Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 08
Sudah amat
lama kita meninggalkan Kwa Hong, gadis cilik putera tunggal Kwa Tin Siong,
bocah mungil yang lincah gembira itu. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Kwa Hong diantar oleh Koai Atong menuju ke Hoa-san-pai menyusul ayahnya.
Biar pun
usia Koai Atong sudah sebaya dengan Kwa Tin Siong, kurang lebih empat puluh
tahun, namun orang ini memang tidak normal jiwanya, dan wataknya kadang-kadang
atau sering kali seperti seorang kanak-kanak sebaya Kwa Hong.
Oleh karena
wataknya inilah maka Kwa Hong merasa amat senang melakukan perjalanan bersama
seorang teman yang cocok dan baik lagi lucu. Di samping ini, juga kelihaian
Koai Atong merupakan jaminan bagi keselamatannya.
Seperti juga
di partai-partai persilatan besar seperti Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Siauw-lim-pai
dan lain-lain, juga puncak Hoa-san ini merupakan pusat Hoa-san-pai yang
ditinggali oleh banyak anak murid Hoa-san-pai. Mereka adalah tosu-tosu yang
selain mempelajari ilmu silat sekedarnya, juga terutama sekali mempelajari ilmu
kebatinan yang diturunkan oleh Nabi Locu. Di bawah bimbingan Lian Bu Tojin
ketua Hoa-san-pai, para tosu ini rata-rata memiliki kesabaran besar dan bisa
menjaga nama baik Hoa-san-pai sebagai orang-orang beribadat.
Kedatangan
Kwa Hong menggirangkan para tosu yang menjaga di luar. Mereka ini tentu saja
sudah mengenal baik puteri tunggal Kwa Tin Siong yang sering mengajak anaknya
mengunjungi Hoa-san. Akan tetapi para tosu ini pun terheran-heran melihat orang
yang datang bersama Kwa Hong, seorang laki-laki tinggi besar berusia empat
puluh tahun akan tetapi cengar-cengir dan ikut berlari-larian di samping Kwa
Hong yang seorang anak kecil!
"Supek
(Uwa Guru) sekalian! Aku datang menyusul ayah. Di mana ayah dan bibi
guru?" Datang-datang Kwa Hong berteriak-teriak kepada para tosu itu.
Tiga orang
tua menghampiri Kwa Hong sambil tersenyum, "Ayahmu dan bibi gurumu tidak
berada di sini, belum kembali. Lebih baik segera pergi menghadap kakek gurumu,
Hong Hong." Para tosu itu biasa memanggil Kwa Hong dengan sebutan Hong
Hong dan mereka amat menyayang bocah yang mungil dan selalu gembira ini.
Memang, di
antara para cucu murid Lian Bu Tojin, hanya Kwa Hong yang paling sering berdiam
di puncak itu karena dia amat dimanja oleh ayahnya dan sering diajak ikut pergi
mengembara bersama ayahnya. Kwa Hong berlari sambil tertawa-tawa hendak
memasuki bangunan besar berbentuk kelenteng untuk menghadap sukong-nya (kakek
gurunya).
"Enci
Hong, jangan tinggalkan aku! Aku ikut!" Koai Atong juga lari mengejar.
"Hong
Hong, kenapa kau bawa-bawa orang tolol ini? Ehh, orang gila, jangan kurang ajar
kau. Tidak boleh masuk!" Tiga orang tosu itu tentu saja hendak melarang
Koai Atong yang seenaknya saja hendak memasuki kelenteng itu. Mereka melangkah
maju menghadang dan membentangkan kedua lengan menghalanginya.
"Aku
mau ikut Enci Hong... melihat-lihat kelenteng!" Koai Atong membantah dan
lari terus.
Tiga orang
tosu itu menggerakkan tangan untuk memegangnya. Koai Atong bergerak aneh dan...
tahu-tahu dia telah dapat menyelinap masuk, lolos dari tangkapan tiga orang
tosu itu.
Tentu saja
tiga orang tosu ini saling pandang dengan mulut melongo. Mereka tidak dapat
mengikuti gerakan Koai Atong, tidak tahu bagaimana orang itu dapat meluputkan
diri dari cengkeraman tiga orang dan tahu-tahu sudah menyelonong masuk. Dari
heran mereka menjadi malu dan marah.
"Otak
miring, perlahan jalan. Kau tidak boleh masuk!" bentak mereka sambil lari
mengejar.
Sekarang
mereka mengambil keputusan untuk tidak bersikap lemah lagi, dan kalau perlu
orang gila itu harus dipukul. Akan tetapi ketika mereka maju untuk mencengkeram
dan memukul, tanpa menoleh Koai Atong menggerakkan kedua lengannya ke arah
belakang. Sekaligus dia menangkis tangan tiga orang tosu itu dan... tiga orang
tosu itu terjengkang dan roboh!
Hal ini
terlihat oleh beberapa orang tosu lain. Mereka menjadi marah dan bersama tiga
orang tosu pertama yang sudah bangun lagi, sekarang ada tujuh orang tosu
mengejar Koai Atong dengan marah-marah. Baru tosu-tosu ini serentak berhenti
mengejar ketika mendengar suara halus dari dalam kelenteng.
"Jangan
ganggu dia. Biarkan Koai Atong masuk ke dalam!"
Itulah suara
Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Tentu saja para tosu itu sama sekali tidak
berani membantah, apa lagi sesudah mendengar bahwa orang tua yang seperti
berotak miring itu adalah Koai Atong, seorang kang-ouw yang namanya sudah
pernah mereka dengar sebagai seorang yang berilmu tinggi akan tetapi yang
berwatak bagaikan bocah! Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil
menghela napas ketika Koai Atong yang mendengar suara Lian Bu Tojin itu kini
menoleh kepada mereka, menyeringai dan meleletkan lidah seperti seorang anak
nakal mengejek anak-anak lain!
Satu-satunya
orang yang agak ditakuti Kwa Hong adalah Lian Bu Tojin. Kakek gurunya ini orangnya
sabar sekali, bicaranya halus dan tidak pernah bersikap galak. Akan tetapi bagi
Kwa Hong, pandang mata kakek gurunya itu amat tajam dan langsung menjenguk isi
hati orang, kadang-kadang berkilat dan membuat hatinya mengkeret.
Maka
sekarang ia berlutut dengan hormat di depan kakek gurunya yang duduk bersila di
atas lantai bertilam kasur tipis. Koai Atong yang memasuki ruangan itu sambil
celingukan dan pringas-pringis, setelah melihat kakek yang berjenggot panjang
itu, segera pula turut menjatuhkan diri berlutut di sebelah Kwa Hong.
Lian Bu
Tojin mengelus-elus jenggotnya yang panjang, tubuhnya yang tinggi dan kurus itu
duduk bersila tegak, tongkat bambunya yang membuat namanya amat terkenal itu
terletak di sebelah kirinya. Bibirnya tersenyum dan dia mengangguk-angguk
senang.
"Bagus,
Hong Hong, kau sudah datang. Ehh, Koai Atong, terima kasih atas jerih payahmu
mengantar dia ke sini. Bagaimana dengan gurumu?"
Koai Atong
mengangkat mukanya memandang. "Suhu... entah di mana sekarang. Teecu mohon
Totiang suka mintakan maaf kepada suhu kalau kelak suhu marah dan menghajar
teecu. Tidak mestinya teecu sampai ke Hoa-san."
Dengan sabar
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Tentu saja, kau tidak perlu khawatir.
Gurumu Giam Kong Hwesio tak akan marah apa bila dia tahu bahwa kau mengantar
cucu muridku ke sini. Kalau kau kembali dan bertemu padanya, harap kau
sampaikan salamku kepadanya."
Koai Atong
hanya mengangguk-angguk.
Kwa Hong
ingin sekali bertanya tentang ayahnya kepada kakek gurunya itu, akan tetapi di
depan kakek itu, entah mengapa, mulutnya sukar sekali dibuka. Tetapi kakek yang
sudah kenyang makan asam garam penghidupan itu, sekali pandang saja telah dapat
menduga apa yang dipikirkan Kwa Hong.
"Hong
Hong, ayahmu bersama kedua susiok dan sukouw-mu pergi turun gunung. Kurasa
tidak lama lagi, dalam beberapa hari ini mereka akan datang. Di belakang sana
ada tiga orang saudara-saudaramu, anak-anak dari kedua susiok-mu. Kau pergilah
ke sana dan bermain dengan mereka."
Wajah Kwa
Hong tiba-tiba berseri gembira. "Enci Bwee di situ?"
Ketika kakek
itu mengangguk. Kwa Hong lalu bangkit dan lari ke belakang melalui pintu
samping.
Koai Atong
yang masih berlutut, memandang ke arah larinya Kwa Hong, kemudian ia berkata.
"Totiang, perkenankan teecu bermain-main di sini selama beberapa hari
dengan Enci Hong."
Lian Bu
Tojin tersenyum, akan tetapi suaranya tegas ketika berkata. "Atong, kau
boleh bermain-main dengan anak-anak itu di sini selama tiga hari. Tak boleh
lebih dari tiga hari. Suhu-mu tentu akan menanti-nanti kembalimu."
Sambil
mengangguk-angguk Koai Atong lalu berlari gembira mengejar Kwa Hong yang pergi
menuju ke taman bunga di belakang kelenteng. Setibanya di taman bunga yang luas
dan indah itu, Koai Atong melihat Kwa Hong sedang bercakap-cakap gembira dengan
tiga orang anak lain, yaitu dua orang anak laki-laki yang tampan dan seorang
anak perempuan yang cantik seperti Kwa Hong.
Biar pun Kwa
Hong tampak yang paling muda di antara mereka, namun jelas bahwa tiga orang
anak-anak lain itu mengagumi dan menghormatnya, terlihat dari cara mereka itu
mendengarkan kata-kata Kwa Hong yang sedang menyombongkan semua pengalaman
dirinya yang hebat-hebat, tentu saja dengan tambahan di sana-sini, agar lebih
seram dan menarik.
Seperti kita
telah ketahui, tiga orang anak itu bukan lain adalah Thio Ki dan Thio Bwee,
putera-puteri Thio Wan It, dan yang seorang lagi adalah Kui Lok putera tunggal
Kui Teng. Tiga orang anak itu masih berada di Hoa-san, mereka menanti orang tua
mereka sambil memperdalam ilmu silat di bawah asuhan Lian Bu Tojin sendiri.
Oleh karena Kwa Hong adalah puteri dari orang pertama dari Hoa-san Sie-eng, apa
lagi karena memang Kwa Hong lebih sering dan lebih banyak merantau dari pada
mereka, ditambah lagi sifat yang lincah gembira, membuat tiga orang anak itu
amat mengagumi Kwa Hong.
Tiba-tiba
Kui Lok menudingkan telunjuknya ke arah seorang yang berlari-lari memasuki
taman. "Ehh, dari mana datangnya orang gila?"
Semua anak
menoleh dan melihat seorang laki-laki tinggi besar berlari datang sambil
tertawa-tawa. Pakaian dan sepatu laki-laki tinggi besar ini berkembang-kembang
seperti yang biasa dipakai wanita. Tentu saja dia ini adalah Koai Atong yang
sangat gembira melihat taman bunga begitu indah dan di situ terdapat banyak
teman bermain pula.
Kwa Hong
tertawa. "Dia bukan orang gila. Dia itulah Koai Atong yang baru saja aku
ceritakan tadi. Dia lihai bukan main, orangnya lucu dan pandai bermain-main.
He, Koai Atong, ke sinilah. Banyak teman di sini!"
Sambil
berloncat-loncatan Koai Atong mempercepat larinya, congklang seperti seekor
kuda besar. "Wah, Enci Hong. Aku senang di sini, banyak bunga indah. Tosu
tua itu sudah memberi ijin kepadaku untuk tinggal di sini selama tiga hari.
Hore, kita bisa bermain-main sepuasnya!"
Thio Ki dan
Kui Lok memandang Koai Atong dengan kening berkerut, sedangkan Thio Bwee
memandang orang aneh itu dengan perasaan ngeri dan jijik. Bagaimana mereka bisa
bermain-main dengan seorang gila seperti ini?
Tanpa
mempedulikan sikap ketiga orang anak yang lain itu, Kwa Hong berkata gembira
kepada Koai Atong, "Eh, Atong, kau berkenalan dulu dengan teman-teman ini
yang semua adalah orang-orang sendiri."
Dia lalu
menyebut nama ketiga orang anak itu seorang demi seorang. Dengan sepasang
matanya yang berputaran, Koai Atong memandang tiga orang anak itu seorang demi
seorang. Thio Bwee sampai melangkah mundur setindak saking ngerinya.
"Masa
orang tua bermain-main dengan anak-anak?" Thio Ki mencela sambil memandang
tajam kepada Koai Atong. Dia tidak percaya kepada orang tinggi besar ini yang
menurut pandangannya tentu bukan orang baik-baik.
"Benar,
Ki-ko (Kakak Ki). Aku pun tidak sudi bermain-main dengan dia. Ihhh, kakek-kakek
mau bermain dengan anak kecil!" Thio Bwee memperkuat pendapat kakaknya.
Akan tetapi
Kui Lok mendadak berkata sambil memandang Kwa Hong, "Kalau Adik Hong sudah
menjadi temannya, mengapa kita tidak? Koai Atong, aku juga suka bermain-main
denganmu, sama seperti Adik Hong."
Thio Bwee
menoleh kepada Kui Lok. Sepasang matanya seperti berapi. Biasanya anak ini
pendiam, akan tetapi entah mengapa, kini agaknya dia marah sekali kepada Kui
Lok.
"Kau
memang selalu lain dari pada orang lain. Tidak hanya tangan, juga
pikiranmu!"
Wajah Kui
Lok menjadi merah mendengar sindiran ini. la maklum bahwa Thio Bwee tadi
menyindir tangannya yang kidal.
Kwa Hong
tertawa, sama sekali tidak marah karena temannya dicela. "Dulu pun aku
tidak suka, akan tetapi setelah melihat betapa lihainya Koai Atong, dan betapa
dia baik hati dan penurut, aku lalu menjadi suka padanya. Hemmm, kalian ini
bertiga menghadapi tangan kirinya saja tak akan mampu mengalahkannya. Dia lihai
sekali, mungkin tidak kalah oleh ayah kalian."
"Bohong..,..!"
seru Thio Bwee marah.
"Aku
tidak percaya...!" kata Thio Ki penasaran.
Kui Lok juga
terpukul oleh ucapan Kwa Hong itu. la ragu-ragu, mengerutkan kening dan
menggeleng-geleng kepala. "Ahh, agaknya tak mungkin..." akhirnya dia
berkata.
"Kalian
tidak percaya? Kurasa, dua orang ayah kalian maju bersama masih tidak mampu
melawan Koai Atong. Kalian tahu? Dia pernah menolong ayah dan bibi guru. Hebat
sekali. Penjahat-penjahat lihai dia kalahkan hanya dengan memutar-mutar tangan
kirinya seperti ini..."
Dengan
lincah dan lucu Kwa Hong lalu memutar-mutar tangan kiri beberapa lama sambil
menggigit bibir, kemudian sambil berseru, "mati...!" tangan kirinya
itu mendorong ke depan ke arah batang pohon besar yang tumbuh di situ. Beberapa
helai daun pohon gugur dari tangkainya.
"Ahh,
Enci Hong, kurang tenaga... kurang tenaga...! Gerakanmu sudah cukup indah, tapi
pukulan itu belum mengandung tenaga. Lihat begini Iho!"
Koai Atong
lalu memutar-mutar tangan kirinya seperti yang dilakukan Kwa Hong barusan,
menggerakkan tangan itu perlahan ke depan, ke arah pohon yang tadi. Hebat
sekali akibatnya. Pohon yang jaraknya antara dua meter dari tempat dia berdiri,
tidak kelihatan goyang akan tetapi tiba-tiba semua daunnya rontok dari atas
seperti hujan. Ketika semua anak memandang, ternyata bahwa pohon itu tiba-tiba
menjadi gundul tak berdaun lagi!
Kwa Hong
tersenyum girang dan bangga ketika melihat betapa Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui
Lok memandang dengan muka pucat. Bahkan Kui Lok meleletkan lidahnya saking
heran dan kagumnya!
"Nah,
bukankah dia hebat dan sangat lucu?, Kalau kalian berbaik kepadanya, kalian
juga bisa mempelajari ilmunya, seperti aku. Kelak kita akan menjadi orang-orang
yang lebih lihai dari pada ayah. Bukankah hebat?" kata pula Kwa Hong.
"Heee,
siapa bikin rontok semua daun pohon itu? Celaka, pohon itu akan mati!"
Seruan ini
dibarengi munculnya tiga orang tosu dari pintu taman. Ketika tiga orang tosu
itu melihat Koai Atong, mereka makin marah. Mereka ini bukan lain adalah
tosu-tosu yang tadi telah dirobohkan Koai Atong.
Seorang di
antara mereka, yang matanya juling, melangkah maju dan menudingkan jari
telunjuknya ke arah Koai Atong sambil membentak.
"Orang
gila ini berada di sini? Hong Hong, jangan biarkan dia di sini. Tentu dialah
yang merusak pohon itu. Ahh, celaka, Hoa-san-pai kedatangan iblis gila!"
Kwa Hong
melihat Koai Atong cengar-cengir dan mengejek ke arah tiga orang tosu itu
dengan mulut dan mata dimain-mainkan, matanya melotot plerak-plerok dan
mulutnya kadang-kadang dipencas-penceskan atau lidahnya dikeluarkan dan diulur
ke arah ketiga orang tosu itu.
Sambil
menahan ketawanya melihat ‘kenakalan’ Koai Atong, Kwa Hong cepat berkata,
"Sam-wi Supek (Uwa Guru Bertiga) harap jangan marah. Koai Atong sudah
mendapat perkenan sukong (kakek guru) untuk bermain-main di sini selama tiga
hari."
Tiga orang
tosu itu cemberut dan bersungut-sungut, "Orang gila diperbolehkan mengacau
taman, merusak bunga dan merusak watak anak-anak. Celaka...! Biarlah, pinto
(aku) akan berdoa selama tiga hari kepada para dewa agar supaya dia dikutuk...!"
kata tosu bermata juling sambil mengajak teman-temannya pergi.
Setelah
menyaksikan ketihaian Koai Atong tadi, di dalam hati tiga orang anak itu timbul
keinginan hendak mempelajari ilmu pukulan tadi.
"Koai
Atong, kau memang lihai sekali. Ajarkan ilmu pukulan tadi kepadaku!" kata
Kui Lok mendekati.
”Kami pun
ingin mempelajarinya," kata Thio Ki dengan sikapnya yang masih angkuh.
Thio Bwee diam saja akan tetapi diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kalau
semua orang mempelajari, dia pun tak akan mau ketinggalan.
Melihat
betapa anak-anak itu semua sekarang suka kepadanya, Koai Atong menjadi gembira
sekali. Memang dia sudah tua, namun jiwanya memang tidak normal, sifatnya
seperti kanak-kanak yang tentu saja merasa bangga dan suka apa bila anak-anak
lain kagum kepadanya.
Ia
tertawa-tawa dan berkata, "Mau belajar? Boleh, boleh, akan tetapi tidak
mudah. Biarlah kita pergunakan pohon-pohon di taman ini sebagai lawan dalam
latihan. Lihatlah baik-baik bagaimana kedudukannya kedua kaki, gerakan tangan
kiri dan di mana letaknya tangan kanan. Begini."
Koai Atong
lalu memberi petunjuk yang diturut oleh tiga orang anak itu. Mula-mula Thio
Bwee masih malu-malu, akan tetapi kemudian melihat betapa Kwa Hong juga memberi
petunjuk-petunjuk, ia menjadi tertarik dan ikut-ikut juga.
"Sudah
bagus, sudah baik. Kalian cucu-cucu murid Hoa-san-pai memang berbakat,"
kata Koai Atong senang. "Sekarang mari coba memukul pohon-pohon itu.
Kalian perhatikan baik-baik."
Koai Atong
lalu menghampiri sebatang pohon besar, kemudian dengan sepenuh tenaga dia
mendorong dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi pada saat itu,
dari belakang pohon berkelebat bayangan orang dan di situ telah berdiri Lian Bu
Tojin, tangan kiri memegang tongkat bambu sedangkan tangan kanannya diluruskan
untuk menyambut dorongan tangan kiri Koai Atong.
"Atong,
jangan merusak pohon...," kata tosu tua itu.
Koai Atong
yang berwatak kanak-kanak itu pada dasarnya bukan dari kalangan baik-baik, maka
setiap kali dilawan, dia tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk mencapai
kemenangan. Maka begitu dia merasa betapa pukulannya Jing-tok-ciang disambut
oleh tangan kakek itu, dia mengerahkan tenaga dan melanjutkan pukulan itu
dengan dorongan maut yang penuh hawa Jing-tok-ciang (Racun Hijau).
Kedua tangan
itu bertemu dan lengket. Tangan kiri Koai Atong berubah kehijauan. Akan tetapi
Lian Bu Tojin hanya berdiri tersenyum sambil memandang tajam. la maklum akan
watak seorang seperti Koai Atong yang tentu tidak jauh dengan watak guru anak
tua ini, teman baiknya, Ban-tok-sim Giam Kong. Dari julukannya saja,
Ban-tok-sim berarti Hati Selaksa Racun. Dapat dibayangkan bagaimana watak guru
Koai Atong.
Kwa Hong dan
teman-temannya merupakan anak-anak dari para ahli silat Hoa-san-pai. Sebagai
anak-anak yang semenjak kecil kenal akan seluk-beluk persilatan tingkat tinggi,
tentu saja mereka tahu apa yang sedang terjadi antara Koai Atong dan sukong
(kakek guru) mereka, yakni adu kepandaian atau lebih tepat adu tenaga dalam.
Mereka semua memandang dengan muka berubah dan mata bersinar-sinar.
Ada dua
menit Koai Atong dan ketua Hoa-san-pai itu berdiri tegak sambil meluruskan
tangan. Akhirnya Lian Bu Tojin berkata perlahan.
"Koai
Atong, kau sudah maju banyak."
Begitu
ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuh Koai Atong terdorong ke belakang
sampai lima langkah tanpa dapat dicegahnya lagi. Mukanya menjadi merah sekali
dan tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan anak panahnya yang berwarna hijau. Inilah
senjatanya yang ampuh dan hebat.
Lian Bu
Tojin melihat ini kemudian tertawa. Tentu saja dia tidak bisa menganggap murid
temannya ini sebagai musuh atau lawan yang seimbang.
"Aha,
Atong, kau hendak memperlihatkan Ilmu Silat anak panah? Silakan, silakan, biar
kau nanti dapat melapor kepada gurumu bahwa ketua Hoa-san-pai meski pun sudah
tua tetapi belum lemah benar..."
Ucapan ini
merupakan perkenan bagi Koai Atong yang tadinya masih ragu-ragu untuk menyerang
kakek itu. Mendadak dia berseru keras dan tubuhnya berkelebat ke depan.
Sekaligus anak panah di tangannya sudah melakukan serangan susul-menyusul sampai
delapan kali banyaknya.
Anak panah
itu berubah menjadi segulung sinar hijau menyambar-nyambar ke arah diri kakek
itu. Kwa Hong dan teman-temannya memandang penuh kekhawatiran. Akan tetapi Lian
Bu Tojin dengan tenang menggerakkan tongkat bambunya.
Terdengar
bunyi keras delapan kali ketika anak panah itu selalu terbentur tongkat bambu
ke mana pun juga digerakkan. Memang ilmu pedang Hoa-san-pai luar biasa hebat.
Jelas kelihatan oleh Kwa Hong dan teman-temannya bahwa kakek gurunya itu hanya
mainkan jurus Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan) dari Ilmu Pedang Hoa-san
Kiam-hoat. Tapi cara pergerakannya demikian sempurnanya sehingga delapan macam
serangan dari Koai Atong dapat digagalkan!
Kemudian
terdengar seruan perlahan dari kakek itu. "Koai Atong, sekarang jagalah
jurus dari Hoa-san ini."
Tongkat
bambu bergerak perlahan dan... anak panah itu terlepas dari tangan Koai Atong,
terlempar ke atas. Akan tetapi Koai Atong lantas memperlihatkan kelihaiannya.
la dapat menggulingkan tubuh melepaskan diri dari lingkaran tongkat bambu,
kemudian tubuhnya melesat ke atas dan tahu-tahu anak panah itu sudah
dipegangnya lagi. la mengeluarkan suara seperti orang menangis kemudian dia
lari tunggang-langgang dan meninggalkan taman seperti seorang anak kecil nakal
melarikan diri karena takut mendapat hukuman.
Lian Bu
Tojin tertawa, lantas mengerahkan khikang berkata ke arah larinya Koai Atong,
"Atong, sampaikan salamku kepada gurumu Giam Kong!"
Setelah Koai
Atong pergi, kakek ini berubah mukanya. Kini keren dan sungguh-sungguh. la
menghadapi Kwa Hong dan teman-temannya, kemudian terdengar kakek ini berkata,
suaranya menahan kemarahan.
"Kwa
Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-san-pai?"
Berubah
wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau kakek gurunya sudah memanggil namanya dengan
penuh, tidak Hong Hong seperti biasanya, itu bisa diartikan bahwa kakek gurunya
benar-benar marah.
Setelah
menjura ia pun berkata sambil menundukkan muka, "Larangan ke tiga
berbunyi: Setiap orang murid Hoa-san-pai tidak boleh mempelajari ilmu silat
dari luar Hoa-san-pai tanpa seijin gurunya.”
"Hemmm,
baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-tok-ciang yang
amat keji itu dari Koai Atong?"
Suara tosu
tua itu kedengarannya makin marah, membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la
memang paling takut kepada kakek gurunya ini. Akan tetapi ia pun merasa heran
mengapa orang tua ini marah-marah, padahal biasanya amat sabar.
"Saya...
saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!"
Anak
perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gurunya. Tiga orang anak
yang lain melihat ini menjadi ketakutan pula dan mereka pun serta-merta
menjatuhkan diri berlutut dan berkata hampir berbareng.
”Teecu juga
mengaku salah dan siap menerima hukuman”.
Melihat
cucu-cucu muridnya berlutut siap menerima hukuman dan sikap anak-anak yang
penuh ketaatan akan peraturan Hoa-san-pai, sikap yang memang sudah terkenal
dari murid-murid Hoa-san-pai, kemarahan ketua Hoa-san-pai ini mereda.
"Kalian
tahu," katanya, suaranya masih keren, "apa hukuman bagi murid yang
melanggar larangan ke tiga itu?"
Empat orang
anak itu mengangguk.
"Si
pelanggar harus membuang ilmu yang dipelajarinya di luar Hoa-san-pai, kalau
perlu badannya dirusak supaya ilmu itu tidak dapat dipergunakan. Baiknya kalian
belum pandai mempergunakan Jing-tok-ciang, kalau sudah pandai, pinto (aku)
tidak akan segan-segan mematahkan tangan kiri kalian!"
Jelas tampak
betapa empat orang anak itu pucat dan gemetar mendengar ini.
"Hong
Hong, kelancanganmu belajar dari Koai Atong masih belum seberapa bahaya jika
dibandingkan dengan perbuatanmu membujuk saudara-saudara seperguruan untuk
turut mempelajarinya pula. Perbuatan itu buruk sekali."
Biar pun ia
dimarahi, namun Kwa Hong yang cerdik menjadi lega mendengar cara kakek itu
menyebut namanya. Itu berarti bahwa kakek gurunya tidak marah lagi kepadanya.
"Teecu
tidak membujuk, Sukong. Mereka memang suka mempelajari setelah melihat Koai
Atong memukul pohon."
"Betul,
Sukong. Teecu yang bersalah, ingin belajar, sama sekali tidak dibujuk oleh Adik
Hong," kata Kui Lok cepat-cepat.
"Teecu
juga tidak dibujuk," sambung Thio Ki. Thio Bwee diam saja, hanya melirik
ke arah Kui Lok.
"Sudahlah,"
kata kakek itu. "Kalian anak-anak harus ingat baik-baik. Sebetulnya bagi
aku sendiri yang menjadi ketua Hoa-san-pai, belajar ilmu silat dari golongan
lain bukanlah hal yang amat buruk. Akan tetapi mengapa diadakan peraturan dan
larangan di Hoa-san-pai? Bukan lain untuk menjaga dan mencegah anak-anak murid
Hoa-san-pai menyeleweng mempelajari ilmu yang sesat. Kalau sampai terjadi
demikian, apa bila sampai ada anak murid Hoa-san-pai mempelajari ilmu yang
sesat kemudian menyeleweng dan melakukan perbuatan jahat, bukankah hal itu akan
merusak nama baik Hoa-san-pai?"
"Sukong,"
kata Kwa Hong yang sekarang sudah timbul keberaniannya. "Apakah ilmu silat
dari Koai Atong termasuk ilmu sesat?"
Kakek itu
menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. "Sesungguhnya, kalau mau
berkata secara jujur, di dunia ini tak ada ilmu yang sesat. Semua ilmu itu
baik, tergantung kepada si pemakai ilmu. Ilmu dapat menjadi baik kalau
dipergunakan untuk kebajikan. Sebaliknya, biar pun ilmu yang amat bersih, apa
bila dipergunakan untuk kejahatan, dapat menjadi ilmu yang kotor dan
buruk."
Empat orang
anak itu saling pandang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sukong mereka.
Kakek ini
pun agaknya maklum, karena itu sambil tersenyum dia berkata lagi, "Biarlah
aku jelaskan. Misalnya saja ilmu bun (kesusastraan), siapa bilang bahwa ilmu
membaca dan menulis ini bersifat buruk? Akan tetapi tetap saja baik buruknya
tergantung pada pemakai ilmu. Ilmu ini baik apa bila dipergunakan untuk membuat
sajak-sajak indah, menuliskan ilmu-iimu yang tinggi dan sebagainya. Akan tetapi
bukankah menjadi ilmu yang sangat buruk dan jahat apa bila dipergunakan orang
untuk membuat surat-surat fitnah, membuat laporan-laporan palsu, dan lain-lain
seperti yang sekarang ini sering kali dilakukan orang?"
Barulah Kwa
Hong dan teman-temannya mengerti. Memang pada waktu itu, sebagian besar rakyat
tidak pandai membaca dan menulis. Sepucuk surat fitnah saja cukup untuk
mencabut nyawa seorang yang buta huruf. Apa lagi di kota-kota besar dan
terutama di kota raja, kepandaian menulis menjadi senjata yang jauh lebih ampuh
dari pada selaksa pedang dan lebih jahat dan keji dari pada ular-ular berbisa.
"Nah,
jelaskah sekarang? Baru ilmu menulis saja sudah begitu jahat, apa lagi ilmu
silat. Aku tidak mau bilang bahwa ilmu yang diajarkan oleh Koai Atong itu
jahat, akan tetapi sifat dari Jing-tok-ciang amatlah berbahaya. Ilmu pukulan
itu tidak ada ampunnya, sekali saja dipergunakan, kalau yang menerima kurang
kuat, bisa merenggut nyawa. Kalau tadi aku tak kuat menahan pukulannya, apakah
sekarang aku tidak sudah menggeletak mampus? Ha-ha-ha!"
Kwa Hong dan
teman-temannya bergidik dan baru terbuka mata mereka akan perbedaan ilmu silat
Hoa-san-pai dan Ilmu Jing-tok-ciang. Dari kata-kata kakek gurunya itu mereka
tahu bahwa sebetulnya ilmu silat milik Hoa-san-pai tidak usah kalah oleh
Jing-tok-ciang, sungguh pun Jing-tok-ciang kelihatan luar biasa dan mukjijat.
"Kalian
yang tekun belajar ilmu silat kita sendiri, yang rajin berlatih, kalau ilmu
silat kalian sudah mencapai tingkat setaraf dengan tingkat Koai Atong, kalian
takkan kalah olehnya." Kakek ini menarik napas panjang dan berkata lagi,
perlahan seperti pada diri sendiri, "Sayangnya... sampai sekarang tidak
ada tulang yang cukup baik untuk menjadi ahli waris Hoa-san-pai... bahkan yang
sebaik Koai Atong saja tak ada..." Setelah berkata demikian, dengan muka
sedih kakek ini meninggalkan taman.
Terbangkit
semangat Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok mendengar wejangan-wejangan
Lian Bu Tojin tadi. Sejak saat itu, mereka lalu berlatih dengan giat, setiap
saat mereka berempat dapat terlihat berlatih silat di dalam taman atau di
lian-bu-thia (ruang berlatih silat) di bawah petunjuk Lian Bu Tojin sendiri.
Tentu saja
dalam beberapa bulan saja mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan
adanya teman-teman berlatih, mereka seakan-akan berlomba untuk melebihi
temannya dan hal ini pula yang mempercepat kemajuan mereka.
Akan tetapi,
terjadi keganjilan yang menyolok. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Kwa Hong
dan Thio Bwee. Anak-anak perempuan tentu saja lebih halus perasaannya dan tahu
membedakan sikap anak laki-laki. Baik Kwa Hong mau pun Thio Bwee dapat melihat
bahwa selain berlomba dalam latihan, agaknya antara Thio Ki dan Kui Lok juga
ada lain perlombaan lagi, yaitu berlomba menyenangkan atau merebut perhatian
Kwa Hong, si gadis cilik yang lincah gembira, bermata bintang dan agak galak
itu!
Kwa Hong
menghadapi kenyataan ini dengan bangga dan sikapnya menjadi makin manja, tinggi
hati, dan agaknya mempermainkan dua orang anak laki-laki itu. Sebaliknya, Thio
Bwee yang pendiam, hanya sering nampak murung kalau melihat Kui Lok
bermain-main dengan sikap bermuka-muka di depan Kwa Hong, mencarikan bunga,
mernbuat mainan dari rumput dan lain-lain.
Waktu
berlalu cepat. Anak-anak itu ditinggal orang tua mereka di puncak Hoa-san-pai
sudah ada empat bulan lebih. Ketika Hoa-san Sie-eng datang ke puncak Hoa-san,
semua anak-anak itu merasa gembira, akan tetapi ternyata bahwa orang tua mereka
itu masih belum mau meninggalkan Hoa-san.
Kwa Tin
Siong dan tiga orang adik seperguruannya menceritakan kepada Lian Bu Tojin
tentang pertemuan mereka dengan dua orang saudara Bun, malah memberi tahukan
pula bahwa Kun-lun Sam-hengte akan datang ke Hoa-san dalam waktu lima bulan
lagi.
Lian Bu
Tojin rnengelus jenggot dan menggeleng kepala. "Tidak disangka sama sekali
akan terjadi hal yang begini tidak menyenangkan," katanya. "Selama
puluhan tahun ini, hubunganku dengan Pek Gan Siansu ketua Kun-lun-pai adalah
hubungan saudara. Malah kami ingin mempererat hubungan dengan menjodohkan
murid-murid kami. Siapa tahu malah mala petaka timbul karena ini."
Dengan air
mata berlinang Sian Hwa berkata, "Ampunkan teecu Suhu. Teecu sudah
menimbulkan kedukaan dalam hati Suhu, akan tetapi... apakah daya teecu? Ayah
teecu dibunuh oleh... oleh... keparat itu..."
Lian Bu
Tojin mengangkat tangannya. "Kau tidak salah Sian Hwa, kau tidak salah.
Malah pinto yang sesungguhnya merasa berdosa. Pinto yang menjodohkan kau dengan
murid Kun-lun-pai, siapa tahu..." Kakek itu berulang kali menarik napas
panjang.
"Persoalan
ini tentu akan segera dibikin terang setelah Kun-lun Sam-hengte tiba di sini
lima bulan lagi, Suhu.” Kwa Tin Siong menghibur. "Biarlah lima bulan lagi
teecu bersama datang lagi dan berkumpul di sini untuk menghadapi murid-murid
Kun-lunpai."
"Kalian
pulanglah, akan tetapi anak-anak itu biarkan di sini saja. Bukankah lima bulan
lagi kalian datang? Aku ingin melihat sendiri kemajuan mereka, terutama
membimbing watak mereka. Tin Siong dan kau, Wan It dan Kui Keng, tentu rela
meninggalkan anak-anak kalian di sini untuk lima bulan lagi, bukan?"
"Tentu
saja, Suhu. Malah teecu menghaturkan banyak terima kasih bahwa Suhu sendiri
berkenan membimbing mereka," jawab tiga orang murid itu serempak.
"Suheng
sekalian, jangan khawatir, aku berada di sini menemani mereka," kata Sian
Hwa.
Makin
gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa
yang sudah tidak ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-san selama
lima bulan.
Demikianlah,
Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dari Hoa-san untuk pulang ke
rumah masing-masing sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-san bersama murid-murid
keponakannya. Gadis yang sedang menderita tekanan batin ini menghibur hatinya
dengan melatih silat kepada keponakan-keponakannya. Sedikit banyak agak
terhiburlah hatinya melihat anak-anak yang gembira dan lincah itu. Apa-lagi
terhadap Kwa Hong, Sian Hwa amat menyayangnya.
**************
Ketika
terjadi perang kecil antara serombongan orang Pek-lian-pai yang dipimpin oleh
Tan Hok melawan pasukan Mongol yang mengakibatkan musnahnya pasukan Mongol di
kaki Gunung Hoa-san, beberapa orang tosu Hoa-san-pai melaporkan hal itu kepada
Sian Hwa. Memang gadis ini dianggap orang yang paling pandai di antara para
tosu. Lian Bu Tojin sendiri sedang bersemedhi dan sama sekali tak boleh
diganggu, maka kepada Sian Hwa mereka itu menuturkan tentang perang di kaki
gunung.
Mendengar
kejadian ini, dengan dikawani oleh lima orang tosu kepala yang sudah cukup
tinggi kepandaiannya, Sian Hwa kemudian berlari turun dari puncak. Kepada
anak-anak keponakannya ia berpesan agar supaya jangan meninggalkan taman dan
bermain-main di dalam taman saja.
Kedatangan
Sian Hwa dan lima orang tosu di tempat pertempuran sudah terlambat. Tan Hok dan
teman-temannya, juga termasuk Beng San, sudah lama meninggalkan tempat itu
dikejar oleh pasukan Mongol lainnya yang lebih besar jumlahnya dan seperti yang
sudah kita ketahui, akhirnya dipancing untuk mengalami kehancuran di
Pek-tiok-kok.
Liem Sian
Hwa hanya mendapatkan tanah yang baru digali dan ditimbun kembali, yaitu tempat
di mana mayat-mayat serdadu Mongol dikubur oleh Beng San dan yang kemudian
dibantu oleh Tan Hok dan teman-temannya. Melihat adanya sebuah bendera
Pek-lian-pai di pohon, timbul kemarahan dalam hati Sian Hwa.
Bagaimana
pun juga, sekarang Pek-lian-pai sudah menjadi musuh besarnya. Bukankah ayahnya
telah terbunuh oleh orang Pek-lian-pai dan Kwee Sin? Saking marahnya, ia lalu
merenggutkan bendera itu dari pohon dan merobek-robeknya.
Seorang tosu
mendekati dan berkata, "Sumoi, kenapa kau merobek-robek bendera milik
Pek-lian-pai itu? Bukankah itu bendera orang-orang yang melawan pasukan
Mongol?"
"Pek-lian-pai
perkumpulan orang-orang jahat! Kalau aku melihat mereka tadi di sini, akan
kulawan dan kubasmi semua!” Sian Hwa berseru dengan suara marah. "Suheng
sekalian apakah tak ingat bahwa ayahku terbunuh oleh paku Pek-lian-ting milik
Pek-lian-pai? Bagai mana aku tidak akan memusuhinya?"
"Bagus,
bagus! Memang Pek-lian-pai jahat sekali, patut dibasmi!” tiba-tiba terdengar
suara orang.
Pada saat
Sian Hwa menengok, ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki muda yang
tampan, selalu tersenyum dan pakaiannya indah sekali. Muka gadis itu seketika
menjadi merah karena sinar mata pemuda ini amat tajam, bersinar-sinar tidak
menyembunyikan kekagumannya ketika menatap kepadanya.
Orang muda
itu lalu memberi hormat, menjura sambil mengangkat kedua tangan dengan sikap
yang halus sekali sehingga tiada kesempatan bagi Sian Hwa untuk marah.
"Maafkan
saya, Nona. Saya Souw Kian Bi dan saya merasa sangat cocok dengan pendapat Nona
tadi. Memang Pek-lian-pai adalah perkumpulan orang-orang jahat.”
Sungguh pun
hatinya tidak senang melihat kelancangan orang ini, Liem Sian Hwa tidak mungkin
dapat marah terhadap orang yang bersikap manis dan hormat ini. Terpaksa oleh
sopan santun ia balas menjura dan berkata singkat.
"Saya
tidak ada urusan dengan Tuan ini, juga tidak mengenal Tuan. Maafkan bahwa saya
tidak sempat bercakap-cakap lebih lama lagi." Nona ini membalikkan tubuh
hendak pergi.
Souw Kian Bi
melangkah maju. "Perlahan dulu, Nona. Apa salahnya kalau kita sekarang
berkenalan? Apakah Nona anak murid Hoa-san-pai?"
Lima orang
tosu yang mengawani Sian Hwa merasa tidak senang melihat ada seorang muda berani
menegur sumoi mereka. Dianggapnya pemuda itu kurang ajar.
Seorang di
antara para tosu itu mencela. "Sumoi-ku tidak ada urusan denganmu, orang
muda. Harap jangan mengganggu lebih jauh."
Sambil
berkata demikian, tosu itu menggerakkan tangan bajunya untuk mendorong orang
muda itu minggir karena orang itu menghalangi jalan. Tentu saja dia mengerahkan
tenaga untuk memperlihatkan kepandaian dan sekaligus untuk menakut-nakuti orang
muda itu.
Orang muda
itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi ketika lengan baju
tosu itu mengenai dadanya, bukan pemuda itu yang terdorong, namun tosu tadilah
yang terpelanting. Tosu itu berseru kaget dan menjadi marah.
"Ehh,
kau mau main-main?" bentaknya sambil mencengkeram ke arah pundak.
"Suheng,
jangan...!" Sian Hwa memperingatkan tosu itu.
Gadis ini
melihat bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, terbukti dari gerakan kakinya
ketika terdorong tadi. Namun terlambat, tangan tosu itu terpelanting. Hanya
kali ini terpelanting keras sampai terbentur batu dan mengeluarkan darah.
Empat orang
tosu yang lain menjadi marah sekali.
"Keparat,
berani kau merobohkan saudara kami?"
Serentak
empat orang tosu ini menerjang pemuda tadi dengan pukulan-pukulan tangan. Souw
Kian Bi, pemuda aneh itu, hanya tersenyum saja tanpa menangkis. Dia hanya
menundukkan kepala untuk menghindarkan pukulan yang mengancam mukanya.
Terjadi hal
yang aneh sekali. Kepalan tangan empat orang tosu itu dengan jelas kelihatan
mengenai tubuh pemuda itu sampai terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi
tosu-tosu itu lalu berteriak kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang
tahu-tahu sudah menjadi bengkak-bengkak. Mereka merasa seperti memukul baja,
bukan badan orang!
Sian Hwa tak
dapat menahan kesabarannya lagi, di samping merasa heran sekali. Meski pun
kepandaian empat orang suheng-nya belum tinggi benar, namun menerima pukulan
dengan badan dari empat orang sekaligus seperti pemuda itu dan membuat si
pemukul sendiri bengkak-bengkak tangannya, benar membuktikan bahwa pemuda itu
berilmu amat tinggi. Tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut pedangnya, meloncat dekat
dan membentak.
"Manusia
sombong, beraninya kau bermain gila di depanku?" la melintangkan pedang di
depan dada, lalu menantang. "Hayo keluarkan senjatamu, hendak kulihat
sampai di mana kelihaianmu!"
Orang muda
yang mengaku bernama Souw Kian Bi itu tersenyum dan pandang matanya makin
membayangkan kekaguman.
"Kau
hebat, Nona, hebat sekali. Patut menjadi sahabat baikku. Cantik dan gagah
perkasa, hemmm..."
Tentu saja
muka Sian Hwa menjadi makin merah. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak
senang dipuji seorang laki-laki, terutama sekali dipuji akan kecantikannya.
Demikian pula Sian Hwa. Akan tetapi di samping rasa senangnya ini, terdapat
pula perasaan marah karena dianggapnya laki-laki itu kurang ajar.
"Siapa
sudi menjadi sahabatmu? Hayo keluarkan senjatamu, kalau tidak, jangan salahkan
aku kalau habis kesabaranku...”
Souw Kian Bi
tertawa, dan tampaklah barisan giginya yang putih dan rapi. "Kau hendak
main-main dengan pedang? Oho, bagus sekali. Memang kurang mesra perkenalan kita
jika tidak melalui ujung senjata. Nah, aku sudah siap, kau perlihatkanlah ilmu
pedangmu, Nona Manis."
Pemuda itu
sekarang sudah memegang sebuah pedang yang amat indah karena gagang pedang itu
dihias dengan banyak batu-batu kumala. Selain indah bentuknya, pedang itu pun
nampak amat tajam sampai berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Melihat
lawannya sudah bersenjata, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi Sian Hwa segera
menerjang maju dengan gerakannya yang amat lincah dan cepat. Sepasang pedang di
kedua tangannya mengeluarkan suara mengaung pada saat dia menghujani Souw Kian
Bi dengah serangan-serangan maut. Sepasang pedangnya itu lenyap berubah menjadi
dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, amat luar biasa dipandang.
Souw Kian Bi
mengeluarkan seruan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis itu.
Cepat-cepat dia memutar senjatanya melindungi diri sehingga berkali-kali
terdengar suara pedang bertemu pedang. Lima menit sudah Souw Kian Bi hanya
menangkis dan melindungi diri saja, kemudian tiba-tiba dia meloncat ke belakang
sambil berseru.
"Jadi
Nona ini Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, orang termuda dari Hoa-san Sie-eng? Pantas
begini lihai dan cantik!" Dia tersenyum-senyum lagi, senyum memikat dengan
sinar mata kagum.
Kembali
wajah Sian Hwa menjadi merah. "Tak usah banyak cakap, kau telah merobohkan
lima orang suheng-ku. Kau boleh coba merobohkan aku, baru patut menyombongkan
diri!" Kembali gadis ini menubruk maju sambil mainkan sepasang pedangnya.
Souw Kian Bu
segera menangkis lagi sambil tertawa. "Alangkah akan senangnya andai kata
aku dapat merobohkanmu, Nona, merobohkan hatimu terutama sekali. Alangkah
senangnya..."
"Keparat
kurang ajar!"
Sian Hwa
memperhebat serangannya dan kali ini Souw Kian Bi terpaksa mengeluarkan
kepandaiannya untuk melindungi dirinya dari ancaman maut. Gadis itu merasa
heran sekali ketika mendapat kenyataan bahwa orang muda yang mengaku bernama
Souw Kian Bi ini ternyata memiliki ilmu pedang yang amat aneh gerakannya, akan
tetapi juga amat lihai.
Semua
serangannya dapat ditangkis dengan mudah, malah setiap kali pedangnya beradu
dengan pedang lawannya, dia merasa telapak tangannya tergetar tanda bahwa
tenaga dalam pemuda itu juga tidak kalah olehnya. Diam-diam dia mengeluh dan
mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. la akan merasa malu sekali kalau
sampai kalah oleh pemuda ceriwis ini.
Di lain
pihak, Souw Kian Bi juga amat kagum menyaksikan ilmu pedang gadis lawannya.
Tidak percuma gadis ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) dan menjadi
orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang ternama. Rasa sayangnya terhadap gadis
ini yang tadinya timbul karena kecantikan Sian Hwa, kini menjadi
bertambah-tambah.
Rasa sayang
inilah yang membuat Souw Kian Bi tak mau menggunakan kepandaiannya untuk
merobohkan Sian Hwa. Dia sengaja hendak membuat gadis ini roboh sendiri karena
lelah dan di samping ini dia pun hendak memamerkan kepandaiannya agar
betul-betul dapat merebut hati gadis cantik dan gagah ini.
Sementara
itu, para tosu yang sudah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir
menyaksikan betapa sumoi mereka yang terkenal gagah itu pun belum berhasil pula
merobohkan lawan itu dengan sepasang pedangnya. Diam-diam mereka lalu
berunding, kemudian seorang di antara lima tosu itu lari naik ke puncak untuk
melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin.
Dapat
dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketua Hoa-san-pai itu. Belum pernah ada
anak murid Hoa-san-pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang
bersemedhi. Kali ini tosu itu memaksa dia sadar dari semedhinya dan
menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai
ilmu silatnya.
Walau pun
sedang marah, tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan
kemarahan sehingga dia tenang dan sabar kembali.
"Kau
bilang dia bernama Souw Kian Bi?"
Kakek ini
mengingat-ingat, akan tetapi tidak merasa mempunyai musuh ber-she Souw.
Jangan-jangan sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul), pikirnya. Ini sangat
berbahaya, apa bila sampai Sian Hwa benar-benar kalah oleh penjahat itu akan
celakalah muridnya.
la segera
bangkit, menyeret tongkatnya dan berkata, "Antarkan pinto ke sana."
Ketika Lian
Bu Tojin tiba di tempat pertempuran, dia menahan seruan kagetnya. Sian Hwa
telah terdesak hebat. Pedangnya yang kiri sudah terlepas dan kini gadis itu
dengan napas tersengal-sengal mempertahankan diri dari serangan pemuda tampan
itu yang selalu tersenyum-senyum sambil mengeluarkan kata-kata menggoda. Jelas
sekali terlihat bahwa kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi, malah dengan
amat mudahnya akan mampu merobohkan Sian Hwa kalau dia mau.
Ketika
diam-diam Lian Bu Tojin memperhatikan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu,
dia mengangguk-angguk. Itulah ilmu pedang utara yang sudah tinggi tingkatnya.
Juga gerakan-gerakan pemuda itu menyatakan bahwa tenaga dalamnya sudah kuat
sekali. Pantas saja Sian Hwa terdesak. Andai kata yang melawan pemuda ini bukan
Sian Hwa, melainkan Kwa Tin Siong, mungkin akan seimbang dan lebih ramai.
"Sian
Hwa, mundurlah. Orang muda ada urusan boleh dirunding dengan pinto!"
Seruan Lian
Bu Tojin ini biar pun perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang amat
berpengaruh. Tentu saja sukar bagi Sian Hwa untuk mundur karena dia sudah
dikurung sinar pedang lawannya. Kalau bukan lawannya yang menghentikan
pertandingan ini, dia sendiri sudah tidak berdaya melepaskan diri.
Sambil
mengeluarkan suara ketawa bergelak, Souw Kian Bi menggetarkan pedangnya dan….
"Tringgg...!"
pedang kanan Sian Hwa terlepas pula, terlempar ke udara.
Lian Bu
Tojin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu pedang yang terbang itu sudah
tertempel oleh tongkat bambunya. Sedangkan Souw Kian Bi melangkah maju
mendekati Sian Hwa sambil cengar-cengir dan berkata, "Nona manis, apakah
sekarang kau masih belum mau mengaku kalah padaku? Apakah dengan kepandaianku
ini kau masih tetap menganggap tak pantas kalau aku menjadi sahabat
baikmu?"
Sian Hwa
merasa malu sekali. Dengan kemarahan yang membuat dadanya seolah-olah akan
meledak, dia kembali menerjang maju, menghantam kepalan tangan kanannya ke dada
pemuda itu.
Souw Kian Bi
cepat mengelak sambil tertawa dan berkata, "Sayang tanganmu yang halus
kalau sampai mengenai dadaku, Manis."
Sekali lagi
dia mengelak pada saat pukulan ke dua datang dan kini sambil mengelak dia
mempergunakan tangan kirinya untuk mencekal pergelangan tangan kanan Sian Hwa.
Gerakan ini amat cepatnya dan sekali melihat saja Lian Bu Tojin tahu bahwa
pemuda itu pun mahir sekali akan ilmu tangkap dan ilmu cengkeram semacam
Eng-jiauw-kang. Sian Hwa kaget sekali karena percuma saja ia berusaha
melepaskan tangannya.
"Orang
muda, jangan kurang ajar. Lepaskan!" Tiba-tiba Lian Bu Tojin melangkah
maju untuk mencegah kekurang-ajaran pemuda itu terhadap muridnya.
Akan tetapi
Souw Kian Bi hanya tertawa. Mana dia mau memandang mata kepada kakek tua ini?
Sambil tangan kiri masih memegangi tangan Sian Hwa, pedangnya di tangan kanan
bergerak ke arah dada Lian Bu Tojin dan dia membentak.
"Tosu
bau jangan ikut campur. Menggelindinglah kau!"
Tetapi kali
ini dia telah salah hitung. Pedangnya yang meluncur ke arah dada tosu tua itu
tiba-tiba bertemu dengan tongkat bambu, pedangnya menggetar-getar dan...
"Krakkk!"
Pedang itu
patah menjadi dua. Tubuhnya sendiri menggigil, pegangannya pada tangan Sian Hwa
terlepas dan dia masih terhuyung-huyung ke belakang lima atau enam tindak.
Mukanya menjadi pucat sekali.
"Kau...
kau siapakah...?” dia memandang kepada kakek tua itu dengan mata terbelalak.
Lian Bu
Tojin tak menjawab, hanya berdiri tegak sambil memandang dengan tajam. Souw
Kian Bi menggerak-gerakkan biji matanya, memandangi kakek itu dari atas ke
bawah. Agaknya jenggot panjang dan tongkat bambu itu yang menarik perhatiannya,
kemudian membuat dia dapat menduga siapa yang sedang berhadapan dengannya.
"Ah,
kiranya Totiang adalah Lian Tojin sendiri? Pantas saja aku tak dapat
melawannya. Kiranya ketua yang terhormat dari Hoa-san-pai sendiri yang telah
turun tangan!" Ucapan ini merupakan sindiran hebat.
Memang
sebetulnya amat memalukan bagi Lian Bu Tojin, seorang ciangbunjin (ketua) dari
partai besar harus turun tangan sendiri menghadapi seorang muda seperti Souw
Kian Bi! Mau tak mau kedua pipi kakek itu menjadi merah. Pemuda ini ternyata
bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat tajam kata-katanya.
"Orang
she Souw," katanya sabar, "murid-muridku sedang turun gunung maka
tidak ada yang menyambutmu sehingga terpaksa pinto sendiri menjenguk ke sini.
Tak tahu apakah yang menjadi sebabnya maka engkau mengacau di sini?"
Souw Kian Bi
tertawa mengejek. ”Siapa mengacau? Aku lewat di sini, bertemu Nona ini,
tertarik dan ingin bersahabat, apa salahnya? Sudahlah, lain kali dia tetap akan
menjadi sahabat baikku..." Setelah berkata demikian pemuda itu membalikkan
tubuhnya dan pergi.
Sian Hwa
yang masih marah sekali cepat menyambar pedangnya yang tadi terpukul jatuh,
hendak mengejar. Akan tetapi gurunya mencegahnya.
"Jangan
kejar, Sian Hwa. Kulihat orang itu bukan orang sembarangan. Sudah jelas bahwa
dia itu dari utara. Akan tetapi mengapa sengaja datang mengacau Hoa-san-pai?
Hemmm, kita harus berhati-hati, makin banyak saja musuh-musuh rahasia yang
hendak memusuhi kita."
Kakek ini
lalu mengajak semua muridnya naik ke puncak Hoa-san lagi sambil memesan kepada
para muridnya yang menjadi tosu supaya mulai saat itu melakukan penjagaan yang
kuat siang malam, akan tetapi tidak boleh lancang turun tangan menyerang orang
luar.
Kalau di
kaki Gunung Hoa-san terjadi hal yang aneh ini, di puncak Hoa-san terjadi pula
hal yang ganjil. Pada waktu Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sedang
berlatih silat di dalam taman bunga. Antara Thio Ki dan Kui Lok jelas sekali
terjadi perlombaan, bukan hanya untuk kemajuan ilmu silat, akan tetapi terang
sekali keduanya berlomba untuk bersikap manis kepada Kwa Hong.
Keduanya memiliki
watak yang hampir sama, yaitu gagah dan tabah, tetapi keduanya juga angkuh
sekali. Mungkin hal ini timbul karena mereka merasa menjadi putera-putera
pendekar Hoa-san-pai. Bahkan pada Thio Bwee yang pendiam juga tampak sifat
angkuh ini dan merasa seolah-olah mereka adalah anak-anak orang gagah yang
berbeda dengan anak-anak lain. Hanya Kwa Hong seorang yang wataknya tetap
lincah jenaka, galak akan tetapi tidak angkuh.
Pada saat
itu, tiba giliran Kui Lok untuk bersilat pedang disaksikan oleh ketiga orang
temannya. Kui Lok benar-benar memiliki bakat yang amat baik. Selama beberapa
bulan ini kepandaiannya sudah meningkat banyak.
Ketika dia
bersilat tidak saja gerakan pedangnya mantap dan kuat, akan tetapi juga cepat
sekali. Tentu saja dia bersilat pedang dengan tangan kiri, karena memang dia
lebih pandai mempergunakan tangan kirinya dari pada tangan kanannya. Setelah
dia selesai bersilat, Kwa Hong bersorak.
"Bagus
sekali Lok-ko (kakak Lok), kepandaianmu benar-benar sudah maju pesat!" dia
memuji dengan sejujurnya.
Thio Bwee
juga mengangguk-angguk membenarkan pujian Kwa Hong. Akan tetapi, pujian itu
tidak menyenangkan hati Thio Ki.
”Sayangnya
pedang itu dimainkan tangan kiri, jadi tentu saja kurang kuat dan kurang tepat
seperti kalau dimainkan oleh tangan kanan," Thio Ko berkata dengan lagak
seakan-akan seorang yang lebih pandai menilai permainan orang yang lebih rendah
tingkatnya.
Ucapan ini
diterima oleh Kui Lok dengan muka merah. Dia merasa disindir dan ditegur karena
sifat tangannya yang kidal.
"Walau
pun dengan tangan kiri kurasa tidak kalah oleh permainan pedang tangan
kanan," jawabnya sambil menatap wajah Thio Ki penuh tantangan.
"Phuah...!"
Thio Ki mengejek, membuang muka.
"Phuah...!"
Kui Lok juga mengeluarkan suara mengejek.
Thio Ki naik
darah, dirabanya gagang pedang di punggungnya. "Kalau begitu, mari kita
buktikan, siapa lebih pandai, si tangan kanan atau si tangan kidal!"
"Begitu?
Baiklah, tapi kau yang menantang, saudara Ki, bukan aku!" Kui Lok
menjawab, pedangnya siap ditangan kiri.
Kwa Hong
memperhatikan kejadian ini dengan mata berseri.
"Baik
sekali begitu!" ia bersorak. "Gembira sekali kalau diadakan pibu
persaudaraan."
Yang
dimaksudkan dengan pibu (adu kepandaian silat) adalah pertandingan mengadu
kepandaian silat untuk menentukan siapa kalah siapa menang.
"Dari
pada setiap hari kalian bercekcok saja tentang tingkat kepandaian kalian, lebih
baik diputuskan dengan bukti."
Dua orang
anak laki-laki itu sekarang sudah berhadapan dengan pedang di tangan. Thio Bwee
membelalakkan matanya yang lebar, penuh kekhawatiran.
"Jangan!"
teriaknya memohon. "Bagaimana kalau ada yang terluka? Sukong akan marah
sekali."
Kwa Hong
tertawa dan melangkah di antara dua orang jago muda itu. "Kalian ini sudah
bernafsu untuk saling serang," godanya, "jangan begitu, ah! Kita ini
kan saudara-saudara seperguruan. Masa mau main tusuk dengan pedang."
"Habis
bagaimana untuk menentukan siapa lebih unggul?" tanya Kui Lok.
"Biarkan
saja, Hong-moi (adik Hong). Lok-te (adik Lok) ini sombong sekali, tidak mau mengalah
terhadap aku yang lebih tua," kata Thio Ki.
"Mana
bisa saudara seperguruan saling hantam? Kalau diketahui sukong, apa kau kira
aku tidak ikut dipersalahkan? Aku tidak mau! Kalau kalian berkelahi, pergilah
jauh-jauh dari sini agar aku tidak terbawa-bawa," kata Kwa Hong.
Dua orang
anak laki-laki itu saling pandang. Mereka ingin memperlihatkan di depan Kwa
Hong bahwa mereka gagah dan tidak kalah oleh yang lain. Sekarang Kwa Hong tidak
mau melihat mereka mengadu kepandaian, untuk apa mereka lanjutkan? Akan tetapi
kalau tidak pergi mencari tempat lain, juga dapat dianggap takut atau pengecut.
Kwa Hong
yang melihat keraguan mereka lalu tertawa. "Sudahlah, simpan pedang
kalian. Kalau mau menentukan siapa yang lebih unggul, mudah saja. Kalian
pergunakan ranting yang tidak berbahaya, aku akan menyediakan tinta. Ujung
ranting diberi tinta dan ranting itu dimainkan seperti ujung pedang. Siapa yang
lebih dulu terkena tinta bajunya dialah yang kalah."
Usul ini
didukung oleh Thio Bwee yang tentu saja juga tidak menghendaki pertempuran
sungguh-sungguh antara kakaknya dan Kui Lok. Dua orang anak itu pun menyetujui
dan masing-masing mencari sebatang ranting yang lembek. Segera mereka membasahi
ujung ranting masing-masing dengan tinta dan mulailah mereka bertanding,
disaksikan oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Kwa Hong bertindak sebagai wasitnya.
“Tak-tok-tak-tok…!”
bunyi dua batang ranting itu beradu dan kedua orang jago muda itu bergerak
cepat untuk mendahului lawan, mengirim tusukan untuk menodai baju lawannya
dengan tinta di ujung ranting.
"He,
Ki-ko! Tidak boleh menyerang mata!" Kwa Hong berseru.
Sebagai
wasit, ia harus berlaku adil. Menurut perjanjian tadi, masing-masing hanya
boleh menyerang baju untuk memberi tanda dengan tinta.
"Lok-ko,
tidak boleh menendang!" Ia kembali berseru.
Mula-mula
hanya jarang dia berseru melarang. Akan tetapi kedua orang jago muda itu makin
lama menjadi makin penasaran dan panas karena belum juga dapat mengalahkan
lawan.
Makin sering
mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran dan semakin sering pula Kwa Hong
berteriak-teriak melarang. Malah sekarang Thio Bwee juga turut berteriak-teriak
karena khawatir melihat dua orang jago muda itu mulai menggunakan serangan
sungguh-sungguh yang membahayakan lawan. Pertandingan untuk mengadu kepandaian
itu sudah menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh.
Kwa Hong
menjadi marah dan membanting-banting kakinya. "Kalian curang! Kalian tidak
memegang janji. Sudah, jangan berkelahi lagi!"
Akan tetapi
mana dua orang jago muda yang sudah panas perutnya itu mau berhenti? Mereka
malah menyerang lebih hebat. Kwa Hong berteriak-teriak marah.
Tiba-tiba
terlihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua orang jago muda itu roboh
terguling. Mereka tak terluka karena tadi hanya terdorong saja ke samping.
Dengan heran mereka merayap bangun. Juga Kwa Hong dan Thio Bwee terheran-heran
memandang.
Ternyata
Koai Atong sudah berdiri di situ, cengar-cengir dan berkata, "Kalian tidak
boleh bikin marah Enci Hong!"
Lalu dia
berpaling kepada Kwa Hong dan berkata, "Enci Hong, aku datang kembali
untuk mengajak kau bermain-main seperti dulu. Hayo ikut aku ke hutan sebelah
sana itu, tadi aku melihat seekor kijang muda yang amat indah. Akan kutangkap
binatang itu untukmu." la melangkah maju hendak menggandeng tangan Kwa
Hong.
"Tidak,
Koai Atong. Aku tidak mau pergi. Sukong akan marah nanti." Kwa Hong
mengelak.
"Tidak
marah, biar kalau marah aku yang tanggung jawab." Koai Atong hendak
memaksa, sekali tangannya menyambar dia sudah dapat memegang pergelangan tangan
Kwa Hong.
"Tidak,
tidak, aku tidak mau...”
Mereka
berkutetan. Agaknya Koai Atong tidak mau mempergunakan kekerasan terhadap Kwa
Hong yang disayanginya sebagai sahabat baik itu, maka mereka berkutetan saling
tarik. Kalau Koai Atong mau menggunakan kekerasan, tentu saja dengan mudah dia
akan dapat membawa lari Kwa Hong.
Pada saat
itu, dari luar taman berjalan masuk seorang anak laki-laki. Jauh di belakang
nampak beberapa orang tosu berlari-lari sambil berteriak-teriak.
"Anak
setan, tak boleh masuk ke sana!"
Agaknya anak
yang masuk itu tadi dapat meninggalkan para tosu yang sekarang berlari
mengejarnya. Anak ini bukan lain adalah Beng San!
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Beng San sampai di kaki gunung Hoa-san dan
bertemu dengan Tan Hok beserta teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai.
Setelah berpisah dari Tan Hok, dia segera mendaki gunung itu menuju ke puncak.
Beberapa
orang tosu melarangnya naik, akan tetapi Beng San berkeras hendak bertemu
dengan ketua Hoa-san pai. Ketika dihalangi anak ini lalu berlari menyelinap
cepat sampai para tosu itu tertinggal jauh dan mengejar terus. Akhirnya dia
memasuki taman bunga itu.
Melihat
betapa seorang gadis cilik ditarik-tarik seorang laki-laki tinggi besar, hati
Beng San menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak mengenal Kwa Hong, juga
tidak mengenal Koai Atong sungguh pun pernah dia bertemu dengan kedua orang
ini.
Dengan
langkah lebar dia menghampiri Koai Atong yang masih berkutetan dengan Kwa Hong,
memegang lengan Koai Atong sambil berkata keras.
"Seorang
laki-laki dewasa menyeret-nyeret seorang anak perempuan kecil, sungguh tidak
patut. Memalukan sekali!"
Suara Beng
San amat nyaring sampai terngiang di telinga. Tidak hanya Koai Atong yang
kaget, juga Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sangat terkejut. Mereka
menoleh dan memandang.
Tiba-tiba
saja Koai Atong melepaskan pegangannya pada lengan Kwa Hong. Tubuhnya
menggigil, wajahnya yang merah berubah pucat sekali, matanya melotot lebar,
mulutnya ternganga dan dia pun berdiri seperti orang terserang demam. Tangan
kanannya dengan telunjuk menggigil menuding ke arah Beng San, sedangkan
bibirnya mengeluarkan suara tidak karuan, akan tetapi masih dapat ditangkap
oleh anak-anak itu.
"Ssseeeee...
sssssetannn... setan...!"
Tiba-tiba
dia meloncat jauh dari situ, lalu lari sekerasnya sambil memekik-mekik,
"Setan! Dia roh jahat... hidup lagi... aduhhh setan... ampunkan
aku...!" Sebentar saja Koai Atong sudah tidak tampak lagi bayang-bayangnya.
Tentu saja
Beng San terlongong keheranan. la tidak tahu bahwa dahulu dalam keadaan tidak
sadar karena menelan pil buatan Siok Tin Cii, dia dipukul dan dilukai oleh Koai
Atong yang menggunakan Jing-tok-ciang dan anak tua itu menyangka bahwa dia
sudah tewas. Tentu saja sekarang tiba-tiba melihat Beng San dengan muka merah
kehitaman berdiri di depan kakek yang berwatak anak-anak ini membuat Koai Atong
ketakutan setengah mati dan membuat dia lari tunggang-langgang, tak berani lagi
kembali ke Hoa-san!
Kwa Hong dan
teman-temannya juga terkejut ketika melihat seorang anak laki-laki berdiri di
situ. Pakaiannya compang-camping, kakinya tidak bersepatu, rambutnya kusut dan
mukanya merah kehitaman.
Muka Beng
San menjadi merah karena dia tadi marah melihat Koai Atong menarik-narik tangan
Kwa Hong. Mukanya merah hitam, sedang matanya tajam seperti mata harimau,
benar-benar merupakan seorang anak yang aneh dan patut kalau dianggap setan.
Akan tetapi
Kwa Hong segera mengenal Beng San. Dia melangkah maju, kemudian dia
memperhatikan muka Beng San yang sementara itu telah mulai berubah, lenyap
warna merah hitam menjadi putih bersih kembali, akan tetapi perlahan-lahan lalu
berubah pula menjadi kehijauan. Hal ini adalah karena sepasang mata Kwa Hong
sudah mengenalnya, dan ia merasa agak malu berhadapan dengan empat orang
anak-anak yang berpakaian indah-indah dan bersikap gagah ini.
"Ehh,
kaukah ini? Kau... bunglon?" Kwa Hong menegur sambil tertawa geli.
Setelah
mendengar suara Kwa Hong, baru Beng San teringat bahwa gadis cilik berbaju
merah inilah yang dahulu pernah bercekcok dengannya di dalam hutan. la pun
tersenyum dan berkata. "Kiranya kau di sini... kuntilanak!"
Kui Lok dan
Thio Ki menjadi merah mukanya. Mereka memandang kepada Beng San dengan mata
melotot, marah sekali mereka mendengar betapa anak jembel ini memaki Kwa Hong
kuntilanak. Benar-benar kurang ajar sekali!
Pada saat
itu para tosu yang mengejar Beng San, empat orang jumlahnya, sudah tiba di situ
dan mereka berteriak-teriak.
"Penjahat
cilik itu jangan sampai terlepas! Di larang masuk ke sini!"
"Aku
mau berjumpa dengan Lian Bu Tojin," bantah Beng San.
Akan tetapi
Kui Lok dan Thio Ki yang sudah marah sekali, melihat para tosu marah-marah pula
kepada anak jembel itu, menjadi makin berani. Keduanya lalu melangkah maju dan
memaki, "Jembel busuk hayo pergi dari sini!"
Beng San
tenang-tenang saja, memandang kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri angkuh di
depannya. "Aku tidak mau pergi kalau belum bertemu dengan Lian Bu
Tojin."
"Keparat!
Kau minta dipukul?" bentak Thio Ki marah.
Beng San
tertawa dan menggeleng kepalanya. "Siapa yang minta dipukul? Aku tidak!
Aku mau bertemu dengan Lian Bu Tojin."
"Macammu
ini mau bertemu dengan sukong? Sukong terlalu mulia untuk bertemu dengan segala
jembel busuk. Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, akan kupukul!" kata
Kui Lok galak.
Beng San
melengak heran. "Kalian ini cucu murid Lian Bu Tojin? Ahh, kalau begitu
aku salah alamat. Orang bilang Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai seorang yang mulia
hatinya, dan bahwa orang-orang Hoa-san-pai adalah orang-orang gagah. Kiranya
murid kecilnya saja sudah begini galak."
Kui Lok dan
Thio Ki adalah keturunan orang-orang gagah, maka ucapan itu merupakan tamparan
bagi mereka. "Kau yang kurang ajar!" bantah Thio Ki membela diri.
"Kau berani memaki kuntilanak kepada Hong-moi. Kurang ajar kau!"
Beng San
menoleh kepada Kwa Hong sambil tertawa kecil. "Dia memang kuntilanak.
Tanyakan saja kepadanya, kami berkenalan sebagai bunglon dan kuntilanak. Betul
tidak begitu, kuntilanak?"
Kwa Hong
membanting kakinya yang kecil. "Bunglon! Kadal monyet kau! Aku bukanlah
kuntilanak!”
"Aku
juga bukan bunglon, kadal atau monyet!" bantah Beng San marah.
"Tapi
mukamu berubah-ubah seperti bunglon, kau masuk selongsong ular seperti kadal,
rupamu buruk cengar-cengir seperti monyet!" maki Kwa Hong dengan muka
merah saking marahnya.
"Kau
pun galak dan mukamu buruk seperti kuntilanak..."
"Plakkk!"
Tangan Kwa
Hong melayang dan pipi kiri Beng San telah ditamparnya. Tubuh Beng San terhuyung
mundur.
Pada saat
itu, Kui Lok dan Thio Ki sudah menubruk maju dan menghujani tubuh Beng San
dengan pukulan-pukulan keras. Beng San terhuyung-huyung dan roboh. Anak ini
memang selama meninggalkan tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, selalu mentaati
perintah kakek itu dan tidak pernah mau mempergunakan kepandaiannya. Maka
ketika ditampar kemudian dipukuli dia diam saja, ‘menyimpan’ tenaga dalam
tubuhnya dan membiarkan dirinya dipukuli. Ia merasa kulit dada dan mukanya
sakit-sakit.
”Aku mau
bertemu dengan Lian Bu Tojin, jangan pukul aku..." dia berkata.
Akan tetapi
dua orang jago muda itu tidak mau memberi ampun lagi kepadanya. Thio Ki memukul
lagi ketika Beng San mencoba untuk berdiri, pukulan keras mengenai leher Beng
San membuat anak itu terpelanting roboh. Kui Lok lalu menubruknya, menduduki
dadanya dan memukuli muka Beng San dengan kedua tangan. Kedua pipi Beng San
sampai bengkak-bengkak terkena pukulan ini.
"Hayo,
kau minta ampun dan berjanji mau pergi dari sini!" kata Kui Lok
terengah-engah, menghentikan pukulannya.
Beng San
hanya menggeleng kepalanya. "Aku mau bertemu dengan Lian Bu..." Tak
dapat dia melanjutkan kata-katanya karena hidungnya dipukul Kui Lok sampai
keluar darahnya.
"Lok-te,
biar kugantikan engkau!" Thio Ki menarik Kui Lok pergi dan menjambak
rambut Beng Sang, menarik anak ini berdiri lalu memukul ke arah dada.
"Blukkk!"
Tubuh Beng
San terlempar sampai dua meter lebih. Thio Ki mengejar, menjambak rambut lagi,
mendirikan Beng San lalu dipukul lagi lebih keras. Pakaian Beng San yang sudah
cobak-cabik itu makin rusak, koyak-koyak di sana-sini.
"Sudah,
Ki-ko, Lok-ko, jangan pukul lagi!"
Kwa Hong
maju mencegah. Tak tega ia melihat Beng San dipukuli seperti itu. Juga Thio
Bwee maju mencegah kakaknya. Akan tetapi para tosu dengan tertawa lebar
memuji-muji kepandaian dua orang kongcu muda itu dan berkata menganjurkan.
"Pukul
terus! Pukul sampai dia mau minta ampun."
"Hayo
lekas berlutut minta ampun!” teriak Kui Lok dan Thio Ki berganti-ganti sambil
memukul terus.
Sesabar-sabarnya
orang, apa lagi seorang anak kecil seperti Beng San, kalau didesak terus
seperti itu dan disiksa, akhirnya tak kuat juga menahan. Sakit pada tubuhnya
bukan apa-apa baginya karena dia sudah sering kali menderita sakit. Akan tetapi
sakit pada hatinya yang lebih berat ditanggung. Mukanya yang tadinya kehijauan
sekarang sudah mulai menjadi merah kehitaman, tanda bahwa dia tak dapat lagi
menahan kemarahannya.
Pada waktu
itu, Kui Lok memegang tangan kirinya, sedangkan Thio Ki memegang tangan
kanannya, keduanya memukul dari kanan kiri sambil membentak-bentak, memaksa dia
berlutut minta ampun. Karena tidak dapat lagi menahan kemarahannya, tenaga
mukjijat dalam tubuh Beng San bekerja, hawa Yang di tubuhnya membuat mukanya
kehitaman itu menolak pukulan-pukulan dari kanan kiri.
Tiba-tiba
terdengar pekik kesakitan, Kui Lok sehabis memukul terguling roboh, disusul
Thio Ki yang juga roboh setelah memukul leher Beng San. Kedua orang anak itu
roboh dan pingsan dengan mata mendelik dan mulut berbusa!
Bukan main
kagetnya Kwa Hong dan Thio Bwee. Mereka melihat jelas betapa dua orang jago
muda itu yang memukul, kenapa tahu-tahu roboh pingsan dengan mata mendelik?
Para tosu juga melihat ini dan mereka yang percaya akan tahyul menjadi
ketakutan.
"Dia
benar setan... dia iblis jahat... celaka...!" Para tosu itu cepat
mengeluarkan senjata masing-masing dan siap hendak mengeroyok Beng San.
”Supek
sekalian, jangan turun tangan!" Kwa Hong meloncat mencegah. "Biar
sukong nanti yang memutuskan urusan ini."
Para tosu
masih bersikap mengancam. Beng San diam-diam mencatat pembelaan Kwa Hong atas
dirinya ini di dalam hatinya. Betapa pun juga, kuntilanak cilik ini tidak
jahat, pikirnya. la diam saja, hanya menyusuti darah yang tadi mengalir dari
lubang hidungnya dan membereskan pakaiannya yang koyak-koyak.
Kebetulan
sekali pada waktu itu, Lian Bu Tojin dan Sian Hwa datang memasuki taman. Mereka
kaget melihat ribut-ribut di taman.
Sian Hwa
berseru kaget. Ia cepat-cepat memeriksa dua orang anak keponakannya yang
pingsan dengan mata mendelik. Lian Bu Tojin juga memandang heran.
Setelah
memeriksa sebentar, kakek ini bertanya dengan suara terheran-heran.
"Mereka pingsan karena terluka hawa pukulan sendiri yang membalik,"
lalu menoleh kepada Kwa Hong dan Thio Bwee. "Apa yang telah terjadi di
sini?”
Beramai-ramai
Kwa Hong bersama para tosu yang tadi menghalangi Beng San masuk menceritakan
asal mula kejadian itu. Bahwa Beng San memaksa naik ke puncak sampai memasuki
taman dan betapa Koai Atong yang hendak membawa pergi Kwa Hong kaget dan lari
ketakutan saat melihat kedatangan Beng San. Kemudian Kwa Hong menceritakan
betapa Thio Ki dan Kui Lok marah karena Beng San tidak mau pergi, dan kemudian
dua anak ini memukuli Beng San.
"Bunglon...
ehh, anak ini tidak melawan, Sukong. Teecu sudah mencegah kedua suheng
memukulinya, tetapi mereka terus saja memukul. Akhirnya, entah bagaimana,
keduanya malah roboh sendiri seperti itu." Setelah berkata demikian, Kwa
Hong menoleh kepada Beng San yang kini berdiri menundukkan mukanya yang sudah
berubah putih kembali, pulih bersih dengan alisnya yang hitam lebat dan matanya
yang seperti mata harimau.
Lian Bu
Tojin menghampiri kedua orang muridnya. Dengan beberapa kali mengurut pada
punggung mereka, dua orang anak itu waras kembali, bangun dengan muka
kemerahan.
Lian Bu
Tojin memandang mereka dengan muka keren, membuat dua orang anak itu tunduk
ketakutan. Kemudian Lian Bu Tojin menghampiri Beng San, untuk beberapa menit
lamanya dia menatap wajah anak itu dan amat terheran-heran menyaksikan sinar
mata yang luar biasa dari anak jembel yang berdiri di depannya.
"Kau
siapakah, anak muda?" Pertanyaan kakek ini halus tetapi berpengaruh,
sedangkan pandang matanya tajam menembus jantung.
Hal ini
dirasakan oleh Beng San ketika dia mengangkat muka. Cepat-cepat dia kembali
menundukkan pandang matanya agar jangan sampai kakek itu dapat membaca rahasia
hatinya.
"Nama
teecu Beng San," jawabnya sederhana.
"Apa
nama keturunanmu?"
"Ehh...
nama keturunan? Hemmm, she (nama keturunan) teecu (aku) adalah... Huang-ho
(Sungai Kuning)."
”Apa?” Lian
Bu Tojin mengerutkan keningnya. "Di dunia ini, mana ada orang bernama
keturunan Huang-ho?"
"Teecu
hanya tahu bahwa teecu terbawa hanyut Sungai Huang-ho, karena itu teecu tidak
tahu lagi siapa orang tua dan siapa pula she, teecu mengambil keputusan untuk
memakai nama keturunan Huang-ho saja. Jadi nama teecu Huang-ho Beng San."
Lian Bu
Tojin mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggot. Diam-diam dia memuji
sikap anak ini yang dari kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang anak yang
tahu akan sopan santun.
"Kenapa
Koai Atong lari tunggang-langgang melihatmu?"
"Siapa
itu Koai Atong, Totiang? Teecu tidak mengenalnya."
"Orang
tinggi besar yang tadi lari ketakutan melihatmu. Apakah kau tidak pernah
bertemu dengannya?"
Beng San
menggelengkan kepalanya. "Teecu tidak merasa pernah bertemu dengan orang
tadi."
Kembali Lian
Bu Tojin mengelus jenggot, sedangkan Sian Hwa, Kwa Hong dan tiga orang
temannya, juga para tosu yang berada di situ, mendengarkan dengan heran. Bocah
ini benar-benar aneh.
”Ketika kau
dipukuli oleh kedua orang anak nakal ini, dengan cara bagaimana kau dapat mengembalikan
tenaga dan hawa pukulan mereka? Pernahkah kau belajar silat?"
Kembali Beng
San menggelengkan kepala. "Teecu tidak tahu, tidak bisa silat."
Lian Bu
Tojin menoleh kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri sambil tunduk. Kening
kakek ini berkerut.
"Kalian
ini anak-anak nakal sungguh tak tahu malu. Mengeroyok dan memukuli seorang anak
yang tidak pandai silat? Apakah hal itu termasuk perbuatan gagah? Sungguh amat
memalukan kalian ini. Dan katakanlah, apa sebabnya kalian tadi roboh
pingsan?"
Kui Lok tidak
berani menjawab, Thio Ki juga hanya melirik kepadanya. Setelah Lian Bu Tojin
membentak dan mendesak, baru Thio Ki menjawab lirih.
"Tidak
tahu, Sukong. Tahu-tahu teecu sudah sadar tadi. Entah apa sebabnya teecu bisa
pingsan.”
Sian Hwa
merasa kasihan melihat murid-murid keponakannya, maka ia berkata. "Suhu,
apakah tidak bisa jadi karena terlampau marah, mereka tidak mengatur tenaga dan
hawa kemarahan lantas menyesak ke dada sehingga ketika mereka memukul, tenaga
pukulan terpental oleh hawa yang menyesak di dada sendiri itu?"
Lian Bu
Tojin mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Tapi hal ini termasuk hal yang
luar biasa sekali." Ia menoleh kepada Beng San. "Apakah badanmu
sakit-sakit dipukul tadi? Coba kuperiksa, barangkali kau terluka parah, kalau
begitu akan kuobati sampai sembuh."
Tanpa
menanti jawaban Lian Bu Tojin menyodorkan tangannya dan meraba pundak Beng San.
Anak ini merasa betapa dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar semacam
tenaga dahsyat yang menyerang pundaknya.
la kaget
sekali dan hampir saja mengerahkan tenaga. Baiknya dia seorang yang cerdik.
Biar pun dia belum perpengalaman, namun pengertiannya dalam ilmu silat tinggi
yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee sudah cukup. la mengerti bahwa dirinya
diuji, maka segera dia mengumpulkan semangatnya, memaksa diri diam saja agar
hawa di tubuhnya jangan bergerak.
Lian Bu
Tojin mendapat kenyataan dari rabaan tangannya pada pundak anak itu bahwa
memang anak itu kosong, tubuhnya tidak memiliki tenaga dalam. Karena itu, lenyaplah
kecurigaannya bahwa cucu-cucu muridnya roboh oleh penggunaan tenaga dalam yang
luar biasa. la tertawa sambil melepaskan tangannya.
"Ha,
kau tidak apa-apa, tidak terluka. Beng San, sekarang ceritakan, apa kehendakmu
datang ke Hoa-san mencari pinto."
"Teecu
datang membawa sepucuk surat dari sahabat lama Totiang. Inilah suratnya."
Beng San
menyerahkan surat tulisan Lo-tong Souw Lee dengan mengucapkan kata-kata seperti
yang dipesan oleh kakek itu. Memang kakek tua itu memesan kepadanya agar jangan
mengucapkan namanya di depan Lian Bu Tojin.
Lian Bu
Tojin tersenyum dan menerima surat itu. Jantung kakek ketua Hoa-san-pai ini
berdetak keras ketika dia melirik ke arah nama pengirim surat itu. Akan tetapi
kekuatan batinnya yang sudah tinggi itu membuat wajahnya tetap tersenyum, sama
sekali tidak memperlihatkan keadaan hatinya. Siapa orangnya tidak akan berdetak
keras jantungnya ketika membaca nama Lo-tong Souw Lee?
Nama besar
Souw Lee dikenal oleh semua orang kang-ouw setelah perbuatannya yang
menggemparkan, yaitu setelah dia mencuri sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam
yang diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia persilatan.
Sebagai
seorang ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin sendiri tentu saja merasa malu untuk
turut memperebutkan senjata pusaka lain orang. Apa lagi dengan Souw Lee dia
dahulu waktu mudanya pernah menjadi sahabat yang amat baik.
Dengan
tenang Lian Bu Tojin membaca surat itu. Di dalam suratnya itu, Lo-tong Souw Lee
minta pertolongan ketua Hoa-san-pai agar suka melindungi Beng San dari ancaman
mara bahaya.
"Anak
ini yatim piatu," tulis Lo-tong Souw Lee, "aku amat kasihan dan suka
kepadanya. Mungkin akibat kenal denganku, jiwanya menjadi terancam oleh
orang-orang jahat. Harap kau lindungi dia sampai saat aku mati dan dia terbebas
dari ancaman orang yang hendak memaksanya membawa mereka kepadaku."
Lian Bu
Tojin mengangguk-angguk. la mengerti akan maksud Lo-tong Souw Lee. Agaknya anak
ini dikasihi kakek itu dan karena anak ini berkenalan dengan Souw Lee, sangat
bisa jadi orang-orang kang-ouw akan menculiknya dan memaksanya menunjukkan di
mana tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee.
"Beng
San, sudah lamakah kau kenal dengan penulis surat ini?" Lian Bu Tojin
bertanya sambil menyimpan surat itu ke dalam saku jubahnya.
"Belum
lama, Totiang, baru beberapa bulan," jawab Beng San sejujurnya.
"Jadi
kau tidak tahu tempatnya, ya? Bagus, tentu kau tidak tahu tempatnya," kata
ketua Hoa-san-pai ini, membuat Beng San terheran-heran.
Akan tetapi
anak yang cerdik ini segera maklum akan maksud Lian Bu Tojin. Tentu kakek ini
memperingatkan kepadanya supaya dia tidak mengaku tahu tempat sembunyi Lo-tong
Souw Lee kepada siapa pun juga. Maka dia mengangguk dan menundukkan mukanya.
"Apa
kau suka belajar silat? Kulihat kau amat berbakat untuk belajar ilmu silat. Kau
boleh belajar dari para tosu murid-murid pinto."
Beng San
berpikir. Apa artinya dia mempelajari ilmu silat lain? Ilmu-ilmu yang sudah dia
hafalkan pun belum matang dia latih. Pula, kalau dia belajar ilmu silat
Hoa-san-pai, berarti dia menjadi murid Hoa-san-pai dan ada bahayanya akan
diketahui orang rahasianya apa bila dia bergerak dalam bermain silat.
"Teecu
lebih senang mempelajari ujar-ujar kuno dan filsafat-filsafat, dalam hal ini
mohon petunjuk Totiang."
Lian Bu
Tojin menggerak-gerakkan alisnya saking herannya. Di mana di dunia ini ada
seorang anak belasan tahun umurnya ingin mempelajari filsafat kebatinan?
"Pernahkah
kau mempelajari kebatinan?" tanyanya.
"Teecu
pernah bekerja sebagai kacung di dalam kelenteng besar dan para losuhu yang
baik dari kelenteng itu kadang-kadang mengajar teecu membaca kitab-kltab
kuno."
”Bagus kalau
begitu. Beng San, mulai sekarang kau kuserahi tugas menjaga kebersihan pondok
pinto dan di waktu senggang kau boleh mempelajari filsafat tentang Agama
To."
Beng San
menjatuhkan diri berlutut, kemudian menghaturkan terima kasih. Lian Bu Tojin
mengangguk-angguk dan mengajak anak itu masuk pondoknya untuk memberi petunjuk
tentang tugas pekerjaannya.
Ketika Beng
San bangkit berdiri, dia menoleh ke arah Kwa Hong dan tersenyum ramah. Tidak
terlupa olehnya betapa tadi Kwa Hong membelanya ketika dia dipukuli dua orang
jago cilik murid Hoa-san-pai itu. Juga dia mengerling manis ke arah Thio Bwee
yang tadi pun berusaha mencegah Thio Ki. Akan tetapi dia melihat betapa dua
pasang mata jago cilik itu memandang kepadanya penuh kebencian.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment