Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 09
Satu bulan
sesudah Beng San bekerja di Hoa-san. la bekerja rajin, tidak saja menjaga
bersih pondok tempat kediaman ketua Hoa-san-pai, juga taman bunga menjadi
bersih dan terjaga baik setelah Beng San berada di situ. Satu-satunya hal yang
membuat dia sering kali merasa tersiksa adalah sikap Thio Ki dan Kui Lok. Dua
orang anak ini masih saja benci kepadanya, dan setiap kali terdapat kesempatan,
pasti kedua orang anak ini mengejeknya, memaki dan menyebutnya jembel busuk,
setan cilik, dan lain-lain. Thio Bwee yang pendiam tidak pernah berterang
menghinanya, akan tetapi pandang mata anak perempuan ini pun selalu dingin dan
selalu menghindarinya, seakan-akan memandang rendah.
Hanya Kwa
Hong yang tidak berubah sikapnya. Anak perempuan ini tetap galak, lincah dan suka
menggoda seperti dahulu, akan tetapi sama sekali tidak pernah menghinanya.
Hanya kadang-kadang kalau bertemu Kwa Hong suka menggoda.
”Heiii,
bunglon. Coba perlihatkan muka hijau!" Sambil tertawa-tawa, atau
kadang-kadang berkata, "Bunglon, sudah lama aku tak pernah melihat muka
hitammu!"
Beng San
hanya tertawa saja kalau digoda oleh Kwa Hong, akan tetapi sekarang dia tidak
berani lagi memaki ‘kuntilanak’ setelah tahu bahwa anak ini adalah cucu murid
terkasih dari Lian Bu Tojin. Terhadap Kui Lok dan Thio Ki pun Beng San bersikap
sabar sekali. Sudah beberapa kali dua orang anak ini sengaja mencari-cari dan
menantangnya, namun Beng San tidak mau melayaninya.
Pada suatu
hari menjelang senja, karena pekerjaannya sudah habis, Beng San memasuki taman
dengan maksud untuk beristirahat. la melihat empat orang anak itu sedang giat
berlatih silat. Biasanya kalau mereka berlatih silat, dia hanya melihat dari
jauh saja, sama sekali tidak tertarik karena dia tahu bahwa kepandaian mereka
itu sama sekali tidak ada artinya.
Selama
beberapa bulan ini setelah latihan-latihan yang dia lakukan semakin matang, dia
merasa betapa mudah dia menguasai hawa dan tenaga di dalam tubuhnya dan sangat
mudahnya dia mainkan ilmu-ilmu silat yang sudah dia pelajari. Terutama sekali
Im-yang Sin-kiam-sut dapat dia mainkan dengan mudah dan tepat. Penggunaan
tenaga dalam dapat dia atur sekehendak hatinya. Semua ini adalah hasil dari
latihan-latihan napas dan semedhi seperti yang diajarkan oleh Lo-tong Souw Lee.
Dengan
pandang matanya yang sudah tajam berkat tenaga dalamnya, Beng San dapat melihat
betapa gerakan empat orang anak itu amat lemah dasarnya dan sungguh pun ilmu
silat mereka indah dipandang, terutama ilmu pedangnya, akan tetapi dia anggap
tidak ada gunanya dalam pertandingan. Karena dia sudah memasuki taman, Beng San
tidak mau keluar lagi dan malah duduk di atas sebuah batu hitam dekat kolam
ikan, menonton mereka yang bersilat. Pada saat itu, Kwa Hong sedang bermain
pedang. Sekali lirik saja gadis cilik ini melihat kedatangan Beng San dan aneh
sekali, tiba-tiba saja timbul di dalam pikirannya untuk bersilat lebih hebat.
la
mempercepat gerakannya sehingga tubuhnya yang berpakaian merah itu melayang ke
sana ke mari merupakan bayangan merah, diselingi berkelebatnya pedang yang
bergerak menyambar-nyambar. Setelah ia berhenti bersilat, tiga orang kawannya
bertepuk tangan memuji. Tanpa terasa lagi Beng San juga ikut bertepuk tangan
karena dia harus mengakui bahwa permainan Kwa Hong itu betul-betul indah
dipandang. Kwa Hong menoleh ke arah Beng San dan matanya berseri gembira, akan
tetapi Kui Lok dan Thio Ki melirik ke arah kacung itu sambil berjebi mengejek.
"Dia
tahu apa tentang ilmu silat?" kata Kui Lok.
"Seperti
monyet saja. Orang lain bertepuk dia juga ikut bertepuk," sambung Thio Ki.
“Dia memuji
aku, apa salahnya?" Kwa Hong berkata, agak marah. Dua orang anak lelaki
itu segera diam dan tidak mau mencela Beng San lagi.
Sementara
itu Thio Bwee sudah meloncat maju dan bersilat pedang pula. Agaknya seperti
juga Kwa Hong atau semua anak perempuan, Thio Bwee pun tak terluput dari sifat
ingin dipuji. Pujian yang dia terima dari ketiga orang kawannya sudah
membosankan hatinya, sekarang terdapat Beng San di situ yang telah memuji Kwa
Hong, tentu saja ia pun ingin memancing pujian.
Diam-diam
Beng San memperhatikan. Dalam gerakan-gerakan ilmu pedang Hoa-san-pai itu,
ternyata Kwa Hong jauh lebih mahir, lebih cepat dan lebih ringan gerakannya.
Akan tetapi dalam gerakan menyerang, harus dia akui bahwa Thio Bwee ini lebih
kuat, lebih ganas dan lebih berbahaya. Setelah Thio Bwee selesai bermain
pedang, kembali Beng San tanpa ragu-ragu ikut memuji, malah berkata.
"Bagus...
bagus...!"
Mendadak
terdengar suara pujian lain, "Bagus, bagus Nona-nona kecil yang
manis."
Ketika
anak-anak itu menengok mereka melihat seorang laki-laki yang berpakaian indah
berjalan menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum. Lalu, sebelum
anak-anak itu dapat menduga apa yang akan terjadi, laki-laki ini sudah meloncat
ke depan dan sekali sambar saja dia sudah menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee
dengan kedua tangannya dan mengempit pinggang dua orang anak perempuan itu.
Kwa Hong dan
Thio Bwee tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berusaha untuk meronta dan
memberontak, namun percuma saja, dalam kempitan yang amat kuat dari laki-laki
itu mereka tidak mampu melepaskan diri. Kui Lok dan Thio Ki sudah dapat
mengatasi kekagetan hati mereka. Dengan marah mereka mencabut pedang dan
menerjang maju.
"Penjahat
busuk, lepaskan mereka!” bentak dua orang anak ini sambil menyerang dengan
pedang.
Laki-laki
itu tertawa bergelak. Dua kakinya bergerak cepat melakukan tendangan berantai
dan tubuh Kui Lok dan Thio Ki terlempar, pedang mereka terlepas dan pegangan.
Sambil tertawa-tawa orang itu lalu keluar dari taman dengan langkah yang amat
cepat. Dua orang gadis cilik itu tetap meronta-ronta di dalam kempitannya.
Sebentar
saja laki-laki itu sudah lenyap dari situ, meninggalkan Kui Lok dan Thio Ki
yang meringis dan mengeluh kesakitan ketika mereka merayap bangun. Beng San
sudah tidak kelihatan lagi bayangannya, entah ke mana perginya anak itu. Akan
tetapi tentu saja Kui Lok dan Thio Ki tidak menaruh perhatian terhadap Beng
San, sebaliknya mereka lalu dengan wajah pucat berlari-lari memasuki pondok
Lian Bu Tojin untuk melaporkan tentang penculikan itu. Dapat dibayangkan betapa
kaget hati Lian Bu Tojin, dan terutama sekali Sian Hwa.
”Bagaimana
macamnya orang itu?" tanya Lian Bu Tojin, sementara itu Sian Hwa sudah
berkelebat keluar untuk melakukan pengejaran.
“Dia laki-laki,
pakaiannya indah...,” kata Thio Ki yang masih gugup dan pucat.
"Masih
muda, wajahnya tampan, pesolek dan tersenyum-senyum?"
Ketika Kui
Lok dan Thio Ki membenarkan, tahulah Lian Bu Tojin bahwa penculik dua orang
muda cucu muridnya itu bukan lain adalah orang muda yang pernah mengganggu Sian
Hwa dan yang mengaku bernama Souw Kian Bi. Ah, berbahaya kalau dibiarkan Sian
Hwa mengejar sendiri, pikirnya.
Kakek ini
sudah maklum akan kelihaian orang she Souw itu, maka terpaksa dia lantas
bangkit dari tempat duduknya dan segera melakukan pengejaran sendiri, bukan
saja untuk merampas kembali dua orang cucu muridnya, juga untuk menjaga
keselamatan Sian Hwa. Ketika kakek ini turun dari puncak, dia melihat beberapa
orang muridnya, yaitu para tosu yang berjaga, sudah menggeletak karena tertotok
orang jalan darahnya. Ini membuktikan bahwa orang she Souw itu memasuki
Hoa-san-pai dengan menggunakan kekerasan.
Dugaan Lian
Bu Tojin memang tidak keliru. Laki-laki yang menculik Kwa Hong dan Thio Bwee
itu memang bukan lain orang adalah orang yang pernah mengganggu Sian Hwa dan
mengaku bernama Souw Kian Bi. Siapakah dia ini?
Souw Kian Bi
bukanlah orang sembarangan. Dia ini sebetulnya seorang putera pangeran bangsa
Mongol yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat nakal. Dengan menggunakan
kekuasaannya sebagai putera pangeran, ditambah dengan kepandaiannya yang
tinggi, anak bangsawan yang menggunakan nama Han, yaitu Souw Kian Bi ini
mengumbar nafsunya.
Dia seorang
pemuda hidung belang, terkenal suka mengganggu anak isteri orang lain. Entah
berapa banyaknya keonaran dia sebabkan, dan entah berapa banyak anak-anak dan
isteri orang lain dia ganggu. Akan tetapi siapa berani menentangnya? Andai kata
ada yang tidak takut menghadapi kedudukannya, setidaknya orang akan segan bermusuhan
dengan putera pangeran yang tinggi ilmu silatnya ini.
Ayahnya
seorang bangsawan Mongol, tentu saja telah mendengar tentang sepak terjang
puteranya yang amat tercela itu. Maka dia lalu memanggil Souw Kian Bi,
memaki-makinya habis-habisan, kemudian untuk menjaga kebersihan nama keluarga,
dia memerintahkan Souw Kian Bi untuk ikut bekerja kepada pemerintah. Karena
Souw Kian Bi pandai silat, maka dia lalu diberi tugas untuk membantu pemerintah
dalam membasmi pemberontak-pemberontak, terutama sekali dalam usahanya membasmi
Pek-lian-pai.
Inilah
sebabnya mengapa Souw Kian Bi sampai tiba di daerah Hoa-san, daerah yang
dianggap menjadi tempat persembunyian sebagian dari para pemberontak
Pek-lian-pai. Akan tetapi dasar pemuda bermoral rendah, di samping menjalankan
tugasnya memimpin pasukan besar untuk menumpas pemberontak, Souw Kian Bi tidak
pernah melupakan kesenangannya. Di mana-mana, terutama di desa-desa, dia
menggunakan kekuasaannya untuk menculik wanita-wanita cantik.
Akhirnya,
seperti telah dituturkan di bagian depan, dia bertemu dengan Liem Sian Hwa.
Kecantikan jago muda Hoa-san-pai ini membangkitkan semangatnya dan meski pun
dia telah diusir oleh Lian Bu Tojin, akan tetapi hatinya masih penasaran kalau
dia belum bisa berkenalan dengan Sian Hwa. Selain ini, juga rombongannya
menaruh curiga terhadap Hoa-san-pai dengan adanya kenyataan bahwa beberapa
pasukan Mongol telah dihancurkan dan tewas di daerah ini. Maka sambil melakukan
penyelidikan akan keadaan Hoa-san-pai, Souw Kian Bi sekalian mencari kesempatan
untuk mendapatkan diri Liem Sian Hwa!
Ketika
memasuki taman Hoa-san-pai dan melihat Kwa Hong dan Thio Bwee, timbul pikiran
Souw Kian Bi untuk memancing keluar Sian Hwa. Kalau bukan untuk akal ini,
kiranya dia tidak akan mau menculik dua orang bocah perempuan itu. Souw Kian Bi
memang tinggi kepandaiannya, maka biar pun dua orang bocah itu sudah
mempelajari ilmu silat, di dalam kempitan kedua tangannya mereka tidak berdaya.
Di samping
ini, Souw Kian Bi masih mampu berjalan dengan cepat sekali, turun dari puncak
melalui sebelah utara. Cepat dia meloncati jurang-jurang, mendaki batu-batu,
nampak tubuhnya ringan dan enak saja melalui jalan yang sukar itu. Ketika sudah
jauh dia berlari dan menengok ke belakang, dari jauh dia melihat bayangan
seorang anak kecil melakukan pengejaran.
"Hemmm,
sudah kutendang masih berani mengejar?" Souw Kian Bi berpikir penasaran.
la
melepaskan Thio Bwee dan cepat menotok jalan darah anak ini sehingga
menggeletak tak dapat bergerak lagi. Tangan kanannya yang kini bebas merogoh
saku, mengeluarkan sebuah pelor besi. la menanti sampai bayangan anak yang
mengejar itu agak dekat, lalu menyambit. Jelas sekali sambitannya ini, tepat
mengenai sasaran karena anak itu roboh terguling. Sambil tertawa-tawa Souw Kian
Bi mengempit lagi tubuh Thio Bwee dengan tangan kanannya, lalu kembali
melanjutkan larinya. Siapakah bocah yang dia sambit tadi? Bukan lain adalah
Beng San!
Beng San
yang pada saat Souw Kian Bi menculik Kwa Hong dan Thio Bwee berada pula di
taman, diam-diam melakukan pengejaran. Biar pun jalan itu sukar sekali, namun
bagi Beng San yang sekarang bukan Beng San dahulu lagi, sudah memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi, bukanlah merupakan jalan yang sukar.
Akan tetapi
dia sengaja tidak mau menyusul Kian Bi, hanya mengikuti dari jauh untuk melihat
ke mana dibawanya dua orang anak perempuan itu. Dia memang bermaksud menolong
Kwa Hong dan Thio Bwee, akan tetapi secara diam-diam agar jangan diketahui
orang bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian.
Ketika Souw
Kian Bi menyerang dengan pelor baja yang disambitkan, tentu saja Beng San dapat
melihat dengan jelas datangnya pelor. Dengan mudah tangannya menyambar dan
menangkap pelor itu, akan tetapi dia pura-pura menggulingkan tubuh agar jangan
dicurigai lawan. Benar saja, Kian Bi terpedaya dan mengira dia roboh binasa, tidak
memeriksa lebih lanjut. Setelah Kian Bi melanjutkan larinya, Beng San mengejar
lagi, kini berhati-hati sekali agar jangan kelihatan oleh orang yang
dikejarnya.
Kurang lebih
dua puluh li jauhnya Kian Bi membawa lari dua orang anak perempuan itu. Akhirnya
dia tiba di sebuah hutan yang berada di kaki Gunung Hoa-san sebelah utara.
Dalam hutan ini terdapat perkemahan yang besar, dan terjaga kuat oleh tentara
Mongol. Di tengah-tengah berkibar bendera Mongol yang ditandai oleh gambar naga
hitam. Para penjaga tertawa ketika melihat putera pangeran ini datang
menggondol dua orang bocah perempuan yang mungil-mungil.
"Aduh,
Souw-kongcu, kau mendapatkan dua tangkai bunga yang belum mekar? Sayang
bunga-bunga masih kuncup sudah dipetik," demikian komentar seorang kepala
jaga.
"Hushhh,
diam kau! Kau tahu apa?" Souw Kian Bi membentak, akan tetapi mulutnya
tersenyum sambil menurunkan Kwa Hong dan menotoknya pula. "Nih, kau
bawalah dua orang bocah mungil ini ke kamar di kemahku, jaga baik-baik jangan
sampai lari atau ada yang menolongnya. Aku menggunakan mereka untuk memancing
datangnya seseorang yang kunanti-nanti. Awas, penjagaan harus diperkuat di
sebelah depan. Sebelah belakang boleh kalian kosongkan, karena tidak akan
mungkin bocah-bocah itu lari melalui jalan belakang yang penuh dengan
rawa."
Setelah
menyerahkan dua orang anak itu kepada penjaga yang segera membawa mereka ke
tempat yang dimaksud, Souw Kian Bi memasuki perkemahan terbesar di mana
berkumpul beberapa orang panglima dan tokoh-tokoh penting dalam usaha
pembasmian Pek-lian-pai. Sementara itu, hari telah menjadi gelap karena senja
lewat terganti malam. Di dalam kemah terbesar itu dipasangi penerangan yang
besar pula, terjaga kuat-kuat oleh belasan orang serdadu di sekelilingnya.
Souw Kian Bi
memasuki kemah itu dari depan, langsung menuju ke dalam, di mana terdapat
ruangan yang lebar dan di sini berkumpul lima orang mengelilingi sebuah meja.
Hidangan arak dan makanan nampak mengebul di atas meja, dilayani oleh
wanita-wanita cantik.
Ketika Kian
Bi masuk, orang-orang itu segera berdiri dari tempat duduk masing-masing,
kecuali seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam berkepala gundul dan
berpakaian seperti seorang hwesio. Hwesio tinggi besar ini tetap acuh tak acuh,
malah ketika Kian Bi memasuki ruangan dia segera menyumpit sepotong daging
besar dan dimasukkannya ke dalam mulut, terus dikunyah sambil mengeluarkan
suara seperti babi makan.
Di dekat
bangkunya bersandar sebuah dayung perahu yang sangat besar, terbuat dari logam
hitam kebiruan. Usia hwesio ini tentu tidak kurang dari lima puluh tahun,
mungkin sudah enam puluh, akan tetapi tubuhnya masih tetap tegap kuat.
Kepalanya yang licin belum nampak putih, sepasang matanya lebar bundar seperti
mata kerbau. Ada pun empat orang yang lainnya adalah panglima-panglima Mongol
yang bertugas mengadakan ‘pembersihan’ di daerah ini terhadap para pemberontak,
terutama orang orang Pek-lian-pai.
"Souw-kongcu
baru datang?" berkata seorang di antara para panglima. "Silakan
duduk. Kebetulan sekali, sambil makan-makan kami sedang berunding dengan Losuhu
untuk mengambil sikap terhadap Hoa-san-pai."
Hwesio
tinggi besar itu melirik ke arah Souw Kian Bi, lalu mengeluarkan suara melalui
hidung seperti orang mengejek, kemudian disusul suaranya yang kasar, parau dan
keras, "Souw-kongcu selalu pergi mencari kesenangan dengan perempuan.
Kalau berlarut-larut, tugas bisa kacau kesehatan rusak dan menurun. Kau tersesat,
Kongcu."
Souw Kian Bi
tertawa bergelak sambil menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi yang
berhadapan dengan hwesio itu. Dengan lagak gembira dia menerima sebuah cawan
arak yang dihidangkan oleh seorang nona pelayan manis sambil mencolek pipi
pelayan itu, kemudian dia berkata.
"Losuhu,
di dalam bersenang saya tidak pernah melupakan tugas. Kali ini saya berhasil
membawa dua orang cucu murid Hoa-san-pai, hal ini perlu untuk memancing
datangnya orang-orang Hoa-san-pai dan melihat bagaimana sikap mereka, baik
terhadap kita mau pun Pek-lian-pai." Souw Kian Bi lalu menjelaskan
maksudnya yang merupakan siasat untuk menjauhkan Hoa-san-pai dari para
pemberontak itu.
"Bagus
sekali, Kongcu!" Seorang komandan berseru girang memuji akal putera
pangeran ini.
Juga hwesio
itu mengangguk-angguk. Akan tetapi karena otaknya tidak biasa berpikir tentang
hal yang ruwet-ruwet, dia lalu minum araknya dengan lahap. Siapakah hwesio tua
ini? Dia bukan lain adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, seorang tokoh besar
dari timur yang berilmu tinggi.
Seperti juga
para tokoh kang-ouw yang besar, misalnya Hek-hwa Kui-bo, Song-bun-kwi dan
Siauw-ong-kwi, juga seperti yang lain, dia ingin mendapatkan Liong-cu
Siang-kiam. Begitu turun dari pertapaannya, dia bertemu dengan anak perempuan yang
menangisi mayat Thio Sian, tokoh Pek-lian-pai. Kemudian hwesio ini yang
tertarik oleh bakat baik dalam diri anak perempuan itu, lalu membawa pergi anak
itu bersama mayat Thio Sian.
Anak itu
bernama Thio Eng, puteri tunggal Thio Sian yang semenjak saat itu ia jadikan
muridnya. Hal ini sudah dituturkan di bagian depan, yaitu pada waktu kakek
hwesio yang membawa lari Thio Eng ini dilihat oleh Kun-lun Sam-hengte.
Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang adalah seorang sakti, akan tetapi dia amat jujur
dan mudah sekali dihasut atau dibujuk orang. Akhirnya dia bertemu dengan putera
pangeran yang bernama Souw Kian Bi ini.
Souw Kian Bi
yang amat licin dan cerdik segera dapat membujuk Swi Lek Hosiang untuk
membantunya. Memang sebelumnya dia sudah mengenal Swi Lek Hosiang yang dahulu
adalah seorang sahabat dari pamannya, yaitu Lo-tong Souw Lee.
Tentunya
para pembaca masih ingat kepada Lo-tong Souw Lee, pencuri pedang Liong-cu
Siang-kiam itu. Memang, Souw Lee bukanlah orang biasa, melainkan dia juga
seorang bangsawan Mongol yang sakti dan yang tak suka melihat kelakuan
bangsanya menindas orang-orang Han. Karena itu Souw Lee mencuri sepasang pedang
Liong-cu Siang-kiam dan melarikan diri.
Dalam
percakapan ketika keduanya bertemu, Souw Kian Bi dengan cerdik menjanjikan
bantuan kepada Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang untuk mencarikan Souw Lee yang masih
terhitung saudara kakeknya, malah memberi janji bahwa kelak akan memberi
kedudukan tinggi kepada Swi Lek Hosiang di depan kaisar. Hwesio yang jujur
tetapi kurang cerdik ini masuk dalam perangkap, apa lagi ketika diceritakan
mengenai adanya pemberontakan-pemberontakan yang jahat dan yang mengacau
rakyat, hwesio ini serta merta menjanjikan bantuannya.
Demikianlah
sebab-sebabnya mengapa orang sakti ini sekarang berada di dekat Kian Bi untuk
membantu pemerintah Mongol menindas para pemberontak. Untuk keperluan ini, Swi
Lek Hosiang ikut pergi ke Hoa-san di mana banyak tentara Mongol sudah menjadi
korban gempuran orang-orang Pek-lian-pai. Thio Eng yang sudah menjadi muridnya
dia titipkan pada sebuah kelenteng di kota Tiong Kwan.
"Yang
berbahaya adalah Lian Bu Tojin," kata Souw Kian Bi sambil mengerling ke
arah hwesio yang masih lahap makan daging dan arak itu. "Hoa-san Sie-eng
sih mudah untuk menghadapinya, Ketua Hoa-san-pai itulah yang membikin khawatir,
dia lihai sekali..."
"Hemmm,
berapa sih kuatnya Lian Bu Tojin? Kalau betul tosu bau itu memihak kepada
pemberontak dan hendak mengacau, biar pinceng (aku) lawannya!" Suara
Tai-lek-si Swi Lek Hosiang mengguntur.
"Saya
bukan kurang percaya akan kepandaian Losuhu, akan tetapi tosu tua itu tak boleh
dipandang sebelah mata. Pedang pusakaku sekali bertemu dengan tongkat bambunya
patah menjadi dua. Wah, bukan main lihainya dia!" Souw Kian Bi berkata
memperlihatkan sikap kekhawatiran besar. Dia cerdik sekali, kata-kata dan
sikapnya ini sengaja membakar hati kakek yang jujur dan polos itu.
"Suruh
dia datang! Suruh ketua Hoa-san-pai datang! Pinceng hendak melihat sampai di
mana kelihaiannya!" Suara hwesio itu makin keras.
Tiba-tiba
terdengar suara dari luar kemah, "Tai-lek-sin, tak perlu kau
berteriak-teriak, pinto (aku) sudah datang!" Suara ini lirih dan sangat
halus, akan tetapi dari dalam terdengar seolah-olah yang bicara berada di dalam
ruangan itu.
"Nah,
itu dia Hoa-san-pai ciangbujin (ketua)," Souw Kian Bi berbisik, kini dia
benar-benar ketakutan karena orang sudah bisa berada di luar kemah tanpa
diketahui para penjaga, itu saja sudah membuktikan betapa lihainya orang yang
datang ini.
Tak-lek-sin
Swi Lek Hosiang menggerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pintu tenda.
Angin pukulan menyambar dan pintu itu terbuka dengan sendirinya. la berkata
sambil tertawa.
"Ketua
Hoa-san-pai kah yang datang? Harap masuk, pintu terbuka lebar-lebar!"
Semua orang
memandang ke pintu yang terbuka. Cuaca di luar remang-remang karena pada malam
itu hanya diterangi bintang-bintang. Dengan tenang berjalanlah kakek ketua
Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, masuk sambil bersandar pada tongkatnya. Di
belakangnya bukan hanya Liem Sian Hwa yang mengikutinya, tetapi lengkap dengan
Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng. Ternyata Hoa-san Sie-eng sudah
lengkap datang ke situ di belakang guru mereka! Bagaimana tiga orang murid
Hoa-san-pai itu dapat muncul di saat itu?
Hal ini
adalah suatu kebetulan belaka. Ketika Liem Sian Hwa dan kemudian Lian Bu Tojin
melakukan pengejaran terhadap penculik Kwa Hong dan Thio Bwee, berlari turun
dari puncak, di tengah jalan Sian Hwa dapat disusul gurunya dan pada saat
itulah munculnya Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng yang sedang menuju ke
puncak. Tiga orang ini memang bersama datang untuk memenuhi janji dengan pihak
Kun-lun-pai yang hendak datang di Hoa-san.
Dengan
singkat mereka mendengar dari Sian Hwa bahwa Kwa Hong dan Thio Bwee telah
diculik orang, maka cepat-cepat mereka beramai melakukan pengejaran.
Demikianlah, sekarang Hoa-san Sie-eng lengkap empat orang, mengiringkan guru
mereka memasuki perkemahan barisan Mongol yang bermarkas di tempat itu. Melihat
Sian Hwa, putera pangeran itu memandang penuh kasih sayang dan tersenyum sambil
berkata, "Nona Sian Hwa, alangkah gembira hatiku bahwa kau sudah sudi
datang menjenguk tempat kediamanku..."
Mulut Sian
Hwa sudah gatal-gatal hendak memaki, akan tetapi karena gurunya berada di situ
pula, dia tidak berani membuka mulut mendahului suhu-nya, melainkan memandang
dengan mata melotot penuh kemarahan. Ada pun Lian Bu Tojin ketika menyaksikan
bahwa Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang berada di situ, segera berkata.
"Siancai
(seruan pendeta), kiranya Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang menjadi agul-agul di
sini. Tidak heran apa bila manusia she Souw ini lalu berani bersikap kurang
ajar dan tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai..." Setelah berkata
demikian dia mendekat ke arah hwesio tinggi besar itu dan melanjutkan kata-katanya
dengan suara yang berubah keren, "Tai-lek-sin, kalau kau dan teman-temanmu
benar hendak memusuhi Hoa-san-pai, akulah orangnya yang bertanggung jawab.
Kenapa kau membiarkan saja manusia she Souw itu mengganggu dua orang cucu
muridku?"
Tai-lek-sin
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Lian Bu Tojin tosu tua bangka. Pernahkah kau
mendengar Tai-lek-sin manusia tiada guna seperti aku mengotorkan tangan
mencampuri dunia? Hanya karena penjahat-penjahat merajalela,
pemberontak-pemberontak semacam Pek-lian-pai telah mengotori suasana dan
mengganggu rakyat dan pemerintah, terpaksa pinceng harus turun tangan.
Hoa-san-pai selamanya memiliki nama bersih, sayang sekali sekarang bersekongkol
dengan Pek-lian-pai, terpaksa pinceng tidak dapat menyalahkan Souw-kongcu
mengganggu cucu murid Hoa-san-pai!"
Lian Bu
Tojin merasa dadanya panas sekali, namun kakek ini masih dapat menyabarkan
hati, suaranya tetap lemah lembut ketika dia berkata.
"Bagus
sekali sikapmu, hwesio! Sudah terang-terangan bahwa kau menjadi begundal
pemerintah, hal itu bukanlah urusan pinto. Terserah siapa saja yang akan
menjadi penjilat. Akan tetapi tuduhanmu bahwa Hoa-san-pai bersekongkol dengan
Pek-lian-pai, sungguh tak berdasar sama sekali. Selamanya Hoa-san-pai tak
pernah sudi bersekongkol dengan siapa saja, apa lagi dengan
Pek-lian-pai..."
"Fitnah
bohong!" tiba-tiba Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Pek-lian-pai bahkan memusuhiku, membunuh ayahku..."
"Sian
Hwa, diamlah kau," Lian Bu Tojin mencela muridnya yang segera diam dengan
muka merah.
"Pinceng
tidak tahu urusannya, akan tetapi kalau hendak jelas biarlah Souw-kongcu yang
menerangkan."
Hwesio itu
kembali menghadapi hidangan di atas meja, makan minum tanpa pedulikan lagi
orang-orang lain yang berada di situ. Para tamu itu kini menghadapi Souw Kian
Bi yang berdiri sambil tersenyum tenang.
"Totiang,
aku hanya membawa dua orang anak cucu muridmu main-main di tempat kami yang
indah ini dan kalian pihak Hoa-san-pai sudah menyerbu datang dan mengatakan aku
jahat. Sebaliknya, Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai para
pemberontak itu, membunuh puluhan bahkan ratusan orang tentara pemerintah yang
bertugas menjaga keamanan. Manakah yang lebih jahat dan keji?"
"Orang
she Souw, tutup mulutmu yang busuk sebelum aku memaksa kau menutupnya!"
tiba-tiba Thio Wan It yang terkenal berangasan membentak. "Kami dari
Hoa-san-pai tak pernah bersekongkol dengan Pek-lian-pai!"
Souw Kian Bi
memandang sambil tersenyum mengejek. "Hemm, untuk menutup mulutku kiranya
tidak akan semudah kau membuka mulut, Sobat. Sekarang dengarlah lebih dulu.
Banyak pasukan tentara pemerintah sudah terjebak dan tewas di kaki Gunung
Hoa-san, di sekitar daerah yang dikuasai Hoa-san-pai. Kalau bukan kalian
orang-orang Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai, mana dapat terjadi hal
itu?"
"Kau
boleh mengoceh dan berkata apa saja, pokoknya kami tak pernah berhubungan
dengan Pek-lian-pai. Pendeknya lekas kau bebaskan puteriku, kalau
tidak...," kata Thio Wan It yang merasa khawatir sekali atas nasib
anaknya, Thio Bwee.
"Betul,
bebaskan anak-anak kami jangan bersikap pengecut. Urusan boleh diurus, kalau
perlu di ujung pedang, tapi jangan mengganggu anak-anak kecil yang tidak tahu
apa-apa!" Baru kali ini Kwa Tin Siong berkata, suaranya tenang dan mantap,
tetapi matanya penuh ancaman.
Akan tetapi
Lian Bu Tojin berpikir lain. Sekarang kakek ini mengerti bahwa orang she Souw
itu ternyata adalah seorang yang penting dalam pemerintah Mongol, maka amatlah
tidak baik kalau Hoa-san-pai tersangkut dalam urusan pemberontakan
Pek-lian-pai.
Andai kata
Pek-lian-pai benar-benar merupakan perkumpulan patriotik yang bersih, tentu
saja Hoa-san-pai akan senang sekali menggabungkan diri. Akan tetapi pada waktu
itu dia sendiri masih sangsi terhadap Pek-lian-pai yang seolah sedang memusuhi
Hoa-san-pai, maka kurang baik kalau Hoa-san-pai dianggap bersekongkol dengan
Perkumpulan Teratai Putih itu.
la kemudian
melangkah maju, menghalangi kedua pihak yang sudah panas. Kalau terjadi
pertempuran, agaknya pihaknya akan mengalami kerugian, pikir ketua Hoa-san-pai
ini. Dia sendiri mendapat lawan berat, yaitu Tai-lek-sin yang dia tahu tentu
memiliki ilmu yang tak boleh dipandang ringan. Empat orang muridnya sungguh pun
boleh diandalkan, akan tetapi bagaimana kalau mereka itu dikurung dan dikeroyok
oleh ratusan orang tentara Mongol? Apa lagi selain Souw Kian Bi, empat orang
komandan dan yang duduk di situ pun agaknya bukan orang-orang lemah.
"Tai-lek-sin,
mengapa kau diam saja? Apakah sengaja kami dipancing datang hendak diajak
bertanding? Ataukah berdamai? Apa maksud kalian memancing kami datang?"
"Aku
benar-benar tidak tahu apa-apa. Bicaralah dengan Souw-kongcu," jawab
hwesio itu sambil tertawa-tawa.
Biar pun
sungkan bicara dengan orang muda pesolek itu, terpaksa ketua Hoa-san-pai
menghadapinya. "Saudara Souw, katakanlah terang-terangan apa yang
tersembunyi di balik segala perbuatanmu ini. Sudah jelas bahwa kau menculik dua
orang cucu muridku dengan maksud memancing kami datang. Nah, sekarang setelah
kami datang, apa yang kau kehendaki?"
Souw Kian Bi
tetap tersenyum-senyum. "Senang sekali bercakap-cakap dengan Totiang yang
lebih sabar dan luas pandangan," katanya melirik ke arah Hoa-san Sie-eng
yang marah-marah. "Ucapan seorang ketua Hoa-san-pai tentu saja kami dapat
percaya penuh. Sesungguhnya bagaimanakah, Totiang, apakah tidak ada
persekongkolan jahat antara Hoa-san-pai dan Pek-lian-pai?"
"Tidak
ada sama sekali," jawab kakek itu mendongkol.
"Bagus,
kalau begitu dugaan kami telah keliru dan dua orang anak itu tentu saja harus
dibebaskan sekarang juga. Akan tetapi, kami tetap akan ragu-ragu apa bila
Totiang tidak menyatakan janji lebih dulu. Totiang berjanji dan kami melepaskan
dua orang anak kecil itu dan... beres!"
Lian Bu
Tojin mengerutkan alisnya. Bukan main licinnya orang muda ini, pikirnya. Licin,
berbahaya dan penuh tipu muslihat.
"Janji
apa yang kau kehendaki dari pinto?"
"Janji
bahwa Hoa-san-pai tidak akan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi
pemerintah."
Lian Bu
Tojin tersenyum. "Baik. Pinto berjanji bahwa Hoa-san-pai tak akan
bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi pemerintah."
Souw Kian Bi
mengerutkan kening. Mengapa begini mudah ketua ini berjanji? Ia memutar otak dan
tiba-tiba dia berkata lagi, "Dan berjanji bahwa Hoa-san-pai tak akan
memusuhi pemerintah."
"Orang
muda she Souw, kenapa kau begini cerewet? Hoa-san-pai telah berjanji menuruti
permintaanmu, berjanji tidak akan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi
pemerintah. Hanya sekian dan habis. Kalau kau terlalu mendesak, pinto tak sudi
berjanji lagi."
"He,
Souw-kongcu. Tosu tua ini sudah berjanji takkan bersekongkol dengan Pek
lian-pai, bukankah itu sudah cukup? Hayo lekas keluarkan dua orang bocah perempuan
itu," kata Tai-lek-sin dengan suara keras.
Memang
sesungguhnya inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan Mongol. Mereka amat
khawatir kalau-kalau partai persilatan besar mengadakan kerja sama dengan
Pek-lian-pai. Mereka berusaha sekuatnya untuk memisahkah partai-partai ini dari
Pek-lian-pai supaya kedudukan Pek-lian-pai kurang kuat, malah kalau mungkin
memecah-mecah para partai itu agar mereka saling serang sendiri. Kalau sekarang
ketua Hoa-san-pai berjanji takkan bersekongkol dengan Pek-lian-pai, hal ini
sudah merupakan sebuah kemenangan bagi pemerintah.
Souw Kian Bi
bukan seorang bodoh, Bukan maksud pemerintah untuk memusuhi setiap partai
persilatan, apa lagi partai sebesar Hoa-san-pai yang kuat. Seorang musuh saja,
Pek-lian-pai sudah cukup memusingkan, jangan sampai ditambah musuh ke dua.
la harus
mengorbankan perasaannya sendiri, biar pun dia ingin sekali kalau bisa menukar
kedua orang tawanannya itu dengan nona Sian Hwa yang menggetarkan hatinya, atau
setidaknya dia pun akan suka mendapatkan dua orang nona cilik itu untuk
menghibur hatinya. Akan tetapi kepentingan tugasnya harus dia dahulukan. Apa
lagi, kiranya bodoh sekali kalau main-main dengan Hoa-san-pai!
Sambil
tertawa dia memberi perintah kepada seorang di antara para komandan pasukan.
"Bawalah dua orang nona cilik itu ke sini."
Komandan itu
pergi dengan cepat, masuk ke perkemahan belakang. Tak lama kemudian dia sudah
kembali dengan muka pucat dan suaranya gugup.
"Celaka,
Kongcu. Dua ekor burung itu sudah terbang!"
Souw Kian Bi
membanting-banting kaki. "Apa kau bilang?"
Cepat
tubuhnya berkelebat dan lari memburu ke tempat ditahannya dua orang anak itu.
Yang lain, termasuk orang-orang Hoa-san-pai, ikut pula mengejar ke belakang. Ke
manakah perginya Kwa Hong dan Thio Bwee? Betulkah dua orang anak perempuan yang
sudah ditotok tak berdaya dan dikurung dalam kamar tahanan itu dapat melarikan
diri?
Memang
kenyataannya betul demikian. Akan tetapi tentu saja ada orang menolongnya.
Penolong ini bukan lain adalah Beng San yang diam-diam terus mengikuti larinya
Souw Kian Bi sampai memasuki perkemahan pasukan Mongol.
Menggunakan
kecepatan dan keringanan tubuhnya, dilindungi pula oleh gelapnya malam, Beng
San berhasil membobol pagar yang mengelilingi perkemahan tanpa dilihat oleh
para penjaga. la berhasil pula mendengarkan pesan Souw Kian Bi kepada para
penjaga. Mendengar bahwa bagian belakang perkemahan itu tidak terjaga kuat, dia
pun mendapat pikiran untuk menolong dua orang nona kecil itu melarikan diri
melalui bagian belakang perkemahan.
Dapat
dibayangkan betapa herannya hati Kwa Hong dan Thio Bwee ketika mereka berada di
dalam kamar tanpa dapat bergerak itu, tiba-tiba mereka melihat munculnya Beng
San! Anak ini memberi tanda agar supaya Kwa Hong dan Thio Bwee jangan mengeluarkan
suara. Alangkah lucunya. Tak usah dilarang sekali pun memang dua orang nona
cilik itu tak dapat bersuara lagi. Lalu Beng San memberi isyarat supaya mereka
ikut, akan tetapi bagaimana mereka bisa ikut kalau mereka tidak mampu bergerak?
Melihat
keadaan mereka, Beng San curiga. la sudah mempelajari secara teliti tentang
jalan darah ini, dahulu diajar oleh Lo-tong Souw Lee. Karena keadaan mendesak,
tanpa ragu-ragu, dia mendekati Kwa Hong dan meraba lehernya. Benar saja
dugaannya, Kwa Hong telah terkena totokan yang luar biasa. Beng San mengeluh.
Walau pun dia sudah mempelajari tentang jalan darah, namun dia sendiri belum
bisa menotok, apa lagi membebaskan. Ketika itu di luar kemah terdengar suara
serdadu-serdadu tertawa.
Beng San
gugup dan tanpa berpikir panjang lagi dia lalu menangkap dua orang nona cilik
itu dan memanggul tubuh mereka di atas pundaknya, satu di kanan dan satu di
kiri! Dengan beban ini dia menyelinap keluar melalui jalan belakang. Tanpa ia
sadari sendiri, Beng San telah memiliki tenaga yang luar biasa sehingga
memanggul dua orang anak perempuan itu seperti tidak terasa sama sekali
olehnya, begitu ringan!
Benar sekali
seperti yang diperintahkan oleh Souw Kian Bi tadi, jalan belakang ini sama
sekali tidak terjaga. Mula-mula Beng San merasa girang sekali dan juga heran
mengapa serdadu-serdadu itu begitu bodoh. Akan tetapi baru saja dia lari sejauh
satu li, dia kaget sekali karena di depannya terbentang rawa yang amat luas.
la mencari
jalan agar jangan melalui rawa, akan tetapi setelah berlari ke sana ke mari,
dia tidak dapat menemukan jalan yang lebih baik. Selain melalui rawa, dia
terhadang oleh jurang yang tak mungkin dapat dilewati saking lebarnya, juga
menghadapi dinding karang yang menjulang tinggi. Tanpa membawa beban pun belum
tentu dia akan dapat mendaki dinding karang ini dengan selamat, apa lagi
memanggul kedua orang anak itu. Sungguh berbahaya.
"Celaka...,"
pikir Beng San.
la menjadi
serba salah. Kembali tak mungkin, terus juga bagaimana? Akhirnya ia menjadi
nekat. Hati-hati dia memasuki rawa yang gelap dan mengerikan itu, dengan airnya
yang dalam serta bercampur tanah dan rumput. Hanya suara katak yang memenuhi
rawa itu terdengar amat menyeramkan. Ia menjadi lega ketika kakinya menginjak
tempat dangkal, hanya selutut dalamnya. Ia melangkah maju, hati-hati sekali
karena dasar rawa itu penuh batu licin. Sampai sepuluh langkah lebih dia
selamat karena tempat itu dangkal.
Tiba-tiba
dia tergelincir pada batu yang licin. Beng San cepat mengerahkan tenaga dan
mengatur keseimbangan tubuh. Ia selamat tak sampai roboh, akan tetapi dua orang
anak perempuan yang dia panggul menjadi basah dan kotor oleh lumpur. la
berjalan terus, maju bermaksud menyeberangi rawa.
Akan tetapi
segera dia mendapat kenyataan kenapa para serdadu sengaja tidak menjaga tempat
itu. Memang bukan main sukar dan berbahayanya jalan ini. Segera dia tiba di
bagian air yang berlumpur dan air di tempat ini pun tidak sedangkal tadi, sudah
mencapai pinggangnya.
Sukar sekali
untuk maju melalui lumpur yang ditumbuhi rumput ini, apa lagi di bawah amat
licinnya. Yang paling mengerikan adalah kalau memikirkan apa isi rawa-rawa itu,
binatang mengerikan apa yang berada di bawah rumput dan di dalam lumpur itu.
Akan tetapi Beng San tidak ingat akan ini semua, melainkan melangkah terus maju
dengan tabah.
"Lepaskan
aku! Aku bisa berjalan sendiri!"
Tiba-tiba
Kwa Hong yang dipanggul di pundak kanannya bergerak dan berseru. Juga Thio Bwee
di atas pundak kirinya mulai bergerak-gerak.
"Syukur
kalian sudah bisa bergerak lagi," kata Beng San sambil menurunkan Kwa Hong
dari pundaknya.
Akan tetapi
karena tidak dapat bergerak dan tubuh Kwa Hong masih lemas, ketika dia
diturunkan berdiri di dalam air berlumpur, hampir saja ia terguling roboh kalau
tidak cepat-cepat disambar pinggangnya oleh Beng San. Thio Bwee juga minta
turun dan diturunkan dengan hati-hati.
"Beng
San, kau hendak membawa kami ke mana?" Kwa Hong bertanya, suaranya agak
marah. Tadi dengan jengkel dan mendongkol bukan main dia hanya dapat melihat
tanpa berdaya betapa tubuhnya dirangkul dan dipanggul oleh bocah ini.
Tentu saja
ia sudah marah dan memaki-makinya kalau saja tidak sedang berada dalam keadaan
seperti ini. Malah diam-diam ia merasa bersyukur bahwa Beng San datang untuk
menolongnya. Mengapa bukan bibi gurunya atau kakek gurunya, atau setidaknya
kenapa bukan Kui Lok dan Thio Ki?
"Pergi
ke mana? Tentu saja pulang ke puncak Hoa-san. Kalau saja kita dapat melewati
rawa-rawa yang berbahaya ini. Heee... hati-hati, Nona Bwee.,...!"
Thio Bwee
tergelincir dan lenyap dari permukaan air. Ternyata ia telah menginjak bagian
yang amat dalam sehingga tak dapat dicegah lagi ia tenggelam ke dalam air
berlumpur itu!
"Celaka!"
Beng San
cepat menubruk maju dan dia pun kena injak tempat yang dalam itu sehingga dia
pun lenyap dari permukaan air. Kwa Hong menggigil ketakutan dan ingin dia
menjerit-jerit kalau saja tidak teringat bahwa dia sedang melarikan diri dari
musuh. la tidak berani sembarangan bergerak, takut jika mengalami nasib seperti
Beng San dan Thio Bwee. Akan tetapi hatinya takut bukan main, gelisah melihat
hilangnya dua orang teman itu tanpa dapat menolongnya sama sekali.
Keadaan amat
gelap dan Kwa Hong sudah mulai menangis. Mendadak air di depannya bergerak dan
muncullah kepala Beng San. Anak ini berenang ke tempat dangkal di dekat Kwa
Hong sambil menyeret Thio Bwee yang sudah pingsan. Cepat-cepat Kwa Hong
menyusuti muka Thio Bwee yang penuh lumpur itu. Setelah dipijat-pijat pundaknya
dan digoyang-goyang, akhirnya Thio Bwee siuman kembali. Anak ini menangis dan
berkata ketakutan.
“Bawa aku ke
darat... bawa aku pulang..." la menangis ketakutan.
Selama
hidupnya, baru kali ini ia mengalami kejadian yang begini menakutkan. Siapa
orangnya yang tidak takut kalau melihat sekelilingnya hanya air lumpur
ditumbuhi rumput, gelap pekat dan di sekeliling situ, tidak diketahui dengan
pasti di mana terdapat lubang-lubang jebakan yang amat dalam?
”Lebih baik
kalian kupanggul seperti tadi. Biarlah aku yang mencari jalan keluar dari rawa
ini...," berkata Beng San setelah berhasil membersihkan lumpur dari mulut,
hidung serta matanya.
Saking
takutnya dan mengharapkan pertolongan, Thio Bwee tanpa ragu-ragu lagi lalu
merangkul Beng San sambil berkata, "Tolonglah, Beng San... tolong
keluarkan aku dari tempat neraka ini..."
Dia menurut
saja ketika dipanggul oleh Beng San, tidak seperti tadi, sekarang disuruh duduk
di atas pundak kirinya. Thio Bwee agak besar hatinya setelah duduk di pundak
itu, duduk sambil merangkul kepala Beng San, masih menggigil ketakutan.
"Jangan
khawatir, Nona Bwee. Memang aku datang untuk menolong kalian," kata Beng
San, suaranya dibikin setenang mungkin, akan tetapi sebetulnya dia sendiri
masih sangsi apakah dia akan berhasil menyeberangi rawa-rawa yang amat
berbahaya ini.
"Nona
Hong, kau pun sebaiknya duduklah di pundakku yang sebelah ini."
la pikir,
lebih baik dua nona muda itu duduk di pundaknya agar jangan sampai tergelincir dan
masuk ke dalam lubang dalam seperti yang dialami Thio Bwee tadi. Kalau terjadi
demikian, amat berbahaya. Tadi secara kebetulan saja di dalam air keruh itu dia
dapat menangkap tubuh Thio Bwee, kalau tidak, bukankah nyawa nona Thio itu akan
terancam bahaya maut?
"Apa...?!
Tidak sudi aku!" bentak Kwa Hong yang sudah kumat lagi kegalakannya.
Akan tetapi
agaknya ia segera teringat bahwa Beng San berusaha menolongnya, maka segera
disambungnya dengan suara yang tidak galak lagi, "Aku bisa jalan sendiri
dan pula memanggul Enci Bwee seorang saja sudah berat, aku tidak mau
memberatkan engkau lagi...”
Di dalam
gelap Beng San tersenyum. la tidak marah karena memang dia sudah mulai mengenal
watak Kwa Hong, malah watak semua yang berada di puncak Hoa-san. Biar pun Kwa
Hong tidak mau dipanggul, malah tidak mau digandeng tangannya, namun dia selalu
siap menjaga dan melindungi gadis galak ini.
“Baiklah
sesukamu, Nona Hong. Sekarang marilah kita maju lagi. Hati-hatilah..."
katanya sambil melangkah perlahan, meraba-raba dengan ujung kakinya sebelum
menginjak agar tidak terjeblos ke dalam lubang dalam.
Thio Bwee
masih menangis kecil di atas pundaknya sambil memeluk lehernya, amat ketakutan
dan kedinginan karena ia tadi basah kuyup dari kaki sampai kepala. Langit
bersih dari awan. Bintang-bintang penuh bertaburan di langit biru, mendatangkan
cahaya yang lumayan sehingga keadaan tidak segelap tadi. Ketiga orang anak itu
dapat melihat ke depan, sungguh pun tidak amat jauh, akan tetapi cukuplah untuk
mengurangi keseraman.
Tiba-tiba
Kwa Hong mengeluh. "Aduh kakiku... apa ini gatal-gatal?"
la
mengangkat kaki kirinya ke atas sampai melewati permukaan air dan dalam cuaca
yang remang-remang itu kelihatan seekor lintah menempel pada betis kakinya,
mengisap darahnya melalui kain celana yang tipis. Lintah itu gemuk bulat,
agaknya sudah banyak juga darah Kwa Hong diisapnya.
"Hiiii...
apa itu...? Hiiiii!" Kwa Hong menggigil saking jijiknya dan ia menubruk
Beng San, merangkul lehernya dengan ketakutan.
Beng San
sudah tahu apa adanya binatang itu. "Tenanglah, Nona Hong. Itu adalah
lintah, binatang penghisap darah. Dia sudah penuh darah, kalau sudah kenyang
akan terlepas sendiri..."
Hampir
pingsan Kwa Hong oleh kengerian dan kejijikan. "Buanglah... cepat lepaskan
dari betisku... huiii..."
"Kalau
diambil secara paksa, kulit betismu akan terluka, Nona. Biarkan sebentar."
Tanpa
ragu-ragu Beng San memegang kaki Kwa Hong yang diangkat itu, melihat lintah
dari dekat. Betul saja dugaannya, lintah itu segera melepaskan kaki Kwa Hong
karena sudah kekenyangan, jatuh ke dalam air dan lenyap. Meremang bulu tengkuk
Kwa Hong. Ia ketakutan sekali dan tanpa diminta lagi ia segera meloncat ke
pundak Beng San, duduk di atas pundak kanan dan tangannya memegangi leher Beng
San.
"Binatang
celaka, binatang menjijikkan, terkutuk..." ia memaki-maki, akan tetapi ia
masih menggigil ketakutan.
Beng San
merangkul kaki dua orang nona itu supaya tidak jatuh dari atas pundaknya,
kemudian dia melangkah maju lagi. Setelah dua orang nona itu duduk di atas
pundaknya, dia lebih lancar bergerak maju, tidak usah menjaga orang lain di
sisinya seperti tadi. Air sekarang sudah mencapai dadanya.
Celaka,
pikir Beng San. Kalau air itu makin dalam, bagaimana? Tentu saja dia dapat
berenang, akan tetapi bagaimana dengan dua orang nona ini? Dengan berenang
sukar kiranya membawa mereka itu.
Ia
memutar-mutar otaknya mencari akal untuk menghadapi kemungkinan ini. Begini
saja, pikirnya, untuk sementara kutinggalkan dulu mereka di tempat yang tidak
dalam, lalu aku berenang melalui tempat dalam mencari tempat berpijak lainnya
yang dangkal. Kemudian kubawa mereka seorang demi seorang menyeberangi ke
tempat itu. Lalu pergi mencari lagi. Kukira dengan demikian akhirnya kita akan
sampai juga ke seberang. la berbesar hati dan melanjutkan langkahnya, hati-hati
agar jangan sampai tergelincir ke dalam lubang dalam.
”Hong-jiiiii...!"
"Bwe-jiiiii...!"
Suara
panggilan ini terdengar keras, bergema sampai ke tengah rawa.
"Ayah
memanggilku!" seru Kwa Hong gembira.
"Itu
suara ayahku!" Thio Bwee juga berseru.
"Hong-ji!
Bwee-ji! Kembalilah ke sini, ayah kalian menanti di sini!" terdengar suara
Sian Hwa yang tinggi nyaring.
"Ah,
semua orang sudah menyusul di sana Beng San, hayo kita kembali saja. Ayah dan
bibi sudah di sana, kita sudah aman sekarang," Kwa Hong mendesak.
"Betul,
hayo antar aku ke sana, Beng San. Ayah menanti di sana," kata pula Thio
Bwee dengan gembira. Hilanglah kekhawatiran dan ketakutan dua orang anak
perempuan itu setelah mereka mendengar suara ayah mereka.
Beng San
ragu-ragu. "Tapi apakah tidak lebih baik terus saja mendahului dan menanti
di rumah ? Jalan kembali lebih jauh..."
"Ehh,
kau berani membantah? Kalau tidak mau antar, biar aku jalan sendiri!" Kwa
Hong merosot turun dari atas pundak Beng San, juga Thio Bwee. Dua orang anak
ini mendadak timbul keberaniannya.
Beng San
menarik napas panjang. Sebetulnya dia keberatan untuk kembali karena takut
kalau-kalau dia akan mendapat marah. Tetapi dia tidak tega pula kalau harus
membiarkan kedua orang nona ini kembali berdua saja. Bagaimana nanti apa bila
Thio Bwee tergelincir seperti tadi? Bagaimana kalau kaki Kwa Hong digigit
lintah lagi seperti tadi? Jika sampai seberang di antara dua orang nona ini
terkena celaka, bukankah tanggung jawabnya akan lebih besar pula dan lebih
berat?
"Baiklah,"
akhirnya dia berkata. "Mari kita kembali."
Da kemudian
menggandeng tangan kedua orang nona cilik itu yang tidak menolak. Sambil
bergandengan tangan, Beng San ditengah-tengah, tiga orang anak itu menyeberang
dan kembali ke tempat tadi.
"Ayah...!
Tunggulah, kami kembali ke sana...!" Kwa Hong berteriak keras-keras ke
arah tepi rawa.
Mendadak
mereka melihat lampu penerangan dipasang di tepi rawa itu sehingga semakin
mudahlah bagi mereka karena sekarang tempat yang dituju kelihatan nyata.
Setelah dekat tepi rawa, dengan heran mereka melihat Hoa-san Sie-eng lengkap
bersama Lian Bu Tojin. Tokoh-tokoh Hoa-san ini bersama Souw Kian Bi si
penculik, serta seorang hwesio tinggi besar dan beberapa orang panglima Mongol!
Bagaimana mereka bisa rukun seperti itu setelah Souw Kian Bi menculik mereka?
Kwa Hong dan
Thio Bwee terheran, akan tetapi juga girang sekali. Setelah tiba di tempat
dangkal, mereka berlari meninggalkan Beng San untuk menjumpai ayah
masing-masing. Pakaian mereka, bahkan muka mereka kotor berlumpur. Apa lagi
Beng San!
Ketika anak
ini tiba di tempat dangkal, baru dia melihat bahwa lebih dari tujuh ekor lintah
menempel di tubuhnya, di kaki kanan kiri dan di paha dan perut! Ia marah sekali
dan andai kata mukanya tidak berlumpur, tentu muka itu akan kelihatan merah. la
cepat mengerahkan hawa di tubuhnya dan seketika itu lintah-lintah itu
bergelimpangan, terlepas dari tubuhnya dalam keadaan mati! Tak ada seorang pun
memperhatikan hal ini karena lintah-lintah yang penuh lumpur itu pun tidak
kentara.
"Keparat,
berani kau mengganggu nona-nona tawananku?"
Mendadak
Souw Kian Bi meloncat dan sebelum lain orang dapat mencegahnya, putera pangeran
ini sudah menjambak rambut Beng San dan diseretnya ke pinggir rawa sambil
dipukulinya sekehendak hatinya. Beng San marah sekali, akan tetapi ketika
merasa betapa pukulan orang itu mengandung hawa panas, dia cepat-cepat
mengerahkan tenaga dalamnya dan menggunakan tenaga Im untuk melawannya. Pada
saat itu, Kwa Hong dan Thio Bwee sudah meloncat dan menerjang Souw Kian Bi
sambil berteriak-teriak.
"Jangan
pukul Beng San!" bentak Kwa Hong.
"Kau
yang jahat menculik kami, dia penolong kami!" bentak Thio Bwee.
Menghadapi
serbuan dua orang nona cilik yang hendak membalas dendam ini, Souw Kian Bi
tentu saja tidak takut. Namun dia merasa tidak enak sendiri untuk melayani
anak-anak kecil, maka setelah sekali lagi memukulkan tangannya ke arah dada
Beng San, dia lantas meloncat mundur.
"Bleeek!"
Pukulan itu
keras sekali, Beng San sampai terpental ke belakang, akan tetapi dia tidak
terluka.
"Dia
adalah kacung Hoa-san-pai, tidak boleh diganggu orang luar!" tiba-tiba
Lian Bu Tojin berkata dengan suaranya yang berpengaruh.
Mula-mula
kakek ini marah sekali kepada Beng San yang dianggapnya lancang sekali.
Pertama, lancang karena berani meninggalkan puncak Hoa-san, ke dua, lancang
karena berani mencoba-coba menolong dua orang cucu muridnya sehingga hal ini
mendatangkan malu kepadanya. Masa kedua cucu muridnya harus ditolong oleh
seorang kacungnya? Padahal di situ ada Hoa-san Sie-eng lengkap dan ada dia
pula. Maka ketika tadi melihat Beng San dipukuli, kakek ini diam saja dengan
keputusan hati akan diobati kelak kalau terluka.
Akan tetapi
ketika melihat betapa dua orang cucu muridnya menyerbu, kakek ini baru ingat
bahwa betapa pun juga, Beng San sudah berjasa dan memperlihatkan pribudi yang
baik dalam usahanya menolong tanpa memperhitungkan bahaya untuk diri sendiri
yang tiada kepandaian. Maka dia kemudian mengeluarkan kata-kata itu untuk
mencegah pihak Mongol menyerang Beng San.
Lian Bu
Tojin kemudian memberi tanda kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Juga Beng San berjalan di sebelah belakang sambil menundukkan
mukanya. Apa lagi Hoa-san Sie-eng atau dua orang gadis cilik itu, bahkan Lian
Bu Tojin sendiri tidak tahu betapa sepergi mereka, Souw Kian Bi terguling roboh
dan muntah-muntah darah, mukanya berubah kehijauan seperti orang keracunan.
Tentu saja keadaan di situ segera menjadi geger.
Swi Lek
Hosiang segera memeriksa dan hwesio tua ini terkejut setengah mati. Ternyata
bahwa putera pangeran itu telah menderita luka dalam yang cukup hebat juga.
Cepat dia memberi pengobatan dan tak habis heran bagaimana Souw Kian Bi bisa
menderita luka seperti ini. Setelah putera pangeran itu sembuh tiga hari
kemudian, Swi Lek Hosiang lalu minta penjelasan. "Siapakah yang
melukaimu?"
Souw Kian Bi
sendiri juga tidak mengerti. "Aku tidak bertempur dengan siapa pun juga.
Hanya kupukul dada anak kotor itu... ahhh, benar dia! Aku sudah merasa aneh
sekali mengapa ketika aku memukul dadanya, aku merasa seakan-akan memukul benda
yang lunak sekali dan terasa sakit pada dadaku!"
Tai-lek-sin
Swi Lek Hosiang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Anak itu
kelihatannya tidak tahu apa-apa, lagi pula dia hanya kacung di Hoa-san-pai,
masa bisa memiliki kepandaian yang tinggi seperti itu? Aneh sekali!"
"Betul,
Losuhu. Aku ingat sekarang. Anak itu tentu mempunyai sesuatu yang luar biasa.
Siapa tahu kalau-kalau dia sudah menerima warisan kepandaian dari Lian Bu
Tojin. Dia kacungnya, bukan? Siapa tahu diam-diam kakek tosu bau itu menurunkan
ilmunya..."
"Mungkin,
akan tetapi tetap saja aneh." Hwesio itu merenung karena dia teringat akan
murid angkatnya yang ditinggalkan di kelenteng.
Muridnya itu
biar pun hanya seorang anak perempuan, namun juga memiliki bakat yang luar
biasa dalam ilmu silat. Apakah anak laki-laki kotor itu sedemikian baik
bakatnya sehingga sekecil itu sudah menyimpan tenaga dalam yang mampu menangkis
pukulan Souw Kian Bi bahkan melukainya? Agaknya tak mungkin…..
***************
Lima bulan
telah lewat sejak Kun-lun Sam-hengte berjanji hendak mengunjungi Hoa-san
Sie-eng di puncak Hoa-san. Kini Hoa-san Sie-eng sudah berkumpul di puncak
Gunung Hoa-san, setiap hari menanti kedatangan tiga orang murid Kun-lun-pai,
terutama Kwee Sin, dengan hati tak sabar lagi. Sesudah melihat Beng San, Kwa
Tin Siong segera mengenalinya sebagai bocah aneh yang pernah dia jumpai dahulu
di tengah hutan. la segera memberi tahukan hal ini kepada adik-adik
seperguruannya, juga kepada suhunya dan menyatakan kecurigaannya.
"Sekarang
ini jamannya sedang kacau-balau, banyak terjadi fitnah dan musuh rahasia di
sekeliling kita. Siapa tahu kalau-kalau anak ini seorang mata-mata yang sengaja
dilepas oleh pihak lawan untuk menyelidiki keadaan kita." Demikian
kata-katanya dan adik-adik seperguruannya membenarkan wawasan ini.
Hanya Lian
Bu Tojin yang tidak setuju di dalam hatinya karena adanya surat pengenal dari
Lo-tong Souw Lee. Tiba-tiba berpikir sampai di sini, ketika teringat kepada
Lo-tong Souw Lee, sekaligus kakek ini teringat pula kepada Souw Kian Bi. Dua
orang she Souw itu. apakah tidak ada hubungan apa-apa? Souw Kian Bi dihormati
panglima-panglima Mongol, sedangkan dia tahu benar bahwa Lo-tong Souw Lee
berasal dari keluarga bangsawan Mongol pula.
Ahh,
jangan-jangan benar kecurigaan muridnya yang tertua, siapa tahu kalau-kalau
antara Beng San dan Souw Kian Bi memang ada permainan sandiwara! Kakek ini
mengerutkan keningnya. Besar sekali kemungkinannya. Beng San tidak mengerti
ilmu silat, akan tetapi kenapa ketika dipukul oleh Souw Kian Bi tidak terluka?
Bukankah itu menandakan bahwa Souw Kian Bi hanya pura-pura memukul saja?
Ataukah Beng San yang tahu akan ilmu silat akan tetapi sengaja berpura-pura
tidak tahu?
"Ucapanmu
berdasar juga, Tin Siong. Akan tetapi tanpa bukti tak mungkin kita menuduh Beng
San yang bukan-bukan. Dia hanya seorang anak kecil, kita lihat-lihat sajalah.
Kalau betul dia kaki tangan orang jahat, dia bisa berbuat apa terhadap
kita," demikian kakek ketua Hoa-san-pai ini berkata.
Selanjutnya
kakek ini kemudian memanggil Beng San dan memesan kepada anak itu agar supaya
jangan mencampuri lagi urusan luar dan selalu berada di dalam kelenteng serta
melakukan tugas pekerjaannya baik-baik. Hari yang dinanti-nantikan dengan hati
berdebar tiba juga. Pada suatu hari, saat matahari belum naik tinggi benar….
Seorang tosu
berlari-lari melaporkan bahwa Kun-lun Sam-hengte sudah datang mendaki puncak
Hoa-san! Karena urusan yang dihadapi adalah urusan besar dan karena tidak ingin
melihat murid-muridnya berlaku lancang, Lian Bu Tojin sendiri berkenan menerima
kedatangan tiga orang jago dari Kun-lun-pai itu.
Liang Bu
Tojin dengan diikuti oleh empat orang muridnya melakukan penyambutan di luar
tempat kediamannya, di halaman depan yang bersih dan lapang, halaman yang
dikelilingi pohon-pohon besar, amat sejuk dan enak untuk dijadikan tempat
perundingan soal yang amat pelik dan penting itu.
Kun-lun
Sam-hengte datang berjalan dengan langkah tegap. Kwee Sin kelihatan tampan akan
tetapi mukanya putih sekali seperti pucat, pedangnya tergantung di pinggang
kiri. la berjalan di tengah-tengah diapit oleh Bun Si Teng dan Bun Si Liong.
Bun Si Teng
yang tinggi besar dan gagah itu benar-benar menarik perhatian. Pedangnya di
pinggang dan busurnya terselip di sebelah kanan. Bun Si Liong yang bermuka
hitam itu berjalan dengan langkap tegap, mukanya berseri dan matanya yang
bersinar-sinar seperti orang sedang gembira, mukanya lebih menunjukkan
kegembiraan seorang yang sedang pelesir dari pada kesungguhan seorang
menghadapi urusan besar. Sepasang senjatanya, golok dan pedang, tergantung di
kanan kiri.
Dari jauh
tiga orang gagah itu sudah mengangkat tangan memberi hormat. Mereka agak
tercengang, akan tetapi juga bangga pada saat melihat bahwa ketua Hoa-san-pai
sendiri menyambut kedatangan mereka. Ketika bertemu pandang dengan tunangannya
dan melihat sepasang mata tunangannya itu berapi-api tetapi berlinangan air
mata, Kwee Sin merasa hatinya seperti tertusuk. Dia sudah mendengar dari para
suheng-nya bahwa ayah tunangannya itu terbunuh orang dan si nona menyangka
bahwa dialah yang membunuhnya.
Kepanasan
hatinya ketika menyaksikan tunangannya menangis di dada Kwa Tin Siong dahulu
itu menjadi dingin karena sekarang dia dapat menduga bahwa nona itu sedang
berduka hatinya dan dihibur oleh Kwa Tin Siong. la merasa menyesal sekali telah
terburu nafsu. Juga dia diam-diam merasa malu sekali kalau teringat akan
hubungannya dengan Coa Kim Li si cantik jelita.
"Kami
bertiga saudara jauh-jauh sengaja datang memenuhi janji kami terhadap Hoa-san
Sie-eng. Tidak nyana bahwa Hoa-san-ciangbunjin (ketua) juga sudah turut
menyambut. Sungguh telah membikin lelah pada orang tua yang terhormat,"
kata Bun Si Teng mewakili rombongannya.
"Kun-lun
Sam-hengte kini datang, itulah bagus. Memang murid Pek Gan Siansu terkenal
gagah dan takkan mungkir janji, juga adil dan jujur. Pinto orang tua hanya
menjadi saksi saja dalam urusan ini, harap kalian bertiga berurusan dengan
murid-murid pinto secara langsung." Kakek ini lalu melangkah ke pinggir,
membiarkan tiga orang jago Kun-lun itu menghadapi empat orang muridnya.
Kwa Tin
Siong mewakili rombongannya melangkah maju. Ia mengangkat tangan memberi
hormat. "Kami merasa lega sekali bahwa ternyata Kun-lun Sam-hengte
memenuhi janji dan penjahat Kwee Sin sudah diajak pula datang ke sini untuk
menebus dosa.”
Bun Si Teng
tersenyum sedangkan Kwee Sin menjadi makin pucat mukanya.
"Harap
Hoa-san It-kiam suka bersabar dan jangan datang-datang sute-ku dijatuhi fitnah
yang bukan-bukan. Sebelumnya aku sendiri sudah memeriksa Sute dan ternyata
bahwa semua yang dituduhkan kepada Kwee-sute hanyalah fitnah kosong belaka.
Kwee-sute tak pernah melakukan pembunuhan terhadap ayah Kiam-eng-cu Liem Sian
Hwa seperti telah kalian katakan," kata Bun Si Teng, senyumnya mengeras.
Kwee Sin mengangguk-angguk membenarkan ucapan suheng-nya.
"Lidah
memang tak bertulang!" tiba-tiba Sian Hwa membentak, dia tidak dapat
menahan kemarahannya lagi. "Tidak ada pencuri yang mengaku, dan menyangkal
adalah pekerjaan yang paling mudah. Akan tetapi aku tidak sudi menjatuhkan
fitnah kepada siapa pun juga. Bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa ayahku telah
dibunuh secara pengecut oleh pukulan Pek-lek-jiu dan paku Pek-lian-ting, di
samping ini masih ada saksi utama, yaitu almarhum ayahku sendiri!"
Kwee Sin
makin pucat mendengar kata-kata dan melihat sikap tunangannya itu.
"Biarlah
aku bersumpah disaksikan oleh langit dan bumi, kalau aku membunuh ayahmu, Thian
semoga menghukumku dengan kematian yang mengerikan!" seru Kwee Sin dengan
muka pucat dan suara lemah.
Kwa Tin
Siong tertawa mengejek. "Urusan pembunuhan sekeji dan sebesar ini mana
bisa diselesaikan dengan segala macam sumpah? Sumoi, agar persoalannya bisa
dibicarakan dari awalnya, harap kau ulangi lagi ceritamu tentang kematian
ayahmu."
Dengan
lantang Sian Hwa mengisahkan kembali semua yang dialami ayahnya dan dia
sendiri, matanya tajam menantang Kwee Sin yang tunduk dan muka pemuda ini
sebentar merah sebentar pucat. Akan tetapi ketika dia menceritakan bagian
ayahnya yang terluka dan meninggalkan kesaksian terakhir bahwa yang membunuhnya
adalah Kwee Sin dan perempuan Pek-lian-pai, Sian Hwa tak dapat menahan air matanya
yang mengucur deras. Setelah selesai menuturkan semua ini, ia menggerakkan
tangannya dan….
"Sraaattt!"
pedangnya yang sepasang itu sudah tercabut di kedua tangan.
"Ayah
terbunuh secara keji. Kalau penasaran ini tidak dibalas, aku Liem Sian Hwa
tidak mau hidup lagi di muka bumi!"
Kwee Sin
hanya mengangkat muka dan memandang sedih, tapi sama sekali dia tidak
mengeluarkan pedangnya. Bun Si Teng melangkah maju dan berkata, suaranya
mengandung ejekan. "Bagus! Apa Hoa-san-pai hendak menghukum orang tanpa
memberikan kesempatan membela diri dan tanpa bukti-bukti yang sah dan
saksi-saksi yang masih hidup?"
"Sudah
terang jahanam Kwee Sin ini pembunuh ayahku, aku harus membalas dendam!"
bentak Sian Hwa.
"Enak
saja orang bicara! Andai kata Kwee-sute segan untuk melawan, apakah kami akan
mendiamkan saja orang membunuh sute kami tanpa dosa?" Bun Si Teng meraba
gagang pedangnya, siap melawan.
Juga Bun Si
Liong meraba gagang golok dan pedangnya. Pendeknya, kakak beradik she Bun ini
tidak nanti akan membiarkan sute mereka dibunuh orang begitu saja. Mereka kini
datang justru untuk membuktikan kebersihan diri Kwee Sin, bukan untuk mengantar
sute mereka dihukum bunuh!
"Manusia
Kun-lun sombong! Sudah terang bahwa jahanam she Kwee main gila dengan perempuan
jalang dan telah bersekongkol membunuh ayah Sumoi, masih hendak dibela? Kalau
memang begitu, sudah kewajiban orang-orang gagah untuk membasmi gerombolan
orang jahat!" Thio Wan It sudah mengeluarkan pedangnya dan meloncat maju.
"Keparat,
siapa takut kepada Bu-eng-kiam?" bentak Bun Si Liong.
Dengan
amarah yang meluap-luap, Sian Hwa sudah berhadapan dengan Bun Si Teng,
sedangkan Thio Wan It sudah saling melotot dengan Bun Si Liong. Pertempuran
agaknya tidak akan dapat dicegah lagi.
"Twa-suheng,
Ji-suheng... jangan... ah, siauwte yang menjadi gara-gara semua ini..., Ji-wi
Suheng, simpanlah pedangmu..." Kwee Sin bicara dengan suara yang
mengandung isak tertahan.
Kwa Tin
Siong juga maju menahan dua orang adik seperguruannya yang hendak turun tangan
itu. "Ji-sute, Sumoi, tahan dulu senjata kalian! Tidak semestinya kalau
urusan ini harus diakhiri dengan pertempuran tanpa sebab-sebab yang jelas. Kita
berpegang kepada keadilan dan kebenaran, maka seharusnya kita juga memberi
kesempatan kepada Kwee Sin untuk membela diri dan memberi
keterangan-keterangan."
Biar pun
sedang marah sekali, Thio Wan It dan Liem Sian Hwa terpaksa mundur juga ketika
ditahan oleh twa-suheng mereka ini.
"Kwee
Sin!" kata Kwa Tin Siong dengan suara keras dan tegas. "Sudah kau
dengar baik semua keterangan sumoi-ku yang menuduhmu sebagai pembunuh ayahnya
dan sudah mengadakan persekongkolan dengan perempuan jahat dari Pek-lian-pai.
Lalu bagaimana jawabmu? Kalau memang kau melakukan hal itu, bagaimana tanggung
jawabmu dan apa bila kau tidak melakukan, bagaimana pula keterangan
pembelaanmu? Ingat, sudah jelas bahwa sebelum meninggal dunia, ayah Sumoi
terang-terangan menyatakan bahwa kau dan seorang perempuan yang menyerang dan
melukainya.”
Muka Kwee
Sin pucat sekali, kedua matanya agak basah dan merah menahan air mata yang
hendak mengucur. Dia maklum bahwa dirinya kena fitnah. Tentu saja dia percaya
bahwa Hoa-san Sie-eng takkan mau memfitnahnya kalau tidak ada dasarnya. Dia
tahu bahwa dia sudah difitnah oleh orang-orang yang memusuhinya, entah siapa
orang-orang itu. Bagaimana dia harus menjawab?
"Hoa-san
Sie-eng," katanya, tidak berani langsung kepada Sian Hwa, "apa yang
harus kukatakan lagi? Aku sudah bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merasa
melakukan pembunuhan terhadap ayah Nona Liem Sian Hwa. Sebagai orang termuda
dari Kun-lun Sam-hengte, aku selamanya tak pernah membohong. Aku tidak
melakukan pembunuhan itu dan kalian percaya atau tidak, terserah. Aku hanya
mengharapkan kebijaksanaan dan keadilan dari Hoa-san-ciangbunjin." la
menjura ke arah Lian Bu Tojin yang semenjak tadi berdiri di pinggiran sambil
menundukkan mukanya.
Hoa-san
It-kiam Kwa Tin Siong tertawa lirih. "Ha-ha-ha-ha, lagi-lagi Kwee Sin yang
dijuluki orang Pek-lek-jiu, orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang terkenal
gagah perkasa, lari bersembunyi di balik sumpah-sumpahnya. Orang she Kwee,
tidak perlu bersumpah keras-keras. Sebaliknya kau menjawab
pertanyaan-pertanyaanku agar jelas."
Kwee Sin
sebetulnya mendongkol sekali menyaksikan sikap Hoa-san Sie-eng yang amat
menghinanya. Akan tetapi dia tidak ingin melihat persoalan ini menjadi semakin
panas, maka dia menjawab tenang.
"Tanyalah,
Hoa-san It-kiam, aku akan menjawab."
"Awal
mula terjadinya urusan ini, ayah Sumoi, Liem-lopek, melihat kau bersama seorang
perempuan muda cantik berpelesir di Telaga Pok-yang sehingga menimbulkan
marahnya. Betulkah pada waktu itu kau memang berpelesir bersama seorang
perempuan cantik dari Pek-lian-pai di Telaga Pok-yang?"
Wajah Kwee
Sin menjadi merah sekali, lalu pucat dan merah lagi. la menundukkan muka,
menggigit-gigit bibir dan sampai lama tidak dapat menjawab! Semua mata
memandang kepadanya, bahkan Lian Bu Tojin yang semenjak tadi tunduk saja,
sekarang juga sudah mengerling ke arahnya. Apa lagi Sian Hwa, gadis ini memandang
dengan sepasang mata berapi-api.
Kwee Sin
benar-benar merasa bingung. Bagaimana dia harus menjawab? Tidak dapat disangkal
lagi bahwa dahulu dia telah berpelesir di Telaga Pok-yang bersama Coa Kim Li!
Dan tentu pada saat itu, celaka sekali baginya, ayah Liem Sian Hwa melihat dia
bersama Coa Kim Li dan pulang sambil marah-marah. Bagaimana dia harus menjawab?
Untuk
berterus terang mengaku bahwa dia memang berpelesir bersama seorang wanita muda
cantik, tentu saja ia amat malu. Akan tetapi juga bukan wataknya untuk
berbohong. Oleh karena berada dalam keadaan yang terjepit inilah Kwee Sin tidak
dapat menjawab, hanya menunduk dengan bingung dan malu.
"Kwee
Sin, bagaimana jawabanmu? Mengapa kau diam saja?" Kwa Tin Siong bertanya
dengan nada mengejek.
"Kwee-sute
jawablah, jangan diam saja!" Bun Si Teng juga menegur sute-nya karena dia
amat mendongkol melihat sikap Kwa Tin Siong.
Setelah
berulang kali menarik napas panjang, baru Kwee Sin bisa menjawab, meski tanpa
mengangkat mukanya, "Memang benar aku berada di Telaga Pok-yang pada
beberapa bulan yang lalu..."
"Berpelesir
bersama seorang perempuan muda cantik anggota Pek-lian-pai,” desak Kwa Tin
Siong.
"Bersama
seorang teman perempuan..." lanjut Kwee Sin, tetapi segera terpotong.
"Siapa
dia? Hayo katakan terus terang, bukankah dia itu yang kau ajak membunuh ayah
Sumoi?" Kwa Tin Siong mendesak lagi, penuh amarah. Kwee Sin diam saja.
"Kwee-sute,
mengapa kau diam saja. Siapakah perempuan itu?" Bun Si Teng bertanya,
suaranya mengandung kekecewaan.
"Aku tidak
bisa bilang dia itu siapa, sudah kukatakan temanku, cukuplah. Akan tetapi, dia
dan aku tidak bersekongkol membunuh siapa pun juga."
"Hah?!"
Kwa Tin Siong sekarang marah sekali, merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah
pembunuh ayahnya Sian Hwa. "Kau berpelesir dengan seorang perempuan rendah
dari Pek-lian-pai, lalu terlihat oleh calon mertua yang menjadi marah-marah
melihat kelakuan calon mantunya yang hina. Kau merasa khawatir kalau-kalau
namamu akan dinodai oleh perbuatan itu, khawatir kalau-kalau ayah Sumoi
mengabarkan kelakukanmu yang tidak patut, lalu menyusul bersama perempuan
rendah itu dan... dan membunuhnya..."
"Tidak!"
Kwee Sin berteriak keras. "Tidak sama sekali."
"Kalau
tidak, lekas katakan siapa perempuan jalang itu!" Sian Hwa juga berteriak
marah, pedangnya sudah dicabut lagi.
Kwee Sin
melangkah mundur tiga langkah, wajahnya pucat sekali. Bun Si Teng dan Bun Si
Liong saling pandang, lalu mereka menghampiri adik seperguruannya. "Sute,
urusan ini bukan urusan remeh. Betapa pun juga kau harus berani mendatangkan
wanita itu untuk menjadi saksi bahwa kau tidak melakukan pembunuhan dan...”
"Apakah
Suheng tidak percaya kepadaku?"
"Akulah
yang akan melawan orang yang mendakwa kau berbuat jahat, Kwee-sute. Aku selalu
percaya penuh kepadamu, akan tetapi kalau tidak diberi saksi hidup, tentu
Hoa-san Sie-eng masih penasaran..."
"Ha-ha-ha-ha,
Kun-lun Sam-hengte benar-benar bagus!" Thio Wan It menyindir.
"Seorang keedanan perempuan dan melakukan pembunuhan keji, dan kini
kakak-kakaknya hendak membela. Wah, seperti merasa gagah sendiri saja. Kalau
perlu, Hoa-san Sie-eng sanggup membasmi sampai ke akar-akarnya!"
"Bagus
sekali! Kami Kun-lun Sam-hengte, biar pun hanya bertiga, takkan mundur setapak
biar pun dikeroyok di sini!" Bun Si Liong juga mengeluarkan kata-kata
mengejek.
Kedua pihak
lagi-lagi sudah panas, dan apa bila mendapat dorongan sedikit saja pasti akan
saling gempur.
"Bagaimana,
Kwee Sin? Kalau kau hendak menyangkal, kau harus bisa sebutkan nama perempuan
yang menjadi kekasihmu itu, yang terlihat oleh ayah Sumoi. Kalau kau tetap
menyembunyikan namanya, berarti dia itu betul seorang Pek-lian-pai dan kau
bersama dia membunuh ayah Sumoi." Kwa Tin Siong mendesak.
Muka Kwee
Sin pucat sekali. Tak mau dia menodai nama Coa Kim Li, seorang gadis yang
cantik lagi gagah, apa lagi yang sudah menjatuhkan hatinya. Di lain sudut,
hatinya juga merasa sangat kasihan kepada bekas tunangannya yang kematian ayah,
terbunuh oleh orang-orang yang agaknya sengaja hendak memfitnahnya. Dan semua
ini kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak tergila-gila kepada Coa Kim Li,
kiranya takkan terjadi hal ini.
Sekarang dia
tidak saja sudah membikin hancur penghidupan Liem Sian Hwa, juga dia merupakan
ancaman bagi nama baik Coa Kim Li. Lebih dari pada ini malah, sekarang dia
menjadi biang keladi pertumpahan darah, biang keladi permusuhan antara
Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Hal terakhir inilah yang lebih hebat dan
menghancurkan hatinya.
"Hoa-san
Sie-eng!" akhirnya dia berkata dengan suara keras. "Sekali lagi aku
tekankan bahwa aku tidak membunuh ayah Nona Liem! Tapi kalian tidak percaya dan
mendesakku membawa-bawa nama orang yang tidak berdosa. Suheng sekalian!
Kun-lun-pai jangan sampai bermusuhan dengan Hoa-san-pai, dan semua bahaya
permusuhan ini adalah gara-gara tindakan siauwte yang bodoh. Oleh karena itu,
biarlah siauwte menebus dosa. Heee, Hoa-san Sie-eng, kalau kalian tidak percaya
kepadaku dan ingin melihat Kwee Sin mampus, biarlah kalian puas saat ini dan
jangan merembet-rembetkan Kun-lun-pai dalam urusan ini!"
Secepat
kilat Kwee Sin menggerakkan pedangnya, dibabatkan ke lehernya sendiri!
"Trangg…!"
Pedang itu
terlempar, tubuh Kwee Sin lenyap dan sebagai gantinya di situ menggelinding
sebuah kepala orang.
"Siluman
betina, jangan lari!" tiba-tiba saja Lian Bu Tojin berseru dan tubuhnya
berkelebat lenyap pula.
Kwa Tin
Siong dan ketiga orang adik seperguruannya kaget memandang ke arah kepala yang
menggelinding tadi. Alangkah marahnya hati mereka ketika melihat bahwa kepala
itu adalah kepala salah seorang tosu Hoa-san-pai yang entah bagaimana sudah
dipenggal dan dilemparkan ke tempat itu.
"Keparat
jahanam orang-orang Kun-lun!" bentak Kwa Tin Siong. "Orang she Bun
berdua, sekarang kalian mau bilang apa? Sudah nyata Kwee Sin si keparat
bersekongkol dengan orang jahat, buktinya dia ditolong dan bahkan murid
Hoa-san-pai dibunuh. Kalian tentu bukan manusia baik-baik dan ikut sekongkol pula!"
Dengan
kemarahan meluap-luap Kwa Tin Siong lalu menerjang dua orang saudara Bun itu,
dibantu oleh Thio Wan It, Kui Keng, beserta Liem Sian Hwa. Empat orang saudara
Hoa-san Sie-eng ini mengamuk dan mengeroyok Bun Si Teng dan Bun Si Liong.
Kasihan sekali
dua orang saudara Bun ini. Mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa dan tadi pun
ketika Kwee Sin hendak membunuh diri, mereka sudah tak berdaya. Tahu-tahu Kwee
Sin lenyap. Cara lenyapnya demikian ajaib sampai tidak terlihat oleh mereka.
Sudah jelas
bahwa Kwee Sin ditolong orang pandai. Akan tetapi siapa penolongnya dan kenapa
melemparkan kepala seorang tosu Hoa-san-pai? Mereka tak dapat membersihkan diri
pula. Tentu saja orang Hoa-san-pai akan menganggap mereka ikut bersekongkol.
Terpaksa Bun
Si Teng dan Bun Si Liong mencabut senjata dan membela diri. Akan tetapi oleh
karena dikeroyok empat orang dan pihak lawan lebih kuat, di samping itu karena
memang mereka tidak dapat berkelahi dengan penuh semangat karena merasa pihak
sute-nya bersalah, maka akhirnya Bun Si Teng dan Bun Si Liong terdesak, dan
menderita luka-luka. Namun orang gagah dari Kun-lun-pai ini dengan ilmu silat
mereka yang tinggi masih terus melakukan perlawanan, atau lebih tepat disebut
melakukan pembelaan diri yang gigih dan kuat.
Pada saat
itu, Kwa Hong berlari-larian menuju tempat Beng San bekerja. Dengan napas
terengah-engah Kwa Hong menarik tangan Beng San yang sedang menyapu lantai.
"Beng
San, marilah lihat. Ayah dan semua orang sedang bertengkar dengan orang-orang
dari Kun-lun-pai. Tentu akan bertempur!"
Kaget sekali
hati Beng San. Anak ini sudah mendengar dari Tan Hok tentang usaha jahat yang
dilakukan Ngo-lian Kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li untuk memecah belah
antara Pek-lian-pai, Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai.
"Kenapa
mereka bertengkar? Apa sebabnya mereka bertempur?" tanyanya, masih kurang
mengacuhkan karena dipikirnya bahwa hal itu bukanlah urusannya, apa lagi kalau
diingat bahwa apa yang dia dapat lakukan terhadap urusan itu?
"Kabarnya
seorang Kun-lun-pai, tunangan bibi Sian, telah membunuh ayah bibi Sian Hwa.
Sekarang dia datang bersama dua orang lagi dan cekcok dengan ayah dan semua
paman guru. Juga sukong berada di sana. Hayo kita lihat!"
"Nona
Hong, kau lihatlah sendiri. Aku dilarang oleh sukong-mu keluar dari sini, kalau
aku berani keluar tentu akan mendapat marah pula." Beng San melanjutkan
pekerjaannya, tak peduli lagi.
"Beng
San, mereka sedang ribut-ribut, mana memperhatikan kau? Marilah kau temani aku
keluar menonton."
Beng San
menggelengkan kepala dan memandang kepada Kwa Hong, mengagumi sinar mata yang
demikian tajam namun halus dan indah.
"Nona
Hong, mengapa kau selalu datang kemudian mengajak aku bercakap-cakap dan
bermain-main? Sudah berapa kali kau dimarahi oleh ayahmu? Lebih baik jika kau
seperti anak-anak yang lain, menjauhi aku karena aku hanyalah seorang kacung
dan kau dilarang mendekati aku."
"Apa
salahnya? Kalau aku suka bermain-main dan bicara denganmu, siapa melarang? Biar
ayah marah, biar sukong mengamuk, aku tidak takut!" Gadis cilik ini
membusungkan dada dan kepalanya tegak, matanya bersinar-sinar.
Beng San
memegang tangan Kwa Hong, terharu sekali. "Nona Hong, kenapa demikian?
Amat tidak baik kalau kau dimarahi ayahmu dan sukong-mu... mengapa kau begini
baik terhadapku seorang kacung, seorang jembel busuk, mengapa sikapmu tidak
seperti yang lain yang selalu menghinaku?"
Untuk
beberapa saat sepasang mata dara cilik itu menatap wajah Beng San, lalu berkata
lirih, "Entahlah... aku merasa amat berkasihan kepadamu, Beng San..."
Keduanya
hanya berpegang tangan dan saling pandang tanpa mengerti apa yang mereka
rasakan. Kemudian timbul kenakalan Kwa Hong yang memecahkan hikmat kesunyian
itu sambil tertawa. "Agaknya karena kau seperti bunglon itulah yang
membuat aku suka bermain denganmu, hi-hi-hi..."
"Kuntilanak!"
Beng San balas memaki. la mendongkol kalau dimaki bunglon.
Kwa Hong
tertawa sambil melepaskan tangannya. Pada saat itu tampak Kui lok, Thio Ki, dan
Thio Bwee berlari-lari. Muka mereka agak pucat.
"Mereka
sudah bertempur!" kata Thio Ki terengah-engah. "Tadi bekas tunangan
bibi Sian Hwa itu lenyap secara aneh, seorang supek yang menjadi tosu dibunuh
orang, kepalanya dilempar ke depan sukong. Sukong mengejar orang jahat.
Hebat...”
Tanpa
menunggu sampai cerita ini berakhir, Kwa Hong sudah berlari-lari keluar hendak
menonton, diikuti oleh tiga orang anak itu. Para tosu Hoa-san-pai juga
kelihatan berlari-lari sambil membawa senjata tajam. Keadaan Hoa-san-pai
kacau-balau.
Setelah
ditinggal seorang diri, Beng San termenung. la bisa mendengar suara beradunya
senjata tajam, dan telinganya yang sudah memiliki pendengaran luar biasa itu
mendengar angin sambaran senjata yang amat mengerikan itu.
Dia tahu
persoalannya. Mereka sedang berhantam, saling bunuh tanpa mereka sadari bahwa
mereka sedang diadu domba oleh pemerintah Mongol yang menggunakan pihak
Ngo-lian-kauw sebagai kaki tangannya. Ahhh, perlukah orang-orang itu saling
membunuh hanya menurutkan nafsu amarah belaka? Saling bunuh karena fitnah,
padahal mereka itu adalah saudara-saudara sebangsa sendiri?
Tidak
mungkin aku mendiamkan saja, menonton orang sebangsa saling bunuh, padahal
kedua belah pihak adalah orang-orang gagah yang telah mempunyai nama besar
sebagai pendekar-pendekar! Beng San kemudian melempar sapunya dan berlari cepat
ke tempat pertempuran.
la melihat
betapa dua orang laki-laki yang melakukan perlawanan dengan gagah berani telah
mandi darah dan terdesak hebat oleh pengeroyokan Kwa Tin Siong, Thio Wan It,
Kui Keng, dan Liem Sian Hwa. Di atas tanah tergeletak kepala seorang tosu
Hoa-san-pai. Keadaan benar-benar amat mengerikan.
Mudah Beng
San menduga siapa adanya dua orang gagah itu. Mereka tentu orang-orang
Kun-lun-pai seperti yang tadi diceritakan oleh Kwa Hong. Dia melihat Kwa Hong
berdiri agak jauh dengan Thio Bwee, agak pucat dan hanya menonton saja. Akan
tetapi Kui Lok dan Thio Ki bertepuk-tepuk dan bersorak kalau dua orang itu
terkena sambaran senjata seorang di antara Hoa-san Sie-eng.
Di dalam
hati Beng San timbul rasa penasaran. Kenapa main keroyok? la dapat menilai
tingkat enam orang yang bertempur itu. Apa bila pertempuran dilakukan satu
lawan satu, barulah akan seimbang dan ramai. la melihat pedang di tangan Kwa
Tin Siong dan Liem Sian Hwa amat berbahaya. Sudah beberapa tempat di tubuh
kedua orang Kun-lun-pai itu luka-luka.
"Hoa-san
Sie-eng... jangan lanjutkan pertempuran. Orang-orang Kun-lun tidak
bersalah!" tiba-tiba Beng San tak dapat menahan dirinya lagi,
berteriak-teriak dan melompat ke dekat pertempuran.
Semua orang
kaget sekali melihat ini, akan tetapi yang bertempur terus saja bertempur. Kui
Lok dan Thio Ki marah sekali melihat sikap Beng San. Mereka berdua ini memang
sudah merasa amat iri hati kepada Beng San ketika mendengar pujian Kwa Hong dan
Thio Bwee betapa Beng San dengan ‘gagah berani’ telah menyusul dan menolong dua
orang dara cilik itu ketika diculik orang.
Sekarang
mereka melihat Beng San berteriak-teriak, mereka mendapat kesempatan untuk
melampiaskan kemarahan mereka. Dua orang jago cilik ini lalu menerjang maju ke
arah Beng San.
"Kacung
busuk! Mau apa kau berteriak-teriak? Hayo kembali ke tempat kerjamu!"
Dua orang
jago cilik ini lalu memukuli Beng San, diturut oleh beberapa orang tosu yang
juga tidak suka kepada Beng San. Terjadi keanehan ketika dua orang anak dan
beberapa orang tosu ini memukul Beng San. Kui Lok dan Thio Ki menjerit
kesakitan dan tangan kanan mereka patah tulangnya ketika memukul tubuh Beng
San. Para tosu yang memukulnya kurang keras, juga berjingkrak kesakitan karena
tangan mereka sudah menjadi merah bagaikan terbakar dan bengkak-bengkak!
Tanpa
mempedulikan mereka semua, Beng San langsung berjalan menuju ke gelanggang
pertempuran. Dua orang saudara Bun itu sudah roboh bermandikan darah dan Beng
San menubruk mereka sambil berseru.
"Mereka
tidak bersalah... ahhh, pertumpahan darah terjadi hanya karena fitnah! Alangkah
bodohnya, bermata tetapi seperti buta" Dengan sedih Beng San mengusapi
darah yang mengucur keluar dari dada Bun Si Teng dan Bun Si Liong. "Dua
orang pendekar gagah harus melepaskan nyawa hanya karena menurutkan nafsu
belaka, hanya karena fitnah..."
Bun Si Teng
dan Bun Si Liong belum tewas, akan tetapi mereka sudah terluka parah dan hanya
berkat jiwa mereka yang gagah perkasa saja yang membuat mereka roboh tanpa
mengeluarkan keluhan sakit sedikit pun juga!
Melihat
sikap dan kata-kata Beng San, Kwa Tin Siong kaget dan heran sekali. Apa lagi
ketika dia melihat betapa cucu-cucu murid Hoa-san, yaitu Kui Lok dan Thio Ki
menderita patah tulang tangan sedangkan beberapa orang tosu lagi
bengkak-bengkak tangannya.
Dia semakin
curiga akan dugaannya bahwa Beng San bukanlah anak sembarangan dan mungkin
sekali dari pihak musuh. Sekarang terbukti betapa Beng San merasa sedih atas
jatuhnya dua orang Kun-lun-pai dan kata-katanya yang tidak karuan.
"Beng
San, apa maksud kata-katamu barusan?" Kwa Tin Siong membentak sambil maju
menghampiri dengan pedang di tangan.
Beng San
yang melihat bahwa dua orang Kun-lun-pai itu tak mungkin dapat tertolong lagi,
segera bangkit berdiri dengan tegak. Matanya bersinar tajam menakutkan dan
mukanya menjadi merah kehitaman. la membanting kaki ke atas tanah dan berkata.
"Hoa-san
Sie-eng, apakah kalian tidak melihat bahwa kalian telah membunuh orang-orang
tidak berdosa? Kalian telah kena fitnah. Kwee Sin bukan orang yang berdosa, dia
tidak membunuh ayah Nona Liem Sian Hwa. Semua ini memang diatur oleh pemerintah
Mongol dengan bantuan Ngo-lian-kauw! Kwee Sin hanya punya sebuah kesalahan
kecil, yaitu dia roboh oleh kecantikan ketua Ngo-lian-kauw. Akan tetapi yang
membunuh ayah Nona Liem adalah para kaki tangan Ngo-lian Kauwcu yang menyamar
sebagai Kwee Sin dan sebagai orang-orang Pek-lian-pai. Ahh, sayang orang-orang
gagah sampai mudah tertipu!"
"Bohong!
Kau anak kecil tahu apa? Kau berpihak kepada Pek-lian-pai dan Kun-lun!"
Kwa Tin Siong membentak marah.
Tiba-tiba
Bun Si Teng dan Bun Si Liong bergerak. Bun Si Liong tertawa terbahak-bahak lalu
dia berhenti bernapas, mukanya masih tersenyum. Bun Si Teng dengan napas yang
terengah-engah mengulurkan tangan, merangkul Beng San.
"Aku
puas... kau benar anak... kau benar. Siapa namamu...?”
"Aku
Beng San," kata Beng San yang sudah berlutut di dekat Bun Si Teng.
"Kau
telah membersihkan nama Kwee-sute sekaligus Kun-lun-pai. Terima kasih. Alangkah
bodohnya aku... Ha-ha-ha-ha, bukan hanya Kun-lun Sam-hengte yang bodoh... malah
Hoa-san Sie-eng juga goblok, hanya menurutkan nafsu belaka... Beng San, anak
baik, kau anak luar biasa... kau berjanjilah bahwa kelak kau akan
mengamat-amati putera tunggalku... Bun Lim... Kwi..." Orang gagah itu
menjadi lemas dan rohnya menyusul roh adiknya.
Hoa-san
Sie-eng berdiri terlongong. Mereka masih terpukul oleh keterangan Beng San,
walau pun merasa ragu-ragu.
Pada saat
itu tampak bayangan orang berkelebat dan Lian Bu Tojin sudah berdiri di situ.
"Ahhh, dia hebat... tak terkejar olehku..." Tiba-tiba kakek ini
mengeluarkan seruan kaget ketika melihat tubuh Bun Si Teng dan Bun Si Liong
rebah mandi darah dalam keadaan tak bernyawa pula.
"Apa...
apa yang telah terjadi...?" tanyanya, memandang kepada empat orang
muridnya.
Hoa-san
Sie-eng tidak dapat menjawab, masih bingung dan sangat khawatir kalau-kalau
keterangan Beng San tadi itu benar. Berarti mereka sudah membunuh orang-orang
yang tidak berdosa!
"Beng
San, kau lagi di sini? Apa yang kau lakukan di sini?" Lian Bu Tojin
membentak lagi ketika melihat Beng San berlutut di depan mayat kedua orang
saudara Bun itu.
"Locianpwe,
dua orang gagah dari Kun-lun-pai yang tidak berdosa ini telah dikeroyok dan
dibunuh oleh murid-muridmu yang gagah!" kata Beng San dengan suara keras.
Kemudian dia
mengulangi lagi penuturannya yang tadi di depan ketua Hoa-san-pai. Kakek ini
berubah air mukanya mendengar keterangan itu, akan tetapi dengan bengis dia
lalu bertanya.
"Bocah,
dari mana kau tahu semua itu?"
"Saya
bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan merekalah yang sudah menceritakan
semua itu kepadaku."
"Bohong
kalau begitu. Orang-orang Pek-lian-pai itu jahat dan berbohong!" seru Kwa
Tin Siong penuh harap.
Tentu saja
dia tidak mengharapkan kebenaran keterangan Beng San, karena kalau benar
terjadi hal demikian, berarti pihak Hoa-san-pai telah melakukan perbuatan yang
kurang patut terhadap Kun-lun-pai.
Lian Bu
Tojin meraba-raba jenggotnya yang panjang. "Urusan ini sangat
berbelit-belit dan amat penuh rahasia. Keterangan bocah ini mungkin sekali
benar, akan tetapi juga bukan mustahil dia dipergunakan oleh Pek-lian-pai untuk
mengacau kita. Betapa pun juga, kalian telah terburu nafsu membunuh dua orang
Kun-lun-pai ini. Keadaan sudah terlanjur begini, sungguh tidak menyenangkan
sekali. Pinto sendiri masih ragu-ragu siapakah yang benar siapa yang salah.
Kwee Sin ditolong dan dibawa pergi oleh seorang iblis wanita jahat, Hek-hwa Kui-bo.
Terang bahwa ada pihak yang bersekongkol dengan Kwee Sin, tapi..."
Tiba-tiba kakek itu berseru, "He, bocah, kau hendak lari ke mana?"
Tubuhnya berkelebat ke depan dan di lain saat kakek ini sudah memegang lengan
tangan Beng San yang tadi hendak lari.
"Aku
mau pergi saja. Selain Hoa-san-pai tidak baik karena membunuh orang tak
berdosa, Hek-hwa Kui-bo sudah datang, aku bisa celaka...," bantah Beng
San.
"Kau
dicari Hek-hwa Kui-bo?" Lian Bu Tojin bertanya heran.
"Semua
orang jahat mencariku."
"Kenapa?"
Ketua Hoa-san-pai ini sudah menduga bahwa pasti ada rahasia aneh pada diri anak
yang mencurigakan ini, maka dia takkan melepaskannya sebelum dapat mengetahui
rahasianya.
Tentu saja
Beng San tidak mau menceritakan tentang dirinya, apa lagi tentang Im-yang
Sin-kiam-sut. Tapi dia anak yang cerdik, dapat menghubung-hubungkan persoalan,
maka dengan suara berbisik dia berkata.
"Tosu
tua, apa kau lupa akan Lo-tong Souw Lee? Siapa yang tidak akan mencari tempat
persembunyiannya? Hek-hwa Kui-bo tentu akan senang sekali kalau mendengar bahwa
aku dan Totiang mengetahui tempat tinggal kakek tua she Souw itu!"
Lian Bu
Tojin cepat melepaskan tangan yang dipegangnya. "Hushh, gila kau! Siapa
yang tahu tempat sembunyinya orang itu?"
Orang tua
ini celingukan ke kanan kiri, nampaknya berkhawatir sekali. Siapa yang tidak
khawatir kalau dikatakan mengetahui tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee? Semua
orang jahat di dunia mencari-cari tempat sembunyi pencuri pedang Liong-cu
Siang-kiam itu, dan apa bila dia disangka mengetahui tempat sembunyinya, bukan
mustahil kalau dia akan dimusuhi semua tokoh kangouw!”
Beng San
tersenyum. "Totiang, aku hanya membawakan suratnya kepada Totiang, dan
kiranya tidak aneh kalau orang yang sudah bersurat-suratan saling mengetahui
tempat tinggalnya, bukan?"
"Hush,
jangan main gila kau! Pinto tidak tahu tempat sembunyinya!"
"Kalau
begitu biarkanlah aku pergi mencarinya, Totiang. Aku sudah tidak suka tinggal
di Hoa-san."
"Pergilah,
pergilah cepat!" Kakek itu kini malah mendesak supaya supaya anak itu
pergi, karena kalau dibiarkan saja di situ bicara tentang Lo-tong Souw Lee,
jangan-jangan dia bisa terbawa-bawa dalam urusan perebutan Liong-cu Siang-kiam.
Beng San
lalu menoleh ke arah anak-anak yang melihat semua itu dari jauh, kemudian dia
melambaikan tangan dan berkata, "Nona Hong, Nona Bwee, selamat
tinggal!"
Beng San
lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak Hoa-san-pai. Semua orang
memandang bayangan anak aneh ini sampai lenyap di belakang batu-batu besar.
Lian Bu
Tojin menghela napas panjang. "Ah, sungguh celaka terjadi hal seperti ini.
Lekas kalian kuburkan baik-baik jenazah kedua orang murid Kun-lun-pai ini.
Pinto harus berani mempertanggung jawabkannya terhadap pertanyaan Pek Gan
Siansu..."
la menarik
napas panjang berkali-kali sambil menggeleng kepala, penasaran sekali bahwa
dalam usia setua itu dia masih harus menghadapi urusan pertumpahan darah yang
terjadi antara murid-muridnya dan murid-murid Kun-lun-pai. Kemudian ia
meninggalkan para muridnya, memasuki pondoknya untuk bersemedhi. Tapi begitu
memasuki pondok, dia mendapatkan kekecewaan lain dengan tidak adanya Beng San.
Bocah itu begitu rajin dan amat cerdik dalam mempelajari filsafat-filsafat To.
Bocah yang aneh.
Sepak
terjang bocah tadi diam-diam membangkitkan keheranan dan kekaguman hatinya.
Seorang anak kecil yang bekerja sebagai kacung, dahulu sudah berani
mempertaruhkan nyawa untuk menolong Kwa Hong dan Thio Bwee. Tadi telah berani
mencela Hoa-san-pai dan mengeluarkan kata-kata yang gagah. Kalau kelak anak itu
menjadi seorang yang pandai, dia tak akan merasa heran.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment