Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 02
Beberapa
hari kemudian di Puncak Hoa-san…. Pemberontakan melawan Pemerintah Mongol yang
kini sudah runtuh masih menyisakan bekas-bekasnya pada perkumpulan Hoa-san-pai
yang bermarkas di puncak gunung ini. Dahulu Hoa-san-pai di bawah pimpinan Lian
Bu Tojin merupakan partai persilatan yang amat besar. Banyak sekali, lebih dari
seratus orang tosu (pendeta To) menjadi murid Lian Bu Tojin. Juga ketika itu
Hoa-san-pai terkenal dengan adanya Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san-pai)
yang menjadi murid-murid utama Lian Bu Tojin.
Akan tetapi
sekarang keadaan sudah banyak berubah. Hoa-san-pai tak lagi semegah dan sekuat
dahulu. Banyak sekali anggota Hoa-san-pai yang gugur ketika mereka membantu
kaum pejuang menumbangkan Pemerintah Kerajaan Mongol. Malah Hoa-san Sie-eng
sudah tidak ada lagi. Yang dua telah tewas ketika terjadi kesalah pahaman dan
permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tinggal yang dua lagi, Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa, yang terjerumus ke dalam jalinan asmara sehingga
membuat mereka lari pergi dari Hoa-san.
Cucu murid
dari Lian Bu Tojin yang sekarang berada di Hoa-san hanya dua orang, yaitu Kui
Lok dan Thio Bwee, dua orang saudara seperguruan yang sudah dijodohkan oleh
Lian Bu Tojin. Oleh Lian Bu Tojin, dua orang yang ia anggap sebagai calon
penggantinya ini digembleng dengan ilmu silat Hoa-san-pai yang paling tinggi
dan ia berpesan supaya dua orang ini berlatih dengan giat.
Dalam cerita
Raja Pedang telah dituturkan bahwa Thio Bwee memang sudah jatuh hati kepada
suheng-nya itu, sebaliknya tadinya Kui Lok hendak merebut hati Kwa Hong. Akan
tetapi usahanya ini tidak pernah berhasil dan kemudian setelah ia dijodohkan
dengan Thio Bwee dan melihat cinta kasih hati gadis ini terhadap dirinya,
terbukalah hatinya dan ia pun mulai menaruh hati kasih kepada Thio Bwee.
Karena murid
Hoa-san-pai yang lain yaitu Kwa Hong sudah minggat dan memberontak terhadap
Hoa-san-pai, sedangkan Thio Ki sudah menikah dengan murid Thai-san, yaitu Lee
Giok, murid Raja Pedang Cia Hui Gan dan sekarang telah tinggal di Sin-yang
menjadi piauwsu, maka mereka berdua dengan tekun memperdalam ilmu silat sambil
tinggal di Puncak Hoa-san menemani guru besar mereka.
Pada hari
itu Kui Lok dan Thio Bwee sedang memberi petunjuk-petunjuk kepada para tosu
yang juga dipesan agar memperdalam ilmu silat untuk memperkuat kembali
Hoa-san-pai. Mereka dengan gembira berlatih di halaman depan yang luas. Pagi
hari itu terasa amat indah dan hawa udara juga terasa sejuk sekali.
Tiba-tiba
seorang tosu berseru, "Suhu datang...!"
Kui Lok dan
Thio Bwee menengok dan cepat mereka lari menyambut dengan hati gelisah. Kakek
Ketua Hoa-san-pai itu nampak pucat dan jalannya terhuyung-huyung, terang sudah
menderita luka yang hebat sekali.
Kui Lok
adalah seorang pemuda yang usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun, akan
tetapi pandang matanya sudah tajam rnenandakan bahwa dia sudah memiliki
kepandaian tinggi dan pengalaman luas. Wajahnya tampan dan ada sifat-sifat
nakal gembira, akan tetapi tarikan mulutnya membayangkan keangkuhan hati. Ada
pun Thio Bwee yang hitam manis itu wataknya lebih pendiam. Sinar matanya
membayangkan kekerasan hatinya.
Dua orang
muda ini segera memberi hormat, lalu menggandeng lengan suhu-nya untuk dituntun
ke ruangan dalam.
"Suhu
kenapakah...?" Kui Lok tak dapat menahan lagi hatinya bertanya.
Lian Bu
Tojin tidak menjawab, malah segera menjatuhkan diri duduk bersila di atas
lantai sambil meramkan mata. Melihat suhu-nya berusaha mengumpulkan tenaga dan
mengatur pernapasan, para murid maklum bahwa suhu mereka itu sedang melawan
serangan luka yang amat berbahaya, maka semua hanya duduk rnelihat dengan hati
tidak karuan.
Pada waktu
Lian Bu Tojin sudah bergerak lagi dan mengeluarkan tangan yang sejak tadi
disembunyikan di dalam saku jubahnya, Thio Bwee langsung mengeluarkan jeritan
ngeri ketika melihat tangan kanan gurunya yang sudah buntung itu.
"Suhu...!
Tangan Suhu kenapakah...?" Thio Bwee menubruk gurunya, berlutut dan
tersedu menangis.
"Suhu,
siapakah yang melakukan kekejian ini?" Kui Lok juga menangis sambil
bertanya, suaranya mengandung kemarahan dan sakit hati. Baru sekarang dia
melihat pula bahwa pedang pusaka Hoa-san-pai yang tadinya dibawa oleh suhu-nya
itu sekarang sudah tidak kelihatan lagi di punggung kakek ini, maka ia menjadi
makin gelisah.
Lian Bu
Tojin membuka matanya, menggeleng-gelengkan kepala perlahan sambil menarik
napas panjang, lalu berkata dengan suara yang sangat lemah, "Masih untung
pinto kuat sampai di sini..." Kembali ia meramkan mata agak lama, kemudian
setelah membuka lagi matanya ia lalu berkata, "Kui Lok... Thio Bwee...
semua ini yang melakukan adalah Hong Hong... tetapi kalian tidak usah menaruh
dendam... pinto memang berdosa dan sudah sepatutnya bila menerima pembalasan
ini. Hanya... pedang pusaka Hoa-san harus kalian minta kembali. Mintalah
bantuan kepada... Beng San di Min-san, hanya dialah yang dapat menandingi Hong
Hong dan Koai Atong. Mereka lihai sekali... bahkan Giam Kong juga tewas...
pinto... bukan lawan mereka..."
"Suhu...!"
Kui Lok sedih dan marah sekali. "Teecu pasti akan merampas kembali pedang
pusaka!"
"Teccu
akan mengadu nyawa dengan perempuan rendah Kwa Hong!" berkata Thio Bwee
sambil menangis.
Keadaan Lian
Bu Tojin sudah payah sekali, napasnya memburu. Akan tetapi dia masih sempat
membuka mata, kemudian berkata pula, "...selain Beng San... mungkin
hanya... supekmu… Lian Ti Tojin... kalian coba minta tolong dia..., bilang
pedang pusaka dirampas orang... ahhh..."
Tak dapat
lagi Lian Bu Tojin melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya roboh terguling dan
nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuhnya! Dari saku jubahnya jatuh keluar
sebuah benda kecil yang ternyata adalah buntungan tangan kanannya yang sudah
mulai mengering karena memang tadinya sengaja ditaruh obat oleh Lian Bu Tojin
agar jangan membusuk.
Kui Lok dan
Thio Bwee, juga para tosu tidak dapat berbuat lain kecuali menangis sedih. Thio
Bwee sampai pingsan melihat kematian suhu-nya yang amat mengenaskan hati ini.
Dengan penuh rasa kedukaan dan dalam suasana berkabung para tosu segera
mengurus jenazah Ketua Hoa-san-pai itu.
Puncak
Hoa-san kini diselimuti mendung tebal, mendung kemuraman hati para anggota
Hoa-san-pai yang kematian ketuanya secara demikian mengerikan.
Setelah
upacara sembahyang dilakukan dan jenazah Ketua Hoa-san-pai itu dimasukkan ke
dalam peti, penguburan ditunda untuk beberapa hari. Hal ini dilakukan karena
para anggota Hoa-san-pai hendak memberikan kesempatan kepada para tamu yang
hendak memberi penghormatan terakhir kepada Ketua Hoa-san-pai yang terkenal
itu.
Dan
orang-orang kang-ouw memang mempunyai pendengaran yang luar biasa tajamnya.
Dalam beberapa hari itu, puncak Hoa-san didaki banyak orang kang-ouw yang
hendak menjenguk dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Lian Bu
Tojin.
Akan tetapi
tak ada seorang pun di antara mereka ini tahu akan sebab dari pada kematian
kakek ini, karena semua murid Hoa-san-pai merahasiakannya dan kalau ada
pertanyaan hanya menjawab bahwa guru besar itu meninggal dunia sewajarnya,
yaitu karena usia tua. Hal ini memang mereka sengaja karena yang menyebabkan
kematian Lian Bu Tojin adalah Kwa Hong bekas murid Hoa-san-pai sendiri. Tentu
saja hal ini amat memalukan kalau sampai terdengar oleh orang luar.
Sepekan
kemudian jenazah Lian Bu Tojin dikebumikan. Hoa-san-pai segera mengadakan rapat
untuk membicarakan perkembangan dan keadaan perkumpulan mereka, juga untuk
membicarakan tentang pesanan terakhir dari Lian Bu Tojin.
Para tosu
serentak mengusulkan supaya Kui Lok menggantikan kedudukan gurunya, yaitu mengetuai
Hoa-san-pai. Hal ini mereka usulkan karena walau pun Kui Lok dapat dibilang
murid yang masih sangat muda, akan tetapi dalam hal ilmu silat Kui Lok sudah
mewarisi kepandaian Lian Bu Tojin dan kini memiliki kepandaian paling tinggi di
antara mereka.
Mendengar
ini, Kui Lok dengan gugup lalu berkata sambil mengangkat kedua tangannya,
"Ahhh..., para Suheng dan Susiok bagaimana bisa mengusulkan agar siauwte
yang masih muda dan bodoh menggantikan kedudukan mendiang Suhu? Bagaimana aku
berani? Ah, aku sama sekali tidak berani menerima kedudukan itu. Hoa-san-pai
adalah partai yang sudah ratusan tahun terkenal di dunia kang-ouw, dipimpin
oleh orang-orang besar yang sakti. Bagaimana hari ini kedudukan ketua akan
diletakkan di pundak seorang muda yang tidak berpengalaman seperti siauwte?
Tidak, sekali lagi tidak, aku tidak berani menerima!"
Seorang tosu
yang sudah tua dan bermuka sabar sekali segera berkata, "Kui-sute harap
jangan berkata demikian. Sudah semenjak dulu Hoa-san-pai disegani kawan dan
ditakuti lawan karena ilmu silat yang diajarkannya. Oleh karena itu, mengingat
bahwa di antara kita semua, di antara semua murid-murid Hoa-san-pai kiranya
hanya Sute yang memiliki kepandaian paling tinggi pada waktu sekarang ini, maka
siapa lagi kalau bukan Kui-sute yang dapat menjadi pemimpin? Tentang kurang
pengalaman, hal ini kiranya tidak perlu dirisaukan benar karena kita sudah
biasa bekerja secara gotong royong, ada sesuatu boleh Sute rundingkan dengan
kita bersama. Bukankah hal ini baik sekali?"
Kui Lok
masih menaruh keberatan dan terjadilah perdebatan antara Kui Lok dan beberapa
orang tosu tua yang mendesaknya supaya menerima kedudukan itu. Akhirnya Thio
Bwee bicara, suaranya lantang dan nyaring.
"Para
Suheng dan Susiok sekalian, harap suka mendengarkan pertimbanganku yang adil.
Memang kalau dipikir, pendapat kedua pihak semua benar. Akan tetapi, mengapa
hal pengangkatan ketua ini harus diributkan benar? Sepanjang pengetahuanku yang
bodoh, seorang Ketua Hoa-san-pai adalah orang yang berhak memegang pedang pusaka
kita, yaitu Hoa-san Po-kiam. Sekarang pedang pusaka itu berada di tangan orang
jahat. Dari pada ribut-ribut bicara tentang kedudukan ketua, kurasa lebih baik
urusan pengangkatan ketua ini ditunda dulu. Kita bersama, tanpa ketua, berusaha
merampas kembali pedang pusaka dan membunuh musuh yang telah mencelakai Suhu.
Nah, setelah itu barulah kita bicara tentang ketua."
Semua orang
mengangguk-angguk setuju, karena memang kata-kata ini tepat sekali. Kui Lok
juga girang mendengar ucapan ini, lalu dia berkata, "Usul yang diajukan
Thio-sumoi memang benar-benar amat tepat! Marilah kita bicara tentang usaha
merampas kembali pedang pusaka kita."
"Dan
membunuh siluman betina Kwa Hong!" Sambung Thio Bwee sambil menatap wajah
tunangannya dengan pandang mata tajam.
Kui Lok
menarik napas panjang dan maklum akan isi hati tunangannya itu. Cemburu, apa
lagi? Memang sedikit banyak ada rasa benci dalam hati Thio Bwee terhadap Kwa
Hong, karena bukankah dahulu Kui Lok jatuh hati kepada Kwa Hong?
"Kui-sute,
pinto (aku) bersedia untuk pergi ke Min-san dan mohon bantuan Tan Ben San
taihiap seperti yang dipesankan oleh mendiang Suhu...," kata seorang tosu.
"Mengingat akan hubungan antara Tan-taihiap dengan Hoa-san-pai, pinto rasa
dia takkan menolak..."
Kui Lok
mengerutkan keningnya. Terbayanglah di depan matanya semua pengalamannya
dahulu. Tan Beng San adalah orang yang selalu dia anggap sebagai perintang
hidupnya. Cinta kasihnya terhadap Kwa Hong dahulu gagal oleh karena Kwa Hong
mencinta Tan Beng san! Dan beberapa kali pemuda itu muncul sebagai seorang yang
lebih gagah dari padanya.
Dan sekarang
dia harus minta bantuan Beng San. Ah, ia tidak sudi! Terhadap diri Beng San ia
sudah menanam perasaan tidak senang yang mendalam.
"Tidak,
Siauwte tidak setuju sama sekali karena kita harus minta bantuan orang luar.
Para Susiok beserta Suheng harap ingat bahwa urusan ini adalah urusan dalam
Hoa-san-pai. Pedang Hoa-san-pai dirampas oleh bekas murid Hoa-san-pai sendiri,
dan mendiang Suhu dilukai oleh bekas murid Hoa-san-pai. Bagaimana kita ada muka
untuk mencari bantuan orang luar? Bukankah dengan berbuat demikian nama besar
Hoa-san-pai akan terjerumus ke dalam lumpur kehinaan?"
Para tosu
itu menjadi amat kaget dan cepat-cepat menyatakan persetujuan mereka atas
pandangan Kui Lok ini.
"Kalau
begitu, satu-satunya jalan... kita harus ke Im-kan-kok..."
Keadaan
menjadi sunyi, semua orang di situ merasa seram dan bergidik pada waktu
mendengar sebutan Im-kan-kok ini. Im-kan-kok berarti Lembah Akhirat! Dan semua
murid Hoa-san-pai telah mengenal Im-kan-kok ini, karena lembah ini merupakan
lembah gunung yang dipandang keramat dan juga menakutkan.
Ketika Ketua
Hoa-san-pai masih hidup, yaitu Lian Bu Tojin, ketua ini berkali-kali memberi
peringatan kepada para murid agar sekali-kali jangan mendekati apa lagi mencoba
untuk memasuki Im-kan-kok, karena kalau ketahuan hukumannya adalah mati! Selain
ancaman hukuman mati oleh tangan Lian Bu Tojin sendiri, juga ketua ini pernah
menceritakan bahwa lembah ini merupakan tempat hukuman bagi seorang Hoa-san-pai
yang luar biasa tinggi kepandaiannya, jauh lebih tinggi dari pada Lian Bu Tojin
sendiri dan orang aneh luar biasa ini pasti akan membunuh setiap orang yang
berani memasuki Im-kan-kok!
Dan
sekarang, mendiang Lian Bu Tojin sendiri yang meninggalkan pesan supaya mereka
mencari orang aneh ini yang bukan lain adalah suheng sendiri dari ketua itu,
bernama Lian Ti Tojin yang telah empat puluh tahun lebih menghukum diri sendiri
di dalam Lembah Akhirat ini. Tak seorang pun diberi tahu mengapa orang-orang
aneh itu menghukum diri di Im-kan-kok.
Kui Lok
mengajukan usul untuk mencari manusia aneh ini di tempat yang merupakan ancaman
maut itu.
"Benar,
memang kita harus mencari Supek di Im-kan-kok. Supek Lian Ti Tojin merupakan
seorang tokoh Hoa-san-pai yang menurut mendiang Suhu dahulu, kepandaiannya amat
tinggi, beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kepandaian Suhu sendiri.
Kalau memang Hoa-san-pai memiliki orang berkepandaian demikian tinggi,
memalukan sekali kalau untuk urusan ini kita harus mencari bantuan dari
luar."
"Tapi...
tapi...," kata seorang tosu setengah tua, "Supek itu sudah empat
puluh tahun lebih menghilang. Apakah... apakah kiranya beliau masih berada di
tempat itu? Dan... dan di antara kita siapakah yang pernah melihatnya?"
Semua orang
saling pandang. Memang hampir semua tosu belum pernah melihat orang yang
dimaksudkan itu. Kui Lok lalu memandang kepada seorang tosu yang usianya sudah
enam puluh tahun lebih, yang pekerjaannya memelihara kitab-kitab Hoa-san-pai.
"Kwi
Bun-susiok yang masih terhitung sute dari Suhu, tentunya sudah pernah bertemu
dan melihat wajah Supek Lian Ti Tojin, bukan?"
Mendadak
tosu tua itu menjadi pucat, bergemetaran dan menutupi mukanya.
"Tidak...
pinto... eh, tidak... tidak pernah kenal..., tidak tahu..." ia menjadi
ketakutan sekali dan akhirnya mendekam berlutut dan membaca mantera dengan
tubuh menggigil.
Kui Lok dan
Thio Bwee saling pandang dengan bulu tengkuk meremang. Mengapa tosu tua ini
yang masih terhitung adik seperguruan Lian Ti Tojin sendiri kelihatan ketakutan
setengah mati? Sebenarnya orang macam apakah Lian Ti Tojin itu? Dan rahasia
apakah yang tersembunyi di balik Lembah Akhirat?
Melihat
sikap tosu tua itu, para murid Hoa-san-pai yang biasanya amat takut mendengar
Im-kan-kok itu, sekarang menjadi semakin ketakutan dan merasa seram sekali.
Mereka duduk dan bersunyi, seakan-akan takut kalau mereka berbuat kesalahan
besar karena membicarakan orang rahasia di Im-kan-kok itu.
Tiba-tiba
saja semua orang terkejut ketika mendengar suara melengking tinggi menusuk
telinga, suara melengking yang datangnya dari atas, dari langit! Semua muka
menjadi pucat, malah Kui Lok dan Thio Bwee yang biasanya berhati tabah, kali
ini meraba gagang pedang dengan mulut terasa kering. Suara melengking itu makin
lama semakin tinggi dan nyaring sehingga orang-orang mulai merasa tidak kuat
mendengarnya lagi, lalu menutup telinga.
Tiba-tiba
saja meluncur sinar yang menyilaukan mata, sinar kehijauan dan tahu-tahu lima
orang tosu roboh terguling. Ternyata dada mereka telah terluka parah dan mereka
tewas seketika itu juga!
Kwi Bun Tosu
yang sejak tadi ketakutan sekarang berbisik-bisik, "Celaka... celaka...
dia datang... ah, kita berbuat dosa..." Setelah berkata demikian, tosu tua
ini mencabut pedang sendiri dan menusuk dada sambil berseru, "Lian Ti
suheng... siauwte berdosa besar... rela menerima kematian..." Tubuhnya
terguling dan ia tewas dengan pedang masih menancap di dadanya!
Kejadian ini
tentu saja makin mengejutkan dan menakutkan semua orang. Kui Lok segera
meloncat keluar sambil mencabut pedangnya dan berseru keras, "Tidak peduli
siapa pun yang datang, harap jangan main gila dengan Hoa-san-pai. Manusia atau
iblis, perlihatkan dirimu dan mari kita bertempur sampai seribu jurus!"
Sikapnya
gagah sekali dan sikapnya inilah yang membangkitkan semangat semua anak murid
Hoa-san-pai. Malah Thio Bwee yang tadinya kaget dan ngeri sekarang juga sudah
meloncat sambil mencabut pedang, berdiri di dekat suheng-nya itu.
Tapi tidak
terlihat seorang pun manusia di sekitar situ. Selagi mereka terheran-heran dan
merasa gelisah, tiba-tiba terdengar desir angin di atas kepala mereka dan di
atas desir angin ini terdengar suara ketawa merdu!
Semua orang
terkejut sekali karena mengenal baik suara ketawa merdu ini. Ketika mereka
memandang ke atas, ternyata Kwa Hong tertawa-tawa sambil duduk di atas punggung
seekor burung rajawali besar yang terbang di atas kepala mereka tanpa
mengeluarkan suara! Ketika Kwa Hong menggerakkan tangan kiri, lagi-lagi ada
lima orang tosu terguling roboh dan tewas. Kui Lok dan Thio Bwee hanya melihat
ada sinar hijau menyambar dari tangan ini dan tahu-tahu lima orang teman mereka
telah mati dengan dada terluka hebat.
Kemarahan
Thio Bwee tak dapat ditahannya lagi. Memang sejak dahulu ia sudah merasa tidak
suka terhadap sumoinya ini yang dianggap merampas cinta kasih Kui Lok, apa lagi
setelah Kwa Hong melukai Lian Bu Tojin. Sekarang melihat keganasan Kwa Hong
yang membunuh-bunuhi bekas saudara-saudara seperguruan sendiri, dia segera
menudingkan pedangnya ke arah burung yang terbang lewat sambil berkata nyaring,
"Siluman
betina Kwa Hong! Kau turunlah untuk menerima hukuman di ujung pedangku!"
Ada pun Kui
Lok yang masih belum hilang cinta dan rindunya kepada Kwa Hong, hanya mengeluh,
"Hong-moi... kenapa kau begini kejam...?"
Kwa Hong
tertawa merdu dan tiba-tiba burungnya itu menukik ke bawah dan hinggap di atas
tanah tanpa mengeluarkan sedikit pun bunyi berisik. Kwa Hong meloncat turun
dari punggung burungnya, gerakannya ringan sekali.
Semua murid
Hoa-san-pai memandang dengan mata terbelalak. Wajah itu masih tak ada bedanya
dengan dulu, wajah Kwa Hong yang cantik molek dengan sepasang mata seperti
bintang pagi, jeli dan bersinar-sinar penuh daya hidup, hanya bedanya sekarang
terdapat pemancaran sinar mata yang aneh dan mengerikan pada mata indah itu.
Pakaiannya
masih seperti dulu, bagus dan dari sutera mahal, akan tetapi warnanya serba
putih, tidak serba merah seperti dulu lagi. Pada punggungnya tergantung pedang
pusaka Hoa-san-pai dan di tangan kirinya terpegang sebuah senjata yang amat
aneh. Merupakan gagang cambuk yang berekor lima dan pada setiap ekor cambuk itu
terikat sebatang anak panah hijau. Tali sutera hitam membelit pergelangan
tangannya dan ternyata cambuk itu gagangnya dipasangi tali ini sehingga agaknya
selain dapat dipergunakan sebagai senjata dalam pertandingan, juga dapat
dipakai untuk menyerang lawan secara ditimpukkan lalu ditarik kembali melalui
tali. Sebuah senjata yang luar biasa sekali, mengerikan dan tahulah Kui Lok dan
saudara-saudaranya bahwa senjata inilah yang dalam waktu dua kali telah
mengambil nyawa sepuluh orang saudara mereka!
"Hi-hi-hi,
Enci Bwee! Kau semakin hitam saja! Apakah kau sudah berhasil merebut hati
Kui-suheng sekarang?" Kwa Hong berkata dan meremang bulu tengkuk Thio Bwee
ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Kwa Hong yang kalau dibanding
dengan dulu seperti bumi langit bedanya. Di dalam suara ini terkandung
kesedihan besar bercampur dengan ejekan dan kebencian.
"Kau
sudah menjadi siluman!" Thio Bwee balas memaki sambil menerjang maju
dengan pedang di tangan.
Kwa Hong
hanya tersenyum mengejek tanpa bergerak dari tempatnya. Tiba-tiba sesosok
bayangan besar menyambut gerakan Thio Bwee dan tahu-tahu burung rajawali itu
sudah mencakar Thio Bwee dengan kaki kanannya. Thio Bwee tidak gentar, cepat ia
memutar pedang untuk memapaki kaki burung itu dengan maksud membabatnya putus.
Akan tetapi
mendadak sekali burung itu menggerakkan dua sayapnya, gerakannya tidak
mendatangkan angin dan sama sekali tak dapat diduga oieh Thio Bwee, maka
tahu-tahu tangannya terpukul sayap sehingga pedangnya terlempar jauh!
"Tiauw-heng,
jangan pukul dia, kasihan... ha-ha-ha-ha!" Kwa Hong menyuruh burungnya
mundur sambil tertawa-tawa.
Muka Thio
Bwee menjadi pucat luar biasa dan matanya memandang dengan marah, akan tetapi
apa yang dapat dia lakukan? Gerakan burung itu benar-benar amat hebat dan tidak
tersangka-sangka, juga tenaganya besar sekali.
Dengan
langkah lemah gemulai Kwa Hong menghampiri Kui Lok, sambil tersenyum lalu
berkata, "Kui-ko, kau tadi menantang-nantang seperti seorang pendekar
besar. Agaknya kau sekarang sudah memperoleh kemajuan hebat dengan
kepandaianmu, apakah kau sudah pandai bermain pedang dengan tangan kanan
ataukah masih kidal? Hi-hi, Kui-ko, dulu kau pura-pura menjauhi Enci Bwee,
kiranya sekarang kau mau juga. Dasar laki-laki!"
Wajah Kui
Lok sebentar merah sebentar pucat. Untuk mengusir rasa malunya dia pun lalu
berkata, "Kau... kau Hong-moi... jadi kaukah yang membunuh sepuluh orang
saudaraku tadi? Hong-moi, mengapa kau membunuh mereka? Dan mengapa pula kau
melukai Suhu dan... dan merampas pedang pusaka?"
Kembali Kwa
Hong tersenyum lebar, senyum yang dulu meruntuhkan hati Kui Lok, akan tetapi
yang sekarang membayangkan sesuatu yang amat mengerikan.
"Lian
Bu Tojin berani mencelaku dan dia seorang ketua yang tidak baik, seorang guru
yang mencelakakan murid sendiri. Pedang pusaka ini memang patut berada di
tanganku karena hanya akulah yang akan mampu mengangkat tinggi nama
Hoa-san-pai. Tadi aku yang menjadi pemimpin dan ciang-bujin (ketua) baru
Hoa-san-pai datang, tapi kalian tidak mau segera menyambut dengan penghormatan.
Maka sepuluh orang murid tadi kubunuh sebagai peringatan!"
Setelah
berkata demikian, Kwa Hong memandang ke sekelilingnya dan semua orang tosu yang
berada di situ mengkeret lehernya, menundukkan pandang matanya karena nyali
mereka terbang lenyap begitu mereka bertemu pandang dengan Kwa Hong.
Pada saat
itu pula terdengar sayup-sayup suara orang berteriak dari bawah gunung,
"Enci Hong... tunggu... jangan tinggalkan aku...!"
Suara itu
berkumandang sampai di puncak gunung dan belum lama dengung suaranya lenyap,
orangnya telah tiba di situ. Siapa lagi kalau bukan Koai Atong!
Diam-diam
Kui Lok dan Thio Bwee kagum dan terkejut sekali. Sebagai ahli-ahli silat tinggi
dua orang muda ini dapat mengukur betapa hebatnya khikang dari Koai Atong
sekarang, dari bawah gunung sudah dapat ‘mengirim suara’ ke atas dan
ginkang-nya pun demikian hebat sehingga dalam sekejap saja sudah dapat mendaki
puncak Hoa-san-pai.
Setelah
sampai di situ, Koai Atong tertawa dan meringis gembira melihat Kwa Hong sudah
berada di situ bersama burung rajawali. Di dalam perjalanan, Kwa Hong naik
burung dan membiarkan Koai Atong berlari-lari mengikuti bayangan burung.
"Ha-ha-ha…
he-he-he…, sudah kumpul semua di sini, ha-ha-ha!"
Tapi Kui Lok
dan Thio Bwee tidak mempedulikan orang tinggi besar ini, karena mereka masih
marah bukan main mendengar ucapan Kwa Hong tadi.
Kui Lok
segera membentak, "Kwa Hong! Jadi kau hendak menggunakan kekerasan untuk
merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Jangan kau berlaku sewenang-wenang, dan
mengingat bahwa kau adalah bekas murid Hoa-san-pai sendiri, hayo lekas
kembalikan pedang pusaka dan berlutut menerima dosa."
Mata Kwa
Hong berkilat. "Kui Lok, kau begini kurang ajar terhadap ketuamu? Hayo kau
yang berlutut!" Sambil bertolak pinggang Kwa Hong memerintah.
"Suheng,
mari kita bunuh siluman ini!" Thio Bwee berseru keras.
Biar pun ia
sudah tak berpedang lagi, dengan nekat ia lalu menyerang Kwa Hong dengan
pukulan maut yang amat keras. Akan tetapi dengan enak Kwa Hong miringkan
tubuhnya dan sekali kakinya bergerak, Thio Bwee sudah kena ditendang roboh!
Kui Lok
marah sekali dan menyerang dengan pedangnya. Kepandaian Kui Lok sudah maju
pesat sekali dan dalam hal ilmu pedang, boleh dibilang kini dia sudah menjagoi
di Hoa-san-pai. Apa lagi permainan pedangnya dilakukan dengan tangan kiri, maka
sifatnya pun istimewa dan sukar diketahui perubahan-perubahannya.
Ketika Kwa
Hong belum meninggalkan perguruan, kalau dibuat ukuran antara mereka, agaknya
ilmu pedang Kui Lok tidak kalah oleh kepandaian Kwa Hong, maka pemuda itu
dengan penuh semangat menyerang dan mengira bahwa tak mungkin ia akan kalah.
Akan tetapi,
alangkah kagetnya ketika tahu-tahu cambuk bertali yang berada di tangan kiri
Kwa Hong bergerak, tahu-tahu lima ujung cambuk dengan anak panah itu telah
membelit pedangnya dan sekali renggut Kui Lok tak dapat mempertahankan
pegangannya lagi. Pedangnya terampas oleh Kwa Hong.
Sambil
tertawa melengking tinggi Kwa Hong mengambil pedang itu, menggigit ujungnya,
menggerakkan tangan dan...
"Pletakk!"
Pedang itu
patah menjadi dua. Gerakannya sama benar dengan cara burung rajawali mematahkan
pedang. Kui Lok menjadi pucat, akan tetapi untuk menjaga nama Hoa-san-pai ia
harus melawan mati-matian. Sambil berseru keras ia menerjang maju dan menyerang
Kwa Hong dengan pukulan-pukulan dahsyat.
"Atong,
kau hajar dan usir bocah ini, tapi jangan bunuh dia!" kata Kwa Hong.
Terdengar
Koai Atong tertawa-tawa berkakakan dan mendadak Kui Lok merasa tubuhnya
diangkat orang lalu dilontarkan ke atas sampai empat lima meter tingginya.
Tubuhnya lalu melayang dan berjungkiran di udara, ketika turun diterima lagi
oleh Koai Atong kemudian dilontarkan lagi. Benar-benar Kui Lok sedang dijadikan
bola oleh Koai Atong yang terus mempermainkannya.
"Siluman
jahat!" Kui Lok memaki.
Akan tetapi
makin lama ia menjadi makin lemah dan ketika Koai Atong melemparnya ke depan,
tubuhnya terbanting lantas bergulingan. Dengan payah Kui Lok mencoba untuk
berdiri, akan tetapi kepalanya pening dan ia roboh kembali, ditertawai oleh
Koai Atong dan Kwa Hong.
Thio Bwee
lari mendekat dan membantu Kui Lok bangun. Dia menyuruh Kui Lok duduk kemudian
dengan marah sekali Thio Bwee meloncat lagi untuk menyerang Kwa Hong. Tadi dia
hanya terbanting saja dan hal ini belum membuat dia kapok. Hatinya terlalu sakit
menyaksikan betapa kekasihnya dipermainkan dan dihina seperti itu.
Melihat
kenekatan Thio Bwee, Kwa Hong menjadi marah sekali. "Perempuan rendah, kau
tidak tahu bahwa aku sudah berlaku murah kepada kalian? Agaknya kalian perlu
diberi rasa sedikit!" Setelah berkata demikian, cambuknya bergerak dan
sinar hijau berkelebat.
Thio Bwee
menjerit dan terjungkal, juga Kui Lok mengaduh dan roboh. Keduanya dapat
merayap bangun kembali, tetapi ternyata bahwa dua murid Hoa-san-pai ini telah
terluka oleh panah hijau, masing-masing pada pundaknya. Perih dan panas
rasanya, akan tetapi tidak seperih dan sepanas hati mereka.
"Pergi...!"
Kwa Hong menudingkan cambuknya keluar. "Pergi sebelum pikiranku berubah
lagi dan kuhancurkan kepala kalian!"
Thio Bwee
memandang dengan mata melotot, maksud hatinya hendak melawan lagi sampai mati.
Akan tetapi Kui Lok yang melihat sikapnya ini segera memegang lengannya dan
menariknya pergi dari situ. Dua orang muda itu pergi meninggalkan puncak
seperti dua ekor anjing diusir saja, benar-benar merupakan hal yang teramat
menyakitkan hati mereka.
Seperginya
dua orang muda itu keadaan menjadi sunyi. Puluhan orang tosu Hoa-san-pai tidak
ada yang berani bergerak, bernapas pun mereka takut keras-keras. Kwa Hong
menyapu mereka dengan pandang matanya yang tajam melebihi pedang.
"Siapa
mau pergi? Siapa tidak mau menurut perintahku? Lihat contohnya."
Cambuknya
menyambar beberapa kali dan kepala dari sepuluh mayat para tosu tadi sudah
terpukul hancur oleh panah-panah di ujung cambuknya! Benar-benar mengerikan
sekali.
"Hayo
katakan, kalian mau mengangkatku sebagai ketua ataukah tidak?"
Seorang tosu
yang sudah agak tua maklum bahwa melawan berarti mati dengan cara yang
mengerikan, dan melawan pun akan sia-sia saja. Maka ia lalu mendahului
teman-temannya berlutut dan menyatakan suka mengangkat Kwa Hong sebagai ketua.
Saudara-saudaranya pun menjatuhkan diri berlutut.
Kwa Hong
tertawa gembira, tapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti ketika ia melihat Koai
Atong masih berdiri tegak sambil tertawa-tawa.
"Heiii...
kenapa kau tidak berlutut?"
Koai Atong
kaget dan bingung. "Lho... berlutut? Aku kan suamimu..."
"Tidak
peduli, saat ini semua orang harus berlutut kepadaku!" bentak Kwa Hong
sehingga terpaksa Koai Atong berlutut pula.
Kwa Hong
mengangkat dada, mengedikkan kepala dengan penuh kebanggaan, dan dia merasa
seakan-akan telah menjadi seorang ratu!
Semenjak
saat itu Kwa Hong tinggal di Hoa-san-pai sebagai seorang ketua, dibantu oleh
‘suaminya’ Koai Atong. Ketua yang baru ini amat ditakuti oleh para tosu, akan
tetapi juga diam-diam ada sebagian besar tosu Hoa-san-pai yang sangat
membencinya.
Di samping
ini, tentu saja terdapat pula tosu-tosu yang merasa amat girang oleh karena
semenjak Kwa Hong yang menjadi ketua, peraturan-peraturan menjadi tidak tegas
lagi, dan larangan-larangan juga seakan-akan dihapuskan oleh Kwa Hong. Oleh
karena ini banyak tosu yang mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan tidak
mentaati hukum dan peraturan Agama To.
Orang-orang
inilah yang benar-benar setia kepada Kwa Hong dan Koai Atong sehingga secara
tersembunyi di antara kelompok tosu-tosu Hoa-san-pai ini terdapat pemisah
antara rombongan yang pro Kwa Hong dengan rombongan yang diam-diam kontra. Akan
tetapi kesemuanya tidak berani berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kehendak
Kwa Hong dan Koai Atong.
Sementara
itu, Kwa Hong beserta Koai Atong terus memperdalam latihan-latihan mereka
secara sembunyi, mempelajari semua gerakan-gerakan aneh dari burung rajawali
emas. Mereka berdua menggabungkan pendapat masing-masing untuk menciptakan ilmu
silat yang sangat hebat, gabungan dari ilmu silat Hoa-san-pai, ilmu silat
Tibet, Jing-tok-ciang, dan gerakan dari burung rajawali emas!
Peristiwa
perampasan kedudukan ketua di Hoa-san-pai ini menimbulkan geger di dunia
kang-ouw yang baru saja tenang akibat tumbangnya Pemerintahan Mongol. Banyak
tokoh besar di dunia kang-ouw mengerutkan kening dan merasa penasaran sekali….
***************
Mari kita
ikuti Kui Lok dan Thio Bwee yang meninggalkan puncak Hoa-san-pai dengan
perasaan hancur. Mereka terluka hebat di pundak mereka, terkena racun panah
hijau yang amat berbahaya. Namun luka di hati mereka lebih hebat lagi. Mereka
tidak saja telah dikalahkan secara mudah dan memalukan sekali, akan tetapi
lebih dari pada itu, mereka telah terhina. Di sepanjang jalan menuruni puncak
Thio Bwee menangis sehingga Kui Lok sibuk menghiburnya.
"Kui-koko,
dari pada mengalami penderitaan dan penghinaan seperti ini lebih baik aku mati
saja... kenapa tadi kita tidak melawan terus saja sampai mati? Untuk apa hidup
lebih lama menghadapi penghinaan seperti ini...?"
Saking
sedihnya dan juga karena luka beracun di pundaknya membuat tubuhnya lemas,
gadis ini terhuyung-huyung ke depan. Kui Lok cepat-cepat mengejar dan
merangkulnya. Dia merasa amat kasihan kepada gadis ini dan sinar matanya
memandang penuh kasih sayang.
Sejenak
mereka berpandangan, dan akhirnya Thio Bwee menangis terisak-isak di atas
dadanya. Kui Lok menggunakan tangannya dengan mesra dan halus mengusap air mata
yang bercucuran membasahi pipi Thio Bwee.
"Bwee-moi,
jangan berduka, jangan putus harapan. Selama kita masih berdua, kesukaran apa
yang takkan kuat kita hadapi? Ah, Bwee-moi... setelah ini hari aku melihat Kwa
Hong, baru terbuka betul-betul mataku betapa bodohku dahulu, tak dapat
membedakan antara batu permata dan batu karang. Dia begitu jahat, begitu kejam
dan ganas seperti siluman sedangkan kau... kau begini gagah perkasa, mulia dan
halus. Bwee-moi, marilah kita pergi mencari Supek Lian Ti Tojin untuk mohon
pertolongannya, tidak hanya kepada kita yang terluka hebat... tapi terutama
sekali... untuk menyelamatkan Hoa-san-pai kita..."
Mendengar
ini, Thio Bwee mengangkat mukanya, memandang dengan mata terbelalak.
"Pergi... ke... Im-kan-kok?!"
Mau tidak
mau tersenyum juga Kui Lok melihat wajah kekasihnya begitu ketakutan. Ahhh,
gadis yang tidak takut menghadapi kematian ini sekarang takut begitu mendengar
nama Im-kan-kok!
"Bwee-moi,
apa kau takut?"
"Tidak...
tidak asal bersama engkau... tapi... aku ngeri juga, Koko..."
"Setelah
keadaan kita seperti ini, apa lagi yang harus ditakuti, Moi-moi? Hayolah kita
percepat usaha untuk mencari Supek." Keduanya lalu berjalan lagi
bergandengan tangan, hati mereka telah bulat nekat untuk mencari supek mereka.
Yang disebut
Im-kan-kok (Lembah Akhirat) adalah sebuah lembah gunung di Hoa-san yang amat
mengerikan keadaannya dan tidaklah aneh kalau tempat yang terlarang bagi para
anggota Hoa-san-pai ini jarang atau tidak pernah didatangi manusia. Kalau pun
ada manusia kebetulan datang ke tempat itu, hendak apa dan mencari apakah?
Jurang yang
amat lebar dan dalamnya tak dapat diukur dengan pandangan mata itu sunyi
mengering di sebelah kirinya, penuh batu-batu karang yang merupakan lerengnya
atau tebingnya, tajam runcing licin tak mungkin dituruni manusia. Di sebelah
kanan lain lagi pemandangannya, penuh pohon-pohon dan di antara pohon-pohon
yang tumbuhnya tidak karuan dan liar malang-melintang itu terdapat tiga buah
air terjun yang sangat tinggi. Keadaan sebelah kiri dan kanan benar-benar merupakan
pemandangan yang berlawanan sekali, padahal keduanya merupakan bagian dari
Im-kan-kok itu.
Dengan susah
payah Kui Lok dan Thio Bwee berjalan melalui jalan liar yang amat sukar,
merayap-rayap melalui pinggir lembah. Kaki mereka sakit-sakit dan bagian tubuh
yang tidak tertutup kain baret-baret terkena duri-duri tetumbuhan liar yang
selalu menghadang di depan mereka. Setengah hari mereka berjalan dengan penuh
kesukaran ini, dengan hati berdebar-debar pula karena sebagai murid-murid
Hoa-san-pai mereka maklum bahwa mereka telah memasuki daerah terlarang bagi
orang-orang Hoa-san-pai.
Tentang Lian
Ti Tojin di Im-kan-kok ini, hanya sedikit mereka mendengar dari mendiang Lian
Bu Tojin. Ketua Hoa-san-pai itu hanya mengatakan bahwa Lian Ti Tojin telah
memilih Im-kan-kok sebagai tempat untuk mengasingkan diri dan menghukum diri,
dan Im-kan-kok dianggap sebagai tempat pelaksanaan hukuman.
Tidak
diceritakan kesalahan apakah yang dilakukan Lian Ti Tojin itu maka dia
menghukum diri sendiri di situ. Hanya berkali-kali Ketua Hoa-san-pai itu
melarang murid-muridnya memasuki daerah terlarang ini dengan ancaman mati,
malah berkata pula bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Lian Ti Tojin adalah
ilmu silat Hoa-san-pai yang amat tinggi, beberapa kali lebih tinggi dari pada ilmu
silat yang dimiliki Lian Bu Tojin sendiri. Selain ini, ketika mengasingkan diri
empat puluh tahunan yang lalu, Lian Ti Tojin juga mengancam bahwa siapa saja
berani mengganggunya di Im-kan-kok pasti akan dibunuhnya!
“Lembah ini
begitu luas, ke mana kita dapat mencarinya?" bisik Tio Bwee kepada Kui Lok
ketika mereka sedang beristirahat di bagian yang penuh pohon-pohon yang
merupakan hutan-hutan liar. Di depan mereka tampak air terjun pertama yang
airnya berwarna-warni tertimpa sinar matahari.
"Memang
sukar apa bila harus mencari begitu saja. Akan tetapi janganlah kau khawatir,
Moi-moi. Dahulu aku pernah mendengar dari mendiang ayahku ketika ayah
mendongeng mengenai Supek di Im-kan-kok. Menurut ayah, di bagian terbawah dari
air terjun yang berada di tengah-tengah dan yang terbesar, terdapat sebuah goa
yang amat besar. Goa ini terletak di belakang air terjun dari atas. Nah,
agaknya di situlah Supek Lian Ti Tojin bertapa.”
Thio Bwee
memandang ke depan. Dari tempat itu sudah kelihatan air terjun yang paling besar
itu, di tengah-tengah antara dua air terjun lainnya. Suara air terjun
bergemuruh menimbulkan pendengaran yang menyeramkan dan melihat air terjun yang
ratusan meter dalamnya itu membuat Thio Bwee merasa ngeri. Tak terasa lagi ia
memegang tangan Kui Lok erat-erat.
"Aduh...!"
Kui Lok mengeluh.
Thio Bwee
terkejut dan menengok. Ternyata dia tadi sudah memegang lengan yang kiri dengan
tangan kanannya dan lengan kiri Kui Lok telah agak membengkak dengan warna
kehijauan. Bukan main kagetnya, apa lagi ketika pada saat itu baru ia tahu
bahwa tangan kirinya juga membengkak dan agak kehijauan, dan sakit sekali kalau
ditekan. Ternyata bahwa luka di pundak kiri mereka telah makin menghebat,
agaknya racun telah menjalar sampai ke lengan tangan.
Mereka
berpandangan, maklum akan keadaan mereka itu yang sangat berbahaya. Sinar mata
mereka sudah banyak menyatakan isi hati mereka dan keduanya menjadi berduka
sekali. Kui Lok menarik tangan kanan Thio Bwee diajak berdiri.
"Moi-moi..."
katanya dengan suara gemetar, "kita harus cepat-cepat pergi dari sini dan
cepat menjumpai Supek, kalau tidak... aku khawatir tak ada waktu lagi...”
Thio Bwee
mengangguk dan kedua orang muda ini kembali berjalan dengan susah payah,
menyelinap di antara tetumbuhan berduri, menuju ke arah air terjun yang ke dua.
Akhirnya sampai juga mereka di tempat itu. Air selebar lima meter lebih terjun
dari atas, berkilauan ditimpa sinar matahari. Biar pun air itu terjun amat
dalamnya, namun suara air menimpa batu-batu di bawah terdengar dari tempat itu,
malah suaranya berkumandang di empat penjuru gunung.
Ketika dua
orang itu menengok ke bawah, hati mereka berdebar menyaksikan betapa dalamnya
lembah itu. Bagaimana mereka harus turun mendekati dasar lembah?
Setelah
mencari-cari dengan pandang matanya, akhirnya Kui Lok berkata, "Bwee-moi,
terpaksa kita harus turun melalui pohon-pohon dan tetumbuhan, kita harus
merayap ke bawah. Perjalanan ini amat sukarnya, dan amat berbahayanya, akan
tetapi, Moi-moi, kali ini kita berjuang untuk nyawa kita."
Thio Bwee
menjenguk ke bawah, lalu memandang kekasihnya sambil tersenyum pahit. "Aku
mengerti, Koko. Bersamamu aku akan kuat menghadapi apa saja."
Mendengar
pernyataan ini, dengan terharu Kui Lok lalu mengusap rambut kepala Thio Bwee
kemudian berbisik, "Mati hidup kita tak akan berpisah lagi, adikku."
Setelah berkata demikian pemuda ini lalu mulai menuruni tebing yang amat dalam
dan curam itu, diikuti oleh Thio Bwee.
Baiknya dua
orang ini merupakan orang-orang yang sudah terlatih semenjak kecil. Tubuh
mereka kuat dan ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Andai kata mereka
tidak terluka, kiranya pekerjaan menuruni tebing sambil bergantungan atau
berpegangan pada akar-akar dan pepohonan ini akan merupakan hai yang amat mudah
bagi mereka.
Akan tetapi
keadaan mereka sekarang amat buruk. Selain tubuh lemas akibat penderitaan
batin, juga tangan kiri mereka sakit dan hampir lumpuh sehingga untuk menuruni
tebing hanya mengandalkan kedua kaki dan tangan kanan saja. Sedangkan tangan
kiri mereka hanya dipergunakan untuk membantu belaka.
Dua jam
lebih mereka harus merayap dan bergantungan di antara akar-akar pohon dan
batu-batu. Akhirnya mereka bergantungan pada pohon terakhir dan tidak bisa
turun ke bawah lagi! Bagaimana pun mereka mencari-cari, tidak ada lagi tempat
untuk berpegang atau berinjak, jalan ke bawah sudah putus.
Ketika
mereka menengok ke bawah, tampak oleh mereka air terjun itu menimpa dasar
lembah dan menimbulkan uap air yang tebal. Samar-samar tampak air di bawah
mereka, air yang berputaran seperti air mendidih, tetapi amat lebarnya seperti
sebuah telaga kecil yang terjadi karena air terjun itu.
"Bagaimana,
Koko?" tanya Thio Bwee terengah-engah kelelahan.
Kui Lok
mengerutkan kening. "Tidak mungkin turun lagi secara tadi, Moi-moi.
Kembali naik juga lebih sukar. Jalan satu-satunya kita harus berani terjun ke
bawah."
"Terjun
ke air itu...?"
"Sedikit-sedikit
kita dapat berenang, tak perlu takut, Bwee-moi. Mari, ikuti aku!"
Dengan nekat
Kui Lok lalu meloncat ke bawah dan Thio Bwee segera mengikutinya. Dua orang
muda itu melayang-layang turun dari tempat yang tingginya masih ada belasan
meter, akan tetapi yang keadaan bawahnya tidak dapat tampak nyata karena uap
air yang tebal.
"Byurr!
Byurr!"
Air muncrat
tinggi ketika tubuh dua orang muda itu tiba di permukaan air yang luar biasa
dinginnya. Akan tetapi alangkah kaget rasa hati Kui Lok dan Thio Bwee ketika
mereka mendapat kenyataan bahwa air itu berputar amat kuat, merupakan ulekan
(air berputar) besar. Tubuh mereka hanyut terseret oleh putaran itu, tenaga
putaran demikian besarnya sehingga mereka tak berdaya, tidak mampu berenang ke
pinggir. Kui Lok maklum bahwa kalau terus-menerus begini, mereka akan celaka.
"Bwee-moi,
tahan napas, menyelam terus berenang ke arah pinggir sana, ke belakang air
terjun!" teriaknya dengan napas terengah-engah payah.
Setelah
gadis itu memberi isyarat bahwa dia sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh
kekasihnya, mereka lalu menyelam dan benar saja, di bagian bawah ternyata
tenaga putaran itu tidak hebat lagi dan dengan mudah mereka dapat berenang
melalui air terjun.
Akhirnya
keduanya dapat mendarat di belakang air terjun dengan napas hampir putus dan
tenaga habis. Tetapi, bukan main girang hati mereka karena melihat sang kekasih
berada di sampingnya. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut dan Thio Bwee
tak kuasa menahan air matanya. Kui Lok memeluknya dan pada saat itu hati ke dua
orang muda ini makin bersatu dan makin teguh cinta kasih mereka.
"Bwee-moi,
biar pun aku tahu kau amat lelah, akan tetapi terpaksa kita harus melanjutkan
penyelidikan kita. Kita sudah sampai di tempat yang dimaksudkan."
Keduanya
berdiri dan memeriksa tempat itu. Di balik air terjun ini benar saja terdapat
goa yang amat besar dan dalam. Suara air terjun bergemuruh amat hebatnya
sehingga kalau mereka ingin bicara, mereka harus saling berdekatan dan bersuara
keras-keras.
Sambil
begandengan tangan dua orang muda ini merangkak-rangkak memasuki goa itu,
kemudian dengan berani dan nekat mereka terus maju memasuki lubang besar yang
merupakan terowongan gelap. Mula-mula terowongan yang panjang dan lebar itu
gelap sekali dan amat licin sehingga dua orang muda ini harus meraba-raba dan
merangkak, akan tetapi setelah masuk kurang lebih dua ratus meter, mulai tampak
sinar terang dari depan dan jalan tidak begitu licin lagi.
Setelah
membelok tiga kali mereka tiba di sebuah ruangan di bawah tanah yang amat luas
dan terang karena sinar matahari masuk dari atas kanan kiri yang terbuka.
Tempat ini bersih sekali dan kelihatan beberapa buah benda berbentuk meja kursi
terbuat dari pada batu. Malah di sebelah depan tampak dua buah lubang berbentuk
pintu. Tak salah lagi, tempat seperti ini sudah pasti didiami manusia.
Tiba-tiba
terdengar suara parau. "Apa kalian mempunyai nyawa rangkap maka berani
masuk ke sini?!"
Dua orang
muda itu membelalakkan mata dan memandang tajam, tetapi mereka hanya melihat
berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu mereka pun roboh dengan pandang mata
berkunang-kunang. Thio Bwee segera roboh pingsan, sedangkan Kui Lok sebelum
pingsan masih sempat berkata perlahan, "Teecu dari Hoa-san-pai..."
Entah berapa
lama mereka berdua roboh pingsan, tahu-tahu ketika dia siuman, Kui Lok
mendapatkan dirinya bersama Thio Bwee sudah berada di dalam sebuah kamar batu
yang kering dan berhawa hangat nyaman. Cepat ia bangun dan menolong Thio Bwee.
Hatinya lega
ketika mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu juga sudah mulai sadar.
Penerangan di kamar ini suram, hanya diterangi dengan sebuah lampu sederhana di
atas meja batu.
"Ahhh,
kiranya sudah malam..." pikir Kui Lok dan ia melihat Thio Bwee bergerak
hendak bangun.
Dua orang
ini saling berpandangan. Keduanya merasa bersyukur masih dapat melihat
masing-masing dalam keadaan selamat.
"Koko...
mana... mana dia?" bisik Thio Bwee.
"Tenanglah,
Moi-moi. Siapa yang menempati tempat ini, tentulah orang baik-baik, buktinya
kita tak diganggu malah dibawa ke tempat ini. Lebih baik kita beristirahat dan
memulihkan tenaga sambil menanti datangnya pagi."
Dua orang
muda yang maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi hal-hal yang hebat, bahkan
mungkin hal yang amat berbahaya, segera duduk bersila dan bersemedhi untuk
menjernihkan pikiran dan menenangkan hati serta memulihkan tenaga yang telah
terlalu banyak dikerahkan ketika mencari goa ini.
Mula-mula
memang sukar bagi mereka untuk bersemedhi, selalu saja timbul dalam pikiran
mereka bayangan yang berkelebat tadi, dan terngiang di telinga mereka suara
parau yang membentak marah. Akan tetapi karena dua orang ini adalah orang-orang
gemblengan dari Hoa-san-pai, maka akhirnya dapat juga mereka menenangkan hati
dan mengosongkan pikiran, duduk bersemedhi dengan tekun.
Menjelang
pagi, di antara suara gemuruh air terjun, terdengar kicau burung dari luar. Kui
Lok serta Thio Bwee baru saja sadar dari semedhinya, dan sekarang mereka
menikmati pendengaran-pendengaran yang aneh itu.
Suara air
terjun, desir angin, kicau burung, kokok ayam hutan, betul-betul mendatangkan
ketenangan dan mendatangkan suasana penuh damai dan tenteram di dalam hati.
Yang amat mengherankan mereka, bagaimana suara-suara penghuni hutan itu dapat
terdengar dari dalam kamar itu. Lama mereka masih duduk termenung, tak merasa
betapa matahari makin lama makin terang cahayanya.
Ada angin
bertiup dari arah pintu dan lampu kecil itu padam. Tapi kamar ini tidak menjadi
gelap karena ternyata bahwa cahaya matahari sudah sampai juga ke tempat itu.
Kui Lok merasa tidak enak apa bila diam saja di situ, karena itu sambil
memberanikan hatinya dia mengajak Thio Bwee untuk keluar dari kamar. Begitu
keluar dari kamar telinga mereka mendengar suara orang bicara, suaranya parau
dan jelas,
"Kenapa
tidak kau bunuh saja? Huh, kau sudah ingin keluar dari sini agaknya! Tua bangka
bodoh!"
Mendengar
ini, Kui Lok dan Thio Bwee bergidik. Akan tetapi dengan nekat mereka malah
menuju ke arah suara dan di dalam sebuah ruangan batu mereka melihat seorang
kakek tinggi kurus sedang duduk bersila dan menuding-nuding ke arah hidungnya
sendiri sambil memaki-maki! Kakek itu rambutnya panjang sekali, dibiarkan
terurai sampai ke pahanya, pakaiannya sederhana dari kain kasar berwarna putih.
"Apa
kau kasihan melihat pemuda ganteng? Ataukah kau jatuh hati melihat gadis cantik
manis? Aha, bukan semua itu, kau tergila-gila untuk sekali lagi melihat manusia
ramai! Waah, tak tahu malu, tua bangka gila!"
Orang tua
itu seakan-akan tidak melihat kedatangan Kui Lok dan Thio Bwee. Dua orang muda
itu cepat berlutut setelah mereka memasuki ruangan dan Kui Lok segera berkata,
''Teecu berdua Kui Lok dan Thio Bwee datang menghadap Locianpwe."
Pemuda itu
tak berani menyebut supek karena selama hidupnya ia belum pernah bertemu dengan
Lian Ti Tojin, mana dia tahu apakah kakek ini betul supek-nya itu ataukah
bukan?
Tanpa
menengok ke arah mereka kakek itu tiba-tiba saja bertanya, "Kalian masih
punya hubungan apa dengan Lian Bu?"
"Beliau
adalah Suhu teecu berdua...," kata Kui Lok, masih ragu-ragu apakah orang
ini benar-benar tokoh aneh dari Hoa-san-pai yang selama ini merupakan iblis
yang sangat ditakuti oleh seluruh anggota Hoa-san-pai.
"Kau
jangan bohong! Lian Bu hanya lebih muda beberapa tahun dariku. Sebagai Ketua
Hoa-san-pai masa mempunyai murid-murid begini muda dan tidak becus
apa-apa?"
"Teecu
berdua... tadinya memang cucu-cucu murid, tapi akhir-akhir ini berlatih
langsung di bawah petunjuk Lian Bu Tojin suhu."
"Tidak
becus... tidak becus… he, orang-orang muda, apakah gurumu tidak memberi tahu
bahwa siapa pun tidak boleh datang ke Im-kan-kok? Bahwa siapa pun yang
mendatangi tempat ini akan kubunuh mampus?" pertanyaan ini diucapkan
dengan suara kereng.
"Teecu
memang sudah tahu... dan sekiranya Locianpwe ini benar adalah Supek Lian Ti
Tojin, teecu berdua hanya mohon ampun..."
"Kalian
sudah tahu tapi berani juga datang ke sini?"
Sebelum Kui
Lok dan Thio Bwee dapat melihat apa yang dilakukan kakek itu, tahu-tahu mereka
berdua sudah terguling dan pingsan lagi! Mereka tadi hanya melihat kakek tua
itu menggerakkan lengan kanannya dan tahu-tahu mereka roboh tidak ingat
apa-apa.
Pada saat
mereka sadar kembali, kakek itu masih duduk bersila seperti tadi dan Kui Lok
segera menolong Thio Bwee. Keadaan mereka makin payah karena selain terluka
pundak mereka dan dua kali dipukul roboh, juga semenjak kemarin perut mereka
kosong sama sekali.
Kui Lok
girang bahwa Thio Bwee juga segera sadar kembali dan agaknya pukulan jarak jauh
dari kakek itu hanya membuat mereka roboh dan pingsan saja, namun tidak teluka
hebat. Kedua orang muda ini heran mengapa kakek itu tidak membunuh mereka.
"Anak
murid Hoa-san-pai sampai terluka oleh Jing-tok-ciang (Racun Hijau)..., hemmm,
memalukan sekali...!" Kakek itu berkali-kali mengucapkan kata-kata ini
seorang diri, sedikit pun tidak menoleh ke arah dua orang muda itu.
Mendengar
ini, timbul harapan dalam hati Kui Lok. Serta-merta ia berlutut di depan kakek
itu dan berkata, "Teecu berdua datang menghadap Supek untuk memohon
pertolongan Supek... Hoa-san-pai terancam bahaya kemusnahan. Supek harap maklum
bahwa Suhu telah tewas terbunuh orang..."
"Hemmm,
tidak sejak dulu-dulu terbunuh orang sudah amat mengherankan. Sebodoh dia
menjadi ketua, hemmm..."
Bingung dan
mendongkol juga hati Kui Lok melihat sikap orang yang menjadi supek-nya ini.
Benar-benar berwatak aneh dan luar biasa.
"Supek,
tidak saja Suhu sudah tewas, akan tetapi musuh besar itu juga menewaskan
sepuluh orang suheng..."
"Gurunya
tolol mana mungkin murid-muridnya tidak goblok? Jika mampus karena ketidak
becusan sendiri, untuk apa kau ceritakan kepadaku?" kakek itu memotong
tanpa menoleh kepada Kui Lok.
"Supek,
musuh itu masih merampas pedang pusaka Hoa-san-pai dan sekarang malah menduduki
Hoa-san-pai dan mengangkat diri sendiri sebagai ketua!"
Untuk
sejenak kakek itu diam tak bergerak dan tak bersuara seakan-akan kaget juga dan
berpikir. Akan tetapi segera ia mengangguk-angguk dan berkata, "Biar,
lebih baik begitu! Biar pun murid Hoa-san-pai sendiri yang menjadi ketua kalau
tidak becus macam Lian Bu, untuk apa? Biarlah dipegang orang lain, tentu lebih
lihai dari Lian Bu dan lebih bijaksana!"
Kui Lok
tercengang dan habis akal. Thio Bwee sejak tadi diam saja, akan tetapi hatinya
panas bukan main.
"Sudahlah,
Suheng, untuk apa bicara lagi kepada seorang murid Hoa-san-pai yang tidak
berbudi? Kalau didengar kata-katanya, apa sih bedanya dia dengan iblis betina
Kwa Hong yang sudah merampas kedudukan Suhu? Keduanya sama-sama murid
Hoa-san-pai yang murtad dan khianat!"
Tiba-tiba
saja kakek aneh itu menoleh ke arah mereka dan dua orang muda itu hampir
mengeluarkan suara jeritan saking terkejut dan ngerinya. Nampak muka kakek itu
seperti bukan muka manusia lagi, akan tetapi lebih mirip muka tengkorak! Muka
itu sama sekali tidak ada dagingnya, hanya tulang tengkorak terbungkus kulit
kering. Mulutnya terbuka kosong, lubang hidungnya menjadi satu dan sepasang
matanya bersembunyi amat dalam sehingga sepintas lalu seakan-akan kedua lubang
matanya itu kosong saja!
"Apa
yang kau bilang?" tanyanya dan sepasang biji mata yang bersembunyi
dalam-dalam di kepala itu mengintai kepada Thio Bwee, amat tajam menakutkan.
"Oh...
tidak... tidak..." Thio Bwee memalangkan lengan kanan di depan mukanya
sambil mundur-mundur ketakutan.
Mulut yang
ompong kosong itu terbuka lebar, lalu mengeluarkan suara ketawa yang amat
menyeramkan, kemudian disambung kata-katanya dengan suara kereng, "Bocah,
coba katakan lagi. Betulkah yang menewaskan Lian Bu dan yang merampas kedudukan
Ketua Hoa-san-pai adalah seorang murid Hoa-san-pai sendiri?"
Karena Thio
Bwee masih belum dapat menguasai dirinya, Kui Lok cepat berkata, "Betul
sekali, Supek. Musuh besar itu malah seorang gadis muda dan masih terhitung
saudara seperguruan teecu berdua. Akan tetapi dia telah murtad, menikah dengan
seorang ahli racun hijau bernama Koai Atong kemudian bersama suaminya itu
mengacau Hoa-san-pai dan merampas kedudukan ketua." Lalu secara singkat
namun jelas Kui Lok menceritakan kejadian hebat yang menimpa Hoa-san-pai.
"Ha-ha,
aku mau lihat! Mau lihat macam apa bocah yang berani menyaingi Lian Ti Tojin
dalam hal pengkhianatan terhadap partai itu. Apakan dia selihai aku?
Ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia
telah meloncat sampai ke pintu ruangan.
Sekarang
tampak oleh Kui Lok dan Thio Bwee betapa tubuh kakek itu pun hampir sama dengan
keadaan mukanya, kurus kering seperti rangka hidup!
Sesampainya
di situ tiba-tiba dia berhenti dan berkata seorang diri, "Tidak bisa...
tidak bisa... kalau aku pergi harus ada yang menggantikan aku di sini. Ha,
benar juga. Kalian berdua harus menggantikan aku di Im-kan-kok sini, seharusnya
sampai empat puluh tahun. Akan tetapi karena kalian berdua, maka hukuman buat
kalian hanya dua puluh tahun seorang. Sebelum dua puluh tahun tak boleh keluar
dari sini. Bersumpahlah!"
Kui Lok dan
Thio Bwee saling pandang. Thio Bwee nampak agak ragu-ragu. Bagaimana mungkin
mereka harus berdiam di situ selama dua puluh tahun?
Akan tetapi
Kui Lok segera berkata, "Bwee-moi, kita sudah terluka parah. Agaknya biar
pun kuat keluar dari tempat ini, belum tentu bisa hidup lebih lanjut. Lian Ti
supek, teecu berdua sanggup tinggal di sini sampai dua puluh tahun asal saja
Supek suka pergi ke Hoa-san-pai dan menyelamatkan partai dari cengkeraman
siluman betina Kwa Hong."
"Bersumpahlah!"
Tanpa
ragu-ragu lagi Kui Lok dan Thio Bwee bersumpah takkan meninggalkan tempat itu
sebelum dua puluh tahun!
Mendengar
sumpah ini, kakek itu tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha-ha, senang hatiku.
Ada dua orang sekarang yang akan dapat merasakan bagaimana hebat penderitaanku
di sini selama empat puluh tahun lebih ini. Ha-ha-ha!"
Diam-diam
Kui Lok merasa gemas juga. Kiranya supek-nya ini pun bukan orang baik-baik,
orang yang merasa girang melihat orang lain menderita. Saking gemasnya dia
berkata untuk mengecewakan hati kakek itu, "Supek keliru sangka. Teecu
berdua sudah terluka hebat oleh racun Jing-tok, kiranya tak akan lama hidup di
dunia ini dan tidak akan lama merasakan penderitaan seperti yang Supek
rasakan!"
"Uh-uh,
goblok! Kau kira aku sebodoh kau dan gurumu? Sebelum aku pergi kalian sudah
akan sembuh. Hayo kalian pelajari ini dan ikuti perbuatanku!"
Setelah berkata
demikian kakek itu berjungkir balik, dua kakinya ke atas dan kepalanya di
bawah, di atas tanah. Dengan jungkir balik ini ia ‘berdiri’ di atas kepalanya
dengan tubuh lurus.
Kui Lok dan
Thio Bwee tak berani membantah, apa lagi mereka juga dapat menangkap maksud
kakek itu yang hendak menyembuhkan mereka. Keduanya lalu berjungkir balik dan
menggunakan kepandaian untuk ‘berdiri’ di atas kepala dengan tubuh lurus-lurus.
"Lihat
baik-baik, tiru gerakan kedua tanganku, terutama gerakan tangan kiri!"
Kakek itu
dengan perlahan kemudian menggerak-gerakkan dua lengannya seperti orang
bersilat. "Salurkan hawa Thai-yang dari pusar ke dada, tekan dengan
kekuatan dalam supaya berputar tiga belas kali di dada lalu kerahkan tenaga ke
pundak yang terluka, terus ke sepanjang lengan kiri sambil pukulkan
begini!"
Kakek itu
bergerak-gerak dan memberi petunjuk yang dituruti oleh dua orang itu dengan
taat. Pelajaran ini ada hubungannya dengan ilmu silat Hoa-san-pai, maka sebagai
anak murid Hoa-san-pai yang sudah tinggi ilmunya tentu saja mereka dapat
melakukan semua petunjuk itu dengan baik dan tepat.
Tiba-tiba
Kui Lok dan Thio Bwee berseru girang karena dari pundak mereka mengucur darah
kental hijau, tanda bahwa racun yang berada pada tubuh mereka mulai mengucur
keluar. Mereka semakin giat melakukan gerakan itu dan terus-menerus darah
kehijauan mengalir keluar dari pundak mereka.
Saking
gembira hati mereka melihat hasil pengobatan ini, mereka sampai lupa dan tidak
memperhatikan lagi kepada kakek yang tadi memberi petunjuk kepada mereka dan
yang sekarang sudah tidak terdengar suaranya lagi. Ketika mereka kelelahan dan
beristirahat, barulah ternyata oleh mereka bahwa kakek itu telah lenyap dari
situ!
Dua orang
muda itu saling pandang. Darah berwarna kehijauan membasahi lantai. Dalam
pertemuan pandang mata ini jalan pikiran mereka sama. Mereka maklum bahwa kakek
itu sudah keluar dan mereka sudah bersumpah untuk tidak keluar dari tempat itu
selama dua puluh tahun! Mulut tidak bicara akan tetapi sinar mata mereka bicara
banyak, dan tak tertahankan lagi Thio Bwee menubruk Kui Lok sambil menangis
tersedu-sedu.
Untuk sesaat
Kui Lok memeluk Thio Bwee dan membiarkan kekasihnya itu menuangkan kedukaan
hatinya melalui air matanya, lalu sambil mengelus-elus kepala Thio Bwee, dia
berkata,
"Lapangkan
hatimu, Moi-moi. Asal kita masih selalu berdampingan, kiranya kita tak perlu
takut atau berduka. Andai kata tidak akan terjadi perubahan dalam kehidupan
kita dan harus berada di sini sampai dua puluh tahun, apa boleh buat,
hitung-hitung kita berkorban untuk Hoa-san-pai! Sekarang yang penting kita
harus memeriksa tempat ini. Kalau Supek sampai bisa hidup di sini selama empat
puluh tahun tentu di sini cukup bahan makanan dan kebutuhan hidup. Sementara
itu, kita betul-betul sehat dan terhindar dari bahaya keracunan."
Lambat laun
Thio Bwee terhibur juga. Apa lagi karena apa bila mereka keluar dari goa,
pemandangan di sekitar air terjun benar-benar hebat dan indah bukan main, lagi
pula di sana banyak terdapat buah-buahan dan binatang-binatang yang akan
menjadi makanan mereka.
Yang paling
menggembirakan hati mereka adalah ketika di sebuah ruangan di bawah tanah,
mereka melihat betapa dinding ruangan itu penuh dengan ukir-ukiran yang berupa
huruf-huruf dan gambar-gambar. Inilah pelajaran ilmu silat yang selama ini
diciptakan oleh supek mereka di tempat itu. Ilmu silat aneh yang bersumber
kepada ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, jauh lebih hebat dan dahsyat dari pada
ilmu silat yang pernah mereka pelajari di Hoa-san-pai.
***************
Kita
tinggalkan dahulu dua orang muda yang saling mencinta dan yang terpaksa hidup
sebagai suami isteri di Lembah Akhirat itu. Hidup laksana Adam dan Hawa di
Taman Firdaus! Jauh dari dunia ramai, hanya berteman dengan bunga-bunga,
buah-buahan dan binatang-binatang hutan….
Ramai sekali
di Puncak Hoa-san-pai pada pagi hari itu, tanda bahwa tentu telah terjadi
hal-hal luar biasa. Memang sudah sering kali, hampir setiap hari di Puncak
Hoa-san terjadi hal-hal aneh semenjak Kwa Hong menjadi Ketua Hoa-san-pai.
Hampir setiap hari ada saja tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi sahabat baik
mendiang Lian Bu Tojin naik ke puncak. Mereka tidak saja mengabarkan tentang
kematian kakek itu, tetapi juga untuk menyaksikan sendiri kekacauan Hoa-san-pai
karena merasa penasaran. Dan hebatnya, setiap kali ada tokoh persilatan naik ke
puncak, sebagian besar dari pada mereka ini tidak bisa turun lagi karena mereka
itu binasa di bawah tangan Kwa Hong, Koai Atong, atau rajawali emas!
Pagi hari
ini Beng Tek Cu, tosu dari Bu-tong-pai yang sejak dahulu menjadi sahabat baik
Lian Bu Tojin bersama empat orang adik seperguruannya, naik ke Puncak
Hoa-san-pai. Perlu diketahui bahwa Beng Tek Cu ini adalah tokoh Bu-tong-pai
yang dahulu di waktu Hoa-san-pai bermusuhan dengan Kun-lun-pai, tosu ini
berpihak kepada Lian Bu Tojin. Oleh karena itu, tidak heranlah apa bila tosu
tua ini sengaja mendaki Puncak Hoa-san-pai ketika ia mendengar berita
mengejutkan bahwa Lian Bu Tojin tewas oleh seorang cucu muridnya sendiri yang
sekarang telah menduduki kursi ketua di Hoa-san-pai!
Beng Tek Cu
ini orangnya tinggi besar dan gagah. Biar pun usianya sudah enam puluh tahun
lebih namun masih tampak kuat dan bersemangat, wataknya sejak muda galak dan
jujur dan ilmu pedangnya sudah terkenal di empat penjuru dunia persilatan.
Empat orang sute-nya juga bukan tokoh-tokoh rendah, melainkan jago-jago
Bu-tong-pai yang sudah menguasai ilmu silat dan Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat.
Bukan main
rnarah dan herannya hati Beng Tek Cu ketika ia mendengar bahwa sahabat baiknya
Lian Bu Tojin, tewas oleh muridnya sendiri. Ia sudah mengenal Kwa Hong, malah
semua murid Hoa-san-pai sudah dikenal oleh tosu Bu-tong-pai ini. Maka dengan
amarah yang meluap-luap dan juga terheran-heran ia segera membawa adik-adik
seperguruannya untuk ‘membereskan’ kerusuhan di Hoa-san-pai.
Baru saja memasuki
wilayah Hoa-san-pai di kaki Hoa-san itu ia dan adik-adiknya sudah melihat
perubahan hebat yang terjadi pada partai persilatan besar di puncak itu. Para
tosu anggota Hoa-san-pai tidak ada lagi yang menyambut dengan penuh
penghormatan dan ramah-tamah seperti dulu.
Malah di
sana-sini terdapat tosu-tosu yang segera menyelinap pergi sambil memandang
penuh curiga ketika lima orang tosu Bu-tong-pai ini naik ke gunung itu. Telinga
mereka yang sangat terlatih sudah mendengar di sebelah atas orang-orang berteriak
sambung-menyambung ke atas, melaporkan kedatangan mereka.
"Beng
Tek Cu serta empat orang sute-nya dari Bu-tong-pai hendak menghadap Nio-nio
(Dewi)...!"
Beng Tek Cu
mendongkol sekali, apa-lagi mendengar sebutan Nio-nio itu. Hemm, bukan main
sombongnya. Apakah Kwa Hong gadis muda itu yang kini mengangkat diri menjadi
ketua dan disebut Dewi? Kedatangannya sudah diketahui, tuan rumah atau nyonya
rumah tentu sudah mengadakan persiapan. Entah sambutan apa yang akan ia terima.
Beng Tek Cu mengajak adik-adiknya mempercepat perjalanan ke puncak.
Setelah
mereka makin tinggi mendaki, di kanan kiri jalan makin sering mereka melihat
tosu-tosu Hoa-san-pai melakukan penjagaan, tidak seperti dulu dengan
ramah-tamah dan hormat menyambut kedatangan para tamu, namun dengan cara
bersembunyi-sembunyi.
Akan tetapi
tak dapat mereka menahan kemarahan hati mereka lagi sewaktu sampai di lereng
terakhir bawah puncak, mereka melihat kuburan-kuburan baru berderet-deret,
tidak kurang dari dua puluh jumlahnya. Di depan kuburan itu terdapat bong-pai
(batu nisan) sederhana dan kasar yang ditulisi nama-nama yang dikubur.
Lima orang
tosu Bu-tong-pai ini sudah mendengar akan korban-korban yang jatuh sejak
Hoa-san-pai dipegang oleh Kwa Hong, yaitu mereka yang datang karena tidak
senang dan hendak membela mendiang Lian Bu Tojin. Jadi dengan maksud yang sama
dengan maksud mereka sekarang. Agaknya sengaja para korban itu dikubur di
pinggir jalan naik ke puncak agar semua pendatang melihatnya! Alangkah
sombongnya!
"Kwa
Hong murid durhaka! Kejahatanmu sudah melewati takaran dan kini pinto datang
untuk mengakhiri keganasanmu!" Beng Tek Cu berteriak dengan pengerahan
khikang-nya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema sampai ke puncak
gunung.
Belum lenyap
gema suaranya yang keras itu, dari puncak gunung tampaklah bayangan seorang
tinggi besar berlari-lari cepat turun ke arah mereka. Para tosu Hoa-san-pai
yang tadinya bersembunyi di kanan kiri jalan, sekarang juga muncul dengan
pedang di tangan dan dengan sikap siap untuk mengeroyok.
Akan tetapi
Beng Tek Cu dan kawan-kawannya berdiri dengan tenang, sama sekali tidak gentar
terhadap kemunculan para tosu Hoa-san-pai itu. Mereka menujukan pandangan mata
mereka kepada orang tinggi besar yang berlari turun seperti terbang cepatnya
itu.
Diam-diam
Beng Tek Cu terkejut dan kagum menyaksikan ginkang orang itu. Demikian hebatnya
sehingga gerakannya bagaikan burung terbang saja, kedua kaki seakan-akan tidak
menyentuh tanah dan kedua lengan yang panjang itu dikembangkan ke kanan kiri
dan digerakkan seperti gerakan sayap burung!
Orang itu
bukan lain adalah Koai Atong! Bocah tua ini marah sekali mendengar orang
memaki-maki Kwa Hong. Maka cepat ia menyambut musuh-musuh baru ini. Di lain
pihak, Beng Tek Cu dan teman-temannya yang belum pernah melihat Koai Atong,
merasa heran dan juga geli setelah Koai Atong datang dekat.
Mereka
melihat seorang laki-laki tinggi besar setengah tua yang pakaiannya
berkembang-kembang dari topi sampai sepatunya pun berkembang, gerak-geriknya
seperti anak kecil dan lebih pantas kalau orang itu dimasukkan golongan orang
gila. Melihat keadaan orang ini, dapatlah Beng Tek Cu dan kawan-kawannya
menduga bahwa mereka berhadapan dengan Koai Atong, tokoh aneh di dunia kang-ouw
yang sekarang kabarnya telah menjadi suami Kwa Hong! Kalau gadis murid
Hoa-san-pai yang cantik jelita itu tidak menjadi gila otaknya, mana mungkin
sudi menjadi isteri orang macam ini?
Sementara
itu, setelah berhadapan dan melihat bahwa yang memaki-maki ‘isterinya’ adalah
lima orang tosu yang tidak dikenalnya, Koai Atong menuding dan membentak,
"Tosu-tosu
bau dari mana berani mampus, datang-datang memaki Enci Hong!"
"Sobat
yang baru datang ini apakah bukan Koai Atong?" tanya Beng Tek Cu karena
masih ragu-ragu apakah betul Koai Atong yang terkenal itu hanya seperti orang
gila ini.
Koai Atong
membelalakkan kedua matanya yang sudah lebar itu. "Ehhh? Kau juga tahu
namaku? Siapakah kau tosu yang sudah kenal namaku?"
"Pinto
Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai dan mereka ini adalah sute-sute-ku. Koai Atong,
pinto mendengar bahwa kau dan Kwa Hong murid murtad dari Hoa-san-pai itu sudah
membunuh Lian Bu Totiang, membunuh tosu-tosu Hoa-san-pai dan banyak orang-orang
gagah yang datang ke sini, kemudian malah merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai.
Benarkah semua pengacauan ini? Koai Atong, kau sebagai murid seorang sakti
seperti Giam Kong Hwesio, kenapa menjadi tersesat sampai begini jauh?"
Menghadapi
ucapan ini dan melihat pandang mata Beng Tek Cu yang tajam berpengaruh, Koai
Atong menjadi jeri juga. Ia menundukkan muka dan tidak dapat menjawab, seperti
anak kecil dimarahi ayahnya! Pada saat itu, terdengar suara melengking tinggi,
datangnya dari udara dan amat nyaring menyakitkan anak telinga.
"Beng
Tek Cu! Kau dan sute-sute-mu pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan
Hoa-san-pai!"
Jelas bahwa
itu adalah suara wanita yang merdu tapi nyaring dan melengking tinggi. Beng Tek
Cu dapat menduga bahwa suara itu tentulah suara Kwa Hong, akan tetapi dia tidak
mengerti bagaimana suara itu datangnya dari atas!
"Kwa
Hong murid murtad, pinto datang untuk mengakhiri riwayatmu yang busuk!"
teriak Beng Tek Cu.
"Koai
Atong, tolol! Orang memaki aku, mengapa diam saja? Serang dan bunuh mereka
semua tosu-tosu bau ini!" Suara Kwa Hong terdengar lagi.
Tiba-tiba
Koai Atong mengeluarkan pekik melengking seperti burung dan tahu-tahu dia telah
menggerakkan kedua lengannya yang panjang untuk menyerang kalang-kabut pada
lima orang tosu itu.
Beng Tek Cu
dan sute-sute-nya cepat mengelak, akan tetapi tetap saja dua orang tosu
Bu-tong-pai itu terkena pukulan yang sangat aneh gerakannya sehingga mereka
roboh terguling! Beng Tek Cu marah dan juga heran bukan main.
Sute-sute-nya
itu terhitung murid-murid Bu-tong-pai tingkat dua, memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan tenaga lweekang yang sudah kuat sekali. Akan tetapi bagaimana begitu
mudah roboh hanya oleh sekali serangan Koai Atong ini? Ia sendiri ketika
mengelak tadi sengaja mengebutkan lengan baju untuk menahan pukulan, akan
tetapi lengan bajunya terpukul membalik dan ujungnya sudah hancur.
"Koai
Atong, kau menjadi antek siluman betina jahat. Patut dibasmi lebih dulu!"
Beng Tek Cu membentak sambil mencabut pedangnya.
Dua orang
sute-nya yang tadi roboh oleh pukulan Koai Atong, juga sudah bangun kembali dan
seperti yang lain-lain, dengan marah mereka pun mencabut pedang. Baiknya dalam
gebrakan pertama tadi Koai Atong hanya menggunakan gaya serangan rajawali emas
tanpa mempergunakan hawa pukulan Jing-tok-ciang, maka dua orang tosu yang
terpukul roboh tidak mengalami luka hebat.
Sekarang
lima orang tosu itu dengan pedang di tangan mengurung Koai Atong. Orang tinggi
besar ini nampak kebingungan. Memang bertempur bagi Koai Atong merupakan
permainan yang rnenyenangkan, maka ia pun tertawa-tawa ha-ha-hi-hi sambil
berputaran perlahan dan melirik-lirik lima orang lawannya. Kedua kakinya
berjungkit, kedua lengan dikembangkan dan bergerak-gerak seperti sayap burung
hendak terbang, sikapnya lucu sekali tapi juga aneh dan membuat lima orang tosu
Bu-tong-pai itu berhati-hati sekali tidak segera menyerang.
Beng Tek Cu
memberi tanda isyarat kepada adik-adiknya dan lima orang tosu ini secara
otomatis kemudian mengambil posisi masing-masing dan membentuk barisan Bu-tong
Ngo-heng-tin. Dengan teratur dan otomatis kelimanya lantas bergerak melangkah
maju mengitari Koai Atong, tanpa menyerang akan tetapi sikap dan kedudukan
mereka sering berubah-ubah, kelihatan indah sekali seperti gerakan tarian yang
teratur. Pedang mereka berkelebatan berpindah-pindah pasangan kuda-kuda, ke
mana pun mereka melangkah, mata mereka mengincar ke arah Koai Atong.
Meski pada
umumnya Koai Atong amat bodoh dan sederhana pikirannya seperti seorang
kanak-kanak, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia sudah berpengalaman banyak.
Selama mengikuti suhu-nya dahulu, dia telah merantau dari dunia barat sampai ke
lautan timur, entah sudah berapa ratus kali pertempuran dia alami.
Tentu saja
melihat Bu-tong Ngo-heng-tin ini, dia segera maklum bahwa dia menghadapi
barisan yang amat tangguh dan berbahaya. Sama sekali dia tidak gentar, akan
tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia merasa bingung juga. Ia dan Kwa Hong
hanya meniru gerakan-gerakan rajawali emas dalam menghadapi lawan seorang,
belum pernah melihat bagaimana gerakan burung sakti itu kalau menghadapi
keroyokan seperti sekarang ini. Maka sudah tentu saja ia tak akan dapat
mempergunakan gerakan yang ia pelajari dari rajawali emas dan terpaksa
menggunakan kepandaiannya sendiri, terutama sekali Jing-tok-ciang.
"Hei,
Koai Atong, apa kau takut menghadapi Ngo-heng-tin kami? Kalau takut, lekas kau
berlutut dan minta ampun!" ejek Beng Tek Cu dan keempat orang sute-nya
segera pula mengeluarkan kata-kata memaki dan mengejek.
Memang
inilah termasuk siasat dari pada Ngo-heng-tin, yaitu membuat lawan menjadi
marah dan memancing lawan agar supaya menyerang. Koai Atong memang seperti anak
kecil. Begitu diejek dan dimaki-maki, ia menjadi marah dan cepat ia memutar
lengan kiri menyerang ke arah Beng Tek Cu. Hebat sekali serangannya karena
memang semenjak berpisah dari gurunya, dia sudah memperdalam Ilmu Pukulan
Jing-tok-ciang ini, apa lagi gerakannya sudah dicampur pula dengan gerakan
rajawali!
Beng Tek Cu
maklum akan kehebatan serangan ini, maka dia cepat melompat mundur sambil
memutar pedangnya. Koai Atong sebaliknya kaget bukan main karena pada saat ia
bergerak menyerang itu, ia mendengar desir angin dari kanan kiri dan belakang,
melihat pula empat sinar menyambar dan menyerang ke arah empat bagian tubuhnya
yang paling lemah!
Terpaksa ia
menarik kembali serangannya terhadap Beng Tek Cu tadi dan menggunakan
kegesitannya untuk mengelak dari empat serangan itu. Dalam kemarahannya dia
lantas menyerang seorang di antara empat tosu itu yang terdekat. Akan tetapi,
seperti juga tadi, yang diserangnya melompat mundur dan empat tosu yang lain berbareng
menyerangnya dengan pedang dari belakang dan kanan kiri.
Inilah
kehebatan Bu-tong Ngo-heng-tin. Memang kelihaiannya baru terasa apa bila lawan
menyerang seorang di antara lima pelakunya. Karena ketika menyerang si
Penyerang ini otomatis tentu membiarkan beberapa bagian tubuhnya terbuka dan
kesempatan inilah yang dipakai oleh empat orang tosu lain untuk menyerang,
sedangkan seorang tosu yang diserang harus menjauhkan diri dan menyelamatkan
diri sendiri.
Koai Atong
mulai bingung dan repot sekali. Serangannya selalu gagal. Bagaimana tidak akan
gagal kalau begitu menyerang seorang, ia lalu dihantam oleh empat orang? Bukan
hanya gagal, malah setiap kali menyerang berarti ia terancam bahaya maut. Ia
banyak pengalaman, maka setelah beberapa kali gagal menyerang malah terdesak
hebat, akhirnya Koai Atong tidak mau menyerang lagi dan berdiri diam saja
menjaga diri. Dan ternyata dugaannya benar, lima orang lawannya itu pun berdiri
diam menunggu dia melakukan penyerangan seperti tadi!
Memang lima
orang dalam bentuk barisan Bu-tong Ngo-heng-tin ini mempergunakan tipu Memancing
Ular Keluar dari Rumput. Sekarang setelah Koai Atong diam saja, dengan
sendirinya tipu mereka itu gagal. Sampai lama dua pihak saling menunggu agar
lawan menyerang lebih dulu, akan tetapi keduanya tidak mau mengalah.
Beng Tek Cu
memberi isyarat lagi dan tiba-tiba seorang tosu yang berdiri di sebelah kiri
Koai Atong menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung bocah tua itu.
Belum sampai serangan ini sudah disusul oleh tosu ke dua di belakangnya, lalu
disusul tosu lain dan demikianlah, dalam sekejap mata saja lima orang tosu itu
susul-menyusul dalam serangan mereka.
Koai Atong
tadinya menunggu datangnya serangan untuk merobohkan Si Penyerang itu. Tapi
siapa kira serangan itu datangnya susul-menyusul secara otomatis dan teratur
sekali sehingga kembali ia sibuk melayani semua serangan tanpa mendapat
kesempatan sama sekali untuk balas menyerang! Malah kadang-kadang serangan
bertubi-tubi itu tiba-tiba berubah sifatnya menjadi serangan serentak
berbareng, lalu bertubi-tubi lagi. Inilah gerak tipu dalam Bu-tong Ngo-heng-tin
yang disebut Serangan Angin Topan.
Andai kata
para tosu itu hanya mengeroyoknya mengandalkan ilmu silat saja, kiranya tak
sukar dan tidak akan memakan waktu lama bagi Koai Atong untuk merobohkan mereka
seorang demi seorang. Akan tetapi karena mereka menggunakan gerakan teratur
dalam barisan Bu-tong Ngo-heng-tin yang amat lihai, kini Koai Atong bingung
sekali dan terdesak hebat.
"Curang...
kalian curang... Enci Hong bantulah aku...! Tosu-tosu bau ini curang dan lihai
sekali...!"
Terdengar
suara melengking tinggi, makin lama semakin dekat dan lima orang tosu itu
menanti dengan hati berdebar dan sikap waspada. Kemudian disusul suara wanita,
"Koai Atong, kau benar-benar memalukan. Melawan lima orang keledai bau ini
saja kalah? Itu sangat memalukan Hoa-san-pai!"
Dan lima
orang tosu itu kaget sekali ketika memandang ke atas mereka melihat Kwa Hong
duduk di atas punggung seekor burung rajawali emas, bukan seperti manusia lagi,
lebih patut bagaikan seorang dewi atau sebangsa siluman! Akan tetapi mereka
tidak sempat memperhatikan lebih lama lagi karena mendadak burung rajawali yang
indah itu sudah menukik ke bawah, menyambar ke arah mereka.
Sepasang
cakar yang kuat ditambah sebuah patuk yang menyerang mereka, disusul oleh lima
sinar hijau. Hebat bukan main serangan ini, hebat dan tidak tersangka-sangka.
Oleh karena diserang sekaligus, lima orang tosu itu tak sempat menyusun dan
mengatur barisan, otomatis mereka bergerak sendiri-sendiri untuk menyelamatkan
diri, ada yang mengelak jauh dan ada yang menangkis dengan pedang. Kasihan
sekali dua orang tosu yang menangkis dengan pedang. Pedang mereka patah dan
leher mereka disambar sinar hijau. Mereka menjerit dan roboh terguling, tewas
di saat itu juga menjadi korban panah hijau di ujung cambuk Kwa Hong!
Koai Atong
tertawa bergelak, lalu tubuhnya yang tinggi besar itu rnenerjang maju. Kini
barisan itu sudah pecah dan buyar, maka beberapa kali serang saja Koai Atong
sudah dapat merobohkan dua orang tosu yang lain, dipukulnya tewas dengan
Jing-tok-ciangnya yang lihai.
Kini tinggal
Beng Tek Cu yang sejak tadi masih sempat mengelak dan menyelamatkan diri. Akan
tetapi ia pun maklum bahwa menghadapi dua orang aneh ini ia tidak berdaya. Ilmu
silat yang dimainkan Koai Atong amat dahsyat, sedangkan bantuan yang dilakukan
oleh Kwa Hong di atas punggung rajawali emasnya lebih dahsyat lagi. Ia masih
mencoba untuk melakukan serangan penghabisan dengan pedangnya, diputarnya
senjata ini dan dengan jurus terlihai dari Bu-tong-pai ia menerjang Koai Atong.
Namun enak
saja Koai Atong menggerakkan kaki dan mengembangkan lengan, semua serangannya
terhindar. Dari atas burung rajawali menyambar dan biar pun Beng Tek Cu sudah
berusaha untuk mengelak, namun tetap saja tubuhnya menjadi korban sambaran dua
buah panah hijau. Ia menjerit, pedangnya terlepas, tubuhnya terhuyung-huyung
dan akhirnya ia roboh dengan kedua mata melotot.
"Kurang
ajar...! Inikah iblis cilik yang sudah mengotorkan nama Hoa-san-pai?"
Suara ini pun datangnya dari atas, amat mengagetkan Kwa Hong dan Koai Atong
karena terdengar parau dan menusuk telinga.
Ketika
mereka menengok ke kanan kiri, tidak kelihatan seorang pun manusia. Diam-diam
Kwa Hong bergidik juga dan ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti datang.
Kalau teringat akan dongeng tentang Lembah Akhirat yang didengarnya dahulu
ketika ia masih menjadi murid Hoa-san-pai, dia merasa seram. Diperintahnya
rajawali emas untuk turun dan hinggap di atas tanah. Ia meloncat turun dan
mendekati Koai Atong.
"Koai
Atong, siapa yang bicara tadi?"
Koai Atong
juga celingukan menoleh ke kanan kiri, lalu menggeleng kepalanya. Dia tidak
pernah mendengar tentang cerita Hoa-san-pai, maka ia tidak merasa takut, hanya
amat terheran-heran.
"Jangan-jangan
itu tadi suara rohnya Beng Tek Cu!" katanya.
Tiba-tiba
terdengar lagi suara itu, kini tidak hanya keras dan parau, malah menggetarkan
jantung dan menusuk-nusuk anak telinga, suara menggetar yang amat hebat,
membuat sebelah dalam telinga seakan-akan hendak pecah!
Inilah suara
orang bernyanyi dan kata-kata yang dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab
To-tek-keng:
Orang baik
adalah guru orang tidak baik,
orang tidak
baik adalah murid orang baik,
siapa tidak
menjunjung tinggi gurunya,
ia akan
tersesat jauh,
inilah
kegaiban berahasia.
Suara yang
menyanyikan ujar-ujar ini demikian keras dan buruknya, sangat tidak enak
didengar sehingga Koai Atong dan Kwa Hong menggigil seluruh tubuh mereka,
hampir tidak kuat mendengar lebih lama lagi. Dua orang ini merasa betapa suara
itu memasuki telinga dan terus menusuk ke dalam jantung, seakan-akan menyerang
semua isi dada dan hendak memecahkan kepala.
Sebagai
seorang ahli silat tinggi, Koai Atong kaget sekali dan cepat-cepat ia duduk
bersila mengerahkan lweekang-nya untuk menahan pengaruh luar biasa dari suara
nyanyian itu. Kwa Hong juga maklum akan hal ini, maka dia pun cepat mengerahkan
lweekang-nya. Bahkan burung rajawali emas, biar pun tidak terpengaruh secara
mutlak, juga kelihatan gelisah dan mengeluarkan suara merintih bagaikan orang
menangis. Hebatnya, nyanyian dengan suara buruk itu diulang-ulang terus dan
makin lama makin pucatlah muka Koai Atong dan Kwa Hong.
Bagi
ahli-ahli silat yang tingkatnya telah tinggi, melakukan serangan tanpa
menggerakkan anggota tubuh bukanlah hal yang aneh. Jangan dikira bahwa suara
itu tidak akan dapat dipergunakan sebagai senjata. Malah dapat dijadikan
senjata yang lebih ampuh dari pada tajamnya pedang.
Bagi seorang
yang tingkat lweekang-nya sudah tinggi, yang tenaga dalamnya sudah kuat sekali,
maka di dalam suaranya dapat diisi getaran yang cukup kuat untuk merobohkan
seorang pandai! Getaran ini bisa melemahkan semangat, bisa menggetarkan jantung
dan menghancurkan urat-urat syaraf.
Orang yang
bernyanyi-nyanyi kali ini memang agaknya sengaja hendak mempergunakan lweekang
dan khikang di dalam suaranya untuk menyerang Kwa Hong dan Koai Atong, untuk
membunuh mereka tanpa menggerakkan kaki tangan.
Akan tetapi,
dalam saat-saat yang amat berbahaya bagi dua orang itu, tiba-tiba terdengar
suara lain dari arah yang berlawanan. Juga suara ini adalah suara orang
bernyanyi, akan tetapi suaranya nyaring dan gagah, enak didengar dan sekaligus
mempunyai pengaruh melawan suara pertama yang buruk dan tidak enak tadi.
Anehnya, juga nyanyian ini adalah nyanyian yang kata-katanya diambil dari
ayat-ayat To-tek-keng!
Mengenal
keadaan orang lain adalah bijaksana,
mengenal
keadaan diri sendiri adalah waspada.
Mengalahkan
orang lain adalah kuat,
menaklukkan
diri sendiri adalah gagah perkasa.
Puas dan
mengenal batas berarti kaya raya,
memaksakan
kehendak sendiri berarti nekat.
Tahu diri
dan tahu kewajiban akan berlangsung, mati tidak tersesat berarti panjang umur.
Baru satu
kali saja suara nyanyian ini terdengar, suara pertama tadi segera lenyap dan
tak terdengar lagi. Juga Kwa Hong dan Koai Atong sudah tidak lagi tersiksa oleh
pengaruh suara pertama dan keduanya sekarang sudah meloncat berdiri dengan
sikap waspada dan hati-hati.
"Siapa
pun hendak membela si jahat, aku tidak takut! Siluman betina yang mengotorkan
Hoa-san-pai harus kubasmi!" Baru saja terhenti kata-kata ini, tahu-tahu di
depan Kwa Hong dan Koai Atong sudah berdiri seorang kakek yang tinggi kurus,
rambutnya panjang awut-awutan, mukanya persis tengkorak hidup dengan sepasang
mata yang berlubang dalam.
"Setan...!
Ada setan...!" Otomatis Koai Atong mundur-mundur dan bersembunyi di
belakang Kwa Hong.
Kakek yang
seperti tengkorak hidup itu bukan lain adalah Lian Ti Tojin, yang kini tertawa
terkekeh-kekeh akan tetapi tidak memandang kepada Koai Atong, melainkan menoleh
ke kanan kiri seperti tengah mencari orang lain. Memang dia sedang mencari
orang yang tadi melawan nyanyiannya yang juga seperti dia tadi sudah bernyanyi
tanpa memperlihatkan diri.
"Pembela
si jahat, keluarlah saja kalau memang hendak melawan aku!" katanya.
Tiba-tiba
dari mulutnya menyembur darah segar! Dia terbatuk-batuk beberapa kali dan
tahulah Kwa Hong dan Koai Atong bahwa kakek ini ternyata telah menderita luka
dalam yang hebat! Bagaimanakah Lian Ti Tojin dapat menderita luka seperti itu?
Bukan lain karena ‘adu suara’ tadi.
Kakek ini
sudah amat tua, mungkin ia kuat bertahan hidup sampai sekian lama karena ia
berada dalam goa itu. Sekarang, begitu keluar di dunia ramai, dia sudah merasa
betapa kesehatan tubuhnya terganggu hebat. Apa lagi ketika dia sedang
menggunakan ilmunya untuk menyerang Kwa Hong dan Koai Atong dengan suaranya
tadi, dia telah mendapat perlawanan dari suara orang lain.
Dia harus
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam ‘adu tenaga’ ini dan oleh karena
tubuhnya yang sudah terlalu tua itu memang mulai lemah, ia menderita luka dalam
yang hebat sekali. Karena kelemahannya inilah maka dia tadi tidak segera
keluar, melainkan menggunakan suaranya untuk menyerang dua orang yang
dianggapnya perusak nama Hoa-san-pai.
Tadinya Kwa
Hong dan Koai Atong kaget dan jeri, akan tetapi setelah melihat kakek itu
memuntahkan darah dan tahu bahwa dia itu luka hebat, mereka tidak takut lagi.
Malah Koai Atong lalu menuding sambil memaki.
"Kakek
tua bangka bikin kaget orang saja. Kukira kau tadi setan! Mau apa kau datang ke
sini?" Lalu ia menuding ke arah mayat lima orang tosu Bu-tong-pai tadi.
"Apa kau datang mau membeli bangkai-bangkai ini?"
Kwa Hong
segera membentak, "Atong, jangan main-main!"
Kwa Hong
lebih tajam pandang matanya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah
seorang sakti, dia malah setengah menduga bahwa kakek ini agaknya ‘orang aneh’
dari Lembah Akhirat.
"Aku
mau bertemu dengan Ketua Hoa-san-pai. Mana dia?" Lian Ti Tojin berkata
sambil memandang Kwa Hong dengan sinar mata yang membuat Kwa Hong merasa ngeri.
Akan tetapi
Kwa Hong sekarang sudah berbeda jauh dengan Kwa Hong dahulu. Setelah merobohkan
banyak jago-jago terkenal, dia memandang rendah kepada orang lain dan mempunyai
keyakinan penuh akan kelihaian diri sendiri ditambah bantuan Koai Atong dan
burung rajawali emas. Dengan mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya ia
lantas menjawab gagah.
"Orang
tua, akulah Ketua Hoa-san-pai. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke sini?"
Kakek itu
tertegun. Diam-diam Lian Ti Tojin memang terheran sekali. Benar-benar gadis
cantik jelita dan muda belia inikah yang telah mengacau Hoa-san-pai? Benarkah
gadis ini yang sudah membunuh sutenya, Lian Bu Tojin? Sukar untuk dapat
dipercaya.
"Kau
Ketua Hoa-san-pai? Apa buktinya?" tanyanya memancing karena masih
ragu-ragu.
Tadi ia
hanya melihat dari jauh, malah mendengar pula betapa dua orang ini menewaskan
lima tosu itu, maka biar pun ia yakin bahwa dua orang ini pengacaunya, namun
sama sekali tak pernah ia sangka bahwa wanitanya demikian muda belia, bahkan
masih seperti kanak-kanak! Maka setelah berhadapan muka ia malah menjadi
ragu-ragu.
Kwa Hong
mengeluarkan suara ketawa mengejek, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang
pusaka Hoa-san Po-kiam sudah dihunusnya. "Inilah tandanya bahwa aku Ketua
Hoa-san-pai!"
Wajah kakek
yang seperti mayat itu menjadi makin mengerikan ketika ia berdongak dan
mengeluarkan keluhan panjang.
"Ahhh...
hukum karma... inilah hukum karma...! Kwa Hong, kau murid Hoa-san-pai murtad,
membunuh guru, merampas pedang, menduduki kursi Ketua dan aku... ha-ha-ha,
akulah yang harus membasmi! Hukum karma...! Dulu aku pun melakukan perbuatan
dosa seperti yang kau lakukan. Aku menyeleweng, menurutkan nafsu, mengganggu
anak bini orang, membunuh jago-jago ternama. Pada waktu guru menegur, malah
kulawan dan kubunuh, ha-ha-ha...! Aku berdosa besar... aku menyesal...
kuserahkan kedudukan ketua kepada sute Lian Bu Tojin. Aku lalu menghukum diri
di Im-kan-kok, puluhan tahun menyesali perbuatan sendiri, namun agaknya Thian
masih belum sudi mengampuni dosa-dosaku. Buktinya, hari ini aku dihadapkan
dengan engkau! Aku masih mempunyai tugas terakhir, menolong nama baik
Hoa-san-pai. Agaknya inilah penebusan dosaku... ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...!"
Wajahnya
tiba-tiba berubah lagi dan sepasang matanya menyambar seperti kilat ketika ia
membentak, "Kwa Hong, kau berhadapan dengan supekmu. Hayo lekas berlutut
minta ampun dan mengakui dosamu!"
Suaranya
seperti halilintar menyambar dan selagi Kwa Hong terpengaruh oleh bentakan
hebat ini tiba-tiba secepat kilat tangan kakek itu bergerak merampas pedang.
Kwa Hong
kaget dan biar pun serangan itu mendadak sekali namun kedua kakinya yang
bergerak aneh seperti kaki burung dapat membuat dia mengelak. Sayang sekali,
lengan tangan kakek itu setelah tidak berhasil merampas pedang masih terus
bergerak mulur (memanjang) dan tahu-tahu pedang Hoa-san-pai telah dapat
dirampas oleh Lian Ti Tojin!
"Ha-ha-ha,
po-kiam ini memang seharusnya di tanganku..." Kakek itu bergelak akan
tetapi suara ketawanya berhenti ketika tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping
dan terhuyung-huyung.
Ternyata
dengan gerakan ‘sayap rajawali’ Koai Atong telah menyerangnya dan membuat kakek
itu terhuyung-huyung. Begitu hebatnya serangan Koai Atong ini. Di lain pihak,
Koai Atong yang tadi marah sekali melihat orang itu berani merampas pedang dari
tangan Kwa Hong, juga kaget dan kagum melihat kakek yang hampir mati saking
tuanya itu hanya terhuyung-huyung dan tidak roboh terkena pukulannya
Jing-tok-ciang yang ampuh.
Lian Ti
Tojin marah dan cepat memasang kuda-kuda, kemudian dua orang aneh itu saling
serang dengan hebat. Kwa Hong memandang dengan muka pucat, apa lagi ketika Lian
Ti Tojin tiba-tiba saja dapat memisahkan diri dari Koai Atong lalu dengan
pedang pusaka di tangan melakukan penyerangan hebat sekali kepadanya.
Serangan ini
hebat bukan main, sinar pedang sampai menjadi panjang seperti pelangi dan
sepasang mata Kwa Hong silau karenanya. Bahkan Koai Atong sendiri tidak berdaya
melihat Kwa Hong terancam bahaya maut.
Pedang
pusaka Hoa-san-pai yang ampuh di tangan Lian Ti Tojin yang lihai itu berkelebat
menyambar ke arah tenggorokan Kwa Hong, agaknya takkan dapat dihindarkan lagi
oleh Kwa Hong.
"Traaaangggg!"
Bunga api muncrat menyilaukan mata.
Lian Ti
Tojin berteriak kaget dan heran. Pedang pusaka Hoa-san-pai itu terlepas dari
pegangannya yang terasa sakit, dan sebelum pedang itu jatuh ke atas tanah, Kwa
Hong sudah menyambar dan memegangnya. Di depan kakek ini berdiri seorang
laki-laki muda yang tampan dan gagah yang memegang sebatang pedang yang kini
sudah buntung karena beradu dengan pedang pusaka Hoa-san-pai tadi!
Kakek sakti
itu kaget dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang biar pun masih
muda akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi. Agaknya pemuda inilah yang tadi
bernyanyi melawan pengaruh suaranya.
Akan tetapi
sebelum ia sempat menegur, Koai Atong sudah menerjangnya dengan hebat. Terpaksa
Lian Ti Tojin mengelak dan melayani Koai Atong dan kembali dua orang aneh ini
bertempur hebat. Pertempuran kini lebih hebat dan seru dari pada tadi karena
Lian Ti Tojin tidak memegang pedang lagi.
Sementara
itu, Kwa Hong dengan pedang pusaka di tangan, berdiri memandang laki-laki yang
telah menolongnya dari ancaman maut tadi. Wajahnya pucat, air matanya mengalir
turun membasahi kedua pipinya. Sinar matanya penuh kasih mesra, penuh harap
yang bercampur kekuatiran, bibirnya menggigil tanpa dapat mengeluarkan suara.
Ada pun laki-laki muda itu berdiri mematung memandang pada Kwa Hong, sinar
matanya penuh iba hati dan juga penyesalan. Anehnya, wajahnya yang tampan
dengan kulit muka yang tadinya putih sehat itu perlahan-lahan mulai berubah
kehijauan!
Siapakah
pemuda ini? Bukan lain orang, dia ini adalah Tang Beng San, pemuda yang
menggemparkan dunia persilatan ketika beberapa bulan yang lalu dia secara tidak
resmi merebut gelar kejuaraan ilmu pedang dan berhak disebut Raja Pedang!
Tan Beng San
inilah yang menjadi biang keladi sehingga kini timbul peristiwa hebat di
Hoa-san-pai, karena sebenarnya dia inilah yang menghancurkan kalbu dan
mematahkan hati Kwa Hong. Kwa Hong mencintanya sepenuh jiwa raganya dan di
antara mereka telah ada hubungan yang sungguh pun terjadi bukan atas kehendak
mereka melainkan karena pengaruh racun yang hebat, namun hubungan itulah yang
mengakibatkan Kwa Hong mengandung!
Dan seperti
kita telah baca dalam cerita Raja Pedang, Beng San tidak bersedia menjadi suami
Kwa Hong karena memang dia telah mencinta orang lain, yaitu Kwee Bi Goat puteri
tunggal Song-bun-kwi Kwee Lun. Melihat adanya seorang tosu Hoa-san-pai tua yang
muncul pula di belakang Beng San, dapat diduga bagaimana Raja Pedang ini bisa
sampai di tempat ini. Tak lain adalah tosu Hoa-san-pai lalu lari minta bantuan
kepada Beng San di Min-san. Di sana ia menuturkan segala peristiwa yang terjadi
di Hoa-san-pai.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment