Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 28
LUI KONG
NIKOUW mengeluarkan, suara jengekan. "Huhh, siapa percaya mulut laki-laki?
Mengganggu atau tidak, kau sudah mengalahkan muridku yang berarti penghinaan
besar bagi nama Thian-san-pai, maka sekarang pinni sengaja menunggumu di sini
untuk minta pengajaran darimu."
"Nanti
dulu, Lui Kong Nikouw!" kata Bu Kek Sian, "Pertandinganmu melawan
Lu-taihiap mempunyai dasar permusuhan, maka harus dilakukan nanti sesudah aku
mencoba dulu kepandaiannya. Jauh-jauh aku datang dari Go-bi karena tertarik
mendengar kegagahan Lu-taihiap, maka biarlah aku yang hendak minta petunjuk
lebih dulu."
"Betul!
Demikian pula pinceng, karena murid Siauw-lim-pai tidak akan dapat melewatkan
kesempatan bagus menerima petunjuk dari orang pandai!" menyambung Kong
Seng Kak Hwesio.
Sambil
tersenyum Kwan Cu menoleh kepada Lai Siang Pok dan berkata, "Dan
Lai-enghiong ini tentunya hendak membalaskan kematian gurunya, bukan?"
Dengan muka
kemalu-maluan pemuda itu menjawab. "Sudah menjadi kewajiban seorang murid
untuk berusaha membalas pembunuh gurunya. Akan tetapi karena kepandaianku
sangat terbatas, biarlah siauwte minta pengajaran paling akhir saja."
Bu Kek Sian
si kakek kecil bongkok tertawa terkekeh-kekeh dan melompat maju. Tangan
kanannya telah mengeluarkan sebuah rantai baja yang panjang, lebih panjang dari
pada tinggi tubuhnya.
"Lu-taihiap,
harap kau tidak terlalu pelit untuk menunjukkan beberapa jurus ilmu silatmu
yang lihai agar lebih terbuka mataku yang sudah agak lamur," sambil
tertawa-tawa kakek bongkok itu berkata.
Walau pun dia
kelihatan lucu dan bicara merendah, akan tetapi di dalam kata-katanya itu
terkandung nada yang sombong. Melihat gerak-gerik orang ini, Kwan Cu merasa
bahwa Sui Ceng saja akan dapat menandinginya.
Semua orang
ini tidak memandang mata kepada Sui Ceng, kecuali Lai Siang Pok, maka diam-diam
Kwan Cu merasa tidak puas. Melihat diri sendiri dipuji-puji dan orang-orang itu
mengesampingkan Sui Ceng, dia merasa bahwa hal ini amat merendahkan derajat
gadis itu. Sambil tersenyum, dia melirik ke arah Sui Ceng dan berkata,
"Sui
Ceng, Lo-enghiong dari Go-bi ini pandai menggunakan sabuknya dan melihat sabuk
yang hebat ini hatiku sudah gentar sekali. Kau pernah mempelajari ilmu mainkan
sabuk, sukakah kau sedikit mengeluarkan tenaga membagi tugas yang berat
menghadapi para orang gagah ini?"
Kwan Cu
sengaja hendak memberi kesempatan kepada Sui Ceng untuk memperlihatkan
kepandaiannya menghadapi orang sombong ini, karena memang rantai panjang itu
tadi dilibatkan di pinggangnya seperti sabuk.
Sui Ceng
mengerti kehendak Kwan Cu. Memang nona ini sudah merasa dongkol sekali. Ia
diperkenalkan sebagai murid Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi orang-orang itu kecuali
Siang Pok, tidak mempedulikannya. Bukankah itu sama halnya dengan tidak
memandang mata kepada gurunya?
Sebenarnya
bukan demikian. Orang-orang ini tentu saja sudah mendengar nama besar Kiu-bwe
Coa-li sebagai tokoh yang mempunyai kepandaian mengagumkan. Akan tetapi
kejadian di puncak Tai-hang-san itu telah terdengar oleh mereka dan mereka tahu
bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian sudah kalah oleh fihak Kiam Ki Sianjin,
maka mereka tak begitu menaruh perhatian lagi.
"Kalau
saja tokoh besar yang perkasa dari Go-bi-pai ini tidak menganggap terlalu
rendah untuk menghadapiku, tentu saja aku mau mewakili kau," jawab Sui
Ceng.
Kwan Cu
menghadapi Bu Kek Sian dan berkata, "Bu Kek Sian Lo-enghiong. Pihak yang
hendak mengujiku ada empat orang dan kalau aku hanya maju seorang diri, itu
tidak adil namanya. Juga kurang memandang mata kepada nona ini sebagai murid
Kiu-bwe Coa-li. Hanya yang meragukan hatiku, apakah ada yang berani menghadapi
murid dari Kiu-bwe Coa-li?"
Bu Kek Sian
terkekeh. "Siapakah yang belum mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li? Tentu
saja aku tidak berani memandang rendah, akan tetapi setelah aku melayani nona
ini beberapa jurus, aku masih mengharapkan sedikit petunjuk darimu."
Kata-kata
ini saja telah menunjukkan kesombongan Bu Kek Sian, sebab dengan ucapan ini
seakan-akan dia mau menyatakan bahwa dalam beberapa jurus saja dia pasti akan
dapat mengalahkan nona muda ini. Kalau dia menganggap bahwa dia tidak akan
mampu mengalahkan dan sebaliknya dia yang akan kalah, tentu saja orang yang
sudah kalah tidak berani maju lagi!
Sui Ceng
menjadi panas perutnya. Tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sinar merah
berkelebat pada waktu dia sudah meloloskan ang-kin (sabuk merah) yang melibat
pada pinggangnya.
"Bu Kek
Sian Lo-sicu, marilah kita mengadu senjata," tantangnya.
Bu Kek Sian
terkejut dan heran sekali. Benar-benarkah nona ini akan menghadapi rantai
bajanya dengan sehelai sabuk sutera? Akan tetapi dia pun bukanlah seorang yang
tidak dapat mempergunakan pikirannya. Kalau seorang lawan sudah berani berlaku
demikian berani, tentulah lawan itu memiliki kepandaian yang tinggi. Pula, nona
ini menggunakan sabuk sutera atas kehendaknya sendiri, maka sangat kebetulan
sehingga dia tidak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
"Baiklah,
kau sambut seranganku, Nona!"
Bu Kek Sian
lalu menggerakkan tangannya. Rantai baja itu meluncur dengan lengkungan lebar
menyerang kepala Sui Ceng. Gadis ini merendahkan tubuhnya kemudian mengelak ke
kiri karena ia tahu bahwa setelah luput menghantam kepala, rantai yang panjang
itu ujungnya masih akan menghantam tubuh bagian lain.
Benar saja
dugaannya. Ujung rantai itu melayang lantas dari pinggir menotok ke arah
iganya. Sambil mengelak cepat, sabuk merah meluncur bagaikan ular merah yang
hidup, gerakannya tak terduga dan berlenggang-lenggong, cepat menotok ke arah
leher tokoh Go-bi-pai itu.
Bu Kek Sian
kagum melihat gerakan nona yang cepat ini. Ia segera menyendal rantainya
sehingga ujung rantai yang tak berhasil menotok iga, tiba-tiba tertarik kembali
dan cepat menyambar ke arah sabuk merah. Bu Kek Sian sengaja mengerahkan
tenaganya agar supaya sabuk merah itu akan terbetot putus oleh rantai bajanya.
Akan tetapi,
sabuk merah itu bergerak memecut dan terdengarlah suara geletar dua kali
seperti bunyi cambuk seorang penggembala sapi. Kemudian ujung sabuk merah yang
terbentur rantai itu melayang kembali dan dengan lengkungan yang amat manis,
ujung sabuk ini menotok ke arah jalan darah Im-yang-hiat yang berada di ulu
hati kakek ini.
Bu Kek Sian
mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melempar dirinya ke belakang. Bukan
main hebatnya serangan itu dan alangkah ganasnya! Baru menggunakan sehelai
sabuk saja, gadis ini sudah sedemikian lihainya, apa lagi gurunya, Kiu-bwe
Coa-li yang mempergunakan pecut dengan sembilan ekornya! Bu Kek Sian menjadi
hati-hati sekali dan kini dia memutar rantainya cepat sekali untuk mendesak Sui
Ceng.
Akan tetapi,
Sui Ceng merupakan murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja dalam hal
kesaktian ia telah mewarisi kepandaian gurunya. Karena itu, dengan mudah ia
dapat mengimbangi gerakan senjata lawan, bahkan ia kini bergerak demikian
cepatnya hingga tubuhnya lenyap dan yang kelihatan hanyalah bayangannya saja
yang didahului dengan berkelebatnya sinar merah dari sabuk suteranya.
Beberapa
jurus kemudian, terdengar suara rantai terlepas di atas tanah dan Bu Kek Sian
melompat mundur dengan muka pucat. Sambungan sikunya telah terkena totokan
ujung sabuk yang menyebabkan tangannya lumpuh dan rantainya terlepas.
Kakek ini
memandang kepada Sui Ceng dengan mata terbuka lebar-lebar, kemudian dia menepuk
kepalanya sendiri sambil mengomel,
"Aku Bu
Kek Sian sungguh manusia tidak berguna! Bagaimana masih berani menantang
Lu-taihiap? Bagaimana mataku buta tidak melihat bahwa murid Kiu-bwe Coa-li
demikian hebatnya?"
Melihat
kekalahan Bu Kek Sian oleh nona muda yang cantik itu, Kong Seng Kak Hwesio
kagum sekali. Dia melompat maju dengan tangan memegang sebatang toya hitam dan
berkata gembira,
"Benar-benar
menyenangkan sekali hari ini pinceng bertemu dengan orang-orang muda yang
lihai. Bagus, bagus, biar pinceng menerima beberapa jurus untuk menambah bekal
membasmi iblis penjajah!"
Melihat
gerakan hwesio Siauw-lim-pai ini, Kwan Cu dapat menduga bahwa tentu hwesio ini
berkepandaian tinggi dan tenaganya amat besar. Selain ini, juga seorang patriot
yang gagah perkasa. Oleh karena itu, dia segera maju sendiri, khawatir kalau-kalau
Sui Ceng kesalahan tangan melukai hwesio kosen ini.
"Losuhu,
biarlah boanpwe yang menerima kehormatan ini," katanya dan memberi tanda
dengan mata agar Sui Ceng mundur.
Gadis ini
pun tidak ada nafsu lagi untuk bertempur, karena demikianlah watak Sui Ceng
yakni ia akan makin bersemangat kalau menghadapi lawan-lawan yang tangguh,
namun sebaliknya, kepandaian Bu Kek Sian dianggapnya masih belum cukup tinggi
sehingga ia pun memandang rendah hwesio muka hitam ini.
Kong Seng
Kak Hwesio berseri wajahnya. "Bu Kek Sian Bengyu tak punya peruntungan
baik, berbeda dengan pinceng yang kini mendapat kesempatan belajar satu dua
jurus ilmu silat dari Lu-taihiap." Sambil berkata demikian, toyanya
diputar di atas kepalanya bagaikan kitiran cepatnya, akan tetapi hwesio ini
tidak segera menyerang.
"Mulailah,
Losuhu," kata Kwan Cu.
Sebaliknya
dari menyerang, hwesio muka hitam itu bahkan menurunkan kembali toyanya dan
menggeleng-geleng kepalanya. "Taihiap harap segera mengeluarkan
senjata."
Kwan Cu
semakin kagum melihat hwesio ini. Sudah terang hwesio ini sudah mendengar akan
sepak terjangnya di Tai-hang-san dan juga tahu bahwa dia telah mengalahkan para
tokoh besar, akan tetapi hwesio ini masih merasa tidak adil kalau menghadapi
dia yang bertangan kosong. Timbul rasa sukanya dan dia mendapat kenyataan bahwa
memang jago-jago Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang gagah.
"Kita
hanya hendak mencoba tenaga, berbahaya sekali apa bila bertanding mengunakan
senjata. Apakah tidak lebih baik jika kita menguji tenaga dengan saling
mendorong atau membetot toya itu? Masing-masing boleh berusaha dengan cara
bagaimana pun juga, boleh menonjok atau memukul, pendeknya siapa yang
melepaskan toya atau roboh, dia terhitung kalah."
Kong Seng
Kak Hwesio merasa girang sekali. Memang dia agak jeri menghadapi ilmu silat
pemuda ini yang dikabarkan sangat lihai dan aneh, akan tetapi dalam hal tenaga
gwakang mau pun lweekang, dia sudah terkenal sekali. Masa dia akan dikalahkan
oleh pemuda yang kelihatannya tidak bertenaga besar itu?
Usul yang
diajukan oleh pemuda itu menguntungkan dirinya dan kalau dia bisa menang, mski
pun dalam cara adu tenaga yang sederhana, bukankah namanya akan terangkat
tinggi sekali karena dapat mengalahkan Lu-taihiap yang demikian tersohornya?
Dengan cepat dia segera menerima usul ini.
Kwan Cu
memegang tongkat yang diangsurkan kepadanya. Kedua orang itu memegang ujung
toya dan memasang kuda-kuda.
"Lu-taihiap,
bersiaplah, pinceng mulai!" seru Kong Seng Kak Hwesio.
Dia segera
mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba mendorong toya yang dipegangnya itu dengan
tenaga sepenuhnya. Kwan Cu merasa betapa tenaga hwesio ini memang hebat sekali
dan tahu pula bahwa Kong Seng Kak Hwesio mempergunakan tenaga gwakang, maka dia
lalu menahan dorongan itu dengan pengerahan tenaga lemas sehingga hwesio
Siauw-lim-pai itu merasa seluruh lengannya gemetar.
Tiba-tiba
Kong Seng Kak Hwesio melakukan gerakan membetot secara mendadak dan disentakkan
untuk mencabut toya agar terlepas dari tangan Kwan Cu, atau jika pemuda itu
berusaha menahan, agar tubuh Kwan Cu terbawa ke depan. Akan tetapi kembali dia
kecelik karena sedikit pun pemuda itu tidak bergeming.
Ia tak
menyangka bahwa hanya dengan melihat pundaknya saja, Kwan Cu sudah dapat
mengetahui terlebih dulu gerakan apa yang hendak dia lakukan, maka pemuda itu
dapat berjaga-jaga lebih dulu.
Mendadak
hwesio itu mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya merendah. Lalu, dengan
pengerahan tenaga luar biasa dia mendorong toya ke atas untuk mengangkat tubuh
Kwan Cu atau untuk memaksa pemuda itu melepaskan toya.
Kwan Cu
terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa tenaga gwakang dari lawannya ini
benar-benar besar sekali. Ketika dia melirik ke arah wajah hwesio itu, tahulah
dia bahwa apa bila dia melawan dengan lweekang, maka tak dapat tidak tenaga
gwakang itu akan memukul kembali dan dapat mendatangkan luka pada Kong Seng Kak
Hwesio.
Oleh karena
itu, Kwan Cu mengambil jalan lain. Dia menyimpan tenaganya dan ketika lawannya
menyontekkan toya ke atas, dia menurut saja sehingga tubuhnya terbawa ke atas!
Akan tetapi, biar pun begitu, Kwan Cu masih memegangi ujung toya dan keadaan
tubuhnya masih tetap dalam kuda-kuda seperti tadi.
Tidak hanya
Kong Seng Kak Hwesio, juga yang lain-lain merasa kagum sekali. Hwesio itu
menggerak-gerakkan toyanya dengan tenaga besar, mengobat-abitkan toya dengan
maksud agar pegangan Kwan Cu terlepas, tetapi sia-sia belaka. Agaknya tubuh
pemuda itu sudah menjadi satu dengan toya yang dipegangnya.
Tiba-tiba
saja Kwan Cu berseru nyaring dan kedua kakinya bergerak di udara, tubuhnya
melengkung dan dengan sekali menggenjotkan kaki, dia melompat dengan toya masih
dipegangnya.
Kong Seng
Kak Hwesio merasa betapa tenaga betotan itu luar biasa sekali. Akan tetapi dia
mengerahkan tenaga dan memegangi ujung toya seeratnya. Oleh karena ini toya
yang dipegangnya itu terputar dan tubuhnya ikut terputar-putar.
Kwan Cu
bergerak terus. Dia mengerahkan tenaga dan ginkang-nya sehingga bagaikan seekor
burung yang kakinya diikat tali yang dipegang oleh Kong Seng Kak Hwesio, dia
‘terbang’ mengelilingi hwesio itu.
Sesudah
beberapa belas kali putaran, akhimya Kong Seng Kak Hwesio tidak kuat lagi
menahan. Dia terpaksa melepaskan pegangan toyanya dan meramkan mata mengatur
napas untuk bisa melenyapkan rasa pening di kepalanya. Kemudian dia memberi
hormat kepada Kwan Cu sambil menerima kembali toyanya.
"Aduh,
nama besar Lu-taihiap bukan omong kosong belaka. Pinceng mengaku kalah."
Melihat
betapa dua orang kakek itu sudah dikalahkan oleh Kwan Cu dan Sui Ceng dalam
pertandingan persahabatan dan mendengar pemuda itu dipuji-puji, Lui Kong Nikouw
lalu melompat ke depan Kwan Cu. Sepasang pedang yang berkilauan telah berada di
kedua tangannya.
"Lu
Kwan Cu, mendengar pujian-pujian itu kau menjadi makin sombong dan kepala besar
saja. Marilah kau bersiap menghadapi pinni untuk menebus dosa dan kekurang
ajaranmu terhadap muridku."
"Suthai,
aku tidak hendak mencari permusuhan."
"Jadi
kau bersedia minta maaf dan berjanji tak akan mengganggu muridku lagi?"
"Terhadap
muridmu itu aku tidak akan mengganggu seujung rambutnya. Akan tetapi An Kai
Seng suaminya adalah musuh besarku dan harus kubunuh!"
"Kau
berjanji tidak akan mengganggu muridku, akan tetapi mau membunuh suaminya?
Bagus! Omongan apa ini? Hayo kau keluarkan senjata!"
Walau pun
berkata demikian, namun tanpa menanti orang mencabut senjata, Lui Kong Nikouw
sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Sepasang pedang itu menyerang berbareng
dengan gerakan indah dan cepat dari Ilmu Pedang Thian-san Kiam-hoat, tidak
memberi kesempatan pada lawan untuk melepaskan diri karena segera pedang-pedang
itu mengurung dengan gulungan sinarnya yang berkilauan.
Diam-diam
Sui Ceng sangat kagum melihat keindahan ilmu siang-kiam-hoat ini. Sebagai
seorang wanita yang suka akan segala sesuatu yang indah, dia segera
memperhatikan secara diam-diam dan ingin memetik beberapa bagian yang terindah.
Akan tetapi, ia pun merasa bahwa ia sendiri sanggup menghadapi nikouw itu.
Sebaliknya,
Kwan Cu tetap tidak mau mencabut senjata dan hanya melayani nikouw itu dengan
kedua tangan kosong. la mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana ke mari
dan bahkan ikut berputaran mengimbangi gerakan dua pedang yang amat cepat itu.
Sampai puluhan jurus kedua batang pedang itu belum mampu menyenggol badan Kwan
Cu, bahkan sekarang pemuda itu mulai menggunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na
untuk mencoba merampas pedang lawan.
Ilmu Silat
Kong-ciak Sin-na memang lihai sekali dan juga belum pernah muncul di dunia
kang-ouw, maka ilmu ini sama sekali tidak dikenal oleh Lui Kong Nikouw. Hanya
dalam beberapa gebrakan saja, pedang di tangan kirinya sudah kena dirampas oleh
Kwan Cu.
Nikouw itu
hanya merasa jari tangan kirinya menggigil dan tahu-tahu pedangnya lenyap
berpindah ke tangan Kwan Cu. la terkejut bukan main dan cepat berseru,
"Suheng, mengapa kau tidak lekas-lekas membantuku? Marilah kita membalas
sakit hati suhu!"
Kwan Cu
merasa terheran-heran karena semenjak tadi dia tidak pernah melihat suheng
(kakak seperguruan) dari nikouw ini. Keheranannya bertambah ketika tiba-tiba
berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat yang aneh gerakannya sudah
menyerangnya dari samping.
Ketika dia
menengok, ternyata olehnya bahwa yang menyerangnya dengan sebatang tongkat itu
bukan lain adalah pemuda bemama Lai Siang Pok tadi. Kalau saja dia tidak sedang
diancam oleh tongkat dan pedang kanan nikouw, tentu Kwan Cu akan berdiri
bagaikan patung saking herannya. Bagaimana seorang pemuda yang baru berusia dua
puluhan tahun disebut kakak seperguruan oleh nikouw tua ini?
Akan tetapi
kenyataannya memang demikian. Seperti diketahui, Lai Siang Pok adalah murid
dari Hek-i Hui-mo dan pemuda ini dapat mewarisi ilmu tongkat yang tinggi dari
Hek-i Hui-mo karena dia pun ikut menghafal bunyi isi kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang palsu. Kemudian gurunya itu bertemu dengan Lui Kong Nikouw dan
diam-diam di antara dua orang pendeta tua ini terdapat hubungan yang tidak
bersih.
Untuk
menutupi rahasia ini, Lui Kong Nikouw yang menjadi seorang tokoh Thian-san-pai
yang tersesat dan tidak diakui oleh partai Thian-san lagi, diaku murid oleh
Hek-i Hui-mo. Karena sebagai murid baru, tentu saja menurut peraturan dia harus
menyebut suheng kepada Siang Pok.
Hal ini pun
dilakukan oleh Lui Kong Nikouw dengan girang, karena dia bekas wanita genit sekali.
Tentu saja dia merasa senang menyebut seorang pemuda ganteng sebagai kakak
seperguruannya, walau pun pemuda itu lebih patut menjadi cucunya! Akan tetapi
dasar kepandaian Lui Kong Nikouw adalah dasar ilmu silat Thian-san-pai,
sedangkan dari Hek-i Hui-mo ia hanya menerima beberapa macam ilmu pukulan saja.
Lai Siang
Pok adalah seorang pemuda pendiam, maka dia melakukan serangan tanpa
mengeluarkan sepatah pun kata. Akan tetapi pada waktu Kwan Cu menangkis
sambaran tongkat itu dengan pedang rampasannya, pemuda ini diam-diam kagum
karena tenaga Siang Pok bahkan lebih besar dari pada tenaga nikouw itu.
Hal ini
adalah karena Siang Pok melatih diri dengan lweekang menurut petunjuk Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang pernah didengarnya dari pujangga Tu Fu. Namun, kalau
suhu-nya sendiri tidak kuat melawan Kwan Cu, apa lagi dia?
Sebentar
saja, ketika Kwan Cu mengerahkan tenaga dan membabat dengan pedangnya, tongkat
di tangan Siang Pok patah menjadi dua dan pedang di tangan Lui Kong Nikouw
terbang entah ke mana! Dua murid Hek-i Hui-mo ini menjadi pucat dan memandang
dengan tercengang.
"Lu-taihiap
benar-benar tangguh. Sedikitnya siauwte harus belajar dua puluh tahun lagi baru
berani mengukur tenaga kembali," kata Siang Pok sambil menjura kepada Kwan
Cu, lalu dia melompat dan pergi tanpa pamit kepada Lui Kong Nikouw.
Pemuda ini
memang tidak suka kepada nikouw itu karena dia sudah dapat mengetahui hubungan
antara suhu-nya dan ‘sumoi’ ini. Selain itu, juga Siang Pok tidak suka kepada
suhu-nya yang dianggap jahat dan membantu penjajah. Bahkan diam-diam pemuda ini
membantu perjuangan rakyat dan sebagai seorang pemuda Han bekas murid pujangga
Tu Fu, darah patriot masih mengalir di tubuhnya. Kelak pemuda ini akan menjadi
seorang yang berilmu tinggi dan mendapat nama besar di dunia kang-ouw.
Lui Kong
Nikouw juga tidak berkata apa-apa apa lagi. Dengan muka merah dia segera
menggerakkan kedua kakinya, pergi dari situ tanpa pamit.
Terdengar
tertawa terbahak-bahak dan yang tertawa adalah Kong Seng Kak Hwesio.
"Ha-ha-ha! Memang benar, gurunya naga muridnya tentulah naga pula. Ang-bin
Sin-kai adalah seorang perkasa yang berjiwa gagah, muridnya pun demikian.
Lu-taihiap, sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi, mengapa kau tidak
mau lekas-lekas turun tangan membantu perjuangan rakyat mengusir
penjajah?"
Kwan Cu
menjura. "Aku yang muda dan bodoh, meski pun tidak secara terang-terangan
membantu perjuangan, akan tetapi sesungguhnya aku masih harus melakukan tugasku
membalas dendam atas kematian suhu dan kongkong Lu Pin. Losuhu, kau yang sering
kali berada dalam peperangan, pernahkah kau mendengar nama Ngo Lian Suthai
ketua dari kuil Kwan-im-bio?"
"Ahh,
dia? Benar-benar dia seorang wanita gagah perkasa yang berjiwa suci. Dia dan
muridnya berada di tempat pertempuran tidak jauh dari sini, setiap hari dia dan
muridnya mengurus dan merawat para pejuang yang terluka."
"Losuhu,
di manakah tempat itu?" Sui Ceng ikut bertanya dengan penuh keinginan
tahu.
"Di
sebuah bio tua di dusun Kiang-cee sebelah barat hutan ini. Semua pejuang
mengenal tempat itu baik-baik, dan setiap orang yang terluka dalam pertempuran
melawan barisan kerajaan, selalu diantarkan ke tempat itu untuk dirawat."
Mendengar
ini, Sui Ceng kemudian berkata kepada Kwan Cu, "Mari kita cepat pergi ke
Kiang-cee!"
"Baik,"
jawab Kwan Cu.
Keduanya
segera memberi hormat kepada dua orang tua yang gagah itu, lantas cepat berlari
menuju ke barat. Dua orang tua dari Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai itu memandang
penuh kekaguman.
***************
Dusun
Kiang-cee sudah bukan merupakan dusun lagi karena semua penghuninya sudah
pindah, meninggalkan dusun yang menjadi kosong dan sunyi. Hal ini disebabkan
karena dusun itu termasuk daerah pertempuran antara para pejuang dan tentara
kaisar, maka penduduk menjadi ketakutan dan lari mengungsi.
Banyak pula
di antara penduduk laki-laki yang masih muda menggabungkan diri dengan para
pejuang rakyat yang sebagian besar terdiri dari kaum petani yang dipimpin oleh
orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang berjiwa patriot. Dusun itu dijadikan
markas kalau malam dan kalau siang menjadi kosong karena semua penghuninya maju
perang. Setelah kedatangan Ngo Lian Suthai dan muridnya yang tidak lain adalah
Gouw Kui Lan, sebuah kuil kuno yang besar lalu dijadikan semacam ‘hospital’.
Semenjak
tinggal di kuil Ngo Lian Suthai, Kui Lan mendapat banyak petuah dan akhimya dia
membuka semua rahasianya kepada wanita suci itu. Ngo Lian Suthai menghibumya
dan menyatakan bahwa dosa itu hanya dapat ditebus dan dicuci dengan jalan
melakukan perbuatan-perbuatan baik lahir batin sebanyak mungkin. Maka dengan
suka rela Kui Lan kemudian menjadi muridnya dan turut membantu perjuangan
dengan jalan merawat para pejuang yang terluka dalam peperangan.
Pada hari
itu di dalam dusun kedatangan dua orang pemuda yang datang dari jurusan yang
berbeda. Pemuda pertama adalah The Kun Beng. Setelah mendengar bahwa Kui Lan
berada di situ, orang muda ini langsung menuju ke kuil. la merasa amat menyesal
akan semua perbuatannya dan ingin minta ampun kepada Kui Lan.
Akan tetapi
karena seluruh cinta kasihnya sudah dicurahkan kepada Sui Ceng, sesudah
mendapat pengampunan dia akan pergi lagi bertapa. Dia tahu bahwa tidak mungkin
dia menjadi suami Sui Ceng setelah rahasianya terbongkar dan dia tidak mau pula
menjadi suami Kui Lan karena memang dia tidak mencinta gadis ini.
Kebetulan
sekali, baru saja dia tiba di depan kuil, dari lain jurusan datang Gouw Swi
Kiat, suheng-nya!
"Bagus,
Kun Beng, kau datang menebus dosa! Lekas-lekas kita menemui Lan-moi dan
pernikahan akan dapat dilakukan di sini juga," kata Swi Kiat girang. Hati
kakak ini tak lain hanyalah ingin menolong keadaan adiknya yang namanya tentu
akan rusak apa bila tidak menjadi isteri Kun Beng.
"Bukan
itu maksud kedatanganku, Suheng. Aku memang sengaja datang untuk mohon ampun
dari adikmu, akan tetapi aku tak akan menikah dengan siapa pun juga."
Tentu saja
Swi Kiat menjadi marah sekali, mukanya merah dan alisnya berdiri.
"Orang
she The!" bentaknya menudingkan telunjuknya. “Apakah sampai saat ini,
setelah rahasiamu diketahui oleh suhu, kau masih membandel dan tak berani
mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Kau harus mengawini adikku, apa bila
tidak, terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu untuk menebus hinaanmu!"
Dengan sangat marah Swi Kiat mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang kipas
maut yang amat lihai.
Walau pun
menghadapi ancaman ini, Kun Beng sudah bulat hatinya. la menghela napas dan
menjawab,
"Meski
pun kau akan membunuhku, aku tak dapat memilih jalan lain, suheng. Kalau aku
memaksa diri dan mengawini adikmu, aku hanya akan membikin dia menderita selama
hidupnya, karena terus terang saja, aku tidak mencinta adikmu. Dahulu perbuatan
kami dilakukan karena kami sudah mata gelap dan terdorong oleh nafsu
jahat."
"Keparat,
jadi kau mencinta Sui Ceng?"
Pada saat
pertanyaan ini diajukan, datanglah Kwan Cu dan Sui Ceng, akan tetapi Kwan Cu
cepat menarik tangan Sui Ceng, diajak bersembunyi di belakang tembok kuil
sambil mengintai dan mendengarkan. Hati Sui Ceng berdebar ketika mendengar
percakapan yang menyangkut namanya itu.
"Benar,
Suheng. Aku mencinta Sui Ceng."
“Jahanam!"
"Mungkin
aku memang jahanam, Suheng. Akan tetapi itulah suara hatiku dan aku tidak bisa
melakukan sesuatu di luar suara hatiku."
"Pengecut
besar, anjing tak kenal budi, kalau begitu biarlah kita mengadu nyawa di
sini!" bentak Swi Kiat yang cepat menggerakkan sepasang kipasnya dan
menyerang dengan hebat.
Kun Beng
tentu saja sudah tahu benar akan kelihaian suheng-nya dan akan bahayanya
sepasang kipas maut itu, maka sambil melompat mundur dia pun mencabut
tombaknya.
Memang
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam keahlian yang membuat namanya
terkenal sekali di kalangan kang-ouw, yakni permainan sepasang kipas maut dan
permainan tombak. Sesuai dengan bakat masing-masing, kakek ini menurunkan
pelajaran ilmu tombak kepada Kun Beng dan ilmu kipas kepada Swi Kiat. Akan
tetapi tentu saja walau pun sudah mempunyai keahlian masing-masing, kedua orang
muda itu mengenal baik ilmu senjata yang dua macam itu.
Pertandingan
antara kakak beradik seperguruan ini berjalan hebat luar biasa, akan tetapi
masih berat sebelah. Swi Kiat menyerang secara nekat dan dengan kemarahan yang
meluap-luap. Hatinya terasa sakit sekali melihat Kun Beng yang sudah merusak
nama baik adiknya dan kini tidak mau bertanggung jawab untuk membersihkan nama
adiknya. Tujuannya hanya satu, membunuh atau terbunuh.
Sebaliknya,
Kun Beng telah merasa akan kesalahan dan dosanya sehingga hatinya amat
bersedih. Oleh karena itu tidak mengherankan apa bila permainan tombaknya tak
selihai biasanya, bahkan boleh dibilang agak kalut. la selalu berada di fihak
yang terserang dan segera terdesak hebat.
Saat yang
membuka kesempatan baik bagi Swi Kiat tidak disia-siakan dan kipas tangan
kirinya telah menotok pundak Kun Beng. Baiknya pemuda ini cepat mengelak
sehingga hanya tulang pundaknya saja yang putus, karena apa bila mengenai urat
nadi, pasti dia akan langsung tewas.
Semenjak
tadi Sui Ceng memandang pertempuran itu dengan muka pucat. Dia terharu
mendengar bahwa Kun Beng amat mencintanya, cocok dengan perasaan hatinya
sendiri, akan tetapi dia pun penasaran menyaksikan sifat pengecut dari bekas
tunangannya itu.
Ketika
pertempuran terjadi, dia hanya memandang saja. Akan tetapi melihat Kun Beng
terluka, hatinya tidak tega. Betapa pun juga harus ia akui bahwa ia mencinta
pemuda ini dan tanpa dapat dipertahankan lagi, pada saat melihat Kun Beng
terdesak hebat, ia lalu melompat dan pedangnya sudah menangkis kipas Swi Kiat.
Pemuda ini
tertegun, akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Sui Ceng, marahnya makin
menjadi. Wanita inilah yang menjadi gara-gara sehingga Kun Beng menolak untuk
mengawini adiknya. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menyerang Sui Ceng dengan
pukulan-pukulan maut dari sepasang kipasnya.
Akan tetapi
sekarang dia menghadapi lawan yang amat tangguh, karena seperti juga dia, Sui
Ceng amat marah dan melawan dengan sama hebatnya, tidak seperti Kun Beng tadi
yang banyak mengalah.
Diam-diam
Kwan Cu amat kagum melihat ilmu kipas yang dimainkan oleh Swi Kiat. Dari
gerakannya, tahulah Kwan Cu bahwa sepasang kipas itu digunakan dengan dua
tenaga yang berlawanan. Kipas kiri lemas dan halus gerakannya, mengandung
tenaga Im yang mengandalkan lweekang tinggi, sedangkan kipas kanan kasar dan
ganas, penuh tenaga Yang.
Perbedaan
yang bertentangan inilah yang biasanya menyukarkan lawan, seakan-akan lawan
menghadapi dua orang lawan yang berbeda kepandaian dan tenaganya. Pantas saja
bahwa ilmu kipas ini disebut Im-yang Po-san dan kehebatannya tak ada keduanya
dalam ilmu silat kipas pada masa itu.
Akan tetapi
Sui Ceng bukanlah lawan yang empuk. Gadis ini adalah murid terkasih dari
Kiu-bwe Coa-li dan ilmu pedangnya hebat serta ganas. Apa lagi kini Sui Ceng
juga sudah mengeluarkan sabuk merahnya sehingga dengan sepasang senjatanya ini,
ia dapat pula mengimbangi senjata lawan. Sabuknya merupakan senjata yang lemas
akan tetapi dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah sehingga amat
tepat untuk dipergunakan menghadapi senjata kipas di tangan Swi Kiat. Maka
pertempuran yang terjadi sekarang lebih seru dari pada tadi.
Kwan Cu
menjadi bingung dan juga berduka sekali. Pada saat dia mendapat kenyataan
betapa Sui Ceng mencinta Kun Beng sehingga kini melupakan sakit hati dan masih
mau membantu ketika melihat Kun Beng terancam bahaya, dia merasa sedih sekali.
Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Kun Beng tidak mau menikah dengan Kui Lan
yang berarti Sui Ceng juga tidak akan menikah selamanya, hatinya langsung
tertindih perasaan duka dan kecewa yang hebat. Maka kini bingunglah dia.
Melihat Swi
Kiat, dia amat kasihan dan kalau saja Swi Kiat tadi membunuh Kun Beng, tentu
Kwan Cu takkan mau peduli. Sekarang dia melihat Swi Kiat bertempur mati-matian
dengan Sui Ceng, bagaimana dia harus bertindak? Menghentikan pertempuran dengan
Sui Ceng, pemuda ini tentu berkukuh hendak membunuh Kun Beng, dan Sui Ceng
pasti akan melindungi Kun Beng dengan mati-matian. Apa akalnya?
Sebelum Kwan
Cu yang kebingungan karena melihat pertempuran makin menghebat itu dapat
mengambil keputusan, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan dan terdengar seruan
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Berhenti,
tahan senjata!"
Mendengar
suara suhu-nya ini, Swi Kiat cepat-cepat melompat ke belakang dan segera
menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu…!"
Sui Ceng
juga menahan senjatanya, tanpa menghormat namun berdiri tegak. Sepasang matanya
mengeluarkan sinar berapi-api dan ia sama sekali tidak merasa takut biar pun
menghadapi kakek yang luar biasa itu.
"Swi
Kiat, apa artinya ini? Mengapa kau bertempur melawan Bun-siocia murid Kiu-bwe
Coa-li?" tanya kakek itu sambil menyapu keadaan di situ dengan matanya.
Melihat Kun Beng berada di situ dan terluka pundaknya, dia makin tidak
mengerti.
"Suhu,
teecu bertemu dengan Sute di sini lantas teecu minta pertanggungan jawabnya
terhadap Lan-moi. Ketika Sute menolak, teecu berdua lalu bertempur
mati-matian."
"Bagus,
manusia macam Kun Beng memang harus dibikin mampus,” kata Pak-lo-sian, akan
tetapi dalam suaranya terdengar nada sedih.
"Teecu
berhasil melukainya, akan tetapi tiba-tiba muncul Bun-siocia yang membelanya
dan teecu terpaksa melawannya."
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai menoleh kepada Sui Ceng dengan pandangan mata terheran-heran,
kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sungguh hebat dan patut
dipuji kesetiaan nona Bun. Melihat bangsat Kun Beng mengkhianati
pertunangannya, dia masih tetap mencinta. Sukar dicari cinta kasih yang
demikian besar!"
Wajah Sui
Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. "Locianpwe, jangan bicara
sembarangan! Dia itu bekas tunanganku yang dipilih oleh mendiang ibu, maka
melihat dia hendak dibunuh orang dengan alasan dipaksa menikah, tentu saja aku
tidak tinggal diam!"
Pak-lo-sian
mengeluarkan jengekan dari hidungnya. "Hemm, dia itu bukan tunanganmu lagi
dan dia adalah muridku yang murtad. Urusan antara kami guru dan murid, kau
murid Kiu-bwe Coa-li ada sangkut-paut apakah? Bila aku mau membunuh muridku
sendiri yang berdosa, kau mau apa?”
Setelah
berkata demikian dengan langkah lebar Pak-lo-sian menghampiri Kun Beng yang
melihat gurunya demikian marah, segera berlutut dengan kepala tunduk.
"Kun
Beng kau sudah tahu akan dosamu?"
"Sudah,
Suhu. Teecu berdosa besar dan menanti hukuman mati di tangan Suhu."
"Bangsat
rendah! Mengapa kau tidak mau mempertanggung jawabkan kesalahanmu atas adik
suheng-mu?"
"Apa
bila teecu menikah dengan adik Suheng, teecu hanya akan merusak hidupnya dan
hidup teecu sendiri. Di dalam dunia ini hanya dengan satu orang teecu mau
menikah, yakni dengan tunangan teecu. Kalau tidak, lebih baik teecu tidak
menikah. Kini terserah kepada Suhu memutuskannya."
"Busuk...
busuk sekali! Kalau begitu, mengapa kau merusak nona Gouw Kui Lan? Hayo
jawab!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan nada suaranya menunjukkan
bahwa tiada pengampunan bagi Kun Beng.
Dengan
kepala masih tunduk, pemuda itu menjawab lemah,
"Teecu
sudah mengaku dosa, harap Suhu segera menjatuhkan hukuman."
"Hemm,
kalau begitu matilah dengan tenang."
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai lalu mengangkat kipasnya dan hendak menjatuhkan pukulan kematian
kepada muridnya.
“Tak boleh
kau membunuh orang begitu saja!" tiba-tiba Sui Ceng membentak marah dan
pedang serta sabuk merahnya bergerak cepat menyerang jalan darah di punggung
kakek itu.
Terpaksa
Pak-lo-sian menunda pukulan kepada muridnya, karena serangan Sui Ceng ini
sungguh-sungguh berbahaya sekali. Sambil memutar tubuhnya, kipas yang tadi
hendak dipergunakan untuk membunuh Kun Beng, bergerak cepat dan seketika itu
juga pedang di tangan Sui Ceng terlempar jauh sementara sabuk suteranya putus
menjadi dua!
"Pergilah
dan jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak Pak-lo-sian.
Akan tetapi,
melihat kenekatan Kun Beng, Sui Ceng tidak tega untuk membiarkan saja pemuda
yang dicintanya itu terbunuh. Dia menyerang kakek itu dengan pukulan tangan
kanannya.
"Bukkk!"
Tangan Sui
Ceng tepat membentur dada Pak-lo-sian, akan tetapi bukan Pak-lo-sian yang
roboh, melainkan Sui Ceng sendiri yang terguling dan pergelangan tangannya
terlepas sambungannya!
"Bun-siocia,
jangan kau membelaku. Terima kasih banyak atas budimu, dan sampai mati aku
orang she The tak akan melupakanmu," kata Kun Beng terharu.
Pak-lo-sian
kembali mengangkat kipasnya untuk memukul Kun Beng, akan tetapi baru sampai di
tengahnya, tiba-tiba kipasnya tertahan. la terkejut sekali karena merasa bahwa
ada sambaran angin dahsyat yang memukul ke arah kipas itu sehingga tertahan.
Ketika dia
menoleh, ternyata bahwa Lu Kwan Cu telah berdiri di hadapannya. Pak-lo-sian
terkejut dan tahulah dia bahwa pendekar sakti yang masih muda ini yang telah
menahan pukulan kipasnya.
"Orang
muda, biar pun kau telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak patut
kalau kau mencampuri urusanku dengan muridku sendiri. Apakah kau masih belum
mengerti tentang aturan dan kepantasan sebagai seorang gagah? Apakah kau belum
mengerti bahwa orang gagah tidak akan mencampuri urusan rumah tangga lain
orang? Manusia jahanam ini adalah muridku sendiri, berarti dia termasuk
keluargaku pula dan aku boleh melakukan apa saja terhadapnya tanpa campur
tanganmu!"
"Maaf,
Locianpwe. Boanpwe sudah berani turut mencampuri urusan Locianpwe karena
boanpwe sangat kagum terhadap kegagahan dan sepak terjang Locianpwe yang sering
kali dipuji-puji oleh mendiang suhu. Akan tetapi hari ini tanpa disengaja
boanpwe akan melihat Locianpwe menurunkan tangan kejam pada murid sendiri.
Locianpwe, boanpwe pernah mendengar ujar-ujar emas yang menyatakan bahwa orang
yang tidak mencoba untuk memperbaiki kesalahan dalam perilaku hidupnya, dialah
orang yang benar-benar salah. Kun Beng memang pernah melakukan perbuatan yang
salah, akan tetapi dia telah mengakui hal itu dan benar-benar menyesal, maka
tidak pantas kalau sampai dihukum mati."
"Kau
tahu apa tentang hati manusia? Seorang manusia yang sudah mandah disesatkan
oleh nafsu buruk hanyalah manusia lemah yang selalu akan mengotorkan dunia
karena batinnya kurang teguh dan selalu akan menjadi korban nafsu iblis. Dia
ini harus mati!"
"Boanpwe
tidak bisa membiarkan saja Locianpwe melakukan pembunuhan pada seorang yang
sudah bertobat, apa lagi murid Locianpwe sendiri," bantah Kwan Cu.
Bergerak-gerak
jenggot Pak-lo-sian yang panjang. "Aha, kau sungguh sombong sekali, bocah
she Lu. Kau kepala batu seperti si jembel Ang-bin Sin-kai gurumu itu. Mari,
mari! Kita coba-coba sebentar dan kalau kau dapat menangkan aku, biarlah aku
memandang mukamu memberi ampun kepada anjing ini."
Kwan Cu
maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Dia telah bertindak terlalu jauh dan
kini terpaksa dia harus melayani kakek ini yang dia tahu memiliki kepandaian
tinggi sekali dan tidak boleh dibuat main-main. Akan tetapi apa boleh buat, dia
melakukan semua ini sebenarnya bukan karena dia sayang kepada Kun Beng,
melainkan karena dia hendak membela Sui Ceng, atau pendirian gadis ini. Dia
tahu akan cinta kasih yang besar dalam hati Sui Ceng terhadap Kun Beng, maka
dia merasa sangat berdosa telah memisahkan gadis ini dari tunangannya dan saat
ini dia pergunakan untuk menebus dosanya.
Ketika
Pak-lo-sian mengebutkan kipasnya ke arah mukanya, Kwan Cu cepat melangkah
mundur dan mencabut sulingnya. Dia tidak mau mempergunakan pedang karena selain
dia tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kakek ini, juga senjata kipas
kakek itu lebih tepat dihadapi dengan senjata yang lebih halus dan lemas
seperti sulingnya itu.
Ada pun
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, di dalam hati kecilnya memang dia tidak tega untuk
menewaskan Kun Beng karena di antara dua orang muridnya Kun Beng lah yang amat
disayangnya. Tetapi sebagai seorang gagah, tentu saja dia merasa kurang adil
terhadap Swi Kiat kalau dia tidak berbuat seolah-olah hendak membunuh Kun Beng.
Kini melihat
campur tangannya Kwan Cu, diam-diam dia merasa girang sekali. Tidak saja dia
mempunyai alasan kuat untuk membatalkan niatnya membunuh Kun Beng, tapi juga
idam-idaman hatinya hari ini akan tercapai. Idam-idaman hati ingin menguji
kepandaian pemuda yang aneh ini.
Sejak dia
menyaksikan sepak terjang Kwan Cu, melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda
ini menggulingkan tokoh-tokoh besar seperti Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong,
dia merasa kagum bukan main. Ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentu sudah
mewarisi kepandaian dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tersohor itu. Maka
ingin sekali dia mengukur kepandaian dan tenaga dengan ahli waris kitab itu.
Karena tahu
bahwa Kwan Cu sudah memiliki kepandaian luar biasa dan bahkan lebih tinggi
tingkatnya dari pada kepandaiannya sendiri, Pak-lo-sian tidak merasa malu-malu
atau sungkan-sungkan lagi. la segera melakukan serangan dengan hebat,
mengeluarkan seluruh tenaganya. Maka bukan main dahsyatnya gerakan sepasang
kipasnya.
Tanpa terasa
pula Sui Ceng dan dua orang murid Pak-lo-sian sendiri melangkah mundur untuk
menjauhi tempat pertempuran, karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang
kipas itu terasa menyakitkan kulit muka, sebentar panas lantas sebentar dingin.
Yang dingin keluar dari gerakan kipas kiri, yang panas dari kipas kanan. Inilah
Im-yang Po-san yang dimainkan oleh seorang ahli yang telah mencapai puncak
kesempurnaan ilmu kipas ini!
Kwan Cu
diam-diam terkejut bukan main. Lihai sekali Dewa Utara ini, masih lebih lihai
dari pada Hek-i Hui-mo kiranya. Biar pun di dalam goa di Pulau Pek-hio-to
terdapat pula lukisan-lukisan tentang orang bersilat yang hampir sama dengan
gerakan kakek ini, tapi harus dia akui bahwa gerakan kakek ini jauh lebih aneh
dan hebat, sehingga biar pun dia berlaku waspada serta mainkan sulingnya dengan
cepat, tetap saja dia terkurung oleh angin pukulan yang bergelombang datangnya
dan tidak tentu sifatnya itu!
Kalau saja
Kwan Cu tidak memiliki tubuh yang sudah penuh dengan tenaga murni atau sinkang
yang tinggi, serta tidak mempunyai kewaspadaan sehingga dia dapat menduga
tujuan setiap gerakan lawan, tentu dia harus mengakui keunggulan lawan.
Dengan
mengumpulkan semangat dan mengerahkan seluruh tenaganya, Kwan Cu cepat
memainkan sulingnya secara hebat, menurutkan tipu-tipu lihai dari isi pelajaran
Im-yang Bu-tek Cin-keng, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak-gerak mainkan
Pek-in Hoat-sut. Dari kaki sampai ke jidatnya mengebulkan uap putih yang
menyelimuti seluruh tubuhnya!
Pak-lo-sian
menahan seruan tertahan saking kagum dan herannya. Kakek ini tahu bahwa pukulan
kipasnya tadi disertai tenaga sepenuhnya, tenaga lweekang yang sudah dia latih
berpuluh tahun. Jaranglah orang dapat menahan sambaran angin pukulan kipas ini,
akan tetapi anehnya, ketika angin pukulannya menyambar ke arah jalan darah di
tubuh Kwan Cu, hawa itu terpental kembali jika bertemu dengan uap putih itu.
"Hebat
sungguh Im-yang Bu-tek Cin-keng!" katanya perlahan.
Akan tetapi
kini Kwan Cu betul-betul memperlihatkan ‘tanduknya’! Sulingnya digerakkan
dengan sepenuh kegesitannya, sehingga jangan kata baru Pak-lo-sian seorang,
biar pun dia dikeroyok oleh sepuluh orang Pak-lo-sian, kiranya sepuluh orang
ini kepalanya akan pening dan pandangan matanya kabur.
Tubuh pemuda
ini benar-benar lenyap dari pandangan mata, yang kelihatan hanya uap putih
mengebul di sekeliling Pak-lo-sian dan diselingi oleh kelebatan sinar mengkilap
dari sulingnya. Tak lama kemudian terdengar suara dua kali…
"Krakkk!
Krakkk!"
Pak-lo-sian
melompat mundur, tubuhnya terhuyung-huyung serta keningnya penuh peluh dingin,
napasnya terengah-engah. Ketika Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat memandang,
kakek ltu hanya memegang gagang kipas yang sudah hancur!
Kwan Cu
menjura. Pemuda ini hanya merah mukanya dan dari kepalanya masih saja mengebul
uap putih, akan tetapi dia tenang dan napasnya biasa saja.
"Pak-lo-sian
Locianpwe benar-benar tidak bernama kosong."
"Cukup,"
Pak-lo-sian terengah-engah, "tak perlu kau merendahkan diri lagi. Benar-benar
hebat! Selama hidupku baru kali ini aku menghadapi lawan seperti kau. Sungguh
hebat! Kalau saja yang mengalahkan serta merusak kipas-kipasku ini bukan
seorang ahli waris Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentu aku si tua Pak-lo-sian ini
akan langsung menghancurkan kepala sendiri."
"Locianpwe
telah berlaku mengalah...," kata Kwan Cu.
Pada saat
itu, dari jauh terdengar bunyi bergeletar dan hampir berbareng Pak-lo-sian dan
Kwan Cu berkata,
"Kiu-bwe
Coa-li datang "
Benar saja,
sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita sakti itu telah berada di situ
dengan cambuknya yang menggemparkan dunia kang-ouw, terayun-ayun di telapak
tangannya. Dia melirik ke arah Kwan Cu, lalu berkata kepada Pak-lo-sian,
"Tua
bangka utara, apa yang terjadi dengan kedua kipas mautmu?”
Terang
sekali ucapan ini merupakan ejekan, akan tetapi Pak-lo-sian tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Kiu-bwe Coa-li. Sudah berpuluh tahun kau tidak berhasil
mengalahkan kedua kipasku, sebaliknya aku pun tidak berhasil mengalahkan
cambukmu. Akan tetapi, hari ini aku mengaku bahwa ilmu kipasku masih amat
rendah dan perlu diperbaiki lagi."
Kiu-bwe
Coa-li melirik ke arah Kwan Cu dan tiba-tiba ia melihat Sui Ceng ada di situ.
la tertegun. Tadi ia melihat pertandingan dari jauh dan saking tertariknya ia
sampai tidak melihat kehadiran Sui Ceng.
"Sui
Ceng, ada apa kau di tempat ini?" la melirik pula ke arah Kun Beng dengan
mata marah.
"Kiu-bwe
Coa-li, muridmu itulah yang sudah menjadi gara-gara. Aku hendak membunuh
muridku yang murtad, namun dia menghalangi sampai-sampai dia berani
menyerangku. Akhimya kejadian itu memancing datangnya Lu-siauwhiap dan rusaknya
kedua kipasku."
"Sui
Ceng, ke manakah mukamu? Tidak tahu malu, urusan orang lain kau berani turut
bercampur tangan. Tua bangka utara mau membunuh muridnya, biarlah jangan kita
ikut campur. Hayo, sekarang kau harus pergi bersamaku!"
"Tidak,
Suthai. Sebelum Pak-lo-sian Locianpwe berjanji tak akan membunuh orang yang
sudah menderita batinnya, teecu tidak akan pergi dari sini."
Pak-lo-sian
kembali tertawa bergelak, dan Kiu-bwe Coa-li marah dan malu bukan main. la
menggerakkan pecutnya dan pecut yang berekor sembilan itu serentak melayang
lantas memukul ke arah sembilan jalan darah di tubuh Sui Ceng.
"Kau
pergi atau tidak?" bentak wanita sakti itu dengan suara menyeramkan.
"Suthai,
jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Kun Beng berseru keras dan meloncat ke depan,
menghadang antara cambuk dan tubuh Sui Ceng.
Oieh karena
itu, cambuk ini tidak jadi menuju di tubuh Sui Ceng, melainkan menghantam tubuh
Kun Beng. Pemuda ini lantas terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih.
Baiknya Kiu-bwe Coa-li tidak mau membunuh murid orang lain dan hanya ingin
memberi hajaran saja, maka walau pun tubuhnya sakit-sakit dan terlempar jauh,
Kun Beng tidak sampai terluka hebat.
"Sui
Ceng, hayo kita pergi!" bentak pula Kiu-bwe Coa-li.
Sekarang
suaranya lebih menyeramkan lagi karena nenek tua ini sudah hampir tak dapat
menahan kesabaran hatinya lagi. Dibantah dan dibangkang oleh muridnya di
hadapan orang lain benar-benar merupakan hal yang amat tidak enak dan
memalukan.
Kwan Cu
berkata, "Sui Ceng, kau pergilah. Pak-lo-sian Locianpwe sudah berjanji
takkan membunuh Kun Beng…"
Kata-kata
ini adalah untuk membujuk supaya Sui Ceng mau pergi karena Kwan Cu tahu benar
bahwa sekali lagi menolak, Sui Ceng pasti akan menerima pukulan yang mungkin
akan merenggut nyawanya oleh Kiu-bwe Coa-li.
Akan tetapi
Sui Ceng benar-benar menggelengkan kepala lagi!
"Sebelum
bertemu dengan Kui Lan, aku belum mau pergi."
Baru saja
kata-kata ini selesai diucapkan, terdengar bunyi cambuk menyakitkan telinga.
Kwan Cu melompat dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget.
Ternyata
bahwa sembilan ekor ujung cambuk dari Kiu-bwe Coa-li telah menyambar tepat
ketika Sui Ceng menyatakan penolakannya untuk pergi tadi, akan tetapi Kwan Cu
cepat melompat menghadang di jalan hingga ujung-ujung cambuk itu bukan
menyambar pada Sui Ceng, melainkan ke tubuhnya seperti yang telah dilakukan
oleh Kun Beng tadi.
Akan tetapi
kalau gerakan Kun Beng tadi masih bisa dilihat oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga
nenek ini keburu mengubah arah cambuknya, adalah gerakan Kwan Cu sekarang
begitu cepatnya, maka nenek itu tidak keburu lagi menahan pukulannya. Sembilan
cambuk itu melayang dan menghajar sembilan jalan darah kematian di tubuh Kwan
Cu.
Karena
inilah Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. la maklum bahwa pukulan yang
dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li ini adalah jurus yang paling berbahaya dari ilmu
pecutnya dan tidak seorang pun tokoh persilatan di dunia ini yang berani
menerima serangan jurus ini yang dia kenal sebagai jurus Kiu-coa Toat-beng
(Sembilan Ular Pencabut Nyawa).
Bahkan
Kiu-bwe Coa-li sendiri juga terkejut. Akan tetapi dia tidak dapat menarik
kembali sambaran sembilan ujung cambuk itu, dia hanya dapat mengurangi
tenaganya sehingga hanya dua pertiga tenaganya saja yang tersalur di ujung
senjatanya yang lihai.
Akan tetapi
seruan kaget Pak-lo-sian berubah menjadi seruan tertahan saking herannya,
demikian pula Kiu-bwe Coa-li menjadi pucat setelah sembilan ujung cambuk itu
tiba di tubuh Kwan Cu, ternyata tidak berakibat apa-apa!
Kwan Cu
tetap tersenyum saja seakan-akan serangan hebat ini tidak terasa sama sekali
olehnya. Padahal, secara diam-diam Kwan Cu tadi sudah mengerahkan seluruh
tenaga dan sinkang-nya yang telah menjadi satu dengan perasaannya, otomatis
menolak tenaga pukulan ini dan dia menambah perisai tubuhnya dengan pengerahan
ilmu menutup jalan darah dan mengumpulkan hawa murni yang terasa hangat
mengelilingi seluruh tubuh secara cepat sekali. Namun, tetap saja dia merasa
kulit tubuh di mana cambuk itu tiba, panas-panas!
"Terima
kasih atas petunjuk Suthai," kata Kwan Cu sambil menjura dan membungkukkan
tubuhnya.
Gerakan ini
amat diperlukan karena dengan membungkuk, dia bisa menggerakkan tubuh dan
sinkang-nya berjalan lebih cepat untuk mengusir bekas-bekas pukulan yang betapa
pun juga akan mendatangkan bahaya kalau tidak segera dilenyapkan.
Sampai lama
Kiu-bwe Coa-li membelalakkan matanya. Belum pernah dia mengalami hal sehebat
ini. Pukulan dengan jurus Kiu-coa Toat-beng diterima tanpa berkejap mata oleh
pemuda ini!
"Sudahlah,
aku sudah tua dan tak tahu malu! Lu-sicu, lain kali bila aku masih hidup, aku
hendak mencoba kelihaianmu sekali lagi!" katanya sambil menggerakkan kedua
kaki dan lenyaplah wanita sakti itu dari situ.
Kwan Cu
menarik napas panjang. "Hemm, apakah artinya semua keributan ini? Orang
yang dicurangi dan yang paling menderita dalam urusan ini adalah nona Gouw Kui
Lan. Orang-orang berlancang hendak mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya
padanya. Benar-benar tidak adil!"
Kata-kata
ini menyadarkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Memang tepat sekali ucapan ini.
Mereka ribut-ribut karena Kun Beng telah melakukan hal yang amat tidak baik
terhadap diri Gouw Kui Lan dan kini orang ramai-ramai datang untuk menghukum
Kun Beng tanpa bertanya kepada nona Kui Lan sama sekali!
"Mari
kita temui dia di dalam!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Semua orang
mengikutinya masuk ke dalam kuil yang amat besar itu. Keadaan kuil sunyi saja
dan pintu depan yang amat kuat dan tebal itu sukar sekali dibuka, agaknya
dipalangi dari dalam. Tapi, dengan sekali dorong saja Pak-lo-sian berhasil
mematahkan palangnya di sebelah dalam sehingga pintu pun terbuka!
Semua orang
tertegun dan berdiri di ambang pintu, tidak bergerak seperti patung. Kalau di
luarnya sunyi saja, di sebelah dalam kuil itu penuh orang. Sedikitnya ada tiga
ratus orang terbaring di situ, orang-orang yang terluka dalam peperangan
melawan penjajah.
Beberapa
orang perawat sibuk sekali melayani mereka ini, dan di antara mereka yang
paling sibuk adalah Ngo Lian Suthai dan... Gouw Kui Lan. Akan tetapi, ketika
melihat Kui Lan, terdengar seruan dari mulut Swi Kiat.
"Lan-moi
…!”
Nona itu
menengok. Dia telah menjadi seorang nikouw muda (pendeta wanita) berkepala
gundul. Melihat kakaknya, dia tersenyum. Akan tetapi mukanya berubah ketika ia
melihat Kun Beng berada pula di situ.
"Kui
Lan, mengapa kau telah menjadi nikouw...? Apa maksudmu?” teriak Swi Kiat sambil
berlari menghampiri adiknya. “Aku datang untuk mengusahakan pernikahanmu dengan
Kun Beng "
Merah wajah
nikouw muda itu, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum penuh kesabaran dan
ketenangan.
"Hushhh...
Kiat-ko, omongan apa yang kau ucapkan itu? Lihatlah baik-baik, aku adalah
seorang nikouw, bagaimana kau bisa bicara tentang pernikahan?”
Swi Kiat
merasa ditampar mukanya, dia tak dapat menjawab dan menjadi bingung. Juga Kun
Beng merasa terharu sekali. Penglihatan ini menikam ulu hatinya dan dia merasa
betapa dosanya makin besar. Ia tahu bahwa masuknya Kui Lan menjadi nikouw
adalah karena perbuatannya. Dua titik air mata tak terasa lagi turun membasahi
pipinya.
Sui Ceng
berdebar. Kemarahannya terhadap Kui Lan lenyap seketika, terganti oleh rasa
kasihan. Ada pun Kwan Cu memandang dengan penuh kekaguman.
Di dalam
kesunyian ini, terdengar Kui Lan berkata, suaranya lantang dan biasa saja,
penuh kesabaran.
"Kiat-ko,
Kui Lan yang dahulu sudah mati. Yang ada sekarang adalah Kui Lan Nikouw murid
Ngo Lian Suthai. Tidak ada urusan sesuatu antara pinni (aku) dengan The-taihiap
atau siapa pun juga."
"Adikku!"
teriak Swi Kiat.
"Kiat-ko,
aku sudah bersumpah menjadi orang beribadat, aku melupakan kehidupan lalu.
Sudahlah, harap Cu-wi sekalian suka keluar dan jangan mengganggu orang-orang
yang menderita luka, mereka ini adalah para pejuang rakyat, dan ..."
Tiba-tiba
dari luar menerobos masuk beberapa orang laki-laki yang membawa senjata. Mereka
ini adalah para prajurit pejuang rakyat yang cepat berkata,
"Ngo
Lian Suthai, celaka. Pasukan kita terpukul hancur dan sebarisan musuh menuju ke
sini. Mereka sudah mendengar bahwa kawan-kawan yang terluka berada di
sini!"
Seorang di
antara mereka menyambung. “Kita harus segera membawa kawan-kawan ini pergi dari
sini, pertahanan sudah bobol dan kawan-kawan ini tentu akan menjadi korban
semua!”
Tiba-tiba
Kwan Cu berkata nyaring, "Pak-lo-sian Locianpwe! Kun Beng! Swi Kiat dan
Sui Ceng. Kita semua harus malu! Rakyat berjuang melawan penjajah, bahkan nona Gouw
sendiri membaktikan diri untuk membantu bangsa yang tertindas, sebaliknya kita
semua ribut-ribut urusan tetek bengek! Dalam menghadapi bahaya bagi bangsa,
urusan pribadi harus dilupakan, hayo kita gempur musuh!"
Kata-kata
ini bagai aliran listrik menggetarkan jiwa kepahlawanan dalam diri orang-orang
gagah itu. Pak-lo-sian berseru nyaring. "Mana musuh?! Akan kuhancurkan
kepalanya!"
Beramai-ramai
mereka lalu lari bersama para prajurit pejuang itu yang menjadi petunjuk jalan.
Benar saja,
di tengah jalan mereka bertemu dengan puluhan pejuang yang melarikan diri,
dikejar oleh barisan musuh yang lebih besar jumlahnya. Banyak di antara mereka
yang terluka.
Pak-lo-sian
segera memimpin mereka dan mengatur pertahanan. Teriakan disertai sorak sorai
musuh sudah terdengar dekat. Pak-lo-sian mengatur kawan-kawan pejuang supaya
bersembunyi di balik pohon-pohon, menghadang di dalam hutan.
Ketika
barisan musuh yang terdiri dari dua ratus orang lebih itu tiba, Pak-lo-sian
memberi aba-aba dan menyerbulah mereka, menghantam musuh. Kwan Cu, Kun Beng,
Swi Kiat dan Sui Ceng mengamuk hebat! Tiap kali senjata mereka bergerak, tentu
ada seorang serdadu penjajah roboh tak bemyawa lagi.
Biar pun
kepandaian Kwan Cu lebih tinggi dari pada Pak-lo-sian, namun sepak terang
pemuda ini tidak sehebat Pak-lo-sian, karena di dalam hatinya Kwan Cu penuh
welas asih dan dia tidak tega menyebarkan maut, biar pun kepada musuh
bangsanya. Maka dia hanya menotok dan merobohkan mereka tanpa merampas
nyawanya.
Sebaliknya,
Pak-lo-sian benar-benar hebat. Sepasang kipasnya sudah rusak oleh Kwan Cu dan
kini ujung lengan bajunya menyambar laksana sepasang kupu-kupu. Akan tetapi
jangankan sampai terkena ujung lengan baju ini, baru terkena sambaran anginnya
saja, para musuh terlempar dengan mata mendelik dan napas putus!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment