Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 01
The Sun
memasuki dusun Ling-chung dengan langkah seenaknya. Pemandangan di sepanjang
perjalanan tadi amat indah, mendatangkan rasa tenang dan tenteram di hati,
menggembirakan perasaannya. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di kota dan
sibuk dengan segala macam urusan kerajaan, pertempuran dan peperangan, kini
keadaan di dusun-dusun terasa amat aman dan tenteram baginya. Musim panen sudah
hampir tiba, padi dan gandum di sawah sudah hamil tua, siap untuk dipotong.
Penduduk dusun, tua muda lelaki perempuan agaknya enggan meninggalkan sawah
ladang yang mereka pelihara setiap hari seperti memelihara anak-anak sendiri,
enggan meninggalkan harta pusaka yang juga merupakan penyambung nyawa mereka,
yaitu padi-padi yang sudah menguning. Mereka siang malam menjaga keras terhadap
gangguan burung di waktu siang dan tikus-tikus pada waktu malam.
The Sun
adalah anak murid Go-Bi-san, putera mendiang The Siu Kai seorang pembesar
militer Mongol yang sekeluarganya terbasmi habis oleh Ahala Beng, kecuali The
Sun yang dapat menyelamatkan diri. Di dalam cerita Pendekar Buta, diceritakan
betapa The Sun yang cerdik, lihai dan bercita-cita tinggi, berhasil menjadi
orang kepercayaan Kaisar Hui Ti atau Kian Bun Ti. Akan tetapi dalam perang
saudara antara Hui Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo, Hui Ti kalah dan
kerajaan dirampas oleh Raja Muda Yung Lo.
Dalam
pertempuran hebat, The Sun beserta teman-temannya kalah oleh Pendekar Buta dan
teman-temannya. Nyaris dia tewas kalau saja dia tidak ditolong oleh kakek
gurunya, Hek Lojin, yang berhasil membawanya lari. Namun Hek Lojin, tokoh Go-bi
itu, juga telah terluka oleh Pendekar Buta, lengan kirinya menjadi buntung!
Peristiwa itu baru beberapa bulan saja terjadi.
Setelah
mengantar kakek gurunya yang terluka itu ke puncak Go bi-san, The Sun yang
tidak betah tinggal di puncak gunung yang sunyi dan dingin itu lalu turun
gunung. Akan tetapi alangkah jauh bedanya The Sun dahulu dan sekarang. la masih
tetap tampan dan gagah, gerak-geriknya lemah-lembut, namun pakaiannya kini
adalah pakaian sederhana, bukan pakaian pembesar atau pun pelajar yang pesolek
lagi. Malah dia tidak membawa-bawa pedang.
la harus
menyamar sebagai seorang penduduk biasa, karena tentu saja dia merupakan
seorang yang dicari oleh pemerintah baru, yaitu pemerintah Kaisar Yung Lo atau
yang sekarang disebut Kaisar Cheng Tsu. Meski kota raja telah dipindahkan ke
utara (Peking), namun masih banyak orang-orangnya kaisar baru ini yang akan
mengenalnya dan akan senang menangkapnya untuk mencari pahala.
Oleh karena
inilah The Sun tidak berani ke selatan, dan sekarang dia hendak melakukan
perantauan ke utara. Seenaknya saja dia melakukan perjalanan, menikmati
ketentraman dusun-dusun dan diam-diam dia merasa betapa bodohnya dia dahulu,
mencari keributan dan kesenangan hampa belaka di kota raja. Alangkah indah
pemandangan di gunung-gunung, sawah-sawah hijau segar, gadis-gadis dusun yang
memiliki kecantikan segar dan wajar, sehat dan pipinya merah jambu tanpa yanci
(pemerah pipi). Penyamarannya membuat dia berlaku hati-hati sekali.
Biar pun hatinya
masih jungkir balik kalau melihat gadis-gadis dusun yang manis segar itu, akan
tetapi tidak seperti dahulu kalau melihat wanita cantik dia terus saja berusaha
mendapatkannya secara kasar mau pun halus, dia sekarang hanya bisa menelan
ludah, menekan perasaan dan kalau gadis itu terlalu cantik apa lagi membalas
senyumannya, dia sengaja membuang muka dan mempercepat langkah meninggalkannya.
The Sun
sesungguhnya merupakan keturunan orang besar. la menjadi rusak dan dahulu
berwatak sombong, mau menang sendiri, mata keranjang, adalah karena dipengaruhi
oleh lingkungan dan hubungannya. Buktinya sekarang setelah dia berkelana
seorang diri, tidak mempunyai kedudukan dan tidak memiliki sandaran, tidak ada
sesuatu yang boleh dia andalkan, dia dapat menguasai perasaan dan nafsunya.
Memang betul kata-kata orang bijak bahwa kesempatan membuat orang menjadi
lemah, yaitu lemah terhadap dorongan nafsu-nafsu buruk. Setiap perbuatan
maksiat, pertama kali dilakukan orang tentu karena mendapat kesempatan inilah.
Kemudian akan menjadi kebiasaan dan membentuk watak.
Dusun
Ling-chung tampak amat sunyi karena sebagian besar penghuninya sedang sibuk
menjaga sawah dengan wajah gembira penuh harapan. The Sun melihat ke kanan
kiri, mencari-cari sebuah warung nasi dengan pandangan matanya, karena pagi
hari itu dia merasa amat lapar setelah melakukan perjalanan semalam suntuk
tanpa berhenti.
Mendadak dia
mendengar samar-samar suara wanita menjerit. Telinganya yang terlatih dapat
menangkap ini. Seketika dia meloncat dan lari menuju ke utara, ke arah suara
itu. Di sebelah utara dusun ini sunyi sekali, tak tampak seorang pun manusia,
bahkan bagian ini merupakan bagian yang tidak subur dari dusun itu, banyak
terdapat rawa yang tidak terurus. Di sudut sana tampak sebuah rumah tua yang
agaknya tidak ditinggali orang.
"Tolong...!"
sekali lagi terdengar jeritan lemah dan The Sun segera mempercepat larinya
menuju ke rumah tua karena dari sanalah pekik itu datangnya.
Dengan
gerakan seperti seekor burung garuda melayang, dia melompat dan setibanya di
dalam rumah tua melalui pintu yang tak berdaun lagi, dia menjadi tertegun dan
matanya membelalak memandang ke dalam. Mukanya seketika menjadi merah dan
matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Apa yang tampak olehnya di sebelah dalam
rumah rusak itu benar-benar membuat The Sun marah sekali.
Di atas
lantai yang kotor tengah duduk menangis seorang wanita muda yang pakaiannya
robek-robek di bagian atas sehingga tampak pundak dan sebagian dadanya yang
berkulit putih seperti salju. Wanita ini cantik jelita dan mukanya pucat,
rambutnya awut-awutan. Di sana-sini terlihat robekan kain pakaiannya, dan
sebagian dari robekan kain masih berada di tangan seorang laki-laki yang
berdiri membungkuk di depan wanita itu.
Laki-laki
yang amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, rambut panjang terurai,
mukanya buruk serta sikapnya kasar dan canggung sekali. Sepasang matanya
membuat orang bergidik, karena mata seperti itu biasanya hanya terdapat pada
muka orang gila. Mata yang liar, bodoh dan aneh.
"Bangsat
kurang ajar! Berani kau mengganggu wanita?" bentak The Sun sambil meloncat
ke dalam.
Lelaki
tinggi besar itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan mengeluarkan suara menggereng
seperti harimau. Mendadak dia tertawa bergelak dan suaranya seperti gembreng
pecah. "Pergi kau! jangan ikut campur, dia milikku, heh-heh-heh."
The Sun
termangu dan meragu, lalu menoleh kepada wanita itu. Mungkinkah si jelita ini
milik orang gila itu? Isterinya? Sambil tertawa-tawa si gila itu kembali maju
mendekat, tangannya yang besar dan kasar hendak meraih si cantik.
Wanita itu
bergidik dan berseru lemah, "Jangan sentuh aku...! Kang Moh, jangan...
kau... kau bunuh saja aku..."
The Sun
makin bingung. "Nona... eh, Nyonya... dia siapakah? Apakah suamimu?"
”Bukan...!
Sama sekali bukan! Dia orang gila di dusun ini... ah, Tuan, tolonglah, suruh
dia pergi dan jangan biarkan dia ganggu aku... lebih baik aku mati, ya
Tuhan…." Ia menangis sedih sekali.
"Keparat!
Mundur dan minggat kau!" The Sun kini maju dengan hati tetap. Lega hatinya
bahwa wanita ini bukan isteri si gila ini dan kemarahannya timbul kembali,
malah lebih hebat dari pada tadi.
Kang Moh
buaya gila itu tiba-tiba memekik keras dan menerjang maju, menghantam The Sun.
Gerakannya kuat sekali, membayangkan tenaga yang luar biasa besar, sedangkan
gerakan tangan kakinya menunjukkan bahwa sedikit banyak orang ini juga pernah
belajar silat.
Namun yang
diserang kini adalah The Sun. Orang sekampung itu boleh takut kepadanya, akan
tetapi menghadapi The Sun, dia bagaikan menghadapi kakek gurunya. Sekali dia
memiringkan tubuh dan menggeser kaki ke kiri, The Sun sudah menghindarkan diri
dari terjangan lawan, kemudian dua kali tangannya bergerak, sekali menotok
leher dan kedua kalinya menusuk ulu hati dengan jari-jari terbuka.
“Ngekkk!”
Terdengar
suara dan tubuh Kang Moh yang tinggi besar itu roboh terjengkang seperti pohon
ditebang dan... dia tidak bergerak-gerak lagi karena dua kali pukulan tadi
ternyata sudah mengirim nyawanya meninggalkan badan. Matanya mendelik, ada pun
dari mulut, hidung, dan telinganya keluar darah!
The Sun
bekerja cepat. Sekali renggut dia telah membuka jubah si gila itu. "Nona,
kau pakailah ini, untuk sementara lumayan guna menutupi pundakmu."
Wanita itu
berdiri dengan lemah, muka yang tadinya pucat menjadi agak merah, tampak gugup
dan malu-malu. Kemudian, setelah menutupkan jubah yang berbau apek itu ke atas
pundaknya, fia menjatuhkan diri berlutut di depan The Sun.
"Terima
kasih... terima kasih, Tuan... tapi tiada gunanya...,. ahh, tiada gunanya lagi
aku hidup..." la menangis terisak-isak dan tak dapat melanjutkan
kata-katanya.
Sementara
itu, The Sun sudah mendapat kesempatan memandang. Wanita ini bukan main cantik
jelitanya dan aneh sekali, jantungnya berdegup tidak karuan. Sudah banyak dia
mengenal wanita cantik, akan tetapi agaknya baru kali ini ada seorang wanita
yang dapat membuat dia marah bukan main tadi, dan sekarang membuat jantungnya
berdebar keras.
Wajah manis
itu laksana pisau belati menikam ulu hatinya, mendatangkan rasa kasihan yang
tidak ada dasarnya. Mata itu, hidung dan mulut itu, seakan-akan menggurat-gurat
kalbunya, menggores-gores jantungnya, minta dikasihani. Dengan dua kaki lemas,
The Sun lalu berlutut pula di depannya. "Jangan berduka, Nona. Kesukaran
apakah yang kau hadapi? Dia itu kurang ajar kepadamu? Lihat, sudah kubikin
mampus dia! Manusia macam dia berani mengganggumu? Biar pun ada seratus orang
macam dia, semua akan kubasmi kalau mereka berani mengganggumu!"
Mendengar
ucapan yang penuh dengan kemarahan ini, wanita itu lalu mengangkat muka
memandang. Muka yang kini pucat kembali, yang amat sayu dan patut dikasihani,
yang basah air mata. "Saya berterima kasih sekali bahwa Tuan sudah
menolong saya dari tangan Kang Moh yang gila itu, akan tetapi... Inkong (Tuan
Penolong) semua itu percuma... belum dapat membebaskan diri saya dari
kesengsaraan... dan jalan satu-satunya bagi saya hanyalah mati..."
"Tidak
ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Memilih jalan kematian
adalah pikiran sesat. Nona, percayalah kepadaku, aku The Sun siap untuk
menolongmu sampai titik darah terakhir. Kau ceritakan saja kepadaku kesukaran
apa yang kau derita."
Mendengar
ucapan yang tegas dan sikap yang sungguh-sungguh ini, wanita itu menjadi
terharu sekali, lalu terisak-isak ia menceritakan penderitaannya. la bernama
Ciu Kim Hoa, semenjak kecil ia sudah diberikan oleh ayah bundanya kepada
seorang pamannya, karena ayah bundanya bercerai dan kawin lagi. Pamannya
bukanlah orang baik-baik. Selama hidup di rumah pamannya, ia diperas tenaganya,
bekerja kasar dan berat. Beberapa kali sudah ia mencoba untuk minggat, akan
tetapi selalu gagal dan hasilnya hanya gebukan dan tendangan.
"Kekejaman
itu masih dapat saya tahan, Inkong, karena kadang-kadang paman itu pun bersikap
baik sehingga kedukaan saya terhibur. Akan tetapi, setahun yang lalu dia sudah
menjual saya kepada keluarga Lee di dusun ini dan mulailah penderitaan batin
yang tak tertahankan lagi..." la menangis terisak-isak.
Diam-diam
The Sun menaruh kasihan. Wanita begini lemah dan cantik jelita, mengapa
nasibnya demikian buruk? Dia membiarkan nona itu menangis sejenak, lalu
menghibur, "Sudahlah, Nona. Semua penderitaan itu takkan terulang kembali,
ceritakan selanjutnya, mengapa kau menderita di rumah keluarga Lee?"
Sesudah
menghapus air matanya, wanita itu melanjutkan, "Kalau di rumah paman saya
hanya menderita lahir, di rumah keluarga Lee saya menderita lahir batin. Pada
mulanya kedua orang tua dari keluarga itu baik terhadap saya, akan tetapi tiga
bulan kemudian saya dijadikan permainan oleh tiga orang anak laki-laki keluarga
Lee. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan mereka laki-laki
yang kejam. Saya tidak dapat menolak, tidak dapat melarikan diri, beberapa kali
mencoba membunuh diri juga mereka halang-halangi, ahhh... In-kong... apa
artinya lagi hidup ini...?"
The Sun
menggigit gigi hingga mengeluarkan bunyi berkerot. Di samping kasihan kepada
wanita ini, dia pun merasa hatinya panas dan marah sekali.
"Teruskan...
teruskan...!" Desaknya dengan suara keras dan nafas memburu.
"In-kong...
betapa hancur hati saya ketika saya mendapatkan diri saya... mengandung! Saya
ceritakan kepada mereka dan menuntut supaya dinikahi dengan sah. Namun apa yang
saya dapatkan? Mereka marah-marah. Saya diusir dengan tuduhan telah main gila dengan
laki-laki luar, padahal mereka bertigalah yang memaksa serta mempermainkan
saya".
"Keparat
jahanam!!" The Sun memaki, akan tetapi tiba-tiba mukanya merah sekali dan
dia termenung.
Teringatlah
ketika dia masih dalam keadaan jaya dahulu, entah berapa banyak wanita yang dia
permainkan tanpa mempedulikan akibatnya. Heran sekali. Biasanya mendengar
cerita semacam ini baginya malah terasa lucu sekali, dan biasanya mungkin dia
akan mentertawakan wanita yang mengalami nasib demikian. Akan tetapi mengapa
sekarang, di depan wanita ini, timbul rasa kasihan dan marah? Apakah ini
kemarahan karena dia tidak senang mendengar orang melakukan perbuatan jahat dan
sewenang-wenang, ataukah kemarahan ini timbul justru karena wanita inilah yang
dipermainkan? The Sun tidak tahu, pendeknya waktu itu dia marah sekali terhadap
mereka yang telah mempermainkan wanita itu.
"Kemudian
bagaimana, Nona? Teruskan…"
"Saya
diusir dari rumah mereka tanpa diberi apa-apa dan diancam akan dipukuli sampai
mati kalau tidak lekas pergi. Dengan hati remuk saya terpaksa pergi dan sampai
di rumah tua ini karena tiada lain tempat yang dapat saya datangi. Tak lama
kemudian datanglah Kang Moh ini..."
la memandang
ke arah mayat itu dan bergidik ngeri. "Dia ini juga orangnya keluarga Lee,
dan tadinya saya kira dia menyusul dengan pesan dan maksud baik dari mereka.
Tidak tahunya Kang Moh hendak melakukan perbuatan keji dan melanggar susila.
Baiknya kau datang menolong, In-kong... akan tetapi setelah In-kong menolong
saya, apa artinya bagi saya? Keadaan saya masih belum lagi terlepas dari
penderitaan, saya tak punya sanak keluarga, tiada handai taulan, tak ada
sahabat. Ke mana saya harus pergi? Bagaimana saya dapat hidup?" Kembali ia
menangis sesenggukan.
The Sun
bangkit berdiri. Dalam sinar matanya tampak api yang penuh ancaman. "Nona,
di mana tempat tinggal keluarga Lee itu? Katakan di mana mereka itu, akan saya
paksa mereka menerimamu kembali dan mengawinimu sebagaimana mestinya."
"Percuma,
In-kong. Mereka tak akan mau dan harap In-kong jangan memandang rendah mereka.
Mereka itu orang-orang kejam dan ganas, pandai main silat dan di dalam dusun
ini selain terkenal sebagai keluarga terkaya, mempunyai tanah yang luas, juga
terkenal sebagai jagoan-jagoannya. Tiga orang itu ditakuti semua orang di
dusun. Jangan-jangan kau akan dipukuli, In-kong, dan kalau hal ini terjadi,
ahh, aku akan menyesal karena kau tertimpa mala petaka oleh karena aku."
The Sun
tertawa. "Anjing-anjing itu mampu memukul saya? Ha-ha-ha-ha, Nona, boleh
mereka coba! Kau tunggu saja di sini sebentar, Nona. Aku tanggung bahwa mereka
akan menerimamu secara baik-baik atau mampus, karena hanya itulah pilihan
mereka. Nah, di sebelah mana rumah mereka?"
Nona itu
menuding ke arah timur. "Rumah mereka mudah dikenal, rumah paling besar,
merupakan gedung tembok dan di depannya terdapat banyak gentong-gentong tempat
gandum. Mereka siap menerima hasil panen dan gentong-gentong itu sudah
dijajarkan di pekarangan depan."
"Nona,
kau tunggu saja sebentar di sini, aku akan segera datang lagi." The Sun
berkata sambil melangkah lebar menghampiri mayat Kang Moh, lalu dia
mencengkeram rambut mayat itu dan menyeretnya ke luar dari dalam rumah tua.
Tentu saja
orang-orang menjadi heran dan terbelalak memandang seorang lelaki muda dan
tampan berjalan cepat di jalan dusun sambil menyeret tubuh Kang Moh yang sudah
menjadi mayat!
Semua orang
dusun mengenal siapa Kang Moh dan amat takut kepadanya, karena Kang Moh
merupakan tukang pukul keluarga Lee. Siapa kira sekarang Kang Moh sudah mati
dan mayatnya diseret-seret seperti bangkai anjing saja oleh seorang pemuda yang
tidak mereka kenal. Apa lagi melihat pemuda itu menuju ke rumah gedung keluarga
Lee, keheranan mereka bertambah dan berbondong-bondonglah orang dusun mengikuti
The Sun dari belakang. Akan tetapi, karena rasa ngeri, takut dan juga jeri akan
kemarahan keluarga Lee, mereka mengikuti dari jauh dan secara setengah
sembunyi.
Memang mudah
mengenali gedung keluarga Lee. Di dalam pekarangan depan rumah itu terdapat
banyak gentong yang masih kosong dan sebuah alat timbangan digantungkan di
sudut. The Sun menyeret mayat Kang Moh ke dalam pekarangan yang masih sunyi
itu, kemudian dia mengangkat mayat itu, dilemparkan ke ruangan dalam. Mayat itu
melayang ke depan menubruk pintu yang segera terbuka dan menimbulkan suara
hiruk-pikuk.
Terdengar
pekik kaget di sebelah dalam rumah. "Kau kenapa, Kang Moh? Hei,..dia...
dia mati...!”
Di dalam
rumah menjadi ribut dan terdengar bentakan keras, "Siapa yang main gila di
sini?!"
Lalu
melompatlah sesosok bayangan orang tinggi kurus dari dalam. Ketika sudah tiba
di luar dan melihat The Sun berdiri sambil bertolak pinggang di dalam
pekarangan, orang itu melangkah lebar, menghampiri The Sun. The Sun memandang
dengan senyum mengejek. Orang ini umurnya kira-kira tiga puluh tahun, kelihatan
kuat dan gerak-geriknya gesit, tanda bahwa dia juga mengerti ilmu silat.
Teringat akan cerita nona itu, dia segera mendahului,
"Apakah
kau putera keluarga Lee yang tertua?"
"Jembel
busuk, kau ini siapa? Benar, aku tuanmu adalah putera sulung. Mau apa kau
mencari Lee-toaya? Eh, mayat Kang Moh itu..." Orang itu ragu-ragu dan
melirik ke dalam rumah.
"Tak
usah bingung. Mayat itu aku yang melemparkannya ke dalam, malah akulah yang
telah membunuhnya."
Orang she
Lee Itu kaget setengah mati, juga marah sampai mukanya merah. "Siapa kau
dan mengapa kau main gila di sini?"
"Aku
The Sun, tadi kulihat anjing gila peliharaanmu itu hendak mengganggu nona yang
seharusnya menjadi nyonya rumah di sini. Orang she Lee, kau dan dua orang
adikmu sudah berlaku sewenang-wenang terhadap nona Ciu Kim Hoa. Sesudah kalian
berbuat mengapa tidak berani bertanggung jawab? Mengapa kalian bahkan mengutus
anjing gila peliharaan kalian itu untuk menggigitnya?"
Muka yang
pucat itu kini berubah merah. Kemarahan putera sulung Lee ini tidak dapat
dikendalikannya lagi. "Bangsat rendah, jembel busuk, berani kau bicara
begini di hadapanku? Beraninya kau mencampuri urusan kami? Setan, kau mau
apa?!"
Kalau
menurutkan nafsu hatinya, ingin sekali pukul The Sun membinasakan orang ini.
Namun dia ingat akan Ciu Kim Hoa dan dia menahan kesabarannya. "Orang she
Lee, sekarang kau pilihlah salah satu. Pertama, kau harus menerima kembali nona
Ciu, mohon ampun kepadanya, kemudian mengawininya secara sah, menyerahkan hak
kepadanya sebagai nyonya rumah dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Atau yang
kedua, kau dan adik-adikmu itu boleh memilih kematian di tanganku, karena demi
roh nenek moyangmu, kalau kau tidak memenuhi tuntutanku itu, aku akan membunuh
kalian bertiga!"
"Keparat,
kau kira aku takut akan ancamanmu yang kosong itu? Kau malah yang harus
membayar hutangmu atas nyawa Kang Moh!" Orang she Lee itu lalu membentak
keras dan menerjang maju, mengirim pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada
The Sun.
Melihat
gerakan ini, The Sun tersenyum. Seorang ahli silat biasa saja. Kalau dia mau,
sekali sodok dia akan dapat membuat nyawa orang ini melayang ke neraka. Akan tetapi
dia tak mau menuruti nafsu hatinya dan hendak memperlihatkan kepandaiannya
supaya orang ini kapok dan taat. Dengan mudah dia mengelak, hanya dengan
miringkan tubuh, kemudian tangan kirinya menyambar dan…
"Plak-plak!"
Kedua pipi
di muka orang she Lee itu dia tampar dengan keras. Seketika kedua pipi itu
menjadi bengkak dan orang itu mengusap-usap kedua pipinya sambil meringis
saking nyerinya. Namun dia membentak lagi dan menerjang makin marah, malah
dibarengi teriakan keras memanggil adik-adiknya. Sebetulnya tak perlu dia
berteriak karena dua orang adiknya itu setelah tadi ribut-ribut memeriksa tubuh
Kang Moh, sekarang sudah berlari ke luar dan mereka marah sekali melihat betapa
kakak mereka bertempur dengan seorang pemuda yang tak mereka kenal. Siapa
orangnya yang berani berkelahi dengan Lee Kong, kakak mereka? Kurang ajar!
Tanpa
berkata apa-apa lagi dua orang pemuda yang usianya kira-kira dua puluh empat
dan dua puluh delapan tahun ini serta merta menyerbu dan mengeroyok The Sun.
"Ha-ha-ha,
jadi kalian bertiga inikah putera-putera keluarga Lee? Bagus, sekarang dapat
kuberi hajaran sekaligus."
Begitu
ucapannya terhenti, terdengar pekik kesakitan tiga kali dan tiga orang muda itu
terlempar ke belakang lantas roboh bergulingan. Baiknya The Sun hanya ingin
memberi hajaran saja, maka mereka tidak terluka hebat, hanya dilemparkan dan
roboh saja.
"Nah,
sekarang bersumpahlah untuk menerima kembali nona Ciu serta mengawininya secara
sah. Kalau kalian tidak mau, sekali lagi roboh kalian takkan mampu bangun
lagi!"
Namun dasar
pemuda-pemuda hartawan yang semenjak kecil sudah terlalu biasa diberi
kemenangan terus, ketiga orang she Lee ini tentu saja enggan mengalah. Selama
hidup mereka baru kali ini mereka mendapat pengalaman pahit seperti ini.
Biasanya, jangankan merobohkan mereka, melawan pun tidak ada yang berani.
"Jembel
busuk, kaulah yang akan mampus!" teriak mereka.
Seperti tiga
ekor anjing galak, mereka menyerbu lagi. Sekarang malah dengan senjata di
tangan. Kiranya mereka itu masing-masing selalu menyimpan sebatang pisau
panjang yang tadi mereka selipkan di ikat pinggang. Habislah kesabaran The Sun.
la maklum bahwa andai kata mereka terpaksa menerima kembali Kim Hoa karena dia
tekan, kiranya nona itu kelak takkan terjamin keselamatan dan kebahagiaannya
hidup di tengah orang-orang semacam ini. Kasihan nona itu kalau harus menjadi
keluarga mereka, tentu hanya siksa dan derita saja yang akan dia alami selama
hidupnya.
Kemarahannya
memuncak, apa lagi melihat berkelebatnya tiga batang pisau panjang itu, baginya
seperti seekor harimau mencium darah. The Sun berseru panjang, melengking
tinggi suaranya dan sangat cepat gerakannya sehingga tiba-tiba saja lenyaplah
dia dari pandangan mata ketiga orang pengeroyoknya. Jerit yang terdengar
beruntun tiga kali itu sekarang amat mengerikan karena itulah jerit kematian
dari tiga orang pengeroyok itu. Tahu-tahu mereka telah roboh berkelojotan dan
tepat pada ulu hati mereka tertancap pisau masing-masing, sangat dalam sampai
hanya tersisa gagangnya dan ujung pisau tembus sedikit di punggung! Ada pun The
Sun sudah tak tampak lagi di tempat itu!
Gegerlah
dusun itu. Orang-orang yang tadi menonton sambil sembunyi, sekarang keluar dari
tempat persembunyian. Namun ketiga orang muda itu tak tertolong lagi, begitu pisau
dicabut nyawa mereka ikut tercabut. Tinggallah kakek dan nenek keluarga Lee
yang menangis meraung-raung. Tampak juga orang-orang dusun, terutama yang
wanita, menangis karena terharu. Akan tetapi banyak orang laki-laki dusun itu
diam-diam tertawa, bahkan wanita-wanita itu setelah pulang ke gubuk
masing-masing juga tertawa lega. Sudah terlalu banyak penderitaan lahir batin
yang harus mereka alami dari tiga orang pemuda Lee itu.
The Sun
sudah kembali ke dalam rumah tua. Hatinya berdebar cemas, dan dia kembali
merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia cemas dan takut kalau-kalau
wanita itu sudah tidak berada lagi di situ? Mengapa dia khawatir kalau-kalau
Kim Hoa membunuh diri? Bagaikan terbang dia tadi kembali ke tempat ini dan
kedua kakinya gemetar ketika dia memasuki rumah tua.
Wajahnya
seketika berseri ketika dia lihat Kim Hoa masih berada di situ, berdiri di
sudut dengan mata selalu memandang ke luar, agaknya mengharapkan kembalinya.
Memang betul dugaannya karena begitu melihat dia muncul, Kim Hoa segera berlari
menghampiri.
"Bagaimana,
In-kong?"
The Sun
tersenyum dan hendak menggodanya. "Mereka dengan senang hati suka untuk
menerimamu kembali, Nona, bahkan bersedia mengawinimu. Kau akan menjadi nyonya
muda di sana, dihormati dan disegani di samping nyonya tua ibu mereka."
Tiba-tiba
nona itu kembali menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya. The Sun
mengerutkan keningnya, tetapi sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya
tersenyum karena dia senang melihat bahwa dugaannya benar. la sudah menduga
bahwa gadis itu pasti tidak suka kembali ke sana, biar pun dikawini secara sah,
dijadikan nyonya rumah, karena memang watak tiga orang laki-laki itu amat
buruk.
"Nona,
kenapa kau menangis? Bukanlah hal itu baik sekali?"
Kim Hoa
menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis, sukar baginya mengeluarkan suara
karena menangis tersedu-sedu itu. Akhirnya dia mampu menguasai tangisnya dan
berkata, "Tidak, In-kong... saya tidak sudi kembali ke sana. Mereka mau
menerima saya dan mengawini saya hanya karena kau paksa. Kalau In-kong sudah
pergi, tentu mereka akan melampiaskan kedongkolan hati kepada saya, …aahh...
ngeri saya memikirkan hal itu."
”Nona,
apakah kau tidak... tidak cinta kepada mereka? Kepada salah seorang di antara
mereka?"
"Tidak!
Tidak! Aku benci kepada mereka semua! Aku benci kepada yang muda-muda, juga
benci kepada yang tua! Mereka orang-orang jahat dan keji!"
The Sun
mengerutkan kening dan ragu-ragu untuk mengeluarkan pertanyaan ini, namun
dipaksanya, "Maaf, Nona. Tetapi... tapi... bukankah mereka... seorang di
antara mereka adalah... ayah dari anak dalam kandunganmu?"
Tiba-tiba
Kim Hoa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis dengan sedih.
"Biarkan
aku mati... biarlah aku mati saja... ya Tuhan, apa dosa hamba sehingga harus
menanggung derita dan hinaan seperti ini?" Nona itu mengeluh panjang dan
pingsan.
The Sun
berlutut, menggeleng-gelengkan kepala. "Kasihan..."
Dengan
hati-hati sekali dia lalu mengurut jalan darah di leher dan punggung. Kembali
dia merasa heran dan tak mengerti mengapa dadanya berdebar begitu keras ketika
ujung jari tangannya menyentuh kulit leher dan punggung. Apa yang aneh dalam
diri nona ini sehingga seakan-akan mempunyai besi sembrani yang menariknya amat
kuat?
Kim Hoa
siuman kembali, mula-mula hanya termenung memandang kosong, kemudian dia
mengeluh panjang. "In-kong, pertanyaanmu tadi... bagaimana saya harus
menjawab? Saya dipaksa, saya tak berdaya... saya benci mereka, saya benci diri
sendiri dan saya benci anak dalam kandungan ini...”
"Hushhh,
jangan bicara demikian. Anak itu tidak berdosa."
"Lebih
baik aku bunuh diri, biarlah anak ini tidak sempat terlahir."
”Hushhh,
tidak boleh. Kau harus hidup, hidup bahagia, juga anak itu harus lahir dalam
rumah tangga bahagia."
"Bagaimana...?
Apa maksudmu, In-kong... ?”
Kini The Sun
tidak tersenyum lagi, wajahnya yang tampan nampak bersungguh-sungguh. Matanya
menatap tajam pada saat dia membantu Kim Hoa duduk.
"Nona,
aku The Sun seorang laki-laki sejati, sekali bicara tidak akan kutarik kembali.
Aku juga hidup sebatang kara. Terus terang saja, saat melihat kau, hatiku
timbul kasihan dan cinta. Aku cinta kepadamu dan kalau kau sudi menerima, aku
bersedia menjadi suamimu dan menjadi ayah dari anak di kandunganmu. Sekarang
juga, jawablah, kalau kau mau akan kubawa ke Go-bi-san di mana kita hidup
berbahagia di tempat yang jauh dari dunia ramai. Kalau kau tidak mau, terpaksa
aku harus meninggalkanmu dan kau boleh pilih apa yang baik untukmu, aku tidak
berhak mencampuri lagi."
Dapat
dibayangkan betapa sukar keadaan Kim Hoa di saat itu. la belum mengenal The
Sun, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang seperti ini,
yang tampan, gagah perkasa dan aneh. la tahu bahwa ia harus dapat menjawab
sekarang juga, tanpa ragu-ragu. Terang bahwa pemuda ini berbeda dengan keluarga
Lee, berbeda dengan pamannya, berbeda dengan ayahnya dulu. Pemuda ini tampan
dan memiliki kepandaian luar biasa. Hidup di sampingnya berarti hidup aman
tenteram, terbebas dari gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya apa bila ia
menolak, jalan satu-satunya hanya membunuh diri. la ngeri kalau memikirkan ini.
"Bagaimana,
Nona?" The Sun mendesak.
"Aduh,
In-kong, bagaimana saya harus menjawab? Saya seorang wanita... bagaimana...
ahhh..."
The Sun
mengangguk senang. Keadaan lahir nona ini sudah dia lihat, dan dia sangat
tertarik dan suka akan kecantikannya. Keadaan batinnya belum dia ketahui, akan
tetapi melihat sikap gadis ini, dia pun dapat menduga bahwa Kim Hoa berperasaan
halus dan bersusila tinggi. Hanya karena nasibnya yang buruk, tidak mempunyai
andalan di dunia ini, maka dia terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan seperti
itu.
"Aku
tahu betapa sukarnya bagimu untuk menjawab, Nona. Sekarang jawablah dengan
anggukan saja. Jika kau mengangguk, berarti kau sudi menerima tawaranku untuk
hidup berdua. Apa bila kau menggeleng kepala, aku akan pergi sekarang juga dan
tidak akan mengganggumu lebih lama lagi."
Dengan air
mata bercucuran saking terharu dan merasa bahagia karena baru sekarang selama
hidupnya ia mendapatkan orang yang begini memperhatikan nasibnya, Kim Hoa
menganggukkan kepalanya sampai berulang-ulang!
The Sun
tertawa bergelak, menubruk maju dan di lain saat Kim Hoa sudah dipondongnya dan
dibawa lari ke luar rumah tua. Kim Hoa kaget sekali, apa lagi merasa betapa ia
bagai dibawa terbang. Ngeri hatinya. Sedetik ia curiga. Manusiakah atau bukan
pemuda ini?
Bagaimana
bisa terbang kalau manusia? Akan tetapi ia menyerahkan diri kepada orang ini,
yang dekapannya begitu kokoh kuat, begitu sentosa. la meramkan mata dan merasa
aman. Desir angin yang mengaung di kedua telinganya makin lama makin merdu
seperti dendang yang menina-bobokkannya. Sesudah bertemu dengan Ciu Kim Hoa,
The Sun benar-benar sudah berubah menjadi seorang manusia lain. Dia merasa
hidupnya tenteram dan penuh damai, tidak bernafsu untuk merantau lagi. Kakek
gurunya, yaitu Hek Lojin yang sudah buntung lengan kirinya, menerimanya dengan
girang. The Sun bersama Kim Hoa yang ia aku sebagai isterinya, selanjutnya
tinggal di puncak Go-bi-san ini bersama Hek Lojin.
Beberapa
bulan kemudian Kim Hoa melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat.
The Sun menerima kehadiran anak ini dengan gembira dan bahagia, dengan tulus
menganggapnya sebagai anak sendiri. Anak itu diberi nama Siu Bi dan diberi nama
keturunan The. Juga Hek Lojin amat sayang kepada bayi ini, sehingga dalam masa
tuanya kakek itu pun merasakan kebahagiaan. Memang, kebahagiaan dapat dinikmati
dalam hal apa pun juga, dalam soal-soal sederhana, asalkan orang dapat
mengenalnya.
Yang paling
berbahagia adalah Kim Hoa. Dia bahagia, juga sangat terharu akan sikap suaminya
yang benar-benar menganggap Siu Bi seperti anak keturunannya sendiri. Dia
sangat kagum akan kebijaksanaan suaminya dan bagi Kim Hoa, manusia yang paling
mulia di dunia adalah suaminya, The Sun!
Memang
ganjil dunia ini. Banyak sekali orang menganggap The Sun sebagai seorang
manusia jahat, keji, pendeknya bukan manusia baik-baik. Akan tetapi coba tanya
Kim Hoa, apakah bagi dia ada manusia yang lebih mulia dari pada The Sun?
Kelihatannya saja ganjil dan aneh. Keganjilan yang tidak aneh, atau keanehan
yang tidak ganjil bagi yang mau memperhatikan.
Hidup
manusia dikuasai seluruhnya oleh egoisme (ke-akuan). Maka tidak mengherankan
apa bila pandangan orang terhadap orang lain juga terbungkus sifat ke-akuan
ini. Orang lain yang menguntungkan dirinya, tentu dipandang sebagai orang baik,
sebaliknya orang lain yang merugikan dirinya, tentu dipandang sebagai orang tidak
baik.
Dalam hal
ini, keuntungan atau kerugian diartikan luas dan mengenai lahir batin. Sifat
ke-akuan yang sudah menyelubungi seluruh kehidupan manusia ini sudah menjadi
satu dengan kehidupan itu sendiri sehingga sifat ini dianggap umum. Siapa
menyeleweng dari sifat ini, dialah yang dianggap tidak umum, malah dianggap
tidak normal! Inilah dunia dan manusianya, panggung sandiwara dengan manusia
sebagai badut-badutnya.
Dengan The
Sun sebagai ayah dan Hek Lojin sebagai kakek guru, tentu saja semenjak kecil
Siu Bi sudah digembleng dengan ilmu silat. Hek Lojin bahkan mengajarnya dengan
sungguh-sungguh, sedangkan ayahnya, The Sun, adalah seorang ahli dalam ilmu
surat. Oleh karena itu, semenjak kecil Siu Bi menerima gemblengan ilmu surat
dan ilmu silat, malah oleh ibunya juga dilatih dalam ilmu kewanitaan, memasak
dan menyulam.
Maka, biar
pun anak ini hidup di puncak gunung, tidak pernah melihat kota besar kecuali
dusun-dusun di sekitar pegunungan, akan tetapi ia menerima pendidikan anak
kota, tidak hanya pandai bermain pedang, berlatih ginkang, lweekang dan
memelihara sinkang di dalam tubuh, tetapi juga tidak asing akan tata cara dan
sopan santun, pandai menulis sanjak, juga tahu akan sejarah, pandai meniup
suling dan dapat pula mengganti pedang dengan jarum halus untuk menyulam!
Siu Bi
menjadi seorang gadis cantik, secantik ibunya. Rasa kecintaan yang dicurahkan
kepadanya oleh ayah, ibu, dan kakeknya, membuat ia menjadi seorang gadis manja
dan nakal. Segala keinginannya selalu dituruti dan karenanya gadis ini tak
biasa menghadapi penolakan terhadap keinginannya. Apa yang ia kehendaki harus
dituruti dan dipenuhi!
Dalam hal
ilmu silat, dia sudah mewarisi semua kepandaian ayahnya, bahkan Hek Lojin tidak
tanggung-tanggung menurunkan ilmunya yang paling hebat, yaitu ilmu tongkat yang
diubah menjadi ilmu pedang untuk disesuaikan dengan gadis itu.
"Ilmu
ini kuberi nama Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh), cucuku.
Jangankan orang lain, bahkan ayahmu sendiri tidak pernah kuwarisi ilmu pedang
yang tadinya adalah ilmu tongkatku ini."
"Kongkong,
apakah ilmu pedang ini tidak ada tandingannya lagi di dunia ini? Ibu bilang
bahwa ayah adalah seorang yang sakti, malah katanya di dunia ini jarang ada
yang bisa melawan. Kongkong sebagai gurunya tentu merupakan jago utama di dunia
ini, karena itu aku ingin kau beri ilmu yang nomor satu di dunia, agar jangan
ada orang lain dapat mengalahkan aku.”
"Ha-ha-ha-ha,
kau cerdik… kau sangat pintar." Dengan tangan kanannya, kakek hitam itu
mengelus-elus hidungnya. "Mari kau datang ke kamarku, jangan sampai
ketahuan ayah ibumu dan aku akan menurunkan ilmu yang paling hebat ini
kepadamu."
Siu Bi yang
sekarang sudah berusia enam belas tahun itu berjingkrak kegirangan, lalu
menggandeng tangan kanan kakeknya dan menyeret orang tua itu ke dalam kamar Hek
Lojin yang lebar dan gelap.
"Nah,
sekarang kau harus berlutut dan bersumpah, baru aku akan menurunkan Cui-beng
Kiam-hoat."
"Bersumpah
segala apa perlunya, Kongkong? Apakah kau tidak rela menurunkan ilmu itu
kepadaku?" Siu Bi mulai merengek manja.
"Hisss,
anak bodoh. Mempelajari ilmu ini ada syaratnya, dan kalau kau mau bersumpah
untuk memenuhi syarat itu, kelak baru aku mau menurunkannya dan mati pun aku
akan meram." Kakek itu menghela nafas panjang.
"Lho,
kau susah, Kek? Ada apakah? Bilang saja, cucumu akan dapat menolongmu."
Siu Bi menyombong.
"Kau
lihat lengan kiriku ini?" Kakek itu menggerakkan sisa lengan kirinya yang
buntung sebatas siku. Tentu saja Siu Bi yang sudah melihatnya sejak kecil tidak
merasa ngeri dan sudah biasa.
"Bukankah
dahulu kau bilang karena kecelakaan maka lenganmu buntung, Kek? Ataukah ada
cerita lain?"
Siu Bi
memang cerdik sekali orangnya, jalan pikirannya cepat dan mungkin karena hidup
di tempat sunyi dan dekat dengan seorang sakti aneh seperti Hek Lojin, sedikit
banyak wataknya juga terbawa aneh. Gadis ini tidak pernah memperlihatkan
perasaan terharu. Perasaannya kuat dan tidak mudah terpengaruh.
"Memang
akibat kecelakaan, akan tetapi kecelakaan yang dibuat oleh orang lain. Lengan
kiriku buntung oleh seorang musuhku yang bernama Kwa Kun Hong, berjuluk
Pendekar Buta."
"Buta?
Dia buta...? Wah, mana bisa hal ini terjadi? Aku tidak percaya, Kek. Kau bohong!"
Hek Lojin
menarik nafas panjang. Ucapan cucunya yang manja dan telah biasa bersikap kasar
terhadapnya itu pada saat lain tentu akan membuat dia terkekeh geli, akan
tetapi saat itu dia menerimanya seperti sebuah tusukan pada jantungnya.
Memang sungguh
memalukan sekali. Dia, tokoh besar Go-bi-san yang namanya sudah sejajar dengan
tokoh-tokoh kelas satu di dunia persilatan, menjadi buntung lengan kirinya
menghadapi seorang lawan yang buta, dan masih muda lagi!
"Aku
tidak bodoh, dan memang dia itu buta kedua matanya, tapi amat lihai."
"Bagaimana
kau bisa kalah, Kek? Bukankah kau orang terpandai di kolong langit?"
"Pada
waktu itu, delapan belas tahun yang lalu, aku belum lagi menciptakan Cui-beng
Kiam-hoat, ilmuku masih merupakan ilmu tongkat yang liar. Juga aku belum
menciptakan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang juga hendak kuajarkan kepadamu
sebagai imbangan dari Cui-beng Kiam-hoat."
"Sekarang
kau sudah mempunyai kedua ilmu itu, mengapa tidak mencari dia dan balas
membuntungi lengannya?"
Karena sejak
kecil berada di puncak Go-bi dan tidak pernah menyaksikan sepak terjang Hek
Lojin terhadap orang lain, hanya sehari-hari menyaksikan sikap kakek itu
terhadap dirinya amat baik dan mencinta, tentu saja Siu Bi juga menganggap
kakek ini orang yang amat mulia dan baik hatinya.
Kembali Hek
Lojin menarik nafas panjang, tampak berduka sekali. "Aku sudah makin tua,
usiaku sudah delapan puluh lebih, sudah lemah, tenaga sudah hampir habis, mana
bisa membalas dendam? Musuhku itu sekarang paling banyak setua ayahmu, bahkan
masih lebih muda lagi, sedang kuat-kuatnya. Selain itu, dengan hanya sebuah
lengan, mana aku dapat menang?
Untuk
melawan ilmu pedangnya, dengan pedang yang bersembunyi dalam tongkat, dan
menghadapi ilmu pukulannya yang mengeluarkan uap putih, harus memainkan
Cui-beng Kiam-hoat dan sekaligus tangan kiri memainkan Hek-in-kang. Bagiku
tiada harapan lagi, harus kutelan kekalahan dan penghinaan ini dan aku akan
mati dengan mata terbelalak kalau tidak ada orang yang dapat membalaskan
dendamku."
"Hemmm,
kalau begitu, engkau mau menurunkan kedua ilmu itu kepadaku dengan syarat bahwa
aku harus membalaskan dendammu terhadap Pendekar Buta itu, Kek?"
Dengan
lengan kanannya, Hek Lojin memeluk pundak cucunya. "Siu Bi, kau
benar-benar menggembirakan hatiku. Kau cerdik, kau pintar, kau tahu akan isi
hatiku. Benar, cucuku, kau bersumpahlah bahwa kelak kau akan membalaskan hinaan
terhadap diriku ini pada Pendekar Buta, dan sekarang juga aku akan wariskan
kedua ilmu itu kepadamu."
"Kongkong,
tanpa hadiah apa pun juga, sudah menjadi kewajibanku untuk membalaskan sakit
hatimu. Terlalu sekali Pendekar Buta itu. Sudah buta matanya, buta pula
hatinya, menghina orang sesukanya. Lengan orang dibuntungi, hemmm, padahal kau
seorang tua yang baik dan tidak berdosa, apa dikiranya dia seorang saja yang
paling pandai di dunia ini? Jangan khawatir, Kek, aku bersumpah, kelak kalau
ada kesempatan tentu aku akan membuntungi lengan kirinya, persis seperti yang
telah dia lakukan kepadamu."
"Orang
hutang harus ada bunganya, Siu Bi. Keenakan dia kalau hanya dibuntungi lengan
kirinya seperti aku, harus ada tebusan bagi penderitaanku belasan tahun ini.
Tidak hanya dia, juga kalau dia mempunyai anak, semua anaknya harus kau
buntungi pula lengan kirinya."
"Bapaknya
jahat anaknya pun tentu jahat. Baik, Kek, akan kutaati permintaanmu itu."
Bukan main
girangnya hati Hek Lojin dan semenjak hari itu dia menurunkan Ilmu Pukulan
Hek-in-kang yang kalau dimainkan dengan sempurna, dari tangan si pemain akan
keluar uap kehitaman yang mengandung racun.
Tanpa ia
sadari, gadis yang bersih itu kini dikotori oleh ilmu silat yang mengandung
ilmu hitam. Tidak ini saja, malah di dalam hatinya sudah ditanamkan bibit
permusuhan yang hanya dapat dipuaskan dengan aliran darah dan buntungnya lengan
entah berapa orang banyaknya!
Tidak mudah
mewarisi dua macam ilmu itu. Meski pun Siu Bi sudah mempunyai dasar yang kuat,
namun untuk memahami dua buah ilmu itu ia harus berlatih sampai setahun lebih
lamanya!
Bukan main
cepatnya kemajuan gadis Itu setelah ia mewarisi dua macam ilmu silat ini dari
kakeknya. The Sun sama sekali tidak tahu akan hal ini, karena kakek dan gadis
itu tidak memberi tahu kepadanya. Memang keduanya merahasiakan hal ini, bahkan
The Sun sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu telah menciptakan ilmu silat
yang begitu hebat dan dahsyat.
Pada suatu
senja, secara iseng-iseng ayah ini mengintai kamar anaknya, karena dia merasa
heran mengapa sekarang sore-sore gadis itu sudah masuk ke kamar sehabis makan
sore. Alangkah herannya saat dia melihat gadis itu berjungkir balik di atas
tempat tidurnya, kepala di atas kasur dan kedua kaki lurus ke atas, kemudian
kedua tangannya bergerak-gerak aneh. Yang amat mengagetkan hatinya adalah cara
gadis itu berlatih pernafasan. Mengapa secara berjungkir seperti itu?
Diam-diam
dia merasa heran, akan tetapi dia tidak mau mengganggu, hanya mengintai terus
sampai jauh malam. Ketika menjelang tengah malam anaknya itu melompat keluar
jendela secara diam-diam dan pergi ke pekarangan belakang, The Sun terus
mengikuti dengan hati tidak enak. Dia melihat anaknya itu mencabut pedang dan
bersilat di bawah sinar bulan purnama. Bukan main hebatnya. The Sun sampai
melongo ketika menyaksikan betapa pedang itu bergulung-gulung mengeluarkan hawa
dingin dengan sinar menghitam. Kemudian makin terkejut dia ketika tangan kiri
anaknya itu diputar-putar dan digerakkan sedemikian rupa sehingga mengeluarkan
uap berwarna hitam pula!
Tiba-tiba
muncul bayangan hitam yang dikenal oleh The Sun biar pun keadaan remang-remang,
karena orang ini bukan lain adalah Hek Lojin. Kakek itu keluar sambil tertawa
bergelak. "Bagus, bagus! Kau malah lebih hebat dari pada aku sepuluh tahun
yang lalu. Cucuku yang pintar, cucuku yang manis, engkaulah yang akan membikin
aku dapat mati meram. Sekarang tinggal aku menagih janji, kau harus memenuhi
janji dan sumpahmu."
"Di
mana adanya Pendekar Buta itu, Kek?"
"Ha-ha-ha,
dia manusia sombong itu berdiam di puncak Liong-thouw-san. Dia sebetulnya
putera ketua Hoa-san-pai. Kau cari dia di Liong-thouw-san, apa bila tidak ada,
susul dia ke Hoa-san-pai, buntungi lengannya dan lengan isterinya, juga lengan
semua anaknya. Ha-ha-ha, aku akan mati meram."
Tiba-tiba
The Sun melompat ke luar, bulu tengkuknya berdiri. "Suhu! Siu Bi! Apa
artinya ini semua? Dari mana kau mendapatkan ilmu setan itu?"
"Ayah,
ilmu warisan Kongkong bagaimana kau berani menyebutnya ilmu setan?"
The Sun
makin tercengang, lalu memandang kakek itu yang diam saja. "Suhu, benarkah
Suhu yang mewariskan kedua ilmu itu?"
"Hemmm,
memang benar. Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-hoat adalah perubahan dari ilmu tongkat
hitamku dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang itu adalah inti sari semua Iweekang yang
kupelajari. Dua ilmu ini diperlukan untuk menghadapi kepandaian Kun Hong si
manusia buta."
"Suhu!"
The Sun berseru keras, kemudian berpaling kepada Siu Bi sambil membentak keras.
"Hayo kau kembali ke kamarmu!" Bentakan ini ketus dan marah.
Siu Bi
selama hidupnya belum pernah dibentak seperti ini oleh ayahnya, maka dia
terisak menangis sambil berlari masuk ke kamarnya! Akan tetapi, gadis yang
sangat cerdik ini tentu saja tidak merasa puas kalau harus menangis begitu
saja. la merasa sangat penasaran dan diam-diam ia mempergunakan ginkang-nya
yang tinggi untuk keluar lagi dari dalam kamarnya, lalu berindap-indap
mengintai dan mendengarkan percakapan antara kakeknya dan ayahnya. Dan apa yang
dia dengar malam itu baginya merupakan tusukan-tusukan pedang beracun yang
berkesan hebat dan menggores amat dalam di kalbunya.
"Suhu,"
dia mendengar ayahnya mencela, "Bagaimanakah Suhu mempunyai niat yang
begitu berbahaya? Mengapa Siu Bi Suhu bawa-bawa, Suhu seret ke dalam gelombang
permusuhan pribadi? Teecu menyesal sekali, karena menurut pendapat teecu
permusuhan dengan Pendekar Buta bukan merupakan permusuhan pribadi, akan tetapi
permusuhan karena negara. Teecu tidak suka dia diseret ke dalam permusuhan Suhu
itu, malah teecu mempunyai keinginan untuk menjodohkan dia dengan seorang di
antara para ksatria dari Hoa-san-pai atau Thai-san-pai, supaya keturunan teecu
kelak menjadi orang-orang gagah perkasa yang terhormat dan membuat nama besar
di dunia."
"Huh,
The Sun. Kau sekarang mau pura-pura menjadi orang alim? Apa kau tidak melihat
lenganku yang buntung ini? Apakah sakit hati ini harus kita diamkan saja ?
Bukankah ini berarti merendahkan nama besar Go-bi-san? The Sun, ke mana
kegagahanmu? Mana baktimu terhadap guru? Ahhh, dia lebih gagah dari pada kau,
lebih setia dan berbakti!"
"Suhu,
terang bahwa Pendekar Buta bukan musuh teecu. Andai kata teecu tidak yakin
betul bahwa teecu tak akan mampu menandinginya, tentu teecu sudah lama
mencarinya untuk diajak bertanding. Apa bila memang Suhu demikian menaruh
dendam kepadanya, mengapa tidak Suhu sendiri turun gunung, mencarinya dan
menantangnya? Masa gadis remaja seperti dia disuruh turun gunung? Teecu tidak
setuju dan tidak boleh!" Suara The Sun mengeras.
"Hemmm,
kau murid durhaka Aku sudah begini tua, bagaimana dapat membalas dendam
sendiri? Apa artinya aku punya murid? Apa artinya menurunkan kepandaian? Kau
sendiri kalau dahulu tidak lekas-lekas kubawa lari, apakah juga tidak akan
mampus di tangan Pendekar Buta? Sekarang, Siu Bi suka membalaskan dendam,
mengapa kau ribut-ribut? Kalau kau sendiri tidak becus membalas budi guru,
biarlah dia yang pergi. Kau tidak mau ya sudah, tapi dia mau, perlu apa kau
ribut lagi?"
"Tapi
dia puteriku, Suhu. Dia anak tunggal... seorang gadis lagi...!"
"Siapa
bilang dia puterimu? Ha-ha-ha, dia bukan anakmu!"
"Suhu...!!!"
"Ha-ha-ho-ho-ho,
kau kira Hek Lojin sudah pikun dan bermata buta? Ha-ha-ha, The Sun, tentu saja
aku tahu. Tetapi aku tidak akan membuka mulut kepada siapa pun juga, asal kau
membiarkan dia membalaskan dendam terhadap Pendekar Buta."
"Tidak!
Tidak boleh...! Suhu, jangan suruh dia!"
"Ha-ha-ha,
dia telah bersumpah, tak mungkin menjilat ludah sendiri, tak mungkin seorang
keturunan jago Go-bi mengingkari janji."
"Teecu
akan melarangnya!" teriak The Sun, kemarahannya memuncak.
"Aku
akan memaksanya, mengingatkan dia akan sumpahnya!" Hek Lojin bersikeras.
"Kau...
kau jahat...!" The Sun lupa diri dan menerjang kakek itu.
Hek Lojin
cepat-cepat menangkis, akan tetapi karena dia sudah amat tua, sudah hampir
sembilan puluh tahun usianya, tangkisannya kurang kuat dan gerakannya kurang
cepat.
"Bukkk...
bukkk!" Dua kali dadanya terpukul oleh The Sun dan dia terguling roboh.
"Ayahhh...!"
Siu Bi meloncat dan berlari menghampiri.
Sebutan ayah
tadi tercekik di tenggorokannya karena ia teringat akan kata-kata Hek Lojin
bahwa dia bukan anak The Sun! Akan tetapi pada saat itu ia tidak peduli dan
menubruk Hek Lojin yang rebah terlentang.
Kakek itu
terengah-engah, memandang pada Siu Bi dengan mata mendelik, kemudian...
nyawanya melayang, nafasnya putus. Dia tewas dalam pelukan Siu Bi, tetapi
matanya tetap mendelik memandang gadis itu.
"Kongkong...!"
Siu Bi menangis dan memeluki kakek itu yang mencintanya semenjak ia masih
kecil. Di dekat telinga kakek yang sudah mati itu ia berbisik perlahan,
"Aku akan balaskan dendammu, Kek..."
Bisikan
campur isak ini tidak terdengar oleh The Sun yang berdiri seperti patung dengan
muka pucat. Akan tetapi anehnya, kedua mata yang mendelik dari kakek itu
tiba-tiba kini tertutup rapat setelah Siu Bi berbisik. Hal ini terlihat oleh
Siu Bi, di bawah sinar bulan. la terharu dan menangis lagi, menggerung-gerung.
The Sun menyesal bukan main, namun penyesalan yang sudah terlambat. Betapa pun
juga, hatinya lega karena rahasia tentang Siu Bi yang entah bagaimana sudah
diketahui oleh Hek Lojin itu, sekarang tertutup rapat-rapat. Sama sekali dia
tidak menduga bahwa Siu Bi telah mendengarkan percakapan tadi!
Setelah
jenazah Hek Lojin dikubur, pada malam harinya, secara diam-diam Siu Bi telah
minggat tanpa pamit, meninggalkan puncak Go-bi-san! Ketika itulah The Sun baru
sadar bahwa ternyata anaknya sudah tahu akan rahasia dirinya. Tentu saja hal
ini membuat The Sun hancur hatinya, dan lebih-lebih ibu Siu Bi sangat berduka
sehingga berkali-kali ia jatuh pingsan. The Sun menghibur isterinya dengan
janji bahwa mereka juga akan turun gunung setelah masa berkabung habis, untuk
mencari anak mereka yang tercinta itu. Suasana bahagia di puncak ini seketika
berubah menjadi penuh kedukaan. Siapa kira, kehidupan yang tadinya serba
bahagia itu dapat sekaligus hancur berantakan. Memang begitulah keadaan hidup
di dunia ini….
Kita
tinggalkan dahulu keluarga di puncak Go-bi-san yang sedang dicekam kedukaan itu
dan mari kita menengok Pendekar Buta, orang yang menjadi sebab timbulnya
peristiwa menyedihkan di puncak Go-bi-san. Para pembaca cerita ‘Pendekar Buta’
tentunya tahu siapakah pendekar yang cacat ini, seorang tuna netra (buta) yang
memiliki ilmu kepandaian dahsyat sehingga orang sakti seperti Hek Lojin dapat
dibuntungi lengan kirinya.
Pendekar
Buta adalah putera dari ketua Hoa-san-pai yang sekarang sudah sangat tua dan
disebut Kwa Lojin. Ada pun Pendekar Buta sendiri bernama Kwa Kun Hong. Seperti
telah diceritakan dalam cerita ‘Pendekar Buta’ yang ramai, setelah selesai
pertempuran dan perang saudara antara Pangeran Kian Bun Ti dan pamannya, Raja
Muda Yung Lo di mana Pendekar Buta membela Raja Muda Yung Lo sehingga mencapai
kemenangan, Pendekar Buta lalu menikah dengan Kwee Hui Kauw, yaitu seorang
gadis perkasa puteri Kwee-taijin yang semenjak kecil diculik oleh Ching-toanio
dan dididik ilmu silat di Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau).
Setelah
menikah, Kun Hong beserta isterinya mendiami puncak Liong-thouw-san, puncak
gunung di mana dahulu dia menerima warisan ilmu dari seorang sakti bernama Bu
Beng Cu, ditemani oleh seekor burung rajawali berbulu emas. Yang ikut ke
Liong-thouw-san bersama suami isteri ini adalah seorang anak laki-laki berusia
enam tahun yang menjadi muridnya. Siapakah anak laki-laki ini?
Dalam cerita
‘Pendekar Buta’ sudah dituturkan dengan jelas bahwa anak laki-laki yang menjadi
murid Kun Hong ini adalah Yo Wan atau biasanya dipanggil A Wan. Dia anak
keluarga petani sederhana, ayahnya tewas disiksa kaki tangan tuan tanah di
dusunnya, sedangkan ibunya mati membunuh diri setelah membiarkan dirinya
diperkosa oleh The Sun dalam usahanya menolong keselamatan Kun Hong yang ketika
itu terluka di dalam rumahnya. Karena pertolongan yang mengorbankan kehormatan
dan nyawa inilah maka Kun Hong merasa berhutang budi kepada ibu Yo Wan dan dia
lalu membawa anak yatim piatu ini sebagai muridnya.
Yo Wan
seorang anak yang sangat cerdik. Dengan tekun dia mempelajari semua ilmu yang
diturunkan oleh Kun Hong kepadanya dan setiap hari anak ini tidak mau bersikap
malas. Ia rajin sekali melayani segala keperluan gurunya dan ibu gurunya.
Mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai, membersihkan pondok, malah
kelebihan waktu dia pergunakan untuk menanam sayur mayur serta memeliharanya.
Juga segala keperluan Kun Hong dan isterinya jika membutuhkan sesuatu ke bawah
gunung, dialah yang turun dari puncak dan pergi ke dusun-dusun. Pendeknya, Yo
Wan sangat rajin dan patuh sehingga tidaklah mengherankan apa bila Kun Hong dan
isterinya Hui Kauw amat mencinta anak itu.
Dua tahun
setelah menikah, Hui Kauw pun mengandung. Kun Hong yang amat mencinta isterinya
merasa khawatir. Dia sendiri adalah seorang buta. Sungguh pun dia ahli dalam
hal pengobatan, namun belum pernah dia menolong wanita melahirkan dan tidak
pernah pula dia mempelajari dalam kitab pengobatan. Tempat tinggal mereka di
puncak Liong-thouw-san yang tersembunyi dan jauh dari para tetangga. Bagaimana
kalau sudah tiba saatnya isterinya melahirkan?
"Sebaiknya
kita pindah dulu saja ke Hoa-san, isteriku," kata Kun Hong setelah
isterinya mengandung tiga bulan lamanya.
Hui Kauw
mengerutkan alisnya yang kecil melengkung panjang dan hitam. Di dalam hati ia
merasa tidak setuju. Ia cukup maklum akan bahayanya hidup berdekatan dan
tinggal bersama sanak keluarga. Betapa mudahnya terjadi bentrokan. Gedung besar
orang lain kadang kala merupakan neraka, sebaliknya gubuk kecil milik sendiri
adalah surga, apa lagi di dekatnya ada suami yang tercinta. Akan tetapi, ia
maklum pula bahwa suaminya mengusulkan hal ini karena mengingat akan
kepentingan dan keselamatannya.
"Suamiku,
perlukah kita pindah sejauh itu? Kurasa, kalau sudah sampai saatnya kita bisa
minta bantuan seorang nenek dari dusun di bawah.” la mencoba untuk membantah.
Kun Hong
memegang tangannya, mesra. "Hui Kauw, alangkah akan gelisahnya hati kita
kalau saat itu tiba dan di sini tidak ada orang lain kecuali kau, aku, A Wan,
dan seorang nenek pembantu. Sebaliknya, hati kita akan besar dan tenang, apa
lagi kau melahirkan di tengah-tengah keluargaku, keluarga besar Hoa-san-pai, di
mana terdapat banyak paman dan bibi yang lebih berpengalaman, juga dekat dengan
orang tua. Selain itu, kita harus memikirkan juga pertumbuhan anak kita kelak.
Tentu kau tidak ingin anak kita tumbuh besar di tempat sunyi seperti ini. Aku
ingin anak kita hidup bahagia, gembira setiap hari dan disayang oleh banyak
orang."
Hui Kauw
amat mencinta suaminya, juga amat taat. Karena itu ia tidak mau membantah. Akan
tetapi ketika teringat akan A Wan ia bertanya,
”Bagaimana
dengan A Wan?"
"Tentu
saja dia ikut! Mana bisa kita tinggalkan dia di sini seorang diri?"
Di dalam
hatinya, Hui Kauw mengkhawatirkan keadaan murid itu. Dia cukup mengenal watak A
Wan setelah anak itu tinggal di sana selama dua tahun. Anak itu pendiam dan
taat, akan tetapi mempunyai watak yang amat halus. Belum tentu anak itu akan
merasai kebahagiaan di Hoa-san-pai, karena merasa bahwa dia menumpang pada
gurunya, dan sekarang gurunya sendiri akan menumpang di tempat orang lain.
"Apakah
dia suka?” tanyanya ragu-ragu.
"Ha-ha-ha,
isteriku, kenapa tidak akan suka? Coba panggil dia ke sini."
A Wan segera
datang berlari ketika mendengar suara guru dan ibu gurunya memanggil. Anak ini
meski pun usianya baru delapan tahun lebih, namun tubuhnya tegap dan kuat,
berkat kerja setiap hari di sawah ladang. la cekatan sekali, wajahnya lebar dan
terang, matanya memiliki sinar mata yang sayu tetapi kadang-kadang mengeluarkan
sinar yang tajam. Dengan amat hormat anak ini menghadap suhu-nya.
"A Wan,
kau bersiaplah. Kita akan pindah ke Hoa-san-pai, ke rumah kakek gurumu, ayahku
yang menjadi ketua Hoa-san-pai," kata Kun Hong singkat.
Berubah
wajah A Wan dan hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Hui Kauw.
"Bagaimana,
A Wan? Kenapa kau diam saja?"
Sedih hati A
Wan. la merasa bahagia hidup di Liong-thouw-san. la merasa bahwa tempat itu
merupakan tempat tinggalnya dan dia amat sayang kepada tempat yang sunyi itu.
la merasa bahagia dapat melayani kedua orang itu yang dia anggap sebagai
pengganti orang tuanya, bahagia dapat belajar ilmu silat dari orang yang sejak
dahulu dia anggap sebagai bintang penolongnya. Tapi sekarang, gurunya mengajak
dia pindah dan gurunya akan mondok di rumah orang lain!
"Suhu...
tempat ini... siapa yang akan mengurusnya? Kalau kita semua pergi... tempat ini
tentu akan rusak..,.." Suaranya agak gemetar.
Kun Hong
menarik nafas panjang. la pun tahu bahwa meski pun usianya masih kecil, namun A
Wan sudah mempunyai pandangan yang jauh dan penuh pengertian, maka tak boleh
dia diperlakukan sebagai anak kecil.
“A Wan, kau
harus tahu bahwa ibu gurumu membutuhkan bantuan sanak keluarga kalau adikmu
lahir. Untuk sementara tempat ini kita tinggalkan, kelak kita tentu dapat
datang menengok."
Wajah A Wan
berubah gembira. "Suhu, kalau begitu, biarlah teecu (murid) tinggal di
sini merawat tempat ini. Kelak kalau Suhu dan Subo (Ibu Guru) kembali ke sini,
tempat ini masih dalam keadaan baik. Lagi pula, tanpa adanya teecu yang
mengganggu perjalanan, Suhu dan Subo akan dapat melakukan perjalanan yang lebih
cepat."
Anak yang
berpemandangan jauh, pikir Kun Hong kagum. Memang dengan adanya A Wan, mereka
berdua takkan dapat mempergunakan ilmu lari cepat tanpa menggendong anak itu.
"Tetapi,
mungkin kami akan lama di sana, entah kapan dapat kembali kesini." katanya
meragu.
"Setahun
dua tahun bukan apa-apa, Suhu. Teecu dapat menjaga diri sendiri dan juga
merawat tempat ini. Sayur-mayur cukup, sebagian dapat teecu tukar gandum dan
beras dengan penduduk di bawah. Kelak kalau Suhu dan Subo kembali membawa adik
yang sudah berusia setahun lebih, wah, alangkah akan senangnya...!"
Kun Hong
adalah seorang yang senang mendengar kegagahan dan keberanian. Sikap muridnya
ini benar-benar mengagumkan hatinya, bukan sikap seorang anak kecil yang
cengeng merengek-rengek. Biarlah dia digembleng oleh alam, merasakan hidup
sendiri tanpa sandaran. Biarlah dia belajar hidup sendiri, karena hal ini akan
memupuk rasa percaya pada diri sendiri. Malah sebaliknya dia ingin melihat
ketekunan muridnya itu, bagaimana hasil latihan-latihannya selama dua tahun
kelak tanpa pengawasan.
“Bagaimana,
isteriku, apakah kau setuju dengan permintaan A Wan untuk tinggal di
sini?" Kun Hong mengerti betapa isterinya amat sayang pula kepada A Wan,
maka tak mau dia melewati isterinya.
"Kalau
dia menghendaki demikian, kurasa baik kita setuju. Pula, memang sayang kalau
tempat kita ini menjadi rusak. Kelak kita kembali ke sini dan tempat ini dalam
keadaan baik. Aku setuju."
Di dalam
hatinya, Hui Kauw amat kasihan kepada A Wan. Akan tetapi nyonya muda ini
beranggapan bahwa kalau A Wan masih ditinggal di situ, sudah pasti suaminya
kelak akan kembali ke Liong-thouw-san. Dan inilah yang ia inginkan!
Kun Hong
tertawa. "Baiklah, A Wan. Kau tinggal di sini dan kau harus melatih diri
dengan jurus-jurus yang sudah kuajarkan kepadamu. Latihan semedhi juga harus
kau kerjakan dengan tekun. Aku ingin mendengar mengenai kemajuanmu beberapa
tahun kemudian. Andai kata sudah lewat dua tahun aku tidak datang ke sini, dan
kau merasa kangen, kau boleh sewaktu-waktu melakukan perjalanan ke Hoa-san-pai
seorang diri menyusul kami."
"Anak
sekecil ini...?" Hui Kauw mencela, kaget.
Kun Hong
tertawa, "Beberapa tahun lagi dia sudah berusia belasan tahun, dan biar
pun masih kecil, apa artinya melakukan perjalanan dari sini ke Hoa-san bagi
seorang murid kita? Ha-ha-ha, kau tentu akan berani bukan?"
"Tentu
saja, Suhu! Subo, harap jangan khawatir. Teecu mampu menjaga diri dan kalau
teecu kangen dan Suhu berdua belum pulang, teecu akan menyusul ke
Hoa-san!"
Demikianlah,
setelah memilih hari baik, Kun Hong berdua Hui Kauw pergi meninggalkan
Liong-thouw-san menuju ke Hoa-san, meninggalkan Yo Wan yang mengantar guru dan
ibu gurunya sampai ke kaki gunung. Beberapa kali Hui Kauw menoleh dan sepasang
mata nyonya muda yang cantik ini berlinang air mata ketika dia melihat dari
jauh tubuh Yo Wan masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dengan kedua
tangan di belakang. Sesosok bayangan bocah yang walau pun masih kecil sudah
membayangkan keteguhan hati yang luar biasa dan nyali yang besar.
Setelah suhu
dan subo-nya lenyap dari pandang matanya, barulah A Wan merasa sunyi dan kosong
rongga dadanya. Namun dia menekan perasaannya dan mendaki puncak
Liong-thouw-san. Dahulu, puncak ini tidak mungkin dapat dinaiki orang, apa lagi
orang biasa atau seorang anak kecil seperti A Wan. Akan tetapi, semenjak Kun
Hong dan isterinya bertempat tinggal di situ, suami isteri pendekar yang
memiliki kesaktian ini sudah membuat jalan menuju ke puncak. Bukan jalan biasa
melainkan jalan yang juga amat sukar karena harus melalui dua buah jurang lebar
dan amat dalam yang mereka pasangi jembatan berupa dua buah tali besar dan
kuat.
Untuk
menyeberangi jembatan-jembatan istimewa di atas dua buah jurang lebar ini orang
harus berjalan di atas dua utas tali ini tanpa pegangan! Hanya orang-orang yang
memiliki ginkang serta nyali besar saja berani menyeberangi jembatan istimewa
ini. Kemudian, setelah mendekati puncak, untuk mencapai dataran puncak itu
jalan satu-satunya hanya memanjat sebuah tangga terbuat dari tali pula,
tingginya seratus kaki dan amat terjal.
Tentu saja
memanjat tangga ini lebih mudah karena kedua tangan dapat berpegangan, akan
tetapi juga membutuhkan nyali yang cukup besar di samping syaraf membaja. Akan
tetapi, bagi Yo Wan semua ini bukan apa-apa lagi, dia sudah terbiasa dengan
jembatan-jembatan dan tangga ini. Semenjak berusia enam tahun dia sudah dapat
menggunakan alat-alat penyeberangan itu.
Biar pun
baru berlatih silat dua tahun lamanya, namun berkat bimbingan dua orang yang
mempunyai kepandaian tinggi, Yo Wan sudah memperoleh kemajuan lumayan.
Gerak-geriknya gesit, nafasnya panjang, daya tahan tubuhnya luar biasa dan dia
sudah kuat bersemedhi sampai setengah malam lamanya. Hebat dan luar biasa bagi
seorang anak laki-laki yang belum sembilan tahun usianya!
Yo Wan
memang seorang anak yang berhati teguh dan memiliki ketekadan hati yang besar.
Memang tadinya dia merasa kesunyian, begitu dia tiba di pondok suhu-nya dan
melihat betapa tempat itu kosong, sekosong hatinya, dia terduduk di atas bangku
depan pondok dan termenung. Ketika matanya terasa panas oleh desakan air mata,
dia lantas menggigit bibirnya dan menggeleng-gelengkan kepala, melawan
perasaannya sendiri. Akibat gerakan kepala ini, dua titik air mata yang tadinya
menempel di bulu matanya, meluncur turun melalui pipi, terus ke ujung kanan
kiri bibir. Dia mengecapnya. Rasa asin air matanya membuat dia sadar.
"Heh,
kenapa menangis? Cengeng! Sejak dahulu kau sudah yatim piatu, kau si jaka lola
(anak laki-laki yatim piatu), hidup di dunia seorang diri, mengapa bersedih
hati ditinggal suhu dan subo? Ihhh, kalau subo melihatmu, kau tentu akan
ditampar!”
A Wan
tertawa kepada diri sendiri, tertawa bahagia karena teringat dia betapa selama
dia berada di sini, belum pernah dia dibentak Kun Hong apa lagi ditampar Hui
Kauw. Kedua orang itu amat baik kepadanya. Mereka orang-orang mulia, maka aku
tidak boleh mengganggu mereka. Harus kupelihara baik-baik tempat ini, kelak
bila mana mereka kembali, tempat ini tetap bersih dan terjaga! Setelah berpikir
demikian, anak ini bangkit dan lari berloncatan ke ladangnya. Mukanya sudah
jernih kembali dan dia tertawa-tawa melihat burung-burung terkejut beterbangan
oleh loncatannya itu.
Yo Wan
selalu teringat akan nasehat suhu-nya. la amat tekun berlatih ilmu silat.
Karena gurunya lebih mementingkan dasar ilmu silat, maka selama ini dia tidak
banyak diajarkan ilmu pukulan, lebih diutamakan pelajaran pernafasan, semedhi
dan mengatur jalan darah untuk menghimpun kemurnian hawa di dalam tubuhnya.
Juga ilmu meringankan tubuh diajarkan lebih dahulu oleh subo-nya, karena hal
ini amat perlu baginya untuk naik turun puncak.
Sebelum
turun gunung suhu-nya mengajarkan ilmu langkah yang terdiri dari empat puluh
satu langkah. Langkah-langkah ini merupakan perubahan-perubahan dalam kuda-kuda
yang jika dilatih terus-menerus, selain dapat mempertinggi kegesitan dan
memperkokoh kedudukan, juga dapat memperkuat tubuh, terutama kedua kaki.
Suhunya
hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini dapat dilatih terus-menerus sampai
belasan tahun, makin terlatih semakin baik dan kelak akan hebat kegunaannya.
Kun Hong hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini diberi nama Si-cap-it
Sin-po (Empat puluh Satu Langkah Sakti).
Tentu saja
Yo Wan sama sekali tidak pernah mimpi bahwa langkah-langkah ini adalah
langkah-langkah ajaib yang gerakan-gerakannya mencakup seluruh inti sari dari
gerakan ilmu silat karena biar pun jurusnya hanya empat puluh satu, tetapi
kalau dijalankan dan susunan jurusnya diubah-ubah, merupakan gerak jurus yang
tak terhitung banyaknya!
Dua tahun
sudah Yo Wan hidup seorang diri di puncak Liong-thouw-san. Tekun bekerja dan
berlatih. Setiap hari dia mengharap-harapkan kedatangan suhu dan subo-nya,
tetapi pengharapannya sia-sia belaka. Setelah lewat tiga tahun, belum juga
kedua orang yang dikasihinya itu pulang. Ingin dia menyusul ke Hoa-san karena
sudah amat kangen, akan tetapi dia takut kalau-kalau dua orang itu akan
menganggapnya kurang setia menanti.
Dia menanti
terus, empat tahun, lima tahun! Waktu berjalan sangat pesatnya, tanpa dia
rasakan, lima tahun sudah dia hidup menyendiri di tempat sunyi itu. Dan kedua
orang yang dinanti-nantinya belum juga pulang!
"Sudah
sangat lama aku menunggu, mengapa mereka belum juga pulang?" Yo Wan
termenung duduk di atas bangku depan pondok. Bukan bangku lima tahun yang lalu.
Sudah ada
lima kali dia mengganti bangku itu dengan bangku baru buatannya sendiri. Sudah
penuh tiang pondok itu dengan guratan-guratannya. Setiap bulan purnama dia
tentu menggurat di tiang. Tadi dihitungnya guratan-guratannya itu, sudah lebih
dari enam puluh gurat!
"Besok
aku menyusul ke Hoa-san," demikian dia mengambil keputusan karena sudah
tidak kuat menanggung rindunya lagi.
Malam itu
dia sibuk menambal pakaiannya yang robek-robek. Selama lima tahun ini, dia
dapat mencari ganti pakaian ke dusun di bawah gunung dengan jalan menukarkan
hasil ladangnya berupa sayur-sayuran segar yang tak mungkin bisa tumbuh di
bawah puncak. Dasar watak Yo Wan sangat polos, jujur dan tidak serakah, dia
hanya memilih pakaian sekedarnya saja, bersahaja asal kuat. Yang membuat dia
kesal menanti lebih lama lagi, sesungguhnya adalah kalau dia teringat akan
pelajaran ilmu silatnya.
Enam puluh
bulan lebih dia ditinggal gurunya, hanya ditinggali ilmu langkah yang sudah dia
latih tiap hari sampai dia menjadi bosan. Padahal dia bercita-cita untuk
mempelajari ilmu silat tinggi dari suhu-nya karena dia masih ingat betul akan
musuh besarnya, musuh besar yang menyebabkan kematian ibunya yang tercinta, The
Sun! Muka orang ini masih selalu terbayang di depan matanya.
Dia
mendengar dari gurunya bahwa The Sun mempunyai kepandaian yang amat tinggi.
Sekarang dia hanya diberi pelajaran langkah-langkah yang aneh, bagaimana
mungkin dia dapat membalas kematian ibunya pada musuh besar yang lihai itu
kalau dia hanya pandai melangkah? la ingin menyusul untuk mohon diberi
pelajaran ilmu silat berikutnya, untuk menjadi bekal mencari musuh besar yang
sudah menyebabkan kematian ibunya yang mengerikan itu.
Masih
terbayang di depan matanya betapa pada saat dia masih kecil, dia melihat ibunya
menggantung diri, dengan susah payah dia tolong, akan tetapi ibunya tak
tertolong lagi. Masih bergema di telinganya akan pesan ibunya, agar supaya dia
memenuhi dua buah permintaan ibunya, dua buah tugas yang selama hidupnya
pelaksanaannya harus dia usahakan, yaitu pertama membalas budi kebaikan Kwa Kun
Hong Pendekar Buta, kedua membalas dendam kepada The Sun!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yo Wan telah menutup pintu depan pondok dan
berjalan ke luar halaman. Pada punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan
dia pun melangkah lebar menuju ke jurang di mana terdapat tangga tali itu.
Sebelum kakinya melangkah ke tangga, dia memandang sekeliling seakan-akan
merasa kasihan kepada puncak yang akan ditinggalkan.
Tiga batang
pohon cemara di depan pondok itu kini sudah besar, dia yang menanam semenjak
suhu dan subo-nya pergi. Tadinya dia ingin sekali melihat suhu dan subo-nya
memuji dan girang melihat tiga batang pohon yang indah itu, bahkan dia sudah
memberi ‘nama’ pada tiga batang pohon itu, yaitu nama suhu-nya, nama subo-nya
dan namanya sendiri!
Setelah
menarik nafas panjang, Yo Wan kemudian melangkah dan menuruni tangga tali
dengan kecepatan yang amat luar biasa, seakan-akan dia melorot saja tanpa
melangkah turun. Setibanya di bawah, dia berlari-lari menuju ke jembatan
pertama yang melintasi sebuah jurang lebar. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh
sekali, suara mendesis-desis keras bercampur aduk dengan suara melengking
tinggi. Suara itu datang dari seberang jurang pertama. Cepat dia lalu meloncat
ke atas tambang dan berlari-lari menyeberang.
Melihat
bocah tiga belas tahun ini menyeberang dan jalan di atas tambang, benar-benar
membuat orang terheran-heran dan ngeri. Jurang itu dalamnya tidak dapat diukur
lagi. Tambang itu sama sekali tak bergerak ketika dia berlari di atasnya, dan
hebatnya, anak ini berlari seenaknya saja, sama sekali tidak melihat ke bawah
lagi seakan-akan kedua kakinya sudah terlalu hafal dan dapat menginjak dengan
tepat. Setelah meloncat di atas tanah seberang, Yo Wan dapat melihat apa yang
menimbulkan suara aneh itu. Kiranya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan
hebat dan aneh.
Seorang di
antaranya, yang berdesis-desis, adalah seorang lelaki yang tinggi kurus dan
kulitnya hitam. Rambutnya yang keriting itu terbungkus sorban kuning,
telinganya pakai anting-anting hitam, juga pada dua pergelangan memakai
sepasang gelang hitam yang tampak ketika tangannya bergerak dan keluar dari lengan
baju yang lebar. Orang asing yang aneh bukan main. Usianya kurang lebih lima
puluh tahun. Tangannya memegang cambuk kecil panjang dan agaknya cambuk inilah
yang menimbulkan suara mendesis-desis aneh itu ketika digerakkan berputar-putar
di udara.
Di depan
orang bersorban ini tampak seorang kakek yang sudah tua sekali, kakek yang agak
bongkok, yang kadang-kadang terkekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara
melengking tinggi rendah menggetarkan lembah dan jurang. Kakek tua ini pun
bergerak-gerak, tetapi tidak bersenjata, melainkan tubuhnya yang bergerak-gerak
dengan tangan menuding dan menampar ke depan.
Yo Wan
berdiri bengong. Walau pun dia murid seorang sakti seperti Kwa Kun Hong Si
Pendekar Buta, tapi selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan orang
bertanding. Apa lagi kalau yang bertempur itu dua orang tingkat tinggi yang
mempergunakan cara bertempur yang begini aneh, seperti dua orang badut sedang
berlagak di panggung saja. la masih menduga-duga, apakah yang dilakukan oleh
dua orang itu, karena biar pun dia menduga mereka sedang bertempur, namun dia
masih ragu-ragu.
Tiba-tiba
pandang matanya kabur dan cepat dia menutup telinganya yang terasa perih ketika
lengking itu semakin meninggi dan desis semakin nyaring. Matanya dibuka lebar,
namun tetap saja dia tidak dapat mengikuti gerakan mereka yang kini menjadi
semakin cepat. Beberapa menit kemudian, gerakan dua orang aneh itu begitu
cepatnya sehingga tubuh mereka lenyap dari pandangan mata Yo Wan yang hanya
dapat melihat gulungan sinar yang berkelebatan.
Tiba-tiba
sinar itu seperti pecah, gulungan sinar lenyap dan dia melihat kedua orang itu
rebah telentang, terpisahkan jarak antara sepuluh meter. Keduanya
terengah-engah dan terdengar mereka merintih perlahan.
"Bhewakala,
kau hebat sekali..." Kakek tua itu berseru sambil ketawa terkekeh di
antara rintihannya.
"Sin-eng-cu
(Garuda Sakti), kau tua-tua merica, makin tua makin kuat...," terdengar
orang asing bersorban itu pun memuji dengan suara terengah-engah dan nada
suaranya kaku dan lucu.
Melihat
kedua orang itu tak dapat bangun kembali, Yo Wan mengerti bahwa keduanya terluka.
Dia cepat berlari menghampiri, keluar dari tempat persembunyiannya karena tadi
dia mengintai dari balik batu gunung yang besar. Tentu saja dia mengenal kakek
itu. Sin-eng-cu Lui Bok, paman guru dari suhunya yang dahulu membawa dirinya ke
puncak Liong-thouw-san dan yang kemudian pergi merantau membawa kim-tiauw
(rajawali emas) bersamanya.
"Susiok-couw...
(Kakek Paman Guru)!" serunya sambil meloncat mendekati.
Akan tetapi
Sin-eng-cu Lui Bok sudah tidak bergerak-gerak lagi, bahkan nafasnya sudah empas
empis, tinggal satu-satu saja. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya
tubuh kakek itu, namun tetap tidak dapat menyadarkannya.
Alangkah
kagetnya pada saat dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka kakek itu agak
biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan
memanjang yang menghancurkan pakaiannya. Selagi dia dalam keadaan bingung
sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh.
Cepat dia
bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itu pun sedang mengerang kesakitan.
Suaranya begitu mendatangkan rasa iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu
cepat menghampirinya dan berlutut di dekatnya. Orang itu bermuka hitam. Matanya
lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, tetapi setelah dekat, sepasang
mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang amat menyenangkan.
Tanpa
diminta, Yo Wan kemudian membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia
merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepas segera akan terguling
kembali. Dia begitu lemas. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik
ke arah tubuh Sin-eng-cu, lalu memandang kepada Yo Wan.
"Dia
susiok-couw-mu? Jadi, kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?"
Suaranya amat lemah, nafasnya terengah-engah.
Agak sukar
bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun
dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi
kalimat yang berarti. Yo Wan mengangguk, lantas menjawab lantang, "Betul
Locianpwe (Orang Tua Gagah). Kenapa Locianpwe bertempur dengan susiok-couw? Ia
terluka hebat, apakah Locianpwe juga terluka?"
Sejenak
orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang
kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya.
Kemudian suara orang itu terdengar makin kaku dan agak keras, "Kau murid
Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku?
Mengapa kau tidak segera menolong susiok-couw-mu yang pingsan itu?"
Diberondongi
pertanyaan-pertanyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak
mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu
kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud lain kecuali menolong.
Maka tenang saja dia menjawab,
"Sudah
saya lihat keadaan susiok-couw. Dia terluka dari leher ke perut, dia tak
bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena
Locianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Locianpwe
sehingga nanti Locianpwe dapat membantu saya untuk menolong susiok-couw."
Sepasang
mata itu masih menyorotkan sinar bengis. "Kau tadi melihat kami
bertempur?"
Yo Wan
mengangguk. Tangan kanannya masih merangkul pundak orang asing itu dari
belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.
"Jadi
kau tahu bahwa aku adalah musuh susiok-couw-mu, juga musuh gurumu?"
Yo Wan
menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.
"Apa
bila kami saling serang, tentu berarti kami saling bermusuhan. Mengapa kau
tidak membantu susiok-couw-mu, malah menolong aku? Hayo jawab, apa maksudmu?
Aku musuh susiok-couw-mu, aku datang untuk memusuhi gurumu. Nah, kau mau
apa?"
Yo Wan
mengerutkan kening. Orang asing ini kasar sekali, akan tetapi kekasarannya itu
mungkin disebabkan bahasanya yang kaku. "Locianpwe, saya belum tahu
urusannya, bagaimana saya berani turut campur? Suhu selalu berpesan agar supaya
saya menjauhkan diri dari permusuhan-permusuhan, agar supaya saya jangan
lancang mencampuri urusan orang lain, dan agar saya selalu siap menolong siapa
saja yang patut ditolong, tanpa memandang bulu, tanpa pamrih untuk mendapat
jasa. Saya lihat susiok-couw tak bergerak lagi, dan saya tidak tahu bagaimana
harus menolongnya, maka saya segera membantu Locianpwe."
Sinar mata
yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis di atas bibir itu sedkit
bergerak-gerak. "Wah, suhu-mu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia
suhu-mu? Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?"
"Suhu
tidak berada di sini, Locianpwe. Sudah lima tahun suhu pergi dari sini, ke
Hoa-san. Yang berada di sini hanya saya seorang diri."
Mata yang
kebiruan itu melotot, wajah itu berubah agak pucat. "Celaka benar...!
Heee, Sin-eng-cu, celaka! Kwa Kun Hong tidak berada di sini!"
Yo Wan
menoleh dan melihat susiok-couw-nya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar
sekali dan mengeluh panjang. "Maaf, Locianpwe, saya harus
menolongnya."
Orang asing
itu mengangguk dan sekarang dia sudah bersila, kuat duduk sendiri. Yo Wan
melepas rangkulannya kemudian tergesa-gesa menghampiri Sin-eng-cu Lui Bok. Ia
cepat merangkul dan membangunkannya.
Nafas kakek
ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan. "Wah, engkau
kan bocah yang dulu itu? Kau masih di sini? Aku lupa lagi, siapa namamu?"
"Teecu
(murid) Yo Wan, Susiok-couw..."
"Ha-ha-ha,
kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini? Sin-eng-cu, kita akan
mampus di sini. Pendekar Buta ternyata tidak berada di sini lagi."
Sin-eng-cu
Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih. "Apa?" la memandang Yo
Wan. "Mana gurumu?"
"Susiok-couw,
suhu dan subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, mereka pergi ke
Hoa-san meninggalkan teecu seorang diri di sini. Tadi teecu sedang turun dari
puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama suhu dan subo pergi."
"Lima
tahun? Wah-wah, guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau hanya untuk dua
tahun saja menjadi muridnya? Ha-ha-ha, kutanggung kau belum becus apa-apa.
Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahun belum becus apa-apa.
Ha-ha-ha, bukan main!" Orang asing itu mencela dan mengejek.
Namun
Sin-eng-cu tidak mempedulikannya. "Yo Wan, apakah suhu-mu pernah mengajar
ilmu pengobatan kepadamu selama dua tahun itu?"
Yo Wan
menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluarkan suara
mengejek, "Sin-eng-cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima
tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia
enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka,
umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tidak usah takut, ada
aku yang akan menemanimu ke alam halus."
Akan tetapi
Sin-eng-cu sudah bersila dan diam saja, kakek ini sudah bersemedhi untuk
menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh untuk mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo
Wan mengerti maka ia pun lalu mundur dan membiarkan kakek itu tanpa berani
mengganggu. Pada waktu dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil
bergurau itu pun sudah meramkan mata bersemedhi.
Yo Wan
pernah mendengar keterangan suhu-nya bahwa dengan hawa murni di dalam tubuh yang
sudah terlatih dengan semedhi, orang tidak hanya dapat memperkuat tubuh, namun
juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam. Maka dia maklum
bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, karena itu dia
pun lalu duduk bersila, menanti dengan sabar.
Para pembaca
cerita ‘Pendekar Buta’ tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang
sakti. Sin-eng-cu Lui Bok adalah orang aneh yang suka merantau, dia adalah sute
(adik seperguruan) dari Bu Beng Cu, mendiang guru Kwa Kun Hong.
Tujuh tahun
yang lampau dia meninggalkan puncak Liong-thouw-san ini, pergi merantau dengan
burung rajawali emas menuju ke utara. Kakek yang aneh ini merantau ke bagian
paling utara dari dunia, menjelajahi daerah-daerah bersalju dan di tempat
itulah burung rajawali emas yang sudah sangat tua itu menemui ajalnya, tidak
kuat menahan serangan salju yang dingin sekali. Pada waktu kakek ini kembali ke
Liong-thouw-san, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini
adalah seorang pendeta yang sakti pula, seorang tokoh dari barat, seorang
pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Himalaya. Ia adalah seorang pendeta
bangsa Nepal yang banyak melakukan perantauan di Tiongkok.
Tujuh tahun
yang lalu dia pernah bertanding melawan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan
tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari pendeta ini, Kun Hong tidak
membunuhnya dan Bhewakala yang sangat kagum terhadap Kun Hong ini berniat akan
belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu. Keduanya
adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau
saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu di sana. Mereka adalah
orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribudi yang baik. Tentu saja
mereka tak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa.
Akan tetapi
setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada
yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan
menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatangkan luka hebat.
"Takut apa
dengan luka hebat?" kata Bhewakala ketika Sin-eng-cu menolak.
"Bukankah Pendekar Buta berada di sini? Kalau seorang di antara kita
terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan."
Memang, di
samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga
sangat terkenal akan kepandaiannya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-eng-cu
akhirnya menerima tantangan Bhewakala dan bertempurlah mereka dengan lebih
hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun, ada pun
Sin-eng-cu mempergunakan pukulan-pukulan maut...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment