Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 29
PARA pejuang
yang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka
juga turut mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam
musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh sudah roboh malang melintang
dan bertumpang tindih. Sebagian lagi segera melarikan diri dengan muka pucat,
tidak tahan menghadapi para pendekar itu.
Akibat
terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa
bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ
saja. Mereka bahkan menunda keperluan lainnya dan semenjak saat itu,
Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka segera
menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan
kaisar.
Berkat
perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan
penjajah. Kaisar Si Cung, yakni pengganti Kaisar Sin Cong, juga mengerahkan
barisan dan dengan bantuan suku bangsa Uighur, akhimya dapat merebut kembali
kota raja dan mengusir penjajah.
Beberapa
tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan kelompok kecil yang cerai berai
dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini.
***************
Sesudah
melakukan tugas membantu perjuangan rakyat beberapa tahun lamanya, para orang
gagah yang tidak gugur dalam peperangan kembali lagi ke tempat masing-masing,
termasuk Pak-lo-sian yang mengajak Swi Kiat kembali ke utara.
Kun Beng
yang mendapat pukulan batin hebat karena peristiwa dengan Gouw Kui Lan,
melenyapkan diri, agaknya untuk menebus dosa.
Sui Ceng
lalu menyusul gurunya, Kiu-bwe Coa-li untuk memperdalam ilmu silatnya serta
mempelajari kebatinan. Hatinya masih terluka dan dia masih menderita patah hati
serta duka, mengandung cinta kasih yang tidak tercapai.
Bagaimana
dengan Kwan Cu, pendekar sakti itu? Pemuda ini menderita batinnya. Cinta
kasihnya terhadap Sui Ceng mengalami kegagalan, membuat dia makin merasa jemu
terhadap kehidupan. Meski pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dia
seperti seorang yang jauh lebih tua.
Namun,
semangat membalas dendam masih terkandung dalam hatinya, terhadap An Kai Seng,
musuh besar yang tinggal satu-satunya itu. Oleh karena itu, setelah peperangan
selesai dan pemerintah Tang berdiri kembali, Kwan Cu lalu mulai melakukan
perjalanan untuk mencari musuh besarnya ini. Akhirnya dia mendapat berita bahwa
An Kai Seng tinggal di kota An-keng di Propinsi An-hui. Segera dia menuju ke
selatan untuk mencari musuh besarnya ini.
***************
Kota An-keng
terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang dan merupakan kota yang besar dan ramai.
An Kai Seng tinggal di kota besar ini bersama isterinya dan tetap menggunakan
nama Tan Kai seng. Tak seorang pun pernah mengira bahwa Tan Kai Seng ini adalah
cucu dari An Lu Shan, si pemberontak yang sudah mendatangkan banyak sekali mala
petaka kepada rakyat jelata.
Setelah mengetahui
bahwa musuh besarnya, yakni Lu Kwan Cu yang amat lihai, begitu menghendaki
nyawanya, An Kai Seng beserta isterinya telah memperdalam ilmu silatnya
sehingga kepandaiannya jauh lebih maju kalau dibandingkan dengan dahulu ketika
dia bertemu dengan Kwan Cu. Isterinya bahkan kembali belajar dari gurunya,
yakni Lui Kong Nikouw, sedangkan An Kai Seng belajar dari beberapa orang guru
silat yang pandai.
Tidak
demikian saja, bahkan An Kai Seng yang kaya raya itu kini mendatangkan banyak
jago-jago silat untuk menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Juga Lui
Kong Nikouw kini ditarik olehnya dan tinggal di kota An-keng.
Di samping
Lui Kong Nikouw, masih ada tiga orang lagi yang dia amat andalkan, yakni tiga
jago yang disebut Sin-to Sam-eng (Tiga Orang Gagah Bergolok Sakti). Mereka ini
adalah murid-murid Siauw-lim-si yang diusir dari partai itu karena melanggar
peraturan. Dengan pandainya mereka dapat menyelundup ke Go-bi-san dan menjadi
murid partai Go-bi-pai pula, akan tetapi lagi-lagi mereka diusir karena memang
mereka bukan orang baik-baik.
Akan tetapi,
sesudah menerima pelajaran ilmu silat dari kedua partai ini, ditambah pula
dengan pengalaman-pengalaman mereka dan pergaulan mereka dengan kaum hek-to
(penjahat), kepandaian tiga orang ini benar-benar amat lihai.
Yang tertua
bemama Ang Kian dan berjuluk It-to-cilan (Setangkai Bunga Cilan), seorang
jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang ditakuti orang. Tiap kali melakukan
perbuatan terkutuk, dia selalu meninggalkan sebatang cilan-piauw, yakni semacam
senjata rahasia berbentuk bunga cilan, maka dia mendapat nama julukan
It-to-cilan.
Orang ke dua
bernama Yap Ki, seorang ahli mempergunakan racun sehingga dijuluki Tok-ong
(Raja Racun), sedangkan orang ke tiga adalah adiknya sendiri bernama Yap Ek
yang paling lihai ilmu goloknya di antara dua orang kawannya.
Tiga orang
penjahat ini dengan menggabungkan ilmu silat Siauw-lim-si dan Go-bi, dapat
menciptakan ilmu golok yang kemudian mereka namakan Sin-sam To-hiap (llmu Golok
Tiga Serangkai Yang Sakti), nama yang benar-benar menggambarkan betapa sombong
adanya tiga orang ini. Akan tetapi, memang ilmu golok mereka jarang ada yang
dapat menandingi dan hal ini membuat mereka makin sombong dan tinggi hati.
Hanya dengan
harta bendanya yang banyak serta senyum dan lirikan mata Wi Wi Toanio yang
menggiurkan, maka An Kai Seng baru berhasil menarik ketiga orang ini menjadi
sahabatnya atau lebih tepat disebut pengawal pribadinya. Ia juga maklum bahwa
antara isterinya dan It-to-cilan Ang Kian yang berwajah tampan ada terjalin
hubungan yang tidak seharusnya, akan tetapi An Kai Seng hanya dapat mengelus
dada saja.
Kepandaian
isterinya lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, sedangkan Ang Kian juga
mempunyai kepandaian yang tidak mampu dilawannya. Apa lagi Ang Kian bersama
kawan-kawannya merupakan pelindung-pelindungnya, maka dia merasa bahwa menjaga
keselamatan diri sendiri lebih penting dari pada kebahagiaan rumah tangganya.
Karena itu dia tidak mempedulikan lagi kepada isterinya, bahkan ditemani oleh
kawan-kawannya ini, dia mulai mencari hiburan di luar dan memelihara banyak
selir di luaran.
Selain
melakukan penjagaan yang sangat kuat di rumahnya, juga di kota An-keng dan di
sekitarnya, dia melepas banyak kaki tangan untuk menyelidiki kalau-kalau ada
datang Kwan Cu musuh besarnya. Akan tetapi sampai beberapa tahun tidak ada
kabar ceritanya tentang diri Kwan Cu. Paling akhir dia mendengar bahwa musuhnya
itu membantu kaum pejuang, maka dia menganggap bahwa pemuda itu tentu telah
gugur dalam peperangan. Hatinya mulai lega dan tenang.
Akan tetapi,
alangkah terkejut hatinya ketika pada suatu hari dia mendapatkan kabar dari
pengurus hotel Liok-an yang menjadi kaki tangannya pula bahwa di hotel itu
telah datang seorang pemuda yang mengaku bernama Lu Kwan Cu! Kalau ada geledek
menyambar pada waktu tengah hari, Kai Seng agaknya takkan sekaget itu. Cepat
dia mengumpulkan jago-jagonya dan mengadakan perundingan.
"Belum
tentu kalau yang datang itu adalah musuh besarmu, Tan-wangwe," kata Ang
Kian menghibur. "Sebaiknya kita semua pergi ke hotel itu dan kau melihat
sendiri apakah dia betul-betul musuh besarmu itu. Kalau ternyata betul, tak
usah banyak ribut lagi kita terus membunuhnya.” Memang Ang Kian amat sombong
dan memandang rendah pada musuh besar majikannya ini.
"Tak
bisa, tak bisa!" kata Kai Seng yang sudah ketakutan. "Kalau benar dia
Lu Kwan Cu, begitu melihat aku, tentu dia akan menyerangku!"
"Takut
apa? Kita membawa kawan-kawan dan tak mungkin dia dapat mengalahkan kita,"
kata Yap Ki.
"Tidak
tepat," lagi-lagi Kai Seng mencela, "lebih baik lekas panggil
Kwa-sianseng."
Yang disebut
Kwa-sianseng adalah seorang kaki tangannya yang selalu berpakaian mirip seperti
sastrawan, dan memang betul ia merupakan seorang terpelajar yang terkenal ahli
dalam melukis. Kalau melihat sesuatu, dia dapat melukisnya cepat dan cocok sekali.
Selain
kepandaian ini, dia pun mengerti ilmu silat cukup tinggi sehingga di kota
An-keng dia dijuluki Bun-bu Siang-pit. Senjatanya adalah siang-pit (sepasang
pit) yang tidak saja lihai kalau digunakan untuk menggambar, akan tetapi juga
lihai kalau dimainkan sebagai senjata.
Orang she
Kwa ini dipanggil dan segera mendapat tugas untuk menyelidiki pemuda di hotel
Liok-an yang bemama Lu Kwan Cu itu. Kwa-sianseng menerima tugas ini dengan
senyum menyeringai, karena tiap kali mendapat tugas dari hartawan she Tan ini,
selalu dia akan pulang dengan kantong penuh uang.
Pemuda yang
datang di hotel Liok-an itu memang benar Lu Kwan Cu. Biar pun pemuda ini dapat
menduga bahwa tentu di kota ini An Keng Seng mempunyai banyak kaki tangan dan
mata-mata, namun dia sengaja menuliskan nama asli di buku tamu.
Apa yang dia
takutkan? Pemuda ini merasa yakin akan kepandaiannya sendiri dan dia sudah
merasa pasti bahwa betapa pun juga akhimya dia akan berhadapan muka dengan
musuh besarnya. Sesudah membersihkan diri, dia segera pergi ke rumah makan untuk
makan siang.
Seperti juga
di hotel Liok-an, di rumah makan itu terdapat banyak pelayan yang amat
memperhatikan dia. Dengan pandangan matanya yang sudah awas itu, Kwan Cu dapat
membedakan perhatian orang biasa dan perhatian orang yang mengandung maksud tertentu.
Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan makan dengan tenang, sungguh pun
dia amat berhati-hati dan mencoba setiap masakan lebih dulu, menjaga
kalau-kalau fihak musuh menaruh racun.
Di dalam
rumah makan itu hanya ada beberapa orang tamu yang makan siang. Akan tetapi di
antara mereka, hanya seorang yang menarik perhatian Kwan Cu dan diam-diam dia
mengawasi gerak-gerik orang ini.
la melihat
orang ini sebagai seorang sastrawan dan biar pun orang itu kelihatan makan
minum seorang diri, namun dia tahu bahwa orang itu amat memperhatikannya.
Tiba-tiba dia melihat orang itu mencorat-coret sehelai kertas dengan pitnya.
Melihat pit itu, makin besar kecurigaan hati Kwan Cu. Pit itu gagangnya terbuat
dari pada kuningan dan lebih tepat kalau dipergunakan sebagai senjata.
Akan tetapi
Kwan Cu pura-pura tidak melihatnya dan mempercepat makannya. Setelah beres
membayar, dia lalu keluar. Akan tetapi pada saat dia sengaja lewat di dekat
meja sastrawan itu dan melirik ke atas mejanya, dia menjadi terkejut dan heran
sebab biar pun orang itu cepat-cepat menutupi kertas yang dicoret-coretnya,
tapi sekelebatan dia masih sempat melihat bahwa di atas kertas itu tergambar
wajahnya sendiri!
Namun Kwan
Cu dapat menekan perasaannya dan cepat melangkah keluar. Dia segera menyelinap
dan bersembunyi di tempat yang agak jauh sambil memasang mata. Apakah kehendak
sastrawan itu yang dapat menggambar mukanya demikian cepat dan demikian cocok?
Tidak lama
kemudian dia melihat orang itu keluar, menengok ke kanan kiri lalu berjalan dengan
tindakan kaki tergesa-gesa ke kiri. Kwan Cu mengikutinya dari jauh. Orang itu
masuk ke dalam rumah gedung yang mewah dan terjaga kuat. Di pintu pekarangan
saja dia melihat lima orang laki-laki yang sikapnya seperti tukang pukul,
sedang duduk sambil bercakap-cakap. Melihat sastrawan itu, lima orang penjaga
menjura sambil tertawa.
"Lopek,
bukankah rumah gedung itu adalah tempat tinggal Kwan-wangwe (hartawan she
Kwan)?" tanya Kwan Cu kepada seorang tua yang memikul tahu.
Kakek itu
menggerakkan alisnya heran. "Ehh, anak muda, masa kau tidak tahu bahwa itu
adalah gedung dari Tan-wangwe?"
Kwan Cu
berdebar girang, akan tetapi dia tak memperlihatkan kegembiraannya, bahkan
nampak kecewa. "Aku mencari rumah hartawan Kwan."
"Entahlah,
aku tidak tahu di mana rumah hartawan Kwan. Kalau gedung itu memang rumah
hartawan Tan Kai Seng, siapa orangnya tidak mengenal rumahnya?" Tukang
tahu itu lalu pergi lagi setelah Kwan Cu menghaturkan terima kasihnya.
"Hemm,
tidak salah lagi. Di situlah tempat tinggal anjing she An itu," pikimya
dan tanpa membuang waktu lagi dia segera melangkah lebar menuju ke pintu
gerbang pekarangan gedung itu.
"Siapa
kau? Mau apa menyelonong ke sini?" bentak seorang di antara lima penjaga
pintu pekarangan.
"Katakanlah
kepada Tan-wangwe bahwa ada seorang sahabat dari jauh hendak bertemu dengan
dia," jawab Kwan Cu tenang.
"Tan-wangwe
sudah memesan kepada kami bahwa hari ini dia tidak mau terima tamu. Kau lekas
tinggalkan nama dan alamat biar nanti kami yang menyampaikan. Besok pagi boleh
datang lagi menerima keputusan."
"Hm,
dia hendak menyembunyikan diri? Tidak apa, aku bisa masuk sendiri
menemuinya."
Sambil
berkata demikian, Kwan Cu tidak mempedulikan lagi para penjaga itu dan terus
berjalan masuk.
"Heiii,
kau ini bangsat dari mana begini tidak tahu aturan? Berhenti!" Lima orang
penjaga mengejar, akan tetapi Kwan Cu berjalan terus memasuki pekarangan.
"Kau
harus dilempar keluar!" seorang di antara mereka berteriak sambil
mencengkeram pundak Kwan Cu dan hendak melemparkan pemuda itu keluar dari
pekarangan. Akan tetapi, segera dia berseru kaget ketika tiba-tiba tubuhnya
sendiri yang terpelanting keluar dari pekarangan, jatuh di jalan raya
mengeluarkan suara berdebuk!
Empat orang
penjaga yang lainnya menjadi marah dan mereka lalu memukul. Terdengar suara
berdebukan dan bukan yang dipukul yang jatuh, melainkan para pemukulnya yang
memekik kesakitan dan terguling roboh!
Jeritan para
penjaga pintu itu terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung. Tidak
lama kemudian keluarlah berlarian beberapa orang dan Kwan Cu menjadi girang
bukan main, karena di antara sekian banyak orang itu dia mengenal An Kai Seng
dan Wi Wi Toanio!
"Bangsat
she An, bersiaplah untuk terima mampus!" bentak Kwan Cu sambil menghunus
pedang Liong-coan-kiam dari pinggangnya.
Akan tetapi
sekali berkelebat, Kai Seng dan Wi Wi Toanio lenyap di dalam gedung dan ketika
Kwan Cu hendak mengejar, dia dihadang oleh lima orang. Orang pertama adalah si
sastrawan tadi yang bukan lain adalah Kwa-sianseng. Orang ke dua adalah Lui
Kong Nikouw yang sudah dikenal oleh Kwan Cu. Sedangkan tiga orang lainnya
adalah Sin-to Sam-eng yang belum dikenalnya.
Melihat Kwan
Cu mengejar majikan mereka, lima orang ini maju mengeroyoknya. Akan tetapi
begitu Kwan Cu menggerakkan Liong-cuan-kiam, maka terdengarlah suara nyaring
pada saat pedangnya mengenai salah satu pit milik Kwa-sianseng dan sebatang
golok di tangan It-to-cilan Ang Kian, orang pertama dari Sin-to Sam-eng.
Lima orang
yang senjatanya tidak terbabat putus oleh Liong-cuan-kiam itu terkejut sebab
merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga dari pemuda itu
jauh mengatasi tenaga mereka yang dipersatukan.
Kwan Cu
mengamuk terus dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dibarengi dengan gerakan
tangan kiri. Dia berhasil merobohkan It-to-cilan dengan sebuah pukulan tangan
kiri yang tepat mengenai jalan darah di lehernya.
Lui Kong
Nikouw membabat dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang kawannya yang
menggerakkan senjata dengan cepatnya. Akan tetapi gerakan Kwan Cu lebih cepat
lagi sehingga sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mendadak Lui Kong Nikouw
menjerit dengan pundak terluka dan Yap Ki si Raja Racun terlempar kena
ditendang oleh Kwan Cu. Bukan main kaget dan marahnya para pengeroyok ini.
Tok-ong Yap
Ki berseru keras dan sambil melompat berdiri tangannya bergerak-gerak. Beberapa
tok-ciam (jarum beracun) menyambar ke arah Kwan Cu, akan tetapi sekali saja
Kwan Cu mengibaskan tangan kirinya, jarum-jarum itu lantas terpental kembali,
ada yang langsung menyerang Yap Ek dan si sastrawan dan lebih hebat lagi, ada
yang kembali dan menyerang Yap Ki sendiri!
Yap Ek dan
si sastrawan roboh akan tetapi Yap Ki dapat menyelamatkan dirinya. Si Raja
Racun ini kaget sekali melihat jarum-jarumnya mengenai saudaranya dan kawan
sendiri, karena dia tahu bahwa jarum-jarum beracun itu amat berbahaya dan siapa
yang terkena akan binasa dalam beberapa menit saja bila tidak lekas-lekas dia
beri obat pemunahnya.
Pada saat
itu, dari dalam gedung keluarlah belasan orang bersenjata, sedangkan dari luar
gedung masuk pula lebih dari dua puluh orang dengan senjata di tangan. Mereka
ini adalah jagoan-jagoan dan kaki tangan An Kai Seng yang telah mendengar bahwa
musuh besar majikan mereka datang mengamuk.
Kwan Cu
segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi apakah artinya puluhan jagoan-jagoan
murah itu? Dengan enaknya Kwan Cu menyimpan kembali pedangnya, lalu dia
menggerakkan kaki dan tangannya untuk merobohkan mereka seperti orang membabat
rumput saja.
Yap Ki
sendiri tidak dapat membantu pengeroyokan itu, karena dia sibuk memberi obat
pemunah kepada si sastrawan Kwa dan Yap Ek agar nyawa mereka ini bisa
tertolong. Kemudian, dia lalu maju menerjang lagi dengan goloknya.
Selagi Kwan
Cu mengamuk hebat, dari luar datang lagi serombongan orang dan mereka ini
ternyata adalah sepasukan penjaga keamanan kota yang jumlahnya tiga puluh
orang! Sebagai hartawan yang terkenal dengan nama Tan-wangwe dan seringkali
menyumbang sehingga memiliki hubungan yang amat baik dengan para pembesar, tentu
saja An Kai Seng segera ditolong oleh penjaga-penjaga keamanan ketika mereka
mendengar bahwa di rumah Tan-wangwe terjadi keributan dengan datangnya seorang
pengacau.
Kwan Cu
menjadi gemas. Tetapi pemuda ini tidak mau sembarangan membunuh orang. Dengan kepandaiannya
yang sangat tinggi dia mampu membikin para pengeroyoknya itu roboh seorang demi
seorang dengan tulang-tulang yang patah atau luka-luka yang tidak menimbulkan
bahaya bagi keselamatan nyawa mereka. Dan tak lama kemudian, jumlah pengeroyok
hanya tinggal belasan orang lagi dan sebagian besar sudah rebah malang
melintang tak berdaya.
"Bangsat
she Lu, kau keterlaluan!" tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan
seorang berpakaian panglima maju menerjang dari luar.
Kwan Cu
memandang dan melihat bahwa yang datang adalah Panglima Kam Cun Hong, maka
sambil menangkis serangan pedang di tangan panglima ini dengan sulingnya yang
sudah dia cabut secepat kilat, dia pun segera tertawa mengejek.
"Hemm,
bukankah kau adalah panglima yang dahulu sama-sama datang dengan Kiam Ki
Sianjin? Bagus kau belum mampus oleh para pejuang, sekarang kau mengantar
jiwa!"
Kata-kata
Kwan Cu ini mengejutkan hati Kam Cun Hong. Panglima ini memang sudah melarikan
diri dari kota raja dan di kota ini minta perlindungan dari An Kai Seng yang
sudah dikenalnya. Walau pun dahulunya mereka ini bermusuhan, yakni Kam Cun Hong
membantu Si Su Beng sedang An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, namun
karena sama-sama mempunyai rahasia yang harus disembunyikan, maka An Kai Seng
tidak menolaknya dan bahkan memberi rumah kepada bekas panglima ini.
Mendengar
ucapan Kwan Cu, Panglima Kam takut kalau-kalau rahasianya diketahui oleh
rakyat, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat dan melarikan diri.
Beberapa
orang roboh lagi dan sisanya, hanya tujuh orang lagi termasuk Yap Ki si Raja
Racun, menjadi gentar dan segera melarikan diri! Kwan Cu tertawa mengejek dan
ia pun segera melompat ke dalam gedung hendak mengejar musuh besarnya. Semua
kamar dibukanya, namun gedung yang amat besar itu sudah kosong melompong. Tak
seorang pun pelayan berada di situ, agaknya sudah lari cerai-berai ketika
keributan terjadi.
Memang
sebelumnya An Kai Seng sudah mengatur terlebih dahulu dan membubarkan semua
pelayan supaya tidak akan ada pelayan yang dapat dipaksa oleh Kwan Cu untuk
memberi tahukan tempat sembunyinya.
Kwan Cu
penasaran dan mencari terus. Setiap kamar yang tertutup pintunya, didobrak dan
dibukanya. Ketika tiba di ruang belakang, dia melihat sebuah kamar yang
tertutup pintunya. Didengarnya berkereseknya kain di dalam kamar, tanda bahwa
di dalam kamar itu ada orangnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia mendorong pintu
kamar yang tebal itu. Sekali dorong saja pecahlah daun pintunya dan dia segera
melompat masuk.
“Ayaaa…
kurang ajar sekali...!” terdengar pekik seorang wanita.
Kwan Cu
merasa mukanya panas. Warna merah menjalar sampai di telinganya. Ternyata bahwa
di dalam kamar itu terdapat Wi Wi Toanio yang agaknya sedang berganti pakaian,
karena wanita cantik ini hanya memakai pakaian dalam yang amat pendek dan
ringkas. Bukan main cantik dan menariknya wanita itu, sehingga untuk sesaat
Kwan Cu berdiri bagaikan patung.
“Mana
suamimu?” Kwan Cu berusaha untuk membikin suaranya terdengar kasar, akan tetapi
dia tidak sanggup menekan suaranya yang agak gemetar.
"Laki-laki
tak bermalu! Kau... kau melihat apakah? Cih, kurang ajar benar!" kata Wi
Wi Toanio. Meski mulutnya berkata begini, namun sepasang matanya berseri dan
mulutnya tersenyum manis!
Kwan Cu
cepat membalikkan tubuhnya dengan perasaan amat jengah dan hati berdebar.
"Lekas
kau berpakaian, baru kita bicara!" katanya.
Diam-diam
dia merasa cemas kalau-kalau ada orang yang melihat dia berada di dalam kamar
seorang wanita yang hanya memakai pakaian seperti itu, apa akan kata orang?
Terdengar
wanita itu tertawa kecil dengan suara genit, lalu terdengar pula dia memakai
pakaian. Waktu yang dipergunakan oleh Wi Wi Toanio untuk berpakaian amat
lamanya, sehingga Kwan Cu menjadi hilang sabar.
"Cepatan
sedikit!" bentaknya.
Akan tetapi
Wi Wi Toanio hanya tertawa mengejek saja. Kemudian tercium bau yang amat harum,
kiranya wanita itu dalam berdandan bahkan bersolek, berbedak segala!
Tiba-tiba
Kwan Cu memiringkan tubuhnya dan tiga batang piauw menyambar lewat di samping tubuhnya.
"Jangan
berlaku curang, takkan ada gunanya," dia mengejek tanpa menoleh.
Benar-benar
lihai pemuda ini, tanpa menoleh dia tahu bahwa dia diserang oleh Wi Wi Toanio
mempergunakan piauw.
"Hemm,
kau mengambil pedang untuk apa? Kau tidak akan menang melawan aku," kata
pula Kwan Cu.
Wi Wi Toanio
terkejut bukan main sehingga tangannya yang memegang pedang menjadi gemetar.
Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia mengambil, pedang? Sementara itu,
mengetahui bahwa wanita itu sudah mengambil pedang, tentu ia sudah berpakaian
rapi, maka Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya memandang.
Bukan main,
Wi Wi Toanio memang benar-benar seorang wanita yang paling cantik yang pernah
dilihatnya, dan pandai bersolek pula. Harus diakui oleh Kwan Cu bahwa belum
pernah dia melihat wanita yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan wanita
ini.
“Kau mau
apa?" tanya Wi Wi Toanio yang sudah memegang sebatang pedang, mulutnya
tersenyum-senyum memikat.
Kwan Cu
masih bodoh dalam menghadapi kelincinan wanita, maka dia tidak tahu bahwa tadi
sebenarnya Wi Wi Toanio memang sengaja menantinya di dalam kamar itu untuk
mulai dengan siasatnya, memikat hati pemuda yang tak mungkin bisa dikalahkan
dengan kekuatan senjata ini.
"Jangan
berpura-pura bodoh!" bentak Kwan Cu. "Aku mencari suamimu, lebih baik
kau berterus terang saja, di mana dia? Kalau aku sudah membalas dendam
kepadanya, aku tak akan mengganggu dan tak peduli lagi dengan keadaanmu. Hanya
An Kai Seng yang kucari dan aku tidak ingin mencari permusuhan dengan orang
orang lain."
"Kau
benar-benar hebat dan gagah," Wi Wi Toanio memuji, "jauh berbeda
dengan Kai Seng dan kawan-kawannya yang tidak punya guna. Orang segagah engkau,
yang masih begini muda, kenapa mengotori hati dan pikiran dengan permusuhan?
Apakah tidak lebih baik kalau kita bersahabat saja? Aku ingin sekali menjadi
sahabatmu, bahkan kalau kau sudi, aku suka berlutut dan mengangkat kau sebagai
guruku."
"Tak
usah banyak cakap, di mana suamimu?"
Melihat Kwan
Cu tidak berhasil dibujuknya, Wi Wi Toanio tidak menjadi kecewa. Sebagai
seorang wanita yang berpengalaman, dari sinar pandang mata Kwan Cu saja tahulah
dia bahwa dirinya tidak kalah sama sekali. Tahu bahwa pemuda itu betapa pun
juga sudah tertarik padanya, sudah mengagumi kecantikannya, karena itu ia
menarik muka semanis mungkin.
"Lu
Kwan Cu, apa boleh buat, agaknya kau tidak dapat dibujuk lagi untuk melenyapkan
permusuhan. Kalau kau memang menghendaki pertempuran, mari kita lakukan secara
terang-terangan dan secara orang gagah. Aku dan suamiku hendak menantangmu
untuk mengadakan pertempuran sampai mati di dalam hutan dekat rawa maut di
sebelah barat kota ini. Beranikah kau?"
"Mengapa
tidak berani? Biar pun suamimu akan mengumpulkan semua jagonya di sana, aku tak
akan takut seujung rambut pun! Akan tetapi, siapa yang tidak tahu akan
kelicikan suamimu? Siapa yang percaya bahwa suamimu benar-benar akan berada di
sana?"
"Lu
Kwan Cu, kau menghinaku! Bukan suamiku, akan tetapi akulah yang menantangmu!
Kau tidak percaya padaku? Datanglah besok pada pagi hari, aku dan suamiku pasti
akan berada di sana, tanpa seorang pun kawan! Di sana kita bertiga akan
menentukan siapa yang harus mampus. Kalau kau berani datang, tanda bahwa kau
benar seorang jantan, akan tetapi kalau kau tidak mau dan tidak percaya
kepadaku, terserah, mau bunuh aku boleh bunuh. Jangan harap kau dapat menemui
Kai Seng sebelum besok pagi di hutan itu."
Kwan Cu
berpikir sejenak, hatinya penuh keraguan.
"Lu
Kwan Cu, apakah kau kira akan mampu memaksaku? Ketahuilah bahwa aku masih
menaruh hati kasihan kepadamu, kalau tidak demikian, andai kata sekarang aku
menjerit minta tolong dan merobek-robek pakaianku, di mana lagi kau akan
menaruh mukamu?"
Kwan Cu
terkejut sekali. Memang hebat ancaman ini dan kalau dilaksanakan, namanya tentu
akan hancur .
"Baiklah,
andai kata suamimu tidak datang dan lari sembunyi, apa sih sukarnya mencari
dia? Akhirnya aku pasti akan datang di hutan itu." Sesudah berkata
demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan keluar dari gedung itu.
Setelah Kwan
Cu pergi, Kai Seng muncul dari balik pintu rahasia yang berada di bawah tempat
tidur. Mukanya pucat sekali, tubuhnya masih menggigil dan dia menarik napas
berulang-ulang.
"Baiknya
kau pandai sekali mengusir dia, hanya saja aku merasa kurang senang melihat
gayamu di depan musuh besar kita," katanya kepada isterinya.
Wajah manis
dari Wi Wi Toanio tiba-tiba menjadi berkerut dan dia memandang kepada suaminya
dengan marah. "Apa katamu? Kalau kau sendiri becus mengusirnya, mengapa
kau menyuruh aku? Sudah, sudah, besok kau boleh menghadapinya sendiri, aku
lebih baik tinggal di rumah!"
Kai Seng
segera menghampiri isterinya dan memegang lengannya.
"Jangan
marah, isteriku yang manis. Nyawaku berada di tanganmu dan hanya engkau saja
kiranya yang dapat menolongku, dapat menghadapi pemuda yang kepandaiannya
seperti siluman itu."
Wi Wi Toanio
menarik tangannya dan tersenyum puas. "Kau lihat saja nanti. Aku bukan
wanita kalau tidak dapat membikin dia bertekuk lutut di hadapanku. Lebih baik
lagi, aku akan mencari tahu akan rahasia kepandaiannya dan kalau saja aku dapat
membujuknya sehingga dia mau menurunkan kepandaiannya itu, bukankah amat
menguntungkan bagi kita? Akan tetapi kalau kau cemburu…" sinar mata yang
jernih itu mengancam.
Kai Seng
memeluk isterinya. "Tidak, isteriku. Demi keselamatan kita semua, aku tak
akan cemburu... terserah kepadamu bagaimana kau akan menghadapinya."
"Nah,
kalau begitu, kau dengarlah baik-baik…"
Isteri yang
cantik dan juga sangat licin ini lalu membisikkan rencana dan siasatnya untuk
menghadapi Kwan Cu, didengarkan oleh Kai Seng sambil mengangguk-angguk seperti
ayam sedang makan padi…..
***************
Hutan di
sebelah barat kota An-keng tidak berapa besar akan tetapi amat liar, karena di
tempat itu banyak terdapat rawa-rawa yang sangat berbahaya. Para penggembala
tidak berani membawa binatang peliharaan mereka mendekati rawa, karena sekali
tergelincir ke dalam rawa itu, tidak mungkin tertolong lagi.
Rawa itu
airnya tidak dalam, tapi di bawah air terdapat lumpur yang dapat mengisap apa
saja yang jatuh ke dalamnya. Di atas rawa penuh pohon-pohon dan pemandangan di
situ memang sangat indah. Rumput-rumput hijau segar, akan tetapi kalau orang
melihat ke bawah, orang akan bergidik dan merasa ngeri.
Pagi-pagi
sekali Kwan Cu telah berlarian memasuki hutan, mencari-cari musuh besarnya,
yakni Kai Seng dan Wi Wi Toanio yang sudah berjanji hendak mengadu kepandaian
dengannya di tempat itu. Dia tidak begitu mengharapkan akan bertemu dengan
mereka, karena dia masih sangsi apakah benar-benar seorang wanita seperti Wi Wi
Toanio mau memegang janjinya. Sampai lama dia mencari ke sana ke mari, akan
tetapi tidak melihat bayangan seorang pun manusia.
"Hm,
biar pun kau bersembunyi di mana saja, akhirnya aku pasti akan dapat
mencarimu," kata Kwan Cu seorang diri, “dan lain kali aku takkan
mendengarkan omongan wanita itu."
Baru saja
dia hendak meninggalkan hutan, tiba-tiba dia melihat bayangan Wi Wi Toanio di
pinggir rawa. Wanita ini menggunakan tangan kiri mencekik seorang laki-laki
sambil memaki.
"Apa
kau kira aku mudah saja menjadi kaki tanganmu? Sudah lama kau menyakiti hatiku
dan sekaranglah pembalasanku!"
Tangan kanan
wanita itu melayang, menghantarn dada laki-laki itu yang terjengkang dan tanpa
dapat mengeluarkan suara lagi laki-laki itu terlempar masuk ke dalam rawa!
“Apa yang
kau lakukan itu?" teriak Kwan Cu terkejut dan seperti terbang dia lantas
berlari rnenghampiri tempat itu.
Wi Wi Toanio
kelihatan berdiri seperti patung, mukanya pucat memandang ke arah lelaki yang
sudah terjungkal ke dalam rawa. Ketika Kwan Cu melihat, ternyata bahwa
laki-laki itu jatuh ke dalam rawa dengan kepala lebih dulu sehingga yang
kelihatan hanya kedua kakinya sampai ke pinggang saja. Kaki yang sudah lemas
dan tak bergerak lagi, agaknya laki-laki itu sudah tewas. Yang sangat
mengagetkan hatinya adalah ketika dia mengenal pakaian laki-laki itu sebagai
pakaian An Kai Seng, musuh besarnya!
"Dia...
dia An Kai Seng... apakah yang telah kau perbuat?" Kwan Cu memandang Wi Wi
Toanio dengan heran.
Dengan
perlahan Wi Wi Toanio membalikkan tubuh dan memandang Kwan Cu. Mukanya pucat,
rambutnya awut-awutan menambah kecantikannya dan di atas pipinya terdapat
butiran-butiran air mata. Setelah pandang matanya bertemu dengan pandang mata
Kwan Cu, tiba-tiba Wi Wi Toanio menangis.
"Eh,
ehh, ehh, ada apakah...? Mengapa kau membunuh suamimu sendiri?"
Wi Wi Toanio
tidak dapat menjawab, bahkan lalu berlutut di depan kaki Kwan Cu. Tentu saja
pemuda ini menjadi bingung sekali. Dia menyangka akan sesuatu yang tidak beres,
maka sekali memegang kedua pundak wanita itu, Wi Wi Toanio telah dipaksanya
berdiri lagi.
"Katakan,
sandiwara apa ini? Kenapa kau mendahuluiku membunuh musuh besarku itu?"
"Lu
Kwan Cu..., apakah hanya kau saja yang mempunyai sakit hati dan dendam? Apakah
hanya kau saja yang membencinya? Aku… aku lebih sakit hati terhadap dia, aku
lebih membencinya seperti membenci racun busuk! Dan kesempatan ini, selagi kami
berada berdua di sini, kupergunakan untuk membalas sakit hatiku, sebelum kau
mendahuluiku."
Kwan Cu
tertegun. "Apa maksudmu? Bagaimana kau dapat sakit hati terhadap suami
sendiri?"
"Aku…
aku seorang wanita malang... dahulu aku dipaksa oleh manusia busuk itu menjadi
isterinya. Aku tidak berdaya, orang tuaku dibelinya. Aku... aku tidak suka
padanya, aku benci padanya! Kemudian kau datang, Taihiap. Kau seorang pendekar
besar yang amat kukagumi, yang sudah lama ingin kujumpai, ehhh…, ternyata kau
adalah musuh besar suamiku. Ternyata kau pun sudah dibikin sakit hati oleh
manusia jahanam itu! Tidak itu saja, permusuhannya denganmu berarti menyeret
aku pula ke dalam permusuhan ini, permusuhan dengan seorang pendekar pujaanku.
Aku tidak tahan lagi, aku mengusulkan supaya dia dan aku menantangmu di sini
dan dalam keadaan berdua saja ini, kugunakan kesempatan untuk membalas dendam.
Karena itulah kubunuh dia!"
Wi Wi Toanio
menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah mayat yang kini tinggal
kelihatan kaki sebatas lutut saja, lalu menangis lagi.
Kwan Cu
merasa tertarik sekali, tidak hanya tertarik oleh penuturan ini, namun terutama
sekali tertarik oleh kecantikan Wi Wi Toanio, oleh olah bicaranya yang demikian
menarik, demikian manis sehingga pemuda ini seperti mabuk.
Baru saja
Kwan Cu mengalami patah hati karena Sui Ceng. Hati mudanya haus akan sifat
lemah lembut seorang wanita, haus akan kasih sayang seorang wanita, terlebih
lagi setelah dia digagalkan dalam cinta kasih pertamanya dengan Sui Ceng.
Melihat Wi
Wi Toanio, timbul kasihan di dalam hatinya. Alangkah malangnya nasib wanita
ini, wanita yang secantik ini, seperti bidadari!
Wi Wi Toanio
bukanlah seorang wanita luar biasa kalau dia tidak dapat membaca pikiran Kwan
Cu dari sinar matanya. Tiba-tiba dia makin terisak dan dipegangnya kedua tangan
Kwan Cu sambil berlutut di depan pemuda itu!
"Lu-taihiap,
setelah membunuh An Kai Seng, aku... aku yang sebatang kara ini sudah lama
mengagumi Taihiap. Sudilah Taihiap menerima perasaan hatiku... biar sampai mati
aku Wi Wi seorang sengsara takkan merasa penasaran. Jangan takut, Taihiap,
perkara pembunuh Kai Seng ini tentu semua orang mengira bahwa taihiap yang
melakukannya, akan tetapi selama aku berada di sampingmu, tidak seorang pun
berani mengganggumu. Aku akan mengatakan bahwa Kai Seng tewas dalam pertempuran
yang jujur. Dan kau boleh berdiam di gedungku, Taihiap. Atau, apa bila Taihiap
menghendaki, aku juga rela meninggalkan gedung itu untuk mengikutimu merantau.
Sampai mati aku ingin berada di sampingmu, Taihiap."
Mendengar
kata-kata yang diucapkan dengan suara merayu-rayu ini, luluh hati Kwan Cu.
Musuh besarnya sudah tewas, dan dia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan
wanita ini, bahkan wanita ini pun menjadi korban dari musuh besarnya.
Suara yang
merdu merayu ini, wajah yang cantik jelita, tangan halus yang memegangi
tangannya, semua ini terlampau kuat dan berpengaruh bagi batin Kwan Cu yang
biar pun amat kuat akan tetapi masih hijau dalam menghadapi wanita. Hampir saja
dia memeluk wanita yang sudah menyerahkan diri dan nasib kepadanya.
Akan tetapi
rasa jengah membuat dia membetot tangannya dan cepat melompat mundur. Wajahnya
sebentar merah sebentar pucat. Belum pernah dia menghadapi wanita yang
terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya, apa lagi seorang wanita
secantik Wi Wi Toanio.
Hatinya yang
kosong dan kecewa karena kegagalan cinta kasihnya terhadap Sui Ceng menuntut
isi. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini melemparkan diri ke dalam hatinya!
"Jangan...,"
suaranya gemetar dan berbisik, "jangan begitu Wi Wi Toanio..., ini… ini
tidak baik...," katanya dan dia merasa heran sendiri karena napasnya
menjadi terengah-engah dan tubuhnya lemas.
"Mengapa
tidak baik?" Wi Wi Toanio bangun berdiri dan kembali dia memegangi kedua
tangan pemuda itu. "Kita sama-sama bernasib malang, dan aku... aku juga
rela menjadi muridmu, menjadi bujangmu... asal saja kau menerima perasaan
hatiku, Lu-taihiap...”
Bayangan
wajah wanita-wanita yang pernah mendekati hatinya terbayang di depan mata Kwan
Cu. Pek-cilan Thio Loan Eng, Liyani gadis raksasa, Malita dan Malika dua gadis
katai, Gouw Kui Lan. Akan tetapi tidak ada yang secantik Wi Wi Toanio, tidak
ada yang demikian menariknya, bahkan melebihi Sui Ceng. Tidak ada pula di
antara mereka yang menyatakan cinta kasih sebulatnya seperti Wi Wi Toanio.
"Jangan...,
biarkan aku pergi saja!" Hati nurani Kwan Cu masih memberontak dan sekali
renggut dia melepaskan diri, lalu melompat dan hendak lari pergi, lari dari
tempat yang dianggapnya amat asing, amat berbahaya namun yang mendebarkan
hatinya ini.
"Kau
kejam, Lu-taihiap. Kalau begitu, biarlah aku Wi Wi yang malang nasibnya binasa
di saat ini juga!" sambil berkata demikian, wanita muda yang cantik jelita
itu melompat ke dalam rawa di mana suaminya kini hanya kelihatan sepasang kaki
sebatas lutut saja.
Kwan Cu
belum pergi terlalu jauh, tentu saja pendengarannya yang luar biasa tajamnya
itu dapat mendengar suara tubuh wanita itu terjatuh ke dalam lumpur berair.
"Wi
Wi...!" teriaknya dengan muka pucat dan dia cepat melompat ke pinggir
rawa.
Dilihatnya
Wi Wi sudah tenggelam sampai ke pinggangnya, di dekat mayat suaminya itu! Muka
wanita itu memandangnya sedemikian rupa sehingga Kwan Cu tak dapat menahan
hatinya lagi.
"Wi
Wi..., kau bertahan dulu, aku akan menolongmu..."
"Kalau
kau meloncat ke sini, kita berdua akan mati, Taihiap."
"Tunggu,
aku akan mencari akal."
"Tidak
usah kau menolongku, hidup juga percuma saja. Kalau kau tidak mau menerima
perasaan hatiku, aku tidak mau ditolong!"
Kwan Cu tak
mau menjawab lagi, hatinya ngeri melihat betapa tubuh wanita itu melesak makin
dalam, sekarang lumpur telah mengisapnya sampai ke dada. Bagaimana ia dapat
menolongnya? Biar pun kepandaiannya tinggi, akan tetapi kalau dia melompat ke
dalam rawa, dia pun akan terisap oleh lumpur itu dan tidak berdaya.
Tiba-tiba
dia mendapat akal. Didorongnya sebatang pohon sehingga roboh dan batang pohon
ini dia lemparkan ke dalam rawa di dekat Wi Wi Toanio. Air memercik ke atas
hingga membasahi seluruh muka wanita yang kini kelihatan lemas. Isapan lumpur
sudah rnenyesakkan dada dan membuat ia hampir tak dapat bernapas.
"Taihiap...
Aku… aku mati... selamat tinggal...," katanya lemah.
"Wi Wi,
tahankan, aku akan menolongmu!”
“Percuma...,"
kata Wi Wi Toanio dan kini ia semakin tenggelam sampai ke leher.
"Wi Wi,
pegang cabang pohon itu!"
"Tidak,
biar aku... mati...”
“Jangan, Wi
Wi... aku kasihan padamu, aku akan menolongmu."
"Katakan,
kau cinta padaku atau tidak?"
Kwan Cu
tertegun, mukanya merah sekali dan dadanya berdebar.
"Katakan,
Kwan Cu, sebelum lumpur ini memasuki mulutku, memasuki telingaku..."
Kwan Cu
melihat betapa sekarang air sudah sampai ke dagu wanita itu, maka secara
setengah terpaksa dan dengan suara gemetar dia menjawab, "Aku... cinta
padamu, Wi Wi."
Setelah
berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi Kwan Cu segera melayang turun ke
dalam rawa itu. Kakinya menotol batang pohon yang tadi dilemparnya, dan dengan
mengerahkan ginkang-nya agar batang itu tidak bergerak seperti dihinggapi oleh
seekor burung saja, tangannya menyambar baju di pundak Wi Wi Toanio.
"Brettt!"
Baju robek akan tetapi tubuh Wi Wi Toanio telah terbetot sedikit sehingga kini
air hanya sampai di pundaknya.
"Keluarkan
lenganmu dari lumpur itu!" kata Kwan Cu yang cepat mengimbangi tubuhnya
karena batang pohon itu bergoyang-goyang.
Wi Wi Toanio
menggerakkan tangannya dan tangan kirinya dapat terlepas dari isapan lumpur.
"Hati-hati,
aku akan menarikmu keluar!" kata Kwan Cu lagi.
Dia cepat
menyambar pergelangan tangan wanita itu, lalu dengan pengerahan tenaga lweekang
yang hebat, dia dapat melawan isapan lumpur dan sedikit demi sedikit tertarik
keluarlah tubuh Wi Wi Toanio dari bawah permukaan air. Kini tangan kanan Wi Wi
Toanio merangkul pinggang Kwan Cu dan dia membantu pemuda ini menarik dirinya.
Gerakan ini
sebetulnya tidak perlu, karena kalau dia diam saja, Kwan Cu akhirnya tetap akan
dapat menariknya keluar. Bahkan dengan gerakan ini Wi Wi Toanio sudah merusak
keseimbangan tubuh Kwan Cu sehingga ketika batang pohon itu bergoyang-goyang,
dia tidak dapat menahan diri lagi sehingga keduanya terpeleset dan... tercebur
ke dalam air!
"Celaka
!" Wi Wi Toanio menjerit.
Akan tetapi
dengan tenang Kwan Cu lalu menyambar cabang pohon dan sekali menarik dirinya,
dia telah berdiri kembali di atas batang pohon.
Ia segera
menangkap tangan Wi Wi Toanio lagi dan menariknya kuat-kuat. Ia berhasil! Kini
Wi Wi Toanio dengan pakaian basah dan kotor, berdiri di atas batang pohon
dengan menggigil, mendekap pinggang Kwan Cu yang pakaiannya juga basah dan
kotor.
Tiba-tiba Wi
Wi Toanio mengeluh panjang dan dia pingsan di dalam pelukan Kwan Cu. Pemuda ini
terkejut dan setelah memeriksa ketukan nadi, tahulah dia bahwa wanita ini
pingsan karena mengerahkan lweekang-nya sendiri.
Tadi di
dalam lumpur, kalau Wi Wi Toanio tidak mengerahkan lweekang sekuatnya, tentu
tubuhnya telah terisap semua dan dadanya terhimpit lumpur sampai tak dapat
bernapas. Dan kini setelah terbebas, jalan darahnya langsung lancar kembali dan
ini mendatangkan goncangan kepada jantungnya, terutama karena baru saja dia
mengalami kekhawatiran hebat!
Kwan Cu lalu
memanggul tubuh wanita itu dan melompat ke darat. Akan tetapi, ketika dia
meloncat ke darat, batang pohon itu bergerak sehingga lenyaplah sebagian besar
tenaga loncatannya. Hal ini karena sekarang ia memanggul tubuh Wi Wi Toanio dan
pula batang pohon itu mengambang di atas air, maka amat mudah bergoyang.
Kwan Cu
tidak berhasil melompat sampai ke darat, melainkan jatuh lagi ke dalam rawa!
Baiknya dia terjatuh di bagian pinggir, di mana lumpur terdapat tanah keras
sehingga dia selamat. Dengan tubuh Wi Wi Toanio di atas pundaknya, Kwan Cu
berjalan naik dengan memegang dahan-dahan pohon sebagai bantuan. Akhirnya dia
selamat sampai di darat dan Wi Wi Toanio mengeluh panjang, tanda siuman kembali
dari pingsannya.
Begitu
membuka mata, wanita ini segera menubruk dan memeluk leher Kwan Cu sambil
menangis terisak-isak. Kwan Cu memandang wajah wanita itu, kemudian sambil
tertawa dia berkata,
"Jangan
kau menangis, bukankah kita sudah selamat? Lihat, mukamu dan mukaku serta
pakaian kita penuh lumpur!"
Wi Wi Toanio
mengangkat mukanya, dan wajahnya yang cantik manis tersenyum geli di antara air
matanya.
"Mari
kita mencuci pakaian kita," katanya. "Di tengah hutan ini terdapat
sumber air, biar aku yang akan mencuci pakaianmu."
"Apakah
kau tidak lebih baik pulang dan berganti pakaian? Aku… aku…"
Akan tetapi
Wi Wi Toanio tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak membantah, karena
wanita ini sudah memegang tangannya dan menariknya ke tengah hutan. Kwan Cu
hanya menurut saja.
Dengan
bujukan-bujukan, rayuan-rayuan dan tipu muslihat yang semenjak jaman purba
dimiliki oleh pihak wanita untuk merobohkan hati pria yang bagaimana kuat pun,
Wi Wi Toanio berhasil membikin Kwan Cu bertekuk lutut!
Pemuda yang
masih hijau ini akhirnya jatuh dalam perangkap, roboh di bawah pengaruh Wi Wi
Toanio yang memang amat cantik lahirnya, akan tetapi amat kotor batinnya itu.
Kwan Cu mengalami pengalaman yang membuat dirinya seolah-olah sudah buta dan
tuli, membuat dia seperti menjadi seekor domba yang lunak dan jinak, yang
menuruti segala kehendak dan kemauan Wi Wi Toanio yang amat pandai mengambil
hati.
Sampai tiga
hari mereka berada di tengah hutan, akhirnya mereka bermufakat untuk mengadakan
pertemuan di hutan itu setiap hari. Kemudian, barulah Wi Wi Toanio pulang ke
kota An-keng dan Kwan Cu juga kembali ke rumah penginapan. Pemuda ini berani
kembali ke kota karena Wi Wi Toanio menanggung bahwa tidak akan ada yang berani
mengganggu dirinya.
Benar saja,
ketika Kwan Cu tiba di hotel, pengurus hotel berlaku amat hormat dan manis
kepadanya, dan dia memuji kekasihnya yang ternyata tidak berkata bohong. Wanita
itu yang sudah pulang terlebih dulu agaknya sudah mengatur segala-galanya,
bahkan untuk makannya, pengurus hotel menyediakannya dengan hidangan-hidangan
istimewa.
***************
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah pergi ke hutan itu. Semalam
dia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan Wi Wi Toanio. Ia merasakan
kebahagiaan yang luar biasa dan diam-diam dia harus mengakui bahwa meski pun
perbuatannya itu tidak tahu malu, namun bagaimana lagi karena dia telah jatuh
cinta kepada Wi Wi Toanio.
Dia mencinta
wanita itu dengan seluruh jiwa raganya. Perasaan cinta kasihnya terhadap
wanita-wanita lain, juga terhadap Bun Sui Ceng berubah menjadi cinta kasih
terhadap Wi Wi Toanio. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Wi Wi Toanio sedang
mempermainkannya, dan dia hanya mengira bahwa Wi Wi Toanio benar-benar cinta
kepadanya dengan suci murni!
Dia segera
membuat rencana dalam hidupnya yang akan datang. Wi Wi Toanio sudah menyatakan
hendak ikut pergi dengan dia, hendak menjadi suami isteri sampai tua dan hidup
penuh kebahagiaan serta melupakan segala hal yang sudah lalu.
Bahkan Wi Wi
Toanio tidak merasa keberatan untuk pergi ikut dengan dia tinggal di pulau
kosong, yaitu Pulau Pek-hio-to di mana dia telah mempelajari ilmu silat dari
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Wanita itu bahkan menyatakan hendak ikut pula
mempelajari ilmu ini dari Kwan Cu, dan keduanya hendak memperdalam ilmunya di
pulau itu, jauh dari dunia ramai, hidup berdua penuh cinta kasih.
Wi Wi Toanio
pulang lebih dulu karena harus membersihkan nama, harus menyatakan kepada dunia
ramai bahwa Kai Seng telah meninggal dunia karena terjerumus ke dalam lumpur.
Setelah itu, barulah mereka dapat menjadi suami isteri yang sah, karena sebagai
seorang janda, Wi Wi Toanio berhak menikah lagi dengan pria pilihannya.
Bagi
orang-orang biasa, tentu saja hal ini merupakan hal yang tidak masuk di akal.
Tidak ada seorang janda yang menikah lagi. Akan tetapi Wi Wi Toanio bukanlah
wanita biasa. Dia dapat dianggap sebagai seorang wanita gagah di dunia kang-ouw
yang tidak kukuh mempertahankan tradisi lama, maka tentang perkawinan lagi dari
seorang janda bukan apa-apa lagi.
Sebelum Kwan
Cu berangkat ke hutan, pengurus hotel menemuinya sambil membawa sebungkus
barang.
"Taihiap,
perkumpulan orang-orang hartawan di kota ini yang mendengar bahwa Taihiap
adalah seorang gagah yang amat terkenal, telah mengirim barang-barang sebagai
tanda penghormatan. Harap Taihiap suka menerimanya."
Kwan Cu
terheran, akan tetapi dia menerima bungkusan itu dan membukanya. Alangkah
kagetnya ketika dia melihat sejumlah barang-barang perhiasan yang indah-indah,
terbuat dari pada emas dan permata, juga terdapat pula potongan-potongan uang
emas.
"Ahh,
bagaimana aku dapat menerima sumbangan sebanyak ini? Aku tidak mengenal mereka.
Harap Lopek mengembalikan saja.”
"Jangan
begitu, Lu-taihiap. Penolakan tentu akan mendatangkan rasa tidak enak dan malu.
Harap Taihiap menerimanya, biar pun tidak semua."
Kwan Cu
menganggap bahwa kata-kata ini ada betulnya juga. Pula, dia memang amat
tertarik melihat benda-benda ini, karena alangkah senangnya apa bila dia bisa
memberi ‘hadiah’ kepada kekasihnya. Dia lalu mengambil sebatang tusuk konde
yang terbuat dari pada perak yang berukirkan atau berbentuk naga indah sekali
dan bermata intan.
"Biarlah
aku mengambil tanda mata ini saja. Selebihnya harap kau kembalikan, diiringkan
ucapan terima kasihku."
Demikianlah,
dengan tusuk konde itu di dalam sakunya, dia pergi ke hutan. Dia melihat
kekasihnya sudah berada di situ dan tanpa banyak cakap lagi mereka kemudian
saling berpelukan dengan mesra.
"Aku
tunggu-tunggu kau setengah mati. Aku gelisah kalau-kalau secara diam-diam kau
sudah meninggalkan aku," kata Wi Wi Toanio dengan sikap manja.
"Mengapa
kau khawatir kutinggalkan? Demikian besarkah cintamu kepadaku, Wi Wi?"
Wi Wi Toanio
menjatuhkan kepala di atas dada pemuda itu. "Aku akan bunuh diri kalau kau
tinggalkan, kekasihku."
Kwan Cu
tersenyum bangga. Hatinya sebesar gunung dan dia merasa amat berbahagia.
Diambilnya tusuk konde yang tadi dia terima dari sumbangan para hartawan,
kemudian diperlihatkan kepada Wi Wi Toanio.
"Wi Wi,
lihat, aku membawa hadiah untukmu."
Wi Wi Toanio
pura-pura memandang dengan penuh kekaguman. Padahal ‘sumbangan’ tadi sebetulnya
adalah dia sendiri yang menyuruh pengurus hotel mengantarkan kepada Kwan Cu
dengan maksud dan siasat tertentu.
"Pasangkan
pada rambutku, Koko," katanya dengan suara mesra.
Kwan Cu
memasang tusuk konde itu pada rambut Wi Wi Toanio yang hitam panjang dan halus
serta berbau harum itu.
"Koko,
apakah artinya tanda mata ini? Apakah sekedar untuk penghias rambut?"
"Tentu
saja, habis apa lagi kegunaannya?" tanya Kwan Cu.
"Apa
benar kau mencintaku seperti aku mencintamu, Koko? Mencinta dengan sepenuh jiwa
ragamu?"
"Wi Wi,
apakah kau masih bersangsi lagi? Lu Kwan Cu adalah orang gagah yang selalu
memegang teguh janjinya."
"Kalau
begitu, berjanjilah bahwa kau akan menuruti segala kemauanku, Koko."
Tanpa
bersangsi-sangsi lagi, sambil memeluk tubuh itu erat-erat, Kwan Cu berbisik.
"Aku bersumpah untuk menuruti segala kehendakmu, kekasihku. Biar tusuk
konde naga perak ini menjadi saksi."
"Bagus!
Girang sekali hatiku!"
Kegirangan
Wi Wi Toanio benar-benar besar dan luar biasa. Sepasang matanya yang indah
laksana mata burung hong itu bersinar-sinar, mukanya berseri-seri, akan tetapi
di balik seri mukanya ini terbayang kekejaman yang hebat bukan main.
Tiba-tiba
Kwan Cu melompat ke belakang dan bajunya pada lambung kiri berdarah. Kulit
lambungnya terluka sedikit ketika dia melompat tadi karena Wi Wi Toanio telah
menusuk lambungnya dengan tusuk konde yang dicabutnya perlahan-lahan.
Kwan Cu
membelalakkan matanya, memandang wajah cantik yang tersenyum itu.
"Wi
Wi... kau..." Akan tetapi kata-katanya ini dia hentikan dan secepat kilat
tubuhnya melompat ke kanan.
Ia mendengar
gerakan orang di balik rumpun dan sekali dia melompat, dia melihat orang itu
hendak melarikan diri. Dengan gerakan kakinya, Kwan Cu dapat menendang bagian
belakang lutut orang itu dengan cepat sehingga orang itu tidak sempat mengelak
lagi, segera roboh terguling.
Kwan Cu
menubruk maju dan menotok jalan darah orang itu. Ketika dia melihat wajah orang
itu, tiba-tiba Kwan Cu menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Tak terasa
lagi dia mundur tiga tindak. la melihat bahwa orang ini bukan lain adalah An
Kai Seng.
“Kau... An
Kai Seng...??”
An Kai Seng
yang tidak jadi tertotok, bangkit duduk karena sambungan lututnya sudah
terlepas. Dia menyeringai dan berkata mengejek,
"Memang
aku An Kai Seng dan kau adalah pendekar besar Lu Kwan Cu yang telah main gila
dengan isteri orang lain. Cih, manusia macam kau ini hidup juga hanya
mengotorkan dunia. Bunuhlah aku kalau kau hendak bunuh, lebih baik mati dari
pada hidup dengan nama busuk!"
Kwan Cu
merasa seakan-akan dunia ini kiamat. Dia menoleh dan melihat Wi Wi Toanio
memandangnya dengan mata menyatakan kemenangan besar! Tiba-tiba saja Kwan Cu
menjadi mata gelap. Segera dicabutnya Liong-coan-kiam dan dia hendak mencincang
tubuh musuh besarnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan Wi Wi Toanio.
"Lu
Kwan Cu, tahan senjatamu!"
Suara yang
lunak dan halus ini memang amat besar pengaruhnya terhadap Kwan Cu. Tanpa
terasa lagi, dia kembali menurunkan pedangnya.
Wi Wi Toanio
melompat ke tempat itu sambil memegang tusuk kondenya yang tadi gagal membunuh
Kwan Cu.
"Kwan
Cu, lupakah kau akan sumpahmu tadi? Aku menghendaki agar kau mengampuni Kai
Seng dan selamanya kau tidak boleh membunuhnya! Lihatlah, tusuk konde ini yang
menjadi saksi akan sumpahmu. Kau harus mentaati segala kehendakku!"
Kwan Cu
menjadi makin pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa semua ini adalah tipu
muslihat dari Wi Wi Toanio. Selama ini An Kai Seng memang masih hidup, dan yang
didorong masuk ke dalam rawa-rawa sampai mati mungkin hanyalah salah seorang
kaki tangan mereka yang sengaja dikorbankan untuk siasat ini! Jadi selama ini
Kai Seng tahu bahwa isterinya sengaja menjual diri kepada Kwan Cu dan selama
itu mungkin sekali Kai Seng bersembunyi di dalam hutan, mengintai semua
perbuatannya!
"Kau...
kau merencanakan tipu busuk ini…”
Wi Wi Toanio
mengangguk. "Kau terlalu lihai untuk dilawan dengan senjata,"
jawabnya sederhana.
Kwan Cu
tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang gagah dia harus memegang
teguh sumpahnya. Selamanya dia tidak dapat membunuh Kai Seng kalau Wi Wi Toanio
tidak menghendakinya.
"Kwan
Cu, berjanjilah bahwa kau tak akan membunuh Kai Seng," kata pula Wi Wi
Toanio dan suara yang biasanya terdengar mesra itu kini terdengar oleh Kwan Cu
seperti suara setan.
"Baik,
baik, aku menyerah kalah."
Dan
akhirnya, sambil mengeluarkan teriakan setengah tertawa dan setengah menangis,
pendekar muda yang sakti ini lalu berkelebat dan lenyap dari situ!
Kai Seng
memeluk isterinya. "Wi Wi, aku berhutang nyawa kepadamu. Kau benar-benar
seorang isteri yang setia!"
Biar pun
mulutnya berkata demikian, namun di dalam perutnya Kai Seng merasa panas sekali
kalau dia mengingat akan cara bagaimana isterinya menyelamatkan nyawanya. Dia
merasa amat sakit hati kepada Lu Kwan Cu.
Wi Wi Toanio
tahu akan isi hati suaminya, maka ia menghiburnya, "Jangan kau kecewa.
Biarlah perlahan-lahan kita mencari Kwan Cu dan dengan pengaruh tusuk konde
itu, kita akan dapat membunuhnya kalau dia bertemu dengan kita lagi."
Akan tetapi
usaha suami isteri yang curang ini selalu gagal.
Di dunia
kang-ouw tidak pernah terdengar nama Lu Kwan Cu lagi, yang ada hanyalah Bu Pun
Su (Tidak Ada Kepandaian). Semenjak munculnya pendekar yang berjuluk Bu Pun Su,
dunia kangouw tergoncang hebat.
Dan Bu Pun
Su ini bukan lain adalah pemuda Lu Kwan Cu yang menderita pukulan hebat sekali
seperti orang gila, namun dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar
penolong mereka yang sengsara.
T A M A T
Serial Selanjutnya :
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment