Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 08
BETAPA pun
juga, muridnya, Pek Hong Ing, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang punya
hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu,
malah sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan
ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali bila telah tiba saatnya kedua fihak
berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima
Bayangan Dewa. Betapa pun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya
yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek
Hong Ing.
Maka walau
pun kini tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia
menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu,
dia hanya menonton dengan penuh perhatian sesudah melemparkan sebungkus obat
bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, "Minum ini untuk menolak hawa
beracun!"
Sementara
itu, In Hong sudah melangkah maju sehingga berhadapan dengan Giok Keng. Setelah
selama kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama
cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling
mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengarlah In Hong
berkata, suaranya dingin,
"Kiranya
keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang
lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang paling baik, paling
bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak
seperti yang dibanggakan itu!"
Cia Giok
Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. "Engkau seorang
dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggota golongan
maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!"
In Hong
tersenyum. "Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus
kuakui bahwa Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja
Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, ternyata orang-orangnya begini sombong.
Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil
apa-apa. Andai kata dia menukar sumbangan, itu hanyalah senda guraunya karena
memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang
orang."
"Betapa
pun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang
hina."
"Hemm,
siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?"
Kata-kata In
Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. "Mulut lancang! Kami
keluarga Cia sejak dulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela
kebenaran dan keadilan!"
"Kebenaran
dan keadilan siapa?" In Hong mengejek. "Setahuku, putera tunggal
ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum
wanita!"
"Wanita
iblis! Kau maksudkan adikku Cia Bun Houw?"
"Siapa
lagi kalau bukan dia?"
Saking
marahnya, Giok Keng sampai sulit mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar
dan napasnya terengah-engah. Akhirnya dapat juga dia membentak,
"Iblis
betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di
Tibet!"
"Nah,
itulah dia! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang
penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan
mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu
saja..."
"Ahhhh,
tidak...!" Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi
Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh saat mendengar fitnah terhadap kekasihnya
itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya
agar diam, kemudian dia menonton dengan hati tegang gembira.
"Wuuttttt...
wirrrrr...!" Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar
merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.
"Pratttt…!"
In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya.
Giok Keng
terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan
hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat
melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan
senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi
sekali bertemu dengan jari jemari tangan gadis cantik ini, ternyata ujungnya
menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan
dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik
dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.
Tiba-tiba
terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak
nyaring, "Nona Yap In Hong, tahan dulu...!"
Yang datang
ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi pada waktu melihat
keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jeri dan cepat
menyelinap keluar kemudian mengintip dari luar. Akan tetapi pada saat melihat
betapa In Hong turun tangan membelanya, dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu
akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya
itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan
nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan
puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding.
In Hong
mengenal suara temannya ini dan dia menengok. "Biarlah, paman Can, orang
terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja."
"Nona
In Hong, jangan...!" Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng
yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.
"Kau...
kau... bernama Yap In Hong...?" tanyanya dengan heran.
In Hong
tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, "Maafkan saya, Lihiap
yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut
apa-apa! Saya yang tadi karena merasa penasaran melihat tuan rumah
membeda-bedakan tempat duduk untuk para tamu, kemudian ingin menggodanya dengan
menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak menyangka bahwa
barang-barang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti
ini. Saya yang bersalah dan Lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi
nona In Hong tidak ikut-ikut..."
“Hemm, jadi
engkaukah biang keladinya?" Giok Keng lantas menggerakkan tangan kirinya
memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada
pencopet itu.
"Plakkkk!
Desss…!"
Giok Keng
terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang
kuat bukan main.
"Mundurlah,
paman Can!" In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw
terlempar dan pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan lenyap
dari situ.
Giok Keng
memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis
dan pada yang kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang terdesak, maka hal ini
dianggapnya sangat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar
nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya,
"Apakah
engkau adik Yap Kun Liong...?" pertanyaan ini diajukan dengan ragu-ragu
sebab dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani
menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.
"Benar,
tapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia," jawab In Hong dengan suara
yang tetap dingin.
Giok Keng
melongo, akan tetapi segera sanggup menekan keheranannya dan dia lantas
membentak, "Dan kau tadi berani bicara bohong tentang adikku Bun
Houw?"
"Hemm,
mengapa tidak kau tanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?"
"Yap In
Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?"
In Hong
memandang tajam, dan bibirnya terlukis senyum mengejek. "Tentu saja aku
tahu. Engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita
yang sombong..."
"Bocah
kurang ajar!" Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya dan tampak
sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.
"Tahan
senjata...!" Lie Kong Tek sudah meloncat ke depan, memegang lengan
isterinya dan menariknya. "Tidak perlu kita berlarut-larut, apa lagi dia
bukan orang lain. Marilah kita pergi saja."
Cia Giok
Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali saat dia menyarungkan
pedangnya. Dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil
berkata, "Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu
ini!"
Kemudian dia
membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya
mengangguk pendek kepada tuan rumah.
In Hong
tidak mempedulikan lagi suami isteri itu, dia menengok dan mencari-cari Can
Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di
situ, dia lalu berkelebat dan meloncat keluar tanpa pamit.
Keadaan
pesta itu lantas menjadi agak riuh dan bising sebab semua tamu membicarakan
peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis
bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki
ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun
Liong, benar-benar membuat geger, baik fihak golongan hitam mau pun golongan
putih.
***************
"Perlahan
dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!"
In Hong
menghentikan langkahnya, menengok dan melihat bahwa yang memanggilnya itu
adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik
berpakaian Tibet itu.
In Hong
mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa
hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia segera
pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana
perginya itu. Pula, dia pun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan
pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja
tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam
itu.
"Apakah
keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?" tegurnya dengan suara dingin.
"Heh-heh-he-he!"
Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah.
"Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi mulutnya
juga panjang, ha-ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku
dan tentang muridku Yalima ini."
In Hong
menjawab, "Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya
dengan kedatanganmu menyusulku ini?"
"Wah-wah,
engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong.
Ketahuilah bahwa di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguh pun
agaknya engkau tidak mempedulikan hubungan keluarga."
In Hong
menjadi heran. "Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?"
"Heh-heh-he-he,
engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku!
Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri."
In Hong
mengangguk-angguk. "Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak
tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti sudah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai
tadi, aku tidak punya urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya."
Kembali
nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. "Bagus... bagus
sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Aku pun tidak suka
kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknya pun tentu bukan manusia
baik-baik!"
"Subo,
Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku
tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi.
Dia bukanlah seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan
sama sekali bukan perayu wanita!" Yalima memprotes dengan suara keras dan
memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah.
In Hong
memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan
manis. Dia tersenyum mengejek. "Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk
mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw
itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia
dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?"
"Ya,
kenapa... enci? Aku tidak tahu kenapa dia pergi meninggalkan aku...?"
tanya Yalima penuh gairah mendengar ada orang yang tahu tentang urusan
kekasihnya itu.
"Dia
dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan
engkau!"
"Aihhhhh...!"
Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. "Ti... tidak benar
itu...!"
In Hong
tersenyum mengejek. "Kau bilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang
akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi
aku tidak sudi, apa lagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan
engkau."
"Aihhh...!"
Yalima kembali menjerit. "Enci... katakanlah, di mana dia? Di mana aku
dapat berjumpa dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia..." Dia
meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.
"Diamlah
dulu, anak cengeng!" Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata
seekor kelinci diancam harimau.
"Engkau
memang benar jika menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang makhluk jahat yang
membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja
melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau
menolongku, kouwnio?"
"Menolong
bagaimana?"
"Engkau
adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku
Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak,
bukan?"
"Benar!
Aku bukan boneka atau binatang yang boleh dijodoh-jodohkan di luar kehendakku
begitu saja."
"Cocok
dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak
menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan
engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu
melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui
muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar
membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw."
In Hong
mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, "Ini...
ini... bukan urusanku, kau lakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!"
"He-he-he...
tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja
seperti aku pada waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau
ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?"
"Jangan
sembarangan membuka mulut!" In Hong membentak sambil mengepal tangan.
"Heh-heh-heh,
aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi
menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka
membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk
tidak menyia-nyiakan Yalima."
Yalima
memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak
begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan mengenai
ikatan perjodohannya dengan pria yang sangat dicintanya, maka dia pun berkata
dengan suara memohon kepada In Hong,
"Enci
In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati
kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko."
Sesudah
berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk
dan berkata, "Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi
tidak ada persekutuan apa pun di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk
urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan
Yalima."
"Heh-heh-heh,
tentu saja. Aku pun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan
dijadikan bahan permainan kaum pria!"
Nenek yang
sudah bangkotan dan penuh pengalaman ini tentu saja segera bisa mengenal watak
In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apa lagi karena dia pun sudah melihat
hiasan burung hong di rambut dara itu dan dapat menduga bahwa tentu In Hong ini
ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang sudah terkenal sebagai perkumpulan
wanita pembenci pria, yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang kepandaiannya
sangat tinggi.
Maka
berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mendapat
seorang kawan seperjalanan dalam perantauannya, seorang kawan yang jauh berbeda
dengan kawannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat
Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet
ini sangat murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih sekali sehingga
membuat In Hong menjadi kagum.
Dia tidak
menjadi heran kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu yang
tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi jika sampai Cia Bun
Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan
akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, maka
perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In
Hong.
Di lain
fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong adalah seorang wanita yang
gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong
adalah seorang wanita yang sangat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela
kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di
dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini.
***************
Apa pun juga
yang terjadi di dunia ini pun terjadilah, tanpa manusia bisa mencampurinya,
mendorongnya atau mencegahnya. Apa pun juga yang terjadi dalam kehidupan
manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang
terjadi, dan apa bila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi
kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing
hitamnya, tanpa menyalahkan siapa pun, hanya menghadapinya dengan tenang dan
waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita
akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua
duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi,
melainkan bersumber di dalam diri pribadi.
Akan tetapi,
kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu
mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, pada diri
sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap
peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan
awas sambil memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa
menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karena semuanya
sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran.
Duka dan
dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa
adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan
sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!
***************
Kota
Leng-kok hanyalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap Kun
Liong, tokoh di dalam cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah
yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang kedua orang
tuanya. Di kota ini dia pun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat
bersama isterinya serta anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada saat itu telah
menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan
lincah.
Selain Kun
Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih ada dua orang
lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah toko obat
itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.
Mereka
berdua ini adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun, yang bertugas
sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang ahli
pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam Tun
dan di samping ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan.
Ada pun
orang kedua ialah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan rumah
tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah anaknya
tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong.
Toko obat
itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup. Di bagian depan
merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup luas, bahkan
di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun terpelihara
rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara sendiri
oleh Yap Mei Lan.
Mei Lan
memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya, dan tentu
saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya, biar pun pada
umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan
ayahnya masih kalah jauh.
Mei Lan
adalah seorang dara yang tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia sudah
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan
lancar dan pandai pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu
pengobatan. Sikapnya lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya
memandangnya dengan hati terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu
mendiang Lim Hwi Sian, yang lincah jenaka.
Pek Hong Ing
juga sangat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti anaknya sendiri dan setelah
belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia sudah melepaskan harapannya
untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya kepada Mei Lan makin
bertambah.
Malam itu
gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena sudah sebulan
lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar akan mala
petaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko sepi, maka
Pek Hong Ing menyuruh menutup toko supaya kedua orang pembantunya dapat pulang
tidak terlalu malam.
Mei Lan
sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang menuturkan tentang perjuangan
patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong Ing sendiri sedang menjahit
sebuah baju untuk anaknya. Biar pun Mei Lan sendiri sudah pandai menjahit, akan
tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini dan Mei Lan juga selalu
membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu.
Giam Tun
telah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak berpamit
kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang wanita
cantik yang sikapnya bagaikan orang sedang menahan kemarahan. Giam Tun adalah
seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah ikut keluarga itu selama
bertahun-tahun, maka tentu saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget
dia lalu cepat menyambut dengan sikap hormat dan ramah.
"Ahh,
kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada
di dalam..."
Mendengar
suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri gembira
ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya wanita
cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai!
"Aihhh,
enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari silakan masuk ke
dalam, enci..." Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya yang tadi
nampak berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan saat
melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya
mencari-cari ke dalam.
"Mana
suamimu? Mana Kun Liong? Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!"
Pek Hong Ing
terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-ling-pai ini keras
sekali, akan tetapi sekarang tampak jelas bahwa dia sedang marah sekali
sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang wanita yang
berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing masih
dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus.
“Mari kita
masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng." Dia memegang lengan tamunya
dan menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia tetap mengikuti
nyonya rumah itu masuk ke dalam.
Menyaksikan
sikap tamu ini, Giam Tun dan Khiu-ma menjadi terheran-heran dan kaget, juga
menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di ruangan depan
itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari ruangan dalam
tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu.
Setibanya di
dalam Hong Ing lalu bertanya, "Enci Giok Keng, engkau mengejutkan hatiku.
Apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau kelihatan marah-marah, enci? Aku...
aku… menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa Cin-ling-pai, dan
suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu terus pergi ke
sana."
"Hemmm,
jadi dia tidak berada di rumah? Kalau begitu sia-sia saja kedatanganku!"
kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin marah.
Memang
kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak peduli
akan cegahan suaminya, langsung saja sekembalinya mereka dari Wu-han dia terus
pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena kelakuan adik
kandungnya. Akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang
dicarinya itu tidak berada di rumah.
"Ada
urusan apakah, enci? Harap suka memberi tahukan kepadaku." Hong Ing bertanya,
hatinya makin tidak enak.
"Bukan
urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!"
Pada saat
itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah beberapa tahun
dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi mengenal wanita ini.
Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya. Mei Lan yang lincah
dan pandai bicara itu cepat mencela.
"Urusan
ayah adalah urusan ibu juga, kenapa ada urusan ayah yang tidak boleh diketahui
ibu? Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu padahal sebagai tamu
semestinya menghormati nyonya rumah!"
"Mei
Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!" bentak Hong Ing.
Gadis cilik
itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Ahh, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih
kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya dengar banyak dari ayah ibu
sebagai seorang pendekar wanita, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau
ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena
apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan
sebaliknya."
"Engkau
anak haram yang kurang ajar!" Giok Keng tidak dapat menahan kemarahannya
lagi.
"Enci
Giok Keng...!" Hong Ing menjerit dengan muka pucat.
Mei Lan
memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang Giok Keng,
bahkan melangkah dekat, sedikit pun tidak merasa takut. "Bibi Giok Keng,
dalam kitab-kitab aku membaca mengenai pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan
wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi
kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang? Apa maksud bibi memaki saya
sebagai anak haram?"
"Engkau
ini kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga tidak baik!
Bibimu pun manusia tidak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar dan akan
kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarnya!"
"Bibi
bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!"
"Mei
Lan...! Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian.
"Kau
berani bilang aku bohong, ya? Kau kira engkau ini apa? Engkau ini memang anak
haram. Engkau adalah anak ayahmu dari hubungan gelapnya dengan seorang wanita
dan kau bukan anak ibumu!"
"Enci...!
Kau...! Kau terlalu...!" Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju, bukan
hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus.
Akan tetapi
Giok Keng salah menduga, menduga bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka
tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang.
Mei Lan
memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar, "Ibu...! Ibu...
katakan bahwa bibi ini bohong!"
Hong Ing
terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu lalu berkata,
"Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa
menyimpan rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!" Dia marah sekali
teringat akan penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta.
"Enci...
ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini…? Mei Lan... ke sinilah, kau jangan
dengarkan dia..."
Akan tetapi
Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh. "Ibu, harap katakan,
benarkah aku bukan anak kandung ibu? Benarkah aku anak... anak haram?"
"Mei
Lan...," keluh ibunya.
"Katakanlah,
ibu! Katakan!" Anak itu menjerit-jerit.
Hong Ing
mengeluh kemudian mengangguk. "Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan,
mengapa begini...?"
Terdengar
jerit melengking dan disusul isak tangis. Mei Lan meloncat dan lari keluar dari
tempat itu.
"Mei
Lan...!" Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan
mata berapi. "Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya!
Sungguh tak pernah kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku
yang mati...!"
Dengan marah
sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok Keng. Giok
Keng menangkis lantas balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan dalam
itu dan keduanya yang sedang dikuasai kemarahan melakukan serangan-serangan
yang amat dahsyat.
"Eh, eh...
apa yang terjadi ini? Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio..." Khiu-ma
yang sama sekali tidak tahu tentang ilmu silat itu secara nekat mendekati
mereka dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai
perutnya dan wanita ini lantas terlempar dan terbanting roboh, pingsan!
"Lie-toanio,
kau benar-benar keliru. Seorang tamu mana boleh..." Baru sampai di sini
saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya sehingga dia pun
terpelanting dan pingsan pula.
"Enci
Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!" Hong Ing memaki marah,
Ia lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan
tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok
Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik
tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga
nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dalam keadaan tak sadarkan diri.
Giok Keng
mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia sudah dapat
membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di depan orang
banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan dan tidak
terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan keluar dari
rumah itu.
***************
Kalau kita
bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apa pun yang terjadi di dalam
dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh karena
itu seorang bijaksana tak akan memandang akibat, melainkan selalu waspada dan
sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan dirinya sendiri
lahir batin karena dari setiap pikiran dan badan itulah yang menjadi sebab dari
semua akibat, yang terpenting adalah mengenal diri pribadi sehingga setiap
detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita, baik gerak tubuh
mau pun kata-kata.
Yang penting
adalah caranya, bukan tujuannya, karena tujuan tak akan jauh dari caranya, atau
akibat tidak berbeda dengan sebabnya! Apa bila caranya benar, maka akibat atau
tujuan dari cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup
atau setiap gerak-gerik hati pikiran serta kata-kata perbuatan kita saat demi
saat barulah benar apa bila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul
karena nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran serta
pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri
sendiri setiap saat.
Cara yang
tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak benar pula,
ini sudah pasti, sungguh pun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah
tersembunyi di alam bawah sadar. Namun, pengertian ini bukan berarti bahwa kita
lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang benar,
apa bila demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar juga karena
mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian,
maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab menimbulkan
akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi!
Inilah apa
yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin
memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus
dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini,
sekarang ini! Setiap saat harus awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti
kata mengendalikan atau menekan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa maksud
apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja
sendiri, tanpa pamrih dari si aku.
Setiap kali
bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak adil. Kematian
orang yang kita kasihi, mala petaka yang menimpa hingga membuat kita menjadi
miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara. Kita tidak
membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada siapa
pun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak
terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan
itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!
Pada pagi
hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap Kun Liong.
Pagi-pagi sekali pendekar ini sudah memasuki kota Leng-kok dan langsung dia
menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini
tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar
mengenai mala petaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Dia
menghadap pendekar yang telah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri,
juga gurunya, kemudian dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari
kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima
Bayangan Dewa. Akan tetapi dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan
terima kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan
pribadi dan sekarang Cia Bun Houw telah pergi, bersama dengan empat orang murid
kepala Cin-ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar.
Kun Liong
maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang hebat dan
menghibur pun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-ling-pai,
lalu berpamit dan semenjak saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak.
Lebih-lebih lagi malam tadi, dia merasa gelisah sekali sehingga malam-malam pun
dia tak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok.
Keadaan
Cin-ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga, maka dia ingin lekas-lekas
berjumpa dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan
dapat meringankan perasaannya apa bila sedang terhimpit oleh keadaan. Orang itu
adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta.
Kun Liong
terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan toko obatnya
tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika melihat kain
putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati. Lebih-lebih
lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita yang
dikenalnya sebagai suara Khiu-ma!
Jantungnya
bagaikan berhenti berdetak, kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan
dia berjalan menghampiri pintu rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung.
Begitu melihat dirinya, beberapa orang tetangga yang berada di depan kontan
menangis tersedu-sedu, wanita-wanita sesenggukan dan tidak ada yang berani
memandangnya.
"Ada
apa...?" Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri
bagaikan tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelan
kecemasan yang mengerikan.
Dia
melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis begitu
melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga sendiri,
menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa mengeluarkan suara.
"Ada
apa...?" Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar keras
sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang
bukan-bukan.
Tidak ada
seorang pun menjawab, akan tetapi semua mata ditujukan ke arah kamarnya dari
mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi suara keluh
kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun.
"Apa
yang terjadi...?" Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan
tiba-tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu.

Mukanya
pucat sekali hingga seperti mayat dan matanya terbelalak memandang ke atas
pembaringan di kamar itu, seakan-akan dia tidak mau percaya akan apa yang
dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, kemudian digosok-gosoknya dengan
kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak
berobah.
"Taihiap...
uhhuu-hu-huuuk...!" Giam Tun menoleh dan hanya dapat mengeluarkan seruan
demikian, karena dia sudah berlutut dan menangis bergulingan diatas lantai.
Khiu-ma juga menjerit.
"Apa
ini...? Apa ini...? Bagaimana...? Kenapa...?" Kun Liong semakin
terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lantas
ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.
Ini tentu
mimpi buruk, bantahnya. Tidak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya
tercinta, sekarang rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir
terkatup dan pakaian penuh darah yang sudah mengental. Tidak mungkin!
Akan tetapi
tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan, berlutut di
pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi isterinya.
Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api, ditatapnya
lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan pedang.
Tiba-tiba
dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu terjungkal, ada
yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Tubuh
pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk mengumpulkan
tenaga, kemudian dia memandang kembali, dirangkulnya mayat itu dan kini dia
mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan
di bawah pembaringan!
Gegerlah
kamar itu. Kegegeran dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan ada
pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam kamar
itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah
isterinya, dan dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus.
Giam Tun
yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh terguling dan
menggigil, kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli pengobatan dia tahu
bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat. Dengan bercucuran air
mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-gosokkan obat yang
berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang memandang dengan
terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak pilu.
Kun Liong
berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar. Dan cepat
dia bangkit duduk. "Tidak mungkin! Hong Ing...!"
Dia menoleh
ke pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya. "Tidak
mungkin! Sudah gilakah aku? Ehh, Giam-lopek, sudah gilakah aku? Hong Ing mati?
Tidak mungkin...!" Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka
di ulu hati itu, luka yang menembus sampai ke punggung!
"Hong
Ing... bagaimana ini...?"
"Taihiap....
harap tenangkan hati, taihiap...," Giam Tun berkata dengan suara gentar.
"Apa...?
Tenang...? Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian berdua dengan
isteriku!"
Giam Tun
segera memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka semua menanti
di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis.
Sesudah
semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi muka yang
sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya, sambil bercucuran air
mata.
"Hong
Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini...? Mengapa...?"
Orang-orang
yang berada di luar hanya mendengar suara pendekar itu yang puluhan kali
mengajukan pertanyaan ‘mengapa’, dan suara ini makin lama semakin parau
bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis.
Dengan
pengerahan kekuatan yang sangat hebat, barulah Kun Liong berhasil menguasai
dirinya. Sesudah lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya, kemudian
dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup!
Wajahnya
menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa cahaya
kehidupan, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri yang hebat dan dia seperti
orang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong menatap
jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ.
"Taihiap...!"
Giam Tun berseru dan maju berlutut.
Seruan ini
menyadarkannya. Dia cepat mengusap air matanya dengan punggung kepalan kedua
tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma segera
menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi
itu.
"Paman
Giam, Khiu-ma, ceritakanlah...! Tapi lebih dulu... mengapa aku tidak melihat
Mei Lan menangisi jenazah ibunya?" Berkata demikian, air matanya kembali
bercucuran.
Dengan suara
meratap tangis, Khiu-ma berkata, "Siocia juga telah pergi sejak malam
tadi, entah ke mana dan entah mengapa... tetapi tentu dia yang menyebabkannya,
dialah yang membunuhnya... dia wanita yang tidak berperi kemanusiaan
itu..."
"Diamlah
Khiu-ma!" Giam Tun membentak wanita yang mulai histeris itu, maka Khiu-ma
menundukkan mukanya, hanya masih terus terisak-isak.
"Kami
berdua juga masih bingung memikirkannya, taihiap." Giam Tun mulai
bercerita dan suaranya sudah tenang setelah dia melihat majikannya juga mulai
tenang kembali.
"Ceritakan
yang jelas semenjak semula, apa yang sudah terjadi. Dan saya minta dengan
hormat kepada semua saudara sudilah menanti di ruangan depan agar saya dapat
bicara dengan paman Giam Tun."
Para
tetangga itu mengundurkan diri, keluar dan memberi kesempatan kepada pendekar
itu untuk mendengarkan penuturan Giam Tun karena mereka semua sudah mendengar
persoalan itu.
Dengan
panjang lebar dan jelas Giam Tun lalu menuturkan tentang kunjungan nyonya Lie
Kong Tek, puteri dari ketua Cin-ling-pai malam tadi ketika baru saja toko
ditutup.
"Kedatangannya
aneh sekali, Taihiap. Begitu datang dia marah-marah. Nyonya... ehhh…,
mendiang..." Giam Tun merasa lehernya tercekik saat menceritakan nyonya
majikannya.
"Paman
Giam, kita harus dapat menghadapi kenyataan. Sekarang isteriku telah mati, kau
bersikaplah tenang agar ceritamu jelas," Kun Liong berkata dengan suara
lirih.
"Maaf,
Taihiap." Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. "Nyonya
keluar menyambutnya dengan ramah sambil menyabarkannya, bahkan menariknya untuk
masuk ke dalam. Lie-toanio itu datang-datang langsung menanyakan Taihiap dengan
cara yang kasar sekali. Sesudah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma
tidak berani ikut masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi tidak
terdengar jelas apa percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut
seperti orang lagi bertengkar. Kami masih belum berani masuk, namun kami
mendengar bahwa yang bertengkar itu adalah suara Lie-toanio dan suara siocia.
Kemudian, kami berdua melihat siocia berlari keluar sambil menangis. Kami
memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia lari cepat sekali dan lenyap di dalam
kegelapan malam. Kami bingung, lalu mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua
kemudian memasuki ruangan dalam dan kami melihat nyonya sedang bertempur dengan
Lie-toanio!"
Kun Liong
mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa sebetulnya
yang terjadi? Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya bertempur
dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya!
"Khiu-ma
berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-ma roboh
pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi saya pun dipukulnya hingga saya
tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih dulu
dari pada aku, ceritakanlah."
Dengan suara
megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. "Saya... saya sadar
dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya rebah
di lantai dan keadaan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya,
saya bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai
pula... mandi darah..."
Kun Liong
memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi, dan tiba-tiba,
seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring. "Dia
yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!"
"Benar,
siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!" Giam Tun berkata keras.
"Diam!"
Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap keras
terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. "Maaf, paman Giam dan
Khiu-ma... eh, bagaimana kalian bisa menduga bahwa nyonya tewas oleh
Lie-toanio?" Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada
orang-orang dewasa yang lebih mengerti.
Memang pada
saat itu Kun Liong merasa bingung dan bodoh. Segalanya berjalan begitu tidak
masuk akal sungguh pun penuturan itu keluar dari mulut dua orang pembantunya
yang tak mungkin berani berbohong. Baru membayangkan isterinya cekcok dengan
Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercayanya, apa lagi isterinya
itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biar pun dia dapat menduga bahwa andai
kata bertanding sekali pun isterinya akan kalah setingkat, akan tetapi siapa
dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya?
“Taihiap,
tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan nyonya adalah
Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar semenjak datang. Siapa lagi kalau bukan
dia yang melakukan pembunuhan itu?"
"Apa
lagi ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya
bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita sungguh pun mereka
tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang melihat bayangan
wanita meloncat ke atas genteng seperti sedang tergesa-gesa. Sudah jelas bahwa
nyonya keji itulah yang membunuh..." Khiu-ma memperkuat keterangan Giam
Tun.
Kun Liong
menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya dan
bertubi-tubi datangnya mala petaka itu. Isterinya yang tercinta mati terbunuh!
Anaknya minggat dan tidak dapat ditemukan ketika dicari-cari. Dan menurut
kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok Keng!
Kekuatan
batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar isterinya, merenungi
wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang linglung. Segala pertanyaan
dua orang pembantunya yang mengurus perawatan jenazah, dibantu oleh para
tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja.
Semalam
suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantiknya, demikian
tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan cahaya
kehidupan. Tidak teringat olehnya segala sesuatu, baik anaknya, mau pun
pembunuh isterinya, atau apa pun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya
sudah mati! Cahaya hidupnya sudah padam! Sumber kebahagiaannya sudah kering!
Semenjak
mendengarkan cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan muka tunduk
di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya akan dikuburkan, Kun Liong
tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Semua pengurusan mengenai penguburan
dan penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang
pembantu itu.
Kun Liong
menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosongnya dia melihat betapa peti
jenazah isterinya dimasukkan ke dalam lubang, kemudian diuruk dengan tanah sehingga
hanya nampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah pulang
Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya.
"Taihiap,
semua sudah selesai, marilah kita pulang, Taihiap...," kata Giam Tun
membujuk tuannya.
Khiu-ma hanya
mengusap air matanya, merasa terharu dan kasihan sekali kepada Kun Liong yang
begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan matanya kosong. Dia bagaikan mayat
hidup saja.
Betapa pun
kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak pernah menjawab, dia hanya
menggelengkan kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka
mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk.
Kini Kun
Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas tanah dan sampai
berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah di sana tampak olehnya
wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, bahkan
kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang
mencipta bermacam bentuk yang aneh.
Kemudian,
pandangan matanya yang sudah tidak lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh
kedukaan yang begitu mendalam, sehingga seakan-akan terlepas dari penguasaan
dirinya itu seperti melihat isterinya sedang bertanding dengan seorang wanita
di antara awan putih, kemudian isterinya terpelanting roboh.
"Ouhhh...!"
Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu lenyap
tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, sekarang dia melihat bayangan
seorang wanita yang tidak jelas siapa, menggunakan pedang menusuk dada
isterinya yang masih rebah terlentang.
"Heiiiii...!"
Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seakan-akan dia hendak terbang ke
angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting kembali ke atas
tanah.
"Hong
Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang telah membunuhmu
dan mengapa? Benarkah dia Giok Keng...?" dia mengeluh sambil menubruk
gundukan tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai
hujan turun!
Duhai...
berat nian
derita hidup
penuh sengsara
ditinggal
pergi orang tercinta
seorang diri
sunyi dan hampa.
Ke mana
harus mencarimu, kekasih?
bila kita
dapat saling bersua?
hidup tanpa
cinta apa artinya?
dunia tanpa
matahari
gelap
gulita!
Malam yang
gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di atas tanah
pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi sangat
mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang
orang-orang mati yang hidup lagi, tentang roh penasaran yang berkeliaran,
rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayalan
manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati.
Kesengsaraan
akan selalu ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi, karena segala
bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buah pikiran kita sendiri!
Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang direka-reka
oleh pikiran.
Kesengsaraan
timbul dari perasaan iba diri, yaitu merasa kasihan terhadap diri sendiri,
merasa betapa dirinya paling celaka. Kalau kita bebas dari penonjolan keakuan,
bebas dari perasan iba diri, maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri
kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan bukan lagi merupakan kesengsaraan.
Yang sengsara itu bukan keadaannya melainkan hatinya, dan ini merupakan
permainan pikiran kita sendiri.
Orang akan
berduka apa bila sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang
ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni ketidak senangan, meremas-remas hati, dan
perasaannya sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada
orang atau benda yang kita sayang, dan merasa sengsara.
***************
Malam gelap
pekat dan hujan turun demikian deras diterima sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya
batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala
sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. Di dalam malam gelap dan hujan
lebat pun sebenarnya terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan
yang tak terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang.
Sunyi
melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantu pun bersembunyi dan
mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya suara hujan
yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang syahdu.
Kalau pada
saat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu dia akan lari
tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat cahaya kecil
bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama makin
mendekati tanah kuburan itu. Cahaya ini makin dekat dan kini tampak bayangan
hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya.
Dari
pinggang ke bawah seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan,
selangkah demi selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa,
membesar dan bulat!
Segala macam
bentuk setan hanya ada kalau diadakan oleh pikiran kita sendiri. Memang banyak
pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan tetapi sudah amat pasti
bahwa yang dilihatnya itu tentu setan-setan seperti yang pernah dikenalnya,
yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar atau dongeng-dongeng
orang tua. Pendek kata, tentu yang dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah
ada di dalam ingatannya!
Pikiran bisa
mempengaruhi semua anggota badan, terutama sekali mata dan telinga. Bila
pikiran telah mencekam kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang
amat menakutkan dan mengerikan, maka melihat bayangan pohon pun telah bisa
menciptakan gambaran setan-setan itu, mendengar suara burung malam pun sudah
bisa menciptakan gambaran yang dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu,
kita harus awas dan sadar terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang
pikiran yang lincah dan cerdik bagaikan monyet itu.
Setelah
dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain adalah
kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah
lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan tubuh menggigil karena
kedinginan, juga oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah
perlahan-lahan memasuki pintu gerbang tanah pekuburan.
Malam terlalu
gelap ditambah kabut air hujan, maka penerangan lentera itu belum cukup kuat
sinarnya untuk menembus kegelapan. Hanya karena hafal saja maka kakinya dapat
melangkah satu-satu menuju ke tempat di mana nyonya majikannya dikubur sore
tadi.
Bulu
tengkuknya meremang. Hati siapa yang tak akan ngeri memasuki tanah pekuburan
sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur? Akan tetapi, rasa hutang
budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat kakek
ini nekat dan memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam
hujan itu belum juga pulang.
"Taihiap...!"
Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa suara hujan sehingga
dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang keluar dari dalam satu
di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu.
Giam Tun
memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban padahal sinar
lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas gundukan
tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk dia
melangkah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya
menggigil.
Kun Liong
berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa bagaikan sedang
berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia, tersenyum
sambil memandang padanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung kasih
sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya.
Akan tetapi
tiba-tiba air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat
isterinya hanyut dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang
mendekati, semakin lama isterinya makin jauh.
"Hong
Ing...!" dia menjerit.
"Suamiku...
kau cari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!"
Hanya suara
teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang kini terdengar. Dia
tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam perahu.
"Taihiap...
bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus mencari nona Mei
Lan...!"
Kun Liong
menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar lentera itu dan dia
melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh rasa iba dan yang
berkata dengan suara penuh permohonan,
"Pulanglah,
Taihiap, nona Mei Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!"
"Hong
Ing... Mei Lan...!" Kun Liong mengeluh, teringat akan mimpinya dan dia
lalu bangkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan kotor
penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur.
Kini dia
sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kasih kepada Giam Tun. Kakek ini
biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai mati pun dia tidak akan
berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan hujan
itu.
Pernah Hong
Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan. Malam-malam dengan
menggunakan kepandaiannya, Hong Ing meloncat ke atas genteng dan memakai
kerudung putih menakut-nakuti Giam Tun sehingga kakek ini hampir
terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di
waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil.
Akan tetapi
kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya. Kun Liong
merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai timbul.
"Paman
Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam pertama yang
gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia, bukan?"
Giam Tun
mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan tetapi
sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya.
"Sudahlah,
paman. Sudah terlalu berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku sendiri,
sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa, biar aku
malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan yang
lain-lain."
Giam Tun
mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya merasa lega juga. Biar pun
keadaan majikannya begitu menyedihkan dan mengharukan, akan tetapi suara serta
kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu
telah sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya.
"Apa
Taihiap tidak perlu ganti pakaian? Ini sudah saya bawakan... dan makanan...
sejak dua hari yang lalu Taihiap belum makan atau minum apa-apa..."
Dengan
jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi dikempitnya.
Kun Liong
menggelengkan kepalanya. "Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya berganti
pakaian sekarang? Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih juga akan
kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan
makanan atau minuman? Pulanglah dan biarkan aku sendirian untuk menghadapi dan
merenung segala kepahitan hidup ini, paman."
Giam Tun
memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah dan tidak mampu lagi
mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua dari pada
biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu.
Kakek itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi
berhenti lagi, menengok dan berkata,
"Apakah
perlu lentera ini saya tinggalkan di sini, Taihiap?"
"Bawa
pergi saja, paman. Sinarnya tak akan mampu menerangi kegelapan hatiku, malah
menyilaukan mata saja."
Bibir kakek
itu bergerak-gerak, dia sendiri tidak tahu apa yang hendak dikatakan lalu dia
pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan punggung sedikit
membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang kuburan yang dari
jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang kedua lengannya
dan sangat mengerikan kalau tampak akibat tertimpa sinar kilat.
Setelah
kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin sekali. Dia baru
sadar betapa belakangan ini dia telah mengabaikan kewajibannya yang terutama
sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah membiarkan
dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlampau menenggelamkan
diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia kemudian duduk
bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sinkang menghangatkan tubuhnya.
Setelah
tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai mempergunakan mata batinnya untuk
memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang baru saja
menimpa dirinya. Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan
pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba
diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan
dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya.
Dia tidak
perlu menangisi kematian Hong Ing. Mengapa? Kini Hong Ing sudah terbebas dari
segala ikatan duniawi dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat dan
kesengsaraannya yang panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang
demikian penuh damai dan ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya.
Mungkin
sudah sepatutnya kalau Hong Ing di ‘sana’ menangisi dia karena keadaannya yang
sengsara itu. Akan tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak
terseret lagi oleh arus kesengsaraan duniawi lagi.
Setelah sadar
akan ini, yang tinggal hanya penyesalan dan penasaran. Mengapa isterinya yang
dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu sampai dibunuh
orang? Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak mungkin
orang-orang seperti kedua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun, akan
membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan!
Kini lain
perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang bekerja keras.
Dia meloncat dan mengepal tinjunya.
"Giok
Keng, kau perempuan keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!"
"Darrrrrrr...!"
Kilat
menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti. Sekejap mata tempat
itu menjadi terang menyilaukan mata sehingga Kun Liong terkejut, tersadar
kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan kedua
tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya.
Terbayanglah
dia akan wajah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah beserta ibu Giok Keng,
terbayang dia akan wajah Giok Keng pada waktu gadis dulu, terbayang pula akan
semua hal, hubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan
ancaman untuk membunuh Giok Keng!
“Bodoh…!”
Dia memaki diri sendiri.
Dia tidak
boleh menurutkan nafsu yang didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus
menyelidiki penyebabnya, tidak terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang
hanya akibat. Apa bila dia menuruti nafsunya, maka peristiwa yang menimpa
dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk menimbulkan akibat lain, misalnya dia
membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu akan menjadi sebab pula dari urusan
yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-tumpuk dan tiada habisnya.
Tidak, dia
harus bisa melihat kenyataan. Isterinya mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi
tanpa diketahui sebabnya pula. Dan hanya Giok Keng satu-satunya orang yang
kiranya dapat dijadikan terdakwa. Kalau dia mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan
wanita itu mungkin akan menyalakan api kedukaan dan dendam di hatinya dan dia
tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi.
Tidak, dia
tidak boleh melakukan hal yang sembrono. Dia harus memikirkan dengan baik dan
tidak bertindak ceroboh. Carilah Mei Lan, demikian pesan isterinya dalam mimpi
pada waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang terpenting memang mencari Mei Lan.
Hong Ing
sudah mati! Apa pun yang akan dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah
kenyataan itu, bahkan mungkin dendam kebencian akan menimbulkan hal-hal baru
yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia takkan tinggal diam, dia harus berusaha
untuk menangkap pembunuh isterinya. Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan
karena dendam, melainkan karena memang sudah sepatutnya bila pembunuhan itu
diselidiki sebab-sebabnya dan si pembunuh harus diadili sebagaimana layaknya!
Terutama sekali, ‘pesan’ isterinya, Mei Lan harus ditemukan.
***************
"Go-bi
Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?" In Hong membentak dengan suara
penuh kemarahan kepada nenek itu. Pada pagi hari itu mereka berdiri saling
berhadapan di luar kota Leng-kok, dan Yalima hanya memandang mereka dengan
bingung.
Malam tadi
Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan In Hong beserta
Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun Liong
dengan maksud hendak membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai.
Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula
karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing,
bekas muridnya, mereka lalu berpencar sesudah berjanji pada keesokan harinya
akan bertemu di luar kota di mana terdapat kuil itu.
Ketika In
Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil, serta merta dia
menegur dengan suara ketus.
"Heh-heh-heh,
nona In Hong! Nanti dulu, aku justru mau bertanya kepadamu mengapa engkau
membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan, kenapa engkau membunuh dia dan
mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?"
"Nenek
iblis! Siapa membunuh dia? Tentu kau yang membunuh kemudian menjatuhkan fitnah
kepadaku!"
"Ehh,
bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak sudi
menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang ke rumah kakakmu dan melihat dari
atas genteng betapa bekas muridku itu sudah menggeletak dengan bekas tusukan
pedang di dada, lalu aku mencari-carimu."
"Hemmm,
mengapa pula aku membunuhnya? Aku pun datang sudah melihat dia tewas. Aku tidak
mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula aku
harus membunuh?"
"Huh,
dan kau kira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau
menuduh aku yang membunuh?"
"Karena
engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi
isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang
lain."
"Dan
kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan
putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekcok lebih dahulu kemudian kau
membunuhnya dengan darah dingin. Kau kira aku tidak mengenal orang yang
berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua
itu menangis dan berkata, 'Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi yang
dia maksudkan kalau bukan engkau?"
"Go-bi
Sin-kouw, berani kau menuduh aku?!"
"Yap In
Hong, engkau berani menghinaku?!"
Kedua orang
itu sudah saling melotot, namun pada saat itu Yalima melangkah maju dan
berkata, "Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok
sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang
terpenting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan Enci dengan dia pun
akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia, bukan?"
Go-bi
Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini.
Nona In Hong, kenapa kita berdua seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh,
engkau pun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja
kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya."
"Aku
tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Sebab itu kita
berpisah di sini saja."
"Eh-ehh?
Apakah engkau marah setelah terjadi peristiwa pembunuhan itu?"
"Bukan
urusanku!"
"Nah,
kalau begitu, benar juga kata muridku tadi, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia
Bun Houw sendiri sehingga engkau dapat langsung memutuskan ikatan jodoh sambil
sekalian memaksanya untuk mengawini muridku ini. Di lereng gunung itu aku
mengenal seseorang yang menjadi sahabat baikku, seorang tokoh besar. Mari kita
mengunjungi dia karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia
persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun
Houw. Bagaimana?"
Yap In Hong
berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan
berkata, "Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu
saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko."
In Hong menghela
napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!
"Sin-kouw,
engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat
muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?" katanya.
"Heh-heh-heh,
orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian soso-mu (kakak
iparmu) dan engkau pun tidak berduka, bukan? Sudah, tak perlu kita saling
tuduh. Katakanlah bahwa mungkin salah seorang di antara kita yang membunuh, dan
mungkin juga keduanya tidak."
Mereka
meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk okh nenek itu. Secara
diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa
tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka
yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia
tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subo-nya
yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.
Gunung yang
mereka tuju itu adalah sebuah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut
Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang
berupa batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger dan
kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya seperti batu
kumala.
Puncak ini
menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan
diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang dalam usaha ini ditemani
oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. Memang
sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, Toat-beng-kauw Bu Sit pernah
tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biar pun pada saat
itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat
ribut, hanya tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka meski pun
Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun
Liong tidak pernah mengenalnya.
Kini tempat
itu dipilih oleh Toat-beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan para
tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi
Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan
dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biar pun
merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I
Siankouw maka mereka undang juga.
Tentu saja
Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi
saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama
Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang memiliki ilmu
tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama
julukan Bouw Thaisu.
Kakek ini
adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang dulu
telah tewas saat bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong sehingga dia pun merasa
tidak suka terhadap keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak
berani, karena itu sesudah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai
dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera ikut
mengajukan diri...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment