Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 01
Pegunungan
Lu-liang-san terkenal sebagai gunung yang indah dan subur, terutama sekali hal
ini disebabkan oleh Sungai Kuning yang mengalir di antara pegunungan ini.
Banyak terdapat hutan-hutan lebat dan bagian-bagian yang amat indah penuh
dengan pohon-pohon berbuah dan tanaman berbunga. Hutan-hutan ini sebagian besar
masih merupakan hutan liar yang asli, belum terjamah tangan dan terinjak kaki
manusia. Oleh karena itu, penghuni asli hutan-hutan itu, yaitu
binatang-binatang besar kecil berkembang biak dengan amat subur sehingga daerah
Pegunungan Lu-liang-san terkenal sebagai tempat yang sangat baik akan tetapi
juga amat berbahaya bagi para pemburu.
Keindahan
alam yang belum terjamah tangan manusia memang merupakan keindahan asli.
Apalagi di musim semi pada waktu pohon-pohon penuh dedaunan, sedangkan di musim
rontok saja terdapat keindahan asli yang menggerakkan hati setiap orang yang
dapat menghargai keindahan alam yang asli. Lihatlah daun-daun yang melayang
turun saat rontok dari tangkainya. Melayang-layang bebas lepas seakan-akan
kupu-kupu bercanda menimbulkan suara gemerisik yang tak ada hentinya. Daun-daun
kering rontok, dan dengan rela memberi kesempatan untuk berseminya daun-daun
baru yang akan menggantikan kedudukannya. Daun-daun kering merontok untuk membusuk
dan menjadi pupuk bagi daun-daun baru.
Rontok dan
semi, hilang yang tua muncullah yang baru. Di dunia ini mana yang tidak
terlewat oleh hukum alam ini? Yang tua lenyap untuk memberi tempat bagi yang
muda, yang muda akhirnya pun tua dan lenyap untuk mengulang sejarah yang lalu.
Gemerisik daun-daun kering rontok melayang turun diselingi suara air Sungai
Huang-ho yang tidak penuh airnya. Air bermain dengan batu-batu, berdendang lagu
bahagia tak kunjung henti. Suara daun kering rontok dan bunyi air sungai
berdendang merupakan perpaduan suara yang amat indah, kadang-kadang diramaikan
suara burung di pohon dan sekali-kali terdengar raungan binatang buas dari
dalam semak-semak belukar.
Betapa pun
besar bahaya rnengancam keselamatan manusia yang berani memasuki hutan-hutan
ini, yaitu bahaya dari ancaman binatang-binatang buas, akan tetapi tetap saja
akhirnya ternyata bahwa manusialah makhluk yang paling kuat di antara segala
makhluk hidup di dunia ini.
Pagi hari
itu, di kala sinar matahari berebutan menerobos ke celah-celah daun pohon yang
mulai menggundul dan burung-burung tengah ramai bersaing kemerduan kicau mereka
terdengar suara lain di dalam hutan itu. Suara manusia!
Burung-burung
yang terdekat dengan tempat itu menghentikan kicaunya, sebagian lalu terbang
pergi ketakutan. Binatang-binatang kecil berlarian menyelinap masuk ke dalam
semak-semak. Binatang-binatang besar mengintai dengan penuh kecurigaan dari
balik gerombolan belukar. Seluruh perhatian para mahkluk dalam hutan tertuju
kepada mahkluk aneh yang tak pernah mereka lihat itu. Manusia!
Manusiakah
yang menjadi pusat perhatian para binatang itu? Jangankan para binatang yang
tak pernah atau jarang sekali melihat manusia, sedangkan manusia-manusia
sendiri kiranya akan tercengang keheran-heranan apa bila melihat orang yang
tengah berada di dalam hutan seorang diri ini. Dia adalah seorang lelaki tinggi
besar. Pakaiannya berpotongan longgar dan terbuat dari bemacam-macam kain
warna-warni yang disambung-sambung. Sepatunya, sepatu besar, juga berkembang!
Sukar
menaksir umur orang ini. Yang terang dia sudah lewat dewasa, karena tubuhnya
demikian tinggi besar. Melihat perawakan dan wajahnya yang sudah masak,
sedikitnya dia telah berusia empat puluh lima tahun. Akan tetapi melihat
kebodohan kanak-kanak yang membayang pada wajahnya, melihat bentuk pakaian dan
warna sepatunya serta sikapnya yang sedang bermain-main seorang diri, dia masih
seperti seorang kanak-kanak!
Memang dia
seorang kanak-kanak yang sudah tua, atau seorang tua yang memiliki jiwa
kanak-kanak. Karena keanehan inilah maka di dunia kang-ouw ia terkenal sekali
dengan nama poyokan Koai Atong (Bocah Aneh). Jangan dipandang rendah Koai Atong
ini. Banyak orang Kang-ouw, jagoan ternama yang berkepandaian tinggi, akhirnya
kecele pada saat mereka berani memandang rendah Koai Atong. Dia adalah murid
tunggal seorang sakti dari Tibet, seorang hwesio yang bernama Ban-tok-sim Giam
Kong.
Melihat nama
julukannya saja, Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun), mudahlah dibayangkan orang
macam apa hwesio Tibet ini. Namanya saja sudah cukup membuat seorang tokoh
kang-ouw lari tunggang langgang. Koai Atong tertawa-tawa dan berkata-kata
seorang diri di dalam hutan itu. Dia sedang melatih Jing-tok-ciang (Tangan
Racun Hijau), yaitu semacam ilmu pukulan yang paling diandalkan oleh suhu-nya.
Walau pun anak tua ini kelihatan ketolol-tololan, akan tetapi bakatnya dalam
hal ilmu silat bukan main hebatnya.
Kalau tidak
demikian, tak mungkin seorang sakti seperti Ban-tok-sim Giam Kong mau
mengambilnya sebagai murid tunggal. Hampir seluruh ilmu kepandaian Giam Kong
sudah diwarisi Koai Atong, malah dalam hal ilmu Pukulan Jing-tok-ciang, Koai
Atong tak pernah berhenti untuk berlatih dan memperdalam.
“Kau harus
roboh, harus roboh!” katanya sambil memutar-mutar lengan kirinya laksana orang
memutar gilingan kopi, kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari
terbuka mendorong ke arah sebatang pohon.
Tidak
terdengar suara apa-apa, akan tetapi semua daun kering di pohon itu merontok
dan pohon yang batangnya sebesar paha orang itu mulai tumbang karena batangnya
sudah membusuk. Bukan main lihainya pukulan Jing-tok-ciang ini, dan demikian
jahatnya sehingga batang pohon yang tadinya masih segar menjadi busuk terkena
hawanya yang beracun.
Koai Atong
terkekeh-kekeh gembira, lalu melanjutkan latihannya dengan memukul pohon yang
lebih besar. Sebentar saja di situ telah rebah beberapa batang pohon, akan
tetapi ia juga terduduk kelelahan karena terlampau banyak mengerahkan tenaga
Iweekang dalam latihan pukulan mukjijat ini. Seperti orang gendeng anak tua ini
tertawa-tawa girang karena hasil latihannya tadi memuaskan hatinya.
Akan tetapi
tiba-tiba ia kaget mendengar bunyi kelepak sayap burung besar dan ia melihat
seekor burung rajawali berbulu putih sedang menukik turun tak jauh dari tempat
ia duduk beristirahat. Cepat ia melompat dan berindap-indap mendekati tempat
itu. Bukan main hebatnya burung ini. Besar bukan main, kalau berdiri semeter
lebih tingginya. Burung ini menukik turun lantas menerjang ke arah semak-semak
dan dalam sekejap mata saja dia menerkam seekor kijang yang bersembunyi di
situ.
Kasihan
kijang ini, sama sekali tak dapat melawan. Sekali cengkeram, kuku-kuku runcing
melengkung itu menusuk perut menembus kulit dan daging. Kijang berkelojotan
sebentar dan mati tak lama kemudian.
Rajawali
dengan sepasang matanya yang bening berapi itu mendengus dan melepaskan korbannya,
kemudian terbang pergi meninggalkan bangkai kijang begitu saja. Koai Atong
terheran-heran. Gilakah burung itu, pikirnya. Sudah membunuh kijang kenapa
tidak terus dimakan, malah ditinggal pergi? ia masih bersembunyi, seperti anak
kecil ia girang dapat mengintai perbuatan ‘orang’ lain.
Akhirnya dia
jemu juga karena si rajawali yang sangat gagah dan bagus itu tidak datang
kembali. Tadinya dia berniat menanti, kalau burung itu datang kembali akan
ditubruk dan ditangkapnya. Baru saja ia hendak keluar dari tempat sembunyinya
untuk mengambil bangkai kijang dan dipanggang dagingnya, terdengar auman keras
dan muncullah seekor harimau dari balik semak belukar. Harimau itu keluar
dengan perlahan-lahan, hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya menyeringai dengan
air liur menetes-netes turun. Agaknya ia telah mencium bangkai kijang, atau bau
darah maka ia datang ke tempat itu.
Begitu
melirik ke kanan kiri tidak terdapat bahaya, harimau itu memburu ke arah
bangkai kijang. Akan tetapi mendadak dari arah lain muncul seekor harimau hitam
yang langsung menerjang harimau belang itu. Terjadi pergumulan seru,
cakar-mencakar, gigit-menggigit sangat hebatnya. Koai Atong terkekeh-kekeh
senang, bertepuk-tepuk tangan seperti anak kecil menonton pertunjukan wayang di
mana tokoh-tokohnya berperang tanding.
"Hayo
gigit hidungnya, cakar kupingnya. Hah-hah, heh-heh-heh!"
Akhirnya si
harimau belang harus tunduk terhadap hukum rimba yang berlaku semenjak dunia
berkembang sampai sekarang ini. Siapa kuat dia benar dan menang. Siapa lemah
dia salah dan kalah!
Sambil
meraung-raung dengan leher yang terluka hingga berdarah, harimau belang berlari
tunggang-langgang. Lawannya, si harimau hitam itu tidak mengejarnya, sebaliknya
segera menghampiri biang keladi pertempuran tadi, si bangkai kijang. Ia
mencium-cium, agaknya menikmati bau bangkai dan darah kijang, lalu
menjilat-jilat darah yang mulai mengering.
"Heh-heh-heh,
sergap! Sergap dari atas!" tiba-tiba Koai Atong berteriak-teriak girang.
Anak tua itu
dengan pandangan matanya yang tajam dan telinganya yang terlatih dapat
mendengar suara menggelesernya tubuh ular besar di pohon, sebelah atas harimau
hitam itu. Mendengar suara Koai Atong, si harimau menjadi kaget. Akan tetapi
tiba-tiba ia menjadi lebih terkejut dan marah lagi ketika pada saat itu ada
seekor ular sebesar paha manusia meluncur dari atas dan serta-merta menyerang.
Kembali terjadi pertandingan mati-matian untuk menentukan berlakunya hukum
rimba.
Harimau
hitam itu ganas sekali, mencakar, menggigit sampai kulit ular robek-robek. Akan
tetapi setelah ia kena dibelit, mulailah ia merasa-payah, lalu membanting diri
ke kanan kiri. Si ular tidak mau melepaskan belitannya, malah segera menggigit
leher harimau itu, tak mau melepaskan lagi.
Ramai sekali
pertandingan ini dan makin sukalah hati Koai Atong. Akhirnya harimau roboh tak
berkutik lagi, mati karena gigitan dan belitan ular yang amat kuatnya itu.
Binatang yang kali ini menang, melepaskan lilitannya, lalu terjadilah hal lucu
yang membuat Koai Atong terkekeh-kekeh di tempat persembunyiannya. Ular besar
itu agaknya bimbang ragu, yang mana harus dia ganyang lebih dulu di antara dua
hidangan lezat ini. Sebentar dia merayap ke bangkai kijang, menjilat-jilat,
lalu kembali merayap ke bangkai harimau hitam. Ada empat lima kali dia beragu seperti
itu.
Tiba-tiba
Koai Atong berseru, "Ha-ha-ha, pemiliknya datang!"
Benar saja.
Dari atas melayang turun dua ekor burung rajawali putih. Sekarang tahulah Koai
Atong bahwa rajawali yang menerkam kijang tadi pergi untuk memanggil anaknya.
Sekarang ia telah datang kembali bersama seekor rajawali putih lain yang lebih
kecil dan kelihatan masih amat muda. Dan sekarang ternyata bahwa binatang ular
itu agaknya lebih cerdik dari pada binatang-binatang yang lain. Begitu melihat
dua ekor burung yang besar dan kuat ia maklum bahwa ia takkan kuat melawannya.
Ia mengeluarkan suara mendesis karena kecewa dan marah, akan tetapi lalu
menggeleser lari bersembunyi ke dalam semak-semak.
"Heei!
Pengecut kau! Datang yang kuat lari tunggang-langgang!" Koai Atong
berteriak-teriak dan memaki-maki ular.
Dua ekor
burung rajawali putih itu kaget mendengar suara orang. Mereka menengok ke kanan
kiri, nampaknya marah sekali. Pada saat itu Koai Atong sudah siap sedia untuk
meloncat keluar dan menangkap burung yang lebih besar. Akan tetapi kembali ia
terkejut ketika mendengar suara melengking yang amat nyaring dari atas dan
daun-daun pohon bergerak-gerak tertiup angin keras.
Mendadak
tanpa memperdengarkan kelepak sayap seperti dua ekor rajawali putih tadi, dari
atas menyambar turun bayangan kuning keemasan yang menyilaukan mata. Ternyata
yang menyambar turun ini adalah seekor burung rajawali pula. Besarnya tidak
luar biasa, tidak lebih besar dari pada rajawali putih itu, malah kepalanya
lebih kecil dan dadanya lebih kurus. Akan tetapi yang aneh adalah bulunya yang
berwarna kuning keemasan, bersih dan mengkilap amat indahnya, seakan-akan
bulu-bulunya terbuat dari pada sutera emas.
Ketika dua
ekor burung rajawali putih itu melihat si rajawali emas, mereka kelihatan amat
ketakutan, mengeluarkan suara merintih-rintih. Tetapi sebaliknya, rajawali emas
yang baru datang mengeluarkan suara melengking yang nyaring hingga menyakitkan
anak telinga, nampaknya marah sekali, kemudian tiba-tiba wajahnya bergerak ke
depan, patuknya yang runcing agak melengkung itu bergerak-gerak seperti bibir
orang bicara, lehernya bergerak dan... Koai Atong mengeluarkan seruan heran,
kaget, dan kagum.
Dia adalah
seorang ahli silat yang berpemandangan tajam. Walau pun dia dalam urusan umum
merupakan seorang yang tolol seperti kanak-kanak, akan tetapi dalam hal ilmu
silat dia termasuk seorang ahli.
Namun
gerakan rajawali emas tadi sama sekali tak dapat ia ikuti dengan
penglihatannya, tahu-tahu kedua ekor rajawali putih tadi sudah roboh dengan
kepala berlubang dan mati pada saat itu juga! Saking herannya Koai Atong sampai
berdiri bengong dan melihat ke arah rajawali emas itu.
Rajawali
emas itu berdiri dengan gagahnya, mengangkat dada, mengeluarkan suara tiga kali
lalu menghampiri bangkai harimau yang menggeletak di sana. Kepalanya bergerak,
paruhnya meyambar.
“Crattt!”
Ketika
paruhnya dicabut ternyata paruh itu telah menggigit sebuah benda merah, yaitu
jantung harimau tadi. Sekali telan lenyaplah jantung itu, kemudian ia
menghampiri kijang dan seperti juga tadi, sekali paruhnya menyambar dia sudah
berhasil mengambil jantung kijang. Setelah itu ia mengambil dan makan jantung
dua ekor rajawali putih itu seperti cara tadi.
Koai Atong
tak bisa menahan kekagumannya melihat gerakan ini. Ternyata paruh rajawali emas
itu lebih hebat dari pada sebatang pedang di tangan seorang ahli. Ahli pedang
yang mana pun juga kiranya takkan mungkin dapat meniru rajawali emas itu,
sekali tusuk dapat mengambil jantung di dalam dada binatang-binatang tadi.
"Hebat!
Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) kau benar-benar lihai sekali!"
Sambil
berkata demikian Koai Atong berjingkrak-jingkrak keluar dari tempat
sembunyinya, menghampiri rajawali emas itu dan mengacung-acungkan ibu jari
tangan kanannya.
"Serrr…!"
Secepat
kilat sayap kanan burung itu menyambar, didahului angin pukulan yang sangat
dahsyat ke arah tubuh Koai Atong.
"Heee...,
jangan...!" Koai Atong berseru kaget.
Cepat ia
mengelak sambil merebahkan diri ke kanan, akan tetapi celaka baginya, gerakan
sayap kanan burung itu ternyata hanya merupakan tipuan belaka karena yang
bergerak sesungguhnya adalah sayap kirinya yang menyambar tanpa menerbitkan
angin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Koai Atong terpukul oleh sayap kiri.
Kekuatan pukulan ini hebat luar biasa sehingga tubuh Koai Atong mencelat dan
menggelundung sampai lima meter jauhnya!
Baiknya Koai
Atong sudah memiliki ilmu tinggi dan ketika merasa bahwa ia tidak dapat
menghindarkan diri dari pukulan tadi, ia cepat menggerahkan Iweekang dan
membiarkan tubuhnya didorong sampai bergulingan. Dia hanya merasa kepalanya
agak pusing, tapi tidak terluka. Cepat ia bangun berdiri dan matanya membelalak
lebar.
Pukulan
rajawali itu benar-benar membuatnya makin kagum dan terheran-heran lagi.
Seorang ahli silat kelas tinggi belum tentu akan sanggup merobohkannya dalam
satu jurus saja! Dan gerakan burung ini benar-benar mengandung gerak tipu silat
yang luar biasa.
"Kim-tiauw-heng,
apa kau hendak bermain-main denganku? Hemmm, kalau kau mampu merobohkan aku
lagi, benar-benar kau lihai dan aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Dia meloncat
maju lagi ke depan burung itu yang memandang kepadanya dengan mata emasnya yang
mengandung sinar mengejek dan menghina. Koai Atong sekarang sudah siap sedia
untuk bertempur, maka begitu burung itu menyerangnya lagi dengan gerakan
seperti tadi, yang memukul dengan sayap kanan yang mengeluarkan angin menderu,
ia tidak mengelak ke kanan dan selalu memperhatikan gerakan sayap kiri.
Akan tetapi
ternyata burung itu tidak mengubah gerakannya. Sseperti tadi sayap kirinya
menyusul dengan tamparan yang tidak mengeluarkan angin, tamparan yang tadi
sudah membuat Koai Atong terguling-guling.
"Ha-ha-ha,
tidak kena sekarang, kakak rajawali!"
Koai Atong
tertawa-tawa mengejek sambil cepat-cepat mengelak dari serangan sayap kiri yang
berbahaya ini. Akan tetapi suara tertawanya segera disusul seruan terkejut
ketika mendadak burung itu menyambar ke depan dengan kedua kaki
digerak-gerakkan seperti orang melakukan tendangan! Kedua kaki itu menendang
secara bergantian, saling susul menyusul sehingga sukar diduga kaki mana yang
sesungguhnya akan menyerang.
Koai Atong
tak dapat menghadapi serangan yang luar biasa ini dan sekali lagi tubuhnya
mencelat dan terguling-guling, malah lebih jauh dari pada tadi!
Dengan pipi
agak membengkak dan mata terbelalak heran Koai Atong merayap bangun. Dalam
pandangan matanya, burung itu seperti tersenyum mengejek dan mata burung itu
seperti berseri-seri menertawakannya. Timbul marah dalam hatinya.
"Kau
curang! Kau licik! Aku masih belum kalah."
Dia melompat
maju sambil memutar-mutar lengan kirinya, kemudian dia memukul ke arah sebatang
pohon. Pohon itu segera roboh dalam keadaan layu!
Rajawali
emas agaknya kaget melihat ini. Dia mengeluarkan suara aneh, lalu terbang ke
atas tetapi bukan untuk melarikan diri, melainkan dari atas ia lalu menukik ke
bawah dan menyerang Koai Atong dengan dahsyatnya!
Tadi
berhadapan di atas tanah saja sudah dua kali Koai Atong roboh dalam segebrakan
saja, apalagi sekarang burung itu menyerangnya dari atas. Betapa pun juga, Koai
Atong seorang ahli silat yang sudah banyak menghadapi lawan-lawan lihai, tidak
menjadi gugup atau takut.
Tadi dia
memukul roboh pohon untuk memamerkan kepandaian dirinya. Sekarang melihat bahwa
burung itu tetap tidak takut kepadanya, dia segera memutar lengan kirinya dan
mendorong ke arah burung yang menyerangnya dari atas.
"Plakkk!"
Lengan
tangannya bertemu dengan kaki burung yang bergerak seperti menangkisnya. Koai
Atong terlempar oleh dorongan tenaga yang mukjijat, sebaliknya burung itu pun
mencelat dan hinggap di atas tanah. Sekali lagi Koai Atong tertegun.
Meski
seorang ahli silat yang lihai sekali pun belum tentu akan dapat menangkis
pukulan Jing-tok-ciang dari tangan kirinya tapi agaknya burung itu sama sekali
tidak terluka. Koai Atong makin penasaran. Masa ia kalah oleh seekor burung?
Memalukan sekali!
Sambil
berseru marah ia kembali menerjang maju, dan sekali ini tanpa ragu-ragu lagi
dia mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Ilmu Pukulan Jing-tok-ciang. Akan
tetapi ia kecele, burung itu cerdik bukan main dan mengenal kelihaian pukulan
lawan. Kali ini rajawali tidak mau menangkis, dan kedua kakinya dibantu
pergerakan sepasang sayapnya bergerak ke sana ke mari mengelak.
Bukan main
gerakan kaki ini. Selain gesit dan ringan, juga teratur dalam langkah-langkah
tertentu yang ajaib sehingga pukulan-pukulan Jing-tok-ciang itu satu kali pun
tidak pernah mengenai tubuhnya. Sebaliknya, tiap kali burung itu menghantam
dengan sayapnya, tentu Koai Atong roboh terguling-guling. Kadang-kadang,
bagaikan seorang pemain bola yang ulung, kaki burung itu menendang dan membuat
tubuh Koai Atong menggelinding seperti bola pula.
Koai Atong
marah luar biasa. Begitu marahnya sampai dia menangis berkaok-kaok sambil
memaki-maki, persis tingkah laku seorang anak kecil nakal kalau kalah
berkelahi. Sambil menangis dan memaki ia mengeluarkan senjatanya yang paling
lihai, yaitu sebatang anak panah berwarna hijau. Inilah anak panah yang
mengandung racun hijau yang bukan main lihainya. Lawan yang terkena tusukan
anak panah ini tubuhnya akan diracuni oleh racun hijau dan jangan harap bisa
hidup lagi. Dengan anak panah ditangan kanan Koai Atong maju lagi.
Burung itu
agaknya jeri melihat anak panah ini. Dia kini selalu mengelak dan sudah lewat
puluhan jurus belum juga Koai Atong dapat mengenai tubuh lawannya, sebaliknya
sudah lima kali ia terguling-guling oleh sambaran sayap burung. Diam-diam dia
mengeluh karena andai kata tubuhnya tidak kebal dan andai kata sambaran sayap
itu rnerupakan pukulan manusia yang mengandung lweekang, tentu dia sudah
mampus!
“Alangkah
malu kalau tak dapat membalas,” pikirnya.
Pikiran ini
membuat ia nekat. Betapa pun juga, pikiran seorang manusia biar pun berjiwa
kanak-kanak agaknya masih lebih berakal dari pada pikiran seekor burung. Ketika
burung itu untuk kesekian kalinya menampar, Koai Atong sengaja menerima
tamparan ini dan berbareng menggunakan anak panahnya memapaki sayap burung.
Hebat
pukulan itu, membuat Koai Atong terlempar dan terbanting sampai matanya terasa
berkunang-kunang. Akan tetapi burung itu sendiri mengeluarkan suara kesakitan.
Anak panah hijau itu telah menancap di sayap kirinya. Ia kebingungan, sayap
kirinya menjadi lumpuh dan dengan paruhnya ia menggigit gagang anak panah, lalu
dicabutnya.
Dengan
kemarahan berkobar-kobar burung itu menggunakan paruh dan kaki kanannya
mencengkeram dan... anak panah itu patah dan dilemparnya ke tanah. Sekarang
burung itu marah sekali, mengeluarkan bunyi melengking tinggi.
Ia
menggerak-gerakkan sayap hendak terbang, akan tetapi sayapnya yang kiri tidak
dapat digerakkan. Burung itu mematuk-matuk ke arah sayap kirinya. Ternyata
bahwa ujung anak panah hijau masih tertinggal disayapnya itu. Ketika dia tadi
mencabut anak panah, saking kuat gerakannya, anak panah itu patah pada
ujungnya.
Koai Atong
juga marah karena pukulan terakhir itu membuat tubuhnya terasa sakit-sakit
semua. Dia lalu meniru suara burung itu, memekik-mekik juga, malah lebih keras
sambil memutar-mutar lengan kirinya, siap mengirim pukulan Jing-tok-ciang lagi
karena sekarang senjatanya telah rusak.
Sekali lagi
Koai Atong memukul dengan Jing-tok-ciang dan biar pun sudah terluka, sekali
lagi pula burung itu dapat mengelak menggunakan gerak kaki yang aneh sekali.
Sebelum sempat memperbaiki kedudukannya, Koai Atong sudah terdorong lagi oleh
pukulan sayap kanan sampai terguling-guling.
Koai Atong
bangun lagi sambil menggoyang-goyang kepala keras-keras karena matanya makin
berkunang. Sekarang timbul akalnya. Setelah pusingnya hilang dia lalu menyerang
membabi-buta, mengeluarkan semua kepandaian yang pernah ia pelajari, akan
tetapi kini semua serangannya ia tujukan dari arah kiri burung itu.
Memang
bagaimana pun juga, akal Koai Atong lebih menang dari pada akal binatang itu
sehingga kali ini burung rajawali itu menjadi sibuk sekali mengelak tanpa bisa
menyerang kembali karena sayap kirinya sudah terluka dan tak dapat digerakkan
lagi. Agaknya hal ini membuat ia menjadi gentar. Sambil memekik-mekik burung
itu lalu lari meninggalkan Koai Atong.
"Kau
hendak lari ke mana? Sebelum berlutut minta ampun mana aku mau melepaskan
kau?" Koai Atong memaki-maki dan mengejar.
Akan tetapi
larinya burung itu bukan main cepatnya! Seakan-akan kedua kakinya tidak
menginjak tanah, padahal sayapnya yang kiri sudah tidak dapat digunakan untuk
terbang lagi. Apalagi kali ini agaknya pembawaan binatang itu mengatasi akal
manusia, karena kini larinya menyusup-nyusup melalui semak belukar sehingga
payahlah bagi Koai Atong untuk dapat mengikuti terus.
Akhirnya ia
tertinggal jauh dan sesampainya di tengah hutan yang lebat ia bingung karena
tidak tahu harus mengejar ke mana. Burung rajawali emas itu lenyap seperti
ditelan bumi. Namun, orang seperti Koai Atong mana mau sudah begitu saja? Ia
seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan bagus, maka sambil
memaki-maki dan marah-marah ia pun mencari terus….
***************
Seorang
wanita muda berjalan seorang diri di dalam hutan itu. Wanita ini masih muda
sekali, baru berusia sekitar dua puluh satu tahun. Sungguh pun badannya tidak
terpelihara baik-baik, dapat dilihat dari pakaiannya yang tidak teratur serta
rambutnya yang kusut, namun tak dapat disangkal oleh siapa pun juga bahwa dia
adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita.
Sayang bahwa
pada waktu itu, tidak saja pakaian dan badannya tidak terawat baik-baik, juga
pada wajah yang cantik manis itu nampak kedukaan dan kesengsaraan hati yang
amat hebat. Wajah itu sungguh suram dan pada pipinya nampak bekas-bekas air
mata. Sambil menundukkan mukanya, wanita itu berjalan di dalam hutan. Kakinya
melangkah tanpa tujuan seperti orang berjalan dalam tidur. Berulang-ulang ia
menarik nafas panjang, kadang-kadang mengeluarkan air mata.
Tiba-tiba ia
dibangunkan dari lamunannya oleh suara lirih yang datang dari semak-semak
belukar. Suara yang mengandung keluh kesakitan, merintih-rintih. Wanita itu
tertarik hatinya dan menyelinap memasuki belakang semak-semak yang amat rapat
dan liar. Ternyata di situ mendekam seekor burung yang merintih-rintih
kesakitan. Wajah wanita itu nampak kaget melihat seekor burung yang begitu
besarnya dan bulunya seperti emas berkilauan.
Ketika
melihat sayap kiri burung itu tergantung lemas dan darah bercucuran dari luka
nya yang masih tertancap ujung anak panah, wanita itu berkata, suaranya penuh
perasaan kasihan. "Ahhh, sayapmu terluka? Kasihan sekali, mari kucabut
ujung anak panah itu. Siapa orangnya yang begitu kurang ajar melukai burung
begini indah?"
Dari
suaranya saja mudah diketahui bahwa pada dasarnya wanita ini bersikap gagah dan
pembela kaum lemah, sayang bahwa dia sedang disiksa oleh penderitaan batin
agaknya. Burung itu bukan lain adalah rajawali emas yang terluka oleh anak
panah Koai Atong. Biar pun dia hanya seekor burung, namun ia termasuk binatang
yang cerdik juga dan dapat mengenal kawan atau lawan. Agaknya ia berkesan baik
terhadap wanita ini, buktinya ia lalu mengeluarkan suara merintih dan
menjulurkan sayap kirinya bagai seorang anak kecil memperlihatkan tangannya
yang sakit kepada ibunya. Wanita itu meraba sayap itu, memeriksa sebentar.
"Ah,
kasihan sekali kau, alangkah kejam orang yang melukaimu. Tentu sakit dan
perih..." tiba-tiba ia meramkan mata dan menyarnbung, "namun, burung
yang baik, betapa pun sakitnya sayapmu, tak akan sesakit hatiku..."
la membuka
mata lagi lalu menggunakan jari-jari tangan yang runcing mungil mencabut ujung
anak panah yang masih menancap dalam-dalam di sayap kiri burung itu. Dengan
amat mudahnya anak panah tercabut dan darah hijau menghitam bercucuran keluar.
Dari gerakan cara mencabut ini saja dapat diketahui bahwa wanita muda yang
cantik jelita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga.
Melihat
darah agak kehijauan itu wanita ini nampak kaget hingga berseru, "Celaka,
anak panah ini beracun! Ahh, mungkin kau tak akan tertolong lagi..."
suaranya terdengar sedih sekali. "Tapi biarlah kucoba mengobatinya dengan
obat luka yang kubawa dari Hoa-san."
Wanita itu
mengeluarkan bungkusan kecil, lalu mengobati luka di sayap burung itu dengan
obat bubuk putih. Burung itu diam saja hanya merintih-rintih perlahan, kemudian
dengan mesra lehernya dia gosok-gosokkan kepada leher dan kepala wanita itu.
Wanita itu pun membelai kepala burung itu sambil berkata terharu, "Ah,
burung yang baik, kau seekor binatang saja tahu terima kasih..."
Tiba-tiba
terdengar suara berisik daun-daun kering terinjak disusul bentakan parau,
"Ah, kiranya kau bersembunyi di sini, rajawali iblis?" Dan muncullah
Koai Atong yang mukanya masih bengkak-bengkak dan matang biru karena tadi
beberapa kali dihajar oleh burung rajawali itu sampai terguling-guling.
Akan tetapi
begitu pandang matanya bertemu dengan wanita cantik itu, kemarahan Koai Atong
seketika lenyap dan matanya terbelalak memandang wanita itu. Mulutnya yang
masih membengkak tlba-tiba terbuka dan tertawa lebar, wajahnya berseri-seri
gembira.
"Enci
Hong...! Ha-ha-ha, benar, engkau adalah Enci Hong...!" dia bersorak
gembira dan meloncat-loncat seperti anak kecil menari-nari mendekati wanita
muda itu.
Wanita muda
itu menarik napas panjang. "Hemm, Koai Atong, jadi kaukah yang melukai
burung ini?"
"Ahhh,
jadi dia ini burungmu, Enci Hong?"
Wanita itu
meragu sebentar, lalu mengangguk, "Betul."
"Waduh,
celaka! Kalau aku tahu dia burungmu, tentu aku tidak berani
mengganggunya." Koai Atong lalu menghampiri burung itu dan menjura sangat
dalam. "Kim-tiauw-ko (Kakak Burung Rajawali Emas), kau maafkan aku, ya?
Aku tidak tahu bahwa kau adalah milik dan peliharaan Enci Hong."
Melihat Koai
Atong mendekat, burung itu marah dan hendak mematuk, tetapi wanita itu
mencegahnya sambil merangkul lehernya. "Dia ini orang sendiri, jangan
diganggu." Dan aneh sekali, burung itu tidak jadi menyerang.
"Koai
Atong, jadi burung ini adalah seekor kim-tiauw (rajawali emas)?"
"Lho,
kok aneh sekali kau ini. Masa tidak mengenal burung peliharaan sendiri?"
"Baru
sekarang aku mendengar bahwa dia adalah rajawali emas. Koai Atong, kau telah
melukainya dengan racun hijau, sekarang kau harus memberi obat padanya."
"Baik...
baik... ahh, Enci Hong. Jika dia burungmu, benar-benar aku harus dipukul!"
Koai Atong cepat mengeluarkan obat bubuk dari dalam sakunya.
Sebagai
seorang ahli Jing-tok (Racun Hijau), tentu saja dia juga tahu bagaimana harus
mengobati luka karena Jing-tok itu. Beberapa kali ia menyedot luka di sayap itu
dengan mulutnya, kemudian ia menaruhkan obat bubuknya yang berwarna kuning.
Benar saja, dalam waktu tak berapa lama burung itu sudah dapat
menggerak-gerakkan kembali sayap kirinya.
Siapakah
wanita muda itu? Dia bernama Kwa Hong cucu murid Hoa-san-pai akan tetapi oleh
karena dia secara langsung menerima gemblengan dari kakek gurunya, yaitu ketua
Hoa-san-pai yang bernama Lian Bu Tojin, maka ilmu silatnya amat tinggi.
Beberapa
bulan yang lalu Kwa Hong gadis gagah perkasa ini mengalami peristiwa yang amat
menghancurkan hatinya. Dia tertawan musuh dan ditahan di benteng bala tentara
Mongol. Beng San, pemuda sakti yang telah menjatuhkan hatinya, telah
menolongnya dan kemudian mereka berdua terjebak oleh tipu daya musuh.
Musuh yang
jahat telah menaruhkan obat mukjijat dalam makanan sehingga dia dan Tan Beng
San dalam keadaan tidak sadar telah jatuh dalam kekuasaan obat mukjijat itu dan
telah melakukan pelanggaran susila, telah melakukan hubungan seperti suami
isteri.
Hal ini
sesungguhnya tidak mendukakan hati Kwa Hong karena memang ia mencinta Tan Beng
San dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur
hatinya ketika pada keesokan harinya setelah sadar dari pengaruh obat itu, Beng
San menyatakan penyesalannya, minta mati dan malah mengaku Beng San tak mungkin
dapat memperisterinya karena pemuda itu sudah jatuh cinta kepada seorang gadis
lain!
Demikianlah,
dengan hati hancur, perasaan malu dan amat kecewa, Kwa Hong lalu lari pergi
dengan maksud menjauhkan diri dari segala keramaian dunia. Apa lagi yang dapat
ia harapkan? Orang yang dicintanya, yang tidak hanya merebut hati dan jiwanya,
malah sudah pula memiliki badannya, tidak mau menerimanya dan menyatakan cinta
kepada gadis lain!
Ibu dia
sudah tidak punya. Ada pun ayahnya... ahh, makin sedih kalau Kwa Hong teringat
ayahnya. Ayahnya adalah seorang pendekar besar yang ternama, seorang jagoan
dari Hoa-san-pai, murid tertua dari Lian Bu Tojin.
Hoa-san
It-kiam (Pedang Tunggal dari Hoa-san) Kwa Tin Siong adalah seorang tokoh
persilatan yang mempunyai nama besar dan harum. Akan tetapi, nasib manusia
memang tak dapat dipastikan. Ayahnya yang sudah lama menjadi duda itu teriibat
dalam persoalan asmara dengan adik seperguruannya sendiri, yaitu Kiam-eng-cu
(Bayangan Pedang) Lim Sian Hwa. Karena marahnya Lian Bu Tojin hendak membunuh
Lim Sian Hwa, namun serangan pedangnya ditangkis oleh Kwa Tin Siong, membuat
lengan kirinya putus dan ayahnya itu kemudian membawa lari Sian Hwa yang
pingsan, pergi entah ke mana!
Siapa lagi
yang dapat diharapkan oleh Kwa Hong? Hatinya perih sekali, dan lebih-lebih lagi
bingung serta perih rasa hatinya ketika dalam perantauannya ini dia mendapatkan
kenyataan bahwa ia telah mengandung! Tuhan menjatuhkan hukuman pada makhluk-Nya
yang sesat!
Hubungannya
dengan Tan Beng San tidak saja menghancurkan hatinya, tapi juga akan
mendatangkan aib dan malu. Dia telah mengandung di luar pernikahan yang sah. Ia
akan mempunyai anak tanpa mempunyai suami!
Setelah
mendapat kenyataan ini, beberapa kali Kwa Hong hendak membunuh diri saja, namun
wataknya yang keras menimbulkan satu tekad padanya. Ia tak boleh mati karena ia
harus melakukan pembalasan! Kepada siapa? Kepada siapa saja yang telah membuat
ia menjadi begini, kepada siapa saja yang telah membuat penghidupannya hancur
lebur.
Demikianlah,
secara kebetulan ia pun tiba di hutan itu dan bertemu dengan Koai Atong. Ia
memang mengenal baik Koai Atong ini, semenjak dia kecil dahulu Koai Atong
selalu baik kepadanya.
Setelah
berjumpa dengan Koai Atong ini, teringatlah dia akan kata-katanya di depan Tan
Beng San. Kata-kata terakhir untuk menyatakan kehancuran hatinya. "Aku
akan menikah dengan laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh yang pertama
kali kujumpai."
"Ah,
bukankah Koai Atong ini boleh dibilang laki-laki yang paling buruk dan paling
bodoh?” Dan melihat ketaatan Koai Atong kepadanya... ha! Siapa lagi di dunia
ini yang boleh ia percaya?
"Koai
Atong, apakah kau masih suka kepadaku?" mendadak Kwa Hong bertanya sambil
memandang tajam kepada laki-laki tinggi besar yang bermuka bodoh itu.
Koai Atong
tertawa senang, "Tentu saja, Enci Hong. Aku suka sekali padamu, kau adalah
seorang teman yang amat baik."
"Apakah
kau suka menurut semua kata-kataku? Jika kau tidak suka menuruti permintaan dan
kata-kataku, lebih baik kau tinggalkan aku dan selama hidup jangan lagi kau
bertemu dengan aku!"
"Tentu...
tentu..." jawab Koai Atong gugup, agaknya laki-laki satu ini memang takut
sekali kalau-kalau dia tidak boleh lagi bertemu dengan Kwa Hong, "Aku akan
menuruti semua kata-katamu, Enci Hong. Biar disuruh mati pun aku mau!"
Seketika
kedua mata Kwa Hong menjadi basah, hatinya tertusuk sekali. Perih dan terharu
dia melihat Koai Atong yang demikian mencinta dirinya sehingga bersedia mati
untuknya. “Kasihan Koai Atong. Nasibmu tidak berbeda seperti aku,” demikian dia
berpikir. Mencinta mati-matian tanpa mendapat balasan.
"Lho,
kok menangis, Enci Hong? Siapa yang mengganggumu? Bilanglah, Koai Atong akan
menghancurkan kepalanya!" ia berdiri dan mengepal-ngepal tinjunya,
nampaknya marah sekali seakan-akan sudah melihat pengganggu Kwa Hong berada di
depannya.
"Kau
duduklah, Koai Atong," Kwa Hong memegang tangannya dan menariknya duduk di
atas tanah.
Sementara
itu, burung rajawali emas yang sudah sembuh juga mendekam di belakang Kwa Hong.
Dia membelai-belai punggung gadis itu dengan kepala dan lehernya.
Koai Atong
nampak girang sekali disuruh duduk dekat Kwa Hong. Sinar matanya seperti mata
seorang anak kecil yang minta dipuji.
"Atong,
kau dengarlah baik-baik. Aku sekarang hidup seorang diri di dunia ini. Maukah
kau bersamaku? Menjadi temanku selamanya dan tak pernah meninggalkan aku?"
"Aku
suka... aku suka sekali!"
“Tapi kau
tidak boleh pergi ke mana pun juga, harus selalu mengikuti aku dan mentaati
permintaanku."
"Boleh...
boleh Enci Hong."
"Kalau
suhu-mu datang dan meminta kau meninggalkan aku, lalu bagaimana?" Kwa Hong
memancing.
Koai Atong
menjadi bengong. Orang yang paling ditakuti di dunia ini hanyalah gurunya
seorang, yaitu Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun) Giam Kong, hwesio dari Tibet
yang amat terkenal sebagai tokoh dari Tibet, ahli Jing-tok-ciang.
Mendengar
pertanyaan Kwa Hong ini, ia pun menjadi bingung dan nampak gugup. "Waah,
kalau Suhu datang... sulit...!"
Kwa Hong
cemberut, "Kalau kau lebih suka kepada suhu-mu, sudahlah, sekarang juga
kau boleh tinggalkan aku!"
"Tidak...
tidak begitu, Enci Hong. Mana bisa aku lebih suka kepada Suhu yang gundul dan
galak? Aku lebih suka kepadamu tentu."
Diam-diam
geli juga hati Kwa Hong mendengar ucapan dan melihat sikap Koai Atong ini.
"Nah, kalau kau memang suka padaku, kau tak boleh membantah, harus menurut
segala kata-kataku. Biar pun suhu-mu datang, kau harus berani menghadapinya dan
selamanya kau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?"
Koai Atong
mengangguk-angguk seperti ayam makan beras, "Mengerti... mengerti..."
"Jika begitu
baru baik dan aku suka menjadi temanmu. Sekarang soal yang kedua. Mulai
sekarang, kepada siapa pun juga, kepada gurumu sekali pun, kau harus bilang
bahwa aku ini adalah... adalah isterimu."
Sepasang
mata Koai Atong terbuka lebar hingga bundar, hidungnya kembang kempis dan
mulutnya cengar-cengir seperti orang merasa nyeri dan ketakutan.
"Kau...
kau adalah temanku yang baik, yang kubela sampai mati... mana bisa is... isteri
segala...?”
Kembali Kwa
Hong cemberut marah. "Lagi-lagi kau mau membantah. Ahhh, Koai Atong, kalau
belum apa-apa kau sudah membantah saja dan tidak mau menuruti kehendakku,
sudahlah kau pergi, biar aku mati seorang diri di sini!"
"Jangan...
jangan usir aku, Enci Hong. Baiklah, kau isteriku. Biar kepada setan sekali pun
aku akan bilang bahwa kau adalah isteriku. Nah, sudah senangkah hatimu?"
Kwa Hong
mengangguk, kemudian dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedih, dia
berkata lagi, "Mulai sekarang aku adalah isterimu dan kau... suamiku.
Kelak kalau aku melahirkan anak kau harus bilang bahwa anak itu adalah
anakmu."
Wajah Koai
Atong sampai menjadi pucat mendengar ini, mulutnya ternganga dan matanya
terbelalak. Kiranya dia akan terus begini bila saja tidak kebetulan sekali ada
lalat terbang memasuki mulutnya, membuat ia mencak-mencak dan mau muntah.
"Kau
mau menolak lagi? Mau membantah lagi?" Kwa Hong benar-benar jengkel kali
ini.
Koai Atong
ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri duduk lagi setelah dengan terpaksa
menelan lalat yang nekat itu.
"Tidak,
Enci Hong. Aku tidak membantah. Baiklah, anak itu anakku... eh, mana anak itu?
Apa engkau mau melahirkan anak, Enci Hong?"
Sekarang Kwa
Hong tersenyum, tersenyum sedih. Orang seperti Koai Atong ini bodohnya jauh
lebih baik dan murni hatinya dari pada orang-orang yang tampan dan pandai.
"Koai Atong, beberapa bulan lagi aku akan melahirkan anak dan ingat
baik-baik, anak itu harus kau anggap anakmu sendiri. Aku isterimu dan anak itu
anakmu, mengerti?"
"Baik...
baik... aku mengerti."
"Andai
kata gurumu sendiri datang dan marah, kau harus tetap mengakui aku isterimu dan
anak itu anakmu, kau harus berani melawannya."
"Tapi..."
"Apa
tapi lagi? Ahh, Koai Atong, janganlah kau bikin aku kehabisan sabar dengan
terus membantah."
"Tidak
membantah... tidak membantah, Enci Hong yang baik. Tapi Suhu lihai sekali...
mana aku kuat melawannya? Kau dan aku akan tewas semua kalau melawannya."
"Takut
apa? Kepandaianmu tinggi, dan sedikit-sedikit aku pun berkepandaian. Kita bisa
melatih diri dan memperdalam ilmu. Apa bila kelak ada yang datang mengganggu,
dengan kepandaian kita, masa kita harus takut?"
Akan tetapi
Koai Atong ragu-ragu, menggeleng-geleng kepala. Biar pun dalam persoalan umum
ia bodoh dan seperti anak kecil, namun dalam perkara ilmu silat ia jauh di atas
Kwa Hong tingkatnya dan tahu bahwa melawan suhu-nya merupakan hal yang mustahil
sekali. Tiba-tiba ia teringat dan seperti orang gila ia meloncat dan
menari-nari, lalu ia merangkul burung rajawali emas yang mendekam di belakang
Kwa Hong.
Burung itu
kaget dan hendak menyerangnya, akan tetapi Kwa Hong segera membentak,
"Kim-tiauw, jangan serang dia!" Kemudian ia membentak Koai Atong.
"Apa-apaan
kau ini, kegirangan tidak karuan?"
"Ada
jalan... ada jalan baik Enci Hong, Kim-tiauw-heng ini, kita bisa belajar ilmu
silat dari dia. Wah, dia lihai sekali, kiranya suhu-ku sendiri takkan mampu
melawannya!"
"Kau
gila! Mana ada burung lebih lihai ilmu silatnya dari gurumu? Sedangkan
melawanmu saja ia sampai terluka sayap kirinya."
Koai Atong
tertawa geli, "Memang ia agak bodoh, tapi lihai bukan main. Kalau aku
tidak sengaja mengakalinya, membiarkan diriku dihantam lalu membarengi menusuk
sayapnya dengan anak panah, mana aku mampu melukai dia? Seratus kali aku
menghantamnya, seratus kali luput pula. Namun setiap kali dia menyerangku, aku
terguling-guling. Benar, gerakan-gerakannya adalah ilmu silat yang hebat, ilmu
silat ajaib, ha-ha-ha!"
Kemudian ia
menghampiri burung itu dan berkata, "Enci Hong, kau lihat sendiri, ya? Aku
akan menyerangnya dengan Jing-tok-ciang, ilmu pukulanku yang paling hebat. Tapi
kalau dia nanti marah, kau harus menyabarkannya."
Setelah
berkata demikian dia memutar-mutar lengan kirinya dan siap menyerang burung
itu. Burung itu pun cepat berdiri dan melirik ke arahnya dengan marah.
"Hati-hati
Koai Atong. Pukulanmu itu hebat sekali, jangan sampai kau bikin dia mati!"
seru Kwa Hong yang sudah mengenal Jing-tok-ciang ini. Dia suka sekali kepada
burung yang bulunya seperti emas itu.
"Jangan
kuatir, kau lihat saja."
Tiba-tiba
Koai Atong memukul, dan terus memukul secara bertubi-tubi sampai lima kali.
Akan tetapi benar saja, dengan gerakan yang aneh sekali tapi mudah dan ajaib,
burung itu melangkah ke sana ke mari dan... semua serangan itu tak mengenai
sasaran. Kemudian, entah bagaimana caranya tahu-tahu sayap kanannya bergerak
dan... Koai Atong lantas terdorong sampai terguling-guling. Burung itu mengejar
dan dengan marahnya hendak mencengkeram. Koai Atong berteriak-teriak minta
tolong.
"Kim-tiauw,
jangan serang dia!" bentak Kwa Hong sambil meloncat maju.
Aneh, burung
itu benar-benar tunduk kepada Kwa Hong. Dia membatalkan niatnya dan kelihatan
girang ketika Kwa Hong merangkul lehernya.
"Hebat...
kim-tiauw yang gagah. Kau benar-benar hebat...!" kata Kwa Hong yang sekarang
percaya akan kelihaian burung itu.
Koai Atong
merayap bangun dan pada jidatnya bertambah sebuah benjolan sebesar telur. Ia
menyumpah-nyumpah tapi segera tertawa melihat wajah Kwa Hong berseri gembira.
"Ha-ha,
kau tidak menangis lagi, Enci Hong. Baik, bagus, aku senang melihat kau gembira
sekarang. Jangan kuatir, kalau aku sudah mempelajari ilmu silat burung
kim-tiauw ini, biar ada lima orang selihai Suhu, aku tidak takut!"
Kwa Hong
masih tidak mengerti bagaimana harus mempelajari ilmu silat dari seekor burung,
akan tetapi melihat kesungguhan Koai Atong, ia percaya, maka ia menjadi girang
sekali. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mempelajari segala ilmu silat
dari Koai Atong, kalau mungkin melalui Koai Atong mempelajari gerakan yang
ajaib dari burung itu. Kalau dia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi, hemmm,
akan tercapai maksudnya menghukum mereka yang membuat hidupnya merana.
***************
Hoa-san-pai
adalah partai persilatan yang besar dan sudah terkenal semenjak ratusan tahun.
Sayang sekali partai besar ini menjelang berakhirnya pemerintahan Goan menjadi
berantakan. Semenjak dahulu Hoa-san-pai menggembleng pendekar-pendekar budiman
sehingga nama baiknya makin harum saja.
Mungkin
sudah kehendak Tuhan bahwa segala apa di dunia ini, sampai nama sekali pun,
tidak akan kekal adanya. Ada kalanya naik dan ada kalanya turun, ada pasang
surutnya.
Nasib yang
menimpa Hoa-san-pai ketika di bawah pimpinan Lian Bu Tojin memang amat
menyedihkan. Akibat kesalah pahaman disebabkan hal-hal yang amat berbelit-belit
dalam masa perjuangan meruntuhkan Kerajaan Mongol dan mengusir penjajah itu
dari tanah air, Ketua Hoa-san-pai ini kehilangan semua muridnya yang paling ia
andalkan dan sayang.
Empat orang
muridnya yang dahulu terkenal sebagai Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san)
sekarang sudah tidak ada lagi. Murid pertama, Kwa Tin Siong, sudah minggat
entah ke mana setelah tangannya buntung oleh pedang gurunya, pergi bersama
murid ke empat, Liem Sian Hwa. Dua yang lain, yaitu murid kedua dan ke tiga,
telah tewas dalam permusuhan dengan Kun-lun-pai yang terjadi akibat kesalah
pahaman yang hebat.
Memang masih
ada empat orang cucu muridnya, yaitu Kwa Hong yang entah ke mana perginya,
tetapi kemudian didengar oleh kakek Ketua Hoa-san-pai itu bahwa Kwa Hong sudah
hidup bersama Koai Atong. Cucu murid yang lainnya adaiah Kui Lok yang sekarang
menjaga Hoa-san-pai bersama Thio Bwee.
Kakek ini
sudah rnengambil keputusan untuk merangkapkan dua orang cucu muridnya ini yaitu
Kui Lok dan Thio Bwee menjadi suami isteri. Cucu murid ke empat adalah Thio Ki,
yaitu kakak dari Thio Bwee yang kini telah bekerja sebagai kepala perusahaan
piauw-kiok (pengawal pengantar barang) di Sin-yang. Juga Thio Ki sudah ia
jodohkan dengan murid Raja Pedang Cia Hui Gan, yaitu Nona Lee Giok yang patriotik.
Akan tetapi
Lian Bu sangat berduka kalau ia teringat akan muridnya yang terkasih, yaitu Kwa
Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Ke manakah perginya dua orang itu? Pula, ia merasa
sedih dan kecewa sekali apa bila dia teringat akan Kwa Hong yang kabarnya
tinggal di puncak Lu-Liang-san bersama Koai Atong!
Jika
perbuatan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa itu dapat dianggap merusak nama dan
kehormatan Hoa-san-pai, maka yang merusak itu adalah dua orang murid
Hoa-san-pai sendiri. Akan tetapi kalau sampai terdengar orang kang-ouw tentang
Koai Atong dan Kwa Hong, bukankah itu berarti bahwa Koai Atong sengaja hendak
menghina Hoa-san-pai dan memandang rendah dan ringan kepadanya?
Pikiran
inilah yang selalu mengganggu kakek ini dan membuat ia mengambil keputusan
untuk rnencari Ban-tok-sim Giam Kong untuk diminta pertanggungan jawabnya
terhadap perbuatan Koai Atong dan kalau guru Tibet ini tidak mau mempertanggung
jawabkannya, ia sendiri akan mencari Kwa Hong dan Koai Atong di Lu-liang-san.
Dan adalah keputusan ini yang membuat pada suatu hari Lian Bu Tojin berhadapan
dengan Ban-tok-sim Giam Kong di tepi gurun pasir di luar tembok besar sebelah
utara.
Ban-tok-sim
Giam Kong adalah seorang hwesio bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam
sekali. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tetapi masih nampak kuat.
Tongkat hwesio yang selalu berada di tangannya juga berat, tanda bahwa tenaga
hwesio tua ini besar. Sepasang mata hwesio ini memancarkan sinar penuh semangat
dan matanya sekarang juga bersinar-sinar ketika dia bertemu dengan Lian Bu
Tojin di tempat yang tak disangka-sangkanya itu.
"Omitohud...!"
dia mengeluarkan kata-kata pujian sambil merangkapkan kedua tangan ke depan
dada, menyembah sebagai tanda hormat. "Angin apa yang meniup Toyu datang
ke tempat ini?"
Lian Bu
Tojin merangkapkan kedua tangan pula, lalu ia menjura, "Bagus sekali,
agaknya memang Thian sudah menghendaki pertemuan kita ini. Losuhu, sengaja
pinto mencarimu untuk membicarakan sesuatu urusan amat penting."
"Omitohud,
pinceng tidak ingin mendahului kehendak Thian. Akan tetapi, bukankah Toyu
mencari pinceng karena urusan muridmu dan muridku?"
"Siancai...
siancai...," kata Lian Bu Tojin heran. "Kiranya Losuhu sudah maklum
pula akan hal itu. Losuhu, di antara kita ada pertalian persahabatan ketika
kita bersama menghadapi bangsa Mongol. Oleh karena itu pula, pinto mohon Losuhu
sudi mengingat hubungan baik itu dan suka meluruskan jalan yang bengkok."
Kata-kata meluruskan jalan yang bengkok ini berarti membetulkan sesuatu yang
salah atau yang tidak wajar.
Giam Kong Hwesio
tertawa sambil berdongak, giginya yang masih lengkap dan kuat itu
berkilat-kilat putih di ballk kulit mukanya yang hitam.
"Lian
Bu-toyu memakai kata-kata halus tetapi maksudnya hendak menyalahkan pinceng
dalam hal ini, ha-ha-ha! Sebetulnya, pinceng sendiri pun sangat heran mengapa
muridmu yang muda dan cantik jelita itu suka kepada murid pinceng yang bodoh
dan gila. Kalau muridmu suka, mengapa hendak menyalahkan pinceng?"
Wajah Lian
Bu Tojin yang putih itu berubah agak merah. Benar-benar memalukan sekali sikap
Kwa Hong itu, akan tetapi betapa pun juga, ia harus menjaga nama dan kehormatan
Hoa-san-pai.
"Pinto
meragukan apakah Kwa Hong dengan suka rela ikut dengan muridmu. Harus diakui
bahwa kepandaian muridmu itu jauh lebih tinggi dari pada Kwa Hong. Andai kata
muridmu itu hendak mengambil Kwa Hong sebagai jodohnya, itu pun harus melalui
saluran-saluran yang terhormat. Maka dari itu, Losuhu, telah jelas bahwa
muridmu melanggar kesusilaan, menghina Hoa-san-pai. Apa bila Losuhu tidak mau
turun tangan sendiri, terpaksa untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, pinto yang
akan mewakili Losuhu."
Kali ini
Ban-tok-sim Giam Kong tidak tertawa lagi, menarik muka sungguh-sungguh dan
berkata, "Lian Bu-toyu, kau enak saja bicara seperti orang yang bersih
mulus! Ketahuilah, di dalam urusan antara muridmu dan muridku ini terdapat
rahasia yang pinceng sendiri masih belum dapat pecahkan. Kau tahu, Atong selama
hidupnya sangat taat dan takut kepadaku, akan tetapi sekali ini dia membangkang
dan sama sekali tidak mau kembali kepada pinceng. Ini tidak sewajarnya dan
agaknya muridmu itulah yang memaksanya, entah dengan pengaruh apa. Selain dari
itu, supaya kau tahu saja, pinceng yang menjadi gurunya tahu betul bahwa diri
Koai Atong itu tidak normal lagi, tidak mungkin dia mampu menjadi seorang suami
karena pinceng sendiri yang dulu sudah turun tangan mematikan pembangkit
nafsunya. Dia akan tetap menjadi kanak-kanak sampai matinya kelak dan tak
mungkin dia akan mampu melakukan hubungan dengan wanita sebagai suami isteri.
Nah, setelah keadaan seperti ini, lalu sekarang pinceng mendengar dia
mati-matian mengaku sebagai suami muridmu, bukankah hal ini aneh sekali?"
Lian Bu
Tojin mengerutkan alisnya. Orang seperti Ban-tok-sim Giam Kong ini tidak aneh
bila melakukan kekejian seperti yang dilakukan terhadap Koai Atong itu dan
kata-katanya itu boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa heran sekali.
Bukan tidak
mungkin kalau sebaliknya Kwa Hong yang mempengaruhi bocah tua itu. Ia mengenal
baik Kwa Hong yang keras hati dan tidak mau kalah dalam segala hal. Akan tetapi
mengapa Kwa Hong melakukan hal itu?
"Giam
Kong Losuhu, kalau begitu, karena hal ini menyangkut muridmu dan muridku, jadi
menyangkut nama baik kedua pihak, maka marilah kita berdua pergi ke
Lu-liang-san dan sama melihat, sebetulnya apakah yang terjadi di sana dan siapa
di antara keduanya itu yang bersalah harus kita hukum."
"Usulmu
baik sekali, Toyu."
Berangkatlah
dua orang kakek pendeta itu menuju ke Lu-liang-san. Keadaan dua orang kakek ini
amat jauh berbeda. Giam Kong Hwesio adalah seorang kakek tinggi besar yang
bermuka hitam dan tangannya menyeret sebuah tongkat yang besar dan berat,
tongkat hwesio yang kepalanya diukir kepala binatang sakti kilin.
Ada pun Lian
Bu Tojin yang beberapa tahun lebih muda dari pada hwesio tua itu adalah seorang
pendeta tosu yang tinggi kurus, jenggotnya panjang sampai ke perut, pakaiannya
sederhana sekali dan tangannya membawa sebatang bambu yang ringan. Di punggung
tosu ini tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai.
Walau pun
dua orang kakek ini sudah tua sekali, sudah lebih enam puluh tahun, namun
berkat tingkat kepandaian mereka yang tinggi, dengan ilmu lari cepat mereka,
dalam beberapa hari saja mereka sudah mulai mendekati Bukit Lu-liang-san yang
sunyi. Akan tetapi mencari dua orang di atas pegunungan yang banyak puncaknya
dan kaya akan hutan-hutan lebat itu bukanlah pekerjaan mudah.
Setelah
berkeliaran beberapa hari barulah pada suatu pagi mereka berhasil menemukan
Koai Atong. Ini pun kalau Koai Atong tidak sedang memanggang daging harimau
kiranya masih belum akan dapat ditemukan oleh dua orang kakek itu.
Asap yang
bergulung-gulung itulah yang menarik hati dua orang kakek ini dan akhirnya
mereka melihat Koai Atong sedang memanggang daging dalam sebuah hutan yang
lebat. Koai Atong tertawa-dan menyanyi seorang diri, nampaknya gembira bukan
main.
Giam Kong
Hwesio yang menghampiri dengan diam-diam merasa terharu juga. Ia sudah terlalu
kenal akan watak muridnya ini dan ia dapat melihat betapa muridnya itu
betul-betul merasa bahagia hidupnya. Maka meragulah ia, apakah ia harus
mengganggu kehidupan yang begitu tenteram dan bahagia dari Koai Atong? Akan
tetapi karena ada urusan yang menyangkut diri Kwa Hong murid Hoa-san-pai, tentu
saja ia pun tidak dapat mendiamkan saja.
"Koai
Atong, sedang apa kau di sini seorang diri?" tegur Giam Kong Hwesio.
Koai Atong
nampak kaget, apalagi setelah menengok ia melihat gurunya bersama Lian Bu Tojin
sudah berdiri di depannya. Saking gugupnya ia lalu mendekatkan daging yang baru
dipanggangnya itu ke mulut, lalu... digigitnya daging setengah matang yang
masih panas sekali itu. Ia seperti lupa diri dan terus makan daging yang masih
mengebul itu dengan enaknya sambil kedua matanya memandang kepada dua orang
kakek itu, terbelalak.
"Koai
Atong, suhu-mu bertanya kenapa tidak kau jawab?" kata Lian Bu Tojin,
suaranya terdengar tenang serta penuh kesabaran. Ketua Hoa-san-pai ini memang tidak
pernah memperlihatkan kandungan hatinya sehingga di dalam keadaan marah atau
duka ia bisa tertawa.
"Aku...
aku sedang makan…" jawab Koai Atong gugup. "Suhu dan Totiang...
apakah suka makan daging?"
Kalau saja
pertanyaan barusan bukan diajukan oleh Koai Atong yang sudah mereka kenal
wataknya yang kekanak-kanakan, sudah tentu akan merupakan pertanyaan yang
sifatnya menghina. Masa dua orang pendeta yang pantang makan bernyawa ditawari
daging?
"Atong,
kedatangan pinceng dan Lian Bu-toyu ke sini bukan untuk makan daging, tetapi
untuk mencari kau dan Nona Kwa Hong. Kabarnya kau dan Nona Kwa Hong berada di
sini, sekarang di mana adanya nona itu?"
Mendengar
pertanyaan gurunya, Koai Atong lalu berdiri, mulutnya masih bergerak-gerak
makan daging panas.
"Ada
keperluan apakah kau mencari isteriku?"
Terbelalak
mata Giam Kong Hwesio mendengar kata-kata dan melihat sikap yang kurang ajar
serta menantang ini. "Atong, apa kata mu? Sejak kapan kau memperisteri
dia?"
"Semenjak...
sejak lama, entah berapa lama. Enci Hong adalah isteriku dan kelak kalau
anaknya terlahir, anak itu adalah anakku!" Otomatis Koai Atong meniru
kata-kata yang harus ia janjikan kepada Kwa Hong dahulu.
Mendengar
kata-kata ini, dua orang kakek itu saling pandang dan keduanya melangkah heran.
Keheranan itu perlahan-lahan berubah menjadi kemarahan karena mereka berdua
menganggap bahwa hal ini benar-benar keterlaluan.
Dua orang
bersuami isteri sampai hampir punya anak dan semua itu terjadi di luar tahu
guru masing-masing, terjadi begitu saja tanpa ada pengesahan. Benar-benar
merupakan tamparan bagi orang yang menjadi gurunya.
"Atong,
jangan kau main gila!" bentak Giam Kong Hwesio dengan muka makin menghitam
karena menahan kemarahannya. "Benar-benarkah kau menjadi suami Nona Kwa
Hong? Jangan berdusta, jawab terus terang!"
Biasanya
apabila gurunya sudah membentaknya seperti itu, hati Koai Atong menjadi jeri
dan takut, lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kali ini ia
tetap berdiri dan biar pun wajahnya berubah pucat dan tubuhnya menggigil, ia
menjawab, "Betul, Suhu. Enci Hong adaiah isteriku, aku suaminya dan
anaknya kelak akan menjadi..."
"Tutup
mulut!" Giam Kong Hwesio membentak marah sekali. "Atong, lupakah kau
bahwa dalam segala hal kau harus mendapat ijin terlebih dahulu dari pinceng?
Diam-diam kau mengaku sebagai suami Nona Kwa Hong, siapa yang memaksamu berbuat
demikian?"
"Enci
Hong yang meminta begitu, Suhu... dan aku... aku tidak bisa menolaknya, tidak
mau aku membikin Enci Hong marah dan berduka."
Giam Kong
Hwesio lalu melirik ke arah Lian Bu Tojin, sinar matanya seolah-olah berkata,
"Nah, semua adalah kesalahan muridmu!"
Akan tetapi
Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa, dia hanya memandang ke sana ke mari,
agaknya mencari Kwa Hong.
"Atong,
sekarang juga kau harus tinggalkan tempat ini dan ikut bersama pinceng!"
Wajah Koai
Atong semakin pucat. "Apa...? Pergi meninggalkan Enci Hong...? Tidak,
Suhu. Aku tidak mau, aku tidak bisa berpisah dari Enci Hong. Karena itu aku
tidak mau pergi ikut denganmu!"
"Setan!
Atong, apakah kau hendak melawan gurumu?"
"Siapa
pun juga tak boleh memisahkan aku dengan Enci Hong!" Koai Atong masih
tetap membantah.
"Keparat,
kalau begitu lebih baik pinceng melihat kau mati!"
Tiba-tiba
tubuh yang tinggi besar dari Giam Kong Hwesio itu bergerak dan tahu-tahu dia
sudah mengirim serangan maut ke arah kepala Koai Atong.
Ia sudah
maklum sampai di mana tingkat kepandaian muridnya ini, yaitu tidak selisih jauh
dengan tingkatnya sendiri, maka begitu turun tangan ia segera mengirim pukulan
dengan jurus yang mematikan dan yang kiranya tak akan dapat dihindarkan oleh
muridnya itu.
Akan tetapi,
di luar dugaannya sama sekali, tubuh Koai Atong bergerak sedikit, kakinya
menggeser dan kedua lengannya dikembangkan seperti sayap dan... serangan itu
hanya mengenai tempat kosong Giam Kong Hwesio terkesiap, bukan karena
dihindarkannya serangannya, melainkan cara muridnya itu bergerak menyelamatkan
diri. Gerakan kaki dan kedua tangan muridnya itu sama sekali asing baginya.
"Murid
murtad, kau sudah mempelajari ilmu silat lain pula? Nah, pergunakan ilmu silat
barumu untuk menghadapi ini!"
Kembali Giam
Kong Hwesio menyerang, kini dia menyerang sambil mengerahkan tenaga
Jing-tok-ciang yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi ia kembali kecele sampai berkali-kali.
Serangannya susul-menyusul sampai dua puluh empat jurus tanpa berhenti, akan
tetapi kesemuanya itu dapat dihindarkan dengan arnat mudahnya oleh Koai Atong.
Melihat hal
ini tadinya Lian Bu Tojin sendiri mengira bahwa Giam Kong Hwesio hanya menggertak
muridnya dan masih merasa sayang untuk menghukumnya. Tetapi sesudah melihat
betapa Giam Kong Hwesio makin lama makin marah dan serangan-serangannya
betul-betul amat berbahaya, ia mulai memperhatikan dan amat heranlah hatinya
sendiri menyaksikan betapa luar biasa dan anehnya gerakan-gerakan yang
dilakukan oleh Koai Atong itu.
Tubuh Koai
Atong yang tinggi besar itu agak membungkuk, kakinya berloncatan ke sana sini,
kedua lengannya dikembangkan seperti burung yang hendak terbang. Dan setiap
kali serangan datang selalu otomatis kaki dan tangannya bergerak secara aneh,
tetapi selalu dapat menghindarkan semua pukulan pula.
"Kurang
ajar, kau benar-benar hendak melawan gurumu sendiri? Atong, kalau begitu biar
pinceng mengadu nyawa denganmu!" seru Giam Kong Hwesio yang menjadi marah
luar biasa.
Tiba-tiba
terdengar suara merdu dari atas, "Koai Atong, hwesio buruk itu bukan
gurumu lagi, balaslah dengan Jing-tok-ciang yang baru kita latih kemarin!"
Wajah Koai
Atong berseri-seri mendengar suara ini, lalu ia pun menjawab, "Baiklah,
Enci Hong. Ehhh, hwesio buruk, kau bukan guruku lagi dan sekarang kau
rebahlah!" Sambil berkata demikian Koai Atong memutar-mutar lengan kiri
hendak menggunakan pukulan Jing-tok-ciang.
Tentu saja
serangan ini dipandang ringan oleh Giam Kong Hwesio. Dialah yang dahulu
menciptakan ilmu Pukulan Jing-tok-ciang ini, masa kini ia hendak diancam dengan
ilmu pukulan ciptaannya itu? Hampir ia tertawa melihat bekas muridnya
memutar-mutar tangan kirinya. Tepat seperti yang dahulu dia ajarkan, tangan
kiri Koai Atong mendorong dengan tenaga Jing-tok-ciang.
Tentu saja
sebagai penciptanya, Giam Kong Hwesio tahu cara pemecahannya, bahkan tahu cara
untuk membalas secara hebat. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan dengan
Jing-tok-ciang pula tapi dengan tenaga ‘menyedot’ ia menangkis dengan tangan
kanannya kepada dorongan tangan kiri muridnya itu.
Dua tangan
bertemu dan saling menempel. Giam Kong Hwesio sudah merasa girang karena kali
ini dia pasti akan dapat merobohkan bekas muridnya itu. Siapa kira tiba-tiba
tangan kanan Koai Atong bergerak mendorong dan... ternyata tangan kanan inilah
yang mengandung tenaga Jing-tok-ciang sepenuhnya sedangkan tangan kirinya tadi
hanyalah gertak atau tipuan belaka.
"Bukkk!"
Tubuh Giam
Kong Hwesio terhuyung-huyung, matanya terbelalak melotot memandang kepada Koai
Atong, kemudian ia roboh terguling dengan mata masih melotot akan tetapi putus
nyawanya. Hwesio Tibet ini sudah tewas di tangan muridnya sendiri, bahkan oleh
ilmu pukulan yang dulu ia ciptakan sendiri.
Akan tetapi
Jing-tok-ciang yang dipergunakan oleh Koai Atong ini telah berubah banyak.
Gerakannya sudah dicampur dengan gerakan aneh yang dia pelajari bersama Kwa
Hong dari burung rajawali emas!
Lian Bu
Tojin sejak tadi memandang ke atas, ke arah suara. Ternyata Kwa Hong sedang
duduk di atas punggung seekor burung rajawali yang berbulu kuning emas. Agaknya
burung itu tadi terbang mendatang dengan gerakan sayap yang amat halus sehingga
tidak menimbulkan suara dan telah hinggap di cabang dengan Kwa Hong di
punggungnya.
Hampir Lian
Bu Tojin tidak mengenal muridnya ini lagi. Kwa Hong memakai pakaian serba
putih, tidak merah seperti dulu lagi, dan ia duduk di atas punggung rajawali
dengan lagak angkuh dan agung seperti seorang ratu duduk di atas singgasana
dari emas!
Sama sekali
Kwa Hong tidak pernah melirik ke arah Lian Bu Tojin. Begitu melihat Giam Kong
Hwesio roboh dan tewas, Kwa Hong tertawa dengan suara yang membikin bulu
tengkuk berdiri. Dalam pendengaran Lian Bu Tojin, suara itu setengah tertawa
setengah menangis.
Betapa pun
juga, melihat Koai Atong membunuh gurunya sendiri, Lian Bu Tojin menjadi marah
sekali.
"Koai
Atong, benar-benar kau murid durhaka. Berani kau membunuh gurumu sendiri?"
Sementara
itu, Koai Atong berdiri seperti patung memandangi tubuh suhu-nya yang rebah
telentang dengan mata mendelik dalam keadaan tak bernyawa lagi itu. Sekarang,
setelah mendengar kata-kata yang diucapkan Lian Bu Tojin, Koai Atong segera
berlutut sambil menangis menggerung-gerung.
"Suhu...
Suhu... kenapa kau diam saja? Suhu... apakah betul-betul kau mati? Ahhh, Suhu,
jangan tinggalkan murid seorang diri di dunia ini. Suhu... jangan mati,
Suhu...!"
Tiba-tiba
saja berkelebat bayangan putih dari atas pohon dan tahu-tahu Kwa Hong sudah
berdiri di dekat Koai Atong, memegang pundak Koai Atong dan diguncang-guncang
keras.
Lian Bu
Tojin diam-diam merasa kaget dan kagum menyaksikan gerakan Kwa Hong saat
melayang turun tadi, seperti seekor burung saja gerakannya dan demikian
ringannya! Dari mana gadis ini mempelajari semua itu?
"Koai
Atong, apakah kau sudah gila? Hwesio buruk ini sudah mati, kenapa kau menangis
segala macam?"
Koai Atong
bangkit berdiri sambil menyusuti air matanya, "Dia adalah guruku, Enci
Hong. Dia guruku yang baik... uhh-uhhhuu... jika dia mati, bagaimana dengan
diriku? Uhuhuu..."
"Goblok!
Apa kau lupa ada aku di sini. Kau boleh pilih, mau ikut gurumu mampus atau mau
hidup bersama aku di sini?"
Seketika
berubah wajah Koai Atong. Ia nampak gugup dan cepat sekali tersenyum dan
menyusut kering air matanya, "Ohh, benar juga. Aku keliru tadi, Enci Hong.
Biarkan dia mampus, hwesio buruk itu yang mau membawa aku pergi darimu.
Ha-ha-ha!"
Mendengar
dan melihat ini semua, Lian Bu Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Sekarang jelaslah baginya bahwa kesalahannya bukan terletak pada diri Koai
Atong, melainkan sepenuhnya adalah karena perbuatan Kwa Hong. Terang bahwa Koai
Atong hanya menurut saja apa kehendak Kwa Hong.
Yang ia
tidak mengerti kenapa Kwa Hong melakukan ini semua? Mungkinkah Kwa Hong jatuh
cinta kepada orang seperti Koai Atong? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kalau
ada kemungkinan ini tentu ada kemungkinan lain, yaitu bahwa Kwa Hong telah
menjadi gila!
"Ehh,
tosu tua. Mau apa kau datang ke tempat kami ini?"
Lian Bu
Tojin memandang kepada Kwa Hong dengan mata terpentang lebar sekali. Apa benar
ini Kwa Hong gadis cucu muridnya yang dulu hanya takut kepadanya seorang?
"Hong
Hong, benar-benarkah kau sudah lupa kepada pinto? Lupakah kau kepada kakek
gurumu sendiri? Pinto adalah Lian Bu Tojin dari Hoa-san-pai, Hong Hong, setelah
kakek gurumu datang, apakah kau tidak lekas berlutut memberi hormat?"
Koai Atong
berkata, "Enci Hong, dia ini Ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, kakek
gurumu yang galak, Lekas berlutut, kau nanti mendapat marah bisa sulit!"
Akan tetapi
tiba-tiba Kwa Hong tertawa bergelak-gelak, lalu berkata dengan nada suara
galak, "Lian Bu Tojin, siapa tidak tahu bahwa kau adalah Ketua Hoa-san-pai
yang mulia dan gagah perkasa, seorang guru besar yang hendak membunuh murid
sendiri kemudian membuntungi lengan kiri murid sendiri? Hah, kau menjemukan
hatiku. Tosu tua bangka bau, lekaslah pergi dari sini sebelum timbul seleraku
untuk membuntungi tanganmu atau bahkan lehermu!"
Sesabar-sabarnya
manusia, masih ada batasnya. Kalau yang memakinya itu seorang lain yang tidak
ada hubungannya dengan dirinya, mungkin Lian Bu Tojin takkan melayaninya dan
akan pergi begitu saja. Akan tetapi Kwa Hong adalah cucu muridnya. Seorang cucu
murid berani memaki-maki kakek gurunya, hal ini benar-benar di luar batas
kesabaran Lian Bu Tojin.
"Kwa Hong,
kau benar-benar kurang ajar sekali. Kau sebagai anak murid Hoa-san-pai sudah
mengotorkan serta mencemarkan nama Hoa-san-pai dengan perbuatanmu yang kotor
tak tahu malu ini. Percuma pinto menjadi Ketua Hoa-san-pai jika tidak bisa
memberi hukuman kepadamu!" Setelah berkata begitu, dengan amarah
meluap-luap Lian Bu Tojin lalu menerjang maju sambil memutar tongkat bambunya,
melakukan serangan kepada Kwa Hong.
Dengan amat
mudah Kwa Hong mengelak, lantas membalas dengan pukulan yang aneh sekali
gerakannya, dari samping. Melihat betapa gerakan tangan itu ketika memukul agak
diputar, tak salah lagi tentu ini sebuah pukulan Jing-tok-ciang, akan tetapi
juga lain sekali gerakannya dengan Jing-tok-ciang dari Giam Kong Hwesio yang
pernah dilihat oleh Lian Bu Tojin.
Betapa pun
juga Lian Bu Tojin tidak berlaku sembrono dan mengelak sambil menotokkan ujung
tongkat bambunya ke arah jalan darah di pinggang bekas cucu murid itu.
Lagi-lagi Kwa Hong mengelak dan diam-diam Lian Bu Tojin menjadi kagum. Gerakan
Kwa Hong ini persis gerakan Koai Atong ketika mengelak dari serangan Giam Kong
Hwesio tadi.
Gerakannya
sederhana tapi aneh dan cepat bukan main, sedikit saja pindahkan kaki dan
kembangkan kedua lengan, serangan yang sulit-sulit sudah dapat dihindarkannya.
Dilihat sepintas lalu bagaikan Ilmu Silat Ho-kun dari Siauw-lim-si, akan tetapi
kedudukan kakinya berbeda, lagi pula gerakan ini mengandung kegagahan yang tak
dapat disamakan dengan burung ho (bangau) dari Ilmu Silat Ho-kun.
Karena tidak
dapat mengenali ilmu silat apa yang dipergunakan oleh Kwa Hong untuk menghadapi
serangan-serangan tongkat bambunya, kakek Ketua Hoa-san-pai itu menjadi
penasaran sekali. Apalagi kalau diingat bahwa ia tadi menyerang dengan
menggunakan senjata walau pun hanya sebatang tongkat bambu, sedangkan bekas
cucu muridnya itu bertangan kosong!
Alangkah
akan malunya kalau ada orang yang mendengar bahwa dia, Ketua Hoa-san-pai,
menggunakan senjata tongkatnya yang sudah terkenal, dalam belasan jurus masih
tidak mampu merobohkan cucu muridnya sendiri yang bertangan kosong.
Mengingat
hal ini, Lian Bu Tojin lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu silatnya yang
paling tinggi, inti dari pada Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang karena
sulitnya memang belum pernah ia turunkan kepada Kwa Hong. Hanya ayah Kwa Hong,
murid pertama dari Hoa-san-pai, Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong saja yang pernah
mempelajari ilmu pedang ini, tapi juga belum sempurna betul.
Bukan main
hebatnya ilmu pedang ini. Meski hanya dimainkan dengan sebatang tongkat bambu,
akan tetapi bahayanya bukan main. Tongkat bambu itu berubah menjadi segulung
sinar yang menyambar-nyambar dan mengurung diri Kwa Hong dari segala jurusan.
Tadi Kwa
Hong selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan bekas kakek gurunya
karena ia memang sudah mengenal ilmu silat Hoa-san-pai dengan baik. Seperti
juga Koai Atong, selama beberapa bulan di dalam hutan dia sudah berhasil
mempelajari banyak gerakan dari burung rajawali emas itu dan bersama-sama Koai
Atong yang memang amat cerdas dalam hal ilmu silat, mereka telah berhasil
mengambil intisari dari pada gerakan-gerakan burung aneh itu sehingga dapat
menggunakan dalam pertempuran.
Akan tetapi
yang dapat mereka petik dalam beberapa bulan ini hanya gerakan mengelak saja.
Dan itu pun belum sempurna betul, sungguh pun memang sudah amat hebat kalau
dipergunakan dalam pertempuran.
Sekarang
setelah Lian Bu Tojin mengeluarkan ilmu pedang yang menjadi inti dari pada
Hoa-san Kiam-hoat, Kwa Hong menjadi terkejut. Tongkat bambu itu mengeluarkan
hawa dingin dan membuat matanya berkunang. Baru ia tahu sekarang bahwa kakek
gurunya ini, Ketua Hoa-san-pai memang tidak mempunyai nama kosong belaka.
Dia
mengeluarkan pekik menyeramkan dan kini menggunakan segala ingatannya untuk
mulai meniru gerakan-gerakan dari burung rajawali emas. Bukan hanya gerakan
untuk mengelak dari bahaya, juga sedikit-sedikit ia mulai menggunakan gerakan
menyerang dari burung itu.
Kedua
kakinya kadang-kadang melompat dan menerjang dalam tendangan-tendangan sebagai
pengganti kedua kaki burung kalau mencakar dan menendang, kedua tangannya
secara aneh dan tiba-tiba menghantam dari samping seperti gerakan sayap dan
kadang-kadang menotok lurus dari depan seperti gerakan patuk burung.
Bagaimana
pun juga, Kwa Hong menjadi girang karena dia dalam beberapa puluh jurus
gerakannya mengelak masih berhasil menyelamatkan dirinya dari ancaman senjata kakek
itu. Akan tetapi, makin lama semakin terasa olehnya betapa gulungan sinar itu
semakin menekan dan mengurung semakin rapat sehingga sudah tak mungkin lagi
baginya untuk membalas. Repot juga kalau harus terus-menerus mengelak dari
sinar tongkat yang amat berbahaya itu.
"Koai
Atong, bantu aku!" Akhirnya Kwa Hong tidak tahan dan minta bantuan
temannya.
Koai Atong
mengeluarkan suara melengking keras meniru suara lengking burung rajawali,
kemudian tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju sambil tangannya
mengirimkan pukulan Jing-tok-ciang ke arah tubuh kakek Ketua Hoa-san-pai.
Lian Bu
Tojin terkejut juga ketika merasa ada angin dingin menyambar dahsyat dari arah
samping. Cepat ia mengelak dan memutar tongkatnya menotok sekaligus ke tiga
tempat berbahaya di tubuh Koai Atong.
Tetapi
sambil terkekeh Koai Atong mengelak dua kali, kemudian menangkis sekali tongkat
bambu itu dengan sabetan lengannya dari samping. Lian Bu Tojin kaget ketika
merasa betapa sabetan itu mengandung tenaga yang amat dahsyat dan lebih-lebih
lagi kagetnya ketika melihat bahwa ujung tongkat bambunya telah remuk!
"Keparat,
hari ini pinto harus memberi hajaran kepada kalian berdua!"
Lian Bu
Tojin berseru sambil mencabut keluar pedang pusakanya. Cahaya berkelebat
menyilaukan pada waktu pedang pusaka itu tercabut. Inilah pedang pusaka
Hoa-san-pai (Hoa-san Po-kiam) yang menjadi tanda kekuasaan. Sejak Hoa-san-pai
didirikan, pedang ini turun-temurun berada di tangan para ketua Hoa-san-pai.
Semenjak
dulu, biasanya pedang pusaka ini hanya dipergunakan untuk upacara-upacara
peringatan untuk menghormati para ketua Hoa-san-pai dan sangat jarang dipakai
untuk bertempur. Akan tetapi kali ini karena menghadapi lawan berat dan pula
harus menjaga nama baik Hoa-san-pai, maka Lian Bu Tojin tidak ragu-ragu lagi
untuk menghunusnya dan mempergunakannya.
Memang pada
hakekatnya tingkat ilmu kepandaian dua orang itu, Koai Atong dan Kwa Hong masih
jauh di bawah tingkat Lian Bu Tojin. Jika tadi Koai Atong berhasil membunuh
gurunya adalah karena Giam Kong Hwesio sama sekali tidak pernah menyangka bahwa
muridnya sudah mendapatkan kepandaian yang sedemikian anehnya, padahal menurut
tingkat, tentu saja Koai Atong masih belum dapat menyamai gurunya.
Walau pun
Koai Atong dan Kwa Hong mendapatkan ilmu yang amat mukjijat, yaitu dari gerakan
burung rajawali emas itu, namun mereka baru berlatih beberapa bulan saja. Lagi
pula mereka baru berlatih gerakan untuk mempertahankan diri, maka mereka pun
hanya kuat sekali dalam hal ini. Untuk balas menyerang ternyata ilmu kepandaian
mereka masih belum dapat menyamai tingkat Lian Bu Tojin.
Apalagi
sekarang mereka berdua bertangan kosong menghadapi Lian Bu Tojin yang amat
marah dan yang bersenjatakan pedang pusaka Hoa-san-pai yang ampuh sekali itu.
Meski pun mereka selalu mampu menghindar dari sambaran pedang, namun untuk
membalas benar-benar merupakan hal yang amat sulit. Jika dibiarkan saja harus
terus menghadapi gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata ini, akhirnya
tentu salah seorang di antara mereka akan terluka atau bahkan terbunuh.
"Kim-tiauw-heng!
Hayo kau bantu kami" Tiba-tiba Kwa Hong berteriak dan mengeluarkan suara
bersuit nyaring.
Lian Bu
Tojin terkejut ketika tiba-tiba ia melihat sinar kuning emas berkelebat dari
atas dan tahu-tahu ia sudah diserang secara bertubi-tubi oleh sepasang cakar,
sebuah patuk dan sepasang sayap. Serangan ini hebat luar biasa, akan tetapi
sebagai seorang ahli, ia tidak menjadi gugup, malah memusatkan gerakan
pedangnya menjadi sebuah lingkaran untuk menghantam ke arah burung rajawali
itu.
Hebatnya,
walau pun tadinya menyerang dengan dahsyat, begitu menghadapi serangan maut
dari pedang pusaka itu, burung rajawali ini dapat secara aneh dan cepat sekali
merubah gerakannya. Sekali melejit ia dapat menyelinap di antara gulungan sinar
pedang dan berhasil menyelamatkan diri, lalu terbang berputaran di atas kepala
Lian Bu Tojin, menanti kesempatan baik untuk menyerang lagi.
"Kim-tiauw-heng,
kau rampas pedangnya!" kembali Kwa Hong berseru.
Lian Bu
Tojin mengira bahwa ucapan ini hanya gertakan saja. Ia tidak mengenal rajawali
emas. Burung itu lain dengan burung-burung biasa. Agaknya dulu pernah
dipelihara orang sakti maka burung ini mudah sekali menangkap perintah manusia.
Begitu
mendengar seruan ini, ia lalu menyambar-nyambar dan sekarang ia benar-benar
berusaha merampas pedang, memukulkan kedua sayapnya ke arah kepala Lian Bu
Tojin disusul cengkeraman-cengkeraman kedua kakinya ke arah pedang pusaka
Hoa-san-pai!
Barulah hati
Lian Bu Tojin amat terkejut. Menghadapi dua orang murid murtad itu sudah
merupakan hal yang bukan ringan karena mereka memiliki ilmu mengelak yang
benar-benar membuat ia sukar merobohkan mereka. Sekarang ditambah lagi seekor
burung yang demikian dahsyat serangannya, benar-benar ia mengeluh di dalam
hatinya.
Pada saat
dengan gerakan-gerakan aneh Kwa Hong dan Koai Atong maju mendesaknya sedangkan
burung itu tiada hentinya menyambar-nyambar di atas kepalanya, mau tak mau Lian
Bu Tojin berseru, "Celaka...!"
Karena
kemarahannya ditujukan kepada Kwa Hong, maka dengan nekat orang tua ini lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwa Hong. Biarlah
aku mati asal aku dapat lebih dahulu membunuhnya agar nama baik Hoa-san-pai
dapat dipertahankan, pikir kakek ini.
Serangannya
hebat sekali. Biar pun Kwa Hong sudah mempergunakan gerakan yang ia pelajari
dari rajawali emas, dengan gesit menggeser ke sana ke mari, namun ke mana saja
dia bergerak, ujung pedang pusaka itu selalu mengikutinya dan mengarah kepada
bagian-bagian tubuhnya yang paling berbahaya! Ketika mendapatkan kesempatan
baik Lian Bu Tojin mempercepat gerakannya. Tanpa mempedulikan lagi bagian
tubuhnya yang lain terbuka untuk masuknya serangan, ia menerjang dan maju
menusuk leher Kwa Hong dengan sebuah tikaman maut!
Kwa Hong
menjerit ngeri, namun masih ingat untuk menggerakkan kakinya secara aneh sambil
melempar diri ke kiri. Namun ujung pedang di tangan Lian Bu Tojin masih terus
mengejar lehernya.
Pada saat
itu pula Koai Atong menghantam dari samping dengan pukulan Jing-tok-ciang.
Keras sekali pukulan ini dan tubuh Lian Bu Tojin sampai tergoyang-goyang, namun
tetap saja pedangnya ditusukkan terus. Andai kata ia tidak terpukul oleh
pukulan Jing-tok-ciang begitu kerasnya, tentu nyawa Kwa Hong tidak dapat
diselamatkan lagi. Sekarang karena pukulan yang hebat ini, tangannya tergetar
dan tusukan pedangnya meleset dan hanya menancap di pundak Kwa Hong.
Gadis itu
menjerit kesakitan dan pada saat itu dari atas menyambar bayangan kuning emas,
kemudian sebuah sayap besar menghantam kepala Lian Bu Tojin. Kakek ini biar pun
sudah terluka parah oleh pukulan Koai Atong, masih dapat mengangkat tangan kiri
menangkis. Hantaman sayap demikian hebatnya, sama sekali tidak terduga oleh
Lian Bu Tojin hingga tubuhnya terlempar sejauh empat meter lebih dan tahu-tahu
pedangnya yang ia pakai menusuk Kwa Hong tadi telah berpindah ke dalam paruh si
Rajawali Emas!
Kwa Hong
cepat mengambil pedang pusaka itu dari paruh burungnya, lalu ia
terhuyung-huyung maju sambil mendekap pundaknya yang mengucurkan darah. Ada pun
Koai Atong ketika melihat Kwa Hong terluka dan berdarah, menjadi marah sekali.
Sambil memekik keras ia menubruk maju hendak menyerang Lian Bu Tojin lagi.
Akan tetapi
kakek ini sudah duduk bersila mengatur napas karena luka di dadanya akibat
pukulan Jing-tok-ciang amat hebatnya. Agaknya ia takkan dapat menghindarkan
bahaya maut lagi kalau Koai Atong menyerangnya.
"Jangan
bunuh dia!" tiba-tiba Kwa Hong membentak.
Koai Atong
kaget dan menahan pukulannya, dengan heran ia mundur memandang Kwa Hong. Kwa
Hong yang kelihatan menyeramkan karena pundaknya mengucurkan darah yang
membasahi bajunya itu, tersenyum dengan muka pucat, lalu berkata,
"Jangan
bunuh dia, enak benar kalau dia mampus. Biar dia menderita, biarlah dia tahu
rasanya bagaimana kalau orang terhina, bagaimana rasanya tangan dibikin
buntung." Sambil berkata demikian tiba-tiba tangannya yang memegang pedang
bergerak menyabet dan tangan kanan Lian Bu Tojin sebatas pergelangannya
terbabat buntung!
Kakek itu
membuka matanya, menarik napas panjang lalu berdiri. Dengan tangan kirinya ia
memijat pada beberapa tempat di lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah
sehingga darahnya tidak mengucur terus. Kemudian ia memandang ke arah Kwa Hong
dengan sinar mata yang berubah seakan-akan kilat menyambar sehingga untuk
sejenak Kwa Hong tertegun dan terkesima. Betapa pun juga, pengaruh yang keluar
dari sinar mata itu membangkitkan kenangan lama dan membayangkan pengaruh kakek
itu atas dirinya bertahun-tahun yang lalu.
Koai Atong
tertawa, "He-heh-heh, tosu tua, kau datang bersama hwesio itu, kalau pergi
jangan lupa membawa temanmu itu bersama!" Maksud Koai Atong dengan
kata-kata ini bukan sekali-kali untuk mengejek atau menggoda, melainkan dengan
maksud hati hendak menyenangkan Kwa Hong.
Lian Bu
Tojin tidak berkata apa-apa dan ucapan Koai Atong ini menguntungkan Kwa Hong
karena seketika sinar mata kakek itu menjadi biasa kembali. Lian Bu Tojin lalu
memungut buntungan tangannya dari atas tanah, kemudian dengan lengan kiri ia
memanggul tubuh Giam Kong Hwesio lalu berjalanlah ia cepat meninggalkan tempat
itu.
Benar-benar
hebat sekali Ketua Hoa-san-pai ini. Lukanya akibat pukulan Jing-tok-ciang dari
Koai Atong tadi hebat bukan main, ditambah lagi tangan kanannya buntung, namun
sedikit pun dia tidak pernah merintih, malah masih dapat pergi cepat sambil
memondong jenazah Giam Kong Hwesio dan membawa buntungan tangannya!
Kejadian ini
cukup hebat sehingga untuk beberapa lama Kwa Hong termenung, kemudian baru ia
merawat luka di pundaknya. Diam-diam Kwa Hong girang sekali karena sekarang
terbukti bahwa latihan-latihan yang mereka lakukan dengan ilmu silat yang
gerakannya mengambil intisari dari gerakan rajawali emas itu benar-benar tadi
telah memperlihatkan kehebatannya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment