Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 07
IN HONG
memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang berjual beli.
Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur dan
buah-buahan, terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga
baunya amis sekali sebab pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum
nelayan di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota
pelabuhan sungai besar itu.
Mungkin
sudah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka senang sekali untuk
mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! Agaknya In Hong
pun tidak terkecuali. Dara ini suka sekali memasuki pasar untuk sekedar
melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik
hatinya. Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan
kebetulan dia melewati sebuah pasar yang ramai, ia merasa tertarik lalu
memasuki pasar itu, berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian
besar adalah wanita-wanita berbelanja.
Sesudah
membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In Hong lalu
memasuki bagian perdagangan ikan yang sangat ramai dan penuh orang. Kiranya, di
situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar
dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong
banyak ikan dan akan dibawa keluar kota.
Ratusan
keranjang ikan ditimbang dan ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk
dengan urusan mencari untung sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In
Hong pun tidak begitu menarik perhatian secara menyolok.
Tiba-tiba In
Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua bertopi, yang
menyelinap di antara banyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan dalam
keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-orang dan
mengikuti semua gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang matanya.
Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu.
Seorang
laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang saudagar ikan yang kaya,
agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di
sana, mengalahkan pedagang lainnya karena dia berani membayar lebih tinggi,
berdiri di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih
berkuasa dibandingkan dengan orang lain, dan memang di pasar itu dia berkuasa
dengan uangnya.
Laki-laki
tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu dan
dia lalu bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si
pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup
seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tiba-tiba saja
tangannya sudah tersembul di atas kantong baju si pedagang gendut!
In Hong
tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena waktu itu dia sedang makan apel yang
manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu salah
masuk. Sambil memandang dan terus mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In
Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menunggu sampai
tangan yang seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang
gendut, kemudian tiba-tiba saja dia menyentil dengan jari tangannya.
"Tukk...!
Auuhhh...!" Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan suaranya
dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang menjadi
merah dan terasa panas dan nyeri sekali.
Semua orang
menengok, akan tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi yang
terbatuk-batuk, menutupi mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang
amis itu, maka dia tidak lagi menjadi perhatian orang.
Kakek
bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke kanan
dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak dan
dia tiba-tiba tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari
menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan
kini lari mendorong orang ke kanan kiri.
Entah
bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja hati In Hong
terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu.
"Hemmm...
si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!" In Hong mengejek.
"Ssstttt...
lihiap, mari kita bicara di luar pasar...," kakek itu mendahului.
Ketika
melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biar pun hatinya merasa geli, In
Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In
Hong sambil menghela napas panjang.
"Wah,
aku telah gagal total! Tahukah Lihiap apa yang berada di kantongnya itu?
Seuntai kalung mutiara yang sangat mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk
diberikan kepada isteri mudanya yang entah keberapa."
In Hong
menggelengkan kepala. "Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang yang
cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapatkan
penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?"
"Tentu
saja bisa, akan tetapi, ahhh... seninya itu! Lihiap tidak dapat merasakan
alangkah nikmat rasa hatiku pada waktu mencopet. Tegang, penuh harapan, penuh
hal yang tidak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh
tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan
yang penuh getaran perasaan. Wah, pendeknya... ada seninya! Tetapi, sekali ini
aku memang butuh sekali, butuh uang..."
"Untuk
memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?" In Hong
menggoda.
Pencopet
lihai itu menggeleng kepala. "Ahh, bukan... bukan...! Aku tidak pernah
beristeri dan tidak punya anak..." Dia teringat dan menyambung cepat,
"memang kadang-kadang perlu juga membohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan
tetapi sekali ini benar-benar Lihiap merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang
untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun
Phoa-taihiap."
"Hemmm,
Phoa-taihiap?" In Hong tidak mengerti.
"Ahh,
benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal oleh semua
golongan, baik dari golongan putih mau pun golongan hitam. Tentu kedua golongan
akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apa lagi setelah
terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-ling-pai
dan fihak Lima Bayangan Dewa, atau setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan
hadir pula di Wu-han."
"Wu-han?"
"Aihhh,
aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum
berpengalaman apa-apa. Sesudah aku berpisah dari Lihiap dan kutanya-tanyakan,
tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang mengenal nama Lihiap, padahal kepandaian
Lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It, seorang tokoh
Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga dua orang
puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap sedang merayakan
hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan, agaknya
di samping ingin mempererat perkenalan, juga hendak mencarikan jodoh bagi kedua
orang puteranya, demikian agaknya. Ini kesempatan baik bagi Lihiap, mari
bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota
Wu-han."
In Hong
mengerutkan sepasang alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik. "Akan tetapi
aku tidak diundangnya."
"Aku
pun tidak, Lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan? Sudah menjadi lazim dalam
perayaan seorang tokoh, maka kaum kang-ouw akan berdatangan dan membawa sekedar
sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!"
"Paman
Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimana kebiasaan itu
dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan itu?"
"Lihiap,
mari kita berbicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya enak
sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap, lebih
enak dari pada berdiri begini, bukan?"
In Hong
mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik, "Bekal
uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?"
In Hong
memandang tajam dan mengangguk.
"Syukurlah,
sebab aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali," si pencopet berkata
menyeringai. In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai dan gembira kalau dekat
dengan tukang copet ini.
Mereka
kemudian makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong
mendengarkan penuturan tukang copet itu.
"Wah,
banyak yang terjadi sejak kita berpisah, nona," katanya, kadang-kadang
menyebut siocia (nona) dan kadang kala menyebut lihiap (pendekar wanita).
"Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya
ingin memperkuat kedudukannya. Mereka bahkan tidak nampak berada di sarang
mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan.
Dan belum terdengar ada gerakan apa pun dari Cin-ling-pai! Namun keadaan dunia
kang-ouw sangat panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang
hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan
hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk
melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang bila tidak bertemu dengan tokoh-tokoh
dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah ikut pergi bersamaku, Lihiap, asal
engkau suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian
baru dan barang hantaran."
"Dengan
mencuri?"
Can Pouw
menggeleng sambil menyeringai. "Hanya mempergunakan seni memindahkan
barang orang yang lengah."
In Hong
tersenyum. "Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi
dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau
dilarang mencopet atau mencuri, atau hendak kau namakan dengan istilah apa pun.
Aku mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang
hantaran."
Muka Jeng-ci
Sin-touw Can Pouw menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar. "Bagus...!
Aku gembira sekali, Lihiap! Soal berhenti bekerja sementara waktu tidak
mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan Lihiap, dan hadir di sana
bersama Lihiap, merupakan kehormatan besar sekali bagiku!"
Jeng-ci
Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup membujang. Mudah
mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai, akan tetapi
mudah pula membuangnya. Sebenarnya dia sudah merasa bosan dengan segala macam
kesenangan, dan kebiasannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi
kegatalan tangannya saja. Bahkan sering kali, hasil dari pencuriannya itu dia
bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap
tinggal miskin.
Kini,
bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat hebat dan dia sudah
menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang sekali seperti rasa
sayang seorang ayah terhadap anaknya. Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis
ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap dunia, kecantikannya
yang luar biasa atau kepandaiannya yang sangat tinggi itu. Pendek kata, Can
Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini, apa lagi kini
mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi perayaan
bersama.
Jeng-ci
Sin-touw Can Pouw selain memiliki ‘seribu jari tangan’ juga mempunyai ketajaman
pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping hubungannya memang banyak
dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Karena itu segala keterangan
yang dia berikan kepada In Hong tentang Phoa Lee It di Wu-han itu tidak banyak
selisihnya dengan kenyataan.
Phoa Lee It
adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan terkenal. Sudah
belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-kiok (pengawal
barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng (Tiga Pendekar
Go-bi) dan karena hubungannya amat erat dengan semua fihak di dunia kang-ouw,
baik dari kalangan pendekar mau pun golongan penjahat, maka tidak ada yang mau
mengganggu selama dia menjalankan pekerjaannya ini.
Kalangan
penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain
amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang
memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada
piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka tangannya
kepada para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka dia pun terkenal
sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa.
Seperti yang
telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-kiam dari
Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri tujuh anggota Cap-it Ho-han sudah
menggegerkan dunia kang-ouw. Tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai,
namun ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa!
Melihat
ketegangan dan bahaya perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw, Phoa Lee
It sendiri menjadi cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan
perayaan ulang tahun perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun)
lamanya dengan selamat. Dia lalu mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim
(para perampok) baik dengan undangan khusus atau dengan undangan umum untuk
hadir dalam perayaan itu.
Di samping
untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya yang
tentu saja akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu ini
ingin sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia
persilatan dengan maksud hendak mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya
yang sudah lebih dari dewasa.
Phoa Lee It
adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang sudah mewarisi ilmu
kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini dua orang puteranya itulah yang
mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga.
Yang pertama
bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh
tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong,
sikapnya kasar, terbuka dan jujur.
Ada pun
putera ke dua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus
seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, sangat lihai bermain silat
pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan
agak pendiam.
Pada hari
yang ditentukan untuk perayaan itu, semenjak pagi sekali kedua orang pemuda itu
sudah menyambut kedatangan para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka
menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya
para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat
teratas di dekat tempat duduk untuk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan
piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang
diatur di atas meja.
Dan tepat
seperti telah diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan
mereka bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu,
akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh
dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia
kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu
juga telah mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!
Jeng-ci
Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akalnya itu, pagi-pagi sudah
mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya
yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya
membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya.
Can Pouw
yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh
In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, "Bagus sekali! Tanpa
kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu,
Lihiap."
"Hemm,
aku tak ingin membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak," In Hong
berkata. "Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka
memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain,
paman."
"Baik,
baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, Lihiap, mari kita
berangkat."
Phoa Kim Cai
dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda
itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. "Selamat pagi, Sin-touw,"
Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. "Kami girang sekali menerima
kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini,
Sin-touw!"
Can Pouw
tersenyum dan menoleh kepada In Hong. "Lihat, betapa gagah dan ramahnya
putera-putera tuan rumah, Lihiap!"
In Hong
hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada
dan memandang tak acuh.
"Sin-touw,
harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!" tiba-tiba Phoa Kim
Cai berkata.
"Ha-ha-ha,
dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera
pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui
kongcu."
Kembali In
Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat
dan halus, "Silakan siocia duduk di dalam!"
In Hong
hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya
dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topi
di atas kepalanya agak miring sehingga dia kelihatan lucu sekali. In Hong
bersikap dingin pada saat tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu
memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih
gagah dan tampan, aku tidak peduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang
melihat pandang mata mereka itu.
"Paman,
engkau masih saja menyebutku lihiap," In Hong berbisik.
Mereka tadi
sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet
itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda
tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apa lagi
pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu.
Phoa Lee It
menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, maka
dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang
amat cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai
tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa
bersama tamu-tamu lain.
In Hong
menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw lantas mengomel
panjang pendek. "Boleh saja dia suruh aku duduk di sini, akan tetapi
engkau? Ruangan kehormatan itu pun masih kurang layak bagimu!"
"Ssstttt...
paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk di sana," In
Hong menegur dengan hati geli. "Ehh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan
kita?"
Can Pouw
lalu mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. "Kalau kita tidak
diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!"
"Hushhh,
paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat kau berikan barang
sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang tentu menyerahkan
bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah semenjak tadi
memandang ke arah kita saja."
Ucapan gadis
ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi
memandang ke arah mereka tapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan,
melainkan karena mereka merasa kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara
cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.
Sambil
bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar
suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian.
Semua orang memandang penuh perhatian pada saat laki-laki dan wanita itu
memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera
tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.
Wanita itu
cantik luar biasa, cantik dan bersikap gagah penuh semangat dan agak angkuh
memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan
menyambar-nyambar penuh selidik. Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang
yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan potongan
yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung
sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, akan
tetapi bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja.
Di
sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tinggi besar bagaikan tokoh Kwan
Kong, sikapnya pendiam, wajahnya tampan, tampan dan ganteng, pakaiannya
sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan
gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang
gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan nama besar.
"Mereka
siapa...?" In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw pada waktu
rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga
penerima sumbangan.
"Engkau
tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali
belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itu ialah puteri ketua
Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main, ada pun pria itu adalah suaminya,
seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini,
yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung
tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka
keluarga Cin-ling-pai."
In Hong
tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian.
Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya
dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik
dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia lalu mengingat-ingat dan akhirnya
dapat teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!
"Siapa
namanya...?" Dia berbisik lagi.
"Nama
siapa? Ahh, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie,
akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan
ilmunya memainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya
sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!"
Phoa Lee It
cepat-cepat menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh
penghormatan, membungkuk-bungkuk kemudian mempersilakan mereka duduk di tempat
kehormatan!
"Huh,
menjilat-jilat...!" In Hong berkata lirih tanpa disengaja.
"Hemmm...
memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!" Malaikat Copet itu lalu membawa
bungkusan hadiahnya dan melangkah.
"Ke
mana kau?"
"Menyerahkan
hadiah, kau tunggu di sini!" Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong.
Gadis ini
menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia
dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia
mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain
begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua ‘dilempar’ ke tempat
tamu biasa.
Dia lalu
melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah
dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara
hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan
para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama
pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian,
sambil tersenyum-senyum ramah dia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu,
bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan
kehormatan di atas!
Phoa Lee It
memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua
yang juga duduk di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik
yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It
mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang
tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah.
Nenek itu
bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh dari Go-bi-san yang terkenal
sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh
puluh tahun lebih, tubuhnya sudah sedikit bongkok, pakaiannya dari sutera serba
hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya bengis
penuh keriput dan kedua matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga
mata yang cekung, mulutnya sering kali bergerak-gerak seperti orang makan dan
bibirnya sudah ‘nyaprut’ karena mulut itu tidak bergigi lagi.
Di dekatnya
duduk seorang gadis cantik sekali, baru berusia lima belas tahun, berpakaian seperti
gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet sehingga
amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak berduka yang
ditekan-tekannya. Juga dia kelihatan takut kepada nenek itu yang
memperkenalkannya sebagai muridnya.
"Aihhh...
sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang tokoh besar
yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah Go-bi
Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan? Siauwte sudah
menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri
perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte Jeng-ci Sin-touw Can Pouw
menghaturkan hormat dan selamat datang."
Go-bi
Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang hampir tidak
terlihat akibat tersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit. Ia senang juga
menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah
menyenangkan ini, apa lagi ketika mendengar julukannya.
“Ehh, kau
pencopet? Heh-heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu awas benar
dapat mengenali aku." Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini menjadi
lunak hatinya oleh sikap Can Pouw.
Can Pouw
menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan kehormatan itu dan sekejap
saja, dari jauh In Hong melihat dia telah asyik sekali bercakap-cakap dengan
nenek itu, bahkan gadis Tibet yang cantik manis itu pun terbawa-bawa dalam
percakapan.
In Hong
tersenyum dalam hatinya. Memang dia tahu betapa pandainya ‘pamannya’ tukang
copet itu dalam pergaulan, pandai menarik hati orang dan pandai pula
bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap, kadang kala diseling pencopet
itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan sinar mata kagum penuh pujian,
bahkan nenek itu pun kadang-kadang tersenyum lebar. Juga In Hong melihat betapa
mereka itu kadang-kadang melirik ke arah keluarga Cin-ling-pai seolah-olah
sedang membicarakan mereka itu.
Sesudah lama
bercakap-cakap dengan nenek itu sehingga membuat para tamu lainnya terheran
juga kenapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu akrabnya
dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke tempatnya
dan pada waktu berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah
hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa!
Akan tetapi
Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia tidak
mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang juga
tidak terkenal, lalu bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu
kehormatan? Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya
tamu biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar supaya
kesalahan itu dapat dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu
yang menganggap bahwa pencopet ini seorang tamu agung?
Sesudah
duduk kembali di dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah
sungguh-sungguh Can Pouw berkata, "Wah, ada berita hebat! Engkau tahu
siapa dara Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu? Dia itu
adalah tunangan dari putera ketua Cin-ling-pai!"
"Ehh...?"
In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi, seolah-olah dia
hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan dirinya.
"Hemm,
tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya."
"Ah,
tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya gagah itu
dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya memiliki ilmu
kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang sakti di
Tibet."
"Hemmm,
agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu engkau
mengenal pula nama puteranya itu."
"Tentu
saja! Tidak percuma aku menyelidiki sesudah terjadi peristiwa menggegerkan itu.
Namanya adalah Cia Bun Houw dan... ehh…, kau kenapa?"
"Tidak
apa-apa, aku sudah merasa muak mendengar kau bercerita terlalu banyak tentang
keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan benar,
siapa sih dia?"
"Dia
itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-kouw! Kau
lihat betapa tadi dia bercakap-cakap secara akrab denganku? Ha-ha-ha, dia
menceritakan segala hal sampai-sampai saat secara kebetulan dia menemukan gadis
Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut, kecantikan
yang asli dan khas, pantas saja kalau putera ketua Cin-ling-pai itu
tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw,
betapa lucu dan anehnya dunia ini!"
In Hong tak
bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang bergelora. Dia sendiri
merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit mendengar bahwa putera
ketua Cin-ling-pai sudah mempunyai pacar! Dia bukan cemburu, hanya merasa
terhina.
Sudah
mempunyai pacar, seorang kekasih gadis Tibet yang cantik manis, tapi tidak malu
untuk melamar dia menjadi calon jodoh! Hatinya panas dan sekarang dia memandang
ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir di situ tidak seperti tadi, penuh
kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum mengejek.
Gadis Tibet
yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri kepala dusun yang
menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tiba-tiba saja dia bisa datang
sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan seorang nenek
iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu?
Seperti
telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika ditinggal
pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya meninggalkan
Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua hari sesudah
pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan diajak
pergi ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada seorang pangeran tua.
"Akan
tetapi, Ayah..." Dia membantah. "Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko
untuk tidak membawaku ke Lhasa!"
"Hemm,
kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng Lama dan
aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa selama
dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku boleh
melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itu pun seorang
laki-laki tidak bertanggung jawab. Apa bila dia memang cinta kepadamu, mengapa
dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?"
Yalima tidak
dapat membantah lagi dan dia berlari ke kamarnya, menangis sehari penuh sampai
air matanya tidak ada lagi. Maka pada malam hari itu juga, gadis yang sudah
terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat meninggalkan
rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan menyusul dan
mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang bisa diharapkan
akan menolongnya!
Yalima
adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan dan biasa
pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya tanpa
persiapan, secara nekat serta dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui
daerah-daerah yang liar dan buas. Perjalanan yang amat sulit ini, membuat dia
mengalami kesengsaraan lahir batin yang amat hebat.
Dia tidak
tahu arah jalan, hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, juga makan
seadanya asal tidak kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan
seorang diri saja di dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun
di pohon-pohon besar. Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak
membawa bekal lain, kecuali tekad bahwa dia akan hidup di sisi Cia Bun Houw
atau mati terlantar di tengah jalan!
Setelah
melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak tahu lagi,
pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dengan muka
pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang
muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat
gadis itu tak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu
bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya!
"Desss...!
Plak-plak-plak...!"
Tubuh
harimau itu terlempar ke belakang ketika sinar hitam bertubi-tubi menghantamnya
dan memukul kepalanya. Seorang nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah
berada di situ, menggunakan tongkatnya menghalau binatang buas itu.
Agaknya
harimau itu dapat merasakan pukulan yang amat keras, tahu pula bahwa nenek
hitam itu berbahaya sekali, dan mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar,
maka setelah mengaum marah satu kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi
dari situ.
"Bangunlah...!"
nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima.
Yalima lalu
menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan menghaturkan terima kasih
dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan Bangsa Tibet.
Nenek itu
agak terkejut. "Hemm, engkau pandai berbahasa Han?"
"Nenek
yang baik, Houw-koko pernah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek, engkau
telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku yang
amat sengsara ini..."
Nenek itu
adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara sudah diceritakan
dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah seorang wanita
lihai yang mempunyai kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di dalam sebuah
istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw.
Go-bi
Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar sakti Yap Kun
Liong. Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut
kesenangan hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat
gadis cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi
kerinduan besar akan seorang anak dan seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis
Tibet ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata,
"Tenangkan
hatimu, aku akan menolongmu. Siapakah namamu?"
"Nama
saya Yalima, nenek yang baik."
"Jangan
sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak sekarang
engkau menjadi muridku. Maukah engkau?"
"Saya
akan mentaati semua perintah Subo asal Subo sudi menolong saya, supaya kita
dapat mencari Houw-koko."
"Hemm, kila
lihat saja nanti. Sekarang ceritakan dulu siapa itu Houw-koko dan mengapa
engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri."
Yalima lalu
menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala dusun dan
bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa pemuda
itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan pergi meninggalkannya, betapa
dia akan dipersembahkan kepada pangeran tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat
dan hendak mencari pemuda yang dicintanya itu. Semua dituturkannya secara
panjang lebar dan jelas kepada Go-bi Sin-kouw.
Mendengar
penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. "Anak bodoh,
apakah engkau amat mencintanya?"
"Teecu
(murid) amat mencinta Houw-koko, Subo, dan lebih baik mati saja dari pada tidak
bertemu kembali dengan dia."
"Anak
bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu juga
cinta padamu?"
"Teecu
yakin sekali, sungguh pun dia... dia tidak pernah mengatakan dengan mulutnya.
Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!"
Melihat
kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw lalu mengerutkan dahinya. "Hemmm,
betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum
pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu? Mengapa seorang pemuda Han berada
di Tibet?"
"Dia
bukan seorang biasa, Subo. Dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian
seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama..."
"Haiiiii…!!!"
Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta Lama ini.
Pernah dia
bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa itu dan untung dia
tidak mati di tangan manusia luar biasa itu, maka kini mendengar namanya saja
dia sudah merasa gentar.
"Mu...
muridnya? Dan sekarang ke mana pemuda itu?"
“Dia pulang
ke Cin-ling-san..."
"Eihhh...!"
Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. "Tahukah kau anak siapa
dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?"
"Houw-ko
tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan
orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal..."
"Aahhh...!"
Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran.
Sampai lama
nenek itu tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja dia telah
dikunjungi oleh Hek I Siankouw bersama Lima Bayangan Dewa, diminta bantuannya
untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan
kesanggupannya.....

Memang sejak
dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit bila
mana dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu
sudah membalik dan tidak mau mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila
kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggota keluarga ketua Cin-ling-pai itu
bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Sekarang dia mendengar akan
usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai,
karena itu dia segera menyatakan setuju untuk membantu.
"Sungguh
hal yang sangat kebetulan sekali...!" gerutunya sambil memandang gadis
Tibet itu.
Betapa
kebetulan sekali dia berjumpa dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar
dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan
segala sesuatu tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.
Yalima
adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu
wataknya wajar, polos dan jujur. Terlebih lagi karena dia menganggap nenek ini
sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia
lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan
Cia Bun Houw hingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan
kehormatan dirinya kepada pemuda itu.
Akan tetapi
Yalima cepat-cepat menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang
kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan
cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda
itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.
"Jangan
khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku!
Kelak aku akan menyeret pemuda itu ke depan kakimu!"
Yalima
terbelalak kaget. "Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat
baik!"
"Heh-heh-heh,
putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho-ho, engkau belum tahu, anakku,
muridku...!"
Demikianlah,
mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tak suka
sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam,
dia tak berani menyatakan ketidak sukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin
mempelajari ilmu nenek itu, kemudian sesudah memperoleh kesempatan dia akan
melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan
kekasihnya.
Dan pada
hari itu, dia diajak oleh subo-nya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang
tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal
para tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya
ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh
rendahan saja, melainkan hendak berjumpa dengan tokoh-tokoh kang-ouw karena dia
pun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima
Bayangan Dewa.
Demikianlah
pengalaman Yalima yang pada hari itu turut bersama dengan Sin-kouw ke pesta
Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan
tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama
sekali tak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas
perutnya dan marah sekali.
Seketika itu
pula timbullah kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang
ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di
Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki!
Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya
di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah
merasakan dihina kaum pria.
Kini tempat
pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di
tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru. In Hong
segera melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya.
Di sebelah
kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi, duduk orang-orang yang agaknya
tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat
menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu. Sedangkan pada sebelah kanan duduklah
orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga
bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.
Hidangan-hidangan
dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah
dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama
si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Sumbangan yang
berupa barang biasa saja, disambut para tamu dengan senyuman, akan tetapi kalau
ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.
"Bingkisan
dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw..." Piauwsu yang membuka
bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca
nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan.
Semua orang
bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas!
Go-bi Sin-kouw lalu mengangguk sambil tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut
sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk
menyatakan terima kasihnya.
“Berikutnya
adalah bingkisan dari Lie-toanio, puteri Cia Keng Hong Taihiap yang mewakili
Cin-ling-pai…!” Piauwsu yang bertugas menerima bingkisan kembali berseru.
Piauwsu ini
sengaja memberi tekanan agak keras ketika menyebut Cin-ling-pai. Selain dia
merasa bangga melihat kenyataan akan hadirnya wakil Cin-lin-pai yang amat
terkenal ke tempat itu, orang ini juga ingin melihat reaksi para tamu lainnya
mengingat kejadian yang sangat menghebohkan dunia kang-ouw akhir-akhir ini,
yaitu tercurinya Siang-bhok-kiam oleh Lima Bayangan Dewa.
Benar saja,
begitu piauwsu penerima bingkisan selesai berkata, sejenak suasana menjadi amat
hening, dan tak lama kemudian baru meledak sorak sorai di bagian kiri, yaitu
bagian yang ditempati oleh golongan putih atau kaum pendekar, bahkan ada
beberapa tamu yang berteriak.
“Hidup Cia
Keng Hong Taihiap…!”
“Hidup
Lie-toanio…!”
“Jayalah
Cin-ling-pai…!”
Akan tetapi
ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang-orang memandang dengan
melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kini kalah oleh suara-suara ejekan
yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang sangat
murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang amat
murah!
"Eihh,
kenapa begitu pelit?" terdengar suara orang.
"Maklumlah,
baru habis kecurian hebat!"
"Memang
pelit, pedangnya pun pedang-pedangan dari kayu!"
Terdengar
bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi. Semua orang terkejut
memandang ke tengah ruangan yang luas itu di mana berdiri nyonya Lie yang
menyapu semua orang dengan pandang matanya yang amat tajam. Mukanya yang cantik
itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke
arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa.
"Hayo
kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut
hina!"
Suaranya
nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenali tiga orang yang tadi mengejek saja
sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena
suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan
mereka memandang pucat, lalu saling pandang.
Para tamu
mulai ribut dan dari fihak yang pro kepada Cin-ling-pai terdengar suara-suara
mengejek. "Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta
ini, sungguh memalukan kita!"
Mendengar
ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga
orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok
Keng.
"Toanio,
kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio
memanggil kami?" seorang di antara mereka berkata.
"Memang
kami hanya mengatakan apa adanya!" kata orang kedua.
"Memang
pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang
siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?" kata orang
ketiga.
Sepasang
mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat
sekali.
"Plok!
Plok! Plok!"
Tiga orang
itu terpelanting, lalu mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi
mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.
Phoa Lee It
cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. "Harap Lihiap
sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini." Dan
dia pun menghadapi para tamu. "Perkara barang sumbangan harap jangan
dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan
dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut."
Cia Giok
Keng menahan kemarahannya. "Melihat muka tuan rumah, kuampunkan kalian
bertiga!" katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke
tempat duduknya.
In Hong
mengerutkan alisnya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh
galak dan angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu
menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia
Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu
melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.
"Bingkisan
dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!" Terdengar lagi pembuka
bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.
Tepuk sorak
bergemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah
serta terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.
"Inilah
baru bingkisan namanya!" terdengar orang berteriak.
Orang-orang
yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet
Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu
biasa, terdengar orang berkata.
"Tamu
yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?"
In Hong juga
menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak berada di
tempatnya lagi! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat
disambar dan dibacanya.
"Maaf,
aku pergi dulu karena... takut!"
In Hong
mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran
mengapa uang tidak seberapa banyak yang dia berikan kepada pencopet itu telah
menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat.
Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.
Akan tetapi
tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah
meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas peti kayu indah
itu dari tangan piauwsu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil
berseru, "Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong! Ketahuilah bahwa benda
ini adalah apa yang kusumbangkan dan entah bagaimana sudah berada di dalam
bingkisan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi
keterangan bagaimana barangku ini bisa berada di dalam bingkisannya!"
Suara ini
nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh
ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak
nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.
Kembali Cia
Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan
kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, "Sejak tadi ketika
bingkisan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang yang main gila,
akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet
hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya
yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima
kematianmu! Apa bila aku tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku
puteri ketua Cin-ling-pai!"
Sebenarnya,
biar pun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tanpa
mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan
nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah
disebabkan kedukaan serta kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan
dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai.
Ketika guru
suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan mengenai mala petaka
yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi
Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan hendak mencari
penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa
adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu.
"Engkau
sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar
kelak tidak berlarut-larut dan terseret," demikianlah kata ayahnya,
sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan
penasaran dan kemarahan.
Kini, di
tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai,
dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, maka
tentu saja kemarahannya meledak hingga tanpa disadarinya dia menyinggung nama
Cin-ling-pai untuk mengangkat nama ayahnya.
Karena tidak
ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. "Phoa-lo-enghiong, mengapa
engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaanmu? Jeng-ci Sin-touw
adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannya
pun orang-orang rendah!"
"Ehh-ehhh,
nanti dulu, toanio!" Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih meloncat ke depan.
Orang ini
pakaiannya serba hitam dengan ikat pinggang warna kuning emas, kepalanya
dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para
tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok
Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang telah puluhan tahun malang melintang
di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
terutama sekali ilmu goloknya.
Cia Giok
Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata
meremehkan. "Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa
Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?"
"Toanio
adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal
sekali, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Apa bila toanio
memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah
hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah
apa-apa."
"Hemm,
aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannya pun orang-orang rendah.
Nah, kau mau apa?" Cia Giok Keng yang memang sudah amat marah itu
membentak.
"Toanio,
aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci
Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga merupakan temannya. Apakah dengan
begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?"
"Tentu
saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling
rendah dan pengecut di dunia!" bentak Cia Giok Keng.
Sebenarnya
dia menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang sedang berdiri di
depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak
dikenalnya, akan tetapi ditujukan kepada orang-orang yang sudah mencuri pedang
Siang-bhok-kiam. Semenjak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya dia
mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!
Kui Liok
menjadi marah. "Toanio terlalu menghina orang! Jangan menyangka bahwa aku
takut mendengar nama Cin-ling-pai!"
Wajah Cia
Giok Keng menjadi makin merah. "Huh, tikus macam kau berani menentang
Cin-ling-pai? Majulah!"
"Wanita
sombong!" Kui Liok membentak dan akan menyerang.
"Tahan...
tahan...!" Tiba-tiba Phoa Lee It maju dan berdiri di antara mereka.
"Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang sudah menukar barang
sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah."
"Phoa-loenghiong
harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di mana pun dan kapan pun aku harus
selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!"
Sikap serta
ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah, maka terpaksa
dia mundur sambil menggelengkan kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas
sekali.
"Pencoleng
hina, majulah kalau kau berani!" puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang.
Kui Liok
yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan
pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah
puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang sungguh pun tidak berhasil
mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah mempunyai
ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya.
Dengan
jurus-jurus dari San-in Kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia
menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai
pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan
menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan
tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya!
Tentu saja
dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras lantas menubruk maju lagi,
menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka
bagai seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah
menggunakan jurus Go-houw Pok-ma (Macan Lapar Menubruk Kuda), dia menerkam
setengah meloncat dan sepasang tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan
kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.
Tetapi Cia
Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya
serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan dan kiri,
menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan,
dan ketika jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan
lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan
seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.
"Desss...!
Auukkk...!"
Tubuh yang
pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan
tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium
ujung sepatu Giok Keng.
Sekarang
semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya
menghadapi serangan Kui Liok, dan sekaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh
dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang
lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi.
Tentu saja
Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia
diperlakukan bagaikan seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh
seorang guru besar!
"Sratttttt…!"
Golok
besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia merasa bahwa namanya masih terlalu
besar untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, sebab itu
dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung
bibirnya dia membentak,
"Keluarkan
pedangmu!"
Cia Giok
Keng tersenyum mengejek. "Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu
itu? Majulah!"
Kemarahan
Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun, maka dengan gerengan seperti harimau terluka,
golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah
menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia
maju menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher
Giok Keng.
Akan tetapi
tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari
depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya.
Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini justru Giok Keng yang
terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan.
Kiranya
julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan sangat berbahaya
kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan
tetapi dia sudah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia
mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan
ginkang-nya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat
mendahului gerakan golok dan mengelak.
Namun dengan
kemarahan meluap-luap Kui Liok sudah menyerang terus dan gulungan sinar putih
dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng. Sampai lima jurus Kui Liok
terus menyerang, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus
keenam, saat Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar
Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan
tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk
itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok.
Perampok
tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada
waktu perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu,
tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menampar keras dan tepat mengenal
punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.
"Plakkk...!"
Kui Liok
mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya
pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu
Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian yang mengerikan dari
ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!
"Ini
makanlah golokmu!" Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung
sabuk merah yang melibat dan merampas golok, dan senjata itu terbang meluncur
ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.
Golok
terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban
goloknya sendiri bila saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan
tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan
jepitan jari tangan kanannya, kemudian dengan senyum menghina dia melemparkan
golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan
mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup
hebat.
Gadis itu
adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw
itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang
penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan
pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.
Giok Keng
sendiri terkejut bukan kepalang. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur
tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja
ringannya, dia segera maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar
biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.
Go-bi
Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh
perhatian. Nenek ini pun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia
tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan
ragu-ragu karena takut kalah, sebab dia percaya bahwa dia dapat menandingi
puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba
salah...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment