Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 10
ANG BIN SIN
KAI sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai
bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan
juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan
terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini
hanya merampas senjata mereka saja.
Pukulan yang
dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun
jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek
sakti itu merasakan datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan
ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan
menghindarkan diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai,
namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!
Ketua
Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka
juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya
namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.
“Suthai,
apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata
Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.
Kiu-bwe
Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri!
Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan
Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama,
karena kalian telah menyerang orang yang tidak berdosa, ke dua, karena aku
sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar
sumpah!”
“Kiu-bwe
Coa-li!” Pouw Hong Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini
telah membunuh murid-murid kami!”
“Bodoh,
kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong
Kiat bukanlah Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni
(aku) telah menyaksikan sendiri!”
Mendengar
kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka
mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya
terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan urusan yang kecil saja. Akan tetapi
pada saat mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya
tersenyum-senyum saja.
“Nah,
terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan
binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata
Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu
terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke
arah Bin Kong Siansu!
Luncuran ini
hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan
seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut
sekali.
Dengan
gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan
tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima
pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.
Yang lebih
hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang
goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak
terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke
kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk
di belakangnya!
Keadaan amat
berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai
berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap
pada tiang melintang di atas hingga separuhnya. Gagang golok itu
bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!
Pouw Hong
Taisu menjadi pucat, demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung
Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar
biasa sekali.
Walau pun
mereka sudah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai
tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka
kebetulan bisa menyaksikan kepandaian mereka yang betul-betul hebat. Keringat
dingin mengucur pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw
Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka
tuduh secara keji sekali.
Kini Kiu-bwe
Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek
sakti ini sedang marah bukan main.
“Ang-bin
Sin-kai, pengemis hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak
merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas
lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak
sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya
dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh
Ang-bin Sin-kai!
Ang-bin
Sin-kai kaget sekali menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut
bukan karena jeri melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang
dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari
ini dia sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan
menghendaki jiwanya!
Menghadapi
Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu
dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan
sangat berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat
mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai
tubuhnya.
Ia
mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu,
Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku
tadi. Katakan lebih dulu kenapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si
pelanggar sumpah?”
“Bagus,
jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah
bersumpah tidak akan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”
“Betul,”
jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Kiu-bwe
Coa-li tersenyum mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau
bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?”
“Memang
begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”
Mata kiu-bwe
Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari
kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah
cambukku.”
Terbelalak
mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu.
Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?”
“Semua orang
sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku
tidak?”
“Kiu-bwe
Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab
peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan
aku? Ingat, sumpahku adalah apa bila aku mempergunakan dia mencari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari,
melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya
memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”
“Bohong! Kau
sengaja memutar balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut
mampus?”
Ang-bin
Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut
kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”
“Bangsat
tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.
“Tar! Tar!
Tar!”
Cambuknya
berbunyi keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri
dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena
ujung cambuk yang lihai itu.
Kiu-bwe
Coa-li mengamuk seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka
pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan
cambuknya menangkap meja dan bangku, lalu dilontarkannya meja bangku itu ke
pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari
hujan bangku yang tadi mereka duduki.
Yang celaka
adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa
menangkis atau mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga
menderita benjol!
Ruangan yang
luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi,
Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu
kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.
Memang
biasanya kakek ini tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran
menghadapi siapa pun juga. Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari
Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, sekarang dia mencabut suling pemberian dari
Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.
Pertempuran
antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun
orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun
sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih
terasakan oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit
terasa dingin!
Suara yang
mengiringi pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara
bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan
suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan
oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini
digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling
menimbulkan suara bagaikan seekor binatang buas menangis.
Semua orang
bergidik mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat
betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu
kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak
ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.
Melihat cara
Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main.
Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka
berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum
pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian
lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat
sekali. Berat dan aneh.
Tiba-tiba
dia teringat akan tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam
mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka
mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini sudah pula
mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!
Menduga
tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana
tadi dia melemparkan Kwan Cu supaya terhindar dari pada gangguan lawan.
Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada di situ. Ia sudah
tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ
tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu.
Pikiran ini
membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali.
Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut
dan direnggutnya sekuat tenaga!
Kiu-bwe
Coa-li sangat terkejut dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk
dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang,
sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk
merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu dia mampu
merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau
tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!
Ang-bin
Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot!
Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya,
maka cepat-cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat
gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai
pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu.
Dia
mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak
menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya
Ang-bin Sin-kai sudah mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya, yakni
pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat
menangkap dan meniru inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada
waktu dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!
Kiu-bwe
Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya
terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali
berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.
Kesempatan
itu dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari
genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia
maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.
“Kwan
Cu...!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun
keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.
“Kwan Cu...!
Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil
sambil mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa
terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja
dari tempat itu.
Dan memang
betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi
dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah
pohon ditunggu oleh Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan
Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!
“Jangan kau
khawatir, Kwan Cu. Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti
tak akan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana
untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah
gundul itu.
Ada pun
Ang-bin Sin-kai, setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban,
menjadi semakin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya
bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih
dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu
kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah?
Ia lalu
melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi
bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin
Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah
mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu
berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat
Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.
“Di mana
adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka.
Tak seorang
pun menjawab.
“Hai...!
Tulikah kalian semua? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas
tumpukan meja itu?”
Bin Kong
Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap
dua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.
“Muridmu
sudah diambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata
Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin
Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku
amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak
enak sekali.
“Marah,
menyesal! Ahh, orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh
perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai
gemas. “Ehh, orang she Kwa, apakah kau pun tidak malu menjadi ketua
Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi
meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan
menghela napas.
“Biarlah hal
ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik
napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan
sesuatu urusan, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya
begitu saja kata-kata orang lain.”
Pouw Hong
Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk
Hek-i Hui-mo, karena sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan
Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh
murid-murid mereka.
“Kiu-bwe
Coa-li, hati-hati kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai
belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin
Sin-kai berkata begini meski pun hatinya tak begitu mengkhawatirkan akan
keadaan muridnya.
Ia tahu
bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui
Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri
orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan
berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.
“Betulkah
Jeng-kin-jiu yang telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga
Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke
kota raja. Hemm, tiada jalan lain, aku pun harus menyusul ke sana. Betapa pun
juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus
menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”
Setelah
mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota
raja
***************
Pada masa
itu yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong
yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam
dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap
hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian
dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga
tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.
Istana-istana
indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan banyak uang yang mengalir
masuk dari hasil keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu
dihias dengan perabot-perabot mahal dan juga ‘perabot-perabot hidup’ berupa
dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!
Tidak
mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika
pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanan dari Tiang-san dan
melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat
sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng, Tu Fu
mendengar bahwa kaisar Hian Tiong sedang berpesta pora, berpelesir mendengarkan
musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para
selirnya.
Teringatlah
Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang sangat sengsara dan menderita di dalam
angin dingin dan kelaparan, rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di
atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini
kata-kata yang sampai kini masih dihargai oleh seluruh rakyat.
Di belakang
pintu gerbang
merah indah
cemerlang
anggur dan
daging berlebih-lebihan
hingga masak
membusuk!
Di luar
pintu gerbang
Kotor sunyi
melengang
Berserakan
tulang rangka
Sisa korban
dingin dan lapar!
Memang,
Kaisar Hian Tiong terlalu banyak mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga
disebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya
tidak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis-gadis cantik jelita yang didatangkan
dari berbagai daerah.
Ada yang
memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak
kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan
paksaan dan sebagian besar adalah ‘hadiah’ yang diberikan oleh para pembesar
untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian
banyaknya selir itu, ada pula yang tadinya telah menjadi isteri orang, yang
direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam
negeri, orang yang dianggap sebagai ‘Pilihan Tuhan’!
Di antara
para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar
pernah tergila-gila kepada selirnya ini yang diberinya nama Bi Lian atau
Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi
Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan
sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah
sajak itu,
Rambut
panjang hitam dan halus.
Melebihi
kehalusan benang sutera.
Diikal
menjadi mahkota hidup.
Terhias
bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas
jadi penahan,
Sedap,
wangi, semerbak harum!
Wajah indah
jelita berbentuk telur
Berkulit
halus dan betapa putihnya,
Putih kuning
seperti susu.
Dua alis
melengkung hitam
Menghias
sepasang mata burung hong.
Kering tajam
lunak menikam kalbu
Hidung kecil
mancung berbentuk sempurna
Bagaikan
ukiran batu kemala.
Mulut kecil
mungil, merah membasah
Di balik
bibir manis
Tersembunyi
gigi mutiara!
Tubuh
ramping
Mengalahkan
batang yang-liu (cemara)
Tertiup
angin
Melenggak-lenggok
mempesona
Tangan kaki
kecil mungil
Seperti
kuncup bunga,
Setiap
gerakan
Menyedapkan
pandangan mata
Di dalam
dunia memang banyak wanita jelita
Namun
siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai
Jelita (Bi Lian) kekasih raja?
Namun cinta
kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak
tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti
kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikian pun halnya dengan Bi Lian.
Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai
bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.
Semenjak
dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk
redamlah hati Bi Lian. Dia telah memiliki seorang tunangan, seorang pemuda
terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa
dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa secaa paksa, bagai seekor domba muda
dibawa ke penjagalan untuk di sembelih!
Dengan hati
hancur dia harus melayani segala kehendak kaisar yang sangat buas dalam
pandangannya itu. Memang tadinya dia agak terhibur ketika dirinya dihujani
benda-benda mahal dan indah, ketika dia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani
oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, dia lalu
teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Dia merasa rindu bukan main, dan
setiap hari dia menangis di dalam kamarnya.
Pada malam
hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi
pelayannya datang dan hendak memandikannya serta membereskan pakaian dan
rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur.
Dia duduk
termenung dalam kamarnya, mendengarkan suara tetabuhan yang dibunyikan orang di
bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat
hatinya semakin hancur dan berduka. Dia memandang ke arah sajak pujian untuk
dirinya yang tergantung dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi
Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya
dahulu.
Aduh sayang,
setangkai mawar indah
terbawa
hanyut oleh air bah!
Air buas
mengalir terus tanpa peduli
mawar yang
malang
tertinggal
di atas lumpur!
Teringat
akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir
mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.
“Can
Kwan...” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu
sekarang keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat
hatinya, dan tak dapat ditahan lagi berderailah air matanya.
“Cui Hwa...”
tiba-tiba saja terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang
menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya
atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.
Bi Lian
terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke
istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya
sudah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan
terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali
yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat
dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan
hatinya... Can Kwan!
Seperti
dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membuka
jendela itu. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada
di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan...
“Can
Kwan...!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak serta mulut
ternganga.
Ada pun
orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang
pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita
yang berdiri di hadapannya.
“Cui Hwa...”
Walau pun
dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan
sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka
yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga. Tanpa
dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.
“Cui Hwa...
kekasihku...”
“Can Kwan,
alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi...”
“Cui Hwa,
siapa bilang dalam mimpi?” Can Kwan segera melepaskan rangkulannya dan memegang
kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra.
“Kau lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar
datang kekasihku.”
Namun Cui
Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik.
“Tidak
mungkin! Benar-benar tidak mungkin! Bagaimana kau dapat masuk ke sini? Istana
dikurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau
adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena
dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang ke sini, kecuali
kalau... kalau...”
Tiba-tiba
pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru
menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.
“Cui Hwa,
mengapa kau?”
“Can Kwan...
tak salah lagi... kau tentu telah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku.
Ahh, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu.
Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu
menangis tersedu-sedu.
Can Kwan
melangkah maju kemudian merangkulnya kembali. Dia tertawa perlahan dan membelai
rambut kepala Bi Lian.
“Cui Hwa,
pernahkah engkau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang kulakukan sekarang
ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih
hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini,
aku lalu melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari
seorang gagah. Akhirnya, pada malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga
itu dan naik melalui pagar, walau pun dengan susah payah namun aku berhasil
sampai ke kamarmu.”
“Can
Kwan...! Can Kwan…!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar
ucapan kekasihnya ini. “Akan tetapi, apa gunanya...? Kau bisa masuk ke sini,
akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana pula kalau nanti kau ketahuan oleh
penjaga? Ssstt... bersembunyilah, pelayanku datang...”
Akan tetapi,
Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada
di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu. Pelayan itu roboh
tak sadarkan diri lagi.
“Can Kwan,
kau... mem... membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.
Can Kwan
tersenyum. Bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa.
“Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia
tidak apa-apa.”
“Can Kwan,
setelah kau datang ke sini... apa kehendakmu?”
Can Kwan
memegang kedua tangan kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari
kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan
neraka bagi batin kita ini.”
“Can Kwan!
Bagaimana mungkin? Kau… kau pasti akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu!
Ahh, Can Kwan... biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat
kau mereka bunuh! Pergilah, kau cari seorang isteri lain yang bijaksana,
biarlah, aku... aku tak berharga lagi menjadi... isterimu. Tak boleh kau
mendapat bencana karena aku... tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini
sudah merupakan bahagia yang sebesarnya bagiku dan akan menghiburku sampai aku
mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu...”
“Hushh, Cui
Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Kini aku sengaja datang untuk membawamu
keluar dari sini.”
“Bagaimana
caranya?”
“Akan kubawa
kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”
“Kalau kau
diketahui oleh penjaga?”
“Akan kubuka
jalan darah, biar mati bersamamu!”
“Tidak, Can
Kwan...” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh
mati karena aku...! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang jumlahnya amat
banyak itu? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau
hidup...”
“Cui
Hwa...!”
Pada saat
itu pula terdengar bentakan-bentakan dari luar.
“Penjahat!
Pencuri!”
“Tangkap,
tangkaaaap!”
Cui Hwa
menjadi pucat. “Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”
Wajah Can
Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu
melompat keluar. Ia langsung disambut oleh belasan orang pengawal yang segera
mengepungnya.
Can Kwan
memang sudah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan
pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja
sudah roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya.
Akan tetapi
makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biar pun
Can Kwan pernah belajar silat secara amat tekun, namun sampai di manakah
tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Dia
mulai merasa lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.
“Can
Kwan...!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.
Pemuda itu
menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung
mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa.
Ternyata
bahwa ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain
untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu
tentu akan mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, wanita muda
itu telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.
“Cui
Hwa...!” Can Kwan tak mempedulikan lagi keroyokan para pengawal dan menubruk
tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya.
Akan tetapi
tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar
memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,
“Aku...
menunggumu...” dan tewaslah dia.
“Cui
Hwa...!”
Para
pengeroyok cepat meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang
bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena
biar pun dia mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat dari pada kepandaiannya
yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan
hebat itu.
Mendadak
berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang
hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras sekali, senjata beterbangan
dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok
terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di
depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.
Can Kwan
sudah berdiri dan kini dengan muka pucat serta menyinarkan sakit hati yang
hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu lalu
menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah
tangan!
“Tak perlu
melawan lagi, kau tidak akan menang!” kata kakek ini.
“Kalau tidak
bisa menang, biarlah aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang
sudah nekat itu.
“Bodoh!”
kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.
Pemuda ini
hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu
dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal
istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu telah menghilang
bersama pemuda yang dikempitnya.
Can Kwan
hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa
meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun
dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah,
jauh di luar istana!
“Locianpwe,
kenapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!”
kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.
Kakek ini
tertawa bergelak. “Pikiran muda mendekati kegilaan, sebab selalu dikendalikan
oleh nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka,
masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apa lagi
kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, kenapa hendak
dipermainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran
dan pemberontakan?”
“Siapa yang
mau menghargai kaisar lalim? Dia sudah merampas tunanganku dan aku memang sudah
setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”
“Kau keliru!
Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak sejak dahulu
sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu sudah menjadi
selir terkasih, sudah hidup bahagia namun kau datang-datang mendatangkan
bencana padanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati?
Kau bertindak menurutkan nafsu hati tanpa menggunakan akal budi dan pikiran
sehat. Andai kata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau
kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar? Ke mana pun kau pergi, kau
tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk
juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tak mengapa karena memang
kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan,
kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”
Mendengar
ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas. Dia menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu sambil menangis. ”Teecu memang mengaku bahwa teecu seorang anak
puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”
“Hmm, bagus!
Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah dari pada
menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan
dikira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan
bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang
wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia telah terbebas dari pada penderitaan
hidup, yaitu kalau dia memang menderita di dalam istana itu. Lebih baik kau
pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu
sebagai seorang anak berbakti. Apa bila kau berjalan di atas kebenaran, pasti
kelak kau akan berbahagia.”
“Terima
kasih, Locianpwe. Teecu mohon tanya, siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong
teecu?”
“Aku? Aku
adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin Sin-kai!”
Can Kwan
terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka
dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau
Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid…”
Akan tetapi
karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya
ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia
lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh
nasehat-nasehat dari Ang-bin Sin-kai.
Memang,
kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan,
Ang-bin Sin-kai pergi menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu
Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu
Thong atau putera dari Lu Seng Hok.
Akan tetapi
dia merasa kecewa sekali sebab Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum
pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki kota raja untuk
melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di
sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itu pun belum nampak berada di kota
raja.
Untuk
menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menunggu kemunculan Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana
serta melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu.
Dahulu
memang sering kali dia melancong dan bersuka ria di istana kaisar, tanpa ada
seorang pun yang melihat dirinya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di
kamar-kamar besar yang indah sesudah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari
dalam sehingga tak ada orang yang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana
dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya
pula dia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur
terbaik di gudang minuman.
Kebetulan
sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di
keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab
pertempuran. Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin
besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain. Akan
tetapi, kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasehat-nasehat seperti
yang telah diucapkan kepada pemuda itu, dia tidak akan dapat menimbulkan
semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.
Karena itu,
setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi.
Keadaan di istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi
Lian atau Cui Hwa telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi
tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang
tidak dikenal siapa adanya.
Ang-bin
Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga
kuat-kuat, namun dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin
Sin-kai melompat ke atas genteng dan membuka beberapa buah genteng, kemudian
mengintai ke dalam. Dia melihat tukang-tukang masak sedang sibuk menyiapkan
hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar sudah berjajar
hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan
asap.
Ang-bin
Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang
hidungnya, membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara
semua masakan yang ada di atas meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah
masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan emas.
Ingin sekali
dia cepat-cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu. Akan
tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian,
tentu para pengawal akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.
Tukang-tukang
masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur istana ada lima orang. Semuanya
bertubuh gemuk, oleh karena mereka ini adalah orang-orang yang setiap hari
galang-gulung dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging
memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk.
Mereka
bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diselingi dengan percakapan mengenai Bi
Lian. Siapa orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik
jelita membunuh diri?
Tiba-tiba,
lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan
sungguh aneh sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti
mereka tiba-tiba menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri
dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan
seorang pelayan yang secara diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri
dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok
daging itu!
Apa yang
terjadi? Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai sudah menggunakan kepandaiannya yang
luar biasa. Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan
tepat sekali menotok jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu
menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.
Pada saat
itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung
walet. Gerakannya sukar diikuti dengan mata dan di dalam kekakuan mereka, lima
orang itu hanya melihat bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi.
Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan berbareng
dengan ini, lima orang itu dapat bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan
mata terbelalak.
“Apa yang
terjadi?”
“Kenapa tadi
semua badanku menjadi kaku?”
“Apakah kau
melihat bayangan menyeramkan tadi?”
“Setan!
Tentu ada setan yang mengganggu kita...”
Lima orang
itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak
berani membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya,
mereka mempercepat pekerjaan mereka supaya dapat segera meninggalkan dapur yang
luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tidak lama kemudian,
masakan-masakan itu pun sudah selesai. Pelayan-pelayan dipanggil untuk
mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.
“Hee, mana
masakan burung dara?”
“Ahh,
masakan ikan emas juga telah lenyap!”
“Celaka...
tentu iblis tadi yang mengambilnya...”
“Ssttt,
jangan keras-keras! Masih bagus dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil
nyawa kita!”
Dengan
cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu
bekerja cepat-cepat dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari
tempat itu.
Sesudah
semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun
tubuh Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Pada kedua tangannya terlihat dua
mangkok masakan daging burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.
“Ha-ha-ha,
sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini telah agak dingin karena
dibawa ke atas. Harus dipanaskan dulu!”
Dengan
enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian
tubuhnya berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah
datang kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang
minuman! Tidak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di
dapur itu dengan senangnya.
Dia sama
sekali tidak tahu bahwa seorang di antara para tukang masak tadi, yang agak
besar nyalinya, menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika tukang
masak ini melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari
sana dan membuat laporan kepada kepala penjaga.
“Di dalam
dapur ada seorang maling...” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan
mukanya pucat.
“Apa?
Mengapa tidak kau tangkap?”
Tukang juru
masak yang gemuk itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa
menangkapnya? Dia sakti sekali!” Kemudian dia menceritakan bagaimana dia
bersama kawan-kawannya telah mengalami hal yang aneh terjadi.
Kepala
penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song
Ciangkun. Sebetulnya dia memang seorang perwira yang telah banyak berjasa
sehingga setelah dia tua, dia lalu ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal
atau penjaga istana. Song Cin mempunyai kepandaian silat dan ilmu pedang yang
tinggi sehingga di kalangan kang-ouw namanya sudah terkenal sekali. Ketika
mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.
“Apakah dia
sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?”
tanyanya menegas.
“Betul,
betul, Song Ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!”
Song Cin
mengangguk-angguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kau mengasolah, biar aku yang
membereskan orang itu.”
“Song
Ciangkun... apakah... apakah dia adalah setan penjaga dapur?” Tukang masak itu
bertanya.
Song Cin
mengangguk. “Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang kepada
nyawamu.”
Mendengar
ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu
merayap ke bawah selimut di dalam kamarnya!
Ada pun Song
Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin
Sin-kai. Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu pasti
bahwa dia sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin
Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.
Kaisar
tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya. Tidak seperti biasanya, pada
waktu itu kaisar sedang menjamu dua orang yang berpakaian layaknya panglima perang
besar. Kedua orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah
kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet.
Song Cin
tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang
menerima mereka dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Mereka adalah dua orang
panglima-panglima besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari
Panglima An Lu Shan.
Sudah lama
bangsa Tajik mengadakan penyerbuan-penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang
besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi
panglima di utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada
hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat
dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini
sudah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari
bangsa Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.
Tentu saja
kabar girang ini lalu diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia
menganggap semua ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan sehingga untuk
menyatakan kegembiraannya, dia mengundang makan malam kedua orang panglima
besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira, tentu saja kaisar
mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya
tanpa dipanggil.
“Song
Ciangkun,” kata kaisar dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap
tanpa dipanggil?”
“Mohon
beribu ampun apa bila hamba mengganggu kesenangan Baginda dan para tamu agung,”
kata Song Ciangkun dengan sikap merendah, “tapi hamba terpaksa melaporkan
karena pada saat ini, kembali dapur istana didatangi oleh Ang-bin Sin-kai. Kami
menanti keputusan Baginda!”
Berubah air
muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biar pun Song Cin dan
kaisar tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu
juga berubah dan nampak mereka saling menukar pandang, nampaknya kaget sekali.
Namun kaisar dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.
“Bagus!
Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song Ciangkun, undang dia secara
baik-baik untuk menemani kami minum arak!”
Song Cin
tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang
sebetulnya masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu
Tajik itu benar-benar nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song
Ciangkun segera mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.
Song Cin
mengetuk pintu dapur dan berkata keras, “Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte
Song Cin mohon bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!”
“Masuklah,
Song Ciangkun.”
Song Cin
masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum
arak. Cepat dia memberi hormat dan berkata,
“Siauwte
membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemani baginda minum
arak.”
Ang-bin
Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.
“Bagus,
memang masakan di sini kurang lengkap. Baik, aku pergi menghadap baginda!”
Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat.
Song Cin
hanya merasa ada angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek
itu telah lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian
melakukan penjagaan seperti biasa.
Pada saat
melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan
tangan sambil tersenyum.
“Mari, mari,
Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”
Ang-bin
Sin-kai menjura tanda menghormat.
“Terima
kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi
mengundang hamba.”
Tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu melangkah maju dan menduduki sebuah bangku kosong,
berhadapan dengan dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali
sehingga dua orang Tajik itu merasa tidak enak sekali.
“Ha-ha-ha,
Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur yang disebut
Ang-bin Sin-kai. Dan Lu-koai-hiap, kedua orang tamu ini adalah
panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian
dengan negeri kita.”
Ang-bin
Sin-kai hanya menerima perkenalan ini dengan sikap dingin, kemudian tanpa
sungkan-sungkan lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau
mangkok-mangkok masakan yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini
dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah arak.
Walau pun
nampaknya bersikap acuh tak acuh, akan tetapi diam-diam Ang-bin Sin-kai
memperhatikan gerak-gerik dua orang tamu itu, panglima-panglima yang bertubuh
tinggi besar itu. Mendadak mukanya berubah pucat, kemudian perhatiannya
tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.
Pada saat
mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali. Seorang
di antara dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi
cawan kosong baginda kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai
dan cawannya sendiri beserta kawannya.
“Hamba
menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga
panjang usianya!” katanya sambil mengangkat cawan araknya.
Kaisar Hian
Tiong tertawa sambil mengangkat cawan araknya. Akan tetapi sebelum dia meneguk
araknya, tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari
tangan baginda!
“Lu-koai-hiap...!”
kaisar menegur marah.
Akan tetapi
Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian
bukan orang Tajik! Kalian adalah jahanam-jahanam pembunuh! Hayo mengaku, siapa
kalian?!” Ang-bin Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali.
Kaisar Hian
Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi
dia hendak menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan
berkeredepan benda-benda yang menyambar ke arah tubuh kaisar serta Ang-bin
Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia
yang sangat tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.
Kaisar
memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, namun
Ang-bin Sin-kai sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas.
Maka, runtuhlah empat buah pisau yang menyambar baginda. Ada pun empat buah
lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan
kirinya!
“Celaka...!”
Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh.
Akan tetapi
pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah
penyuguh arak dengan sepasang sumpit menusuk matanya!
Panglima
Tajik itu cepat mengelak, tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan
bermata, karena sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit
mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang
tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan.
Tiba-tiba
kembali menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai
tubuh orang yang sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher
sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi. Orang Tajik ke
dua itulah yang tadi melepaskan pisau membunuh kawannya sendiri dan kini
tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.
“Bangsat
hina, hendak lari ke mana kau?!”
Ang-bin
Sin-kai melompat mengejar. Akan tetapi gerakan penjahat itu benar-benar cepat
sekali sehingga sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana
mau Ang-bin Sin-kai memberi hati kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan
mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.
Kaisar Hian
Tiong bertepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga, maka tak lama kemudian
ramailah keadaan di situ. Ruangan itu segera penuh dengan para penjaga dan
pengawal kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran
pula dan dia sendiri lantas melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai
yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.
“Bangsat
pengkhianat, kau hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan
kanannya menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat.
Karena
merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini mendadak
membalikkan tubuhnya dan dua tangannya terayun. Maka, delapan buah pisau
terbang menyambar kepada Ang-bin Sin-kai.
Boleh jadi
kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan
tetapi terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tidak ada bedanya dengan
permainan kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan
pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!
Penjahat itu
terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika
Ang-bin Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting
jatuh dan menggelundung di atas genteng.
Ang-bin
Sin-kai merasa amat heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke
bawah itu, karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan.
Akan tetapi ternyata bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap
di ulu hatinya!
Melihat kedatangan
Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi
mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlarian kembali ke ruang
makan. Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.
“Lu-koai-siap,
bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung
maksud tidak baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.
Kakek ini
tersenyum. “Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat
cara mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang
hamba ketahui baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang di antara ibu jari dan
telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang
sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh
arak tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba sempat melihat dia
melepaskan bubuk putih secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba
bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak
mencegah Paduka meminumnya.”
Kaisar
mengangguk-angguk. “Sungguh heran sekali mengapa mereka dapat membawa surat
dari An-ciangkun!”
“Hemm, kalau
hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu!
Paduka terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan hingga lalai dalam
memperhatikan keadaan para petugas. Dan juga kematian selir Paduka belum lama
ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba
ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, akan
tetapi ini demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!”
Tanpa menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari
situ.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang
menyatakan bahwa cap kebesaran An Lu Shan sudah tercuri orang dan bahwa kini
panglima itu meminta cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena
khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalah gunakan oleh orang lain!
Dengan
adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu
Shan dan inilah kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki
lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan
memiliki cita-cita memberontak dan sebenarnya kedua orang yang mengaku sebagai
perwira-perwira Tajik itu adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk
membunuh kaisar…..
***************
Kita ikuti
perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biar pun dia
merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun
berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata
membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya.
Dia dapat
menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa
perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.
Tak lama
kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan,
datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu,
bocah gundul ini terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak
ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan
dia tidak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu.
Padahal,
untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai
beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa
kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas,
lantas saja bisa melompat berdiri.
“Suthai, kau
benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah segera Kwan Cu
menegur Kiu-bwe Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya
dengan baik-baik saja? Akan tetapi kau malah tiba-tiba menyerang dan menculik,
apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”
Untuk
sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Selama ini belum pernah ada orang
yang berani menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.
“Anak setan,
kau berani menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang
panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.
“Plakk!”
Kwan Cu
merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling,
kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak
takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.
“Kiu-bwe
Coa-li merupakan nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua
orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa
tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu
melawan!”
Mendengar
ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi marah dan sepasang matanya memancar sinar
yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, dia tidak
saja menegur, bahkan sekarang dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua
orang gagah di dunia kang-ouw ini!
“Bocah setan
penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju dan kedua tangannya
menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani
mencelanya itu. “Tidak kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah
berani menipuku, kemudian menegur, bahkan sekarang mencela! Berapa banyak sih
cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”
Pecut di
tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali.
Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis
yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu
takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,
“Suthai,
harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan padanya, lagi pula, kalau dia mati,
siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
Mendengar
ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega.
Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia
mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu kini telah duduk di atas tanah
sambil menutup mukanya, menangis!
Tentu saja
Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran
sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air
mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih!
Memang hal
ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras
dan amat berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk
mengeluarkan air mata, apa lagi air mata karena takut atau bingung. Akan
tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.
Kwan Cu
masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada
nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah
merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya
telah terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya.
Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya,
maka tanpa dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu
anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat
dia terisak-isak!........
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment