Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 02
Kwa Tin
Siong adalah seorang pendekar sejati, mana dia sudi untuk menuruti kehendak
tiga orang lawannya itu? Pendirian seorang pendekar, lebih baik mati dari pada
bertekuk lutut menerima hinaan. Dengan gemas ia pun mempercepat gerakan-gerakan
pedangnya sehingga lawan-lawannya terpaksa berlaku hati-hati dan mundur, lalu
dia berkata.
“Melihat
sikap cuwi, tak patut menjadi patriot-patriot yang anti penjajah bangsa
Mongol!”
Tiga orang
itu hanya tertawa lagi, dan si penculik yang sudah dilukai pundaknya berkata,
“Jangan banyak cerewet mengenai urusan perjuangan. Hoa-san Sie-eng bernama
besar, perlihatkan kebesaran itu. Ha-ha-ha!”
Sekarang Kwa
Tin Siong betul-betul terdesak. Apa lagi setelah dia mendengar sumoi-nya
berseru marah karena pedang kirinya terlepas dan terlempar, ia makin gelisah.
Sumoi-nya kini hanya melawan dengan sebatang pedang, sedangkan dua orang
lawannya itu makin mendesak sambil mengeluarkan ucapan-ucapan kotor.
Memang Sian
Hwa sedang terdesak hebat dan lebih lagi gadis ini merasa marah bukan main
karena selain pedangnya yang kiri terlepas, juga dua orang pengeroyoknya itu
terus menggodanya dengan kata-kata yang tidak sopan. Ia berlaku nekat dan
mati-matian dan hal ini mendatangkan celaka baginya.
Karena
terlalu bernafsu untuk menyerang, dia menjadi lengah dan pada suatu saat, lutut
kanannya kena ditendang seorang lawan. Sian Hwa menjerit dan roboh terduduk,
namun dia masih terus memutar-mutar pedangnya sambil duduk bersimpuh sehingga
dua orang lawannya tidak mampu mendekatinya.
Kwa Tin
Siong yang kaget mendengar jeritan sumoi-nya, juga menjadi lengah dan sebuah
babatan golok ke arah pinggangnya hampir saja membuat tubuhnya putus menjadi
dua. Baiknya dia telah mengelak dan meloncat sehingga hanya paha kirinya saja
yang terluka, cukup parah namun tidak cukup untuk merobohkannya.
Betapa pun
juga, keadaan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah amat terancam dan
sewaktu-waktu, perlahan tetapi pasti, dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan
menjadi korban keganasan musuh-musuh mereka ini.
Pada saat
itu terdengar orang tertawa dan bernyanyi-nyanyi.
“Ha-ha-ha-ho-ho…”
orang itu tertawa-tawa ketika tiba di dekat tempat pertempuran, “Ada
anjing-anjing berebut tulang! Anjing-anjing penjilat Mongol mengeroyok...
heh-he-heh, aku tak dapat tinggal diam saja. Heiiii! Biarkan aku ikut
main-main, waah, gembira benar nih!”
Muncullah
seorang lelaki tinggi besar yang pakaiannya tak karuan, berkembang-kembang
seperti pakaian wanita dengan potongan pakaian bocah. Sikapnya juga seperti
seorang anak kecil, padahal wajahnya menunjukkan bahwa usianya tentu sudah
empat puluhan. Koai Atong, memang tokoh yang sudah kita kenal inilah yang
muncul.
Dengan anak
panah di tangannya kemudian dia menyerbu pertempuran. Pertama-tama dia menyerbu
dua orang yang mengeroyok Sian Hwa. Begitu anak panah di tangannya ditangkis
dua golok orang yang mencoba untuk membabat patah pedang Sian Hwa, dua orang
itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja golok mereka terlepas.
“He-he-he,
terimalah pukulanku, kau dua hidung kerbau!” Tangan kirinya lalu diputar-putar
secara aneh dan mendorong ke depan.
Kedua orang
itu merasa ada angin menyambar yang berbau seperti daun busuk. Mereka adalah
orang-orang yang sudah banyak pengalaman, maka segera mereka menghindar, namun
tetap saja angin pukulan orang aneh itu membuat mereka terhuyung ke belakang
sampai empat lima langkah!
Tetapi Koai
Atong tidak mendesak terus. Melihat dua orang lawannya itu mundur-mundur
ketakutan, sambil bernyanyi-nyanyi ia melangkah lebar menghampiri medan
pertempuran Kwa Tin Siong.
Juga di sini
dia memutar anak panahnya, beberapa kali menangkis golok ketiga orang itu, lalu
tangan kirinya mendorong-dorong dan robohlah salah seorang di antara mereka,
yaitu si penculik tadi. Dua orang yang lain terhuyung-huyung ke belakang dengan
muka pucat karena merasa isi perut mereka hendak muntah keluar.
Melihat
gelagat buruk ini, empat orang itu lalu menceplak kuda dan kabur dari situ
sambil membawa tubuh si penculik yang pingsan dengan mata mendelik dan muka
kehijauan. Terdengar suara mereka dari jauh, “Koai Atong...! Koai Atong…!”
Kwa Tin
Siong menarik napas lega. Luka di pahanya tidak dipedulikannya. Ia terlampau
tegang mendengar nama ‘Koai Atong’ tadi. Nama ini sudah tentu saja pernah
didengarnya sebagai nama seorang di antara iblis dunia persilatan.
Dia segera
menjura dengan hormat kepada orang aneh itu dan berkata, “Nama besar... Koai...
enghiong... sudah lama siauwte mendengarnya. Hari ini enghiong menolong nyawa
siauwte berdua dengan sumoi dan anakku, sungguh budi besar sekali...”
Kwa Tin
Siong tidak berani menyebut orang itu Koai Atong yang berarti anak setan, maka
diubahnya menjadi Koai-enghiong (orang gagah Koai).
Akan tetapi
Koai Atong yang diberi hormat itu longang-longong, memandang ke kanan kiri
dan berbalik
dia bertanya. “Ehh, kau ini bicara kepada siapa?”
Kwa Tin
Siong melengak. “Kepadamu, Koai-enghiong...”
“Namaku
adalah Koai Atong, mana ada enghiong-enghiong segala, enghiong itu apa sih?
Sayang, main-main sedang ramai-ramainya, mereka pergi. Licik benar. Ehhh, dia
apamu? Anakmukah?” Koai Atong menuding ke arah Sian Hwa yang masih duduk
bersimpuh dan sedang berusaha membetulkan sambungan lututnya yang kena tendang
tadi.
“Bukan, dia
sumoi-ku, dan anakku...”
Tiba-tiba
muncul Kwa Hong berlari-lari. Anak ini gembira sekali nampaknya.
“Akulah
anaknya! Orang aneh, kau jempol sekali!” Kwa Hong memandang kagum sambil
mengacungkan jempol tangannya ke atas. “Hanya dengan memutar-mutar tangan kiri
dan menggertak sudah dapat mengusir anjing-anjing itu. Jempol!” Dia lalu
meniru-niru gerakan tangan kiri Koai Atong tadi yang diputar-putar dan dipakai
mendorong-dorong.
“Ha-ha-ha-ha!”
Koai Atong tertawa terpingkal-pingkal. “Kau pintar menari, ya? Bagus, ya?” Ia
pun kemudian menari-nari serta memutar-mutar tangannya sambil tersenyum-senyum
dan melirik-lirik sehingga seperti seorang yang sedang pandai melagak dan
manja. Tentu saja ini hanya sikapnya dan melihat keadaannya dia lebih pantas
disebut orang gila yang segila-gilanya.
Melihat
orang itu menari-nari lucu, Kwa Hong tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya.
Sian Hwa dan Kwa Tin Siong tidak berani tertawa karena mereka maklum akan
kelihaian dan keanehan orang kang-ouw ini. Akhirnya Koai Atong pun berhenti
menari.
“Orang aneh,
kau benar-benar hebat. Engkau telah menolong Bibiku dan ayahku. Terima kasih,
ya ?” kata Kwa Hong.
“Aku tidak
senang kepada mereka,” kata Koai Atong merengut. “Mereka itu anjing-anjing
Mongol.”
“Koai
enghiong...” bantah Kwa Tin Siong. “mereka itu adalah orang Pek-lian-pai, apa
betul penjilat Mongol?”
“Tak peduli
Pek-lian-pai atau Hek-lian-pai, aku tak suka penjilat-penjilat Mongol.”
“Koai Atong,
kau betul!” Kwa Hong berseru girang. “Aku pun tidak suka kepada mereka.”
Koai Atong
kelihatan girang sekali, bagai seorang anak-anak yang bertemu dengan kawan
baik. “Bagus, kita cocok. Mari ikut aku pergi bermain-main. Aku banyak mengenal
tempat yang bagus-bagus!”
Koai Atong
menyambar tangan Kwa Hong. Sebelum Kwa Tin Siong dan Sian Hwa sempat mencegah,
orang aneh itu sudah berlari cepat sekali dengan langkah-langkah yang lebar
sambil menggandeng Kwa Hong.
“Koai
enghiong, tunggu... ! Jangan bawa pergi anakku!” Kwa Tin Siong berseru sambil
mengejar.
Juga Sian
Hwa turut mengejar. Akan tetapi, karena paha Kwa Tin Siong sudah terluka
sedangkan lutut Sian Hwa masih membengkak, keduanya tidak mampu berlari cepat
dan sebentar saja bayangan orang tinggi besar itu bersama Kwa Hong sudah tidak
kelihatan lagi.
“Celaka...!”
Kwa Tin Siong membanting-banting kakinya dan nampak berduka sekali.
“Jangan
berduka, twa-suheng. Biar pun amat aneh, kurasa orang itu takkan mengganggu
Hong-ji. Dia seperti seorang anak-anak mendapatkan teman dan ingin mengajak
Hong-ji bermain-main. Dia lihai sekali, pasti mampu menjaga Hong-ji baik-baik.”
Kwa Tin
Siong menarik napas panjang. “Aku tidak khawatir dia mengganggu Hong-ji. Juga
tentang penjagaan, kiranya dia akan lebih baik dari padaku karena kepandaiannya
lebih tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Ban-tok-sim Giam Kong dan
muridnya itu, Koai Atong. Siapa yang tidak ngeri mendengar nama mereka? Mereka
itu memang bukan tergolong orang-orang jahat, akan tetapi watak mereka sangat
aneh dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tidak terduga-duga. Bagaimana
hatiku tidak akan khawatir? Kapan aku dapat bertemu kembali dengan anakku?”
Ketika mengucapkan kalimat terakhir ini, wajah Kwa Tin Siong nampak berduka
sekali, membuat sumoi-nya terharu.
“Suheng,
kalau begitu, mari kutemani kau mengejarnya. Mustahil takkan tersusul, dia kan
sering kali berhenti untuk bermain-main. Kalau kita tidak berhasil membujuknya,
kita bisa menggunakan kekerasan.”
Kwa Tin
Siong menggelengkan kepala. “Percuma, sumoi. Kita masih menderita luka. Lagi
pula agaknya Hong ji juga senang bermain-main dengan orang itu. Buktinya ketika
dibawa pergi tadi ia diam saja. Sudahlah, biar hitung-hitung menambah
pengalaman anak itu. Kita mempunyai persoalan yang sangat penting sekarang. Aku
merasa ragu-ragu dan kecewa sekali menyaksikan sepak terjang orang-orang
Pek-lian-pai.”
Sian Hwa
yang tadi pikirannya penuh oleh keadaan Kwa Tin Siong, sekarang jadi kembali
teringat akan urusannya sendiri. Ia mengertak gigi.
“Memang
betul, suheng. Baru saja kita sendiri pun hampir juga menjadi korban keganasan
Pek-lian-pai. Sekarang telah jelas bahwa Pek-lian-pai sengaja memusuhi aku dan
suheng, pendeknya memusuhi Hoa-san-pai.”
Kwa Tin
Siong mengangguk-angguk. “Kupikir juga begitu. Tak mungkin secara kebetulan
saja mereka mengganggu kau dan aku. Hemmm, anehnya, mereka itu beranggota
banyak sekali, memiliki banyak mata-mata, apakah tidak tahu bahwa murid
Hoa-san-pai tadinya bersimpati kepada mereka dan berniat membantu? Sumoi, kita
tidak boleh berlaku secara sembrono. Lebih baik kita berunding dengan dua orang
suheng-mu lebih dulu, kemudian kita minta nasehat suhu.”
Sian Hwa
setuju. “Kalau begitu, mari kita kembali ke Hoa-san, suheng, aku pun tak betah
tinggal di rumah, ingin bertemu para suheng dan minta bantuan untuk membalaskan
sakit hatiku.”
Kakak
beradik seperguruan itu kemudian meninggalkan tempat tadi dan langsung mereka
berdua melakukan perjalanan ke Hoa-san. Andai kata mereka itu bukan kakak
beradik seperguruan, juga tidak sedang berada dalam keadaan berduka sehubungan
dengan urusan masing-masing, tentu mereka akan merasa sungkan juga melakukan
perjalanan berdua saja.
Seorang
laki-laki dan seorang gadis, biar pun yang pria sudah berusia empat puluh tahun
sedangkan yang wanita baru dua puluh tahun, namun si pria cukup tampan sehingga
mereka merupakan pasangan yang cocok. Tentu saja bagi mereka sendiri tidak
apa-apa karena memang semenjak Sian Hwa masih kecil, baru berusia sepuluh
tahun, dia sudah menjadi adik seperguruan Kwa Tin Siong.
Mereka
melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Hoa-san….
“Aduh...!
Aduh, berhenti... berhenti aku tidak bisa bernapas...! Kui-bo, berhenti...!”
Beng San
berteriak-teriak dengan napas sengal-sengal. Bukan main cepatnya tubuhnya
dibawa pergi sampai angin menyesakkan pernapasannya dan tangannya yang terbelit
ujung sapu tangan juga amat sakitnya.
Mendadak
Hek-hwa Kui-bo berhenti dan begitu melepas sapu tangannya, ia menangkap tangan
kanan Beng San dan membentak. “Kau pernah belajar silat kepada siapa?”
Aneh sekali,
kalau tadi ia bersikap manis dan genit di depan Beng San, kini dia berubah
menjadi galak dan suara serta pandang matanya penuh ancaman.
Beng San
seorang bocah tabah dan ndugal (nakal) mana ia kenal takut? Ia mengerahkan
tenaga dan berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil, malah cekalan
wanita itu makin erat.
“Aku tak
pernah belajar silat,” jawab Beng San akhirnya karena tangannya yang dipegang
terasa sakit.
“Bohong!
Kalau tidak mengaku akan kupatahkan tanganmu!”
Ia memijat
makin keras sehingga terdengar bunyi ‘Kretekk…’ pada tangan Beng San.
Anak itu
meringis kesakitan. Baiknya wanita itu tidak sampai mematahkan tulang-tulang
tangannya, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali. Anehnya wanita itu nampak
sangat terheran-heran dan memandang tajam.
“Iblis
cilik, kalau tak pernah belajar silat, kau tentu sudah mampus. Di tubuhmu ada
hawa panas, dari mana kau peroleh?”
Diam-diam
Beng San terheran-heran. Wanita ini aneh sekali, juga kepandaiannya seperti
iblis. Mungkin betul-betul kuntilanak, bukan manusia. Kalau manusia, bagaimana
agaknya bisa tahu segala hal?
“Aku pernah
disiksa makan sebuah pil oleh seorang tosu bau bernama Siok Tin Cu…”
Wanita itu
melepaskan pegangannya dan dengan terheran-heran ia menatap wajah Beng San,
kemudian kembali ia memegang tangan yang tadi dicengkeram dan kini tangan itu
diperiksanya baik-baik.
“Aneh...
aneh… kau dipaksa makan pil oleh Siok Tin Cu? Lalu bagaimana?”
“Badanku
terasa panas seperti dibakar, selanjutnya aku pingsan dan ketika sadar kembali,
aku merasa tubuhku dingin sekali seperti direndam dalam es!”
“Bohong....!”
Hek-hwa Kui-bo menampar dan Beng San terjungkal.
Akan tetapi
anak itu bangun lagi, membuat Hek-hwa Kui-bo makin heran. Kenapa anak ini
memiliki
daya tahan yang begini luar biasa?
“Kau bilang
badanmu panas sampai pingsan, bagaimana setelah sadar menjadi dingin?”
Sekarang
Beng San marah-marah. Perempuan atau siluman ini keterlaluan sekali. Sambil
bertolak pinggang dia berdiri dan membentak, “Kau ini jahat benar! Mau bertanya
atau mau tak percaya? Kalau tidak percaya, jangan bertanya. Pukul boleh pukul,
mau bunuh boleh bunuh, mengapa membuat capai mulut? Buat apa tanya-tanya
segala, kalau tidak percaya?!”
Hek-hwa
Kui-bo makin terheran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang bocah
seaneh ini. Dia sendiri seorang tokoh besar yang sering kali diherani dan
dikagumi orang, akan tetapi sekarang ia malah heran dan kagum kepada seorang
bocah!
Hal ini
memang ada sebab-sebabnya. Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh besar yang
jarang mau berurusan dengan dunia ramai, apa lagi mempedulikan seorang bocah
seperti Beng San ini. Hanya saja, ketika tadi melihat Beng San ia menyaksikan
hawa kemerahan yang terang sekali terbit dari hawa Yang-kang yang amat kuat
dari tubuh bocah ini, maka ia pun mengerti bahwa anak ini adalah seorang ahli
Yang-kang atau setidaknya di dalam tubuh anak ini terkandung sesuatu yang
mengeluarkan hawa itu.
Oleh karena
sudah menjadi wataknya tidak suka melihat orang-orang lihai di dunia ini di
samping dia sendiri dan muridnya, maka timbul maksud hatinya untuk membunuh
Beng San. Maka tadi ia sengaja membawa lari Beng San dengan cepat untuk
membunuhnya, karena pegangannya tadi mengandung saluran tenaga mematikan.
Alangkah
herannya ketika melihat Beng San hanya tersengal-sengal saja dan tidak mati.
Lebih-lebih lagi herannya ketika ia meremas tangan Beng San, ada daya tahan
yang luar biasa yang mencegah tulang-tulang anak itu remuk. Inilah luar biasa!
Dia sendiri seorang ahli Yang-kang, masa tak dapat menguasai hawa di tubuh anak
ini? Demikianlah, maka Hek-hwa Kui-bo jadi ingin sekali mengetahui keadaan Beng
San.
Di samping
ini, ada juga rasa sukanya kepada bocah ini. Bocah aneh yang pemberani sekali,
bahkan yang suara cegahannya sudah membuat ia menurut, yaitu ketika ia hendak
membunuh Kwa Tin Siong dan puterinya. Ada pengaruh yang amat ganjil dalam suara
anak ini ketika mencegahnya tadi.
“Anak baik,
mau bunuh kau apa sukarnya? Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, kau ini
murid siapa?”
“Aku bukan
murid siapa-siapa,” jawab Beng San tak acuh.
“Siapa
namamu?”
“Beng San.”
“Siapa orang
tuamu?”
“Orang
tuaku...? Orang tuaku adalah... Huang-ho (sungai Kuning).”
Kembali
Hek-hwa Kui-bo melengak. Siapa tak akan heran mendengar jawaban aneh ini.
“Jangan main-main! Di mana kedua orang tuamu? She apa?”
“Orang tuaku
dimakan banjir Huang-ho, siapa she-nya aku tak tahu. Ehh, kuntilanak, mau apa
kau main tanya-tanya terus? Pergilah!”
Makin kagum
Hek-hwa Kui-bo. Ia melihat muka Beng San kotor sekali sehingga agak sulit
baginya untuk melihat cahaya muka anak ini yang agak kehijauan dan agak
kemerahan.
“Kau kotor
sekali. Pergilah mencuci muka.”
“Tidak mau!”
Akan tetapi,
kembali ujung sapu tangan panjang di tangan Hek-hwa Kui-bo bergerak dan
tahu-tahu tubuh Beng San terlempar jauh dan... jatuh ke dalam sebuah anak
sungai tak jauh dari situ.
Beng San
gelagapan dan meronta-ronta. Akan tetapi kemudian dia mendapat kenyataan bahwa air
anak sungai itu amat jernih, maka timbul kegembiraannya dan dia malah mandi
tanpa membuka pakaian! Dia tidak mempedulikan lagi kepada Hek-hwa Kui-bo.
Tak lama
kemudian ia merasa tubuhnya dingin bukan main. Beng San menjadi ketakutan,
khawatir kalau-kalau penyakit kedinginan seperti kemarin menyerangnya lagi.
Cepat-cepat dia merayap naik dari anak sungai itu. Ternyata Kui-bo masih
menunggu di situ sambil memandang kepadanya dengan mata tak berkedip.
Setelah muka
dan tubuh Beng San bersih dari debu dan kotoran, apa lagi akibat dinginnya air
membuat hawa Im-kang menyerangnya kembali dan kulit mukanya menjadi kehijauan,
Hek-hwa Kui-bo menjadi bingung. Sama sekali itu bukan tanda bahwa di dalam
tubuh anak ini terkandung hawa Yang, melainkan sebaliknya, kini penuh hawa Im
yang aneh! Bukan main, luar biasa sekali ini! Tanpa terasa Hek-hwa Kui-bo
menggaruk-garuk rambut di kepalanya.
Beng San
masih merasa dongkol. Tubuhnya dingin betul dan pakaiannya semua basah kuyup.
Semua ini adalah karena perbuatan kuntilanak itu. Maka dia lalu menghampiri dan
memaki.
“Kuntilanak
galak, kau pun harus mandi!”
Merah muka
Hek-hwa Kui-bo, merah karena malu! Memang orang aneh, disuruh mandi begitu saja
timbul pikiran bahwa alangkah memalukan kalau ia harus mandi di depan anak
laki-laki ini.
“Kurang
ajar, aku sudah cukup bersih. Tak perlu mandi.”
Tiba-tiba
Beng San tertawa bergelak. Ia merasa mendapat kesempatan untuk membalas
menghina orang atau siluman ini. “Bersih katamu? Ha-ha-ha-ha! Rambutmu penuh
kutu busuk, masih berani bilang bersih?”
Merupakan
pantangan bagi Hek-hwa Kui-bo kalau dia dicela orang, apa lagi kalau yang
dicela tentang kebersihan atau kecantikannya. Entah sudah berapa banyaknya
orang mati di tangannya hanya karena kesalahan mulut menyatakan bahwa ia sudah
tua, tidak cantik dan lain celaan lagi. Sekarang ia pun amat marah, akan tetapi
karena pribadi Beng San menimbulkan keheranan dan kekaguman, ia tidak segera
turun tangan, hanya bertanya dengan suara dingin.
“Kau bilang
rambutku penuh kutu busuk? Apa buktinya?”
Beng San
masih tertawa-tawa. “Kau tadi menggaruk-garuk kepalamu, itulah tanda bahwa
rambutmu banyak mengandung kutu busuk! Aku berani bertaruh bahwa di situ
bersarang banyak kutu busuk dengan telur-telurnya...”
Sapu tangan
di tangan Hek-hwa Kui-bo bergerak dan tahu-tahu ujungnya sudah melibat leher
Beng San! Baiknya wanita aneh ini hanya menakut-nakuti saja, jika ia
menggunakan tenaga, dalam sedetik leher itu akan putus!
Namun Beng
San maklum bahwa nyawanya terancam, maka cepat dia pun mengerahkan tenaga dan
berseru.
“Membunuh
anak kecil, huh, mana bisa dibilang gagah? Mengalahkan musuh tangguh baru bisa
dibilang gagah, akan tetapi mengalahkan diri sendiri lebih gagah lagi!” saking
takutnya dia mengeluarkan ujar-ujar Khong Hu Cu yang dicampur dengan
kata-katanya sendiri.
Ujung sapu
tangan itu mengendur dan Hek-hwa Kui-bo tertawa. “Siapa sudi mengambil nyawa
tikusmu? Hayo buktikan omonganmu, kau carilah kutu busuk itu di rambutku. Kalau
tidak ada seekor pun, hidungmu akan kupotong, tak perlu kuambil nyawamu!”
Bukan main
kagetnya hati Beng San. Dipotong hidungnya lebih celaka dari pada diambil
nyawanya. Apa nanti jadinya apa bila dia seterusnya harus hidup tanpa hidung,
menjadi manusia yang menakutkan dan menjijikkan? Dan biar pun dia masih kecil,
dia tahu bahwa wanita kuntilanak ini pasti akan membuktikan omongannya.
“Hayo
cepat!” Hek-hwa Kui-bo membentak sambil duduk di atas rumput.
Terpaksa
Beng San lalu berlutut di belakangnya dan mulai mencari kutu busuk di antara
rambut yang hitam, halus dan bersih serta berbau harum kembang itu. Mana ada
kutu busuk di antara rambut yang begitu terpelihara rapi dan bersih?
“Enak saja,”
ia menggerutu, “Taruhan yang tidak adil. Kalau tidak ada kutu busuknya, kau
akan memotong hidungku. Bagaimana jika ada kutu busuknya? Aku tidak punya
apa-apa, hidungku adalah barang yang paling kusayang, kalau itu kupertaruhkan,
habis apa yang menjadi taruhanmu? Apakah kau juga mempertaruhkan hidungmu?”
Hek-hwa
Kui-bo tak terasa lagi meraba hidungnya yang mancung. Tak mungkin ia hendak
mengorbankan hidungnya. Ia berpikir-pikir, lalu berkata sambil tertawa
mengejek, “Yang paling berharga padaku adalah kepandaianku. Aku pertaruhkan
kepandaianku. Setiap kali kau memperoleh kutu busuk, kuhadiahkan sebuah ilmu
silat kepadamu.”
“Hah, untuk
apa ilmu silat?” Beng San berkata.
Perempuan
aneh itu menengok dan matanya berapi. “Anak tolol! Kalau kau menerima satu
macam saja ilmu silatku, apa kau kira orang-orang macam ayah anak Hoa-san-pai
itu mampu mengganggu dan menghinamu?”
Beng San
memutar otaknya. Betul juga. Wanita ini lihai bukan main. Alangkah baiknya
kalau dia bisa memiliki kelihaian seperti wanita ini. Dia sebatang kara di
dunia ini, sudah sering kali dihina orang. Jangan kata lagi orang-orang kota
yang sering kali mengusirnya seperti anjing, padahal dia tidak mengganggu
mereka. Dan bukti yang baru saja terjadi, tosu bau Siok Tin Cu itu menghinanya,
kemudian Kwa Hong...
“Baik,”
katanya, dan tidak lama kemudian jari-jari tangannya mencabut sesuatu di antara
rambut Hek-hwa Kui-bo.
“dapat
seekor...!” katanya gembira setengah bersorak.
Hek-hwa
Kui-bo tersentak kaget, cepat memutar tubuh. Ia melihat di antara jari telunjuk
dan ibu jari tangan Beng San terjepit seekor kutu hitam kemerahan yang amat
menjijikan. Kakinya banyak dan jalannya miring-miring. Meremang bulu tengkuk
Hek-hwa Kui-bo.
Seorang
perempuan seperti dia, yang sejak kecil jangan kata mempunyai kutu rambut, melihat
pun belum, mana bisa dia membedakan antara kutu rambut dan kutu baju? Sama
sekali dia tidak pernah mimpi bahwa ia kena ditipu oleh anak nakal ini.
Beng San
yang tadi merasa tidak berdaya dan putus asa melihat rambut yang bersih itu,
diam-diam mendapatkan akal. Pada bajunya banyak terdapat kutu, hal ini dia tahu
betul, dan dia tahu pula di mana kutu-kutu itu paling senang bersembunyi. Oleh
karena bajunya memang hanya sebuah, tak pernah dicuci, maka banyak kutunya. Dan
karena kebiasaan, dengan sangat mudahnya dia mengambil seekor kutu baju, lalu
pura-pura mengambil itu dari rambut Hek-hwa Kui-bo.
Walau pun
perempuan ini adalah seorang yang sakti dalam ilmu silat, tetapi karena dia
duduk membelakangi Beng San dan tidak menduga sama sekali akan tipu muslihat
ini, ia percaya penuh. Wajahnya agak pucat dan matanya melebar ketika ia
melihat kutu kecil itu dijepit jari tangan Beng San.
“Celaka,
dari mana datangnya kutu busuk? Memalukan sekali. Hayo lekas bunuh dan cari
lagi!”
Beng San
tertawa dan memasukkan kutu busuk itu ke mulutnya. Ketika giginya menggigit
terdengar suara,
“Tesss!” dan
dia meludahkan bangkai kutu busuk itu.
Hek-hwa
Kui-bo mengkirik penuh kengerian.
“Jahanam
benar, dari mana dia bisa datang ke rambutku?” tiba-tiba ia merasa kepalanya
gatal-gatal sekali dan terpaksa ia menggaruk-garuk lagi, “Hayo cari terus,
sampai bersih betul. Jahanam...”
“Ehhh, nanti
dulu, jangan lupa taruhannya. Sudah dapat seekor.”
Hek-hwa
Kui-bo melotot. “Siapa lupa? Cerewet benar. Aku hutang kepadamu sebuah ilmu
silat. Hayo teruskan sampai bersih rambutku. Nanti berapa dapatnya tinggal
hitung berapa hutangku kepadamu.”
Beng San
mencari lagi dan seperti tadi, dia mengambil kutu baju dan berseru girang lagi.
Hek-hwa
Kui-bo makin mengkirik. “Bagaimana bisa begini banyak? Celaka, jangan-jangan
sudah bertelur!”
Beng San
tertawa. Anak cerdik ini cepat berkata. “Aku belum melihat telurnya, mungkin
sudah menetas semua. Sudah dua ekor, Kui-bo. Jangan lupa.”
“Siapa lupa?
Hayo lekas cari lagi!”
“Kui-bo, aku
tidak khawatir kau lupa, hanya khawatir kau melanggar janji. Ada yang bilang
bahwa mengikat kerbau adalah di hidungnya, akan tetapi manusia diikat pada
bicaranya. Sekali mengeluarkan ludah tidak akan dijilat kembali, sekali
mengeluarkan sepatah kata, sampai mati tak akan dipungkiri. Itulah manusia
gagah dan…!”
“Cerewet!
Bocah ingusan macammu mau memberi pelajaran padaku? Aku tak akan lupa, juga tak
akan melanggar janji. Hayo lekas habiskan kutu-kutu itu, gatal semua kepalaku!”
Dan melihat kutu busuk kedua itu, terasa makin gatal kepala Hek-hwa Kui-bo.
Tadinya Beng
San hendak mengeluarkan kutu sebanyak-banyaknya. Akan tetapi ketika ia ingat
bahwa belum tentu ilmu-ilmu silat yang akan diajarkan padanya itu menyenangkan,
dia berbalik khawatir kalau-kalau malah akan menyusahkan saja.
Maka setelah
mendapatkan tiga ekor kutu busuk, dia berhenti dan berkata. “Sudah habis, sudah
bersih. Sekarang aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa di rambutmu sama
sekali tidak ada kutunya seekor pun.”
Hek-hwa
Kui-bo menarik napas lega, lalu membetulkan rambutnya yang tadi diawut-awut
oleh anak itu. Kemudian ia memandang kepada Beng San dan tiba-tiba tertawa
mengikik. Beng San sudah khawatir kalau-kalau perempuan kuntilanak ini hendak
menipunya.
“Hi-hi-hi-hi-hi,
aku berhutang tiga ilmu silat kepadamu? Bocah siapa namamu tadi?”
“Namaku Beng
San.”
“Bocah, aku
akan mengajarkan tiga macam ilmu silat kepadamu dan andai kata kau dapat
mewarisi tiga ilmu silat ini, sepuluh orang anak murid Hoa-san-pai juga tak
akan mampu menangkan kau. Ehhh, tadi kau bilang kau dijejali obat oleh seorang
tosu yang membuat tubuhmu panas semua? Apa betul kau belum pernah belajar
silat?”
“Belum
pernah selama hidupku.”
“Coba kau
pukul telapak tanganku ini, di waktu memukul meniupkan hawa dari mulut.”
Beng San
menurut karena mengira bahwa demikian memang caranya belajar silat. Ia lalu
memukul telapak tangan wanita itu dengan tangan kanannya sambil meniupkan hawa
dari mulutnya.
“Plakkk!”
Hek-hwa
Kui-bo merasa telapak tangannya dijalari hawa panas. Terang yang keluar dari
kepalan Beng San adalah tenaga Yang-kang.
“Hemmm, sekarang
kau pukul lagi dengan tangan kiri sambil menahan napas.”
Beng San
menurut, memukulkan kepalan tangan kiri ke arah telapak tangan itu sambil dia
menahan napas. Hek-hwa Kui-bo merasa telapak tangannya menerima hawa dingin
yang lebih kuat dari pada hawa panas tadi. Diam-diam ia terheran-heran.
Bagaimana di
dalam tubuh anak ini terdapat dua macam hawa Yang-kang dan Im-kang tanpa
diketahui oleh anak itu sendiri. Dan kenapa seorang anak yang tidak pernah
belajar silat bisa mempunyai dua macam hawa ini dan tidak mati karenanya?
Di dalam
tubuh setiap orang manusia memang pada dasarnya sudah terdapat dua macam hawa
yang bertentangan itu, akan tetapi tidak sehebat ini.
“Dengarkan
baik-baik. Kau akan kuberi pelajaran tiga macam ilmu silat. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.
Pertama, kau tidak boleh mengaku Hek-hwa Kui-bo sebagai gurumu.”
Beng San
merengut. “Siapa yang kepingin mengakui kau sebagai guru? Syarat ini cocok
dengan pikiranku.”
“Kedua, kau
harus berdiam terus di dalam hutan ini sebelum kau hafal benar tiga macam ilmu
silat itu. Tergantung kepada otakmu. Kalau kau berotak udang dan beku, dan
sampai sepuluh tahun belum hafal, kau tetap tidak boleh keluar. Begitu keluar
akan kubunuh jika kau belum hafal.”
Beng San
segera memprotes, “Aturan apa ini? Aku tak sudi. Kalau begitu, sudahlah, siapa
yang kegilaan akan ilmu silat? Aku tidak usah belajar saja.”
Hek-hwa
Kui-bo tertawa mengejek dan sapu tangannya bergerak-gerak. “Kau boleh tidak
belajar, akan tetapi nyawamu kucabut. Kau kira aku seorang yang suka menjilat
ludah sendiri? Aku sudah berjanji, kau harus menerima tiga macam pelajaran ilmu
silat dan kau harus pula memenuhi syarat-syarat itu atau... kau boleh mampus.”
Beng San
memang bocah yang nakal dan berani, akan tetapi dia pun cerdik bukan main.
Sekarang sedikit banyak ia telah mengenal watak kuntilanak ini yang selalu
membuktikan omongannya, maka dia lalu berkata, “Baiklah, mempelajari ilmu
silatmu atau tidak adalah sama saja! Apa sih gunanya? Kukira ilmu silatmu itu
pun tidak akan ada artinya bagiku!”
Hek-hwa
Kui-bo kena dibakar perutnya.
“Tarrr!!”
Sapu
tangannya berkelebat menyambar, mengeluarkan suara keras. Ujungnya melewati
kepala Beng San dan menghantam sebuah batu di dekatnya. Alangkah kagetnya anak
itu ketika melihat betapa pinggir batu itu gompal dan remuk seperti dihantam
palu besar yang kuat dengan keras sekali.
“Kau bilang
tidak ada gunanya? Apa kepalamu lebih keras dari pada batu itu?” Hek-hwa Kui-bo
berkata sambil mendelik.
Beng San kagum
sekali dan mulailah timbul keinginan dalam hatinya untuk dapat memiliki
kepandaian seperti ini. Akan tetapi dia memperlihatkan sikap acuh tak acuh
menyaksikan kehebatan wanita itu. Dia malah menarik napas panjang dan berkata,
“Apa artinya
kelihaian ilmu silat kalau toh aku takkan mungkin dapat mempelajarinya? Aku
tidak pernah belajar silat, bagaimana sekarang bisa mempelajari ilmu silatmu
kalau tidak kau pimpin sendiri?”
Hek-hwa
Kui-bo tertawa mengikik, “Kau tentu bisa, pasti bisa. Aku memiliki tiga macam
ilmu silat yang mudah dipelajari, biar pun oleh seorang tolol seperti kau.
Pertama, adalah ilmu siulian (semedhi) yang disebut Thai-hwee (api besar) untuk
mendatangkan kekuatan tenaga dalam berdasarkan Yang-kang. Dalam menjalankan
ilmu ini tubuhmu akan terasa panas sekali seperti terbakar, kau harus dapat
menahan ini. Dan yang kedua adalah ilmu pernapasan yang disebut Siu-hwee
(memelihara api) untuk membikin hawa Yang-kang di badanmu memasuki semua
pembuluh darah dan membikin badanmu kebal.”
“Apa artinya
semua ini?” Beng San mencela. “Masa orang harus belajar supaya diri kuat dan
tahan dipukul? Apa selanjutnya aku hanya disuruh menjadi bahan pukulan? Aku ini
kau ajari cara memukul batu seperti tadi.”
Hek-hwa
Kui-bo tertawa, “Tolol kau. Dua macam pelajaran itu adalah pokok dari semua
pelajaran silat. Yang ketiga, adalah ilmu pukulan yang kusebut Ci-hwee
(keluarkan api), terdiri dari tiga jurus pukulan yang mengandung hawa
Yang-kang. Nah, kau perhatikanlah sekarang semua petunjukku dan pelajari
baik-baik. Aku hanya sudi memberi kesempatan belajar sehari semalam saja,
setelah itu kau harus belajar sendiri.”
Demikianlah,
wanita aneh ini sengaja menurunkan cara semedhi dan latihan pernapasan yang
semata-mata hanya dapat untuk memperbesar daya Yang-kang di tubuh Beng San.
Perbuatan ini sebetulnya amat licik dan jahat. Bagi orang lain, mungkin sekali
ilmu-ilmu ini akan mendatangkan tenaga dalam tubuh yang luar biasa.
Akan tetapi
seperti telah diketahui, dalam tubuh Beng San pada saat itu sedang mengalir
hawa panas yang luar biasa akibat ditelannya tiga butir pil buatan tosu Siok
Tin Cu. Hawa panas ini tentu akan menghanguskan jantungnya, kalau saja dia
tidak terkena pukulan Jing-tok-ciang dan terkena racun hijau akibat serangan
Koai Atong.
Hek-hwa
Kui-bo tak tahu akan serangan Koai Atong ini. Akan tetapi wanita sakti ini
cukup maklum bahwa tiga butir pil Yang-tan itu secara aneh sekali sudah ditahan
kekuatannya oleh semacam hawa Im yang berada di tubuh Beng San. Melihat ini,
walau pun dia tidak mampu memaksa Beng San mengaku, wanita ini mempunyai dugaan
bahwa tentulah Beng San ini murid seorang sakti lain.
Hal ini
sangat tidak disukainya. Sudah menjadi watak Hek-hwa Kui-bo untuk tidak mau
mengalah terhadap orang lain. Siok Tin Cu adalah cucu muridnya, karena guru
tosu itu, ketua Ngo-lian-kauw, yaitu yang bernama Kim-thouw Thian-li (Dewi
Kepala Emas) adalah murid tunggalnya.
Pada saat
mendengar bahwa Yang-tan yang ditelan bocah ini tidak mematikannya, timbul
perasaan benci dan iri di hati Hek-hwa Kui-bo. Maka ia sekarang sengaja
mengajarkan dua macam ilmu itu untuk memperbesar dan memperkuat hawa Yang di
tubuh anak ini agar pertahanan hawa Im di tubuhnya kalah.
Tentu saja
Beng San yang tidak tahu apa-apa tidak mengandung hati curiga dan dengan penuh
ketekunan dan ketelitian ia memperhatikan segala petunjuk wanita itu. Dasar
bocah ini berotak cerdas dan terang sekali, menjelang senja hari, jadi baru
saja setengah hari Hek-hwa Kui-bo memberi petunjuk, dia sudah mengerti baik
bagaimana harus melakukan latihan Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee.
Diam-diam
Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat
bocah secerdas ini otaknya. Akan tetapi memang Hek-hwa Kui-bo yang aneh. Hal
ini bukan menimbulkan rasa sayang kepadanya, melainkan dia makin membenci dan
iri hatinya. Dia sendiri dulu tidak memiliki kecerdasan seperti ini.
“Nah, kau
boleh tekun melatih diri dengan tiga macam ilmu ini. Jangan sekali-kali berani
keluar dari hutan kalau belum menguasai ilmu yang kuajarkan. Kalau kau
melanggar, kau akan kubunuh!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat
wanita ini telah lenyap dari depan Beng San.
Anak ini
berhati lega. Mungkin ia akan menjaga di luar hutan, pikirnya. Akan tetapi
kalau sampai dua tiga hari, apakah ia akan sabar menjaga terus? Pula hutan ini
begini besar, kalau aku keluar dari lain jurusan, bagaimana mungkin dia bisa
tahu?
Dengan
pikiran ini, dia enak-enak saja tidak mau melatih diri. Dia bahkan segera
memilih tempat untuk tidur yang aman dan enak, yaitu di atas sebatang pohon
yang amat besar.
Pada
keesokan harinya, dia juga tidak melatih diri, namun berjalan-jalan di dalam
hutan, memilih tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon berbuah supaya tidak
sukar lagi dia mencari apa bila perutnya terasa lapar. Sampai dua hari Beng San
hanya berkeliaran di dalam hutan, tidak mau melatih diri.
Pada malam
ketiga, malam yang amat gelap, dia berjalan keluar dari hutan, mengambil
jurusan yang berlawanan agar tidak diketahui oleh Hek-hwa Kui-bo. Hutan itu
amat lebat sehingga menjelang fajar dia baru bisa keluar dari hutan.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika tiba-tiba saja dia mendengar suara ketawa nyaring dan
cekikikan, suara tawa kuntilanak! Sebelum dia sempat melihat dari mana
datangnya suara itu, tiba-tiba orangnya sendiri telah berkelebat dan berdiri di
depannya dengan sapu tangan panjang itu diputar-putar dengan sikap mengancam
sekali.
Beng San
takut bukan main, akan tetapi dia cerdik. Cepat-cepat dia pun berkata “Hek-hwa
Kui-bo, perutku lapar sekali. Semalaman penuh aku putar-putar di dalam hutan
mencari makanan, tetapi tidak ada. Aku tersesat sampai sini...”
Hek-hwa
Kui-bo memandang tajam, “Kau bukannya hendak lari?”
“Tiga macam
ilmu itu belum kuhafal sempurna, bagaimana aku berani mati meninggalkan tempat
ini? Seorang laki-laki sudah berjanji....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya
karena memang tadinya dia bermaksud hendak lari.
Hek-hwa
Kui-bo tertawa ganjil, sepasang matanya bersinar-sinar. “Kau terus pelajari
saja baik-baik, dalam beberapa hari lagi tidak akan sukar bagimu menangkap
binatang hutan untuk dimakan.”
Beng San
memasuki hutan kembali dan dia mendengar dari jauh wanita itu menggerutu, “Anak
tahan uji...”
Sekarang
yakinlah hati Beng San bahwa tak mungkin dia dapat pergi tanpa diketahui oleh
wanita sakti yang aneh itu. Nyawanya terancam bahaya maut kalau dia berani
pergi. Tidak ada lain pilihan lagi baginya, kecuali mulai mempelajari tiga
macam ilmu itu.
Mula-mula
dia melakukan semedhi untuk meyakinkan ilmu Thai-hwee seperti yang sudah dia
pelajari dari wanita itu. Dan benar saja, baru setengah malam dia duduk
semadhi, dia merasa ada hawa panas sekali berkumpul di perutnya, makin lama
makin panas sampai dia tak dapat menahan lagi dan akhirnya terguling pingsan!
Ketika dia siuman kembali, dia menderita hawa dingin yang luar biasa, membuat
tubuhnya seakan-akan menjadi beku.
Teringatlah
dia semua pengalamannya di dalam hutan ketika dia bertemu dengan Kwa Hong. Begini
pula penderitaannya. Mengapa setelah sekarang mulai melatih diri dengan ilmu
yang dia pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, agaknya penyakit aneh itu timbul
kembali?
Beng San
memiliki ketabahan dan kenekatan. Daya tahannya, lahir batin amat kuat. Biar
pun dia menderita banyak siksaan dari latihan pertama ini, dia lanjutkan terus.
Tiga empat hari pertama, setiap kali siulian paling lama satu malam dia tentu
roboh pingsan.
Akan tetapi
pada hari kelima dia tidak pingsan lagi. Dia tidak tahu bahwa akibatnya, kulit
mukanya makin lama menjadi semakin merah dan akhirnya menjadi hitam seperti
pantat kwali. Namun dia yang tak pernah melihat bayangan mukanya sendiri, tidak
tahu akan hal ini!
Sebulan
kemudian dia mulai dengan pelajaran kedua. Ketika ia mulai melatih pernapasan
menurut ilmu Siu-hwee (simpan api), dia merasa bahwa hawa panas yang dia dapat
dari ilmu pertama itu berkumpul di pusarnya, lalu berpindah-pindah ke dadanya
dan terasalah dada kirinya sakit seperti di tusuki jarum. Ia nekat terus dan
akhirnya rasa sakit hebat itu menghilang. Setelah satu bulan, dia hanya merasa
seakan-akan dalam dadanya tertekan sesuatu.
Bulan ketiga
dia pergunakan untuk melatih diri dengan ilmu pukulan yang disebut Ci-hwee (Mengeluarkan
Api). Ilmu pukulan ini terdiri dari tiga jurus gerakan saja. Gerakan pertama
menghantam kedua tangan dengan jari-jari terbuka ke arah tanah di depan
kakinya, lalu gerakan kedua menghantam ke depan dan gerakan ketiga menghantam
ke atas. Semua gerakan ini dilakukan dengan pemindahan kaki kanan kiri, yang
satu di depan yang lain di belakang. Sederhana sekali akan tetapi ternyata amat
sukar dilakukannya.
Baiknya Beng
San sudah memperhatikan dengan teliti sekali dan akhirnya dia dapat juga
melakukan gerakan-gerakan ini dengan baik pula setelah selama satu bulan
berlatih siang dan malam. Tiap kali dia melakukan pukulan-pukulan dengan
jari-jari tangan terbuka, dia merasa dadanya yang tertekan agak enakan,
seakan-akan agak berkurang tekanannya.
Ia tidak
tahu bahwa hal itu disebabkan karena adanya hawa Yang-kang yang keluar dari
dalam tubuhnya. Perginya sebagian hawa ini mengurangi tekanan hawa mukjijat
yang kini berkumpul dan seolah terkurung di dadanya sehingga mengancam
pekerjaan isi dadanya.
Empat bulan
lewat ketika Beng San memberanikan diri keluar dari hutan. Dia tidak tahu di
mana batas kesempurnaan mempelajari ilmu-ilmu itu, maka dia berlaku untung-untungan
saja. Kalau nanti ketemu Hek-hwa Kui-bo dan dia diuji, dia akan mainkan
sebaik-baiknya. Andai kata dinyatakan belum sempurna, bagaimana nanti sajalah.
Selama empat
bulan dia sudah merasa seperti terhukum. Tubuhnya tidak pernah terasa enak
lagi, selalu dia diserang hawa panas yang kadang-kadang membuatnya seperti
gila. Dengan latihan-latihan itu, Hek-hwa Kui-bo sudah menambah hawa Yang-kang
di dalam tubuhnya.
Kalau dulu
tenaga Im-kang akibat serangan Koai Atong lebih kuat, sekarang setelah dia
berlatih, di dalam tubuhnya yang lebih kuat adalah tenaga Yang-kang. Maka dia
tidak lagi terserang hawa dingin, tetapi selalu kepanasan. Ia seperti seorang
yang selalu menderita demam panas, akan tetapi bukan panas biasa, melainkan
panas yang takkan tertahankan orang biasa. Dia tentu sudah mati lebih dulu jika
di badannya tidak terkandung racun dari jing-tok yang mengandung hawa Im.
Agaknya
memang nasib Beng San harus menderita hebat pada waktu kecilnya. Memang agak
aneh apa yang dia alami semua ini.
Tiga butir pil
buatan Siok Tin Cu itu sebetulnya cukup untuk membunuh nyawa tiga orang, tapi
kekuatan hawa Yang-kang dari tiga butir pil itu bahkan semuanya kini terkandung
di dalam tubuh Beng San. Seharusnya dia mati karena ini, akan tetapi siapa kira
secara kebetulan sekali dia diserang oleh Koai Atong yang berotak miring
sehingga tubuhnya kemasukan hawa Im-kang yang malah lebih kuat dari pada hawa
Yang-kang itu.
Dan
sekarang, Hek-hwa Kui-bo yang tidak tahu mengenai penyerangan Koai Atong dan
bermaksud membunuhnya dengan cara memperkuat hawa Yang dengan latihan-latihan
itu, ternyata hanya menambah hawa panas sehingga bisa mengimbangi hawa dingin
dari racun hijau. Karena itu, walau pun mukanya menjadi gosong hitam dan
dadanya seperti terbakar, biar pun keselamatan nyawanya tetap terancam, namun
Beng San masih hidup dan dapat bertahan sampai sekian lamanya!
Alangkah
girangnya hati Beng San ketika dia tidak melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo.
Sesudah keluar dari hutan itu, hatinya berdebar saking girangnya. Benar-benar dia
tidak melihat bayangan wanita itu. Akan tetapi, di samping rasa gembiranya, dia
pun merasa mendongkol sekali.
“Dasar
siluman kuntilanak jahat,” gerutunya. “Aku sudah ditipunya. Disuruh mempelajari
ilmu siluman selama berbulan-bulan dan dia ternyata tidak menjaga di sini.
Dasar bodoh, kalau tahu begini, siapa sudi berbulan-bulan menjadi monyet di
dalam hutan?”
Sambil
memaki-maki Hek-hwa Kui-bo di dalam hatinya, Beng San melanjutkan perjalanan.
Karena dia sedang berada di daerah pegunungan dan di situ tidak terlihat adanya
dusun atau orang lewat, dia lalu berjalan ke mana saja tanpa tujuan tertentu.
Akan tetapi
semua pengalamannya itu mendatangkan keinginan di dalam hatinya untuk
mempelajari ilmu silat yang betul-betul dan yang bermutu tinggi agar dia dapat
mencegah orang lain melakukan penghinaan atas dirinya. Apa bila teringat kepada
Kwa Hong, dia masih merasa mendongkol sekali.
Pada hari
ketiga, ketika dia merasa sangat haus dan dia minum air, dia menjadi terkejut
setengah mati pada saat melihat mukanya di dalam air. Aduh celaka, kenapa
mukanya menjadi hitam seperti setan? Beng San tidak percaya, lalu pindah ke air
yang lebih jernih untuk melihat mukanya sendiri. Akan tetapi tetap saja, nampak
jelas bahwa mukanya memang hitam seperti pantat kwali.
“Celaka...
ah, mukaku jadi begini...” tak terasa lagi anak ini menangis tanpa mengeluarkan
suara, hanya air matanya mengucur deras.
Setelah
memutar otak, dia mencela diri sendiri. “Ah, kenapa aku harus menangis? Kenapa
bersedih? Menilai orang bukan melihat dari warna kulit mukanya, demikianlah
kata para pujangga. Ada lagi yang bilang bahwa roman muka tidak mencerminkan
keadaan hati dan watak. Aku boleh buruk, aku boleh hitam, mengapa pusing?
Malu...? Malu kepada siapa? Huh...!”
Dan
tiba-tiba dia mendengar suara cecowetan. Ketika dia memandang, dia melihat agak
jauh, di atas pohon terdapat dua ekor lutung hitam. Sepasang binatang itu
sedang duduk dan saling mencumbu, kelihatan akur dan saling mencinta.
Beng San
tertawa, “Mukaku pun hitam seperti muka lutung. Siapa bilang mukaku jelek?
Lihat itu, bagi mereka akan jeleklah andai kata muka kawannya itu putih tidak
hitam. Hitam atau putih apakah perbedaannya? Baik dan buruk, di mana garis
pemisahnya?”
Tanpa
disengaja Beng San sudah mengeluarkan ujar-ujar dan filsafat-filsafat kuno yang
pernah dibacanya di dalam kelenteng Hok-thian-tong ketika dia masih menjadi
kacung kelenteng. Akan tetapi, biar pun ujar-ujar itu tentu saja belum dapat
dimengerti oleh anak yang baru berusia sepuluh tahun ini, sedikitnya pada saat
itu menjadi hiburan baginya, melenyapkan rasa duka dan kecewanya melihat
bayangan mukanya yang hitam seperti muka lutung. Setelah puas minum dan mencuci
muka, dia melanjutkan perjalanan lagi.
Pada suatu
pagi dia tiba di lereng sebuah gunung yang hijau. Ketika dia sedang berjalan
hati-hati sekali di jalan kecil yang amat sunyi itu, tiba-tiba dia mendengar
suara dua orang yang bercakap-cakap jelas di sebelah depannya. Ia mengangkat
muka, akan tetapi tidak melihat ada orang. Ia berjalan cepat dan tibalah dia di
sebuah jalan kecil.
Di kanan
kiri jalan itu terdapat jurang yang panjang dan curam. Dan di tempat inilah dia
mendengar suara dua orang sedang bercakap-cakap dengan jelas sekali, akan
tetapi tak kelihatan orangnya! Biar pun hari sudah terang tanah, matahari sudah
naik tinggi, namun bulu tengkuk Beng San berdiri juga saking seramnya.
Bagaimana
ada dua orang bercakap-cakap di depannya, sepertinya di kanan kirinya, akan
tetapi dia tidak melihat orangnya! Ia berdiri seperti patung dan mendengarkan
dua suara orang yang saling jawab di kanan kirinya itu.
“Phoa Ti,
kalau saja tidak keburu terjerumus di sini, sekali mengenal pukulanku ilmu
silat Pat-hong-ciang (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin), kau tentu mampus!”
terdengar suara dari sebelah kiri Beng San, suara yang terbawa angin dari kiri
tanpa kelihatan orangnya.
Segera suara
dari kanan menjawab. “Ha-ha-ha, orang she The, dari sini pun telah tercium
mulutmu yang bau. Kalau tadi aku berlaku hati-hati sedikit dan tidak sampai terjerumus
ke sini, dengan ilmu silatku Khong-ji-ciang (Ilmu Silat Hawa Kosong) yang belum
sempat aku keluarkan, kau akan mampus lebih dulu.”
Beng San
bingung sekali. Suara dari kiri terdengar kecil melengking, sedangkan yang dari
kanan besar dan parau. Suara apa lagi kalau bukan suara setan atau iblis? Apa
bila ada orangnya, masa tidak kelihatan sedangkan suaranya begitu jelas
terdengar olehnya.
Atau
jangan-jangan semacam kuntilanak yang kejam itu, cuma kali ini pria. Beng San
yang sudah mengalami hal-hal tidak enak dengan Hek-hwa Kui-bo, menjadi
ketakutan dan segera dia berlari pergi.
Tiba-tiba
dari sebelah kanan terdengar suara yang parau tadi, “Ehh siapa di atas?”
Beng San
mempercepat larinya. Mendadak dari sebelah kanannya menyambar semacam hawa yang
amat kuat dan tak tertahankan lagi tubuh Beng San tergelincir ke dalam jurang
di sebelah kiri jalan!
Tubuh anak
itu bergulingan ke bawah. Untung baginya tidak ada batu-batu di sana dan jurang
itu ternyata merupakan tanah lembek sehingga meski pun tubuhnya sakit-sakit,
dia tidak menderita luka parah.
“Ha-ha-ha!”
terdengar suara melengking tinggi tadi tertawa, kini dekat sekali. “Kau benar
lihai, Phoa Ti, dalam keadaan terluka parah masih mampu memukul roboh orang.
Akan tetapi kau akan malu kalau melihat bahwa yang kau robohkan hanya seorang
anak kecil berusia sepuluh tahunan. Ha-ha-ha-ha!”
Beng San
cepat menengok dan terlihatlah olehnya seorang yang bertubuh tinggi besar dan
bermuka merah sedang duduk bersimpuh di dasar jurang.
Benar-benar
menggelikan melihat seorang bertubuh begini besar akan tetapi suaranya luar
biasa tinggi dan kecil seperti suara perempuan. Orang itu sudah tua sekali,
mukanya penuh keriput dan agaknya terluka hebat, buktinya sukar menggerakkan
kedua kakinya.
Tiba-tiba
terdengar suara yang jelas, suara parau tadi, tanpa kelihatan orangnya sehingga
Beng San melupakan sakit-sakit di tubuhnya dan mendengarkan dengan penuh
perhatian.
“Orang she
The, tidak perlu kau mengejek. Kalau betul kau masih mempunyai ilmu silat cakar
bebek yang disebut Pat-hong-ciang itu, kau datanglah ke sini, biar aku
melihatnya.”
Orang tinggi
besar itu menjawab lantang, “Kau saja yang turun ke sini kalau memang masih
memiliki ilmu silat Khong-ji-ciang, siapa takut menghadapinya?”
Tidak
terdengar jawabannya. Sampai lama tak ada suara lagi dan Beng San hanya duduk
sambil mengurut-urut kakinya yang terasa sakit ketika dia bergulingan tadi.
Kemudian si tinggi besar itu berkata lagi.
“He, Phoa
Ti, di mana kau?”
“Di sini!”
terdengar jawaban parau.
“Kenapa
tidak turun ke sini? Kau takut padaku?”
“Muka merah,
tak perlu menjual omongan busuk. Kau saja yang ke sini, apakah kau tidak
becus?”
Kali ini si
tinggi besar yang duduk bersimpuh di dalam jurang itu tidak menjawab, sampai
lama juga. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya kepada Beng San.
Anak itu
segera menghampiri. Akan tetapi, alangkah kagetnya Beng San ketika tiba-tiba
tangannya dicengkeram oleh orang itu yang berbisik, “Kau lihat keadaannya
bagaimana?”
Sebelum Beng
San maklum apa maksudnya, tiba-tiba saja orang itu menggerakkan kedua tangannya
sambil berteriak, “He, Phoa Ti, kau terimalah anak yang kau pukul roboh tadi.”
Hampir Beng
San menjerit kaget ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas seperti
terbang cepatnya. Ternyata dia sudah dilontarkan orang sedemikian kerasnya
sehingga tubuhnya melewati jalan kecil di atas jurang tadi dan langsung
tubuhnya melayang turun ke jurang sebelah kanan jalan tanpa dia dapat
mencegahnya lagi.
Beng San
menyangka bahwa tubuhnya tentu akan hancur, maka dia menutupkan kedua matanya,
menerima nasib. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya berhenti melayang dan ketika
dia membuka matanya, ternyata dia telah ditahan oleh sebuah tangan yang amat
kuat. Ia diturunkan dan pada saat dia memandang, ternyata bahwa yang menahan
jatuhnya tadi adalah seorang laki-laki tua sekali yang bertubuh tinggi kurus.
Seperti
kakek besar tadi, kakek ini pun terluka hebat, buktinya tidak dapat
menggerakkan kedua kakinya pula, malah kakek ini hanya merebahkan diri saja di
atas dasar jurang yang penuh rumput hijau. Sekarang mengertilah Beng San bahwa
kedua orang kakek aneh ini saling bicara dari tempat masing-masing, yaitu yang
seorang di dasar jurang sebelah kiri jalan sedangkan yang kedua di dasar jurang
sebelah kanan jalan.
Benar-benar
aneh bukan main, bagaimana dari tempat sejauh ini seseorang bisa saling
bercakap-cakap dengan orang lainnya di seberang sana? Apa lagi kalau mengingat
akan pengalamannya tadi ketika dilempar dari jurang sebelah dan diterima di
jurang ini, dia lalu bergidik. Celaka, pikirnya, iblis-iblis ini kiranya tidak
kalah aneh dan hebatnya dari pada Hek-hwa Kui-bo.
Ketika kakek
itu menggerakkan tangan kanannya yang menyangga tubuh Beng San, anak ini
terguling ke atas rumput. Beng San mulai memperhatikan kakek ini. Kakek yang
amat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya. Tubuhnya kurus seperti cecak kering,
kedua kakinya tak dapat bergerak, malah tangan kirinya buntung.
Si tangan
buntung ini segera berbisik “Ehh, bocah sial. Bagaimana keadaan si tinggi besar
itu?”
Diam-diam
Beng San merasa mendongkol juga. Betapa pun lihainya dua orang aneh ini, dia merasa
sudah dipermainkan seperti sebuah bola, dilempar ke sana ke mari. Maka dia
menjawab sambil merengut. “Tak lebih buruk dari pada engkau. Dia duduk
bersimpuh tak dapat berdiri.”
Tiba-tiba si
tinggi kurus yang tangan kirinya buntung ini tertawa meledak dengan suaranya
yang parau dan keras sampai terngiang dalam telinga Beng San. “Ha-ha-ha-ha, The
Bok Nam! Kiranya pukulanku tadi membuat kau tak berdaya di dalam jurang situ.
Ha-ha-ha!”
Dari
seberang sana terdengar jawaban, “Tak usah banyak cerewet kalau anak itu sudah
mengobrol yang bukan-bukan. Kalau kau memang masih punya ilmu kepandaian,
segera datanglah ke sini, aku tidak takut!”
Mendengar
ini, si tinggi kurus yang bernama Phoa Ti itu terdiam. Tiba-tiba saja matanya
bersinar-sinar aneh ketika dia memandang Beng San.
“Bagus,”
katanya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Beng San, “Tulang dan
darahmu cukup baik. Kau bisa menjadi penguji dan penentu kalah menang antara
aku dan The Bok Nam.”
Setelah
berkata demikian dia berteriak lagi. “He, orang she The. Seorang gagah tak
perlu berpura-pura. Kau terluka tak dapat keluar dari jurang, aku pun demikian.
Akan tetapi kita masih seri, belum ada yang kalah atau menang. Sekarang ada
saksi bocah tolol ini. Mari kita adu kepandaian melalui bocah ini!”
Dari sana
sampai lama baru terdengar jawaban yang merupakan pertanyaan, “Apa pula
maksudmu?”
“Ha, kau
tolol seperti bocah ini. Aku akan ajarkan dia beberapa jurus Khong-ji-ciang,
lalu dia datang padamu, menyerangmu dengan jurus itu, hendak kulihat apakah kau
mampu memecahkannya. Demikian pula kau boleh turunkan Pat-hong-ciang, ilmu
cakar bebek itu kepadanya, untuk kupecahkan. Siapa yang tidak mampu memecahkan
sejurus serangan, dia boleh mengaku kalah disaksikan setan-setan jurang.
Bagaimana?”
Terdengar sorak
gembira dari sebelah sana.
“Bagus!
Memang betul, burung yang mau mati suaranya paling indah. Engkau pun yang sudah
hampir mampus ternyata mampu mengeluarkan kata-kata bagus. Hayo lekas, kau
turunkan ilmumu Khong-ji-ciang cakar ayam itu.”
Beng San
yang mendengar ini pula tentu saja dapat menangkap maksud mereka. Dalam
hatinya, sebetulnya dia merasa girang juga karena hendak diajari dua macam ilmu
yang pasti hebat ini. Akan tetapi karena sebetulnya keinginannya belajar silat
itu hanya karena marah kepada mereka yang sudah menghinanya, maka keinginan itu
tidak berapa besar.
Sekarang
dalam keadaan marah kepada dua orang kakek yang tadi mempermainkannya seperti
bola dan sekarang hendak menggunakan dia untuk bertempur, dia menjadi makin
dongkol. Beng San lalu berkata keras.
“Aku tidak
sudi mempelajari ilmu cakar bebek dan cakar ayam!” setelah berkata demikian,
dia hendak keluar dari jurang itu, mendaki tebingnya yang licin oleh rumput
basah.
Akan tetapi
baru naik setinggi semeter lebih, dia merasa tubuhnya bagai ditarik orang dan
tanpa dapat ditahan lagi terpelantinglah dia ke bawah. Ia menoleh, tak melihat
ada orang di dekatnya kecuali kakek buntung yang masih rebah miring, namun
jatuhnya empat lima meter dari tempatnya.
Ia mendaki
lagi, tetapi kembali terpelanting dan bahkan lebih keras dari tadi. Tiga empat
kali dia terpelanting tanpa mengetahui sebabnya. Kakek itu tertawa mengejek dan
makin panas hati Beng San.
Sekarang dia
mendaki lagi, akan tetapi mukanya menoleh memandang ke arah kakek itu. Sampai
hampir dua meter dia memanjat dan terlihatlah kakek itu menggerakkan tangan
kanannya ke arahnya dan... dia tertarik lalu terpelanting ke bawah.
Bukan main
marahnya Beng San. Dihampirinya kakek itu dan dibentaknya. “Kau orang tua
menghina anak-anak, apa tidak malu? Punya kepandaian hanya untuk mengganggu
anak kecil, apa ini bisa dibilang gagah?”
Tiba-tiba
kakek itu mengulur tangannya dan tahu-tahu leher Beng San sudah dijepitnya.
“Anak bodoh, anak setan. Kalau kau tidak mau membantu kami mengadu ilmu, kau
boleh tinggal di sini menemani aku mampus.”
Beng San
anak yang cerdik akan tetapi dia pun bandel bukan main. Diancam mati anak ini
tidak takut, malah menantang, “Kakek bau, kau mau bikin mampus aku? Hemmmm, mau
bunuh boleh bunuh, kalau kalian ini dua orang kakek bau tidak takut mampus,
apakah aku pun takut mati? Kau sudah tua tidak mencari jalan terang, tua-tua
mau memupuk dosa, rasakan saja nanti di neraka jahanam!”
Phoa Ti
tercengang dan cengkeramannya pada leher anak itu mengendur. Dua matanya
terbelalak kaget dan heran. “Apa? Kau anak masih begini kecil tidak takut mati?
Hemmm, agaknya lebih banyak kesengsaraan yang kau derita dari pada kesenangan.”
“Senang apa?
Hidupku hanya menjadi permainan orang, malah sekarang menjadi korban kegilaan dua
orang kakek yang sudah mau mati,” jawab Beng San.
Tiba-tiba
Phoa Ti tertawa bergelak, suara ketawanya begitu keras sampai bergema di atas
jurang.
“He, orang
she Phoa. Kau malah tertawa-tawa dan tidak cepat-cepat mengirim anak itu ke
sini memamerkan ilmu cakar bebekmu, apa sudah miring otakmu?”
“Ha-ha-ha,
The Bok Nam. Anak ini sama sekali tidak tolol atau gila, malah dia lebih gila
dari pada yang gila. Anak yang aneh sekali, dan kau tidak ada sepersepuluh anak
ini… he-he-he-he!”
Beng San
hanya melongo menyaksikan kelakuan yang aneh itu dan lebih lagi keherannya
ketika ia melihat kakek buntung itu tiba-tiba menangis! Di dasar hati Beng San
terpendam sifat welas asih yang amat besar, yang dulu dihidupkan oleh
pelajaran-pelajaran di dalam kelenteng oleh para pendeta Buddha. Sekarang
melihat kakek itu menangis, tanpa terasa lagi matanya menjadi merah dan dia
menyentuh lengan yang tinggal sebelah itu.
“Orang tua,
kenapa kau menangis sedih? Apa kau takut mati?”
“Sudah
berani hidup kenapa takut mati? Yang kutakuti bukan matinya, akan tetapi… ahhh,
di seberang kematian yang penuh rahasia...”
Anak sekecil
Beng San, mana tahu akan segala perasaan seperti ini? Dia hanya dapat merasa
bahwa kakek ini benar-benar amat gelisah dan berduka. Makin tebal rasa kasihan
di hatinya.
“Kakek, apa
yang dapat kulakukan untuk menolongmu? Katakanlah, barangkali aku dapat
menolong...”
Akan tetapi
Phoa Ti masih menangis terus. Beng San sudah berlutut sambil menghibur.
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya dan wajahnya memperlihatkan harapan
besar.
“Anak baik,
kau bisa menolongku! Yang membuat aku takut menghadapi kematian adalah The Bok
Nam. Dia juga terluka dan mau mati. Aku tidak ada muka bertemu dengan dia di
seberang kematian kalau aku belum bisa mengalahkannya. Maka kau tolonglah aku,
Nak, tolonglah supaya aku bisa menang dalam pertarungan ini dan mendapat muka
terang.”
Beng San
terheran-heran. Akan tetapi melihat sinar mata yang penuh permohonan itu dia
tidak tega menolak, “Baiklah akan kucoba. Tapi bagaimana caranya?”
Seketika itu
kakek itu bangkit semangatnya. Biar pun dia sudah tidak dapat bangun lagi,
namun tangan kanannya membuat gerakan-gerakan penuh gairah.
“Kau
perhatikan baik-baik. Sekarang aku akan menurunkan tiga jurus lihai dari ilmu
silatku Khong-ji-ciang. Lihat ini, dua buah jariku ini adalah gerakan-gerakan
kaki yang harus kau lakukan dalam jurus pertama.”
Kakek itu
lalu menekuk tiga jari tangannya dan mendirikan jari telunjuk dan tengah
seperti sepasang kaki. Kedua jari itu, laksana sepasang kaki bergerak-gerak
maju mundur secara teratur sekali.
“Nah, lebih
dulu kau lakukan gerakan kaki ini, jurus pertama yang disebut jurus Khong-ji
Khai-bun (Hawa Kosong Membuka Pintu).”
Karena
bersungguh-sungguh hendak menolong kakek ini, Beng San lalu memperhatikan
dengan seksama, kemudian dia berdiri dan meniru gerakan-gerakan itu. Mula-mula
tentu saja kaku dan keliru, akan tetapi dengan tekun dia mempelajari dengan
petunjuk kakek itu.
Kemudian,
setelah gerakan kakinya mulai benar, dia diberi tahu tentang gerakan tangan dan
tubuhnya. Kakek itu nampak bersemangat sekali, berkali-kali memuji, “Tulang
bersih, bakat-bakat baik...”
Pujian ini
memperbesar semangat Beng San dan membuat kakek itu tak mengenal lelah. Setelah
dapat melakukan jurus pertama dengan baik, dia mendapat petunjuk tentang cara
bernapas dalam melakukan jurus ini dan cara menyimpan hawa dalam tubuh.
Kemudian,
dia diberi pelajaran jurus kedua yang disebut Khong-ji Twi-san (Hawa Kosong
Mendorong Bukit). Jurus ketiga disebut Khong-ji Lo-hai (Hawa Kosong Mengacau
Lautan). Untuk mempelajari tiga jurus ini dengan baik mereka telah berlatih
sehari penuh.
“Phoa Ti,
mana jago mudamu?” berkali-kali suara di seberang lain bertanya.
“Orang she
Tek, ajalmu sudah dekat. Tunggulah sampai besok pagi, pasti kau beres oleh tiga
jurusku dari Khong-ji-ciang.”
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Beng San sudah diberi makan oleh Phoa Ti.
Apa makannya? Hanya tiga helai daun muda! Akan tetapi anehnya, begitu makan
daun-daun itu, Beng San merasa perutnya langsung kenyang dan tenaganya penuh,
membuat dia semakin kagum. Ternyata kakek ini membawa bekal banyak daun semacam
ini.
“Anak baik,
sekarang kau pergilah ke seberang sana dan kau boleh perlihatkan tiga jurus
penyerangan ini. Jika dia tidak mampu memecahkannya satu saja dari yang tiga
jurus ini, berarti dia kalah.”
Beng San
mengangguk dan hendak memanjat tebing. Akan tetapi tiba-tiba saja kakek itu
memegang lengannya dan berkata.
“Terlalu
lambat... terlalu lambat... bersiaplah!” sekali tangannya mendorong tubuh Beng
San melayang melewati jalan kecil dan meluncur ke dalam jurang di sebelah kiri.
“The Bok
Nam, terimalah kedatangan penguji kita.”
Ketika Beng
San merasa betapa tubuhnya ditahan dua buah tangan, dia mulai merasakan
tubuhnya ringan dan enak. Rasa panas di tubuhnya yang selalu mengganggunya
selama ini agak berkurang. Maka dia menjadi gembira dan begitu dia dilepaskan
dan berdiri di depan kakek tinggi besar yang duduk bersimpuh itu, dia berkata.
“Kakek yang
baik, apa betul kata kakek Phoa Ti itu bahwa kau sudah hampir tewas?”
Kakek tinggi
besar yang suaranya melengking itu mendelikkan matanya dan membentak, “Kalau
betul begitu, bukan aku sendiri yang mati, dia pun sudah hampir mati!”
“Kau betul,
karena itu aku hendak mengajukan sebuah usul padamu?”
“Hemmm, apa
maksudmu?”
“Kalau
kalian berdua sudah mendekati mati, kenapa tidak melakukan perbuatan baik yang terakhir?
Kakek Phoa Ti itu menghendaki supaya kau mengaku kalah. Lakukanlah itu, kau
mengalah saja, mengaku kalah dan membiarkan aku keluar dan pergi dari sini.
Bukankah dengan begitu sedikit banyak kau telah meringankan dosamu?”
Memang aneh
mendengar seorang anak berusia sepuluh tahun bicara seperti ini. Akan tetapi
tidak aneh lagi kalau diketahui bahwa dia besar di dalam kelenteng, dari usia
lima sampai sembilan tahun.
Tentu saja
kakek The Bok Nam yang tak mengetahui asal usul anak ini menjadi melongo
mendengar ucapan ini. Namun hanya sebentar dia tertegun, lalu dia tertawa
melengking dan tahu-tahu dia telah mencengkeram baju Beng San di bagian dada.
“Apa katamu?
Jangan mencoba untuk membujuk dan menipuku. Aku masih belum mau mati sebelum
menundukkan kakek tua bangka she Phoa itu! Hayo cepat kau keluarkan tiga jurus
ilmu cakar bebek itu, hendak kulihat bagaimana buruknya!”
Mendongkol
juga hati Beng San. Oleh karena kakek tinggi besar ini memperlihatkan sikap
kasar, berbeda dengan Phoa Ti yang menangis ketika minta bantuannya, sekaligus
dia lalu berpihak kepada kakek Phoa Ti.
Dengan penuh
semangat dia lalu mengeluarkan jurus-jurus itu satu demi satu dengan gerakan
sebaik mungkin. Anehnya, kali ini tiap kali bergerak dia merasa dadanya tidak
begitu tertekan lagi oleh gangguan hawa panas di tubuhnya yang timbul setelah
dahulu dia melatih diri selama tiga bulan dengan ilmu silat yang dia pelajari
dari Hek-hwa Kui-bo. Maka dia menjadi makin bersemangat dan melanjutkan tiga
jurus itu sampai habis.
Setelah
selesai mainkan tiga jurus yang dia latih sehari semalam itu, dia lalu berkata
dengan wajah puas karena melihat muka The Bok Nam nampak kaget dan kagum.
“Ha, mana
bisa kau memecahkan tiga jurus serangan lihai dari kakek Phoa Ti. Sudahlah,
lebih baik mengaku kalah.”
Perlu
diketahui bahwa gerakan tiga jurus ini memang hebat. Dan anehnya, ketika
mainkan tiga jurus ilmu silat ini, Beng San hanya menggunakan sebelah tangan
saja, yaitu tangan kanan sedangkan tangan kirinya dia selipkan di antara tali
pinggangnya. Hal ini adalah karena yang mengajarkan ilmu ini hanya mempunyai
sebelah tangan kanan. Karena itu, ketika kemarin melatih ilmu silat ini Beng
San selalu salah gerak dan canggung karena tidak boleh menggunakan tangan
kirinya.
Akan tetapi
Phoa Ti yang memberi nasehat supaya dia menyelipkan tangan kirinya di ikat
pinggangnya supaya tidak menjadi pengganggu kesempurnaan gerakannya. Justru
tidak adanya tangan kiri inilah yang menjadi inti kelihaian ilmu silat Phoa Ti,
karena orang atau lawan dibikin bingung oleh tangan kanan yang bergerak seperti
dua tangan, kadang kala seperti tangan kanan akan tetapi ada kalanya
menggantikan kedudukan tangan kiri. Dan ini pula mengapa diberi nama
Khong-ji-ciang (ilmu silat hawa kosong), karena memang di dalam ‘kekosongan’
tangan kiri itulah terletak kelihaiannya.
Sampai
beberapa lamanya The Bok Nam tak berkata apa-apa. Kedua matanya mendelik tanpa
berkedip tetapi otaknya diputar-putar. Dia terus mencari kelemahan dalam tiga
jurus tadi. Akhirnya dia tertawa melengking.
“Ho-ho-ho,
tua bangka Phoa Ti. Segala ilmu cakar bebek ini mana bisa digunakan untuk
menggertakku? Mudah cara memecahkannya. Nah, kau lihat baik-baik bocah tolol.
Jurus pertama kuhancurkan dengan gerakan ini!”
Kakek itu
menggerakkan tangannya, tepat seperti menghadapi gerak serangan pertama dari
Khong-ji-ciang, malah sambil membalas dengan gerak memunahkan dan mematikan.
“Kau
mengerti?”
Tentu saja
Beng San tidak mengerti! Ia menggeleng dan matanya yang lebar itu menjadi makin
lebar.
“Ahh, memang
kau tolol. Hayo perhatikan baik-baik dan ikuti kedua tanganku.”
“Mana
mungkin bisa sambil duduk bersimpuh menghadapi serangan orang hanya dengan
menggerak-gerakkan kedua tangan?” Beng San membantah.
“Tolol!”
“Tolol,
tolol, kau memaki siapa? Enak saja memaki anak orang!” Beng San marah-marah.
Mendadak
kakek itu mencengkeram pundaknya. Beng San merasa seakan-akan tulang pundaknya
hendak remuk dan sakit menembus sampai ke jantungnya. Akan tetapi dia
mempertahankan dan berkata mengejek.
“Sekali kau
bunuh aku, berarti kau kalah oleh kakek Phoa Ti dan karena kalah maka kau bunuh
aku.”
Cengkeraman
itu dilepas lagi. “Memang kau tolol. Tentu saja disertai gerakan kedua kaki.
Nah, lihat garis-garis ini!”
Dengan
telunjuknya The Bok Nam menggurat-gurat tanah sambil menerangkan letak dua kaki
dan gerakan-gerakannya dalam jurus itu.
“Jurus
pertama untuk melawan jurus pertama dari ilmu silat cakar bebek ini namanya...”
“Jurus cakar
ayam kurus!” sambung Beng San mengejek.
“Namanya
jurus Nam-hong Jip-te (Angin Selatan Masuk Bumi),” kata The Bok Nam tanpa
menghiraukan ejekan itu. “Hayo kau pelajari baik-baik dan nanti perlihatkan
kepada kakek mau mampus she Phoa, suruh dia memecahkannya kembali.”
Demikianlah,
terpaksa sekali dan dengan hati mendongkol Beng San mulai mempelajari jurus
Nam-hong Jip-te itu. Setelah hafal betul, dia lalu disuruh mempelajari dan
melatih gerakan jurus kedua yang diberi nama Tung-hong Tong-hwa (Angin Timur
Menggetarkan Bunga) dan jurus ketiga See-hong Cam-liong (Angin Barat Membunuh
Naga).
Satu hal
yang membuat Beng San merasa gembira dan bersemangat adalah betapa
gerakan-gerakan ini pun membuat rasa sakit di dadanya berkurang banyak dan kini
dia mendapat kenyataan betapa makin lama serasa makin mudah melatih dengan
jurus-jurus yang sukar ini. Seperti halnya Phoa Ti, kakek tinggi besar ini pun
kagum sekali melihat cara Beng San melatih diri.
“Bocah
tolol, tulangmu bersih, bakatmu besar, sayang otakmu tolol!”
Tiga macam
jurus yang memecahkan sekaligus membalas tiga jurus serangan Phoa Ti ini juga
makan waktu sehari penuh dan ditambah setengah malam barulah Beng San dapat
menggerakkan dengan baik.
“Aku lapar!”
Menjelang
tengah malam dia berhenti dan merebahkan diri di atas tanah, perutnya perih dan
lapar. Dia tidak minta makanan, seperti biasa dia tidak sudi minta-minta.
Celakanya, tidak seperti kakek Phoa Ti, kakek tinggi besar ini diam saja.
Juga Beng
San tidak melihat kakek ini makan apa-apa, maka dia pun diam saja menahan
lapar.
Pada
keesokan harinya, yaitu pada hari ketiga, kembali dia dilemparkan keluar oleh
The Bok Nam dan diterima oleh kakek Phoa Ti.
“Bagaimana....?”
Kakek kurus itu bertanya penuh gairah. “Bisakah dia memecahkan tiga
seranganku?”
Beng San
hanya mengangguk, tubuhnya lemas.
“Kenapa
kau?”
“Lapar...,”
jawab Beng San menelan ludahnya.
“Manusia
tidak punya jantung si tua bangka itu!” Phoa Ti memaki. “Masa menyuruh anak
berlatih silat tanpa diberi makan?”
“Dia sendiri
pun tidak makan,” Beng San membela, lalu menerima beberapa helai daun dan
memakannya. Setelah kenyang dia lalu berkata. “Kakek The Bok Nam itu melawan
tiga jurusmu dengan tiga jurus pula yang sekaligus memecahkan jurusmu dan berbalik
menjadi serangan tiga kali.”
Phoa Ti
mengerutkan kening. “Begitu cepat?” ia menggeleng-geleng kepala tidak percaya.
“Coba kau mainkan jurus-kurusnya.”
Beng San
lalu menggerakkan tiga jurus yang baru dia pelajari itu dengan gerakan-gerakan
yang sudah cepat dan baik sekali, malah tiap kali dia melakukan gerakan-gerakan
itu dia merasa tubuhnya ringan dan enak.
Sesudah dia
selesai bersilat dan duduk di atas rumput, dia melihat Phoa Ti berkali-kali
menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Hebat...,
hebat tua bangka itu...”
Sampai
matahari sudah naik tinggi, Phoa Ti masih duduk termenung saja dan berkali-kali
menarik napas panjang.
“Bagaimanakah?
Apakah kau tidak bisa memecahkan tiga serangannya?” Beng San yang merasa
kasihan bertanya.
Melihat
keadaan kakek ini seperti terdesak, timbul keinginannya hendak membantu, maka
dia juga mencurahkan pikiran dan ingatannya, menghafal lagi enam macam jurus
yang dia pelajari dari dua orang kakek itu. Namun, karena dia tidak mempunyai
kepandaian dasar, tentu saja dia tidak melihat bagaimana tiga jurus kakek Phoa
Ti itu sampai dikalahkan oleh tiga jurus kakek The Bok Nam.
Menjelang
senja, setelah berkali-kali terdengar pertanyaan penuh ejekan, barulah Phoa Ti
sadar dari lamunannya dan nampak harapan bersinar pada mukanya.
“Dapat…!
Dapat olehku sekarang...!” katanya girang.
Cepat-cepat
dia memberi pelajaran tiga jurus ilmu silat lagi kepada Beng San yang sudah
siap menanti.
Bukan main
girangnya hati Beng San dan kagumnya hati Phoa Ti ketika kali ini, hanya dalam
waktu setengah malam saja Beng San sudah dapat mainkan tiga jurus ini dengan
baik! Anak ini ternyata memang memiliki bakat luar biasa sehingga kaki
tangannya lincah dan tepat sekali melakukan segala gerakan ilmu silat.
“Besok
pagi-pagi kau sudah boleh mendatangi kakek The,” kata Phoa Ti girang.
“Nanti dulu,
kakek Phoa Ti yang baik. Aku sudah berjanji membantumu, dan aku sudah menuruti
segala kehendak kalian dua orang kekek tua. Akan tetapi, sudah sepatutnya kalau
aku mendengar pula apa sebabnya maka kalian bermusuhan, bahkan di tepi lubang
kubur masih bertanding ilmu?”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Lekas kau berlutut, hanya sebagai muridku kau boleh
mendengar ini. Lekas sebelum berubah lagi pendirianku.”
Karena
merasa suka kepada kakek ini, Beng San tidak keberatan untuk menjadi murid,
maka dia lalu memberi hormat. “Teecu Beng San, mulai saat ini menjadi murid
suhu Phoa Ti,” katanya.
Agaknya
kakek itu tidak begitu menaruh perhatian, buktinya dia tidak heran mendengar
anak ini tidak menyebutkan she (nama keturunan). Lalu dia menceritakan
keadaannya dan keadaan The Bok Nam yang sampai mati tidak mau mengalah
terhadapnya itu.
“Aku dan
kakek The Bok Nam itu sebelumnya dahulu adalah dua sekawan yang sangat karib
dan kami berdua di dunia kang-ouw pada dua puluhan tahun yang lalu terkenal
dengan julukan Thian-te Siang-hiap (Sepasang Pendekar Langit dan Bumi),”
demikian kakek Phoa Ti mulai dengan ceritanya. Lalu ia melanjutkan ceritanya
seperti berikut….
Dua orang
sekawan ini memiliki kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat. The Bok Nam
adalah seorang tokoh dari selatan, sudah mempelajari segala macam ilmu silat
selatan, sebaliknya Phoa Ti adalah ahli silat dari utara yang juga sudah
mempelajari seluruh ilmu silat utara.
Setelah
keduanya bertemu dan menjadi sahabat yang amat karib, keduanya lalu bertukar
ilmu silat, saling mengajar sehingga keduanya akhirnya menjadi sepasang jago
silat yang jarang tandingannya di dunia kang-ouw. Karena kedua orang ini tukar
menukar ilmu silat, maka dalam hal kepandaian mereka dapat dikatakan setingkat.
Pada masa
mereka masih jaya, di dunia kang-ouw tak ada orang yang berani menentang
Thian-te Siang-hiap. Tentu saja ada kecualinya, yaitu tokoh-tokoh besar ilmu
silat yang jarang muncul di dunia kang-ouw yang pada waktu itu sampai sekarang
di kenal sebagai empat datuk persilatan dari barat, timur, utara dan selatan.
Mereka ini
adalah Hek-hwa Kui-bo sebagai siluman dari daerah selatan. Dari utara adalah
Siauw-ong-kwi (Setan Raja Kecil) yang sangat jarang dilihat manusia lain.
Jagoan nomor satu dari timur adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, yang seperti
julukannya Tai-lek-sin (Malaikat Geledek) merupakan tokoh yang ditakuti. Ada
pun orang keempat sebagai raja tokoh barat adalah Song-bun-kwi (Setan
Berkabung) yang seperti juga yang lain kecuali Swi Lek Hosiang, tidak diketahui
nama aslinya.
Empat orang
ini semenjak puluhan tahun tidak pernah memasuki dunia ramai. Akan tetapi harus
diakui bahwa di antara tokoh-tokoh besar persilatan, belum pernah ada yang
berani mengganggu mereka dan mereka selalu masih dianggap sebagai empat tokoh
besar yang tak terlawan.
Barulah pada
dua puluh tahun yang lalu, empat orang tokoh besar ini keluar dari tempat
pertapaan atau tempat persembunyian mereka untuk memperebutkan sebuah kitab
yang berisi pelajaran ilmu pedang peninggalan dari guru besar Bu Pun Su (Tiada
Kepandaian) Lu Kwan Cu, si pendekar sakti pada jaman lima ratus tahun yang
lalu.
Pendekar
sakti Bu Pun Su ini adalah pewaris asli dari ilmu silat yang tiada
bandingannya, yaitu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Pada lima ratus tahun yang
lalu, pendekar sakti ini sebelum meninggal dunia sudah meninggalkan sebuah
kitab ilmu pedang yang bernama Im-yang Sin-kiam-sut. Kitab ini tak pernah
terjatuh ke tangan orang lain karena disimpan di dalam sebuah goa dalam bukit
yang tersembunyi.
Setelah
bukit itu longsor pada dua puluhan tahun yang lalu, barulah batu-batu besar
penutup goa itu ikut runtuh ke bawah dan tampak goanya. Seorang penggembala
domba memasuki goa itu dan mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tadi tanpa
mengerti apa isi kitab dan apa pula gunanya.
Akhirnya,
secara kebetulan sekali seorang jago silat dari golongan penjahat mendapatkan
kitab ini. Kepandaiannya masih terlampau rendah untuk dapat mempelajari ilmu
pedang sakti ini, akan tetapi Lui Kok, jago silat yang sombong ini, membual dan
memamerkan penemuannya itu di dunia kang-ouw. Hal ini sama dengan mencari
penyakit sendiri bagi Lui Kok.
Mulailah
para jago silat memperebutkan kitab ini. Hal ini tidaklah aneh. Siapakah di
antara para jago silat yang tidak pernah mendengar nama besar pendekar sakti Bu
Pun Su Lu Kwan Cu?
Bahkan empat
tokoh besar dari timur, barat, utara dan selatan itu pun sampai keluar dari
tempat persembunyian mereka ketika mereka mendengar bahwa sudah ditemukan kitab
pelajaran ilmu pedang dari Bu Pun Su. Padahal urusan besar apa pun juga yang
terjadi di dunia kang-ouw, tak mungkin akan menarik hati empat tokoh besar itu.
Akan tetapi
kedatangan empat besar ini terlambat. Kitab di tangan Lui Kok telah dirampas
orang lain dan Lui Kok sudah terbunuh. Tidak seorang pun tahu siapa pembunuh
Lui Kok dan siapa yang merampas kitab itu. Dengan kecewa empat besar itu
kembali ke tempat masing-masing, tentu saja selama itu mereka selalu
mendengar-dengar kalau ada orang muncul dengan kitab yang ingin mereka miliki
itu.
Siapakah
pembunuh Lui Kok? Bukan lain orang adalah Thian-te Siang-hiap, dua sekawan
itulah. Kitab itu mereka rampas setelah Lui Kok mereka bunuh. Kebetulan sekali
kitab itu terdiri dari dua jilid, yaitu bagian Im-sin-kiam dan bagian
Yang-sin-kiam.
Karena tahu
bahwa empat besar yang sangat mereka takuti itu juga sedang mencari-cari kitab
peninggalan Bu Pun Su, mereka lalu membagi kitab itu menjadi dua bagian,
seorang memegang sejilid. Dan selama ini mereka diam saja, tak pernah
mengeluarkan kitab-kitab itu.
Memang sudah
menjadi watak setiap orang manusia di dunia ini, selalu merasa berat dan sayang
pada diri sendiri, tidak mau kalah dan mengharapkan bahwa dirinya akan menjadi
orang yang paling pandai, paling mulia, dan sebagainya.
Demikian
pula watak ini juga dimiliki oleh The Bok Nam dan Phoa Ti. Diam diam mereka
mempelajari isi kitab, The Bok Nam mempelajari bagian yang disimpannya yaitu
bagian Yang-sin-kiam, sedangkan Phoa Ti mempelajari Im-sin-kiam.
Sampai
bertahun-tahun mereka mempelajari kitab masing-masing, akan tetapi alangkah
kecewa mereka bahwa di antara dua kitab itu ada hubungannya yang amat dekat.
Hanya mengetahui Yang-sin-kiam saja tanpa mempelajari Im-sin-kiam, tidak akan
dapat mereka memperoleh inti sari dari pelajaran Im-yang Sin-kiam-sut yang
hebat itu.
Memang betul
bahwa dari kitab-kitab itu masing-masing telah memperoleh kemajuan yang pesat
sekali dalam ilmu silat mereka. Akan tetapi, kepandaian Im-yang Sin-kiam sut
yang mereka inginkan itu tidak dapat mereka pelajari tanpa kitab yang satu
lagi. Demikianlah, saat itu mulai timbul persaingan di antara mereka yang
tadinya menjadi sahabat karib.
Hal ini pun
sudah menjadi watak manusia. Banyak sudah peristiwa dalam hidup terjadi, di
mana dua orang yang tadinya bersahabat karib, kemudian persahabatan mereka
dapat menjadi retak oleh karena perebutan harta, kedudukan, kepandaian mau pun
cinta kasih. Padahal semua itu hanyalah merupakan akibat, akibat dari sifat
ingin senang sendiri dan ingin menang sendiri. Pendeknya sifat egoistis yang
menempel pada diri setiap manusia.
Mula-mula
Phoa Ti yang mendatangi sahabatnya dan minta pinjam kitab. Akan tetapi The Bok
Nam tidak mau memberikan, hanya mau kalau kitab di tangan Phoa Ti itu diberikan
dulu kepadanya untuk dipinjam, baru sesudah itu dia akan meminjamkan
kitabnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment