Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 01
“Lima warna
membutakan mata…!" Terdengar suara berat dan parau membaca doa.
“Lima warna
membutakan mata…!" Menyusul suara nyaring tinggi, suara kanak-kanak yang
berusaha keras menirukan nada suara pertama.
“Lima bunyi
menulikan telinga…!” Suara parau itu terdengar lagi.
“Lima bunyi
menulikan telinga…!" Kembali suara anak kecil tadi mengulang kata-kata
itu.
Suara saling
susul yang diucapkan oleh suara parau dan kemudian ditiru suara anak kecil itu
adalah ujar-ujar dari kitab To-tek-keng yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Lima warna
membutakan mata
Lima bunyi
menulikan telinga
Lima rasa
merusak mulut
Mengejar
kesenangan merusak pikiran,
Barang
berharga membuat kelakuan menjadi curang
Inilah
sebabnya orang budiman
Mengutamakan
urusan perut
Tidak mempedulikan
urusan mata
Ia pandai
memilih ini membuang itu.
Apa bila
suara-suara ini terdengar dari dalam sebuah kelenteng Agama To, hal itu tak
perlu diperhatikan lagi karena memang lumrah kalau seorang tosu memberi
pelajaran-pelajaran dari kitab To-tek-keng kepada anak-anak muridnya. Atau
seorang guru sastra mengajarkan ayat-ayat kitab itu kepada muridnya.
Akan tetapi
anehnya, dua suara yang saling susul itu terdengar dari dalam sebuah hutan yang
lebat, hutan yang amat jarang didatangi manusia dan menjadi sarang dari
harimau-harimau, ular-ular besar dan binatang buas lainnya. Kalau pun ada
manusianya, tentulah sebangsa manusia perampok.
Apa bila
kita melihat ke dalam hutan itu untuk mengetahui siapa orangnya yang sedang
mengajarkan ayat-ayat kitab To-tek-keng itu kepada anak kecil tadi, maka kita
akan merasa heran sekali. Ternyata bahwa yang membacakan ayat-ayat kitab itu
adalah seorang tosu berbaju kuning, dan di pungungnya tergantung sebatang
pedang.
Tosu ini
tinggi kurus dan berkumis tipis, berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Rambutnya digelung ke atas dan dia menunggang seekor kuda kurus yang berjalan
seenaknya dan nampaknya sudah amat lelah.
Di belakang
kuda ini berjalan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Pakaiannya
penuh tambalan, rambutnya diikat ke belakang, mukanya putih agak pucat dan matanya
besar. Anak ini pakaiannya amat miskin sampai-sampai bersepatu pun tidak. Di
dekat mata kaki kiri ada boroknya sebesar ibu jari kakinya sehingga jalannya
agak terpincang-pincang. Akan tetapi, meski keadaannya begitu miskin, anak itu
tampaknya gembira terus. Matanya menyinarkan cahaya gembira dan nakal.
Ayat-ayat
yang dibacakan oleh Tosu di atas tadi adalah ayat ke dua belas. Kalau dihitung
tosu itu membaca dari ayat pertama dengan suara keras, tetapi lambat-lambat,
sudah lama jugalah anak itu menirunya.
Pada ayat
dua belas di mana terdapat kata-kata tentang orang budiman mengutamakan urusan
perut, sesudah selesai menirukan ayat ini sampai habis, anak laki-laki itu
segera berkata. Suaranya lantang, nyaring dan tinggi.
“Totiang,
benar sekali pikiran orang budiman itu. Aku pun mau menjadi orang budiman,
mengutamakan urusan perutku yang sudah amat lapar ini. Maka harap Totiang
lekas-lekas memberi roti kering atau uang, aku tidak mau pedulikan urusan lain
lagi.”
Sambil
berkata demikian, anak itu tidak lagi berjalan di belakang kuda, melainkan
berlari mendampingi sambil menarik-narik kaki kanan tosu itu. Akan tetapi tosu
itu seperti tidak melihat bocah tadi, juga seperti tidak merasa kakinya
dibetot-betot. Ia membuka mulutnya lagi dan berteriak dengan suara keras.
“Ayat ke
tiga belas berbunyi…”
“Aku tidak
peduli apa bunyi ayat ke tiga belas atau ke tiga ribu!” Anak itu berteriak.
“Perutku lapar dan Totiang sudah berjanji akan memberi roti kering dan uang
kepadaku!”
Tosu itu
nampak tertegun, seakan-akan baru sekarang ia tahu bahwa suara yang tadinya
menirunya sekarang telah mengeluarkan suara lain. Ia menunda membaca kitabnya
dan memandang kepada anak itu dengan mata bersinar-sinar.
Tadi ia
bertemu dengan anak itu di luar sebuah kampung dekat hutan ini. Pada waktu itu
ia sedang beristirahat dan makan roti kering. Kemudian anak yang dikenalnya ini
datang mendekat, nampaknya ingin sekali roti itu akan tetapi tidak mengeluarkan
suara.
“Kau mau
roti kering?”
Anak itu
hanya mengangguk.
“Heh-heh-heh,
roti keringku ini sudah habis di warung sana?” Ia bertanya lagi.
Kembali anak
itu mengganguk. Tosu itu menjadi gemas juga.
“Gagukah
engkau?”
“Tidak,
Totiang, hanya sedang malas bicara.”
Jawaban ini
membuat si tosu menjadi terheran-heran. Baru sekali ini ia bertemu dengan
seorang anak kecil yang bicara seenaknya sendiri saja seperti ini.
“Engkau mau
roti kering dan uang?” Kembali ia bertanya sambil kembali menunggangi kudanya
yang kurus. Anak laki-laki itu kembali mengangguk.
“Baik, akan
tetapi kau harus menirukan membaca isi kitab To-tek-keng sambil berjalan di
belakang kudaku.”
Demikianlah,
tosu itu mulai membaca kitab itu dari ayat pertama sampai ayat kedua belas.
Tadinya anak ini tertarik sekali karena anak ini sebetulnya adalah seorang anak
luar biasa yang pernah membaca kitab-kitab kuno bahkan hampir hafal banyak
kitab dari agama Buddha, yaitu pada waktu ia bekerja sebagai pelayan dari
kelenteng Hok-thian-tong. Akan tetapi setelah mendengar mengenai ‘mengutamakan
perut’, maka anak itu teringat akan perutnya yang lapar dan menagih janji.
Siapakah
anak yang bersikap aneh dan dalam keadaan terlantar itu? Namanya Beng San,
demikian menurut pengakuannya sendiri. Mengenai siapa nama keturunannya, ia
sendiri tidak tahu.
Anak ini
adalah korban bencana alam, yaitu banjir besar sungai Huang-ho yang sudah
menghabiskan seluruh isi kampungnya. Hampir seluruh isi kampung habis oleh
banjir itu, rumah-rumah lenyap, sawah-sawah rusak, bahkan manusia dan binatang
hampir tewas dan hanyut semua.
Anak ini pun
ikut hanyut, akan tetapi agaknya Tuhan masih melindunginya maka ia dapat
tersangkut pada reruntuhan rumah dan terbawa ke pinggir dalam kedaan pingsan.
Hal ini terjadi ketika ia berusia lima enam tahun.
Pada saat
siuman kembali, anak ini sudah berada di pinggir sebuah hutan di tepi sungai
Huang-ho. Dia hanya ingat bahwa namanya Beng San, bahwa ayah bundanya hanyut
terbawa air bah, tetapi tidak ingat lagi apa nama dusun tempat tinggalnya dan
di mana letaknya.
Beng San
terlunta-lunta dan nasib membawanya sampai ke depan kelenteng Hok-thian-tong di
kota Shan-si. Ia amat tertarik melihat kelenteng itu, amat suka melihat-lihat
lukisan dan patung-patung yang dipahat indah. Kemudian ketua kelenteng, seorang
hwesio yang beribadah, merasa kasihan dan suka kepadanya dan mulai saat itulah
Beng San diterima sebagai seorang kacung atau pelayan.
Para hwesio
di kelenteng itu rata-rata memiliki pribudi yang tinggi dan hampir semua tekun
mempelajari ayat-ayat suci. Para hwesio mendapat kenyataan bahwa anak yang
menjadi pelayan di kelenteng itu selain rajin juga sangat cerdas. Mereka lalu
memberi pelajaran membaca serta menulis.
Dan
demikianlah selama tiga tahun lebih Beng San di ‘jejali’ filsafat-filsafat dan
ayat-ayat suci yang sangat tinggi. Tentu saja dia hanya menghafal semua inti
sarinya. Jangankan seorang anak kecil seperti dia, apabila mempelajari agama,
manusia dewasa sekali pun jarang yang betul-betul dapat menangkap inti sarinya
sehingga mampu mengamalkan perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat suci itu.
Setelah berusia
sembilan tahun lebih, Beng San mulai tidak betah tinggal di kelenteng. Beberapa
kali ia minta berhenti, akan tetapi semua hwesio melarangnya dan mereka ini
hendak menarik Beng San menjadi seorang calon hwesio. Beng San tidak suka dan
pada suatu malam anak ini lari minggat dan kelenteng itu.
Ia hidup
terlunta-lunta, terlantar. Hanya bisa makan kalau ada yang menaruh kasihan dan
memberi makanan atau memberi sekedar pekerjaan kemudian diberi upah makanan
atau uang.
Yang amat
aneh pada anak ini, ia tidak pernah mau mengeluarkan perkataan minta-minta!
Mungkin ia pun terpengaruh oleh pelajaran para hwesio yang mengharapkan sedekah
dari para dermawan, akan tetapi sekali-kali bukan mengemis. Demikian mengapa
Beng San juga sama sekali tidak mau meminta ketika melihat tosu itu makan roti
kering, padahal perutnya lapar bukan main.
Dan siapa
adanya tosu itu? Bukan sembarang orang, melainkan seorang bernama Siok Tin Cu.
Dia adalah tokoh dari perkumpulan Agama Ngo-lian To-kauw (Agama To Lima Teratai
) yang berpusat di Ki-lok. Sebagai tosu tingkat tiga tentu saja ilmu
kepandaiannya sudah tinggi sekali. Dan sebagai seorang tokoh Ngo-lian To-kauw
yang mementingkan pelajaran mistik (hoatsut), tentu saja ia terkenal sebagai
seorang yang amat berbahaya.
Siok Tin Cu
mengajak atau memancing Beng San ke dalam hutan itu bukannya tanpa maksud
tertentu. Begitu melihat anak tadi, dia dapat menduga bahwa anak ini adalah
seorang anak yatim piatu, lagi bertulang baik, maka tepat sekali kalau hendak
dijadikan bahan percobaaan ilmunya. Kalau sampai anak ini tewas sekali pun,
tidak ada orang tua kehilangan anaknya, tidak ada orang yang dirugikan, maka ia
takkan menanggung dosa, demikian jalan pikiran pedeta sesat ini.
Mari kita
kembali lagi ke dalam hutan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Di
depan telah diceritakan betapa Beng San tidak lagi menirukan teriakan Siok Tin
Cu yang membaca ayat-ayat To-Tek-keng, tetapi malah berteriak-teriak menagih
janji tosu itu untuk memberi roti kering atau uang pembeli roti kepadanya.
Mereka sudah
tiba di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Siok Tin Cu tersenyum dan
melompat turun dari atas kudanya. Gerakannya demikian ringan seakan-akan
tubuhnya seringan bulu saja.
“Bocah,
sejak kapan kau belum makan?” Pertanyaan ini diucapkan dengan sangat halus,
seakan-akan orang tua ini merasa kasihan dan hendak menolong.
“Semenjak
dua hari yang lalu,” jawab Beng San singkat, tanpa mengundang suara minta
dikasihani.
Tosu itu
mengangkat alisnya, lalu tertawa bergelak nampak girang sekali! ”Bagus, bagus,
kalau begitu perutmu kosong sama sekali. Hal ini berarti membersihkan hawa di
dalam tubuhmu dan memperkuat daya tahanmu seperti seorang yang memiliki latihan
siulian. Bagus, anak yang baik, nah, sekarang kau makanlah ini, hendak kulihat
sampai di mana kemanjurannya!” Tosu itu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning
dan berbau busuk, “Bukalah mulutmu.”
Tentu saja
Beng San tidak sudi mentaati perintah ini. Ia mundur selangkah memandang marah
dan berkata, “Totiang, kau berjanji hendak memberi roti kering atau uang,
kenapa sekarang menyuruh aku makan obat? Aku tidak sakit dan tidak butuh obat!”
“Heh-heh-heh,
kalau sudah makan tidak ada artinya lagi. Ehhh, bocah, aku Siok Tin Cu bukan
seorang bodoh. Ketahuilah, pil ini adalah buatanku sendiri atas petunjuk kauwcu
(ketua agama). Belasan tahun kubuat dari sari segala kebusukan yang mengandung
hawa thai-yang dan khasiatnya hebat bukan main. Aku telah membuatnya tiga buah
akan tetapi sampai sekarang tidak berani menelannya. Harus lebih dulu kucobakan
pada orang lain, dan kau dengan perut kosongmu baik sekali untuk dijadikan
kelinci percobaan! Kalau kau mati, tidak ada orang yang kehilangan, kalau kau
hidup… nah, barulah akan kuberi hadiah roti kering atau uang, Heh-heh-heh!”
Sepasang
mata anak itu yang lebar menjadi makin lebar, bukan karena takut melainkan
karena marahnya. “Tosu bau apa kau lupa akan ujar-ujar suci bahwa, siapa yang
belum membersihkan diri dari perbuatan jahat, serta siapa yang tidak
mempedulikan kebajikan dan kebenaran, dia itu tidak patut memakai pakaian
kuning?”
Siok Tin Cu
mula-mula terkejut dan heran karena ujar-ujar ini adalah kata-kata suci dalam
agama Buddha (dalam kitab Dhammapada), akan tetapi ia segera tertawa. “Mau
tidak mau kau harus menelan obat ini!”
“Tidak
sudi…! Kau tosu bau!” Beng San mengambil dua buah batu kecil dari atas tanah
dan menimpukkan dua buah batu itu kepada Siok Tin Cu.
Akan tetapi
Siok Tin Cu hanya tertawa dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, ujung lengan
bajunya ‘meniup’ pergi dua buah batu itu, membuat Beng San tak dapat bergerak
lagi. Yang ‘mati’ ini adalah kedua pasang kaki tangan anak itu, akan tetapi
dari leher ke atas masih ‘hidup’. Anak itu masih dapat menggerakkan leher dan
semua anggota muka.
“Tosu jahat,
tosu bau, kau mau apakan aku?” teriakannya berkali-kali.
“Tidak
apa-apa, hanya ingin kau menelan obat ini.”
Pil kuning
yang baunya busuk itu didekatkan pada hidung Beng San, membuat anak ini ingin
muntah.
“Baunya
busuk seperti engkau, aku tak sudi menelan itu!” ia menggeleng kepala ke kanan
kiri menjauhi obat itu.
“Heh-heh-heh,
anak bandel. Terpaksa harus kubuka mulutmu.”
Tangan kiri
tosu itu memegang dagu Beng San dan anak ini merasa betapa tenaga yang amat
kuat memaksa mulutnya terbuka. Ia pura-pura menurut, tetapi ketika tosu ini
lengah hendak memasukkan obat ke dalam mulut yang terbuka, Beng San
menggerakkan kepala ke bawah dan menggigit tangan kiri tosu itu.
“Aduh…!”
karena tidak menyangka sama sekali, jari kelingking tosu itu kena tergigit
keras sampai mengeluarkan darah.
“Plakkk!”
Dia menampar
pipi Beng San. Demikian keras tamparan ini, demikian nyerinya sampai Beng San
tanpa sengaja membuka mulutnya melepaskan gigitannya.
“Plak! Plak!
Plak! Plak! Plak!”
Berkali-kali
tosu itu menampar muka Beng San dari kanan kiri, dan sungguh-sungguh Beng San
tidak mengeluh. Akan tetapi rasa sakit membuat matanya berair. Setelah anak itu
hampir pingsan karena sakit dan pening, barulah tosu itu menghentikan
tamparannya.
Muka Beng
San menjadi bengkak-bengkak dan kedua pipinya menjadi biru. Anehnya, hal ini
tidak terasa oleh tosu yang sedang marah itu, bahwa tidak sepatah kata pun anak
itu mengaduh atau mengeluh. Benar-benar menunjukkan watak bandel yang luar
biasa, juga membayangkan nyali dan ketabahan yang mengagumkan.
“Hayo telan
ini!” Siok Tin Cu memaksakan Beng San yang setengah pingsan itu membuka mulut,
lalu menjejalkan pil berbau busuk itu ke dalam mulut Beng San.
Biar pun
sudah pening dan setengah pingsan, tetapi dalam kenekatannya anak ini hendak
meludahkan keluar pil itu. Akan tetapi Siok Tin Cu menutup mulutnya dan
mendorong pil itu dengan telunjuknya sampai ke tenggorokan Beng San. Akhirnya
obat itu masuk juga ke dalam perut Beng San tanpa dapat dicegah lagi!
“He-he-he,
hendak kulihat akibatnya…” Siok Tin Cu menggerakkan tangan membebaskan
totokannya.
Beng San
roboh terduduk di atas tanah. Dia menundukkan muka karena merasa masih pening
dan nanar kepalanya. Ia meramkan matanya yang menjadi sempit karena pipinya
telah membengkak besar di kanan kiri. Kasihan sekali anak ini, mukanya sampai
menjadi seperti buah labu matang.
Tiba-tiba
saja Beng San menggerak-gerakkan kaki tangannya, kulit badannya makin lama
nampak makin merah sampai bagai udang rebus. Makin merah kulitnya makin tak
karuan pula tingkahnya, berkelojotan seperti ular disiram air panas.
“Panas…
panas…!”
Akhirnya tak
tertahankan juga. Namun mulutnya yang tidak pernah mengeluh itu hanya bilang
‘panas… panas…’ berkali-kali. Kulit badannya menjadi merah tua hampir hitam dan
dari tubuhnya tampak uap tipis seakan-akan seluruh air di tubuhnya sudah mendidih.
Tubuh Beng
San melompat ke sana ke mari seperti orang gila. Dia menabrak pohon, lalu
terjungkal, berdiri lagi, terhuyung-huyung, kemudian merangkak-rangkak sampai
kembali menabrak pohon lagi. Kemudian dia melompat berdiri dan lari.
“Heh-heh-heh,
hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan.” Siok Tin Cu juga berlari
mengikuti anak yang sedang gila kepanasan itu, meninggalkan kudanya yang diikat
pada sebatang pohon.
Tidak jauh
Beng San berlari karena belum juga dua li, ia menabrak pohon lagi dan jatuh
terguling. Anak ini tidak dapat bangun lagi, hanya berkelojotan dan
bergulingan.
Siok Tin Cu
berlutut dan memeriksa dengan teliti. Diurut dan diperiksanya seluruh bagian
tubuh Beng San yang sudah tak berdaya lagi itu, mulutnya tiada hentinya memuji.
“Hemmm,
tubuhnya penuh berisi hawa panas yang mukjijat. Inilah inti sari hawa yang apa
bila dapat dipelihara dan disalurkan dengan kekuatan Iweekang akan menjadi
semacam yang-kang istimewa, kuat dan panas. Bagus sekali! Hendak kulihat apa
yang dirusaknya.” Ia memeriksa perut dan dada Beng San.
“Hemmm,
hemmmmm… berbahaya sekali, isi perutnya melepuh semua, paru-paru penuh hawa
panas menguap, jantung mengeriput… Kalau anak ini tidak kosong perutnya, tidak
penuh hawa murni tubuhnya dan tidak bersih tulang-tulangnya, dia sudah akan
mampus sejak tadi. Dengan Iweekang di tubuhku, apakah aku akan dapat menahan
hawa panas seperti ini…? Hemmm, berbahaya sekali…”
Saking
asyiknya memeriksa, Tosu ini sampai tidak tahu dan tidak merasa bahwa kantong
obatnya terlepas dan terjatuh. Ketika tubuh Beng San bergerak-gerak, tanpa
disengaja kantong obat itu tertindih oleh tubuh anak itu dan tidak kelihatan
dari atas.
“Hemmm…,
berbahaya sekali akibatnya. Apa kiranya aku akan kuat?”
Tosu itu
berdiri dan termenung. Ia ngeri akan akibatnya kalau sampai dirinya kemasukan
obat kuat itu tetapi akhirnya tubuhnya tidak dapat menahan. Tanpa terasa
digerayangnya pinggangnya dan ia kaget sekali karena tidak mendapatkan kantong
obat di situ.
Bingung ia
mencari, tetapi sia-sia saja. Ia lalu mengingat-ngingat. Tidak salah lagi, tadi
ia mengambil sebuah pil dari kantong obat yang segera diikatkan kembali ke
pinggangnya. Jangan-jangan ketinggalan di atas pelana kuda, pikirnya.
Cepat dia
berlari meninggalkan Beng San. Dia berlari kembali ke tempat di mana dia tadi
meninggalkan kudanya. Di sini dia mencari-cari ke sana kemari, membuka-buka
rumput dan alang-alang di sekitarnya, membongkar semua bekal dari atas sela
kuda.
Sementara
itu, Beng San masih juga berkelojotan.
“Panas…
lapar… panas… lapar…,” katanya.
Tangannya
menggerayang-gerayang. Ia mencoba membuka matanya, akan tetapi begitu dibuka,
air matanya bercucuran saking panas dan perihnya.
Tiba-tiba
tangannya yang menggerayang itu berhasil menangkap sebuah kantong kecil. Kedua
tangannya lalu menarik, dan sekali tarik saja kantong itu hancur dan dua butir
pil sudah dipegangnya. Karena pikiran Beng San sudah hampir tidak dapat
dipergunakan lagi saking hebatnya penderitaannya, dua butir pil itu segera dia
masukkan ke mulutnya terus ditelan habis!
Pada saat
itu, terdengar orang bernyanyi-nyanyi kecil, nyanyian kanak-kanak. Ketika tiba
di tempat itu, ternyata bahwa yang bernyanyi adalah seorang lelaki bertubuh
tinggi besar, tetapi mukanya yang hitam itu sama sekali tidak berkumis atau
berjenggot, licin seperti muka kanak-kanak.
Matanya juga
bersinar bodoh dan jujur seperti mata kanak-kanak pula, biar pun usianya telah
empat puluh tahun. Yang lucu adalah pakaiannya, berkembang-kembang dan malah
sepatunya juga sepatu berkembang seperti yang biasa dipakai wanita. Pendeknya,
dia adalah seorang aneh yang mempunyai sifat kanak-kanak, berpakaian seperti
perempuan dan pantasnya hanya orang edan saja yang berkeadaan seperti dia ini.
Ia berhenti
menyanyi dan berdiri memandang Beng San yang masih bergulingan. Setelah Beng
San menelan pil yang dua butir itu, dia seperti cacing terkena abu panas.
Berguling ke sana, menggelundung ke sini, berkelojotan dan mulutnya berbusa.
“Ha-ha-ho-ho-hoh,
kau main menjadi trenggiling?”
Orang yang
baru datang itu dengan muka girang lalu turut rebah pula dan bergulingan,
berkelojotan seperti Beng San sambil tertawa-tawa senang sekali.
“Hayo kita
balapan, siapa lebih cepat menggelinding!” katanya mengajak Beng San main
balapan. Tentu saja Beng San yang tidak sadar itu semua sekali tidak
memperdulikan.
“Ehh, kau
tidak mau balapan? Kurang ajar kau, diajak bicara diam saja!”
Orang itu
melompat bangun dan mendekati Beng San. Ia melihat kedua mata Beng San yang
sipit karena mukanya berbusa.
“Ehh...
ehh... ehh, setan, kau malah mengejek?” orang itu marah-marah, mengira bahwa
Beng San yang tengah sekarat itu mengejeknya. “Kutendang kau.”
Orang tua
itu menendang perlahan. Tanpa disengaja ia menendang jalan darah thi-thait-to
di punggung Beng San.
Bocah yang
sedang menderita ini, yang tubuhnya seakan-akan hendak meletus karena penuh
dengan hawa Yang, seakan-akan terbuka jalan darahnya akibat terkena tendangan
itu. Mendadak saja ia melompat ke atas, tinggi sekali dan tanpa disadarinya
pula tangan kanannya menampar kepala orang itu.
“Plakkk!”
sehabis menampar ia bergulingan pula.
Yang hebat
adalah orang aneh yang kena ditampar itu. Tubuhnya terlempar dan roboh
berguling-guling sambil mengaduh-ngaduh. Ternyata orang itu lihai bukan main.
Tamparan
yang dilakukan oleh anak tadi, meski pun tidak disengaja namun penuh dengan
tenaga Yang dan kiranya akan bisa menghancurkan kepala seorang biasa. Namun
orang aneh itu hanya terguling-guling dan cepat bangun lagi. Ia menjadi marah
sekali.
“Ehh, Setan,
Ehh Iblis, kau mengajak berkelahi? Datang-datang mengirim pukulan maut, ya?
Berani kau main-main dengan Koai Atong!”
Cepat
seperti orang bermain sulap, tahu-tahu di tangan kanan orang ini sudah terdapat
sebuah panah berwarna hijau. Ia lalu maju menubruk Beng San yang sedang
bergulingan, tangan kanan menggunakan anak panah tadi untuk menusuk, sedangkan
tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka.
Dengan tepat
sekali tangan kiri Koai Atong memukul dada Beng San, sedangkan ujung anak panah
itu menancap di pundaknya. Melihat lawannya sama sekali tidak mengelak atau
menangkis, Koai Atong kaget sekali dan dia cepat menarik kembali anak panahnya.
Hebat! Beng
San yang terkena pukulan dan terluka oleh anak panah, seketika berhenti
bergerak, hanya dari mulutnya terdengar bunyi mendesis seperti seekor ular
mengamuk. Mukanya yang tadi merah menghitam perlahan-lahan berubah menjadi
hijau, juga seluruh tubuhnya berubah menjadi kehijauan! Desis pada mulutnya tak
berlangsung lama, segera terhenti seperti bola kempis kehabisan angin.
“Mati…,
celaka… aku membunuh orang yang tak melawan dengan pukulan Jing-tok-ciang
(Tangan Racun Hijau)!”
Sesudah
berkata demikian, orang aneh itu cepat berlari meninggalkan tempat itu. Larinya
bukan main cepatnya, seperti terbang saja.
Orang aneh
yang bernama Koai Atong ini sesungguhnya bukan orang biasa. Biar pun dia
seperti kanak-kanak dan pakaiannya seperti orang gila, tetapi justru karena
keanehannya itu maka ia disebut Koai Atong (anak setan). Dia ini adalah murid
tunggal dari Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun) Giam Kong, seorang hwesio dari
barat yang berasal dari Tibet.
Nama besar
Giam Kong ini terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang
sangat ditakuti orang. Juga nama murid tunggalnya ini cukup membikin mengkeret
nyali banyak ahli silat karena kehebatannya.
Yang paling
ditakuti dari dua orang tokoh guru dan murid ini adalah ilmu pukulan mereka
yang berdasarkan tenaga Im yang disebut Jing-tok-ciang. Ilmu pukulan racun
hijau ini dahsyat bukan main, mengandung sari tenaga Im yang paling dalam
sehingga jangankan pukulannya, baru hawa pukulannya saja sudah cukup
mendatangkan racun yang akan mematikan orang yang tersambar.
Sebagai
seorang tokoh besar yang tinggi ilmu silatnya. Giam Kong telah berpesan kepada
muridnya yang ketolol-tololan itu agar tidak sembarangan mempergunakan
Jing-tok-ciang, apa lagi mempergunakan senjata anak panah yang ujungnya sudah
dimasak dalam racun hijau, kalau tidak amat terpaksa atau menghadapi musuh
berat. Oleh karena itulah maka Koai Atong tadi ketakutan melihat akibat
pukulannya.
Tusukan anak
panah terhadap diri Beng San dan serangannya tadi hanya terdorong oleh
kemarahan karena ia dipukul secara hebat. Disangkanya bahwa Beng San anak kecil
itu memiliki kepandaian tinggi, maka begitu menyerang ia mempergunakan pukulan
maut dan anak panahnya. Maklumlah, jalan pikiran Koai Atong memang masih
seperti kanak-kanak maka ia tidak berpikir panjang.
Siok Tin Cu
bingung sekali ketika dia mencari-cari di tempat dia meninggalkan kudanya tetap
tidak dapat menemukan kantong obatnya. Dia menuntun kudanya kembali ke tempat
Beng San.
Alangkah
kagetnya ketika dia melihat anak itu sudah tidak bergerak-gerak, terlentang di
atas tanah dengan muka dan tubuhnya berwarna hijau! Dia terheran-heran,
melepaskan kudanya dan didekatinya anak itu. Sesudah memeriksa sejenak ia
mengeluarkan seruan keget!
“Ayaaaaa…..!
Kenapa anak ini bisa mati seperti itu?!”
Ia
benar-benar kaget sekali dan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pengaruh obatnya adalah tenaga Yang (panas), jadi andai kata anak ini mati
karena obat itu tentu tubuhnya akan hangus, kenapa sekarang tubuh anak ini
seperti orang mati kedinginan?
Siok Tin Cu
bergidik ngeri. Untung ia mencobakan obatnya itu kepada anak tidak dikenal ini.
Kalau ia sendiri yang menelannya, alangkah ngerinya.
“Aku telah
keliru membuatnya…,” pikirnya, ”harus segera kulaporkan kepada kauwcu…”
Karena
melihat akibat obatnya begini mengerikan ia tidak begitu kecewa lagi kehilangan
dua butir pilnya. Kalau yang sebuah begini berbahaya, dua yang lain juga tidak
akan ada gunanya dipusingkan. Biarlah kalau ditemukan orang lain dan ditelan,
paling-paling orang yang menelannya akan mati seperti bocah ini.
Agak ngeri
oleh akibat perbuatannya sendiri, tergesa-gesa tosu itu menaiki kudanya dan
membalapkan kuda kurus itu pergi dari situ, pergi meninggalkan tubuh Beng San
yang menggeletak di tengah hutan begitu saja….
**************
“Hong-ji,
kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya…!”
Jawabannya
hanya suara ketawa nyaring seorang anak perempuan berusia delapan atau sembilan
tahun yang amat lincah berlari-lari cepat memasuki hutan lebat. Yang menegur
juga tersenyum, senyum kecil yang untuk sejenak menerangi wajahnya yang muram.
Dia seorang
laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan
gagah, tetapi wajahnya suram, tidak ada cahaya kegembiraan hidup. Wajah tampan
ini menjadi gelap dan muram semenjak dia ditinggal mati isterinya yang tercinta
tiga tahun yang lalu, meninggalkan dia hidup berdua saja dengan anak tunggalnya
yang bernama Hong.
Kwa Tin
Siong adalah seorang jago pedang murid tertua dari Hoa-san Ciang-bunjin (ketua
Hoa-san-pai) Lian Bu Tojin. Namanya di dunia kang ouw cukup terkenal sebagai
seorang paling tua dari Hoa-san Sie-eng (empat pendekar Hoa-san). Tidak hanya
terkenal karena memang empat orang pendekar Hoa-san ini berkepandaian tinggi,
namun lebih terkenal karena perbuatan mereka yang selalu menjunjung tinggi
keadilan dan kegagahan. Mereka terkenal sebagai pelindung rakyat dari
penjahat-penjahat keji.
Lian Bu
Tojin, tosu ketua Hoa-san pai sudah berusia enam puluh tahun lebih. Tosu ini
biar pun memiliki banyak anak murid, namun kepandaian istimewanya, yakin pedang
Hoa-san Kiam-hoat, hanya diturunkan seluruhnya kepada empat orang muridnya yang
terkenal sebagai Hoa-san Sie-eng ini.
Yang tertua
adalah Kwa Tin Siong bergelar Hoa-san It-kiam (Pedang Tunggal Hoa-san). Orang
ke dua adalah Thio Wan It berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), orang
ketiga bernama Kui Keng berjuluk Toat-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa),
sedangkan orang keempat adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun bernama
Liam Sian Hwa dengan julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang).
Kwa Tin
Siong sudah berusia empat puluh tahun dan sudah menjadi duda. Dua orang
sutenya, yaitu Thio Wan it berusia tiga puluh lima, sedangkan Kui Keng berusia
tiga puluh tahun, keduanya sudah berkeluarga pula. Hanya orang keempat dari
Hoa-san Sie-eng, yaitu Liem Sian Hwa yang belum berkeluarga. Ia masih gadis
berusia dua puluh tahun, akan tetapi telah menjadi tunangan Kwee Sin, orang
termuda dari tiga pendekar Kun-lun.
Kwa Tin
Siong amat dihormati dan disegani adik-adik seperguruannya karena mempunyai
pandangan yang luas serta sikapnya yang serius. Ia gagah, jujur, dan menjadi
pengikut ajaran filsafat Khong-cu yang setia. Anak perempuannya, Kwa Hong,
merupakan matahari hidupnya. Hanya anak inilah yang kadang-kadang dapat
memancing senyum di wajahnya yang selalu muram dan sungguh-sungguh.
Kwa Tin
Siong terpaksa mengeprak kudanya untuk berjalan lebih cepat memasuki hutan
lebat itu. Tadinya Kwa Hong membonceng di depannya, tetapi anak itu tiap kali
merasa bosan naik kuda, pasti meloncat turun dan berlari-larian cepat.
Kwa Tin
Siong tidak merasa khawatir akan diri anaknya karena sungguh pun baru berusia
delapan sembilan tahun, Kwa Hong telah memiliki kepandaian silat yang lumayan.
Sejak anak itu bisa berjalan, dia sudah mendidiknya sehingga sekarang Kwa Hong
mempunyai gerakan yang cepat dan lincah, juga memiliki ilmu bela diri yang
cukup kuat.
“Hong-ji
(anak Hong), jangan terlalu cepat, kau nanti sesat jalan!”
Kembali
anaknya berkelebat memasuki bagian yang gelap dari hutan besar itu. Kwa Tin
Siong memajukan kudanya dan tiba-tiba kuda itu mengeluarkan bunyi ringkik
keras, lalu berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan hidungnya
mendesis-desis, nampak ketakutan sekali.
Kwa Tin
Siong berlaku waspada, maklum bahwa ada binatang buas di tempat itu. Karena
sukar untuk menenangkan kudanya, ia cepat meloncat turun dan mengikatkan
kendali kuda pada sebatang pohon.
Tiba-tiba
kudanya meronta keras, kendalinya putus dan kudanya lari tunggang langgang.
Hampir bersamaan pada saat itu terdengar bunyi berkeresekan dari atas dan
seekor ular besar yang melilitkan ekornya pada batang pohon di atas,
menyambarkan kepalanya ke arah Tin Siong.
Tak percuma
Kwa Tin Siong menjadi orang tertua dari Hoa-san Sie-eng. Biar pun matanya belum
melihat, telinganya telah dapat menangkap sambaran angin dari atas. Cepat
sekali kakinya bergerak dan dia pun sudah mengelak sambil mencabut pedangnya. Di
lain saat pedangnya sudah berkelebat membacok ke atas.
Ular itu
terluka oleh pedang, darahnya menetes. Ular itu kesakitan dan marah, cepat dia
menyambar lagi bagaikan menubruk ke arah calon mangsanya.
Tin Siong
terkesiap kagum menyaksikan ular itu yang besar sekali dengan sisiknya yang
nampak kuning kehijauan berkembang indah. Hampir ia merasa sayang untuk
membunuh ular ini, akan tetapi karena ia berada dalam bahaya, terpaksa ia
memapaki datangnya ular dengan sebuah tusukan ke arah leher sambil miringkan
tubuh.
“Cesss!”
Pedang yang
ditusukkan dengan tenaga lweekang itu dapat menembus leher ular yang dilindungi
kulit keras. Sebelum ular itu sempat menyerang, pedang sudah dicabut kembali
dan sebuah tebasan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya membuat leher itu
putus! Kepalanya terlempar ke bawah sedangkan ekor yang melilit dahan pohon
perlahan-lahan terlepas sehingga akhirnya tubuh ular yang panjang dan besar itu
jatuh berdebuk di atas tanah pula.
Tin Siong
menarik napas panjang merasa sayang bahwa ular yang seindah itu kulitnya
terpaksa harus ia bunuh, Ular kembang macam ini enak dagingnya dan kulitnya
akan laku mahal kalau dijual di kota, pikirnya. Ia ingat akan anaknya, dan
teringat pula akan kudanya yang sudah melarikan diri. Tetapi anaknya harus
dicari lebih dahulu, dan dengan pikiran ini pendekar itu lalu lari mengejar ke
arah bayangan Kwa Hong tadi berkelebat.
Sementara
itu, Kwa Hong yang berlari-larian gembira telah berada di bagian yang paling
gelap di hutan itu. Memang anak ini semenjak kecil paling senang kalau
bermain-main di dalam hutan.
Semenjak
kecil ia berdiam bersama ayahnya di Hoa-san dan hutan besar boleh dibilang
adalah tempat ia bermain-main. Akhir-akhir ini ketika ayahnya mengajak ia turun
gunung, ia sering kali rindu kepada hutan-hutan besar, rindu kepada
binatang-binatang hutan yang amat disayanginya. Maka sekarang melihat hutan,
tentu saja ia bagaikan seekor burung, gembira sekali hatinya.
Saking
gembiranya ia sampai lupa diri dan lupa pula bahwa ia sudah jauh meninggalkan
ayahnya dan baru terasa lelah kedua kakinya ketika dia duduk di bawah sebatang
pohon besar. Sepasang matanya berseri dan bersinar-sinar, mulutnya yang kecil
tertawa-tawa ketika Kwa Hong memetik dua tangkai bunga merah yang dipasangnya
di atas kepala di kanan kiri, menghias rambutnya yang hitam panjang.
Tiba-tiba ia
berseru kaget dan cepat-cepat meloncat ke samping, dan di lain saat tangan
kanannya sudah menghunus pedang pendek. Inilah gerakan Sin-coa Hiat-bwe (Ular
Sakti Mengulur Ekornya), sebuah gerakan ilmu pedang sebagai pembukaan kalau
menghadapi lawan berat.
Gerakannya
cepat sekali dan tangannya yang mencabut pedang hampir tidak terlihat,
tahu-tahu pedang pendek yang tadinya tergantung di punggungnya telah berada di
tangan kanan, dipegang erat-erat gagangnya, sedangkan badan pedangnya melintang
di depan dada. Apa yang menyebabkan gadis cilik ini kaget?
Mukanya
pucat dan ia berdiri seperti patung, lenyap semua seri gembira pada wajahnya.
Bukan hanya dia, andaikan di situ ada orang lain, orang yang segagah ayahnya
sekali pun, tentu akan kaget setengah mati melihat apa yang dilihat oleh Kwa
Hong ini.
Semuanya ini
bukan di dunia mimpi, memang nyata-nyata terlihat olehnya hal itu terjadi.
Mula-mula ia tadi berseru kaget karena melihat ada seekor ular besar di bawah
pohon, kurang lebih dua puluh meter jauhnya di sebelah sana. Dan sekarang…
tahu-tahu ular itu ‘bangun’ berdiri dan berloncat-loncatan menghampirinya.
Hampir saja
Kwa Hong lari tunggang langgang saking takut dan ngerinya kalau saja ia tidak
mendengar suara orang tertawa. Akan tetapi saat ia mendengar bahwa yang tertawa
adalah ‘ular berdiri’ itu, kemudian timbul jiwa ksatria yang diturunkan ayahnya
kepadanya. Dengan pedang dipegang erat-erat di tangan ia membentak.
“Siluman
dari mana berani menggangguku?!”
“Ha-ha-ha,
lagaknya. Kakimu menggigil seperti orang sakit demam kok masih berlagak gagah.
Ha-ha-ha!”
Ternyata
ular itu setelah dekat tidak berkepala lagi dan... dari leher ular itu
tersembullah kepala seorang anak laki-laki, anak yang bermata lebar dan mukanya
putih kehijauan. Anak ini bukan lain adalah Beng San.
Seperti
telah kita ketahui Beng San menggeletak di bawah pohon dalam keadaan yang
dianggap sudah tak bernyawa lagi oleh Siok Tin Cu. Memang waktu itu anak ini
sudah seperti mati. Mukanya hijau kebiruan, tidak ada napasnya lagi dan bahkan
tak ada detak jantungnya lagi.
Akan tetapi,
ternyata Siok Tin Cu salah kira. Terjadi hal-hal yang mukjijat dalam diri anak
yang bernasib malang ini, atau lebih tepat bila kita katakan bukan bernasib
malang, sebab secara kebetulan sekali ia terhindar dari mala petaka yang akan
mencabut nyawanya akibat dari ditelannya tiga butir pil obat beracun dari Siok
Tin Cu, tiga butir pil beracun yang mengandung hawa panas yang mukjijat, sari
dari pada hawa thai-yang.
Pada waktu
Beng San ditemukan oleh Koai Atong, memang nyawanya sudah di ambang kematian.
Kemudian secara kebetulan sekali Koai Atong yang berotak tidak beres itu telah
memukulnya dengan tenaga Jing-tok-ciang, malah melukainya dengan anak panah
yang ujungnya sudah dilumuri racun hijau.
Hawa pukulan
dan racun ini cepat sekali menjalar di seluruh tubuh melalui jalan darahnya.
Terjadilah perang tanding yang hebat antara hawa thai-yang dari tiga butir pil
itu dengan tenaga Im-kang dari pukulan Jing-tok-ciang dan racun hijau. Dalam
keadaan kedua hawa yang bertentangan sedang bergulat itulah Siok Tin Cu melihat
Beng San bagaikan sudah mati.
Memang
agaknya sudah dikehendaki Tuhan bahwa nyawa anak itu belum tiba saatnya kembali
ke alam baka. Semalam suntuk dua hawa mukjijat itu bertempur dalam tubuhnya dan
seperti biasanya apa bila racun bertemu dengan racun yang berlawanan, maka
kedua racun itu menjadi saling memunahkan.
Bahkan
sebaliknya, bukannya terancam nyawanya, tanpa disadari di bagian dalam tubuh
Beng San mengandung kedua hawa ini yang sudah dibikin normal oleh percampuran
itu. Dan campuran dua hawa ini mendatangkan kekuatan yang luar biasa.
Demikianlah,
pada keesokan harinya Beng San sadar, seakan-akan ia baru bangun dari kematian.
Ia merasa tubuhnya dingin bukan main sampai giginya berketrukan. Ia teringat
akan pengalamannya, ketika ia dijejali pil oleh tosu yang mengaku bernama Siok
Tin Cu.
Teringat
akan ini ia menjadi marah dan meloncat bangun. Alangkah kagetnya dia, ketika
tubuhnya mumbul sampai satu meter lebih. Rasanya tubuhnya begitu ringan seperti
bulu ayam!
Akan tetapi
hal ini tidak diperhatikannya lagi karena segera ia terserang rasa dingin yang
bukan main hebatnya. Ia teringat bahwa ketika habis dijejali pil oleh tosu itu
ia merasa tubuhnya seperti dibakar, kenapa sekarang sebaliknya begini dingin?
Beng San menggigil dan lari ke sana kemari mencari tempat berlindung.
Disangkanya bahwa hawa udara di hutan itu yang luar biasa dinginnya.
Kebetulan
sekali ia melihat kulit ular atau selongsong kulit ular bergantungan di sebuah
pohon besar. Tadinya ia kaget, mengira bahwa itu adalah binatang ular. Tetapi
sesudah da meilihat bahwa itu hanya selongsong saja, ia segera memanjat pohon
dan mengambil selongsong itu. Kiranya ada seekor ular besar sekali yang telah
berganti kulit di situ dan selongsongnya yang kering tergantung di situ.
Beng San
seorang anak cerdik. Ia membutuhkan selimut dan selongsong kulit ular ini
kiranya boleh juga dipergunakan sebagai selimut darurat. Segera ia membungkus
dirinya dengan selongsong kulit ular yang panjang dan lebar itu. Dan benar
saja, dia lalu merasa badannya menjadi hangat dan perasaan ini demikian
nyamannya membuat ia melupakan perut laparnya dan tertidur lagi terbungkus
kulit ular.
Tentu saja
ia tidak tahu bahwa kehangatan yang datang padanya itu adalah wajar saja.
Pertama, karena hawa pukulan Jing-tok-ciang itu mulai menghilang, bercampur
dengan hawa thai-yang. Kedua kalinya, secara kebetulan sekali pada kulit ular
itu masih terdapat sisa hawa beracun dari ular yang berganti kulit, dan hawa
beracun ini mengandung hawa panas pula.
Itulah
sebabnya mengapa Beng San bukan saja terhindar dari bahaya maut, sebaliknya ia
bahkan mendapat keuntungan yang luar biasa, yaitu tubuhnya terkandung hawa
mukjijat akibat percampuran hawa Yang dan Im yang kuat sekali, yang menyebabkan
tubuhnya kadang-kadang terasa panas, tetapi kadang kala dingin sekali.
Itulah
satu-satunya hal yang sampai saat itu masih sering kali bergantian
menyerangnya, namun hal itu sudah tidak begitu mengganggunya lagi karena
tubuhnya menjadi biasa dan seperti kebal. Hanya kulitnya yang masih belum dapat
menahan sehingga tiap kali hawa panas menyerang, kulit tubuh, terutama kulit
mukanya berubah menjadi merah bagaikan udang direbus, tetapi setiap kali hawa
dingin yang menyerang, mukanya berubah menjadi hijau.
Merah…
hijau… merah… hijau… Hemm, untung dia tidak berdiri di perempatan jalan.
***************
Kita kembali
pada pertemuan Beng San dan Kwa Hong. Lenyap kengerian dan ketakutan hati Kwa
Hong setelah mendapat kenyataan bahwa apa yang disangkanya siluman ular itu
ternyata adalah seorang anak laki-laki yang hanya lebih besar sedikit dari pada
dirinya sendiri. Tadinya ia hendak tertawa saking geli hatinya, akan tetapi
mana bisa dia tertawa kalau begitu bicara anak laki-laki itu menghinanya?
Kakinya
dikatakan menggigil seperti orang sakit demam, tapi masih berlagak gagah. Yang
menggemaskan kata-kata itu memang... betul. Memang tadi kedua kakinya menggigil
dan tubuhnya gemetaran. Siapa orangnya yang tidak akan takut jika mengira
bertemu dengan siluman?
“Setan
cilik, kenapa kau main-main dan menakut-nakuti orang? Kalau tidak mengira kau
siluman, mana aku takut pada orang semacam engkau?” Kwa Hong membentak,
bibirnya cemberut.
Dengan sikap
menunjukkan bahwa kini dia sama sekali sudah tidak takut lagi, Kwa Hong
menyimpan kembali pedangnya di belakang punggung, kemudian menggerakkan kepala
sehingga rambutnya yang panjang itu berjuntai ke belakang.
Melihat
sikap gagah-gagahan dan galak dari nona cilik ini, Beng San tertawa cekikikan
dan tampaklah deretan giginya yang kuat dan putih.
“Ehh, kenapa
kau tertawa-tawa?” Kwa Hong penasaran dan marah, kedua tangan dikepal, matanya
bersinar-sinar karena mengira bahwa dia telah ditertawakan.
Beng San tak
menjawab, malah hatinya makin geli dan tertawanya makin keras. Biasanya dia
melihat anak perempuan sebagai makhluk-makhluk yang lemah-lembut, dan sekarang
melihat lagak Kwa Hong yang membawa-bawa pedang ia merasa lucu sekali.
“Hei, kepala
keledai, kenapa kau cekikikan?” Kwa Hong membentak lagi, kini melangkah maju.
Beng San
tidak menjawab pertanyaan dara cilik itu. Dengan mulut masih tersenyum lebar,
dia balas bertanya, “Aku tertawa atau menangis menggunakan mulut sendiri,
kenapa kau ribut-ribut?” dan ia tertawa lagi, malah sengaja ketawa keras-keras.
Kwa Hong
terpukul dan hatinya semakin mendongkol. “Kau kira mukamu kebagusan, ya?
Tertawa-tawa seperti monyet. Mukamu jelek sekali, tahu?”
Beng San
makin geli. Matanya bersinar-sinar biar pun masih nampak sipit karena kedua
pipinya memang masih bengkak-bengkak, membuat mukanya mirip dengan muka kodok.
Pada saat itu, hawa dingin sudah mulai meninggalkannya, terganti hawa panas
sehingga membuat mukanya yang tadi kehijauan sekarang berubah menjadi merah.
Melihat
perubahan ini Kwa Hong tertawa geli, ketawanya bebas lepas. Anak ini nampak
semakin cantik kalau tertawa karena dari kedua pipinya tiba-tiba muncul lesung
pipit yang manis.
“Hi-hi-hi,
kau buruk sekali, mukamu berubah-ubah warnanya, hi-hi-hi, seperti bunglon..!”
Panas juga
perut Beng San ditertawai seperti ini. Ia membalas dengan suara ketawa yang
keras, mengalahkan suara ketawa Kwa Hong.
“Ha-ha-ha,
mukamu pun buruk bukan main seperti… seperti kuntilanak.”
Kwa Hong
berhenti tertawa. “Kuntilanak? Apa itu?”
Seketika
Beng San juga berhenti tertawa karena dia sendiri juga tidak pernah tahu apa
macamnya kuntilanak!
“Kuntilanak
ya kuntilanak…“
“Seperti
apa?”
“Seperti...
ahh, sudahlah, buruk sekali, seperti engkau inilah!”
“Bohong!”
Kwa Hong membentak. “Aku cantik manis, semua orang bilang begitu, ayahku juga
bilang begitu.”
Beng San
tersenyum mengejek, “Cantik manis? Puuhhhh! Mungkin sekarang, akan tetapi dulu
ketika baru lahir kau ompong dan kisut, buruk sekali dah!”
Kwa Hong
membanting-banting kakinya. Ia memang manja dan setiap orang yang melihat
dirinya tentu akan memuji kecantikan dan kemanisannya, masa sekarang ada orang
yang memburuk-burukkannya seperti ini. Mana dia mau menerimanya?
“Mulutmu
berbau busuk! Aku cantik manis sekarang, dulu mau pun kelak, tetap cantik.”
“Cantik
manis juga kalau galak dan berlagak sombong, siapa suka? Galak dan sombong
seperti… seperti….”
“Seperti
apa?” Kwa Hong menantang.
“Seperti...
Kui-bo (kuntilanak)…”
“Kuntilanak
lagi. Seperti apa sih kuntilanak itu?”
“Seperti kau
inilah,” Beng San menjawab mengkal karena dia sendiri pun belum pernah melihat
seperti apa adanya setan betina yang sering kali orang sebut-sebut.
Kwa Hong
marah. “Kau seperti bunglon!”
“Kau seperti
Kui-bo!” Beng San membalas.
“Bunglon!”
“Kui-bo!”
“Bunglon,
bunglon, bunglon!”
“Kui-bo,
Kui-bo, Kui-bo!”
Seperti
lazimnya semua anak-anak di dunia ini kalau cekcok, kedua orang anak-anak itu
balas membalas dengan poyokan. Kwa Hong kalah keras suaranya dan melihat Beng
San memoyokinya sambil tertawa-tawa, dia menjadi makin marah.
“Bunglon,
katak, monyet! Kau bilang aku seperti kuntilanak, apa sih sebabnya?”
“Kau
berlagak dan sombong sekali. Anak perempuan bernyali kecil tetapi masih
pura-pura membawa pedang ke mana-mana. Kurasa dengan pedang itu engkau tidak
akan mampu menyembelih seekor katak sekali pun! Huh, sombong.”
“Sraattt…!”
Tahu-tahu
pedang sudah berada di tangan Kwa Hong yang memuncak kemarahannya. “Menyembelih
katak? Menyembelih bunglon macammu pun aku sanggup!”
Pedang pun
digerakkan. “Syeettt... syeeettt!”
Dua kali
pedang berkelebat dan… selongsong kulit ular yang membungkus tubuh Beng San
terbelah dari atas ke bawah dan jatuh ke bawah. Dalam sekejap mata saja Beng
San berdiri telanjang bulat di depan Kwa Hong!
Memang
ketika menggunakan selimut istimewa itu, Beng San menanggalkan pakaiannya yang
basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada sebatang pohon.
Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup
besar, cukup untuk membuat Kwa Hong menjerit serta membalikkan tubuh dan
membelakangi Beng San, sambil mulutnya memaki-maki.
“Kadal!
Bunglon! Monyet... tak tahu malu kau…!”
Beng San
juga terkejut dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa
dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa
hingga ujung pedang tadi hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat-cepat dia
lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.
“Kau yang
tak tahu malu, kaulah yang kurang ajar!” Beng San marah marah. “Main-main
dengan pedang. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?”
“Mampus juga
salahmu sendiri,” Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh. Sekarang ia melihat
Beng San dalam pakaian yang kotor, butut dan tambal-tambalan.
“Huh!” ia
menjebi, “kiranya hanya pengemis.”
“Kuntilanak!
Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu.”
Pada saat
itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia barusan sempat
mendengar percekcokan terakhir ini sehingga datang-datang ia menegur puterinya.
“Hong-ji,
tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita.”
Datang-datang
jago Hoa-san-pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong
Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi:
‘Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara’.
Beng San
yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk
tangan. “Bagus, bagus! Puas, puas! Maka harus ingat selalu bahwa jika tidak mau
dihina orang lain, janganlah menghina orang lain.”
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali
kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok-thian-tong, di antaranya
juga kitab-kitab Su-si Ngo-keng yang pernah dihafalkannya, maka dia pun masih
banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan
sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi: ‘Jangan lakukan kepada orang lain
apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu’.
Melihat
sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apa
lagi melihat pakaian Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular
di situ, ia mengira bahwa Beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang
terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal
tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.
“Mari, Hong
ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan
dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan.”
Kwa Hong
tidak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi-api
dan mulut cemberut.
Kwa Tin
Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh ke arah Beng San yang berdiri dengan
kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat
betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal
tadinya merah sekali. Ia merasa heran dan karena tidak melihat hawa beracun
keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah
mempelajari semacam ilmu mukjijat yang memang pada waktu itu banyak dimiliki
tokoh-tokoh kang-ouw.
Mendengar
orang bicara tentang ‘daging’ dan tentang ‘makan’, seketika perut Beng San
memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua
kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh.
Berindap-indap
ia menghampiri ketika mencium bau asap yang sangat wangi dan gurih. Setelah
dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak
tadi sedang membakari potongan-potongan daging ular. Ularnya kelihatan
menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya.
Beng San
beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan
panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.
“Ayah, lihat
itu pengemis yang tadi datang lagi.” Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata
nyaring.
Dengan perut
panas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.
Kwa Tin
Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San, “Anak baik, apakah kau lapar?”
Beng San
berwatak angkuh namun ia jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang
dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.
“Kau mau
mengemis daging ular?” Kwa Hong mengejek.
“Tidak!”
Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.
Kwa Tin
Siong diam-diam merasa kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu.
Itulah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apa lagi anak
jembel.
Dengan halus
ia bertanya, “Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?”
Beng San
menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab halus, tidak
membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi. “Tidak, lopek (paman tua), aku
tidak minta.”
Kembali Kwa
Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang
mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu
yang agaknya memiliki keangkuhan besar, walau pun hampir kelaparan akan tetapi
tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.
“Anak baik,
boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Beng
San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa,” Beng San
sekaligus menjawab karena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya.
Kembali Kwa
Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya sejak kecil terpaksa harus
hidup terlunta-lunta seorang diri.
“Beng San,
aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hong. Kau tidak minta makanan, akan tetapi
aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?”
Orang tua
itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng
San. Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa
Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya
kepada Kwa Hong.
“Tak pernah
aku menerima pemberian yang tak rela,” katanya singkat.
“Hong-ji!”
Kwa Tin Siong membentak anaknya. “Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang
dapat, bukan kau!”
Kwa Tin
Siong membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tak berani lagi
senyum-senyum mengejek seperti tadi. Setelah yakin bahwa pemberian itu rela,
Beng San segera makan daging ular itu.
Aduh
lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan dalam sekejap
mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik
menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, maka kehormatan
anak itu akan tersinggung. Sebab itu, karena ia dan Kwa Hong sudah merasa
kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.
“Hong ji,
mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan
diri.” Kemudian kepada Beng San ia pun berkata. “Beng San, karena kami sudah
tidak lagi memerlukan daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini
kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. Kau pangganglah sendiri. Nah, selamat
tinggal anak baik.”
Melihat
sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. “Kwa Tin Siong lopek, kau
benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak akan mudah melupakan kau dan semoga
saja kelak aku mendapatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini.”
Sekali lagi
Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, mempunyai pribudi tinggi pula. Ia
lalu mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam
hatinya. Dan sebelum mereka berpisah, antara Beng San dan Kwa Hong kembali
terjadi ‘adu sinar mata’. Pandang mata keduanya berapi dan gemas!
Setelah ayah
dan anak itu pergi, Beng San segera berpesta pora. Ia memanggang daging ular
sebanyaknya dan selagi masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus
saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan
sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.
“Kui-bo…!“
makinya keras-keras. “Kuntilanak…! Cantik manis, genit dan galak. Kui-bo,
Kui-bo, Kui-bo! Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang, Kui-bo!”
Tiba-tiba
dari atas puncak sebuah pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa
mengikik, “Hi-hi-hi-hi!”
Beng San
meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya bahwa Kwa Hong datang
kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas,
dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.
“Kuntilanak
kau! Kui-bo, perlu apa datang menggangguku?”
Kembali
terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat di atas kepala Beng San. Anak
itu cepat-cepat mendongak, memandang ke pepohonan di atasnya, di antara
daun-daun dan cabang-cabang pohon. Akan tetapi, seekor burung pun tak tampak
dan suara ketawa itu masih terdengar di situ.
Tiba-tiba
suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung,
“Hi-hi-hi-hi!”
Beng San
adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya dia pernah tinggal di
kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio,
maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremang. Betapa pun juga, ia
mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata
seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam!
“Hi-hi-hi-hi-hi!”
Dan kini
Beng San benar-benar tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri
seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertawa-tawa, nampak giginya yang
putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba
sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang. Mukanya
manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan,
seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak?
Wanita itu
tertawa-tawa lagi, kemudian bertanya. “Anak bagus, kau suka kepada Kui-bo
(kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui-bo cantik manis, genit dan galak?”
Suara wanita
itu halus, tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin
ketakutan. Anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.
“Kau… kau
siapakah...?”
“He-he-he,
anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui-bo. Akulah Kui-bo dan namaku
ini.” Wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang
setangkai bunga hitam di tangannya.
“Namamu…
kembang hitam itu…?”
Beng San
melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Karena
bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu
kentara.
“Ya, akulah
Hek-hwa Kui-bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cilik yang
mungil itu seperti aku ? Hi-hi-hi-hi, kau baik sekali, anak bagus...” Wanita
itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang sekali.
Sebaliknya
Beng San terkejut. Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada
Kwa Hong?
“Aku tidak
percaya,” katanya. “Menurut kata orang, kuntilanak itu biar pun cantik tapi
suka makan...” sampai di sini Beng San menjadi pucat.
Mengapa ia
begini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen
dan dagingnya akan dimakan?
“Tepat
sekali, memang aku suka makan daging mentah, terutama daging ular...”
Sapu tangan
sutera yang panjang itu lalu dikebutkan dan... ujung sapu tangan itu sudah
menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging
ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, kemudian
dikunyahnya dengan enak dan dimakan! Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan
wanita itu makan daging ular yang masih mentah, bahkan masih ada darahnya.
“Kau percaya
sekarang? Aku Hek-hwa Kui-bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan?
sama baiknya...”
Beng San
teringat akan Kwa Hong dan mulutnya cemberut. Anak perempuan itu tadi telah
menghinanya.
“Kalau sama
dengan dia aku tak suka,” katanya setengah melamun, “Anak itu galak dan
menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku.”
Sejenak
wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru
baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada
yang bersikap kasar, apa lagi berkata kasar kepadanya, semua selalu
bermuka-muka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya! Hal ini
menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.
“Kau dihina
oleh anak itu? Biar kubawa dia ke sini agar kau boleh membalasnya!” tiba-tiba
tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh
Beng San.
Beng San
semakin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang dia baru mau percaya
bahwa yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.
“Aduh,
celaka... jangan-jangan dia kembali...,“ demikian dia berkata seorang diri.
Rasa
ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat,
membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng
San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ke
manakah ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, di
mana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu ke mana jalan keluar. Tidak lama kemudian
selagi berlari-lari, kembali ia mendengar suara ketawa yang tadi.
“Hi-hi-hi-hi-hi!”
Beng San
menelusup ke dalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja,
tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak dan berkata,
“Anak bagus,
hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa ke sini.”
Beng San
merangkak keluar dan... ia melihat Kwa Hong sudah berada di situ.
Anak
perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, “Ba…
bagaimana kau bisa membawaku ke sini?”
Wanita itu
hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan. “Kau cantik, aku
juga sama dengan kau, kata anak bagus itu...”
Kwa Hong
marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada
bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas
dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang
wanita cantik bersama Beng San.
Mengira
bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong
menunjukkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah
mencabut pedangnya dan menusuk ke arah dada wanita itu! Anehnya, yang ditusuk
tidak bergerak sedikit pun juga, hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
“Krakkk!”
Tiba-tiba
pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri
melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah.
Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia tadi melihat betul
bahwa pedangnya belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, lalu kenapa tiba-tiba
bisa patah sendiri?
“Kuntilanak
dia, jangan dilawan, kau takkan menang melawan Kui-bo!” kata Beng San.
Kwa Hong
marah bukan main. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki
dia sebagai kuntilanak lagi.
“Anak
jembel! Kau mendatangkan siluman untuk membalas!” bentaknya.
Pada saat
itu terdengar angin bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini
memegang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya yang muram nampak semakin
muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat di
situ, lalu ia memandang sekilas ke arah Beng San, baru kemudian ia
memperhatikan wanita itu.
Ia melihat
seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kirinya sedang
bermain-main dengan sehelai sapu tangan sutera beraneka warna, indah serta
panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut
sekali. Bukan mata orang biasa.
Ia berlaku
hati-hati, sekali lagi melirik ke arah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya.
Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut,
ia lalu menjura kepada perempuan itu.
“Toanio
(nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya
tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon tanya, ada maksud apa Toanio membawa
anakku sampai ke sini?” Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara
nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah
menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar
biasa sekali.
Wanita itu
tersenyum mengejek, memandang tak acuh. Ia tidak menjawab, bahkan lalu berkata
kepada Beng San. “Kau tadi dihina hayo balas!”
Akan tetapi
mana Beng San mau membalas? Ia memang tidak merasa sakit hati kepada ayah dan
anak itu. Apa lagi Kwa Tin Siong sangat baik kepadanya, sedangkan terhadap Kwa
Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata
sesuatu.
Kwa Tin
Siong mendongkol juga melihat lagak wanita ini yang seakan sama sekali tidak
mempedulikannya, jelas-jelas amat memandang rendah. Maka ia kembali berkata
dengan hormat, “Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga
Hoa-san-pai tak mempunyai permusuhan.”
Kwa Tin
Siong sengaja menyebut nama Hoa-san-pai agar supaya perempuan ini tidak lagi
memandang rendah kepadanya dan mau bersikap selayaknya orang kang-ouw berurusan
dengan sesama orang kang-ouw.
“Tosu bau
Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya.” Wanita itu
bicara seperti kepada dirinya sendiri, akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong
bangkit kemarahannya.
Lian Bu
Tojin adalah gurunya, juga adalah ketua Hoa-san-pai, seorang ciang-bunjin
(ketua partai) yang amat dihormati seluruh orang kang-ouw. Mana bisa perempuan
ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan tosu bau segala? Pedang di
tangannya gemetar.
Kwa Hong
yang mengenal sikap ayahnya yang marah ini tiba-tiba saja memperingatkan.
“Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya!”
Kwa Tin
Siong kaget sekali. Ia tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa
kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh
pandai tak akan ada artinya. Ia kaget akibat mendengar pengakuan anaknya yang
sudah menyerang wanita ini.
“Hong-ji,
jangan kurang ajar kau. Mari sini!” Ia menyuruh anaknya mendekatinya supaya
lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran.
Akan tetapi,
baru saja Kwa Hong hendak bergerak mendekati ayahnya, tampak wanita itu
menggerakkan sapu tangan suteranya ke arah Kwa Hong yang segera berdiri diam
tak bergerak seperti patung.
Hampir Kwa
Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung sapu tangan yang halus
itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, tetapi... nyatanya anaknya telah
kena ditotok jalan darahnya!
“Hi-hi-hi-hi-hi...
Hoa-san-pai....” Wanita itu tertawa mengejek.
Sesabar-sabarnya
manusia, kalau anaknya diganggu dan nama partainya diejek seperti itu, pasti
tak akan dapat menahan juga. Kwa Tin Siong lalu berseru. “Manusia sombong,
bersiaplah kau menghadapi pedangku!”
Sebagai
seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang
seorang wanita yang hanya memegang sehelai sapu tangan.
Akan tetapi
wanita itu menjawab halus. “Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa-san-pai yang
rendah mau bisa apakah terhadapku?”
“Hemm,
sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku!”
Kwa Tin
Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai
dari Hoa-san Kiam-hoat, yaitu gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan).
Pedangnya berputar cepat sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan
menyambar ke arah wanita itu.
“Hi-hi-hi-hi-hi,
kiam-hoat (ilmu pedang) buruk!” Wanita itu dengan mudahnya memiringkan tubuh
sambil menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang.
Tapi Kwa Tin
Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa-san-pai. Gerakan-gerakannya amat
mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya takkan
berhasil, ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya.
Kini
pedangnya meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong
Memanah Batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah ulu hati
sang lawan.
Kwa Tin
Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tidak
mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang, maka gerakannya ia tahan
dan perlambat sedapatnya.
Akan tetapi
sebelum ujung pedang itu menyentuh lawan, tepat seperti yang dikatakan oleh Kwa
Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari sapu tangan itu menyambar ke
arah pedang dan tangan.
“Krakkk!”
Semacam
tenaga mukjijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Namun orang
she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, dia tidak mau melepaskan pedangnya
yang buntung. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah
segar.
“Hi-hi-hi-hi-hi...,
Hoa-san-pai... belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa.
Sekarang terimalah seranganku!”
Wanita itu
melangkah maju dan menggerakkan sapu tangannya. Kwa Tin Siong merasa bahwa ia
berhadapan dengan orang yang sakti luar biasa atau sebangsa siluman, maka dia
menerima nasib, tahu bahwa ia tak akan kuat melawan.
“Hek-hwa
Kui-bo, jangan ganggu mereka!” mendadak Beng San melompat dan menarik pakaian
belakang wanita itu.
Hek-hwa
Kui-bo menoleh. Ia tersenyum dan mengejek, “Mereka itu apamu sih, kau bela
mati-matian.”
“Jangan
bunuh, jangan ganggu... kalau tidak, aku takkan suka lagi kepadamu!”
Ancaman ini
agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan sapu tangannya. Yang
kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama
Hek-hwa Kui-bo oleh Beng San tadi. Hek-hwa Kui-bo merupakan nama seorang di
antara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan!
Menurut
cerita gurunya, yang bernama Hek-hwa Kui-bo ini adalah seorang wanita yang
cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita
ini, melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya tak akan lebih dari tiga puluh
tahun! Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai bunga hitam yang tadi
tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu!
“Jangan
bunuh, jangan bunuh...!” Hek-hwa Kui-bo mengulang. “Ahh, anak bagus, lain kali
mereka mungkin yang akan mengganggu dan membunuhmu. Hayo ikut!”
Mendadak
wanita itu menggerakkan sapu tangannya yang meluncur ke arah Beng San.
Tahu-tahu ujung sapu tangan sudah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng
San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan matanya dan mendengar suara
angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya….
**************
Kwa Tin
Siong menarik napas panjang saat melihat perempuan itu berkelebat pergi sambil
membawa Beng San, lalu ia mulai menyalurkan pernapasan untuk memulihkan
kekuatan dirinya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya. Apa bila
dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia sudah menggeletak dengan
jantung putus! Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan,
barulah dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.
“Ayah,
siapakah perempuan siluman itu?”
“Hushhh,
jangan kau sombong, Hong-ji. Dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang malah lebih
tinggi kedudukannya dari pada sukong-mu (kakek gurumu). Hayo kita melanjutkan
perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi.”
Pendekar
yang amat gagah dan jarang menemui tandingan ini segera mengajak anaknya pergi,
nampaknya dia gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh. Kenapa
seorang tokoh seperti Hek-hwa Kui-bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah
muncul di dunia kang-ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya?
Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa-san-pai dan menceritakan hal ini kepada
suhunya.
Pada jaman
itu, pemerintahan pusat yang dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang
dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tidak kuat lagi atas
penindasan penjajah Mongol. Di mana-mana muncul perkumpulan rahasia yang
menghimpun banyak tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap
pemerintah penjajah. Di antara puluhan macam perkumpulan rahasia ini,
murid-murid Hoa-san-pai termasuk pula anggota sebuah perkumpulan yang terbesar,
yaitu Pek-lian-pai (perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan
pemerintah Mongol.
Kwa Tin
Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, ketika itu sedang
pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoi-nya yang berpencaran di mana-mana.
Bahkan dia sedang mencari dan mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya
karena Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san) harus berkumpul di Hoa-san
untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini.
Saat tiba di
hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari
Kwi-nam-hu bertemu dengan sute-nya, Thio Wan It, yang sudah berjanji akan
menghadap ke Hoa-san bulan depan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan
Toat-beng-kiam Kui Teng, sute-nya yang ketiga, dan sudah mendapat janji pula.
Kini ia sedang menuju ke arah dusun Lam-bi-chung, tempat tinggal orang tua
sumoi-nya (adik seperguruan), yaitu Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa.
Setelah
mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong mempercepat perjalanannya untuk
segera kembali ke Hoa-san setelah memberi tahu sumoi-nya tentang pertemuan
Hoa-san Sie-eng di Hoa-san.
Dalam waktu
tiga hari saja Kwa Tin Siong dan anak perempuannya telah sampai di dusun
Lam-bi-chung. Namun apa yang mereka dapati di dusun tempat tinggal jago keempat
dari Hoa-san Sie-eng ini? Mereka dapatkan Liem Sian Hwa sedang berkabung atas
kematian ayahnya yang dibunuh orang satu minggu yang lalu. Begitu melihat
kedatangan Kwa Tin Siong, gadis itu segera menubruk dan berlutut di depan
twa-suheng (kakak seperguruan tertua) ini dan menangis tersedu-sedu.
Seperti
sudah disebutkan di bagian depan, Kwa Tin Siong merupakan jago pertama dari
empat Hoa-san Sie-eng yang selama ini telah mengharumkan nama Hoa-san-pai
sebagai pendekar-pendekar budiman.
Liem Sian
Hwa adalah tokoh keempat dan yang termuda. Akan tetapi biar pun ia termuda,
baru dua puluh tahun usianya dan satu-satu wanita di antara empat pendekar
Hoa-san-pai itu, kepandaiannya hanya kalah setingkat oleh twa-suheng-nya ini.
Ia seorang gadis yang cantik, manis, dan sederhana sekali. Maklumlah, karena
Sian Hwa adalah anak seorang miskin.
Ayahnya,
Liem Ta, juga seorang guru silat yang semenjak mudanya menjadi penjual obat
keliling sambil mendemontrasikan ilmu silatnya hanya untuk menarik perhatian
pembeli. Ilmu silatnya adalah warisan dari ilmu silat Siauw-lim, akan tetapi
tidak begitu tinggi, hanya sekedar untuk ilmu pembela diri belaka.
Bertahun-tahun
Sian Hwa tinggal di Hoa-san setelah ia diantar oleh ayahnya dan diterima
menjadi murid oleh ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin yang melihat bahwa memang
anak perempuan itu bertulang baik sekali, bersemangat dan cerdik. Ayahnya tetap
berkeliling obat karena sudah menjadi kebiasaan seorang yang suka merantau,
tentu takkan senang kalau harus berdiam di suatu tempat.
Memang benar
bahwa Liem Ta sudah memiliki sebuah rumah kecil di dusun Lam-bi-chung tempat
kelahiran Sian Hwa. Namun, karena isteri Liem Ta sudah lama meninggal, ia tidak
tahan hidup seorang diri dan sering kali melakukan perjalanan merantau.
Ketika Sian
Hwa berusia lima belas tahun, datanglah ketua Kun-lun-pai, yaitu Pek Gan
Siansu, berkunjung ke Hoa-san bersama muridnya yang bernama Kwee Sin, yang pada
waktu itu berusia tujuh belas tahun. Pertemuan antara dua orang ketua ini
menghasilkan ikatan jodoh antara Sian Hwa dan Kwee Sin yang sudah yatim piatu.
Tentu saja Liem Ta diberi tahu dan duda perantau ini setelah melihat Kwee Sin
yang tampan dan gagah, apa lagi anak murid Kun-lun-pai, segera memberi
persetujuannya.
Lima tahun
kemudian mereka sudah tamat belajar. Sian Hwa menjadi seorang pendekar wanita
yang gagah, menjadi orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal di seluruh
dunia kang-ouw. Ada pun Kwee Sin juga menjadi seorang jago muda Kun-lun-pai
yang tak kalah tersohornya. Ia adalah orang termuda pula dari Kun-lun
Sam-hengte (Tiga Saudara dari Kun-lun), yaitu bersama dua orang suheng-nya yang
bernama Bun Si Teng dan Bu Si Liong.
Demikianlah
sepintas lalu keadaan Sian Hwa. Dan sebagai pendekar-pendekar gagah, baik Sian
Hwa mau pun Kwee Sin tidak tergesa-gesa melangsungkan pernikahan, malah kedua
tunangan ini bertemu muka pun jarang sekali. Walau pun keduanya bertemu muka
mungkin setengah tahun sekali, jalinan cinta kasih di antara mereka makin erat.
Pada waktu
cerita ini terjadi, Liem Sian Hwa sudah kembali ke rumahnya di Lam-bi-chung,
sedangkan Kwee Sin seperti biasanya sedang pergi merantau sebagai seorang
pendekar muda yang memiliki cita-cita melepaskan tanah air dan bangsa dari
penindasan penjajah Mongol.
Pada suatu
hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Sekali ini dia tidak pergi terlalu jauh,
maka dalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia
sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa.
Gadis ini
segera menghampiri ayahnya yang nampak tidak senang dan marah-marah itu, penuh
keheranan karena biasanya ayahnya sangat sayang kepadanya dan tidak pernah
marah-marah seperti itu.
“Sian Hwa,
mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus saja sampai di
sini! Biar besok aku pergi naik Hoa-san untuk memberi tahu gurumu.
Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!”
Kalau ada
halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa tak akan sekaget ketika
mendengar perkataan ayahnya ini. Kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu
tiba-tiba menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang pendekar wanita yang gagah
ia bersikap tenang ketika bertanya,
“Apakah
sebabnya ayah menjadi marah-marah seperti ini? Tentu sudah terjadi sesuatu yang
membuat ayah menjadi marah.”
“Terjadi
sesuatu?” Liem Ta membentak. “Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama
orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada
ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!”
Mulai
khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.
“Ayah,
apakah sebenarnya yang telah terjadi?” Hatinya benar-benar mulai merasa tidak
enak karena ia sudah bisa menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri
tunangannya, Kwee Sin.
“Manusia she
Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian hwa. Biar pun dia itu murid
Kun-lun-pai, biar pun dia seorang di antara Kun-lun Sam-hengte namun sekarang
ia telah tersesat. Dia bergulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau
tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo-lian-kauw yang terpimpin
iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan
wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendek kata aku tidak rela anakku menjadi
isteri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!”
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih tetap
menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu, “Aneh sekali mengapa orang
bisa begitu tak tahu malu, ayah? Di manakah ayah melihatnya... ehhh, mereka
itu?”
“Di mana
lagi kalau tidak di Telaga Pok-yang! Mereka bermain perahu, bernyanyi-nyanyi,
minum-minum, uhhh... pendeknya, terlalu!”
Ayah ini
menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat naik ke Hoa-san
untuk meminta ketua Hoa-san membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin.
Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa-san
karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.
“Ahhh…”
pikirnya dengan hati duka, “kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke
Pok-yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih
baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu...”
Dugaan Liem
Ta memang benar. Karena tak dapat lagi menahan panasnya hati, gadis itu
malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke Telaga Pok-yang yang letaknya tak
berapa jauh dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari.
Akan tetapi
ketika ia sampai di telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu di antara sekian
banyaknya para pelancong. Ia bertanya ke sana kemari dan selagi ia mencari
keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.
“Nona hendak
mencari siapakah?”
Sian Hwa
berterus terang. “Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar di
sini bersama seorang pemuda yang...” ia tak sudi menyebut tampan dan
menambahkan, “…yang mukanya putih...”
Tiba-tiba
tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan,
“Apakah
wanitanya itu seorang anggota Pek-lian-pai (Partai Teratai putih)...?”
Sian Hwa
terkejut. Pada masa itu, di mana negara sedang kacau dan banyak muncul
perkumpulan-perkumpulan rahasia bertujuan merobohkan pemerintah, nama
Pek-lian-pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai
seorang pendekar tentu saja Sian Hwa menaruh simpati terhadap perkumpulan
Pek-lian-pai ini, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan
si tukang perahu.
“Hemmm...,”
ia meragu, “mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?”
“Yang
laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti
Nona sekarang ini, bukan?”
“Ya....ya....”
Tukang
perahu itu tertawa. “Ahhh, pengantin baru seperti mereka itu ke mana lagi kalau
tidak berpesiar ke tempat-tempat indah? Kebetulan sekali ketika mereka
berpesiar di sini, mereka selalu menggunakan perahuku, Nona. Ahhh, benar-benar
pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta....”
“Ngaco!”
Sian Hwa membentak marah hingga tukang perahu itu nampak amat ketakutan.
“Katakan saja, di mana mereka berada?”
“Nona yang
memakai teratai putih di rambutnya itu... dan pemuda tampan itu… kemarin sudah
pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak
mengajak nona itu pergi ke dusun Lam-bi-chung... dan....”
Sian Hwa
tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergi dan lari cepat menyusul,
kembali ke Lam-bi-chung lagi. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu
berkumis panjang itu tertawa mengejek.
Alangkah
mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tak dapat menyusul dua orang itu. Buktinya,
sesudah ia sampai di dusun Lam-bi-chung, ia tidak melihat dua orang itu.
Dan dapat
dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat ayahnya telah rebah
dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata
ayahnya malam tadi diserang orang.
“Siapakah
yang menyerangnya, sumoi? Dan apakah.... apakah ayahmu meninggal akibat
penyerangan itu?” tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan
adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah
karena dia merasa kurang baik jika anak-anak mendengarkan urusan besar.
Sian Hwa
menyusuti air matanya. “Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, twa-suheng.
Luka-lukanya berat dan... dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah
menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedang dekat leher,
kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala bunga teratai putih...”
“Hemmm,
Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih)...,” diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran
karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan Pek-lian-pai!
“Dan luka
yang ketiga?”
Tiba-tiba
wajah Sian Hwa pucat sekali. “Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek-lek-jiu...
dari Kun-lun-pai...”
Kwa Tin
Siong hampir melompat saking kagetnya. “Apa...?!”
Sian Hwa
berkata dengan sungguh-sungguh. “Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali,
suheng. Tentu kau masih ingat, dulu suhu pernah menuturkan secara jelas sekali
tentang Pek-lek-jiu Kun-lun-pai itu, termasuk tanda-tanda bekas pukulannya. Aku
merasa yakin bahwa dada ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan
Pek-lek-jiu (Pukulan Geledek) dari Kun-lun-pai…”
“Dan murid
Kun-lun-pai yang paling pandai menggunakan Pek-lek-jiu adalah... Kwee Sin!”
kata jago pertama dari Hoa-san Sieeng ini sambil merenung.
“Betul,
twa-suheng.” Liem Sian Hwa menangis lagi. “Aku harus membalas dendam…! Si
keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa takkan
mau sudah...”
“Husshhh,
nanti dulu, sumoi. Kau tenanglah. Tak baik bila menjatuhkan dakwaan kepada
seseorang tanpa ada bukti. Apa lagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku
adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, agaknya
tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. Andai kata buktinya kuat,
habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?”
“Twa-suheng
masa masih tidak dapat menduganya? Dia... manusia she Kwee keparat itu, setelah
terlihat oleh ayah di Telaga Pok-yang, agaknya merasa malu dan takut apa bila
rahasianya disiar-siarkan oleh ayah. Dia bersama... siluman dari Pek-lian-pai
itu… tentu mengejar ke sini dan membunuh ayah...”
“Kenapa
begitu yakin?”
“Ayah
sendiri yang mengatakan demikian, twa-suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal
ini, meski amat sukar dia bicara.” Sian Hwa menghapus air matanya yang
bercucuran deras ketika ia bicara tentang ayahnya.
“Menurut
ayah, malam itu ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada
jendela. Begitu ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang
mengarah lehernya, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh ayah. Kemudian
ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat ayah hampir pingsan. Sebelum
pingsan ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian
terasa sakit pada pinggangnya akibat tertusuk paku itu. Ayah masih sempat
mendengar kata-kata seorang laki-laki yang mengatakan bahwa ayah tak boleh
sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun-lun! Malah ayah mendengar pula ejekan
wanita itu yang menyatakan bahwa partai Pek-lian-pai tidak mau mengampuni
orang-orang yang sombong.”
Kwa Tin
Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal yang
securang itu? Apa lagi dia, wanita yang katanya ialah anggota Pek-lian-pai yang
tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, patriot-patriot bangsa! Bahkan
kini dia sendiri mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding
tentang memasuki partai itu dan membantu perjuangan.
“Apakah
ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?” desaknya.
“Tidak,
twa-suheng. Kamar ayah gelap sekali, tidak ada penerangan sama sekali. Hal ini
pun menunjukkan bahwa kedua orang yang datang menyerang ayah itu berkepandaian
amat tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat.”
“Apakah
ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?”
“Tentu
tidak, suheng. Jarang sekali ayah bertemu dengan dia. Ahh, twa-suheng, mengapa
kau masih ragu-ragu? Tak bisa salah lagi bahwa anjing Kwee Sin itulah yang
membunuh ayah, dibantu seorang siluman dari Pek-lian-pai. Twa-suheng, hanya
para suhenglah yang sekiranya dapat membantu Siauw-moi untuk menuntut balas
atas kematian ayah secara penasaran ini....”
“Siapakah
orangnya yang tidak akan ragu-ragu, sumoi. Dua hal yang amat berlawanan antara
dugaan dan pendengaran. Seorang jago muda Kun-lun... dan seorang lagi anggota
Pek-lian-pai... ahhh, apa bila bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar
untuk dapat kupercaya....”
Tiba-tiba
mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah. “Tidak...! Pergi.....!”
Itulah suara
Kwa Hong.
Kwa Tin
Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat
dengan amat lincahnya. Seperti terbang melayang keduanya meloncat keluar dan
melihat sebuah Pek-lian-ting (paku teratai putih) seperti yang dipergunakan
orang untuk melukai ayah Sian Hwa sudah tertancap pada daun pintu depan!
Kwa Hong
sudah tidak tampak lagi di situ. Hanya terdengar derap kaki kuda berlari cepat
menjauhi tempat itu.
“Cepat,
twa-suheng, kejar....!”
Kwa Tin
Siong melompat ke atas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman
belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Pada lain saat kedua kakak
beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran. Sebentar saja Kwa Tin Siong
tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa, seekor kuda tunggang yang amat baik dan
pilihan.
Dua orang
pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa-san Sie-eng. Selain ilmu
silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah
ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apa lagi Sian Hwa yang memang sejak kecil
telah diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali
menunggang kuda.
Sesudah
melewati kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu
semakin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.
“Sumoi, kau
kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan.”
Biar pun
masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia
kang-ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa-suheng-nya ini cukup ia
ketahui maksudnya.
Ia tahu
bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman menggunakan siasat,
yaitu disergap dari belakang. Jika secara berterang, mungkin akan gagal karena
si penculik bisa menggunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya
mengangguk.
Kwa Tin
Siong lantas membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan.
Baiknya ia sudah mengenal betul jalan di daerah tempat tinggal sumoi-nya ini,
maka tanpa ragu-ragu, dia tahu ke mana arah jalan yang diambil oleh si penjahat
di depan itu. Jalan itu menikung ke kanan dan agak memutar, maka kalau dia
memotongnya melalui kebun dan hutan kecil, dia akan dapat mendahului si
penjahat.
Tidak lama
kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi
penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apa lagi ditunggangi
dua orang, biar pun salah satunya adalah anak kecil seperti Kwa Hong. Anak
perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.
“Bangsat
rendah, hendak lari ke mana kau!” Sian Hwa mencabut siang-kiam (sepasang
pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.
Penculik
itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil
bermata lebar, ketika mendengar suara wanita lalu menoleh. Dia tercengang
melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih sangat
muda. Tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.
“Aha,
kiranya ada seorang nona manis ingin main-main dengan aku,” katanya dengan
senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara.
Dengan
gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan
Kwa Hong yang dia gulingkan ke atas tanah. Jalan darah gadis cilik itu agaknya
tertotok, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri
menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.
“Penculik
hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka,” Sian Hwa
berseru.
Tiba-tiba
tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagai
seekor burung walet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung
menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar!
Hebat benar
sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan pedang) ini.
Tidak mengecewakan dia berjulukan demikian karena sepasang pedangnya
betul-betul merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat
sambil menyerang.
“Bagus....!”
Laki-laki
itu mau tak mau memuji melihat ketangkasan gerakan gadis ini. Cepat-cepat dia
menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.
“Trangg...
trangg...!”
Bunga api
muncrat ke sana ke mari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari
getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biar pun bertubuh
kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona
ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebat ke sebelah kiri orang itu,
pedangnya kembali berkelebat.
Sian Hwa
sudah sengaja menggunakan ginkang-nya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan
gerakannya. Akan tetapi siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat
memutar tubuhnya sambil membabatkan goloknya ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa
Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, sedangkan pedang kanan menusuk ke
arah dada lawan dengan gerak tipu Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu).
Sekarang
kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini
sangat hebat ilmu pedangnya. Cepat, gesit dan serangannya tidak terduga. Ia
cepat cepat menjengkangkan diri ke belakang sambil berjungkir balik kemudian
menghadapi lawannya dengan hati-hati. Pertempuran seru segera terjadi.
Pada saat
itu muncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini
melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan. Maka dia
pun cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dahulu,
karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoi-nya ternyata dapat menahan
gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.
Setelah Kwa
Hong dibebaskan dari totokan serta menyuruh anaknya ini duduk bersila dan
mengatur napas untuk membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat
ke medan pertempuran sambil berseru,
“Sumoi
serahkan penjahat ini kepadaku!”
Sebetulnya
Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya. Akan tetapi maklum betapa
twa-suheng-nya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat
keluar dan membiarkan twa-suheng-nya menghadapi penculik itu.
“Tahan,
sobat!”
Kwa Tin
Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Dia mengerahkan tenaganya
sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya
kaget sekali dan menatap tajam.
“Kau ini
siapakah dan seingatku, di antara aku Kwa Tin Siong dan kau tidak pernah ada
permusuhan apa-apa. Mengapa kau datang dan menculik anakku?” tanya pendekar itu
yang tidak mau menurutkan nafsu amarah.
Orang itu
tertawa mengejek. “Aku... aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar
Hoa-san Sie-eng!”
Kwa Tin
Siong mengeryitkan keningnya. “Kau yang sudah mengenal nama kami tentulah
seorang kang-ouw. Kulihat engkau menggunakan Pek-lian-ting, apa hubunganmu
dengan Pek-lian-pai? Sobat, harap engkau jangan main-main dan mengakulah terus
terang, apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar.”
Tiba-tiba
saja terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang
Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa
orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan
menghormat.
“Bagus,
kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!” serunya.
Dengan
sekali tangkisan dia dapat membikin golok orang itu terpental, kemudian desakan
pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat
orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang.
Memang hebat
ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari
Hoa-san Sie-eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga lweekang-nya juga
sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus
meloncat ke sana ke mari dan menangkis sedapatnya.
Kembali ia
bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar
suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.
Mendengar
ini Kwa Tin Siong berseru, “Awas, sumoi, kawanan penculik datang!”
Sian Hwa
memang sudah siap. Dia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon
besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga di situ dengan sepasang pedang di
kedua tangan.
Terdengar
seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak yang
berdarah. Ternyata pundaknya sudah kena disambar pedang sehingga terbabat kulit
dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih
belum juga dapat merobohkannya.
Pada waktu
itu terdengar suara banyak orang menunggang kuda. Mereka adalah empat orang
lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Gerakan mereka tangkas dan
begitu sampai di situ, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok mereka.
Tanpa banyak
cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan dua yang
lainnya sekarang sudah membantu si penculik tadi, mengeroyok Kwa Tin Siong.
Diam-diam dua orang anak murid Hoa-san-pai ini terkejut sekali. Ternyata empat
orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari
pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara. Keras dan bertenaga,
gerak-geriknya juga cepat.
Sian Hwa dan
Tin Siong memang mewarisi Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang ampuh. Keduanya
patut diberi julukan pendekar pedang Hoa-san dan mereka dalam pertempuran
keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan.
Akan tetapi,
lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, tapi memiliki
kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit. Namun, dengan
pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan
perlahan-lahan mulai mendesak.
Lima puluh
jurus telah lewat. Kwa Tin Siong masih mampu bertahan dan dapat membalas
serangan. Akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya. Dia
lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari.
Gadis itu
hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam-eng-cu karena tubuhnya
lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya di antara dua batang golok lawan yang
terus menyambar-nyambar mengitari dirinya.
Kwa Tin
Siong mengeluh di dalam hatinya. “Celaka,” pikirnya. “Sekali ini aku dan sumoi
menghadapi bencana.”
Hal ini
masih belum hebat. Lebih celakanya, anaknya pun ikut menghadapi bencana yang
hebat pula. Siapa yang akan melindungi anaknya? Berpikir sampai di sini dia
mencoba untuk menggunakan daya lain.
Tiba-tiba ia
berseru keras. “Bukankah cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota dari
Pek-lian-pai? Ketahuilah, siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa-san-pai tidak ada
permusuhan dengan Pek-lian-pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri.”
Akan tetapi
tiga orang lawannya tertawa dan seorang di antara mereka berkata mengejek,
“Anak murid Hoa-san-pai mana ada harga masuk Pek-lian-pai? Kalau mau mengaku
kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah
pandai baru boleh masuk Pek-lian-pai!” tiga orang itu tertawa-tawa dan
menyerang...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment