Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 13
KETIKA
Pek-eng Sianjin dan ketiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah
mereka, cepat mereka memukul dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka
ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walau pun mangkok-mangkok
itu berhasil dipukul pecah.
Mereka
mendesak maju dan mengurung meja. Tetapi dengan mangkok-mangkok di atas meja,
Ang-bin Sin-kai melayani mereka dengan cara menendangi mangkok-mangkok itu ke
arah empat pengeroyoknya.
Sementara
itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini
sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin
Sin-kai melayani keempat orang lawannya. Untuk beberapa lamanya Hang-hong-siauw
Yok-ong menonton sambil tertawa-tawa.
Kemudian dia
menotok roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan
saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut
ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia
mencari-cari lagi anak-anak muda lainnya yang memang banyak terculik oleh lima
orang jahat itu.
Setelah
melihat suhu-nya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, Kwan Cu
lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang
yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para
tawanan?
Ketika dia
tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal
suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari
mana suara itu datang, yakni dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.
“Pak-lo-sian
Locianpwe...!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.
Suara
nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.
“Ha-ha-ha,
bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau cari tambang yang
panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan saja
kepada tiang agar aku dapat naik!”
“Baik,
Locianpwe, tunggulah sebentar.”
Kwan Cu lalu
berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Dia bertemu
dengan beberapa ‘murid’ Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi,
sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka
itu bertempur bagai orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja
Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.
Anak gundul
yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga
dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat
mereka terpental mundur. Akhirnya Kwan Cu dapat menemukan tambang yang panjang
dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.
“Locianpwe,
tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam
sumur yang amat gelap itu.
Kwan Cu
tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, kan tetapi memeganginya dan
membelit-belitkan pada dua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu
bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik
melalui tambang bagaikan seekor kera saja.
Ketika tiba
di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian
tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,
“Cepat,
Locianpwe, teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki di kamar belakang sebelah
kiri. Agaknya dia dalam bahaya!”
Memang pada
waktu mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang
memaki-maki Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia
dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng sangat boleh jadi berada
di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk
menghadapi lawan tangguh.
Mendengar
ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai segera melompat dan lenyap dari situ. Seperti
sudah dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai
dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang amat berbahaya.
Ada pun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang
saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera
membantu.
“Ha-ha-ha!
Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya.
Terdengar
teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini
berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan
sekarang dibaringkan berjajar di atas lantai, belasan orang jumlahnya.
Sambil
meniup sulingnya, Yok-ong semenjak tadi menonton pertandingan antara Ang-bin
Sin-kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekali dan sulingnya ditiup
keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya
pertempuran. Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai merasa mendongkol sekali dan
sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong.
Melihat
tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara
sulingnya. Dia hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng
Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran!
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, terlebih dahulu menolong
dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai
yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju
ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok
lima.
Pak-lo-sian
marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng mengenai kejahatan Kun-lun Ngo-eng.
Apa lagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat,
rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.
“Harus
kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.
Ang-bin
Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya kebetulan sekali bisa
melihat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk melalui sebuah pintu, diikuti
oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kun-lun-pai. Kakek pengemis ini segera
berkata,
“Hee,
Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok,
kini Hek-eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya.
Tubuh
Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat
Pak-lo-sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara yang telah merasa
amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya.
Sekali sambar dia sudah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin.
“Mampuslah
kau!” serunya dan tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.
Terdengar
suara keras ketika kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang
keras itu. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi
lantai.
Yok-ong
menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,
“Memang
begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya,
iblis yang mengeram di dalam tubuhnya tak akan mau pergi!”
Namun baru
saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai
yang ternyata masih dapat mengeroyok juga sesudah tadi digunakan sebagai bal
oleh Yok-ong dan Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan
tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong!
“Ini
bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.
“Eh, eh,
ehh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena
tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.
Dia seorang
Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram
dan dibawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana ia bisa membunuh orang? Maka
setelah tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorong
kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yaitu Swi Kiat, pasti menjadi
korban perempuan ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng
Mo-li, dilihatnya tadi menggoda Kun Beng. Maka marahnya tidak dapat
dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia pun mengangkat kaki kanannya
menendang ke arah lambung Ui-eng Suthai.
Wanita ini
menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh
di atas tubuh Hek-eng Sianjin dalam keadaan tidak bernyawa pula. Yang membunuhnya
adalah tendangan tadi karena Pak-lo-sian tak mau berlaku kepalang tanggung dan
telah mengerahkan seluruh tenaga dalam tendangannya. Karena itu, mana Ui-eng
Suthai kuat menahan tendangan itu?
Sesudah
menewaskan dua orang jahat itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai menjadi semakin buas.
Dia memang paling benci kepada orang-orang jahat, apa lagi setelah dia melihat
keadaan orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang
disayanginya.
Sambil
mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang
masih dipermainkan oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat
bertahan menghadapi serangannya? Sedangkan hanya menghadapi Ang-bin Sin-kai
seorang saja mereka sudah menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kini Pak-lo-sian
Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula
menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi.
Jeng-eng
Mo-li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian.
Kipas ini menyambar bagaikan seekor burung gagak liar, dan meski pun Jeng-eng
Mo-li berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia
belaka. Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas.
Terdengar
jerit mengerikan dan tubuh Jeng-eng Mo-li roboh kemudian ketika Pak-lo-sian
menendangnya, tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh
Ui-eng Suthai dan Hek-eng Sianjin!
Pek-eng
Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk terus bertahan. Ilmu
pedangnya memang paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih mampu
mempertahankan diri.
Akan tetapi
Ang-eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai
menggunakan kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas
itu seperti ada matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu
mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan.
Terdengar
suara keras dan patahlah tulang leher Ang-eng Sianjin sehingga ia pun roboh tak
bernyawa lagi. Pak-lo-sian menendangnya pula hingga mayatnya bertumpuk dengan
mayat saudara-saudaranya.
Habislah
keberanian Pek-eng Sianjin sesudah melihat empat orang adik seperguruannya
tewas dalam keadaan amat mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam
keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan melempar pedangnya.
“Pinto (aku)
Pek-eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup,” Pek-eng Sianjin berkata dengan
bibir gemetar.
Mendengar
ini, Yok-ong lalu mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini
merasa jemu dan muak melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, karena
itu dia lantas membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih
rebah tertotok olehnya. Dia kini mulai memeriksa keadaan mereka dan
mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang sudah menjadi
boneka hidup akibat obat pembius dari Kun-lun Ngo-eng.
“Dia harus
mampus!” seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati
mengingat akan kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.
Sedangkan
Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng
Sianjin. Tanpa banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala
ketua Kun-lun Ngo-eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu
neraka.
Akan tetapi
Ang-bin Sin-kai berseru, “Pak-lo-sian, tahan!”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih
menyinarkan kemarahan besar.
“Mengapa kau
menahanku, Ang-bin Sin-kai? Apakah tidak sepatutnya anjing macam ini
dilenyapkan dari muka bumi?”
“Nanti dulu,
Pak-lo-sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang
yang sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tidak patut dilakukan oleh orang
gagah.” Kemudian pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.
“Berdasarkan
apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan tidak
akan melakukan kejahatan lagi?”
“Pinto sudah
bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin
dengan suara sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.
“Bohong!”
bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Ucapan
manusia semacam ini tidak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga
pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh iblis. Dia harus mati!”
“Benar
sekali, dia harus mati!” berkata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, setuju
dengan pendapat Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Ang-bin
Sin-kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ingatlah
ujar-ujar guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah
disebut kejahatan sesungguhnya apa bila orangnya tidak berusaha untuk mengubah
atau memperbaiki kejahatan dan semua kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah
berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untuk menebus
dosa-dosanya, maka dia berhak hidup.”
“Ang-bin
Sin-kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan
berbuat kejahatan? Bila kelak dia berbuat jahat, bukankah itu sama halnya
dengan kau sendiri yang berbuat kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak, “Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati,
sekali bicara tidak akan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung
jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?”
Kakek itu tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-eng
Sianjin,
“Kau tadi
berjanji akan mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani
bersumpah?”
Pek-eng
Sianjin mengangguk.
“Nah, kalau
begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”
“Jika aku,
Pek-eng Sianjin, tidak bertobat dan kembali melakukan kejahatan, biarlah aku
dan semua keturunan atau anak muridku binasa oleh orang-orang gagah!”
Baru saja
Pek-eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak kemudian
berkata,
“Nah, kau
pergilah!”
Sambil
berkata demikian, kedua tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari
tangan kirinya menotok punggung, ada pun jari tangan kanan memencet pinggang
ketua Kun-lun Ngo-eng itu.
Pek-eng
Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Sesudah dia
dapat mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di
seluruh tubuhnya, dia pun bangkit berdiri. Ternyata bahwa tubuhnya sudah
menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat digunakan untuk
memukul orang lagi! Dia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi
orang biasa yang bertubuh lemah!
“Ha-ha-ha,
Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lihai dan cerdik luar biasa!” kata Pak-lo-sian
Siangkoan Hai.
Dia tahu
bahwa Pek-eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi. Meski pun ingin melakukan
kejahatannya, namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang
berbahaya lagi. Juga kedua orang tosu dari Kun-lun-pai, mengangguk-angguk
memuji dan merasa lega melihat hajaran yang diberikan kepada Pek-eng Sianjin.
“Hemmm, dia
tidak mungkin dapat diobati lagi dan selama hidupnya akan tinggal menjadi orang
bercacad,” kata Yok-ong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara
itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin
Sin-kai dan berkata penuh dendam.
“Ang-bin
Sin-kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya terhadap sumpahku. Kau
sudah membuat aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja, kelak tentu
akan ada orang yang membalaskan sakit hatiku ini, apa bila tidak kepadamu,
tentulah kepada murid-muridmu!” Sesudah berkata demikian, Pek-eng Sianjin
segera berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu.
Terdengar
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Pengemis
bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu
dia sudah menjadi setan dan tak akan bisa mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang
kau harus berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya.”
“Biarlah,”
jawab Ang-bin Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain
berarti dia melanggar sumpahnya sendiri.”
Semua orang
lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan
kepandaiannya untuk mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat
itu. Seorang demi seorang diurutnya di bagian belakang kepala, lalu diberi
minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat.
Setiap anak
muda yang mengalami pengobatan ini lantas muntah-muntah dan keluarlah arak
hitam yang membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan
setelah dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis
sedih!
Juga Swi
Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah mempunyai dasar yang kuat
dan sudah berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah
pulih kembali. Dia memandang kepada suhu-nya, kemudian berlutut dan walau pun
tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya
melompat keluar dua titik air mata.
“Swi Kiat,
tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat
kau kehilangan dasar kekuatan di dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau tetap
giat berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,” gurunya berkata dengan
suara mengandung keharuan.
“Teecu
bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar
keras dan mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh
Ui-eng Suthai.
Setelah
semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh
Kun-lun-pai diberi tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantarkan mereka
kembali ke rumah dan dusun masing-masing.
Setelah
pengobatan itu beres semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya.
“Ehh, mana Kwan Cu?” tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa
khawatir karena ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat
itu.
“Muridmu
yang gundul itu?” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar
dari sumur.”
Tak hanya
Ang-bin Sin-kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga
Hang-houw-siauw Yok-ong turut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan
anak itu mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka
segera pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
“Kwan
Cu...!” Ang-bin Sin-kai berteriak nyaring sekali sambil mengerahkan khikang-nya
sehingga suaranya dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu.
Tidak lama
kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban
Kwan Cu.
“Teecu
berada di sini, Suhu!”
Pak-lo-sian
Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan
Hang-houw-siauw Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu
tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.
“Ehh, Kwan
Cu, kau di manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya.
“Teecu di
sini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!”
Baru semua
orang tahu bahwa Kwan Cu sedang berada di dalam sumur di mana tadinya
Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka
suaranya terdengar bergema ke atas dan tidak dapat ditentukan dari mana
datangnya.
“Ha-ha-ha-ha-ha!
Ang-bin Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki
neraka ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, tapi di samping kebodohannya
harus kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang
tadi dipakai untuk menolongku,” berkata Pak-lo-sian sambil menunjuk ke arah
tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk
ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah
sumur, menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.
Memang
betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran
yang aneh-aneh, juga sangat tabah dan cerdik. Dia tahu bahwa suhu-nya pasti
sanggup menghadapi para pengeroyoknya, apa lagi tadi dia melihat ada Yok-ong
yang sekarang ditambah pula dengan Pak-lo-sian. Dia tidak khawatir kalau
orang-orang tua itu tak akan dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng.
Karena itu,
ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak
memeriksa di bawah! Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah
sumur, tentu di sana tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum
melihat apakah sebetulnya yang ada di dalam sumur itu.
Sebelum
memasuki sumur, lebih dahulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di
atas meja dalam ruang yang berdekatan. Kemudian, setelah mengikatkan ujung
tambang pada tiang dan membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun
melalui tambang.
Ketika
kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda
keras. Ia melepaskan tambang dan segera meraba-raba benda itu yang ternyata
adalah tulang-tulang manusia! Dari rabaan ini Kwan Cu bisa menduga bahwa benda
itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang
diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia.
Dengan
tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang
sengaja dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap
pekat itu tiba-tiba menjadi terang. Pertama-tama yang ditemui penglihatannya
ialah tulang-tulang itu dan biar pun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia
merasa seram juga saat mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi
kiranya adalah tulang belulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan
kepalanya.
Di bawah
penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan dia mendapat kenyataan bahwa
kepala rangka itu telah pecah! Dia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya.
Tempat itu
lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia
melihat benda putih di sudut kiri. Sesudah diambilnya, ternyata bahwa benda itu
adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak
ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang tengah dicari-carinya. Dia meleletkan lilin di atas tanah yang
lembab, lalu duduk dan membuka-buka kitab itu.
Hampir saja
dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu
ternyata adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, yang dulu diperebutkan oleh lima orang
tokoh besar! Segera anak ini membaca kitab itu. Kegembiraannya bertambah ketika
dia mendapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang
telah dicuri orang dari goa tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!
Mendapatkan
kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab itu. Akan tetapi
tiba-tiba dia teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di
tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau
Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau
terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak akan tinggal diam dan tentu akan berusaha
merampasnya!
Ia teringat
betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab
ini, maka akan besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak
memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui
tentang rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu. Pikirannya
bekerja cepat dan ia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja
di tempat tersembunyi ini.
Ia cepat
membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai
Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah
buku, di halaman ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan mengenai kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian
ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi
seperti berikut:
‘Kitab ini
terkutuk dan menjadi alat perusak dunia kalau terjatuh ke dalam tangan orang
jahat. Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apa bila
terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan
ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi
Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam
tangan orang jahat, Liu Pang kemudian menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia
di atas pulau kosong.
Ketika
menyembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut
Sungai Yalu, lalu naik perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari
sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu
terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon
berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan
mendapat tuntunan tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.’
Hanya bagian
itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia berusaha
mengingat-ingat keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar
girang dan dia terkejut sekali ketika mendengar suara gurunya memanggilnya. Dia
cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain,
dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya!
Orang-orang
yang menunggu di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu.
Tentu saja semua orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa
khawatir sekali.
“Ehh, Kwan
Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.
“Teecu
sekarang juga keluar, Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam.
Setelah
melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini kemudian merayap naik melalui
tambang. Begitu dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng lantas tertawa
bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu
tanpa disadarinya sudah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab
itu agak basah dan ketika dibakar, maka menimbulkan asap hitam yang
menghanguskan mukanya!
“Ehh, Kwan
Cu, apa kau berubah menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar
karena melihat muridnya yang terkasih ini.
Sebaliknya,
Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini
maklum bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang
banyak sekali dan yang di antaranya ingin dia ketahui, apa lagi yang berkenaan
dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Kwan Cu,
apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.
“Di dalam
gelap sekali, Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain
yang berada di sana yang dapat di bakar.”
“Kau
menemukan apa di sana?” tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandang
mata tajam.
“Sama
seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik. “Apa
lagi yang bisa teecu ketemukan di dalam sana selain yang telah dilihat oleh
Locianpwe?” Jawaban ini menyimpang.
Ang-bin
Sin-kai tahu akan hal ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentulah ada
‘apa-apanya’ yang disembunyikan oleh bocah gundul ini.
Ang-bin
Sin-kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, sudahlah jangan kau
layani obrolan Pak-lo-sian, tentu tak akan ada habisnya. Mari kita pergi.”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu.
Sesudah tiba
di luar, Ang-bin Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh, “Kwan Cu, kau
menyembunyikan sesuatu dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”
“Suhu,
sebetulnya teecu telah menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu!
Dan teecu telah membakarnya menjadi abu.”
Saking
terkejut dan herannya, Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang
muridnya.
“Kau
bakar...?”
Kwan Cu
tersenyum. “Tentu saja setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng!”
Berubahlah
wajah Ang-bin Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.
“Kau tunggu
di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!”
Belum juga
Kwan Cu sempat bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari hadapan
muridnya ini. Dia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun
Ngo-eng dan mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai
berada. Ia bergerak hati-hati sekali karena maklum bahwa jika Pak-lo-sian
berada di situ, banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap
saja mendengar kedatangannya.
Akan tetapi,
ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di
sana. Dua orang tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda
dan pemudi, sedangkan Hang-houw-siauw Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang
ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke
dalam sumur itu. Tidak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang
menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!
Memang tepat
sekali dugaan ini. Tadi sesudah Ang-bin Sin-kai pergi bersama Kwan Cu,
Pak-lo-sian mengambil sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul
itu bertuliskan huruf-huruf besar ‘BUKU SEJARAH KUNO’, dia cepat pergi ke dalam
sumur dan memeriksa sambil membawa lilin!
Ang-bin
Sin-kai cepat-cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi.
Dia mendapatkan Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!
“Ehhh, dari
mana kau mendapat suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar
karena dia mengenal suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw
Yok-ong!
“Dari
Yok-ong Locianpwe,” jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat
di situ dan memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,
“Kau anak
baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada
harapan. Kau simpan suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu
pula.”
Ang-bin
Sin-kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu mempunyai pandangan mata
yang sangat tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan
baik dalam diri Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.
“Kwan Cu,
ternyata dugaanku benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa di dalam sumur dan kalau
dia melihat abu kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan
akan menggunakan kekerasan. Hayo kita cepat-cepat pergi, aku segan untuk
berurusan dengan kakek yang berkepala keras itu!”
Karena ingin
menghindar dari kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai segera menggendong Kwan
Cu, dibawa pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak
Kun-lun-san, sebuah puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang
sekali didatangi manusia.
“Perjalanan
yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau harus melakukan
perjalanan jauh, akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tokoh besar yang
selalu tidak mau tinggal diam sebelum mereka dapat merampas kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, sementara kita tinggal dulu di tempat sunyi
ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari
ini, kita takkan turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang
kumiliki.”
Demikianlah,
mulai hari itu Ang-bin Sin-kai mengerahkan seluruh perhatian serta tenaga untuk
mendidik dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat
sekali. Tak pernah terlihat anak ini menganggur, meski suhu-nya sedang
beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia
pelajari dari suhu-nya.
Bertahun-tahun
Kwan Cu dan suhu-nya seolah-olah terasing dari dunia luar dan hidup di
tengah-tengah hutan, di puncak sebuah bukit yang sangat tinggi. Mereka hanya
makan buah-buahan dan kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di
waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar gurunya mengeluh panjang pendek
oleh karena gurunya itu sudah sangat rindu akan arak dan masakan enak, Kwan Cu
menjadi terharu sekali.
“Suhu,
sungguh teecu tidak mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk
melatih ilmu kepada teecu. Ahh, budi yang begini besar, dan apakah teecu akan
dapat membalasnya?”
Mendengar
ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.
“Kwan Cu,
pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah
yang menjunjung tinggi peri kebajikan, bisa berbuat banyak terhadap orang-orang
lain. Akan tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan
kalau kau tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek Cin-keng! Kepandaianku belum
cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima
latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih
pandai dari padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini
anggaplah sebagai bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah
terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan
karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar
itu sebelum memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?”
Mendengar
ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan semakin giatlah dia. Dia menjadi terharu
sekali ketika gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan
ketika kembali membawa beberapa stel pakaian baru untuknya! Suhu-nya sendiri
tidak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada
tubuhnya itu sudah benar-benar hancur.
Atas
kehendak gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, sekarang Kwan Cu
memakai pakaian yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhu-nya
yang amat mengasihinya.
Beberapa
tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Dia sudah berusia lima
belas tahun, akan tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli
kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang hwesio kecil yang bertubuh sedang dan
padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin
halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan
silat yang tiada henti-hentinya.
Kembali
beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri.
Hari masih pagi sekali dan suhu-nya masih belum bangun dari tidurnya di dalam
sebuah goa. Akhir-akhir ini, suhu-nya nampak malas dan bangunnya pun apa bila
matahari telah naik tinggi. Tubuh suhu-nya nampak makin kurus dan kakek ini
beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.
“Aku sudah
sangat tua, Kwan Cu, tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku
satu-satunya hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,”
demikianlah berkali-kali kakek pengemis yang sakti ini mengeluh.
Pagi hari
itu Kwan Cu melatih ilmu silat Sin-ci Tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung),
yaitu ilmu silat paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat
ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu tiam-hoat
(menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari
tangan yang luar biasa kuatnya.
Sudah
berbulan-bulan dia terus melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih
kurang memuaskan hatinya. Pada pagi hari ini, sesudah pada malam tadi mendapat
wejangan dari gurunya yang membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari
pada ilmu pukulan Sin-ci Tin-san ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang
dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.
Pada saat
bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san, dia kelihatan lincah sekali.
Tubuhnya mencelat ke sana kemari serta kedua tangannya terbuka dengan dua jari
tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan ke sana ke mari dan sepasang
kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur.
Kemudian
mulailah dia menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri.
Dan bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang usianya baru lima belas tahun
ini. Tiap kali jari tangannya baik yang kanan mau pun yang kiri, menusuk ke
batang sebuah pohon, terdengar suara berderak kemudian pohon itu patah dan
tumbang berikut semua daunnya!
Kalau ada
orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh,
wajah Kwan Cu kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali
berkata,
“Tidak baik,
tidak baik! Gwakang-ku lebih besar keluarnya dari pada tenaga lweekang!”
Kembali
dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang langsung patah dan
tumbang.
“Kau terlalu
terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga gwakang sehingga
tidak seimbang dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu
menengok, ternyata bahwa suhu-nya sudah berdiri di belakangnya.
Kwan Cu
berlutut. “Suhu, mohon petunjuk dari suhu yang mulia.”
Ang-bin
Sin-kai tersenyum. “Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali saat
menghadapi perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan yang paling utama
adalah timbulnya nafsu yang menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu,
kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai
urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca
inderamu, dan sadar serta tak sadar harus waspada betul-betul. Kekuatan yang
tenaganya tampak seperti pukulanmu kepada pohon itu, hanya boleh digunakan
untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan
tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh.
Ingatlah, segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul
kuat.”
“Mohon suhu
memberi penjelasan mengenai Sin-ci Tin-san, karena sesungguhnya teecu belum
dapat melakukannya dengan baik.”
Ang-bin
Sin-kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan satu jarinya untuk
menusuk pohon itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak
bergerak sedikit pun juga, bahkan tiada sehelai pun daun yang rontok. Akan
tetapi ketika Ang-bin Sin-kai menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan,
ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat
hancur batang pohon di balik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu
lantas tumbang ke tanah!
“Dalam
pukulan Sin-ci Tin-san, kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau
harus tenang dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang
itu akan berubah menjadi tenaga gwakang yang kasar.”
Demikianlah,
Kwan Cu digembleng terus oleh suhu-nya sehingga setahun kemudian dia telah
memiliki tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia
berlari seperti terbang, serta ilmu silat yang lihai. Suling yang didapatnya
dari Yok-ong ternyata merupakan senjata yang amat ampuh. Suling ini terbuat
dari pada baja hijau dan kuatnya bukan main.
Ang-bin
Sin-kai melatih ilmu pedang tunggalnya yang membuat dia dapat menjagoi dunia
kang-ouw puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Memecah dan Membuka). Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan
sulingnya dan ternyata cocok sekali.
Selain
pandai memainkan suling sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup
lagu-lagu merdu dari sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin
Sin-kai yang tahu akan teori meniup suling sungguh pun ia sendiri kurang
berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak
lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.
Dua tahun
kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.
“Muridku,
kini kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kau pakai sebagai bekal dalam
perjalanmu mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menuruti petunjuk yang
kau baca dalam kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal
doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat
yang paling lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati sehingga
aku dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”
Kwan Cu yang
berlutut di depan suhu-nya merasa sangat berat untuk berpisah dan pergi
meninggalkan suhu-nya yang kini nampak tua sekali.
“Semenjak
dahulu memang teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat
tua dan siapakah yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.
“Kwan Cu, apakah
kau akan memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang
kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tak membutuhkan pelayanan orang lain.”
“Akan
tetapi... kalau teecu rindu kepada suhu dan hendak bertemu, ke manakah teecu
harus mencari suhu?”
“Aku akan ke
kota raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku tak akan jauh dari tempat kau
mencari kitab itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”
Setelah
mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia
bawa sebagai bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu
lalu mulai turun gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke
pantai sebelah timur dari Tiongkok.
Ia melakukan
perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu
mengikuti sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur…..
***************
Baru
sekarang Kwan Cu merasa alangkah sunyinya hidup seorang diri dan melakukan
perjalanan tak berteman. Dia rindu kepada suhu-nya yang baginya merupakan
penganti ayah bundanya. Namun hati Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja
dia telah melenyapkan rasa sunyi itu dan memaksa hati bergembira.
Suling
pemberian Yok-ong yang kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang
paling setia. Setiap kali dia beristirahat di mana saja, dia selalu meniup
sulingnya. Suara sulingnya inilah yang menghibur hatinya, biar pun dia berada
di dalam hutan yang sunyi, apa bila dia meniup suling maka lenyaplah rasa sunyi
dalam hati.
Perjalanan
yang dilakukan oleh pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, paling sedikit ada
empat ribu kilo meter! Terlebih pula perjalanan ini banyak melalui
gunung-gunung serta hutan-hutan liar yang sukar dilalui.
Akan tetapi
Kwan Cu sekarang sudah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi
sehingga perjalanan yang sukar itu dapat dilakukan dengan cepatnya. Ginkang-nya
telah terlampau tinggi untuk dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau pun
jalan-jalan yang menanjak.
Semenjak
turun gunung, dia tak lagi mencukur rambutnya sehingga kini dia benar-benar
merupakan pemuda yang gagah dan tampan luar biasa, dengan sepasang mata
bersinar tajam namun jujur dan bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang
lapang dan tabah. Dia mengikat rambutnya dengan sapu tangan agar rambut itu
tidak turun menutupi mukanya.
Kurang lebih
setengah tahun dia melakukan perjalanan, meski kadang-kadang berhenti untuk
menikmati pemandangan alam di beberapa gunung yang aneh atau mengagumi
bangunan-bangunan indah di kota-kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan
selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap bentrokan sesuai dengan nasehat
suhu-nya.
Memang
beberapa kali ia pernah dihadang oleh para perampok yang hendak merampas
pakaiannya, akan tetapi Kwan Cu tidak mau melayani para perampok itu dan setiap
kali dia hanya membuat para perampok berdiri bengong seperti patung karena
pemuda yang hendak dijadikan korbannya itu tiba-tiba saja tertawa dan
berkelebat melenyapkan diri dari depan mata mereka!
Lebih enam
bulan kemudian dia tiba di perbatasan utara dari propinsi Ho-pei. Di tempat ini
dia teringat akan pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-siucai ditawan
oleh panglima An Lu Shan.
Keadaan di
sekitar daerah ini sekarang sudah sangat berubah, tidak seperti dahulu lagi.
Kwan Cu merasa heran betapa daerah ini sekarang amat ramai, penuh oleh tentara
yang bermacam-macam pakaiannya dan bermacam-macam pula kebangsaannya. Dia
melihat tentara-tentara dari suku bangsa Hui, Daur dan juga Mongol. Mereka
semua berpakaian perang dan bersenjata lengkap, berbaris ke sana kemari
seolah-olah tengah menantikan datangnya perang besar!
Di setiap
tanah lapang dia meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi dan berlatih
perang-perangan. Kwan Cu menjadi semakin kagum dan heran karena setiap anggota
tentara mampu mainkan senjata mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi.
Biar pun hanya beberapa jurus saja mereka itu mainkan senjata masing-masing,
tombak, golok atau pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu
silat yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi!
Tentu saja
pemuda yang sama sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi
pemerintahan ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu, Panglima An Lu Shan
sedang mengerahkan seluruh tenaga suku-suku bangsa yang berada di Tiongkok
Timur laut, untuk membentuk sebuah barisan yang besar sekali dengan maksud
menyerang ke selatan dan merampas kedudukan kaisar! An Lu Shan mulai dengan
persiapannya untuk memberontak.
Yang paling
mengherankan hati Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu.
Tak pernah dia bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki
berpakaian tentara dan menjadi anggota tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja
yang berpakaian biasa.
Sebaliknya,
semua orang memandang padanya dengan mata yang terheran-heran pula karena
sesungguhnya Kwan Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang
berpakaian preman. Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang
seorang komandan pasukan yang dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu.
“He, orang
muda! Kau masih enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri agar
segera masuk tempat latihan!” sambil berkata demikian, komandan itu memegang
pergelangan tangan Kwan Cu erat-erat.
Kalau dia
menghendaki, dengan mudah Kwan Cu akan mampu melepaskan tangannya. Akan tetapi
dia tidak mau menimbulkan keributan, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Sobat,
apakah maksudmu? Aku tak mengerti sama sekali. Ketahuilah bahwa aku adalah
seorang perantau yang datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap
kau suka menjelaskan.”
“Setiap
orang laki-laki di daerah ini harus menjadi tentara, hanya ini saja dan tidak
ada penjelasan lain!”
“Mengapa
harus? Aku bukan orang sini dan aku tidak mau menjadi tentara,” kata Kwan Cu.
Sementara
itu mendengar suara ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak tentara
dan tahu-tahu Kwan Cu sudah dikurung!
“Anak muda,
sudahlah jangan banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau
menjadi tentara dan membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi
penghuni goa maut!”
Kwan Cu
menjadi penasaran sekali, akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran
dari pada marah.
“Apakah goa
maut itu? Dan mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi tentara? Sungguh mati
aku tak mengerti sama sekali!”
Komandan itu
tertawa, “Oya, aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat goa maut?
Mari, mari ikut!” sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik
lengan Kwan Cu diikuti oleh para anggota yang juga tertawa-tawa geli.
Masih saja
Kwan Cu bersabar dan dia membiarkan dirinya ditarik bagaikan kerbau oleh
komandan itu yang membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng
bukit dan jalannya naik turun melalui hutan-hutan. Di pinggir sebuah hutan di
luar kota, Kwan Cu dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah kelihatan
sebuah goa yang merupakan terowongan besar dan di sebelah dalamnya tampak anak
tangga. Di depan goa itu dijaga oleh seorang tentara berbangsa Mongol yang
bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa, memegang sebatang tombak yang besar dan
panjang lagi berat.
Komandan
yang menarik tangan Kwan Cu lalu berbicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga
itu yang tertawa bergelak-gelak, membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang
menjuntai ke bawah itu ikut bergerak-gerak lucu.
“Nah, inilah
goa maut. Siapa pun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan ke dalam goa ini
lalu dijerumuskan ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah,
sekarang pilihlah.”
Dari dalam
goa itu lapat-lapat terdengar suara rintihan dan tangisan sehingga terbangkit
semangat Kwan Cu untuk menolong mereka itu. Akan tetapi, dia teringat bahwa dia
kini sedang berurusan dengan tentara pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan
keributan hebat. Maka dia lalu mengangguk dan berkata,
“Aku menurut
saja.”
Terdengar
suara gelak ketawa. Komandan itu bersama para tentara yang mengikutinya lalu
beramai-ramai menghantar Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu
sebagai calon tentara.
Akan tetapi
baru saja mereka keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat goa
maut itu, tiba-tiba mereka ribut-ribut kemudian sibuk mencari-cari seperti
seorang wanita kehilangan gelangnya. Tanpa diketahui oleh seorang pun,
tiba-tiba saja pemuda yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!
“Ehh, di
mana dia?”
“Aneh
sekali, tak mungkin dia melarikan diri!”
“Aku tadi
masih melihat dia berjalan sambil tersenyum-senyum.”
“Dia bisa
menghilang, tentu dia siluman!”
Ramailah
orang-orang itu bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan
lagi bayangannya.
Sebenarnya,
dengan kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak
memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya,
ia lalu melarikan diri dengan cepat dan ringan sekali sehingga tak menimbulkan
suara apa pun. Dia ingin sekali menyelidiki keadaan goa maut itu dan hendak
berusaha menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan tangisan
tadi.
Kalau
tentara negeri menghukum orang bersalah atau orang jahat, tentu dia takkan mau
campur tangan. Akan tetapi tadi pun ia akan dimasukkan ke dalam goa itu hanya
karena dia menolak menjadi tentara. Kalau memang demikian, tentu banyak sudah
orang-orang yang dimasukkan ke dalam goa maut itu tanpa dosa! Jika begini
keadaannya, dia harus menolong mereka itu.
Sesudah
senja datang, Kwan Cu menyembunyikan diri di balik rumpun alang-alang dan
mengintai ke arah goa itu. Dia hendak bertindak tanpa menimbulkan keributan.
Dilihatnya penjaga raksasa yang tadi masih saja berdiri laksana patung di depan
goa, memegangi tombaknya sehingga nampaknya angker dan menakutkan.
Kwan Cu
tidak mau segera turun tangan. Dia akan menanti sampai malam tiba, karena
dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di
dalam goa itu melarikan diri. Ketika dia masih menunggu sambil mengintai di
belakang rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke
tempat itu.
Alangkah
kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang dengan langkah cepat
itu ternyata adalah seorang hwesio bertubuh gendut bulat berjubah hitam,
bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan
tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu masih mengenal
hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat
yang sangat lihai dan jahat, hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai
yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!
Di sebelah
hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An
Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga
orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan
harus berhadapan dengan mereka ini, tentu berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan
dan An Lu Kui, dia tidak usah merasa jeri, akan tetapi Hek-I Hui-mo merupakan
seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat
gurunya!
Dia melihat
penjaga yang laksana raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang
itu, kemudian An Lu Shan serta kedua orang kawannya memasuki goa dan lenyap
ditelan kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam goa,
seakan-akan dia berkata-kata di depan banyak orang......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment