Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 22
DI DAERAH
padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi
itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran
Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari
peternakan dan mereka menggembala kuda-kuda yang baik untuk dijual ke daerah
selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini
menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena
rumput di tempat itu sangat subur sehingga merupakan tempat peristirahatan yang
amat baik.
Telah tiga
hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada
pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka pada
saat terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak, yang
seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor
kuda lenyap pada malam itu.
Agaknya
orang kedua itu pun telah ditinggalkan karena disangka sudah mati oleh para
penyerangnya, dan orang inilah yang lalu bercerita kepada kawan-kawan dan
pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam pada waktu keadaan
amat sunyi dan dingin, tiba-tiba saja muncul belasan orang bertopeng yang
langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan
tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka telah
tewas itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan
seratus ekor kuda yang mereka curi itu.
Tentu saja
rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda
mereka di tempat terbuka seperti itu? Pada malam-malam berikutnya penjagaan
dilakukan dengan ketat karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tak akan puas
sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan
bergilir mereka melakukan penjagaan pada malam hari.
Malam
berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, yaitu pada
malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka
diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki
ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan
keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di
antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah
penerangan obor-obor dan api unggun.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. "Maling-maling kuda yang hina!"
Muncullah
seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan
tetapi bersih, berwajah gagah tetapi sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan
bentakannya tadi biar pun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya
halus. Namun, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang
bertopeng segera jatuh tunggang langgang!
Para
perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum bahwa
kakek ini bukan merupakan anggota rombongan peternak atau pedagang kuda itu,
namun seseorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan.
Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar
serta bersenjata golok besar yang sangat berat dan tajam, langsung menggereng
dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak
menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan.
"Singgg...
singgg... wuuuutttt...!"
Tiga batang
golok itu berdesing lantas menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi,
kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seakan-akan tidak tahu bahwa ada
bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga
batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan sepasang
tangan dan kaki kirinya dan... sungguh luar biasa sekali.
Sukar
diikuti pandang mata apa yang sudah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan
kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan
orangnya roboh lantas mengaduh-aduh, sedangkan dua orang penyerang dari kanan
kiri terampas goloknya dan roboh pula!
Kiranya
kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan
penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut,
sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu,
lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam
dada kedua orang penyerang kanan kiri.
Semua
gerakannya itu dilakukan dengan amat cepat dan kelihatan demikian mudahnya,
padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki
ilmu silat lumayan! Terlebih lagi menangkap golok hanya dengan tangan telanjang
begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat
luar biasa!
Melihat
betapa hanya dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main
terkejutnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka
cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh
kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga serentak telah meloncat bangun
dan melarikan diri, akan tetapi penyerang dari depan yang kena tendang
lututnya, ketika bangkit berdiri kembali roboh terguling dan mengeluh.
Para anggota
rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam telah
digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh
salah seorang pemimpin para perampok bertopeng itu.
"Tahan,
jangan bunuh dia!" Kakek itu berkata, suaranya halus akan tetapi penuh
wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan
memandang pada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada
orang yang tahu, datang-datang langsung memperlihatkan kepandaian membantu
mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk
membunuhnya. Sungguh aneh!
Yalu,
pemimpin Suku Nomad campuran itu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam
yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang,
"Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa
mencegah kami membunuh kepala perampok ini?"
Mendengar
orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan
berkata tenang, "Mereka sudah dapat diusir dan orang ini tidak dapat
melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan
yang sudah tidak berdaya?"
"Locianpwe,
harap suka mengampuni saya," mendadak orang itu berkata dan membuka
topengnya. Ternyata dia adalah seorang Han pula yang usianya kurang lebih tiga
puluh tahun.
Kakek itu
mengerutkan alisnya, tampaknya tak senang melihat orang Han sampai begitu
merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya
adalah rombongan suku bangsa yang miskin!
"Hemm,
tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?" bentaknya.
"Maafkan...
kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi, kami adalah
anggota pasukan Raja Muda Sabutai yang memerintahkan kami supaya mencari kuda
untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami..."
"Ahhhh...!"
Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. "Raja Muda Sabutai
terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di
selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apa
lagi mencuri kuda kami."
"Maafkan
kami, kawan...," orang itu berkata dengan muka merah, "kami telah
bersalah... tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan
menyeberang ke lembah Nan-kouw..." Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.
"Lanjutkanlah
ceritamu dan aku akan membebaskan engkau." Kakek itu berkata sambil
matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.
"Saya...
saya tidak boleh bicara tentang itu..."
"Engkau
sudah terlanjur berbicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang
kuda. Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai
sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo
katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu."
Dengan muka
pucat ketakutan orang itu lalu berkata, "Barisan kami... akan... menyergap
rombongan Raja Beng-tiauw yang hendak lewat di sana..."
"Hemmm...!"
Kakek itu lalu mengangguk-angguk. "Dari mana Raja Muda Sabutai dapat
mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?"
"Hamba...
saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan
dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk
mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan..."
"Tiga
orang utusan itu, siapa namanya?" Kakek yang aneh itu mendesak terus.
"Saya
tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin,
sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa..."
"Sudahlah,
kau boleh pergi," kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin
para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.
"Locianpwe,
orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak
buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap kaisar!"
Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju.
Kakek itu
memandang tajam. "Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?"
"Tentu
saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan
mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang
selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin bisa dilanjutkan.
Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh
pasukan Beng?"
"Bagus!
Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar. Dengan
demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku
akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat."
Yalu dan
teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya,
"Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar
ini?"
Kakek itu
berkata sederhana, "Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng
Hong dan semenjak dahulu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja sama
dengan mendiang Panglima The Hoo."
Yalu segera
mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya. "Locianpwe
sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap
kurang hormat." Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri
berlutut. "Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dulu
pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan
khawatir, kami akan mengumpulkan semua teman-teman kami dan membantu locianpwe
menolong dan melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat
memberontak."
Tentu saja
ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita
ketahui, sesudah mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima
Bayangan Dewa yang dua di antaranya telah berhasil ditewaskan itu dibantu oleh
tokoh-tokoh lihai, kakek Cia Keng Hong lalu turun gunung untuk menghadapi
musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang
hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam.
Dalam
perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota
raja dan kemudian dia menyusul. Dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung
dengan rombongan kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia
menjadi heran sekali saat mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan
rombongan kaisar. Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal
yang tidak wajar dan mencurigakan bila musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai
pengawal-pengawal kaisar.
Karena itu,
dia pun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang
kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari
pemimpin para pencuri kuda. Sekarang dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar
itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan kaisar tentu ada
hubungannya dengan gerakan Sabutai dan bahwa kaisar tentu terancam bahaya
besar, sungguh pun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal oleh pasukan yang
dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho
Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal
yang amat setia dari Kerajaan Beng.
Mengingat
akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan
kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk
bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang
terancam bahaya.
***************
Sementara
itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara.
Perjalanan itu amat sulit, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal,
hutan-hutan yang liar dan daerah-daerah yang tandus. Semenjak permulaannya saja
pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya
kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi
panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu
banyak.
"Di
utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada
pemerintah. Perlu apa kita membawa banyak perbekalan?" demikianlah
bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. "Hal itu hanya akan
menimbulkan rasa ketidak senangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya
kepada mereka."
Biar pun
alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang
Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha supaya
rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apa lagi pada waktu itu musim
panen belum tiba.
Kaisar
sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apa lagi yang sejak dewasa
selalu dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terus terseret oleh arus
kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanyalah
merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu
apa-apa.
Di dalam
perjalanan ini pun Kaisar Ceng Tung selalu berada di dalam pelukan selirnya,
berdua di dalam kereta, dan kadang kala ditemani oleh Wang Cin yang pandai
menghibur hati kaisar seakan-akan perjalanan itu merupakan tamasya yang sangat
menyenangkan. Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya
menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia
itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa
rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar.
Setelah
melalui perjalanan yang sangat lama dan sangat melelahkan bagi para anggota
pasukan pengawal, akan tetapi amat menyenangkan bagi kaisar dan selirnya, dan
amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat
yang selain akan mengubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat
teratas sesuai apa yang selama ini dicita-citakannya, akhirnya sampailah
rombongan itu di kaki Pegunungan Nan-kouw dan mereka pun berkemah di padang
rumput untuk melewatkan malam itu di sana sambil memberi waktu kepada pasukan
untuk beristirahat.
Malam itu,
delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan
Jeng Koan menghadap Wang Cin yang ketika itu sedang mengadakan perundingan
dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa
serta Bouw Thaisu yang lihai.
Kedatangan
delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit
dari kursi masing-masing. Atas isyarat Wang Cin mereka lantas berdiri di
pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin lalu
mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu
dan menanyakan maksud kedatangan mereka.
"Wang-taijin,
kami datang ingin mengajukan usul kepada taijin," Jenderal Gwat Leng yang
bertubuh kecil kurus itu berkata.
"Hemmm,
tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu
saja akan kami sambut dengan gembira," jawab orang kebiri yang telah
memperoleh kedudukan tinggi itu.
"Wang-taijin,
kami semua sudah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai
sedikitnya tiga hari," kata Jenderal Kho Gwat Leng.
"Ahh,
tidak mungkin!" Wang Cin berseru penasaran. "Kota Huai-lai sudah
dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?"
"Wang-taijin,"
kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan
suaranya mengguntur itu. "Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal
sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apa bila terdapat fihak musuh
yang menghadang kita."
"Hemm,
Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar? Lagi pula, andai
kata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan
besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?"
"Maaf,
Wang-taijin," Jenderal Kho Gwat Leng yang sikapnya lebih halus itu lalu
berkata. "Ucapan Tan-goanswe tadi benar, dan juga pendapat Wang-taijin
benar pula bahwa andai kata ada musuh menghadang, kami telah siap
menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah
hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan
melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya kita menunda
perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan
air."
Wang Cin
menggeleng-geleng kepalanya sambil berjalan mondar-mandir di ruangan itu.
Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggelengkan kepala, dia
lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu.
"Tidak,
tidak! Hal itu tidak ada perlunya. Sri baginda kaisar tentu akan kesal hatinya
kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi,
melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan sesudah tiba di Huai-lai, barulah
kita berhenti, mengaso dan makan sepuas-puasnya. Apakah prajurit-prajurit Beng
begitu lemahnya sehingga hanya mementingkan makan dan minum saja?"
Mendengar
ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendamprat thaikam
itu, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal
tinggi besar itu menahan kemarahannya.
"Terserah
kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi jika sampai
terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi
peringatan," kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa akan percuma saja
berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini.
Para
jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan
sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno,
kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan
apa pun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka
pertahankan dengan pertaruhan nyawa, biar pun kesadaran mereka membuat mereka
maklum betapa kelirunya keputusan itu sekali pun!
Para
jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah
pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan
kaisar, dan betapa pun juga Wang Cin sudah diangkat oleh kaisar menjadi
komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi!
Diam-diam
para jenderal yang telah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang
sudah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar para penyelidik
menyusup ke depan untuk menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang
di depan. Pada keesokan harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh
penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka ini pun berada dalam
keadaan luka-luka parah.
Dengan lemah
mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan pasukan musuh yang
dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang sangat tersohor
keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali
mereka membujuk Wang Cin agar mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan
perjalanan.
"Kami
sanggup mengawal kaisar sampai ke mana pun, dan kita memang tidak perlu takut
menghadapi para pemberontak liar itu," Jenderal Tan Jeng Koan berkata
dengan suara nyaring. "Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang
gerilya, maka pertempuran akan memakan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup,
terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya."
"Aahhhh,
laporan para pengecut itu kenapa mengecilkan hati goanswe? Jika cu-wi (anda
sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur
perampok-perampok laknat itu! Justru di hadapan kehadiran sri baginda mereka
berani mengacau, maka mereka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga
kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!" Wang Cin berkata
dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu
telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa
rencananya akan gagal.
Kembali para
jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian
mengambil keputusan hendak mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi pasukan
pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw.
Demikianlah,
pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan kaisar itu
melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga keselamatan
kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar bersama selirnya tercinta itu berada
di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh
empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringi oleh pasukan yang
dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya.
Delapan
orang jenderal itu sudah bersepakat hendak melindungi kaisar sedemikian rupa
sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan bisa mendekati
kaisar. Penjagaan yang mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur
secara ketat sekali.
Hal yang
memang telah diduga-duga dan dikhawatirkan pun terjadilah. Menjelang tengah
hari, pasukan Sabutai mulai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari
arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi,
muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh
bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar!
Akan tetapi,
karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, serangan
bertubi-tubi dari empat penjuru ini sama sekali tidak mengacaukan pertahanan
pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik sekali, dan Jenderal
Kho Gwat Leng langsung memimpin sendiri pembuatan sebuah perkemahan di
tengah-tengah pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya dan para pelayan kaisar.
Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan
menghiburnya sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biar pun tahu bahwa ada
pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan
orang jenderalnya.
Perang
terjadi dengan hebatnya. Berkat kemampuan delapan orang jenderal yang sangat
mahir ilmu perang itu, walau pun jumlah musuh jauh lebih banyak, akan tetapi
sesudah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul
mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu.
Bagaimana
pun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak prajurit yang gugur mau
pun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini
membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk
kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik
mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Apa bila mereka mundur
ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan
Beng-tiauw yang sekarang berjaga di tapal batas.
"Tidak,
sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah
menang? Musuh sudah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok
pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman
karena kita berada dalam benteng." Wang Cin berkeras melanjutkan
perjalanan itu.
"Wang-taijin,
biar pun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan
kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya."
Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. "Terutama sekali karena perbekalan
kita telah menipis."
"Tidak
perlu kita takut. Kita sudah menang perang, kenapa kita harus melarikan diri
dan mundur ketakutan? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu
sampai terbasmi habis!" Wang Cin membantah.
Delapan
orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya,
rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju kota Huai-lai sehingga menjelang
tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan
merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang amat curam,
di mana kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi.
Terjadilah
seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang sangat berpengalaman itu.
Terdengar suara gemuruh kemudian dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu
yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar! Tentu saja pasukan pengawal
menjadi amat panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah
dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda
bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di
lorong Lembah Nan-kouw itu.
Delapan
orang jenderal itu cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal
sendiri kaisar serta selirnya untuk berlindung ke dalam kemah. Jenderal Kho
Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar,
menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat
orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan
musuh yang menyerbu dari depan dan belakang.
Terjadilah
pertempuran yang amat hebat! Akan tetapi karena pasukan pengawal kaisar berada
di tengah-tengah, kanan kiri terhalang oleh dinding gunung dan musuh yang amat
banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka
terhimpit dan terdesak hebat.
Betapa pun
juga, para jenderal terus memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka.
Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang
marah. Sekarang pakaian perangnya sudah berubah menjadi merah oleh darah para
pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula
dengan empat orang jenderal lainnya.
Tiba-tiba
saja terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah
kekacauan besar di fihak musuh yang menutup jalan keluar di belakang mereka.
Ternyata kemudian bahwa telah datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu
dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa, yang menyerbu
musuh dan membantu pasukan pengawal kaisar. Kakek itu bukan lain adalah
Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka
melihat pemberontakan Sabutai dan kini ikut membantu kaisar dengan menyerang
pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah
Nan-kouw itu.
Akan tetapi,
meski pun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah
belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlampau banyak sehingga selagi
sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi
terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan
pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh
sehingga mereka terpaksa mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih
melawan musuh yang menghadang di belakang.
Akhirnya
habislah anggota pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah
Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin,
Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, yang terus menerjang maju sampai akhirnya
tidak ada lagi prajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang jenderal yang
tadi masih mengamuk secara dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka semua
itu sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa-sisa darah
serta nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka.
Ketika
akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya, termasuk pula
tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke dalam tenda
besar di mana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat
mengharukan. Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali,
tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang
nampak ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu.
Di dekat
pintu tenda tampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh
penuh luka! Akan tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka
terakhir yang mereka terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin!
Ketika itu,
delapan jenderal yang melindungi kaisar telah luka-luka parah, akan tetapi di
bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka
delapan orang kakek itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah
kaisar. Tiba-tiba para pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok
Hosiang, maju dan segera menyerang delapan orang jenderal itu dari belakang
sehingga tewaslah mereka!
Kaisar
terkejut bukan main, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi thaikam
ini berkata, "Merekalah yang mencelakakan kita, sri baginda. Sekarang
hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!"
Akan tetapi,
begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu, Wang Cin menyambut
kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling memberi salam,
demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para pengawal musuh!
"Hemmm...
kiranya engkau seorang pengkhianat!" Kaisar berseru dan membuang muka tak
mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum menyeringai itu.
Kemudian,
sesudah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan berhasil pula mengusir
pasukan Cia Keng Hong yang jumlahnya tidak seberapa banyak, Sabutai pun
cepat-cepat menggiring kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang tidak
tampak ketakutan lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin dan
para pengawalnya.
Diam-diam
Sabutai merasa kagum bukan main terhadap delapan orang jenderal itu, dan juga
merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan agung,
sedikit pun tak merasa takut dan biar pun telah menjadi tawanan, namun
memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat dia diam-diam
merasa tunduk!
Sabutai
adalah orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci kecurangan dan
pengkhianatan. Oleh karena itu, walau pun pada lahirnya dia mau dipersekutu
oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia sangat kagum
terhadap kaisar muda itu dan sebaliknya sangat benci kepada Wang Cin. Hanya
karena dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan,
maka dia menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu.
Akan tetapi
dengan keras dia memerintahkan para pembantunya supaya melayani kaisar dengan
baik dan tidak boleh ada seorang pun yang bersikap kasar atau mengganggu kaisar
muda ini beserta selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di
sebuah bangunan tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena
yang dijaga hanya sekeliling bangunan itu.
Wang Cin
terus berusaha membujuk kaisar untuk membuat serta menanda tangani surat
kekuasaan dan pengangkatan kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai
penggantinya. Akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya
menjawabnya dengan meludah ke muka thaikam itu! Kalau saja tidak dicegah oleh
Sabutai, tentu Wang Cin sudah membunuh kaisar.
Diam-diam
Sabutai tertawa di dalam hatinya, melihat betapa pertemuan antara kaisar dan
Wang Cin itu seperti pertemuan antara seekor burung hong dan seekor tikus! Dia
maklum bahwa membujuk atau mengancam seorang yang demikian gagah perkasa dan
sangat berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak ada gunanya sama sekali, dan
kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera.
Sabutai
memang cerdik bukan kepalang. Dia tahu benar bahwa selama kaisar itu menjadi
tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya. Dan
kalau dia memperlakukan kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat,
hal ini saja telah cukup merupakan jaminan bahwa kelak andai kata cita-citanya
menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan
memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada kaisar.

Maka dia
melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan kaisar, harus selalu di bawah
pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat
disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan
begitu leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu.
***************
Beberapa
bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah watak asli dari
Azisha. Sejak diumpankan kepada kaisar oleh Wang Cin, memang wanita ini hanya
melayani kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka. Sesungguhnya sedikit
pun dia tidak cinta kepada kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang dicintanya
bukanlah pribadi kaisar melainkan kedudukannya!
Kini, kaisar
yang merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagai ‘utusan
Tuhan’ atau ‘putera Tuhan’, sudah kehilangan kedudukannya, kehilangan segala
kebesarannya, bahkan sudah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa
amat rendah kalau menjadi selir seorang tawanan!
Dia mulai
bersikap keras dan berani menentang kaisar, bahkan berani pula menggunakan
kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, barulah kaisar terbuka matanya, dan
baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang tidak secantik
wajahnya, dan baru dia mengerti bahwa Azisha hanya merupakan ‘alat’ dari Wang
Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. Maka dia pun tidak
mempedulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca
kitab-kitab yang disediakan oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian
(semedhi).
Kaisar yang
usianya masih sangat muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini sadar bahwa
hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanya hubungan yang
didasari oleh nafsu birahi saja dari fihaknya, sedangkan dari fihak Azisha
hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin. Dia
merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak
mempedulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak
pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki
kamarnya, dia pun tidak peduli lagi.
Perhatian
Azisha mulai tertuju kepada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa
yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan dengan Kaisar Ceng
Tung yang muda dan halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-geriknya, tentu
saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa.
Akan tetapi,
karena semenjak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam
ini sudah sama sekali tidak mengenal cinta lagi, dan kalau dia mulai mendekati
Sabutai adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ,
bahkan orang yang memiliki cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi
kaisar dari seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan
Sabutai, darah Mongol!
Seperti
sudah diceritakan di depan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik, yang
baru berusia delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita
dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai sangat cinta kepada
isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa
kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya.
Padahal dia amat mengharapkan seorang keturunan dari isterinya yang tercinta
itu dan untuk mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta
Khamila dan tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain.
Betapa pun
juga, agaknya Azisha tak akan berani secara lancang melakukan pendekatan kepada
Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan, kalau saja hal itu
tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. Pembesar kebiri ini mulai merasa
khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan sungguh pun dia
dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, tetapi Sabutai agaknya
seperti tak terlalu mengacuhkan dirinya, bahkan desakannya untuk segera
menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan ‘belum waktunya’
dan ‘belum cukup kuat’.
Juga Sabutai
menolak keras ketika Wang Cin mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi
tawanan itu dipaksa, kalau perlu disiksa, supaya kaisar itu suka memberi surat
kuasa pengangkatan kaisar baru. Semua ini ditolak oleh Sabutai yang mengatakan
bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-cara yang curang.
"Saya
adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal Sabutai
yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya mau melakukan tindakan
yang begitu rendah dan curang? Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba
waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!"
Sikap
Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Meski pun dia dianggap sebagai
sekutu dan tamu, akan tetapi tak ada bedanya dengan tawanan juga, seperti
kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Untuk pulang
kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan
membuat dia celaka, tinggal di utara dia pun tidak dapat menguasai Sabutai!
Mulailah dia
mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang matanya cukup
tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya memiliki seorang
isteri itu tentu tidak bahagia dengan isterinya yang cantik dan muda. Isterinya
itu bersikap dingin dan tidak acuh kepada suaminya.
Karena itu
dia melihat kesempatan baik untuk menggunakan kecantikan dan kepandaian Azisha
yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! Maka,
mulailah dia bersama Azisha mengatur siasat untuk menundukkan hati pemimpin
orang Mongol yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian
merayu Azisha.
Pada suatu
malam, pada saat Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya, termenung
mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia sudah dapat
menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu saja
diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah terlebih dulu
disuap oleh Wang Cin! Apa lagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir kaisar
yang tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja
tidak berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka!
Maka, sambil
menikmati hadiah suapan dari Wang Cin, mereka membiarkan Azisha lewat dan
bahkan saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi
hal-hal mesra di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka
ada yang berani mendekat ke kamar Sabutai kemudian memasang telinga untuk
mendengarkan kemesraan itu!
Beberapa
orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai mendengar
suara Azisha yang merdu, seakan-akan sedang bertanya jawab dengan suara Sabutai
yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan membayangkan
hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu birahi,
seperti nafsu apa pun juga, adalah pikiran sendiri. Makanya, jangan suka
‘ngeres’.
Kebencian
dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal yang
mengerikan dan tidak menyenangkan yang sudah atau akan menimpa diri kita. Iri
hati, keinginan, ambisi, gairah, semuanya datang karena pikiran membayangkan
hal-hal yang menyenangkan dan yang sudah atau akan kita alami. Segala macam
nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal yang telah lalu dan yang
akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh
kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan
kenyataan dari saat sekarang ini.
Karena itu,
seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri, karena
pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai
alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak
pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan
pembentukan si aku.
Si aku
adalah pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari
yang tidak menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti
apa adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang
lain dari pada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan
tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat
kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik
kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!
Karena
kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara Azisha yang
merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka para
pengawal itu yang tidak berani terlampau dekat tidak dapat menangkap jelas
sehingga mereka menjadi makin penasaran.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita.
Pada saat para pengawal cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari
dalam dan nampak Sabutai dengan muka merah berkata,
"Lempar
mayat perempuan hina itu keluar!"
Para
pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu sudah rebah di
atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu terlihat
mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu sama sekali
tak menarik lagi, bahkan menakutkan. Baju luar wanita itu telah terlepas
sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam yang
berwarna merah muda.
Agaknya tadi
wanita muda itu menggunakan rayuan dengan menanggalkan baju luarnya, tetapi dia
sama sekali tak berhasil membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah
membangkitkan kemarahannya sehingga dalam kemarahannya orang yang gagah perkasa
ini menampar kepala wanita itu hingga pecah dan tewas seketika!
Sungguh
peristiwa yang amat menyedihkan. Azisha yang semenjak kecil dididik sebagai
seorang wanita perayu dan yang haus akan kemewahan serta kemuliaan, sama sekali
tidak mengenal Sabutai dan menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh
oleh rayuan mautnya.
Akan tetapi,
Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya mempunyai satu cita-cita
saja, yaitu hendak membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang
terbesar, merampas kembali tahta kerajaan dari Dinasti Beng dan membangun
kembali Kerajaan Mongol yang sudah hancur berantakan. Sedikit pun dia tidak
terpikat oleh wanita, apa lagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya
adalah Khalima, isterinya yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas
cintanya.
Karena itu,
melihat rayuan Azisha, dia menjadi muak, apa lagi mengingat bahwa Azisha adalah
seorang wanita Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin
sudah diperalat untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang sangat dikaguminya
karena kaisar yang muda itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan
tidak mengenal takut pula, sungguh pun kaisar yang muda itu agaknya lemah
terhadap wanita cantik.
Kemarahannya
memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan baju luarnya
untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya. Maka dalam kemarahannya dia menampar,
lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini terlalu lunak
sehingga tewaslah Azisha dengan kepala pecah.
Tentu saja
hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa Azisha telah
dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya karena hatinya
merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia cepat berunding dengan para pengawalnya
yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin, Hek I
Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te
Sin-mo Gu Lo It beserta Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang
berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari
kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping
itu juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu, terutama
sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jeri juga atas
pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai.
Di samping
tujuh orang berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin
yang rata-rata juga mempunyai kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan
dengan tiga belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin
lalu pergi menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu.
Tentu saja
Sabutai bukan orang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu bahwa peristiwa
kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati Wang Cin, sebab
dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga yang langsung
tersinggung oleh kematian itu bukannya kaisar Ceng Tung yang agaknya kini mulai
terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan thaikam itulah.
Sebetulnya,
menurut suara hatinya yang tidak suka terhadap kepalsuan dan kecurangan Wang
Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan tetapi dia pun maklum bahwa
Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang amat lihai, dan juga ratusan
orang sisa prajurit pengawal yang kini menakluk dan menjadi pasukan pengawal
Wang Cin sehingga merupakan bantuan yang cukup kuat baginya. Inilah yang
membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu.
Setelah
dalam amarahnya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa kematian wanita
palsu itu tentu akan menyusahkan hati kaisar yang kini agaknya sudah terbuka
matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini mempermainkannya,
akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin. Karena itu dia pun
sudah bersiap-siap.
Pada waktu
Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang mengunjungi
Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan besar itu
bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam seperti
mata harimau. Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya.
Si kakek
bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang
dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti
terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang warnanya sama sekali berlawanan itu
membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apa lagi karena nenek bermuka hitam
hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu
mengenakan pakaian serba hitam! Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar
dikenali terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali.
Di belakang
Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh orang lebih,
bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang Cin
tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja
memperlihatkan sikap bermusuhan dan memamerkan kekuatan, dan dia pun tidak
mengenal siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu.
Pada lain
fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya dengan sikap
dingin, akan tetapi dia tetap mempersilakan mereka duduk berhadapan dengan dia
terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya, dan Sabutai
lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu.
"Wang-taijin,
perkenalkan. Kedua beliau ini adalah guru-guru saya, Pek-hiat Mo-ko (Iblis
Jantan Berdarah Putih) Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Suhu dan
subo, inilah Wang-taijin dan para pengawalnya seperti yang sudah saya ceritakan
kepada suhu dan subo (bapak dan ibu guru)."
Wang Cin
sebagai scorang pembesar istana yang tidak mengenal dunia persilatan, maka
tidak pernah mendengar nama dua orang aneh itu dan tentu saja dia memandang
rendah kepada kakek dan nenek yang lebih merupakan orang-orang terlantar atau
jembel-jembel yang bertubuh lemah dan tua.
Akan tetapi
para pengawalnya memandang kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian dan
terutama sekali Bouw Thaisu kelihatan terkejut karena kakek ini pernah
mendengar nama-nama mereka sebagai tokoh-tokoh yang selalu menyembunyikan diri
akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka Bouw Thaisu
cepat menjura dan berkata,
"Sudah
lama saya mendengar nama besar ji-wi (anda berdua), sungguh menyenangkan sekali
hari ini dapat bertemu."
Nenek itu
tidak mempedulikan Bouw Thaisu, melainkan memandang dengan mata agak menjuling
ke arah Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, akan tetapi kakek itu melirik ke
arah Bouw Thaisu dan terdengar dia berkata, suaranya jelas membayangkan lidah
asing.
"Bouw
Thaisu meninggalkan tempatnya yang sunyi di pantai Po-hai dan muncul di dalam
keramaian, tentu ada apa-apa di balik itu. Hemmm...!"
Tiba-tiba
terdengar suara nenek itu, tinggi melengking penuh nada mengejek, "Dewi
dari Go-bi yang sudah bongkok, sute Toat-beng Hoatsu dan pasangannya, semua
muncul di sini. Alangkah ramainya!" Jelas bahwa nenek itu menujukan
kata-katanya kepada Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw.
Tentu saja
Bouw Thaisu dan teman-temannya menjadi terkejut sekali. Biar pun tak pernah
muncul di dunia kang-ouw, kakek dan nenek itu ternyata dapat mengenal mereka!
Hanya tiga orang dari Lima Bayangan Dewa yang agak mendongkol karena kakek dan
nenek itu seolah-olah tak peduli kepada mereka, selain tidak kenal, juga
memandang rendah sekali, agaknya mereka bertiga dianggap pengawal-pengawal
biasa saja, kelas rendahan!
Akan tetapi
tentu saja mereka pun tidak dapat menunjukkan kemangkelan hati mereka, apa lagi
pada saat itu Sabutai sudah berkata kepada Wang Cin, "Keperluan apakah
yang membawa Wang-taijin datang kepada saya? Agaknya ada hal yang sangat penting
untuk dibicarakan."
Wang Cin
menahan gejolak hatinya yang diliputi kemarahan. Sungguh pun hatinya panas
karena marah dan duka memikirkan kematian Azisha yang sekarang jenazahnya entah
dibuang ke mana, namun dia memaksa wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum
ketika dia menjawab,
"Saya
telah mendengar berita bahwa telah terjadi sesuatu antara paduka dengan Azisha.
Karena dia adalah selir kaisar dan dia masih segolongan dengan kita, maka saya
menjadi terkejut dan datang menghadap untuk minta penjelasan mengenai peristiwa
itu."
Sabutai
tersenyum mengejek, kemudian berkata dengan suara menantang, "Tidak salah
apa yang taijin dengar. Azisha telah saya bunuh malam tadi."
Dengan
pandang mata keras, tanpa kuasa menyembunyikan kemarahannya, Wang Cin bertanya,
"Kenapa?"
"Perempuan
tak tahu malu itu berani memasuki kamar saya dan bersikap tidak senonoh. Dalam
kemarahan saya melihat ketidak sopanannya dan usahanya untuk merayu, saya
memukulnya dan dia tewas. Jenazahnya sudah saya suruh kubur."
Wang Cin
menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangan ke atas, "Saya tidak
mempersoalkan sebab-sebabnya mengapa dia dibunuh, bengcu." Pembesar
thaikam ini tak mau menyebut Sabutai sebagai raja muda seperti yang dilakukan
para anak buahnya, melainkan menyebutnya bengcu yang berarti pemimpin.
"Akan tetapi yang paling penting, mengapa membunuh dia yang dapat menjadi
pembantu kita yang amat baik? Bukankah lebih baik membunuh kaisar yang sudah
menjadi tawanan, atau mengancamnya dengan siksaan agar dia suka tunduk dan
menyerahkan kedudukannya kepada kita?"
Sabutai
menggebrak meja di depannya. Dia marah sekali. "Wang-taijin! Harap taijin
ingat bahwa taijin berada di tempat saya, dan di sini, sayalah yang berkuasa.
Taijin tidak perlu mencampuri urusan saya. Perempuan hina itu sengaja hendak
merayu saya, maka saya bunuh dia. Ada pun kaisar yang muda itu, saya kagum
sekali karena dia adalah seorang pemuda yang gagah berani. Saya langsung saja
membunuh perempuan tak tahu malu itu tanpa bertanya siapa yang sudah mendalangi
perbuatannya, hal itu karena saya tak mau memperpanjang urusan."
Merah juga
wajah Wang Cin mendengar sindiran ini. Kedua alisnya berkerut dan dia pun
mencela, "Sabutai bengcu, hendaknya bengcu ingat bahwa tanpa siasat dari
saya, tidak mungkin bengcu dapat menawan kaisar! Kita bekerja sama, maka saya
berhak bicara dan sudah semestinya kalau bengcu mendengarkan kata-kata
saya."
Sabutai
menjadi makin marah dan dia sudah bangkit berdiri. "Wang-taijin yang
mengajak bersekutu, bukan saya. Biar pun kita bekerja sama akan tetapi sayalah
yang menentukan segala langkah kita, dan bukan Wang-taijin!"
Melihat
suasana menjadi panas ini, Bouw Thaisu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata
dengan suara halus. "Harap ji-wi suka bersabar dan berbicara dengan kepala
dingin. Di antara sahabat, akan merugikan sendiri apa bila menurutkan hati
panas. Segala sesuatu dapat dirundingkan secara baik-baik."
"Heh-heh-heh,
omongan Bouw Thaisu barusan sungguh seperti omongan pelawak di atas
panggung!" Tiba-tiba nenek Hek-hiat Mo-li berkata. "Kalau mengaku
sahabat, mengapa Wang-taijin datang dikawal oleh para jagoannya, seolah-olah
hendak berangkat perang?"
"Sungguh
sombong!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang berwatak keras dan kasar,
membentak marah. "Wang-taijin adalah seorang pembesar tinggi dan sekutu
yang banyak berjasa, juga tamu agung di tempat ini, akan tetapi sudah
diperlakukan tidak sepatutnya. Ke mana pun beliau pergi, sudah tentu saja kami
pengawal-pengawalnya akan menjaga keselamatannya, kerena siapa tahu di
mana-mana terdapat musuh yang bersembunyi! Kalau ada yang tidak setuju melihat
kami mengawal beliau, boleh coba mengusir kami!"
Sesudah
berkata demikian, Gu Lo it yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat, berhidung
besar dan berjubah hitam dan bertopi itu, sekali meloncat telah berdiri di
tengah ruangan, matanya melotot ditujukan pada nenek bermuka hitam berpakaian
serba putih itu dengan sikap menantang.
"He-he-he-he,
gagah sekali! Siapakah namamu, pengawal yang setia?" Nenek itu tertawa,
bangkit berdiri dan menghampiri Gu Lo It.
"Namaku
tidak sedemikian gagah seperti namamu, Hek-hiat Mo-li. Namaku Gu Lo It."
"He-heh-heh,
engkau benar-benar seekor kerbau hidung besar!" Nenek itu terkekeh dan
kata-kata itu merupakan ejekan yang sangat menghina karena nama keturunan Gu Lo
It, yaitu Gu dapat juga diartikan kerbau, walau pun bukan itu maksudnya dan
hanya bunyi suaranya saja yang sama.
Dia dimaki
kerbau karena memang she-nya dapat diartikan kerbau dan berhidung besar karena
memang hidungnya agak terlampau besar untuk ukuran umum. Maka tentu saja Si
Iblis Bumi ini menjadi marah bukan main. Dia adalah Liok-te Sin-mo, orang kedua
dari Lima Bayangan Dewa dan nenek tua renta seperti mayat hidup ini berani
menghinanya seperti itu.
"Nenek
sombong, kau belum mengenal lihainya Liok-te Sin-mo. Nah, kau coba sambutlah
ini!"
Tiba-tiba
saja Liok-te Sin-mo Gu Lo It sudah menerjang nenek muka hitam itu dengan
gerakan dua tangannya yang mengandung tenaga besar sekali, menghantam dari
kanan kiri. Serangan ini dilakukan dengan marah dan dengan tenaga penuh
sehingga terdengar angin pukulan menyambar dari kanan kiri, bersuit suaranya.
Baik Wang
Cin mau pun Sabutai hanya memandang saja. Sabutai tidak berani menahan
subo-nya, sedangkan Wang Cin memang hendak memperlihatkan gigi maka dia hanya
membiarkan saja jagoan-jagoannya memberi hajaran kepada fihak tuan rumah yang
amat menyakitkan hatinya. Hanya Bouw Thaisu yang memandang dengan alis berkerut
karena dia menganggap sikap Gu Lo It itu terlalu lancang.
"Heh-heh-heh,
si kerbau hidung besar mengamuk dan menyeruduk!" nenek itu tertawa, kedua
tangannya bergerak cepat sekali sehingga kedua lengan yang terbungkus lengan
baju putih itu berubah menjadi bayangan putih dan tahu-tahu nenek itu telah
menangkap kedua pergelangan tangan Gu Lo It yang kini terbelalak.
Hanya Bouw
Thaisu yang dalam sekejap mata dapat melihat betapa secara cepat dan aneh, Gu
Lo It sudah tertotok setengah lumpuh maka kini tidak mampu berbuat apa-apa
ketika pergelangan kedua tangannya ditangkap.
"Heiii...
Mo-ko, kau suka daging kerbau? Nah, terimalah persembahanku ini,
he-heh-heh!" Dan tiba-tiba Gu Lo It terlempar ke udara, menuju ke arah
kakek muka putih.
"Siapa
sudi kerbau alot begini?" Dengan sekali bergerak kakek itu sudah melompat
ke depan, kedua tangannya digerakkan dan tahu-tahu dia telah menangkap batang
leher dan punggung baju Gu Lo It kemudian sekali ayun tubuh Gu Lo It sudah
terlempar lagi ke arah Hek-hiat Mo-li!
"Ihh,
kerbau busuk, aku jijik!" Kini kaki nenek itu bergerak, cepat sekali.
Pada saat
itu sebetulnya Gu Lo It sudah terbebas dari totokan dan sudah mulai meronta dan
bergerak hendak melawan, akan tetapi ujung sepatu nenek itu kembali membuatnya
setengah lumpuh kemudian dengan suara berdebuk, pinggulnya kena ditendang
sehingga tubuhnya kembali melayang ke arah Pek-hiat Mo-ko.
Terkejut
bukan main semua pengawal Wang Cin, terutama sekali Bouw Thaisu pada saat
menyaksikan betapa Gu Lo It yang terkenal lihai itu dipermainkan oleh kakek dan
nenek itu seperti sebuah bola yang sama sekali tidak berdaya!
"Harap
ji-wi memaafkan dia!" Bouw Thaisu berseru keras ketika melihat tangan
Pek-hiat Mo-ko sudah bergerak untuk menyambut tubuh Gu Lo It dengan sebuah
tamparan ringan yang mengarah kepala Gu Lo It, tamparan yang mungkin akan
merenggut nyawa orang kedua dari Lima Bayangan Dewa itu!
"Plakkk!"
Bouw Thaisu
terhuyung dengan perasaan kaget bukan main, akan tetapi dia telah berhasil
menyelamatkan Gu Lo It dengan menangkis tamparan itu. Sedangkan Gu Lo It dengan
muka sebentar pucat sebentar merah sudah berdiri di pinggir, tadi sempat
disambar oleh suheng-nya, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, yang sekarang
memegang lengannya, mencegah sute yang sembrono itu maju lebih lanjut.
"Bagus!
Kiranya Bouw Thaisu tidak mengecewakan menjadi tokoh partai Po-hai!"
Pek-hiat Mo-ko memuji ketika merasa betapa kuatnya lengan Bouw Thaisu yang
menangkisnya tadi. "Dan akan menjadi lawan yang menggembirakan pula!"
Akan tetapi,
melihat betapa nenek dan kakek itu lihai sekali sedangkan keadaannya tidak
menguntungkan fihaknya, Wang Cin langsung bangkit berdiri. "Cukup semua
ini! Harap Bouw Thaisu dan yang lain-lain suka duduk kembali!" Kemudian
dia memandang Sabutai dan berkata, "Apakah bantuan kami diterima dengan
cara begini oleh bengcu? Apakah semua pengorbanan kami sia-sia belaka?"
Sabutai
memberi isyarat kepada suhu dan subo-nya untuk duduk kembali, kemudian dia
berkata, "Harap maafkan, Wang-taijin. Sebagai orang-orang yang suka dengan
ilmu silat, tentu saja suhu dan subo-ku akan melayani setiap lawan yang hendak
main-main. Kami sama sekali tidak ingin memusuhi taijin, bahkan kami berterima
kasih atas bantuan taijin. Urusan besar masih belum terlaksana, apakah perlu
taijin meributkan kematian seorang perempuan hina seperti Azisha itu?".....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment