Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sakti
Jilid 09
BAIKLAH kita
tinggalkan dahulu Siang Pok yang sedang digembleng oleh suhu-nya, yakni Hek-i
Hui-mo di Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima
latihan-latihan dari gurunya, Kiu-bwe Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah
selatan. Sekarang lebih dahulu kita menengok keadaan Lu Kwan Cu yang melakukan
perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.
Kekalahannya
yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, kedua murid
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Thong murid dari
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan
seakan-akan menjadi dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun.
Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari goa
tempat mendiang Gui Tin dulu menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti
saja kehendak muridnya yang ingin mencari gunung itu.
“Kitab-kitab
macam apa yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya
demikian kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanyalah kitab-kitab Su-si
Ngo-keng dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat,
tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan yang kosong melompong!”
Mendengar
omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.
“Suhu,
mengapa soal-soal mengenai peri kebajikan dan peri kemanusiaan Suhu anggap
pelajaran yang kosong melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali
akan pelajaran serupa itu agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?”
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.
“Kwan Cu,
pelajaran mengenai peri kebajikan memang kosong melompong dan hanya merupakan
pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap
manusia. Siapakah orangnya yang tak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Akan
tetapi tetap saja mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tak tahu bahwa
membunuh dianggap jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan
hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran mengenai peri
kebajikan itu dunia menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin
manusia. Jika kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri,
manusia juga tak akan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di
muka bumi ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran peri
kebajikan yang menyatakan bahwa membunuh itu tak baik, orang tidak akan
mengenal kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau saja orang tidak
mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang tidak akan mengenal pula
kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”
Kepala Kwan
Cu yang gundul itu menjadi semakin kelimis karena dia mempergunakan otaknya
untuk membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu
dunia akan kacau, Suhu. Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tak akan
takut berbuat sekehendak hatinya!”
“Bodoh,
berbuat sekehendak hati bukan perbuatan yang jahat! Kau kira dengan pelajaran
yang memenuhi otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu,
akan membuat dunia menjadi baik dan aman? Tengok saja, di manakah terjadinya
kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang
yang pikiran dan hatinya masih amat sederhana, yang belum banyak mengenal
tentang pelajaran peri kebajikan yang di dalam pandangan orang-orang kota masih
dianggap bodoh! Di dalam ketidak mengertian mereka tentang kejahatan itu,
mereka bersih!”
“Suhu
terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!” tiba-tiba saja Kwan Cu berseru karena anak
yang cerdik ini memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran
tentang filsafat dan kebatinan.
“Bukan
terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang
besar yang membuat kitab-kitab itu sudah berlaku terlalu sombong, hendak
mendahului kehendak alam, hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan
perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak manusia itu memang baik
seperti watak seluruh isi alam yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang
tenang, bila sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan
tidak aman lagi. Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat,
menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan
dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan
hulubalang yang taat dan setia kepadanya! Nafsulah yang menjadi penggerak
manusia mencuri, membunuh, menipu, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain,
dan nafsu ini dipupuk dan diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya
yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggaplah emas seperti batu karang,
siapa yang sudi mencuri emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang
dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan
jahat di dunia ini.”
Kwan Cu
mengerutkan keningnya. “Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia
merupakan makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia
terjadi saling bunuh, bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”
Ang-bin
Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak tolol,
kau tahu apa? Binatang-binatang membunuh tidak seperti manusia membunuh!
Manusia membunuh sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh
dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik nama mau pun
hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan
jahat ini? Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi
itu adalah kehendak alam yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan
rumput, melainkan harus makan daging atau darah.”
“Akan
tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu,
teecu kira dunia akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti
sekarang ini. Manusia mungkin masih menjadi makhluk-makhluk telanjang yang
hidup di goa-goa, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!”
“Kau
sombong!” Ang-bin Sin-kai berteriak dan muka yang merah itu menjadi semakin
merah. “Berani kau mendahului pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak
akan ada kemajuan duniawi seperti sekarang, akan tetapi juga tak akan ada
kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, orang mengenalnya hanya setelah
kata-kata itu diciptakan. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang
lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai
bocah gundul sombong, siapakah yang dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak
mempunyai kemajuan? Lihat burung yang terbang itu. Seribu tahun yang lalu
bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu
kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tetapi
tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan
batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”
Sekarang
Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan
Cu hanyalah seorang kanak-kanak yang tentu saja masih belum dapat menerima
semua filsafat hidup ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia
seolah-olah baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang
membuatnya lupa akan segala itu.
“Sudahlah,
Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun
ingin sekali tahu buku-buku apa saja yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di
atas Bukit Liang-san itu.”
“Buku-buku
yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang
perlu sekali bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu.
Yakni buku sejarah kuno di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang asli! Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu
dapat mencari kitab rahasia itu.”
Ang-bin
Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.
“Kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.
Kwan Cu
mengangguk. “Memang kitab yang dahulu itu adalah kitab tiruan yang sengaja
dipalsukan, Suhu. Aslinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab
itu berada di atas suatu pulau kosong yang sulit dicari. Hanya bisa didapatkan
dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”
“Kwan Cu,
jika begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo
kita percepat jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!”
Ketika
Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang
merah berubah pucat karena dia marah sekali.
“Kwan Cu!
Kau kira aku mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah tidak akan
mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang
teguh sumpahku!”
Kwan Cu
kaget sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhu-nya
benar-benar tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada
suhu-nya yang disangkanya menginginkan kitab itu.
“Sudahlah,
tak ada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku,
memang aku ingin sekali melihat kemudian mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Siapa orangnya yang tidak ingin? Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu,
seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan
tidak ada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu
mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan
melihat kau dapat mempelajari kitab aneh itu.”
“Terima
kasih atas budi kebaikanmu, Suhu.”
“Phuah, budi
kebaikan macam manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu di mana kau akan dapat
melatih gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun Tui-pek-to yang
sedang kau pelajari.”
Guru dan
murid ini kemudian berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari
kemudian tibalah mereka di sebuah hutan besar. Ang-bin Sin-kai segera
menghentikan larinya dan berkata,
“Nah, di
sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”
Hutan itu
besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu
memandang ke sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya
daun pohon tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon raksasa
menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk.
Lapat-lapat
terdengar suara binatang hutan. Kwan Cu merasa amat heran kenapa suara binatang
hutan, kecuali burung dan ayam, yang kedengaran hanyalah geraman harimau
belaka.
“Heran
sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?” kata Ang-bin Sin-kai
perlahan. “Biasanya setiap kali aku datang, mereka itu sudah beramai-ramai
menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!”
Tiba-tiba,
seolah-olah menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengarlah bunyi lengkingan
suling bambu yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang,
tiba-tiba kemudian berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus
seperti geraman harimau marah.
Berubah
wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Ahh,
kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di
sini.”
“Suhu,
siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?”
“Orang
aneh... orang aneh, dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kita. Dia
itulah Hang-houw-siauw Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”
Akan tetapi
Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan
Yok-ong (Raja Obat) saja sudah hebat, apa lagi ditambah dengan julukan kedua
ini. Bagaimana bisa orang menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana
suling bisa dipergunakan menjadi penakluk harimau?
Jawabannya
segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua
berpakaian jubah panjang menutupi kedua kakinya hingga sebagian jubah itu
terseret di belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang
sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan. Kedua matanya memandang
lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia
mempedulikan apa yang terjadi di belakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu
membuka mata selebar-lebarnya!
Ternyata
olehnya bahwa di belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan
buas. Mereka berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan
sebentar-sebentar mengeluarkan geraman. Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu
bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah
pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw
(Suling Penakluk Harimau).
Kwan Cu
benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar mengenai suling
yang suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?
“Ha-ha-ha,
Hang-houw-siauw Yok-ong betul-betul tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji.
“Hanya dengan suara suling mampu menundukkan belasan raja hutan, benar-benar
aku Ang-bin Sin-kai tidak mampu melakukannya!”
Melihat
munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat
kakek berjubah panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek
pengemis itu.
“Aha,
kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi
Ang-bin Sin-kai dan selalu menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus
sempat dan dapat dipergunakan, mengapa memakai jalan kasar?”
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau
bicara begitu! Dengan sulingmu, tentu saja kau sanggup menundukkan harimau
dengan jalan halus, akan tetapi aku yang tak mengerti caranya, bagaimana harus
menundukkan harimau? Aku takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus.
Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?”
Sambil
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw
Yok-ong. Kakek ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu
mulai gelisah dan kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap
siaga untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah
pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk
maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!
Lu Kwan Cu
terkejut sekali, akan tetapi dia sudah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka
ketika seekor harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain
harimau segera menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan
gerakan Pai-bun Tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.
Ada pun
Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa
pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah pada
watak menyayang dan memelihara sesuatu yang sakit, mana sanggup dia melukai
harimau-harimau itu? Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, walau
pun gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat
menyentuh jubahnya yang panjang itu.
Hebat adalah
sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus
karena tidak mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau
mengganggu bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mau mandah saja dirinya
diserang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang
terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau
bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.
Melihat ini,
Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,
“Ang-bin
Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak. “Aku memandang mukamu dan tak akan mengganggu mereka
lagi,” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan
tahu-tahu dia telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!
Ada pun Kwan
Cu yang melihat perbuatan suhu-nya, segera melompat pula, akan tetapi dia tidak
melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong
mencari perlindungan!
Raja obat
itu lalu meniup sulingnya dan benar mengherankan sekali, tiba-tiba
binatang-binatang yang buas dan sedang marah itu menghentikan serangan mereka,
kemudian berdiri berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga
digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi
telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!
Suara suling
yang ditiup oleh Yok-ong makin lama semakin meninggi, dan makin sakitlah
telinga Kwan Cu sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu
jari untuk menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat!
Harimau-harimau
itu seolah-olah mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak
mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu! Masih agak
lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman
harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang
masih duduk di atas pohon.
“Ang-bin Sin-kai,
terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Jika tadi
diteruskan, tentu aku menjadi sibuk memelihara serta mengobati luka-luka
mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah orang
miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku
ini.” Dia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang
cepat mengulur tangan menerimanya.
Hang-houw-siauw
Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak
itu dengan tajam.
“Hebat!”
tiba-tiba saja dia berkata. “Dari mana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia
lalu mendekati Kwan Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”
Kwan Cu
segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong cepat memegang pergelangan tangan
Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia mengangguk-angguk dan berkatalah dia dengan
suara keras.
“Benar-benar
hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar
yang mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat dari pada tekanan darah
manusia, membuat seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat
dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu akan
menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat
halus dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu,
maka biarlah aku memberimu Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang
jarang kupergunakan.”
Ia lalu
merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain
kuning yang bersih. Ketika bungkusan itu dibuka, di dalamnya terdapat beberapa
butir pil merah yang berbau amis.
“Untuk
ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau
kuberi hadiah tiga butir Liong-kak Hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam
tiga hari kau akan merasakan khasiatnya.”
Kwan Cu
merasa ragu-ragu untuk menerima, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari atas
pohon,
“Murid
goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan
lagi?”
Sebenarnya
bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu,
melainkan karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut
tanpa ijin gurunya jika dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar
ucapan suhu-nya, dia menjadi girang sekali, dan sesudah menerima tiga butir pil
itu, dia cepat berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan
terima kasihnya.
Yok-ong
tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini
benar-benar tahu menghargai guru dan orang-orang tua. Itu bagus sekali! Nah,
sampai bertemu kembali!”
Sesudah
berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong kemudian menyimpan bungkusan obatnya.
Seperti main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang
sebatang suling lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!
Kwan Cu dan
gurunya mendengarkan suara suling itu yang makin melenyap, kemudian terdengar
suara suling lain. Pada waktu Kwan Cu menengok, ternyata suhu-nya sedang meniup
suling pemberian Yok-ong tadi! Kwan Cu tercengang ketika mendengar tiupan
suling suhu-nya amat merdu. Ternyata gurunya itu juga pandai sekali meniup
suling melagukan sebuah lagu kuno!
“Bagus, Suhu
pandai sekali bersuling!” Kwan Cu memuji.
Gurunya
menghentikan tiupannya dan tertawa girang.
“Masih tak
sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kau telanlah sebutir Liong-kak Hian-tan itu
seperti yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan
suling ini!”
Kwan Cu
cepat-cepat menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian
menyimpan yang dua butir lagi di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya
sedang mencoba untuk meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau
tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir
burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara
melengking yang aneh luar biasa itu!
Sampai capek
bibir meniup suling, tapi harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa
geli melihat usaha suhu-nya tidak mendatangkan hasil itu.
“Jangan
tertawa, lihat belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Kwan Cu
terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor
harimau muda yang nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling
yang lucu dan aneh tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan
tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk menerkam.
“Kwan Cu,
hadapi dia dengan Pai-bun Tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan
kalahkan dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang
(tenaga luar), awaslah!” kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.
Harimau itu
mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah bersiap sedia. Dengan
lincahnya dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat,
kemudian memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh
tunggang-langgang sambil menggereng.
Akan tetapi
tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga baginya pukulan Kwan Cu tadi
hanya merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk
lagi dan seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul
atau menendang.
Pertempuran
seperti ini berjalan lama. Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan
mengiringi pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang
penuh perhatian. Akhirnya, sesudah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan
beberapa kali menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian
pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang,
akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.
“Kau harus
dapat mengalahkan dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak
puas. Masa muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak mampu mengalahkan seekor
harimau yang masih muda?
Kwan Cu
mengerti bahwa apa bila dia melanjutkan perkelahian secara ini, tidak mungkin
dapat mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu
untuk ke sekian kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor
harimau.
Sekuat
tenaga dia lantas mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi
karena tubuh harimau itu berat sekali dan dia telah merasa lelah, maka dia
terbawa oleh bantingan ini sehingga terpelanting di atas tanah!
Harimau itu
nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di
dekatnya, dia segera menubruk! Kwan Cu sudah siap dan cepat menggulingkan
tubuhnya mengelak, kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau
itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi kuat!
Harimau itu
lalu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau
tidak dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi semakin lemah dan
sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.
Tiba-tiba
terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari
semak-semak, merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin
Sin-kai yang sedang enak-enakan meniup sulingnya saking gembira melihat
kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, langsung
berseru keras dan tubuhnya melayang turun.
Pada saat
itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu. Akan tetapi, tiba-tiba
tubuhnya terjengkang kembali ke belakang akibat dorongan tangan Ang-bin Sin-kai
yang memapakinya di tengah udara! Sekarang pertempuran terpecah menjadi dua.
Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tidak dapat
bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhu-nya dan harimau
besar.
Bukan main
kagum hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhu-nya menghadapi harimau itu dengan
senjata suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap
menjadi sebatang senjata yang lihai sekali. Ke mana juga harimau itu menubruk,
selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya.
Sesudah
empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan
segera membalikkan tubuh lalu berlari cepat sambil menggereng kesakitan!
Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan
kini berlari menyusul harimau besar!
“Suhu, indah
sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”
Ang-bin
Sin-kai tertawa. “Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira
mudah dipelajarinya. Ketahuilah bahwa semakin sederhana bentuk senjata, makin
sukar dipelajarinya dan semakin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau
belajar ilmu silat dengan suling.”
Guru dan
murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan
harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari
kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian
Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang.
Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang
sering kali datang di kala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam
semedhinya. Dia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas
panjang.
“Karena
itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh
kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dulunya adalah seorang tabib istana
yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama
karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali
tingkat kepandaiannya tak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat
penjuru, akan tetapi mengenai ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di
dunia ini sukar mencari keduanya!”
“Yang
diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak Hian-tan (Pil Darah
Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat dari pada darah yang berada di tanduk
naga, Suhu?”
Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja,
keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan
untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka sekali memberi
nama yang aneh-aneh! Nama liong (naga) atau burung hong (burung dewata) selalu
dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau
belum melihatnya sendiri?”
“Apakah
liong itu tidak ada, Suhu?”
“Aku sendiri
percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah
melihat dengan mata sendiri. Memang telah kulihat banyak ular-ular besar
sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan
tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut!
Betapa pun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, kenapa
rakyat di empat penjuru bisa melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada,
seperti adanya pula burung hong!”
“Kalau
begitu, obat Liong-kak Hian-tan itu benar-benar terbuat dari pada darah tanduk
naga, Suhu?” kata Kwan Cu dengan suara tetap.
Ang-bin
Sin-kai kembali tertawa. “Hal inilah yang meragukan, sebab biar pun kepandaian
yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu cukup lihai, mana dapat dia
pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya?
Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan
bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”
Sesudah
sampai di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya
kepada orang kampung mengenai Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama
Gui-lokai.
Beberapa
orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak ada seorang pun mengaku
pernah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).
“Anak bodoh,
mengapa kau tanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua,
dan wanita pula, karena yang biasa memberi derma kepada para pengemis
kebanyakan hanya orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
Kwan Cu
menganggap kata-kata suhu-nya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita
dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini
tengah memikul air bersama beberapa wanita lain.
Kwan Cu
merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, apa
lagi nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya
ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan
itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tentu saja wanita itu terkejut
dan amat heran, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil
berkata,
“Bibi, aku
kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku yang
membawakan ke rumahmu.”
Tentu saja
wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang
jarang dan kecil-kecil.
“Anak baik,
terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.
Dua orang
wanita di belakangnya juga memandang heran pada Kwan Cu, bocah gundul yang baik
hati itu. Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu
mengajukan pertanyaan,
“Bibi,
pernahkah engkau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil
Gui-lokai?”
“Gui-lokai...?”
Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang
gila itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan
gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia
masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran
membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul
tanah dari pada menggerakkan pit menulis!”
Bukan main
girangnya hati Kwan Cu.
“Tahukah kau
di mana adanya dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah
ini?”
“Tempat
tinggalnya? Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur
di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Ehh, anak baik,
kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”
Pada saat
itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu
menyambung,
“Aneh
sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang lainnya yang menanyakan tentang
Gui-lokai!”
Mendengar
ini Kwan Cu merasa terheran.
“Lopek,
siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?”
“Seorang
hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang yang
berbentuk menara dan berada di lereng barat untuk mencari goa yang dulu
ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.
“Di manakah
batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke goa tempat tinggal
Gui-lokai!” Kwan Cu bertanya cepat-cepat.
Kakek itu
ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi cepat-cepat
menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tidak jauh dari situ.
“Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang
tinggi, bentuknya mirip seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya goa
tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”
“Terima
kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling
pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
“Suhu,
cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke
tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.
“Siapa
orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
“Entahlah,
kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari goa
tempat tinggal Gui-siucai!”
Berubah
wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Hemm,
jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”
“Mari cepat,
Suhu. Goanya berada di puncak itu,” berkata Kwan Cu dan bocah gundul ini
mendahului suhu-nya berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan
guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya
itu sudah dicuri orang lain.
Sebentar
saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk
menara. Mudah saja mendapatkan goa bekas tempat tinggal Gui Tin, karena goa ini
besar dan panjang. Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki
goa itu.
Tak salah
lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat
pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat
sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus hingga akhirnya dia mendapatkan lubang
di mana tersimpan sebuah peti.
Dengan hati
berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar.
Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di
tarik orang dan ternyata suhu-nya yang menarik tadi.
“Hati-hati,
Kwan Cu. Keliru sekali kalau berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan
kewaspadaan. Aku masih bersangsi kenapa Gui-siucai semudah ini menyimpan
petinya yang berisikan kitab-kitab yang lebih disayangnya dari pada harta benda
lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang sudah mendahului kita dan sengaja
memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”
Sambil
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggunakan sulingnya untuk mencokel tutup
peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar
keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.
Kwan Cu
tertawa. “Ahh, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”
Ang-bin
Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Salah,
salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau
tahu tentang ular ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau)
yang bisanya jauh lebih berbahaya dari pada seekor ular sendok. Sekali pagut
saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang
yang dipagutnya! Biar pun kau sendiri yang sudah mempunyai darah penolak racun
di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apa bila tadi kau membuka peti
dan kena digigit oleh ular ini!”
Mendengar ini,
Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Sekarang ular itu
bergerak-gerak dan gerakannya betul-betul cepat sekali sehingga dapat
dibayangkan kalau ular ini menyerang orang.
Ang-bin
Sin-kai menggerakkan sulingnya. Sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular
itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan
yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.
Ang-bin
Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia
memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak
buku-buku tebal dan kuno.
Dengan
jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa
buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang
dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Tetapi tidak ada sebuah pun kitab
sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Heran
sekali..., kitab yang dimaksudkan Gui-sianseng itu tidak ada... !” kata Kwan Cu
setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu
demi satu.
“Hemm, benar
ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”
Kwan Cu
segera memandang dan dapat melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali
menuruni gunung itu. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar
bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!
“Keparat!”
Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan
memegang pundaknya.
Tiba-tiba
Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhu-nya dengan mata basah
dan muka pucat.
“Suhu, kau
benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.
“Ketika Suhu
memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut
Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapa pun juga, Suhu lebih
memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang
yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi
Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sesungguhnya
Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”
Mendengar
ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin
Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.
“Tutup
mulutmu! Bila sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapa pun besar
rasa sayangku kepadamu dan betapa pun baiknya bakatmu untuk menjadi muridku,
kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu hanya karena terdorong oleh rasa iri hati dan
putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu Toat-beng kepada Lu Thong,
perasaan iri hati yang tak berdasar. Dia adalah cucu luarku, kenapa aku tidak
boleh memberi sesuatu kepadanya? Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan
Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi
melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak
kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka sudah meninggalkan
kita. Aku masih ragu-ragu... apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu,
Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih
condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”
Kwan Cu
menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut
teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak
ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”
“Tenanglah
dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapakah orangnya yang sudah mencuri kitab
itu. Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang
sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”
“Memang
benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya.
Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po
pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita hingga sukar
untuk mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu.”
“Bagaimana
kau bisa memastikannya?”
“Karena
hanya Jeng-kin-jiu yang memiliki seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu
kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid.”
Ang-bin
Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Namun,
masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Sebaiknya kita menyusul ke kota
raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Kwan Cu
girang sekali karena ternyata bahwa suhu-nya benar-benar mau membantunya
merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari
Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang mereka sangka
telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.
Di dalam
perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan
terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.
“Kita mampir
dulu ke rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), dia seorang sahabatku yang baik,”
kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.
Yang disebut
Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, yakni seorang ahli silat
Bu-tong-pai yang di samping memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal
sebagai seorang ahli sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu merupakan
ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang
didirikan oleh para ahli sastra dan ahli-ahli silat di seluruh daerah Po-keng.
Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun
(sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).
Kwa Ok Sin
yang memang keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain
dijadikan tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan
nama yang tergantung di depan rumahnya benar-benar amat indah.
Papan itu
berukir dan berukuran besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah
dan gagah ‘RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI’. Hal ini tidak mengherankan, karena
sebagai perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!
Tak seorang
pun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan
Bun-bu-pai memang dihormati oleh setiap orang. Bahkan dengan adanya perkumpulan
ini, di daerah Po-keng bersih dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani
main gila di kedung naga dan goa harimau?
Karena itu,
tidak mengherankan apa bila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan
namanya dipuji-puji hingga jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan,
pujangga-pujangga besar dan ternama semacam Li Po dan Tu Fu sendiri tidak
jarang datang berkunjung ke Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin
dan para anggota lain. Juga para locianpwe, ahli-ahli silat tingkat tinggi dari
seluruh Tiongkok apa bila lewat Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.
Sungguh
sangat kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng,
Bun-bu-pai tengah penuh dengan para anggotanya. Hari itu dari berbagai tempat
mereka sengaja datang berkumpul sebab ada beberapa hal yang amat penting dan
mesti mereka rundingkan. Bahkan banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi
pertemuan itu.
Kwan Cu dan
gurunya berdiri di depan gedung Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat
papan nama yang ditulis amat indah itu.
“Alangkah
indahnya tulisan itu, Suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.
Ang-bin
Sin-kai tersenyum. “Apa sih indahnya tulisan macam itu? Marilah kita masuk dan
kau akan melihat tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”
Mereka masuk
melalui pintu gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di sana
tergantung tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan dan merupakan
sajak indah) yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk.
Selama hidup
belum pernah Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah, baik gaya
mau pun isinya, maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu
demi satu. Hal ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di
situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po
sendiri pun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka!
Tidak
seperti rumah perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah
orangnya yang akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini? Karena itu
tidak perlulah diadakan penjagaan.
Ketika Kwan
Cu sedang enak-enak dan asyiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba
terdengar suara halus, “Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan
baik!”
Pada saat
Kwan Cu menengok, dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang
lebih empat puluh tahun dan sungguh pun pakaiannya seperti seorang ahli silat,
namun gerak-geriknya sangat halus dan sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin
Sin-kai, lalu menjura dan berkata,
“Sungguh
kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami
sedang berkumpul dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe.”
Ang-bin
Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, sang
ketua dari Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah
lama menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada
wajah ketua ini seakan-akan terbayang kekurang senangan dan juga kegelisahan?
“Selamat
bertemu, Kwa-pangcu! Apakah gerangan yang telah terjadi?”
“Silakan
masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” Kwa-pangcu
menjawab dengan muka masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah
Kwan Cu seakan-akan dia pernah mendengar sesuatu mengenai bocah gundul yang
pandai membaca sajak itu.
Ang-bin
Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke
dua, Kwan Cu kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di
dinding, ada pun di bawah terdapat tempat senjata penuh dengan senjata-senjata
persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang ada di situ
semuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan
Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.
Akhirnya
tibalah mereka di dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di sana telah
berkumpul lebih dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.
Sesungguhnya
memang aneh karena tempat itu dipenuhi orang-orang yang berpakaian beraneka
macam. Ada yang mirip seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada
yang berpakaian seperti ahli silat atau guru silat, bahkan ada pula
pendeta-pendeta dan hwesio kepala gundul atau tosu-tsou yang rambutnya digelung
di atas kepala.
Pendeknya,
di tempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak
memiliki kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan
bahwa baik ahli sastra mau pun ahli silat yang berkumpul di sana rata-rata
memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya masing-masing.
Baik nama
mau pun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah amat terkenal di antara para tokoh
persilatan dan sastrawan itu. Akan tetapi, jika biasanya mereka menyambut
kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada
saat itu tidak ada seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya dan hanya
memandang dengan sinar mata dingin.
Tentu saja
Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia tetap
bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu
memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ.
Pandang mata Ang-bin Sin-kai sangat tajam dan berpengaruh, karena itu siapa pun
juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan
pandang matanya.
Kwa-pangcu
duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk
dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw
Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Ada pun di sebelah
kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai.
Diam-diam
Ang-bin Sin-kai sudah merasa amat heran melihat dua orang tokoh besar ini,
karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di
tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka itu hanya hal yang kebetulan saja,
sebab apa bila memang begitu, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya
dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat
kediaman masing-masing.
“Cu-wi sekalian,
karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi
telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” Kwa Ok Sin berkata dengan suara
kereng.
Semua orang
kemudian menyatakan setuju. Dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang
nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang memiliki
kepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang
banyak menolong rakyat.
Karena semua
orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin
Sin-kai dan berkata,
“Tadi sudah
siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu,
tiba-tiba ada seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang
dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte
berusaha untuk menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak
sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal
mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain
pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”
“Apakah
bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Lie Seng
menggelengkan kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu
melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”
Kwa Ok Sin
berdiri kemudian berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi.
Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan
maksud apa. Karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang
sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk
menggunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”
Warta ini
menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan
suaranya yang kecil nyaring.
“Penculiknya
pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Semua orang
terkejut.
“Ehh, anak
gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras
dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang
semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.
Tak senang
hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara
kasar juga. “Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik
seorang sastrawan besar!”
“Diam kau,
Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur.
Ketika guru
dan murid ini saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya
sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu
diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
“Muridku ini
memang panjang lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
“Tuduhannya
tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa
pun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar
Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”
“Syukurlah,
memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong
Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu
ketua Thian-san-pai sambil berkata,
“Karena
masalah pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan
lagi persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata
begini, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw
Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.
Pouw Hong
Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas
kepala itu masih hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh
tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh
Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to
(sepasang golok).
“Cu-wi
sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan
ini seperti yang telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari
sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama,
karena muridnya dan murid pinto sudah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai
di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala.
Agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pouw Hong
Taisu lantas menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya
disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini,
tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga
lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas
meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik
Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!
Melihat ini,
terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah
kepadanya. Akan tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima
kembali cawannya dan meletakkannya lagi di hadapannya.
“Tenang,
Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan
marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di
dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.
“Pinto
merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih
dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh
berani mati dan tak tahu malu sekali!”
Sambil
melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah
cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan...
“Praaaakk!”
Cawan itu
pecah berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang
menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu.
Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian tokoh
Kim-san-pai ini.
Kwan Cu
tertawa geli mendengar ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua
orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama
ini dia selalu berada dengan suhu-nya dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak
pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi
kesalah fahaman dari fihak mereka.
Oleh karena
ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam
hatinya. Dia bahkan mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua
orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran
yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!
“Bin Kong
dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main
seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah
maka kalian seperti kemasukan setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin
Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
“Pengemis
busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat,
murid yang pinto tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu
bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai.
Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik malah
menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang
kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan
menagih hutang. Kini bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan
hanya berani mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh
Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan
menyilaukan mata.
Inilah
sebuah tantangan terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai
untuk melihat bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi
Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang
kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,
“Bin Kong
Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan
tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau
menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”
Melihat
sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya
dia menjawab juga.
“Benar-benarkah
kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid
Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan
Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga
terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang engkau pun harus
menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa muridku!”
Bin Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.
Tiba-tiba
terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong
Siansu.
“Siapa
bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”
“Hmm, anak
gundul, otakmu sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan
kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main
sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?!” Bin Kong Siansu membentak diikuti
tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.
Gerakan itu
cepat sekali sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena
kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan
menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri
lagi.
“Thio-toanio
mati...? Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...”
katanya setengah menangis sambil menghampiri suhu-nya.
“Bocah
lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai
menghibur.
Kakek ini
maklum bahwa mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin
masih lebih besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh
Kim-pan-sai itu.
“Bin Kong
dan Pouw Hong, apa kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa
aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Apa bila
kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup
sampai sekarang?!” bentak Pouw Hong Taisu marah.
Ketua
Thian-san-pai ini memang wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong
Siansu yang agak jeri menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini
menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti
Muka Merah.
“Kalau
begitu, siapakah yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid
kalian?”
Bin Kong
Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang
menjawab,
“Ang-bin
Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami
sudah bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”
”Hm, hem,
hemm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”
“Tentu saja
kami percaya! Dia orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu
membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.
Bersinar
sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh
murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”
Bin Kong
Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa
percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”
Akan tetapi
Bin Kong Siansu lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah
memberi tahukan mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia
telah bersumpah. Maka apa bila kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh
anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut
urusan ini.”
Ang-bin
Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu
melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada
di atas meja tidak ada satu pun yang terguling!
“Kalian
percaya omonganku atau tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam
apakah? Kalian percaya, bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan
Cu, kita pergi!”
Ang-bin
Sin-kai menggandeng tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan
tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua
orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri
menghadang di depannya.
“Jembel
pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu
yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
“Kwan Cu,
menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai.
Secepat
kilat kaki kanan Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan
Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja
yang agaknya memang kelebihan dan ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi
ruangan. Sambil berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin
(Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan
tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton
dengan enaknya!
Ada pun
Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri,
berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok
dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari
kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat
mundur menghindarkan diri.
“Ang-bin
Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan
serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya.
Permainan
golok kakek Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah
mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan
sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali
bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!
Melihat
permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat
duduknya yang tinggi.
“Bagus,
bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”
Anak ini
terlalu percaya terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak
tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia
memang benar, karena betapa pun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu,
namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.
Kakek ini
nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang
membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan
bahwa dalam menghadapi sepasang golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya
hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan
Golok) yang telah dia pelajari!
Ahhh, betapa
tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya
yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat
Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan
sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah
dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata oleh gurunya
telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu
dengan sepasang goloknya!
Pada saat
dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin
heran. Pai-bun Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak
ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya
terlalu lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu
tangguh?
Ketika dia
mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong
Taisu menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu
menggunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran
sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan
menyeleweng arahnya!
Ia maklum
bahwa dalam mainkan Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah
bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu
perkembangan serangan lawan. Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma,
melainkan gerakan yang penuh isi, tak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk
selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan
tahulah dia kini akan arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa
semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau
memainkannya!
Setelah
‘mengukur’ tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah
dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini
mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa
serta sangat baik untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.
Beginilah
sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan
tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik
dari lawannya. Dengan sikap seperti ini maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan
selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan semakin tenar namanya.
Kalau
Ang-bin Sin-kai mau, sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan
Pouw Hong Taisu. Akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini
dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus
di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama
dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.
Selain hal
ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam
dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua
Thian-san-pai ini menyerang dirinya karena menduga bahwa dia membunuh anak
murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau
merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun agak
keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!
“Pouw Hong
Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin
Kong Siansu berkata keras.
Pedangnya
berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang
golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah
turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya.
Tadi dia
telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak
akan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia
sendiri pun masih sangsi apakah dia akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai,
akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja
maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.
Akan tetapi
Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya
ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur,
berati dia mengalah atau kalah.
“Tidak, Bin
Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang
goloknya langsung diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari
ilmu golok Thian-san-pai.
“Ha-ha-ha,
tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main
sebentar!” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
Tiba-tiba
tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya
menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini
menunjukkan kelihaiannya.
Tidak saja
dua orang pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua
mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan
bengong karena matanya yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan
suhu-nya yang demikian cepatnya! Sekarang dia betul-betul melihat suhu-nya
dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan
kagum.
Tiba-tiba
Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia
sempat memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang
sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya
yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun
Sui Ceng!
“Ehh..., apa
artinya ini...?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini
bersinar seperti sepasang bintang pagi.
“Artinya,
jika aku tak memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan
batok kepalamu yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik,
seorang pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”
Kwan Cu
memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh,
ehh, ehhh…! Suthai, mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa
kesalahanku?”
“Kau tahu
tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau
memberi tahu kepadaku?”
“Itulah
rahasiaku sendiri, Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang
menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah
teecu membohong dan perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”
Dilawan
dengan amat tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat
menjawab!
“Sudahlah
tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke
tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup
lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan
batok kepalamu.”
“Teecu masih
mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu
penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya,
membalaskan sakit Thio-toanio yang telah terbunuh orang!” Sambil berkata
demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.
Anak
perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu
dengan penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak
akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.
“Apa...?!
Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan
suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”
Mendengar
ini, Kiu-bwe Coa-li langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas
tak berdaya lagi!
“Sui Ceng,
cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan
sebelah utara. Biar aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia
pelanggar sumpah!”
Sui Ceng
mengangguk dan dia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun
seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka
kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya,
masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.
Ada pun
Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu
menyambar turun ke dalam ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan
hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.
Menghadapi
ilmu pedang Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat,
Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk
main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini
keroyokan kedua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan
begitu saja.
Oleh karena
itu, begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun
mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia
hampir saja berhasil memukul runtuh senjata lawan, akan tetapi kedua orang
kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling
membantu.
“Tar! Tar!
Tar!”
Pada saat
itu tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar
menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe
Coa-li yang telah turun tangan. Bagai sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu
cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar
biasa lihainya.
Pada saat
itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw
Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan
Ang-bin Sin-kai dan tidak bisa menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka
tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu serta pedang
di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk dan
ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari
pegangan!
Ada pun
Ang-bin Sin-kai, biar pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi
memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe
Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apa lagi saat terdengar bunyi bergeletar
tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia
tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia
segera menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah
tubuh Kiu-bwe Coa-li!........
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment