Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 12
ORANG-ORANG
di gedung itu mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan ini
terjadi pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong
membentak mereka supaya jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu
berani campur tangan kalau dari gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup
kuat untuk membuat mereka terdorong mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri menonton
dengan hati gelisah.
Sambil
menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan
mentertawakan Kiu-bwe Coa-li yang dianggapnya sebagai orang yang lagi kemasukan
iblis, yang menuduh orang sesuka hatinya dan lain-lain.
Kalau semua
orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang
berada di atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati merasa geli.
Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
“Tua
bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha-ha-ha, kini mereka sedang
memperebutkan sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab
sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan
main,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Akan
tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan
sepanjang pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?”
“Siapa tahu?
Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau.
Sudahlah, hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”
Sambil
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan
Cu. Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi.
Melihat betapa Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian dengan Jeng-kin-jiu hanya
untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega.
Terutama
sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang dahulu sudah memberi nama
kepadanya itu. Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut
bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul
suhu-nya, dia bernyanyi dengan suara keras karena dia mengerahkan khikang-nya.
Anjing-anjing
bodoh berebut tulang, tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya
serigala belang, membawa lari tulang sambil tertawa.
Tadi ketika
Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu dan Kiu-bwe Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara
tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu tinggi ginkang-nya seperti Ang-bin
Sin-kai.
Akan tetapi
oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat,
mereka tak dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah
pertahanan sendiri. Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng ada orang-orang
pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka.
Akan tetapi
ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut
dan otomatis mereka menarik senjata masing-masing.
“Sui Ceng,
berhenti!” seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Ada pun
Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Si
gundul Kwan Cu benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing
bodoh berebut tulang. Ehh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa
kau sudah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang sudah dibawa lari oleh
serigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?”
“Jadi Kwan
Cu yang bernyanyi tadi?” Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang
bukan main. Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk
melihat.
“Bodoh,
mereka telah pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li.
Hal ini
memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tidak
nampak bayangan seorang manusia pun. Gadis cilik itu pun turun kembali.
Melihat
wajah Sui Ceng nampak girang, Lu Thong menjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak
tahu bahwa Sui Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena
itu hanya berarti bahwa Kwan Cu sudah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya
maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan!
Lu Thong
mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia pun berkata, “Ahh,
pengemis kecil gundul itukah? Sayang, jika dia tidak pergi, tentu akan kuberi
kesempatan untuk dia menebus kekalahannya dariku dahulu.”
“Sombong!
Orang macam kau akan dapat mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng. Biar pun dia
mengerti bahwa Lu Thong memang lebih pandai dari pada Kwan Cu, namun dia tidak
senang mendengar Kwan Cu dihina.
Ada pun
Kiu-bwe Coa-li, sesudah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan di
dalam hatinya. Siapa tahu kalau dia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan
sengaja diadu dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan
suara bersungguh-sungguh.
“Jeng-kin-jiu,
benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?”
Hwesio itu
melebarkan matanya dan tertawa. “Bukan hanya sembrono saja, malahan tadi kukira
kau telah kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng
menyimpan kitab-kitab? Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja ada
dan jika kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu,
bolehlah kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!”
Mendengar
ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya. “Kalau begitu, maafkan pinni,
Jeng-kin-jiu. Memang benar pinni sudah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng,
hayo kita pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Lu Thong
buru-buru berkata Sui Ceng. “Nona yang baik, meski pun gurumu minta maaf kepada
guruku, namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku sudah berani
bertempur melawanmu. Harap kau tak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat
baik.”
“Cih,
manusia tak tahu malu!” jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya
yang sudah pergi lebih dulu.
Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Lu Thong, apa kau suka kepada anak itu?”
tanyanya.
Tentu saja
Lu Thong tak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya.
Sementara itu, ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka
kurang senang.
“Siapakah
mereka tadi dan kenapa kalian bertempur di sini?” matanya tajam memandang
anaknya seperti hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat
yang bisanya hanya bertempur dan membunuh orang.
“Ayah,
mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang
sudah tersohor sebagai ahli silat dari selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan
Suhu yang menghadapinya, dalam beberapa jurus saja orang lain tentu akan tewas
kalau diserang olehnya.”
Lu Thong
mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, tadi
seolah-olah dia bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah
pesta dan berjumpa dengan seorang anak perempuan yang manis. Lu Seng Hok
ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas.
Akan tetapi
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya ‘menggelinding’ ke
kamarnya di sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar
ke atas pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.
Ketika
melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu
Thong agar supaya anak ini, biar pun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar
ilmu silat kepadanya, namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul
itu.
“Akan tetapi,
ingat. Kau adalah seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan,
bagaimana kau dapat bercampur gaul dengan segala orang-orang kang-ouw yang
kotor dan jahat? Apakah kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?”
“Ayah,
bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?”
“Bodoh, kau
mau meniru hal yang buruk? Coba kau lihat, alangkah jauhnya perbedaan antara
Ang-bin Sin-kai dan Kongkong-mu Lu Pin!”
“Ang-bin
Sin-kai lebih terkenal!” bantah Lu Thong.
“Tetapi
bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya
dan kurang ajarnya. Ahh, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu...”
Melihat
ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong cepat
menutup mulutnya kemudian menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hatinya,
anak ini mentertawakan orang tuanya.
Dan pada
malam harinya, pada saat Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya
digoyangkan orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhu-nya telah
berdiri di luar jendelanya yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi
isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat
keluar dari kamarnya.
“Kita pergi
sekarang juga!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau
pakaian.”
Melihat kesungguhan
muka gurunya yang biasanya selalu tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak
tertegun. “Baiklah, Suhu. Akan tetapi, kenapa berangkat malam-malam? Ada
keperluan amat pentingkah?”
“Kiu-bwe
Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu
amat penting. Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini
terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di
dalam gedung ini saja?”
Maka
berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu,
tanpa memberi tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu
saja menjadi gelisah setengah mati pada keesokan harinya.
***************
Padahal,
perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apa
lagi pada jaman dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali. Jangankan jalan
besar dan rata, bahkan jalan atau lorong kecil pun belum ada.
Perjalanan
ke Tibet merupakan perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun,
padang pasir bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya. Juga
melalui gunung-gunung yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan
belum pernah dilalui manusia. Bila sedang melalui gurun pasir, panas membakar
kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa
dingin menggerogoti tulang iga!
Guru dan
murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan. Dengan amat sulit dan
banyak susah payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang
kalau orang hendak pergi ke Tibet melalu jurusan utara, maka dia harus melewati
Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet Utara.
Namun semua
kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini
merasa sangat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan
pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan,
Ang-bin Sin-kai tidak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya.
Kni Kwan Cu
sudah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi sehingga
kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Di samping itu, juga Ang-bin Sin-kai
mengajak muridnya mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan
selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya
itu tentang ilmu silat.
“Lihatlah
baik-baik, muridku,” katanya jika berhasil minta kepada seorang ahli silat
untuk menunjukkan kepandaiannya. “Betapa pun jauh perbedaan gaya dalam
permainan silat, tetapi semuanya berdasarkan kekuatan mereka atas kedudukan
tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini sangat penting, Kwan Cu. Betapa pun bagus
dan lihai gerakan serta gayanya, tapi tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia
bukanlah seorang ahli silat yang kuat.”
Pegunungan
Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di setiap tempat
terdapat sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini orang harus berlaku
hati-hati sekali. Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati
sebuah sungai es yang lebar.
Permukaan es
itu tampak mengkilap kebiru-biruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang
tercermin ke dalam permukaan es. Pada mulanya Kwan Cu merasa gembira sekali dan
berlari-larian di atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan
juga tubuhnya sudah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh.
Akan tetapi,
sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga permukaannya
masih tipis. Ketika dia berlari dan tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba
pecahlah permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.
Air yang
luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan seketika anak ini menjadi kaku
seluruh tubuhnya! Dia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga serta hawa
tubuh untuk membuat tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah pada
tubuhnya menjadi lebih cepat. Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah
membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti
nyawa anak ini tidak akan tertolong lagi.
Ang-bin
Sin-kai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena
kalau dia sendiri sampai terjeblos, walau pun kepandaiannya tinggi, namun belum
tentu dia akan dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Dia lalu
cepat mempergunakan lweekang-nya untuk mencabut sebatang akar yang sangat
panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar
ini dia kemudian menolong Kwan Cu.
Anak gundul
ini meski pun tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu
melihat akar, dia cepat menangkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguh pun
jari-jari tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan kulit tangannya
sudah mati rasa!
Memang,
sesungguhnya kakek ini sudah amat tua. Pada waktu Ang-bin Sin-kai masih
kanak-kanak, kakek ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia
persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia terkenal sebagai
seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh
dunia.
Sudah
menjadi lajim pada jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau
tempat-tempat sunyi, atau lebih tepat lagi, puncak-puncak gunung yang sunyi
paling disuka oleh ahli-ahli silat untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Hal
ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi
dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta suci.
Ilmu silat
yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja
para pendeta yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat
dan suci dapat menciptakan ilmu silat yang tinggi. Dan pendeta-pendeta ini
memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk
bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam
mempelajari ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh
kemajuan luar biasa.
Seperti juga
gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para
pertapa. Di puncak-puncak yang tinggi itu banyak sekali bersembunyi orang-orang
yang mempunyai kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan
tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga
orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu serta Seng
Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).
Seng Thian
Siansu sudah sangat tua dan memang kalau dibandingkan, usianya berbeda jauh
sekali dengan sute-sute-nya, ada sekitar lima puluh tahun selisihnya! Bersama
para sute-nya ini, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut
Kun-lun-pai. Mereka telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik
sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan menjadi
harum akibat perbuatan-perbuatan para anak murid mereka yang gagah perkasa dan
budiman.
Setelah Seng
Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, usianya sudah seratus dua puluh tahun,
dia mencuci tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sute-nya yang
kemudian terkenal dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak saat itu, Seng
Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam goa, sama sekali tak mau mencampuri
urusan dunia lagi.
Mengapa
sekarang kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari goa
dan bertemu dengan Ang-bin Sin-kai? Mari kita dengarkan percakapannya dengan
Ang-bin Sin-kai.
“Benar
kata-katamu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di
Kun-lun-san karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa
heran sekali melihat Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa yang sedingin
ini. Hendak ke manakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?”
Seng Thian
Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih
nampak ‘muda’, bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!
“Ang-bin
Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang
agaknya sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, maka hari ini pinto terpaksa
harus meninggalkan tempat pertapaan dan nasibkulah yang buruk, sehingga tua-tua
terpaksa membereskan urusan penasaran.”
“Ah,
Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan
sendiri? Kalau sekiranya teecu boleh membantu, harap Locianpwe beri tahukan
kepada teecu, tentu teecu bersedia membantu sekuat tenaga.”
Kakek itu
tersenyum lagi. “Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Marilah
kita duduk di sana, nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana
Kun-lun-san yang sunyi bersih ini.”
Ang-bin
Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas sebuah batu hitam yang
bertumpuk pada sebelah kiri lereng itu. Sesudah duduk dan menaruh tongkatnya di
sebelahnya, mulailah Seng Thian Siansu bercerita.
Kurang lebih
setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang
memiliki kepandaian amat tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap
(Pendekar-pendekar Pedang Lima Garuda) dan sesudah memilih puncak yang berada
di sebelah kanan puncak di mana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai,
mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari
Kun-lun-san)!
Hal ini
masih tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran fihak Kun-lun-pai yang selalu
mengutamakan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng
ternyata bukanlah orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak
puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang
terkenal.
Beberapa
kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang
didiami oleh Kun-lun-pai, bahkan mereka pernah menghina dan memukul seorang
anak murid Kun-lun-pai yang sedang turun gunung. Akan tetapi, tetap saja
Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka tidak mau
cekcok dengan ‘tetangga’!
Agaknya dari
pihak Kun-lun Ngo-eng juga tak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai. Oleh karena
itu, setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak
melanjutkan kekurang ajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.
Akan tetapi,
diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar
laporan dari para murid Kun-lun-pai bahwa sebenarnya ‘tetangga’ mereka itu
bukanlah orang baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat
dengan mata sendiri betapa kelima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu
pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, dan dibawa ke atas
puncak!
Kun-lun
Sam-lojin, yaitu Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir
tak dapat menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi,
ketika Seng Thian Siansu mendengar akan maksud tiga orang sute-nya ini, ia
cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang sangat patuh kepada
Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang
menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk
melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.
Akan tetapi,
beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan
Kun-lun-san. Hal ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, yakni orang termuda dari
Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal
suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu,
bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.
Tentu saja
suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah
sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih
laki-laki tua muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali
oleh Kun-lun Ngo-eng. Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-eng Sianjin
seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini memainkan pedangnya
yang lihai, belasan orang langsung roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain
lalu melarikan diri.
Tangis
riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek
pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak
laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw
Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!
“Ehh, ada
apakah ribut-ribut ini?” tanyanya pada orang Hui itu.
Kepala suku
bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat
melihat bahwa yang datang ini adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentunya
memiliki kepandaian tinggi.
“Lo-enghiong,
kami keluarga Hui tertimpa malapetaka hebat...! Anakku perempuan telah diculik
oleh saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan pada saat aku serta
saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku
bahkan tewas oleh saikong siluman...”
Siangkoan
Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.
“Aneh, siapa
orangnya yang berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah barat itu
pusat dari Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong ke sana?”
“Sudah,
Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tak mau
turun gunung menolong...”
Siangkoan
Hai membelalakkan matanya. “Aneh, aneh! Mengapa begitu?”
“Suhu, lebih
baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tak sabar.
“Memang kita
harus lekas menolong, dan hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku
jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin kenapa
tidak mau menolong mereka ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang
itu.
“Hayo bawa
kami ke tempat saikong siluman itu!”
Demikianlah,
beramai-ramai orang-orang Hui itu lalu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang
muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu
terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui
yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang lebih dekat dan
hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini
berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan
dengan gagahnya.
Ketika
mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa
heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda
dan dua orang gadis yang semuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas
sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.
“Orang-orang
muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah
datang minta bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga
remaja tadi.
Lima orang
muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai tertawa tergelak. “Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk
angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau
kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian
Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!”
Tiba-tiba di
atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang
berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini
berkibar-kibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka
warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.
“Kami tak
mengenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang
tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!”
Mendadak
kelima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu berubah arah kibarnya,
yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin
masih jelas terasa berkibar ke kanan!
Siangkoan
Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok sana telah memperlihatkan
kepandaiannya. Dia juga tahu bahwa bendera itu berkibar karena ditiup oleh
orang yang mempunyai tenaga khikang yang luar biasa tingginya. Agaknya Kun-lun
Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian supaya dia
menjadi ketakutan dan segera pergi.
Kembali
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan sesudah melihat ke kanan kiri,
kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi. Sekali dia mengerahkan
tenaga, akar pohon itu telah tercabut dari tanah! Dia lalu menghampiri tembok
bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat
berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu
jauh lebih tinggi dari pada bendera-bendera tadi.
“Ha-ha-ha!
Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di
dunia ini!”
Perbuatan
Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan pada sebelah dalam bangunan, karena
terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan kedua orang
muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang
muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.
Lalu
terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.
“Pak-lo-sian
Siangkoan Hai! Tak perlu kau memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau
kau mampu, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah
suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.
Siangkoan
Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi
Kiat kedua orang muridnya.
“Kalau
sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan
sampai membunuh orang.”
Kun Beng dan
Swi Kiat mengangguk. Mereka sudah mengerti akan kehendak suhu-nya ini.
Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas
tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima
orang aneh serta belasan orang anak-anak muda yang elok-elok.
Lima orang
ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara
empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apa
lagi dua orang wanita, meski dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah
setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan
pipi.
Pakaian
mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, orang kedua
berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka,
marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.
Orang
pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua
dari Kun-lun Ngo-eng. Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua dan rambutnya
telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia
adalah seorang tosu. Pedangnya menempel pada punggung dan tubuhnya yang
jangkung kurus membuat dia nampak amat gesit. Orang tertua inilah yang di sebut
Pek-eng atau Garuda Putih!
Orang kedua
adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah
Ui-eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya.
Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan
pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw. Walau pun pakaiannya
seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan
sifat-sifat aslinya.
Tak dapat
disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang
amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Meski
sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, akan
tetapi dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita.
Seperti juga
suheng-nya, dia memakai pedang di punggungnya. Hanya bedanya, gagang pedangnya
memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, ada pun gagang pedang Pek-eng
Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih.
Orang ketiga
juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya beberapa tahun lebih
muda dari Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampaknya jauh lebih
muda. Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan
tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu
tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak
gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling
penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah
ini.
Dandanannya
jauh lebih ‘aksi’ dari pada suci-nya yang oleh karena potongan pakaiannya bukan
potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan sangat ketat
mencetak tubuhnya yang memang bentuknya bagus sekali. Rambutnya disanggul bagai
dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya.
Biar pun
bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena
Jeng-eng Mo-li lincah, genit dan gembira, maka boleh dibilang dia jauh lebih
menarik dari pada suci-nya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi
mengeluarkan suaranya ketika menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk memasuki
tempat tinggal mereka.
Orang
keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian bagai pendeta tosu, berwarna
merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke
lima yang bernama Hek-eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti
perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh
seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada
punggungnya.
Maka
ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu,
seorang tokouw serta seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah
ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya merupakan ahli
Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).
“He-he-he,
seperti anak wayang saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang
yang pakaiannya aneh itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara
Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan Memperebutkan Tulang Anjing)?”
Sudah tentu
saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh
Singkoan Hai hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap
mereka yang sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah
yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka
ini, sejak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!
Sedangkan
orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai,
pertapa wanita berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan
Hai itu, mukanya langsung menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak,
lantas tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar
ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!
Jarum
rahasia yang dilepaskan oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja.
Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus
serta kecilnya sehingga apa bila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat
menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan
terbawa oleh darah!
Dalam
penggunaan jarum-jarum ini, orang yang melontarkannya harus memiliki tenaga
lweekang yang tinggi dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan
dengan tujuh belas batang jarum, dapatlah dinilai betapa hebatnya tenaga
lweekang dari Ui-eng Suthai!
Orang biasa
saja bila diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya
takkan tertolong lagi. Bahkan ahli-ahli silat yang kurang pandai sukar
membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu, terlebih lagi dalam keadaan
sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki!
Namun, yang
diserang adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia
jeri menghadapi jarum-jarum halus ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di
kedua tangannya sudah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil
tersenyum mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih pada
tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali,
ketika terkena sambaran angin kebutan kipas putih, jarum-jarum kecil itu
tiba-tiba membalik dan runtuh semua ke bawah.
“Ha-ha-ha,
siluman rase! Hendak aku mengukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim
tebalnya bedak di mukamu!” Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas
hitam di tangan kanannya.
Hebat sekali
akibatnya! Jarum-jarum yang belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa
kebutan kipas hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai.
Ui-eng
Suthai menjerit marah dan segera memutar pedangnya, memukul runtuh semua
jarum-jarumnya sendiri. Melihat kelihaian lawan, memang sejak tadi dia sudah
mencabut pedangnya dan bersiap sedia. Kemudian, sambil mengeluarkan pekik
nyaring, tokouw ini lantas menggerakkan tubuhnya yang cepat melayang ke atas
dan menyerang Siangkoan Hai dengan pedangnya.
Akan tetapi,
terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai sudah lenyap dari
atas tembok itu, karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah
membetot tangan kedua muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.
“Bangsat
tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!” Pek-eng Sian-jin membentak dan
segera menyerang dengan pedangnya.
Melihat
serangan ini, segera tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin
benar-benar lihai dan tenaganya bahkan lebih kuat dari pada Ui-eng Suthai. Maka
ia pun tidak berani berlaku ayal.
Tanpa dapat
terlihat saking cepatnya, dia sudah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan
kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu
dan padangan mata Pek-eng Sianjin segera berkunang-kunang saat melihat ujung
tombak di tangan kakek pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya!
Tombak itu
tergetar dan mengaung dengan suara yang menyakitkan telinga, sedangkan setiap
kali pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan
terlepas dari pegangan. Pada waktu secara nekat Pek-eng Sianjin melompat ke
atas lalu menukik ke bawah sambil membabat dengan pedangnya ke arah leher
lawan, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga pedang lawan tertempel dan ikut
terputar.
“Turun kau!”
bentak Siangkoan Hai.
Benar saja,
tanpa dapat menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya
menancap di atas tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sejenak,
seakan-akan Pek-eng-Sianjin berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan
tangan memegang gagang pedang yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke
atas. Akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat
berdiri kembali, lalu mencabut pedangnya.
“Nanti dulu
sebelum kalian melanjutkan permainan wayang ini!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai
berseru. “Aku datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguh pun aku tidak akan
menolak setiap pertempuran yang menggembirakan. Namun, sebenarnya kedatanganku
ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda?
Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?”
Pek-eng
Sianjin tertawa mengejek. “Hemm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian
Siangkoan Hai sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate
yang lancang mulut lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami
memilih dan mengumpulkan murid-murid kami supaya dapat mewarisi ilmu pedang
kami, lalu ada sangkut paut apakah dengan kau orang tua?”
Mendengar
ucapan ini. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya,
dia telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat di situ terdapat
belasan orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang semuanya berwajah tampan
dan cantik sekali. Mereka ini dengan pedang di tangan sudah pula mengurung Kun
beng dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seolah-olah mereka tidak
suka ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!
Akan tetapi,
pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda
yang layu dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia pun tahu bahwa orang-orang
muda itu menderita sekali di dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi
dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar
dengan semua orang muda itu. Ia segera teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,
“Ah,
begitukah gerangan kenapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan
dara-dara cantik?” dia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, “Jadi
semua murid-muridmu berjumlah tujuh belas orang?”
Pek-eng
Sianjin mengangguk sambil tertawa. “Murid-muridku hebat semua, bukan? Hee,
Pak-lo-sian, kau juga mempunyai dua orang murid yang baik, tidak perlu kau
merasa iri hati.”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan merasa setuju dengan
omongan ini. Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.
“Ucapanmu
benar sekali! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan
manis-manis pula, tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mempunyai seorang
murid perempuan pula! Eh, Kun-lun Ngo-eng, kalian berlima seperti garuda-garuda
yang suka menyambar anak-anak ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan
kepadaku!”
Kun-lun
Ngo-eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek
pendek kecil yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin
yang berpakaian serba merah itu tertawa bergelak lalu berkata,
“Ha-ha-ha,
orang tua pendek kecil, ternyata kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan
berhasil masuk ke sini, nah... kau lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik,
dan pilihlah yang paling jelita menurut penglihatanmu!”
Ang-eng
Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Dia tadi sudah menyaksikan
kelihaian kakek kecil ini dan tahu bahwa biar pun mengeroyok lima, belum tentu
dia dan saudara-saudaranya akan sanggup menang, maka lebih baik kehilangan
seorang ‘murid’ dari pada harus menghadapi resiko yang lebih berbahaya.
Ada pun Kun
Beng dan Swi Kiat pada saat mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan
dengan mata melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Dua orang anak ini
sudah mengenal baik kebersihan hati suhu mereka, lalu mengapa suhu-nya kini
berkata seperti itu? Sudah miringkah otak guru mereka ini?
Hampir saja
Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh
oleh Kun Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhu-nya tentu
main-main saja dengan lima orang aneh itu.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk
memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan
berpakaian mewah itu, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Tidak ada
yang cocok! Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku
tidak mau. Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Ehh, Kun-lun Ngo-eng,
bukankah kemarin kalian menculik anak perempuan kepala suku bangsa Hui? Di mana
dia? Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau keluarkan yang itu, mungkin
cocok menjadi muridku!”
Berubahlah
wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata
kakek ini datang untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras
dan lima batang pedang dicabut serentak.
“Kau memang
mencari mampus!” bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang
saudaranya menyerang.
Siangkoan
Hai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kau kira aku
tidak tahu bahwa anak-anak ini sudah terpengaruh oleh racun dan kehilangan
kehendak sendiri? Kalian benar-benar iblis yang harus mampus!”
Setelah
berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan
kuatnya sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri
dari sambaran hawa pukulan tombak itu!
Belasan
orang anak murid Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan
Swi Kiat. Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan
tombaknya dan Swi Kiat mempergunakan sepasang kipasnya.
Ternyata
bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat
karena mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak
mempunyai ilmu kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang di antara
mereka sudah roboh tunggang-langgang. Baiknya dua orang murid Pak-lo-sian ini
sudah dipesan oleh suhu mereka supaya tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak
tentulah mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah
sekali.
Ada pun
Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sekarang sudah tahu akan rahasia lima orang
lawannya yang betul-betul jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang
berkedok pakaian pendeta, menjadi marah sekali. Permainan tombaknya makin lama
makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak hebat.
Ilmu pedang
mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini,
mereka benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga.
Pak-lo-sian memang mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi,
namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping
kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga dalam hal
ilmu silat!
Makin lama,
gerakan ilmu pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan kini
mereka berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu. Akan
tetapi Pak-lo-sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan lima
orang itu?
Dengan
ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Pada
saat itu, kakek kate yang sedang marah ini agak kehilangan kewaspadaannya dan
dengan nekat dia menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi kelima orang ini
dan membalaskan dendam orang-orang muda yang terjatuh dalam tangan Kun-lun Ngo-eng
dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu.
Lima orang
Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka
segera meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya,
terdengar suara keras dan pecahlah pintu itu!
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai menyerbu masuk dan mendadak dari atas turun batu besar menimpa
kepalanya! Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan tidak
akan disebut tokoh terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya
serangan mendadak ini.
Batu yang
beratnya seribu kati itu menimpa kepalanya dari atas secara mendadak dan
agaknya tak dapat dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia
hanya mempergunakan tangan kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga
batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima
orang lawannya!
Kun-lun
Ngo-eng terkejut bukan main. Mereka cepat meloncat mundur sehingga batu itu
menimpa lantai dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan
berhamburan! Ketika debu yang tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat
lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.
“Lima ekor
anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!”
bentak Siangkoan Hai yang menjadi makin marah.
Kakek ini
lantas meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu
pecah. Ia tiba di sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia
bingung untuk sejenak. Pintu ruangan ini dipasangi cermin sehingga dia melihat
bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu. Tiba-tiba cermin itu terbuka dan
dari situ menyambar puluhan anak panah.
Siangkoan
Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya
merosot turun membawa tubuhnya ke bawah pula! Dia tidak dapat keluar dari
kurungan ini, karena semua pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia
hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai yang turun ini akhirnya
berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang
dindingnya terbuat dari pada besi tebal dan keadaan di situ gelap sekali!
Terdengarlah
suara orang-orang tertawa, disusul oleh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan
nyaring.
“Siangkoan
Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid
kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng sudah
pergi meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh.
Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang
nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara
yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak
berdaya keluar.
Kun Beng dan
Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng
yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.
“Suheng,
jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang
mabuk.” Berkali-kali Kun Beng memperingatkan suheng-nya.
Kalau sudah
marah, Swi Kiat tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di
sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan
karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu.
Tiba-tiba
muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka,
Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti
bahwa suhu mereka tentu telah mengalami bencana.
“Di mana
Suhu-ku?” seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.
Pek-eng
Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang
tajam dengan mata kagum.
“Kau
benar-benar gagah, orang muda,” katanya.
Ada pun
Jeng-eng Mo-li juga melompat ke depan Kun Beng, mengulurkan tangan untuk meraba
pipi pemuda itu. Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya
telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.
“Kau tampan
sekali,” kata Jeng-eng Mo-li.
Melihat
sikap mereka, Kun Beng tak dapat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang
tadi sudah disimpan. Apa lagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak,
pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai
yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya untuk
menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
“Bagus,
pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” berkata
Ui-eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.
“Benar, Suci
(Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tidak tercela.
Benar-benar pemuda yang menawan hati!” Jeng-eng Mo-li berkata sambil terus
tertawa ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.
Memang,
kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh dibilang luar biasa
kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi
kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian
tinggi, juga sudah matang pengalamannya.
Beberapa
jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu
tanpa membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai sapu
tangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan sapu tangan itu ke
arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya
lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan
di dalam pelukan Ui-eng Suthai!
Hampir
berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan sapu tangannya yang berwarna hijau
dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan
pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban
mereka dan membawanya lari ke dalam, diikuti pandangan mata tiga orang saudara
seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun
Ngo-eng yang bejat moralnya!
Tertawannya
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan kemarahan besar pada Kun-lun Sam-lojin.
Mereka menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali.
Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw,
dan jika sekarang orang tua itu sampai mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah
itu membuat buruk nama Kun-lun-pai?
“Mereka
sudah terlalu berani. Apa bila didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan
mendapatkan nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus
diam saja?” berkata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin.
Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras di antara
saudara-saudaranya.
“Habis
apakah yang harus kita lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita
mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan. Apa bila kita turun tangan,
tentu twa-suheng marah sekali,” kata Seng Te Siansu hati-hati.
“Memang
sukar,” kata Seng Jin Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan
saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Jika menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan
melanggar larangan twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan
tetapi, kurasa lebih baik kita melanggar larangan dari pada melanggar peri
kemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi peri
kebajikan! Sekarang twa-suheng lagi bersiulian (bersemedhi) dan tidak mungkin
diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang
jahat sambil menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita
beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat.”
Akhirnya dua
orang saudaranya menyetujui, dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan
besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran amat hebat antara
Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang
dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar.
Dalam
pertempuran mati-matian, Seng Giok Siansu, orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin
akhirnya roboh lantas tewas oleh jarum dari Ui-eng Suthai yang disebut
Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Ada pun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang
lain, yaitu Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!
Sesudah
terjadi peristiwa yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat
pertapaannya dan turun gunung. Dia memaksa diri biar pun tubuhnya sudah tua
serta lemah, dan berniat hendak mengadu nyawa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya,
biar pun kepandaiannya lihai, kakek yang sudah amat tua ini akan menghadapi
bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan
dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
Mendengar
penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.
“Locianpwe,
mereka itu sungguh-sungguh jahat dan layak sekali dibasmi. Kiranya tidak perlu
Locianpwe sendiri yang mengotorkan tangan, biar teecu mewakili Locianpwe untuk
membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian serta sute-sute dari
Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Terima
kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Apabila bukan engkau yang mengajukan
penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan
sendiri, meski tenagaku sudah lemah. Akan tetapi aku pecaya penuh padamu dan
kau wakililah aku. Kelak sebelum mati mungkin sekali aku akan dapat
meninggalkan sesuatu bagimu.”
Ang-bin
Sin-kai tersenyum, lalu menoleh kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, kau mendengar sudah
bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau
wakililah gurumu menerima hadiah itu.”
Sesudah itu,
Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya
cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng…..
***************
Pada saat
siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah
pembaringan yang ditilami dengan kain sutera hijau. Pembaringan itu indah
sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itu pun
sangat indahnya, dihiasi dengan dinding yang dipenuhi gambar-gambar pemandangan
dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar
seorang puteri bangsawan.
Semua ini
masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening. Akan tetapi
ketika mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia
melompat turun dari pembaringan kemudian berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa
di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya.
Perempuan
ini sekarang tak kelihatan galak lagi, melainkan telah berhias dengan bedak dan
gincu tebal. Lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu
benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali.
Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum paham akan segala kemesuman
perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasakan
dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.
Seketika itu
juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa
dia telah tertawan dan dibawa ke kamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi
merah sekali saking jengah dan marahnya.
“Anak yang
baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup
sebagai seorang pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara
dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.
“Siluman
jahat!” Kun Beng membentak.
Pemuda ini
hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu,
lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu
menariknya kembali ke dalam kamar.
“Kalau kau
keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar
kau akan hidup penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara bernada
membujuk.
“Anjing
hina-dina, lebih baik aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun
tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!
Akan tetapi,
dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini.
Bahkan sekali menggerakkan tangan, dia telah bisa menangkap pergelangan tangan
Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap
pula sehingga Kun Beng sama sekali tidak berdaya lagi!
“Bodoh, kau
menurutlah saja. Aku sangat sayang kepadamu karena kau lain dari pada
pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel,
kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi
minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa
dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan
boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku.
Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini.”
Namun,
sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan
tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi
keselamatan Jeng-eng Mo-li! Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan
Kun Beng dengan dua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan
datangnya dari jarak dekat ini tak dapat ditangkis.
Terpaksa dia
melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi
marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya
dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!
“Bocah tak
kenal budi!” Jeng-eng Mo-li membentak keras karena dia pun merasa jengkel sekali
menghadapi pemuda yang nekat ini.
Dengan
sebuah bangku di tangan, dia menangkis serangan Kun Beng dan terdengarlah suara
keras ketika meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun
Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng
tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap
untuk menyerang dan melawan mati-matian.
Kalau saja
Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li,
tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Meski
Jeng-eng Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih
sayang kepada pemuda ini. Maka, ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia
mengebutkan sapu tangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!
Sama halnya
dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat sedang digoda dan dibujuk oleh Ui-eng
Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga
terpaksa Ui-eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang sudah
dicampur dengan bisa yang amat luar biasa.
Bisa ini
seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran hingga Swi
Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni
menurut serta mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan Ui-eng
Suthai! Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran
terkandung di dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa
muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.
Ada pun
Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu,
setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering,
bukannya menjadi gelisah atau bingung. Sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng
dengan kata-kata kotor, bahkan dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras
sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan
besar itu! Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi,
agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur
dalam keadaan seperti itu?
Sama sekali
tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur
kering, tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba
terus, ternyata bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan ada pula
tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda
terbuat dari pada kulit.
Siangkoan
Hai mengambil benda itu, kemudian disimpannya pada saku bajunya, hendak
diselidikinya apa bila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh
bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras dapat terdengar oleh orang-orang gagah
yang berada di Kun-lun-san, maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia
bernyanyi-nyanyi keras.
Kakek ini
tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak
usah takut. Mereka berlima tidak dapat mengganggunya walau pun dia telah
tertawan di dalam sumur.
Ada pun soal
makan, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. Pernah dia tidak
makan sampai sebulan lamanya dan sekali dia ‘membuka puasanya’ dia dapat
menghabiskan belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama dia
sanggup mempertahankan diri, tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir
kakek ini.
Tidak
seperti Ui-eng Suthai yang sudah tidak sabar lagi dan terus saja memberi minum
arak pembius kepada Swi Kiat, Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun
Beng. Bila pemuda ini siuman, beberapa kali dia membujuk dengan kasar dan
halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali dengan kebutan sapu tangan
hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi
menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?
“Kau
benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi seekor anjing hidup!”
kata Jeng-eng Mo-li marah dan jengkel sekali.
Ia keluar
dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis
muda yang cantik dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah dua orang
muda ini pucat dan sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi.
Melihat
mereka ini, Kun Beng bergidik karena kini dia pun maklum bahwa yang dianggap
murid-murid Kun-lun Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang
berada di bawah pengaruh obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut
boneka-boneka hidup!
Jeng-eng
Mo-li berkata kepada Kun Beng,
“Anak bodoh,
kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?” Kemudian wanita jahat itu
menoleh kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ,
sambil memandang tajam dan membentak keras,
“Kalian
berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!”
Sesudah
mendengar ucapan ini, dua orang muda itu segera berlutut dan merangkak-rangkak
memutari kamar itu bagaikan dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa
genit Jeng-eng Mo-li kemudian mengambil dua potong kue dari atas meja yang
tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua
potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,
“Makan kue
itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda
itu lalu makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!
“Keluar dari
sini!” Jeng-eng Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu
seperti anjing-anjing dipukul!
Menyaksikan
pertunjukan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya
berubah merah.
“Perempuan
iblis, kau harus mampus!” Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan
menerkam Jeng-eng Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini.
Akan tetapi
memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok
jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah
sekali dan habis kesabarannya.
“Kalau kau
tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!”
Setelah
berkata demikian, dia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika dia
membuka tutup botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Dia menghampiri
Kun Beng yang sudah di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak
menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan keras dari luar kamar.
“Perempuan
iblis!”
Dan
menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng
Mo-li mengelak, botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas
dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu
makin menghebat.
Jeng-eng
Mo-li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai!
Dia cepat melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai
tidak mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh
totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar.
Bagaimanakah
Pak-lo-sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada
saat yang amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin
Sin-kai, akan tetapi sesungguhnya bukan hasil kerja kakek sakti ini, melainkan
muridnya yang menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Seperti
sudah dituturkan pada bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan
muridnya berlari cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau Lima
Garuda dari Kun-lun-san itu. Tak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari
depan, Ang-bin Sin-kai mengambil jalan dari atas! Dia sudah dapat menduga bahwa
orang seperti Pak-lo-sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat
tempat-tempat rahasia dan jebakan-jebakan.
Dia memegang
tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang
tinggi. Kemudian, dengan menggenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat
melompat terus genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga sedikit pun
tidak terdengar oleh orang-orang yang berada di bawah.
Dalam
percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di
dalam bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja,
sedangkan para ‘murid-muridnya’ tidak memiliki kepandaian berarti.
“Kwan Cu,
kau lihat baik-baik. Pada saat aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun
Ngo-eng itu, kau baru boleh turun dan segera cari orang-orang yang perlu
ditolong,” kata pengemis sakti itu kepada muridnya.
Kemudian,
guru dan murid ini sampai di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah
ruangan di bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita
setengah tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum
dengan senangnya.
Mereka ini
adalah Pek-eng Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang
perempuan adalah Ui-eng Suthai. Ada pun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena
wanita busuk ini sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya
sendiri!
Mereka ini
dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti
patung hidup. Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara
para anak muda yang melayani empat orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak
muda yang lain, Swi Kiat juga berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar.
Tadinya
Ang-bin Sin-kai hendak menunggu sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua
supaya dia dapat menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk
menolong Pak-lo-sian, murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan di situ. Akan
tetapi saat kakek pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu,
seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya
memuncak, karena kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak
muda itu!
Pada saat
Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang gesit sekali dan juga amat ringannya, kemudian disusul
oleh suara orang menyuling lagu kuno yang indah!
“Hang-hong-siauw
Yok-ong datang...,” Ang-bin Sin-kai berkata perlahan pada muridnya. Kemudian
dia berkata kepada bayangan yang datang itu.
“Yok-ong
(Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!”
Setelah berkata demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai
melompat turun dan segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu.
Ketika tadi
mendengar suara suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun
Ngo-eng itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat
duduknya, apa lagi ketika mereka mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum
mereka kenal.
Tentu saja
mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagai mana ada
orang bisa berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara
kakinya? Padahal mereka rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam!
Oleh karena
itu, dapat dibayangkan alangkah hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup
angin kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas
meja yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang
rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya. Ketika dari
atas, kakek ini melayang ke atas meja dan kini berdiri di atas dua buah mangkok
sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu
berkata mengejek,
“Masakan
busuk... aku tidak doyan...!”
Pek-eng
Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu telah
mengetahui akan semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah
merasa tidak enak sekali dengan tertawannya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun
Sam-lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan kakek pengemis ini
tentu ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu.
Maka dia
lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang
ini mengepung serta menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas
meja dengan kedua kaki di atas mangkok. Yang diserang hanya menggerakkan kedua
kakinya dengan sangat tenang dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran
ke arah empat penyerangnya!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment