknya itu tidak peduli akan semua
ini. Bahkan akhir-akhir ini dia mendengar kakaknya itu merantau bagaikan
seorang pengemis jembel! Inilah yang amat mengganggu hatinya, akan tetapi dia
tidak berdaya.
Selain
memiliki kepandaian tinggi sekali dalam hal ilmu silat, kakaknya juga mempunyai
watak yang aneh. Sebelum Lu Pin diangkat menjadi menteri, pernah dia mencari
dan bertemu dengan kakaknya. Ketika kakak ini di bujuk-bujuknya untuk mencari
kedudukan, baik dalam hal pembesar sipil mau pun militer karena kakaknya
mempunyai kepandaian bun (silat), kakaknya bahkan menjadi marah dan
memaki-makinya!
"Pin-te
(adik Pin), apakah matamu sudah buta? Kalau mata lahirmu buta, tidak mungkin
mata batinmu buta pula! Tidak dapatkah kau melihat betapa negara kita ini
dipegang oleh orang-orang yang tak patut disebut manusia pula? Tak dapatkah kau
melihat kaisar dan seluruh anggota pemerintahan hanyalah orang-orang yang
mengutamakan kesenangan belaka, yang melakukan korupsi besar-besaran dan
menginjak-injak rakyat sendiri? Apa kau mengajak aku membantu manusia-manusia
macam begitu? Cih, lebih baik aku mati saja!" demikian kakaknya ini mengakhiri
kata-katanya lalu pergi meninggalkannya.
Memang,
sejak kecil kakaknya yang bernama Lu Sin itu beradat keras, tinggi hati, dan
kasar. Akan tetapi Lu Pin maklum sedalam-dalamnya bahwa di dunia ini tidak ada
orang yang lebih mulia batinnya dari pada kakaknya itu! Inilah hal pertama yang
membuat Lu Pin merasa menderita batinnya, walau pun sekarang dia sudah menjadi
seorang menteri berkedudukan tinggi dan dimuliakan orang senegerinya.
Masalah
kedua yang menekan batinnya adalah rumah tangganya. Menteri Lu Pin hanya
mempunyai seorang anak laki-laki dan puteranya ini pun sudah menikah pula dan
telah menjabat sebagai pembesar bagian sipil. Karena rumah Lu Pin besar sekali
dan menteri ini tak mau berpisah dari puteranya, dia minta agar supaya
puteranya sekeluarga tinggal bersama dia. Akan tetapi puteranya akhirnya pindah
juga ke rumah lain karena mantu perempuan selalu bercekcok dengan ibu mertua!
Inilah yang
memberatkan hati Menteri Lu Pin. Meski rumah gedung baru milik puteranya itu
berada di kota raja pula dan tidak jauh, namun melihat isterinya tidak akur
dengan anak mantunya, sungguh merupakan hal yang sangat mengecewakan. Dan
karena isteri puteranya adalah puteri dari seorang berpangkat pangeran, tentu
saja dia makin merasa tidak enak.
Lu Pin
sangat sayang kepada cucu laki-laki yang bernama Lu Thong. Anak ini tampan,
bermata lebar, tidak kalah bagusnya dengan putera-putera pangeran, selalu berpakaian
mewah dan sangat manja. Kadang-kadang, diam-diam Lu Pin mengakui bahwa cucunya
berwatak kurang baik, pemarah seperti ibunya dan pengecut seperti ayahnya, akan
tetapi karena dia hanya cucu satu-satunya, maka Lu Pin amat sayang kepadanya.
Sering kali menteri ini menyuruh datang cucunya itu, atau bahkan dia sendiri
memerlukan datang ke rumah puteranya untuk mengunjungi dan melihat Lu Thong.
Pada suatu
hari, ketika kebetulan sedang berada di rumah puteranya, Lu Pin mendengar Lu
Thong menangis dan rewel. Ia lalu bertanya dan mendapat jawaban dari puteranya
bahwa anak itu rewel sekali minta dipanggilkan guru silat yang pandai karena
anak ini ingin belajar ilmu silat!
Menteri Lu
Pin menghela napas. Sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang menangis, dia berkata,
"Cucuku yang tampan. Kenapa kau ingin mempelajari ilmu kepandaian yang
kasar serta mengerikan itu? Dari pada kau memegang golok atau pedang yang hanya
akan menimbulkan pertumpahan darah, hatiku akan merasa lebih girang dan
tenteram apa bila melihat kau menggerakkan alat tulis membuat syair yang baik
atau lukisan yang indah!"
"Tidak,
Kongkong, aku ingin belajar silat. Ketika bermain-main, jika berkelahi aku
selalu kalah. Aku mau menjadi pendekar, mau menjadi orang gagah yang ditakuti
semua orang karena kepandaianku, bukan karena harta dan kedudukan Ayah atau
Kongkong!" anak itu merengek-rengek dengan manja.
"Anak
manja!" Ayahnya membentak marah-marah. "Apakah kau hendak menjadi
seorang petualang yang liar?" kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil
berkata, "Hemm, celaka betul. Agaknya darah Pek-hu (Uwa) yang kotor, darah
petualang yang memalukan mengalir pula dalam darah anak ini!"
Tiba-tiba
saja menteri Lu Pin memandang puteranya dengan marah. "Tutup mulutmu dan
jangan kau berani mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Sin-ko (Kakak
Sin)!"
Lu Seng Hok,
putera dari Lu Pin itu, memandang kepadanya dan menghela napas. "Ayah
memang aneh sekali. Pek-hu Lu Sin sudah terang sekali mencemarkan nama keluarga
Lu. Ia beberapa kali mengacau, mengganggu pembesar-pembesar tinggi, bahkan
pernah mengacau dalam dapur istana menghabiskan makanan kaisar. Bukankah orang
seperti itu hanya membikin malu kepada kita saja? Celakanya, banyak orang-orang
besar yang mengetahui hubungan kita dengan dia."
"Sudah,
Hok-ji (Anak Kok), jangan kita bicara lagi mengenai Pek-hu-mu itu. Betapa pun
juga, dia adalah seorang yang budiman, jauh lebih dari aku atau kau."
Seng Hok
tidak berani membantah ayahnya, akan tetapi di dalam hatinya dia mengejek dan
diam-diam dia berkata di dalam hati, "Huhh, manusia macam itu! Jembel tua
yang memalukan, kerjanya hanya mengacau mengandalkan silatnya." Kemudian,
karena tidak berani membantah ayahnya, dia menimpakan kemarahannya kepada
anaknya, yang lalu dimaki-maki lagi.
"Kau
tak perlu membuka mulut minta belajar silat lagi. Pendeknya, kau tidak boleh
belajar silat!"
Akan tetapi
kini perhatian Lu Thong menjadi tertarik pada saat mendengar nama Lu Sin
disebut-sebut. "Kongkong, apakah kakek Lu Sin itu benar-benar lihai ilmu
silatnya? Aku pernah mendengar orang bilang bahwa seluruh bala tentara kerajaan
tidak akan dapat menangkap dan melawan dia."
Menteri Lu
Pin mengangguk-angguk sambil memeluk cucunya yang terkasih.
"Cucuku,
kakekmu Lu Sin itu biar pun hidup sebagai petualang, namun dia seorang yang
luar biasa sekali. Kepandaian silatnya pada waktu ini sukar dicari
tandingannya, dan dia dijuluki Ang-bin Sin-kai. Memang, kalau orang memiliki
kepandaian silat seperti dia itu, barulah orang-orang tidak berani main-main
terhadapnya, dan kalau saja adatnya tidak begitu kukuh dan aneh, kalau saja dia
menerima pangkat, tentu dengan mudah dia akan diberi pangkat tinggi dalam
bidang kemiliteran kaisar. Bahkan kaisar pernah menawarkan kedudukan Koksu
(Guru Negara) kepadanya. Sayang... dia lebih senang merantau."
"Menjadi
pengemis kotor!" Lu Seng Hok menambahkan. "Anak rewel, apa kau juga
ingin mempunyai kepandaian silat tinggi dan kemudian menjadi seorang pengemis
jembel?"
Akan tetapi
Lu Thong tampak diam saja. Anak kecil ini biar pun manja dan rewel, namun harus
diakui bahwa dia memiliki pikiran yang sangat cerdik. Dia lalu memandang kepada
ayahnya dan berkata,
"Ayah,
kalau kau berhasil membujuk kakek Lu Sin untuk tinggal di sini dan mengajar
ilmu silat kepadaku, bukankah itu baik sekali? Selain dia tidak mengembara dan
memalukan ayah, juga aku bisa mendapat pimpinan dari seorang ahli."
"Kau
tidak akan belajar silat!" kata Lu Seng Hok dengan kukuh.
"Ayah,
bagaimana pun juga kakek Lu Sin adalah keluarga kita. Dia masih tetap saja
menggunakan nama keturunan Lu! Kalau kita mempunyai orang tua yang
berkepandaian tinggi itu, apakah akan kata orang kalau aku sebagai keturunan Lu
tunggal, tetapi sama sekali tidak mengerti ilmu silat dan sangat lemah?
Kongkong terkenal sebagai ahli bu. Ini merupakan dwi tunggal yang baik sekali
dan kalau aku dapat mempelajari bun dan bu di bawah pimpinan dua orang tua ini
bukankah aku akan menjadi seorang bun-bu cwan-jai (ahli satra dan ahli silat)?"
Ketika ayah
dan anak ini bersitegang mempertahankan pendirian masing-masing, Lu Pin
mendengarkan saja dan mendengar ucapan Lu Thong dia menjadi girang sekali.
Wajah orang tua ini berseri-seri dan dia lalu bertepuk tangan.
"Bagus,
bagus sekali! Lu Thong, agaknya kaulah yang akan dapat mengharumkan nama
keluarga Lu! Hok-ji, ucapan puteramu itu betul sekali. Kini kita harus mencari
Pek-hu-mu Lu Sin dan kita membujuknya untuk melatih Lu Thong. Bagus
sekali!"
Setelah
berpikir-pikir, akhirnya Seng Hok juga menyetujui kehendak ayahnya ini. Ia
pikir bahwa tentu saja amat baik kalau Lu Thong menjadi seorang ahli sastra
merangkap ahli silat pula. Ayah mana yang tidak akan suka melihat puteranya
menjadi seorang bun-bu cwan-jai?
Akan tetapi
mencari Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidaklah semudah mencari orang lain. Nama
Ang-bin Sin-kai memang sudah amat terkenal, dari seorang pengemis yang paling
jembel sampai kaisar sendiri mengenal nama tokoh besar yang luar biasa ini.
Akan tetapi di mana adanya kakek aneh ini, tak seorang pun mengetahuinya!
Karena
sekarang telah menyetujui untuk memberi kesempatan kepada Lu Thong belajar ilmu
silat, maka Lu Seng Hok mulai mengundang guru silat untuk memberi pelajaran
dasar kepada puteranya. Akan tetapi, hati Lu Thong tidak demikian mudah
dipuaskan. Segala macam guru silat saja, dia tidak sudi mengangkat menjadi
gurunya.
Anak ini
paling suka memelihara anjing dan di halaman depan gedung ayahnya penuh dengan
anjing-anjing yang galak, besar dan juga bagus. Ia selalu dimanja oleh ayahnya
yang sengaja membeli anjing-anjing besar dan bagus. Lu Thong memelihara lebih
dari sepuluh ekor anjing!
Ia pernah
mendengar tentang kakak kongkong-nya yang bernama Ang-bin Sin-kai Lu Sin itu,
dan juga pernah mendengar cerita bahwa kakeknya ini pernah memukul mati seekor
harimau tanpa menyentuh kulitnya! Oleh karena itu tiap kali ada guru silat yang
diundang oleh ayahnya datang hendak mengajarnya, dia minta pada guru silat ini
untuk memukul anjingnya tanpa menyentuh kulitnya!
Dan
akibatnya, banyak sudah guru silat yang tidak mampu merobohkan anjing itu tanpa
menyentuh kulitnya, sebaliknya ada beberapa orang di antara guru-guru silat itu
yang menjadi korban gigitan anjing galak! Oleh karena itu, sebegitu jauh Lu
Thong masih juga belum mempunyai guru yang pandai dalam ilmu silat dan dia
masih belum mau belajar silat. Ayahnya menjadi bingung dan juga bohwat
(kehabisan akal) menghadapi anaknya yang terus rewel minta supaya kakeknya,
Ang-bin Sin-kai Lu Sin, dipanggil datang!
Pada suatu
hari, masih pagi sekali, Lu Thong sudah bermain-main di pekarangan gedung
ayahnya. Tiga ekor anjing yang terbesar dan terbaik menemaninya di situ. Dia
sedang mengajar anjing-anjingnya melompat, mencari barang yang disembunyikan,
dan lain-lain.
Tiba-tiba
tiga ekor anjing ini menggonggong keras dan berlari ke arah pintu. Dari pintu
gerbang masuk seorang pengemis tua yang pakaiannya sudah penuh tambal-tambalan,
rambutnya awut-awutan, dan kulit tubuhnya kotor serta ada penyakit gatal di
sana-sini, terutama sekali pada kakinya. Ketika dia datang memasuki pintu
gerbang, banyak lalat mengerubung dan mengikutinya.
Melihat
pengemis ini, Lu Thong segera memanggil anjing-anjingnya dan tiga ekor anjing
yang sudah mengerti akan perintah majikan mudanya ini lalu berlari mendekati Lu
Thong. Anak ini memandang tajam.
Ketika
melihat sikap pengemis itu berani sekali, tidak seperti pengemis biasa,
diam-diam dia menaruh perhatian dan dadanya berdebar. Inikah kakeknya, Ang-bin
Sin-kai Lu Sin? Mukanya tidak kemerah-merahan, pikirnya.
Menurut
penuturan kongkong-nya, juga melihat dari nama julukan Ang-bin atau muka merah,
tentu kakek yang menjadi ahli silat itu bermuka merah. Bagaimana pun juga dia
hendak bersikap hati-hati dan agar jangan disangka kurang sopan, dia bertanya
dengan halus kepada pengemis tua itu.
"Kakek
tua, kau masuk ke sini ada keperluan apakah?"
Pengemis itu
memandang. Wajahnya nampak berseri-seri mendengar suara dan melihat sikap yang
manis dari Lu Thong ini.
"Ah,
ah, benar! Pohon baik berbuah manis. Kakeknya terpelajar cucunya pun tahu sopan
santun. Bagus sekali! Siauw-kongcu (Tuan Kecil), bukankah kau adalah putera
dari Lu Seng Hok?"
Semakin
bergairahlah hati Lu Thong. Siapa lagi kalau bukan Ang-bin Sin-kai yang berani
memanggil nama ayahnya begitu saja? Maka dia lalu mengangguk.
Pengemis itu
memandang lagi penuh perhatian dan kini dia melihat ke arah pakaian Lu Thong
serta hiasan rambutnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi, "Betapa
pun juga meraka tak mungkin beranak garuda! Sayang sekali, kemewahan kakeknya
menurun padanya!"
Lu Thong
adalah seorang anak yang cerdik dan terpelajar. Ia tahu bahwa peribahasa yang
menyatakan bahwa merak tak dapat beranak garuda menyindirkan bahwa seorang
pesolek anaknya pun pesolek pula. Akan tetapi karena dia menduga bahwa pengemis
ini adalah kakeknya yang selama ini dicari-cari, yaitu Lu Sin, anak ini tidak
menjadi marah, bahkan berkata,
"Kakek
yang baik, ayahku sedang pergi ke kantornya. Siapakah kau dan ada keperluan
apakah mencari ayah?"
"Siapa
mencari ayahmu? Aku datang hendak mengobrol dengan Lu Pin, kakekmu."
Hampir Lu
Thong berjingkrak saking girangnya. Tidak bisa salah lagi, ini tentulah Ang-bin
Sin-kai Lu Sin, kakak dari kongkong-nya itu! Akan tetapi anak ini masih menahan
gelora hatinya dan bertanya lagi, pura-pura tidak tahu,
"Kongkong
Lu Pin tidak tinggal di sini, akan tetapi di gedung menteri di sebelah kanan
istana! Kakek, siapakah namamu?"
Kakek itu
nampak amat kecewa. "Hemm, aku sudah pergi ke sana, akan tetapi penjaga
mengusirku. Kukira melalui ayahmu aku akan lebih mudah bertemu Lu Pin. Namaku?
Ah, aku sendiri sudah tidak tahu lagi siapa namaku, Siauw-kongcu."
Dengan mata
bersinar-sinar Lu Thong kemudian berkata, "Kakek yang baik, bukankah kau
adalah Ang-bin Sin-kai Lu Sin?"
Pengemis itu
nampak sangat terkejut. "Kau sudah mendengar nama itu? Hmm, Ang-bin
Sin-kai barulah patut disebut seekor garuda. Garuda sakti yang terbang di
angkasa raya, bebas lepas tidak terikat oleh sesuatu. Dia seorang yang patut
dikagumi!"
Sehabis berkata
demikian pengemis itu merangkapkan kedua tangannya ke dada dan memberi hormat
ke atas.
Lu Thong
terheran-heran. Pengemis ini terang sekali bukan orang sembarangan. Sikap dan
kata-katanya bahkan membayangkan bahwa pengemis ini adalah seorang terpelajar
pula. Akan tetapi, jawabannya tadi membikin dia ragu-ragu. Jika kakek ini
adalah Ang-bin Sin-kai, mungkinkah ia memuji-muji nama Ang-bin Sin-kai dan
bahkan memberi hormat? Adakah kakek sakti itu demikian sombongnya?
Tiba-tiba Lu
Thong mendapat sebuah pikiran yang bagus. Ia lantas bersuit keras sambil
menunjuk ke arah kakek itu, dan tiga ekor anjing serentak menyalak kemudian
menubruk ke arah pengemis tadi! Pengemis tua itu terkejut bukan main dan dengan
mata terbelalak ketakutan dia melangkah mundur.
"Siauw-kongcu,
tahan anjing-anjingmu! Suruh mereka mundur, lekas!"
Lu Thong
tersenyum geli, "Ang-bin Sin-kai, kau adalah kakekku sendiri, siapa yang
mau menakut-nakutimu? Kau bunuhlah anjing-anjing busuk itu, aku tidak akan
menyesal. Aku sengaja hendak melihat kelihaianmu, Kongkong!"
"Hushh...
siapa bilang aku Ang-bin Sin-kai? Aku bukan... bukan...!" akan tetapi dia
segera roboh terguling karena ditubruk oleh tiga ekor anjing yang galak-galak
itu!
"Siauw-kongcu,
aku adalah sahabat Lu Pin. Bagaimana kau berani menghinaku? Panggil
anjing-anjingmu, lekas!"
Alangkah
kecewanya hati Lu Thong melihat keadaan itu. Dengan jelas sekali dia melihat
betapa kakek ini amat lemah. Jika tadinya dia merasa girang, sekarang dia amat
merasa amat kecewa dan marah.
"Jadi
kau bukan Ang-bin Sin-kai? Itu lebih baik lagi, biar anjing-anjingku mengantar
kau keluar sebagai hukuman atas kelancanganmu masuk ke sini tanpa ijin!"
Dia lalu memberi aba-aba kepada anjing-anjingnya untuk menyeret kakek itu
keluar dari halaman.
Sungguh
kasihan sekali kakek pengemis itu. Dia hanya dapat menjaga lehernya dengan
kedua tangan, karena merasa takut kalau-kalau lehernya digigit anjing-anjing
yang galak itu. Tiga anjing itu menggigit lengannya, kakinya, bajunya dan
mencoba untuk menyeret keluar dari situ. Akan tetapi tubuh pengemis ini tinggi
dan tentu saja dia terlalu berat bagi tiga ekor anjing itu.
"Siauw-kongcu...
kau kejam... kau jahat! Lu Pin tak seperti ini... lepaskan aku!" pengemis
ini berteriak-teriak kesakitan dengan lengan dan kakinya telah berdarah.
Akan tetapi
Lu Thong bahkan tertawa bergelak melihat kejadian yang dianggapnya lucu ini.
"Ha-ha-ha-ha!
Orang macam ini kuanggap Ang-bin Sin-kai! Ha-ha-ha-ha! Merangkaklah...
merangkaklah keluar! Ha-ha-ha coba kau berlomba dengan anjing-anjing itu
keluar!"
Karena tidak
tahan lagi digigit oleh anjing-anjing itu, pengemis tadi sambil mengeluh lalu
merangkak-rangkak keluar! Dia hendak berdiri, akan tetapi tiap kali berdiri dia
lalu roboh kembali karena terkaman anjing-anjing itu. Baiknya dia selalu
melindungi lehernya, sebab bila mana lehernya sampai kena digigit, pasti dia
akan tewas! Baru saja dia merangkak beberapa jauhnya, dia diterkam dan diseret
kembali oleh tiga ekor anjing itu.
Lu Thong
tertawa terkekeh-kekeh melihat permainan baru ini. Seakan-akan dia melihat
seekor tikus besar sekali sedang dipermainkan oleh tiga ekor kucing yang tidak
hendak membunuhnya lebih dulu sebelum puas bermain-main!
Keadaan
pengemis itu makin payah. Sekarang ia tidak minta dilepaskan, bahkan ia lalu
melawan dan memukul, menggigit serta menjewer anjing-anjing itu sambil
memaki-maki, "Lu Pin kau manusia durhaka! Tidak ingat kau betapa dahulu
kau belajar syair dari aku! Tidak ingat kau betapa dulu beberapa cawan arakku
memasuki perutmu! Dan sekarang cucumu berlaku begini? Ahhh..."
Akan tetapi
Lu Thong tak mau mempedulikan omongan yang dianggapnya hanya ocehan belaka dari
seorang pengemis yang ingin berpura-pura menjadi sahabat kongkongnya.
Kongkongnya, menteri Lu Pin, menteri yang mulia dan berkedudukan tinggi,
belajar syair dari pengemis ini? Bah, sungguh menggelikan dan menggemaskan!
"Kau
menghina kongkong dan memasuki rumah ini seperti maling. Kau patut
dihukum!" katanya.
Pada saat
itu, dari luar pintu gerbang berlari masuk seorang anak laki-laki berusia tujuh
tahun, sebaya dengan Lu Thong. Anak ini berpakaian seperti pengemis dan
kepalanya gundul.
"Sungguh
biadab! Kejam sekali!" anak itu datang-datang berseru marah.
Anak itu
kemudian memungut batu-batu untuk disambitkan pada anjing-anjing itu.
"Bukk!"
terdengar suara ketika sambitannya mengenai tubuh anjing.
Anjing itu
berkuik-kuik kesakitan, lalu menjauhkan diri dari kakek pengemis. Sambitan itu
cukup bertenaga dan membuat anjing itu merasa kesakitan. Akan tetapi Lu Thong
yang telah melihat perbuatan ini menjadi marah sekali. Ia berseru beberapa kali
dan memberi aba-aba kepada ketiga ekor anjingnya sehingga binatang-binatang ini
kembali menyerbu kakek itu.
Anak jembel
yang gundul itu menjadi marah. Karena sambitannya tidak dapat menolong kakek
pengemis, dia lalu melompat ke arah Lu Thong dengan beberapa lompatan yang jauh
sehingga Lu Thong menjadi kaget sekali.
"Orang
kejam, hayo kau panggil anjing-anjingmu!" anak gundul itu membentak dan
selain suaranya nyaring sekali, juga dari sepasang matanya bersinar api,
sikapnya amat kereng dan berpengaruh.
Lu Thong
memang mempunyai sifat pengecut. Melihat sikap anak gundul itu dan melihat
lompatannya yang kuat tadi dia telah menjadi takut. Kini melihat anak gudul itu
berdiri di depannya dengan sikap mengancam dan memerintah, hatinya menjadi
gentar. Cepat dia memanggil ketiga ekor anjingnya yang segera meninggalkan
kakek jembel tadi, berlarian menghampiri Lu Thong dengan ekor digerak-gerakkan
ke kanan kiri.
Anak gundul
itu lari menghampiri pengemis tua yang sudah payah, lalu menolongnya.
"Kasihan
sekali kau, orang tua," katanya menghibur sambil membantu kakek itu
berdiri.
Kakek
pengemis itu memandang kepada anak gundul ini dengan mata terheran, penuh
kekaguman.
"Siapa
kau?" tanyanya sambil meringis kesakitan karena kakinya yang penuh koreng
itu kulitnya sudah banyak yang pecah-pecah tergigit anjing-anjing yang galak
tadi.
"Aku?
Namaku Lu Kwan Cu"
Mendadak
jembel tua itu merenggutkan tangan Kwan Cu yang memegangnya. "Jangan
sentuh aku! Aku tidak sudi ditolong oleh seorang she Lu lagi!" katanya
Kwan Cu
tersenyum. "Orang tua, tidak baik menilai pribadi orang dari she dan
namanya! Bukankah peribahasa dahulu kala menyatakan bahwa menilai pribudi
seseorang lihatlah hati dan perbuatannya, jangan melihat nama, pakaian, dan
mulutnya?"
Mata kakek
yang tadi memandang penuh kebencian, kini tiba-tiba memandang dengan kagum dan
terbelalak lebar. "Ehh, anak siapakah kau? Murid siapa?"
Kwan Cu
tersenyum. "Aku tidak tahu siapa orang tuaku, dan aku bukan murid siapa
pun."
Kakek itu
tersenyum, dan ini mengherankan Kwan Cu. Bagaimana dengan tubuh penuh luka-luka
itu orang ini masih dapat tersenyum? Ia lalu membantu kakek itu berdiri dan
kini pengemis tua itu tidak lagi menolak bantuannya.
Bagaimana
Kwan Cu tahu-tahu datang ke tempat itu? Memang, anak ini telah melakukan
perjalanan jauh sekali sampai ke kota raja, tanpa ada tujuan yang tetap. Ketika
dia tiba di pintu gerbang kota raja, dan ketika matanya terbelalak kagum sekali
dan terheran-heran menyaksikan bangunan-bangunan yang demikian megah dan
besarnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara terkekeh-kekeh yang sudah di
kenalnya.
Ia cepat
menengok dan tampaklah olehnya seorang hwesio gundul yang tubuhnya bulat
seperti bola berdiri di bawah pintu gerbang itu sambil memandangnya. Hwesio ini
sedang makan makanan dari sebuah mangkok butut, yaitu mangkok yang biasanya
dibawa oleh seorang hwesio untuk minta makanan dari siapa saja yang dijumpainya
saat dia merasa lapar. Mangkok itu dipegang di tangan kiri, tangan kanannya
menjumputi makanan, ada pun di bawah lengan kanannya itu terjepit sebatang
tongkat hwesio yang panjang.
"Ehh,
losuhu berada di sini?" tanya Kwan Cu sambil buru-buru maju menjura.
"Ha-ha-ha,
Kwan Cu, kau masih ingat kepadaku?" kata hwesio itu yang bukan lain adalah
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang dulu dijumpainya di tepi laut, hwesio yang
bertempur mati-matian melawan Ang-bin Sin-kai karena memperebutkan dia!
Kak Thong
Taisu kemudian melemparkan mangkoknya yang butut sehingga makanan itu tumpah di
atas tanah. "Makanan busuk, diberi oleh seorang yang pelit!";
Kemudian ia
memukulkan tongkatnya ke mangkok itu, dan aneh sekali! Mangkok itu tidak
menjadi hancur, bahkan lalu mencelat ke atas yang segera diterima dengan tangannya,
dan mangkok itu kini telah menjadi bersih seperti dicuci saja.
"Hm,
orang-orang kota raja ini semuanya kaya-kaya dan pelit-pelit, menyebalkan
sekali!"
"Losuhu,
kalau teecu boleh bertanya, Losuhu datang dari manakah dan hendak pergi ke
mana?" tanya Kwan Cu
"Pinceng
datang dari belakang dan hendak menuju ke depan," hwesio tua itu menjawab
seperti orang berkelakar. "Sekarang telah bertemu dengan kau, muridku,
maka aku tidak khawatir lagi akan kelaparan, karena sudah ada orang yang akan
mencarikan makanan untukku!"
"Teecu
bukan murid Losuhu, tetapi tentu saja teecu mau mencarikan makanan untuk
Losuhu, yaitu kalau Losuhu merasa lapar."
Kak Thong
Taisu nampak amat terkejut. "Apakah kau sudah bertemu Ang-bin Sin-kai dan
sudah diambil murid olehnya?"
Kwan Cu
menggelengkan kepalanya. "Tidak, teecu tidak bertemu dengan Locianpwe itu.
Akan tetapi seandainya bertemu, teecu juga tidak akan menjadi muridnya."
"Ha-ha-ha-ha,
kepalamu yang gundul itu keras juga kiranya!" Setelah berkata demikian,
dengan tongkatnya Kak Thong Taisu mengemplang kepala Kwan Cu.
"Plakk!"
ujung tongkat itu mengenai kepala yang gundul itu.
Akan tetapi
biar pun ia merasa sakit sekali dan kepalanya tiba-tiba menjadi benjol, Kwan Cu
tidak menaruh hati sakit atau pun marah. Dia hanya mengejapkan matanya tiga
kali untuk menahan sakit. Diam-diam dia malah merasa geli mendengar kata-kata
hwesio ini.
Hwesio ini
sendiri mempunyai kepala yang gundul, bundar, besar, juga amat licin, akan
tetapi masih memaki dirinya sebagai kepala gundul! Sungguh cocok kata-kata kuno
yang menyatakan bahwa mencari keburukan orang lain sama mudahnya seperti kita
mencari kerbau di ladang, sebaliknya untuk mengetahui keburukan sendiri sama
sulitnya dengan mencari sebuah jarum di dalam tumpukan rumput kering!
"Bagaimana,
apakah kau masih tidak mau menjadi muridku?"
Kwan Cu
menggeleng kepala dan dia teringat akan pengalaman-pengalamannya selama ini.
Dia menarik kesimpulan bahwa hanya orang-orang ahli silat yang selalu
menimbulkan keributan dan kerusuhan, serang-menyerang atau bunuh-membunuh.
"Mengapa
kau tidak mau menjadi muridku? Hayo jawab dan beri penjelasan yang betul, bila
tidak akan kuketok kepalamu sampai pecah!" Hwesio gemuk itu nampak tidak
sabar dan mendongkol sekali. Orang-orang muda sedunia akan berebut menjadi
muridnya, dan anak gundul jembel ini, dia bahkan menampik!
"Mengapa?"
Kwan Cu mengerutkan kening, mengingat-ingat lalu berkata dengan suara tetap,
"Karena teecu teringat akan peribahasa kuno yang menyatakan bahwa,
binatang menggunakan kekerasan karena dia tidak berakal, maka seorang manusia
lebih rendah dari pada binatang apa bila dia melakukan kekerasan. Nah, oleh
karena itu, teecu tidak suka belajar ilmu silat, Losuhu. Teecu anggap
peribahasa itu tepat sekali. Binatang yang tidak berakal, mempergunakan
kekerasan tanpa kesadaran, sebaliknya kalau manusia melakukan kekerasan, dia
sadar sepenuhnya kalau kelakuannya itu salah dan jahat!"
Hwesio itu
memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar, lalu dia memandang ke atas
sambil tertawa bergelak-gelak. Suara ketawa ini keras dan hebat sekali sehingga
Kwan Cu merasa tanah yang diinjaknya sampai tergetar akibat gema suara tertawa
itu.
Ada pun
orang-orang yang lewat di situ, menjadi kaget sekali, akan tetapi ketika mereka
memandang dan mencoba mendekati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lantas memandang
kepada mereka dengan mata dipelototkan. Mereka menjadi sangat ketakutan dan
pergi lagi cepat-cepat!
"Ha-ha-ha!
Lucu, lucu, lucu! Ehhh, Kwan Cu, kata-katamu itu membuat mataku melihat seekor
lembu yang baru lahir menyusui seekor lembu tua yang menjadi neneknya!"
"Mana,
Losuhu?" tanya Kwan Cu yang merasa heran. "Mana ada anak lembu yang
baru terlahir dapat menyusui lembu lain, neneknya pula?"
Hwesio itu
menudingkan jarinya kepada Kwan Cu. "Kaulah anak lembu itu! Kau hendak
memberi pelajaran kepadaku tentang filsafat, bukankah itu sama saja dengan
seekor anak lembu hendak menyusui neneknya? Ha-ha-ha, kau tahu satu tidak tahu
lima, tahu lima tidak tahu sepuluh! Kwan Cu, tidak ada sesuatu di permukaan
bumi ini yang memiliki sifat tunggal, semua tentu memiliki dua sifat yang
bertentangan, dua sifat yang bagi kita manusia biasa disebut menguntungkan dan
merugikan! Apakah kau pernah mendengar orang mengeluh karena hari sedang hujan
yang lain mengeluh karena tidak ada hujan? Pernahkah kau mendengar munculnya
matahari disambut dengan senyum oleh seorang akan tetapi sebaliknya disambut
dengan muka cemberut oleh orang lainnya? Semua hal mempunyai dua sifat,
tergantung pada yang menghadapinya. Kekerasan tak terkecuali, memiliki dua
sifat menguntungkan dan merugikan. Hee, anak gundul goblok, tahukah kau
sekarang bahwa belum tentu kekerasan itu salah dan jahat seperti anggapanmu
tadi?"
Kwan Cu
mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali karena memang dia suka
akan filsafat-filsafat kebatinan. Dia sudah terlalu banyak membaca buku kuno
dan semenjak belajar membaca, otaknya sudah dijejali oleh segala macam filsafat
ini.
"Benar-benarkah
semua hal di dunia ini mempunyai dua sifat baik dan buruk, Losuhu?"
Hwesio itu
mengangguk-anggukkan kepalanya yang bundar. "Tentu! Coba kau sebutkan
sesuatu sebagai contoh."
Kwan Cu
menengok ke sana ke mari, dan tiba-tiba dia menunjukkan telunjuk ke arah tahi
kuda yang bertumpuk di pinggir jalan. "Apakah barang kotor itu juga
memiliki sifat baik? Teecu menganggapnya kotor dan hanya merugikan saja,
mengotori jalan, menimbulkan bau tak sedap dan menjijikkan kalau di pandang."
"Anak
bodoh, itu karena kau memandangnya dari segi yang merugikan saja. Tahukah kau
bahwa keluarnya benda itu dari perut kuda mendatangkan dua macam keuntungan?
Pertama, keuntungan bagi si kuda sendiri karena kalau tidak bisa keluar
perutnya akan kembung dan dia akan mati! Kedua, tahi kuda itu kalau sudah
meresap ke dalam tanah akan menjadi pupuk yang amat baik dan menyuburkan tanah.
Bukankah itu keuntungan-keuntungan belaka dan termasuk sifat-sifat baik?"
Kwan Cu
melengak dan terpaksa dia tersenyum geli. Sepasang matanya yang lebar dan
bersinar-sinar itu bergerak ke kanan kiri, menandakan bahwa otaknya yang cerdik
tengah bekerja keras. Dia mencari akal untuk mengalahkan hwesio gemuk ini
dengan pendirian yang aneh itu.
"Losuhu,
ada satu hal lagi. Apakah kejahatan juga mempunyai sifat baik?"
Sekarang Kak
Thong Taisu yang melengak. Dia merasa seperti dadanya di todong oleh senjatanya
sendiri. Senjata makan tuan! Akan tetapi hwesio ini adalah seorang manusia yang
sudah matang luar dalam, tentu saja tidak mau kalah. Sambil menggerak-gerakkan
kedua matanya yang seperti kelereng itu, dia berkata,
"Tentu
saja bocah tolol! Kalau saja tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada
kebaikan? Siapa mau bicara kebaikan bila tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan
baik kalau tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak
ada orang jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im
(positif) menjadi imbangan dari pada Yang (negatif), kalau salah satu tidak ada
mana mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?"
Filsafat ini
terlalu berat bagi otak Kwan Cu yang masih kecil, maka untuk beberapa lama dia
bengong saja.
Sebaliknya
setelah berkata demikian Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, anak
bodoh, anak tolol!"
"Losuhu,"
Kwan Cu mendapatkan bahan pula pada saat mendengar makian ini. "Apakah
kebodohan juga mempunyai sifat baik?"
"Tentu
saja, jika tidak bodoh dulu, mana bisa menjadi pintar? Tanpa adanya kebodohan,
mana manusia mengenal kepintaran?"
Dibalik
seperti ini, Kwan Cu mulai dapat menangkap dan dia tertawa bergelak, menimpali
suara ketawa hwesio gemuk itu sehingga dua orang ini tertawa-tawa, membikin semua
orang yang lewat di situ memandang terheran-heran.
"Orang-orang
miring otaknya...!" demikian mereka berbisik.
"Kwan
Cu, kau ini terlalu sekali. Perutku menjadi lapar karena kau mengajakku
bercakap-cakap saja. Hayo cepat kau carikan makanan untukku. Makanan enak hanya
terdapat di rumah-rumah para bangsawan."
Hwesio gemuk
ini mengajak Kwan Cu memasuki kota raja. Kak Thong Taisu menyuruh Kwan Cu
berjalan lebih dulu dan menyuruh anak ini minta makanan dari rumah gedung
bangsawan. Kwan Cu menurut dan kebetulan sekali dia memasuki halaman gedung
dari pembesar Lu di mana dia melihat Lu Thong sedang menyuruh tiga ekor
anjing-anjingnya mengeroyok seorang kakek pengemis itu sebagaimana telah di
tuturkan di bagian depan dari cerita ini.
"Lopek,
marilah kita keluar dari halaman orang kaya ini," kata Kwan Cu sambil
menolong pengemis tua yang terluka oleh gigitan-gigitan anjing tadi.
Dengan susah
payah pengemis itu berdiri, dan merangkulkan lengan kirinya pada leher Kwan Cu.
Kemudian terseok-seok mereka keluar dari tempat itu.
Akan tetapi,
setelah kini anak gundul itu tidak berada di dekatnya lagi, Lu Thong timbul
keberaniannya. Dia berseru keras dan tiga ekor anjing itu kembali
menyalak-nyalak dan menyerbu Kwan Cu dan pengemis tua yang sedang berjalan
terpincang-pincang hendak keluar!
Kwan Cu
tidak berdaya karena dia sedang menggandeng kakek itu keluar. Pengemis itu
demikian lemah sehingga kalau dia di lepaskan pegangannya, tentu orang tua itu
akan roboh! Sebaliknya pengemis tua itu tak mempedulikan sama sekali tiga ekor
anjing yang menggonggong-gonggong dan mengurungnya. Wajah pengemis tua ini
menjadi terang berseri dan dia bahkan bernyanyi dengan suara yang tinggi!
Alam hidup
bukan untuk diri pribadi, karenanya dapat kekal abadi!
Tidak
seperti Lu manusia hina (siauw jin), lupa akan asal usulnya!
Setelah
hidup mewah dan kaya, si miskin ia hina!
Mana dia
akan dapat tahan lama?
Nyanyian ini
terus diulang-ulanginya dan diam-diam Kwan Cu merasa kagum. Susunan
kata-katanya amat indah dan dia puji kakek ini yang dapat menghubungkan
ujar-ujar Lo Cu dengan kata-kata lain yang isinya menyinggung-nyinggung orang
she Lu yang dia tidak tahu entah siapa! Ia masih ingat bahwa bait pertama
yaitu, Alam hidup bukan untuk diri pribadi, karenanya dapat kekal abadi
merupakan ujar-ujar dari nabi Lo Cu mengenai pelajaran To.
Tiga ekor
anjing itu mengejar terus. Pada saat mereka hendak menubruk dan menyerang dua
orang yang keluar itu, tiba-tiba dari atas menyambar turun tubuh dengan
kepalanya yang gundul kelimis.
Kak Thong
Taisu telah berada di situ, tertawa bergelak sambil berkata, "Nyanyian
orang edan!"
Akan tetapi
biar pun dia tujukan ucapannya ini kepada kakek pengemis tadi, sebetulnya dia
sama sekali tidak memperhatikan kakek pengemis dan Kwan Cu.
"Cocok
betul dia dengan bocah tolol."
Kemudian,
ketika Kak Thong Taisu melihat tiga anjing yang mengejar-ngejar pengemis itu
dan Kwan Cu, matanya berseri-seri.
"Ahh,
anjing bagus, daging gemuk!"
Sambil
berkata demikian, hwesio ini melangkah dua tindak sambil menggerakkan kedua
tangannya dan tahu-tahu dia sudah dapat menangkap tiga ekor anjing itu pada
ekornya! Benar-benar hebat tenaga Si Tangan Seribu Kati ini, karena dia
memegang buntut tiga ekor anjing itu hanya dengan tangan kiri dan sekali lagi
tangan kanannya mengayun"
"Prakk!"
terdengar suara dan pecahlah kepala tiga ekor anjing itu menghantam lantai!
Lu Thong
memandang peristiwa ini dengan mata terbuka lebar. Dia tidak marah melihat tiga
ekor anjingnya dibunuh orang, bahkan dia lalu menghampiri hwesio itu dan
berkata, "Losuhu, agaknya kau lebih hebat dari pada Ang-bin Sin-kai!"
Kak Thong
Taisu membalikkan tubuh, melempar mayat tiga ekor anjing tadi, kemudian
memandang pada anak itu. Ia menatap wajah Lu Thong dari kepala sampai ke
kakinya, penuh perhatian dan diam-diam dia mengakui bahwa anak ini pun memiliki
tulang dan bakat yang baik sekali, sungguh pun tidak sebaik Kwan Cu.
"Kau
tahu apa tentang Ang-bin Sin-kai?" tanyanya.
"Dia
adalah kakak dari kongkong-ku, kenapa aku tidak tahu? Dia lihai sekali, akan
tetapi melihat kepandaian losuhu, kau berani bertaruh bahwa Losuhu tentu lebih
lihai!"
"Hemm,
jadi kau cucu dari Lu Pin?"
Lu Thong
mendongkol sekali. Sudah dua kali dalam satu hari ini orang menyebut nama
kakeknya begitu saja. Kakeknya Lu Pin adalah seorang menteri, bagaimana ada
seorang pengemis tua dan seorang hwesio menyebut namanya begitu saja. Akan
tetapi kali ini Lu Thong tidak mau memperlihatkan muka marah. Ia cerdik sekali
dan dia ingin belajar ilmu silat, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Betul
sekali, Losuhu. Teecu yang rendah dan bodoh adalah cucu dari orang tua itu.
Tapi sayang sekali, teecu bernasib buruk .
Hwesio ini
mengangkat alis dan memandang penuh perhatian, "Apa katamu? Bernasib buruk
sesudah kau mengenakan pakaian demikian indahnya, tinggal di gedung demikian
mewahnya?"
Mendengar
ini, tiba-tiba Lu Thong menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu
dan merenggutkan hiasan rambut serta pakaiannya sehingga sobek-sobek.
"Buat apa semua kemewahan ini, Losuhu? Teecu ingin sekali belajar ilmu
silat yang tinggi."
"Kau
masih cucu Ang-bin Sin-kai, apa susahnya untuk memenuhi keinginan itu?"
"Losuhu,
inilah yang membuat hati teecu selalu tidak senang. Ang-bin Sin-kai tidak mau
mengajar silat kepada teecu!"
Diam-diam
Kak Thong Taisu berpikir. Anak ini cukup cerdik dan berbakat baik, dia telah
dikecewakan oleh Kwan Cu yang tidak mau menjadi muridnya, sekarang ada anak ini
yang ditolak oleh Ang-bin Sin-kai! Mengapa dia tidak mau mengambilnya sebagai
murid? Hendak dia lihat bagaimana Ang-bin Sin-kai kelak apa bila melihat
keturunannya belajar ilmu silat dari padanya!
"Ehh,
anak, siapa namamu?"
"Teecu
bernama Lu Thong;
Girang hati
Kak Thong Taisu, karena nama anak ini ada persamaan dengan namanya .
"Kalau
aku mengajar silat kepadamu bagaimana?"
Bukan main
girangnya hati Lu Thong. Serta merta dia lalu menjatuhkan diri dan berlutut di
depan hwesio itu, "Suhu, teecu akan belajar dengan giat!"
"Akan
tetapi kau harus ikut aku merantau, menjadi pelayanku, juga mengemis makanan
untukku dan hanya boleh makan sisa makananku. Sangggupkah?&"
Tentu
syarat-syarat ini amat berat, bahkan terdengar sangat mengerikan di dalam
telinga Lu Thong. Akan tetapi, oleh karena anak ini memang cerdik, dia tidak
mau menurutkan perasaannya.
"Teecu
hanya akan tunduk kepada semua perintah Suhu. Akan tetapi teecu mendengar suhu
tadi memuji anjing-anjing itu sebagai daging-daging gemuk, apakah Suhu suka
bila teecu menyuruh orang memasaknya?”
Berseri
wajah Kak Thong Taisu. “Tentu saja, aku sampai lupa! Sangat disayangkan kalau
daging-daging gemuk itu dibuang begitu saja.”
Pada saat
itu, beberapa orang muncul dari dalam dan mereka ini terkejut sekali ketika
melihat Lu Thong berlutut di depan seorang hwesio gemuk. Mereka adalah Lu Seng
Hok dan istrinya yang diikuti oleh beberapa pelayan. Tadi Lu Thong memang telah
berbohong kepada pengemis tua itu ketika dia mengatakan bahwa ayahnya tidak
berada di rumah.
“Thong-ji,
kau sedang apa di situ? Siapakah hwesio ini?” Lu Seng Hok bertanya kepada
anaknya dengan kening di kerutkan.
“Ayah, dia
ini adalah suhu-ku, bernama...” Lu Thong menengok kepada Kak Thong Taisu karena
dia memang belum mengetahui nama suhu-nya.
“Kak Thong
Taisu, berjuluk Jeng-kin-jiu!” hwesio itu berkata sambil tertawa dan matanya
memandang kepada Seng Hok dengan sikap menggoda.
Hwesio ini
memang adatnya aneh sekali. Jika orang biasa, melihat sikap kurang senang dari
tuan rumah, tentu akan segera pergi. Akan tetapi dia sebaliknya. Dia malah
sengaja mempermainkan tuan rumah dan pada saat itu pun dia telah mengambil
keputusan untuk tinggal di gedung ini!
Ada pun Lu Seng
Hok yang mendengar nama yang amat terkenal ini, diam-diam merasa makin tak
senang. Nama Jeng-kin-jiu sudah amat terkenal sebagai orang yang berwatak aneh
dan ditakuti orang.
“Bukankah
kau ingin berguru kepada Ang-bin Sin-kai?” tanya Seng Hok karena dia tidak
berani melarang begitu saja atau mengusir hwesio ini.
“Ayah, Suhu
jauh lebih lihai dari pada Ang-bin Sin-kai. Lihat saja ketiga ekor anjing itu.
Sekali tangkap dan sekali banting, tiga ekor anjing itu sudah mampus! Suhu
ingin makan daging anjing, harap ayah menyuruh tukang masak segera memasaknya!”
Kak Thong
Taisu tertawa bergelak. “Tak disangka-sangka pinceng akan berada di antara
keluarga Lu Pin. Aha, bila saja Ang-bin Sin-kai melihat ini. Ha-ha-ha!”
kemudian dengan langkah lebar dia mengikuti muridnya dan tuan rumah memasuki
gedung yang indah itu.
Demikianlah,
mulai hari itu Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tinggal di rumah Lu Seng Hok, hidup
senang, setiap hari minta disediakan makanan yang paling enak. Ia juga mengajar
ilmu silat kepada Lu Thong dan semakin gembira melihat betapa anak ini
benar-benar berbakat baik.
Akan tetapi,
orang seperti hwesio ini mana betah tinggal terus-terusan di dalam rumah?
Sering kali dia pergi tanpa bilang terlebih dahulu dan datang pula tanpa
memberi tahu. Kadang-kadang mengajak muridnya, kadang-kadang sendiri dan semua
orang, termasuk Lu Thong yang sudah mengetahui watak luar biasa dari Kak Thong
Taisu, tidak berani menegur.
Pendeknya,
Kak Thong Taisu ini boleh berbuat apa saja yang ia suka di dalam rumah itu dan
semenjak di situ ada Kak Thong Taisu, menteri Lu Pin tidak mau datang ke rumah
puteranya. Hal ini untuk mencegah kejadian yang tidak enak oleh karena sikap
hwesio ini memang sangat kasar dan tidak mau menghormat sama sekali.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment