Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 02
Seperti
telah diketahui akibatnya, Sin-eng-cu terluka oleh cambuk, sebaliknya Bhewakala
juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah,
tapi tidak putus asa karena mereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat mengobati
mereka. Di samping penasaran mereka merasa lega, bahwa keadaan mereka tetap
seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang!
Siapa
sangka, Kun Hong tidak berada di situ! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati,
karena masing-masing cukup maklum bahwa luka yang diakibatkan oleh
masing-masing pukulan itu tak mungkin dapat diobati jika tidak oleh Kun Hong
yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan. Maka, seperti telah
diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk
menjaga supaya luka itu tidak menjalar lebih hebat. Setidaknya mereka dapat
memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka
berat di sebelah dalam.
Kesabaran Yo
Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti.
Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin.
Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tubuh dua orang aneh itu.
Namun,
Bhewakala dan Sin-eng-cu tetap duduk bersila bagaikan patung, tidak
bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orang
itu sudah menjadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh
mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi. Setelah
lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun telah terusir habis. Dua
orang itu membuka mata dan menarik nafas panjang. Malah keduanya saling
pandang.
"Bagaimana,
Sin-eng-cu?" Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.
"Hebat
pukulan cambukmu, Bhewakala. Racun dapat kuhalau atau setidaknya kucegah untuk
menjalar, akan tetapi pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada di
sini, maka tamatlah sudah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Setiap kali aku
mencoba mengerahkan Iweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku malah terpukul
dan kalau terus kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana
denganmu?"
Bhewakala
menggeleng kepala. "Kau pun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga.
Hal ini masih tidak mengapa, tetapi menggetarkan pusat pengendalian tenaga
Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan dapat kembali sesudah
minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi
seorang seperti aku?"
Kini
keduanya merasa amat menyesal, namun sudah terlambat. Ketika mereka menoleh dan
melihat bahwa Yo Wan masih bersila tak jauh dari situ, mereka tercengang.
"Kau
masih berada di sini?" Sin-eng-cu bertanya kaget.
Yo Wan
mengangguk dan menghampiri kakek itu.
"Ha-ha-ha,
Sin-eng-cu, bocah ini hebat! Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk
oleh Pendekar Buta. Ha-ha-ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah
buta, sudah menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-eng-cu, kau menjadi
saksi, selama hidup ini aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ini aku
ingin sekali meninggalkan inti sari kepandaianku kepada anak ini sebelum aku
mampus."
Sin-eng-cu
mengangguk-anggukkan kepala. "Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan
terima kasih kepada Bhewakala Locianpwe, untungmu baik sekali."
Yo Wan cepat
berlutut di depan Bhewakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap,
"Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mulia dan
kasih sayang Locianpwe terhadap saya, tetapi saya tidak berani menerima menjadi
murid Locianpwe karena saya adalah muridnya suhu. Bagaimana saya berani
mengangkat guru lain tanpa perkenan suhu?"
"Yo
Wan, hal itu tidak apa-apa, ada aku di sini yang menjadi saksi!" kata
Sin-eng-cu Lui Bok.
"Ha-ha-ha,
anak baik, anak baik. Ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung
karang, tidak murka dan tamak! Ehh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?"
Yo Wan
menggigit bibir, matanya dimeramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata.
Pertanyaan yang tiba-tiba itu merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya.
Sampai lama dia tidak menjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata perlahan,
"Saya yatim piatu, Locianpwe..."
Kedua orang
tua itu saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan
pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan
seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu bergulung dengan
mega, tak ber-ayah ibu pula, benar-benar mereka merasa kasihan.
"Yo
Wan, aku pun tidak bermaksud mengambil murid kepadamu, melainkan hanya ingin
meninggalkan atau mewariskan kepandaianku saja. Gurumu tentu tak akan
marah."
"Mohon
maaf sebesarnya, Locianpwe. Saya cukup maklum bahwa Locianpwe memiliki ilmu
kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya
memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan suhu, bagaimana saya berani
menerimanya? Suhu adalah tuan penolong saya dan mendiang ibu saya, suhu adalah
pengganti orang tua saya, harap Locianpwe maklum..."
Suara Yo Wan
tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir
air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung
kepalan tangannya mengusap air mata itu.
Tiba-tiba
Sin-eng-cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia
berkata, "Hee! Bhewakala pendeta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang
tahu akan setia dan bakti, mana dapat dibandingkan dengan kau yang meski pun
bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan
pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya
sedikit pun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka
belum kalah!"
"Huh,
tua bangka tak tahu diri. Apa kau kira aku pun sudah kalah? Hayo kita
pergunakan tenaga terakhir untuk mencari penentuan!"
Bhewakala
bangkit berdiri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya
tiba-tiba menjadi bongkok dan dia meringis, menahan sakit. Juga Sin-eng-cu
tertatih-tatih bangkit berdiri, akan tetapi dia juga tidak sanggup berdiri
tegak, kedua kakinya menggigil seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi
tubuh bawahnya.
Yo Wan
bingung dan gugup bukan main. "Susiok-couw... Locianpwe... ji-wi (Kalian)
telah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah,
harap ji-wi sudahi saja pertempuran ini...!" Yo Wan berdiri di antara
mereka berdua dengan sikap melerai.
"Ha-ha-ha,
cucuku. Orang-orang macam kami berdua ini hanya nafsunya saja besar tapi
tenaganya kurang, malah sudah habis tenaganya! Jangan khawatir, kami tidak
mungkin dapat bertempur lagi, akan tetapi kami belum dapat menentukan siapa
lebih unggul. He, Bhewakala, apa kau siap melanjutkan adu ilmu?"
"Boleh!"
jawab Bhewakala dengan suara digagah-gagahkan. "Bila belum ada yang kalah
menang, tentu penasaran dan kelak kalau sama-sama ke alam baka, tak mungkin
dapat melanjutkan pertandingan."
"Bagus,
kau laki-laki sejati, seperti juga aku! Sekarang kita lanjutkan!"
"Majulah
kalau kau masih kuat melangkah!" tantang Bhewakala.
"Ho-ho-ho,
sombongnya si pendeta koplok! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kau pun tidak
sanggup maju selangkah pun? Ha-ha-ha-ha, tertiup angin pun kau akan roboh. Kita
melanjutkan ilmu, bukan kepalan. Ada Yo Wan di sini, apa gunanya?"
Bhewakala
tersenyum lebar, matanya yang besar itu berkedip-kedip. "Ha-ha-ha, engkau
benar, tua bangkotan. Di sini ada Yo Wan, biarlah anak ini yang menjadi alat
pengukur tingginya ilmu."
"Yo
Wan, cucuku! Kau benar sekali, jangan sudi menjadi murid pendeta koplok ini!
Kalau kau tadi mau menerimanya, aku yang tidak sudi, tidak memperbolehkan. Tapi
kau tentu mau menjadi alat kami untuk mengukur kepandaian, bukan? Kau harus
menolong kami, kalau tidak, kami berdua tak akan dapat mati meram."
Yo Wan cepat
berlutut di depan kakek itu. "Susiok-couw, tak usah diperintah, teecu
tentu bersedia menolong Ji-wi. Katakanlah, apa yang harus teecu lakukan?"
Selagi Yo
Wan berlutut itu, Sin-eng-cu bertukar pandang dengan Bhewakala dan saling
memberi isyarat dengan kedipan mata.
"Yo
Wan, lebih dulu bawa kami ke puncak. Sanggupkah kau?"
"Teecu
akan mencobanya." Ia menghampiri Sin-eng-cu dan berkata, "Maaf, teecu
akan menggendong Susiok-couw."
Anak ini
membungkuk di depan Sin-eng-cu, jongkok membelakanginya. Sin-eng-cu tidak
sungkan-sungkan pula lalu menggemblok di punggung Yo Wan yang menggendongnya.
Anak ini sendiri merasa sangat heran, karena tadinya dia meragu apakah dia akan
kuat menggendong kakek itu.
la terkejut
dan diam-diam merasa girang sekali serta memuji kehebatan Susiok-couw ini,
karena dia merasa yakin bahwa kakeknya ini tentu menggunakan ginkang tingkat
tinggi sehingga dapat membuat tubuhnya menjadi demikian ringannya! Dengan langkah
lebar serta gerakan cepat dia lalu menyeberangi jurang melalui dua tambang,
kemudian dia memanjat tangga tali itu ke atas puncak.
"Harap
Susiok-couw beristirahat di sini lebih dulu, teecu akan menggendong Bhewakala
Locianpwe ke sini."
"Yo
Wan, apakah suhu-mu sudah mengajarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas)
kepadamu?" tiba-tiba saja kakek itu bertanya kepada anak yang sudah akan
lari keluar kembali dari dalam pondok itu.
Yo Wan
berhenti, membalikkan tubuh dan menjawab dengan sinar mata tidak mengerti dan
kepala digelengkan. Pertanyaan itu tak ada artinya bagi dirinya, tetapi
mengingatkan dia akan burung rajawali emas yang dahulu pergi bersama kakek ini,
maka dia cepat bertanya,
"Susiok-couw,
kenapa kim-tiauw (rajawali emas) tak ikut pulang bersama Susiok-couw?"
"la
sudah terlalu tua dan tidak kuat menghadapi hujan salju di utara, dia sudah
mati dan kukubur dalam tumpukan salju."
Yo Wan
merasa menyesal sekali sehingga untuk semenit dia diam saja termenung. Dia
kemudian teringat kembali akan tugasnya. "Teecu pergi dulu, hendak
menjemput Bhewakala Locianpwe."
"Pergilah,
akan tetapi kau harus waspada, siapa tahu pendeta Nepal itu di tengah jalan
mencekik dan membunuhmu, ha-ha-ha!"
Yo Wan
terkejut, akan tetapi hanya sejenak saja dia terpaku dan ragu-ragu, kemudian
kakinya melangkah lebar dan dia sudah berlari ke luar, terus menuruni puncak
itu dan menyeberangi jurang pertama. Bhewakala masih berada di situ, duduk
bersila. Pendeta hitam ini tersenyum lebar ketika dia melihat Yo Wan.
"Kau
sudah kembali?"
Yo Wan
mengangguk, lalu membelakangi pendeta itu sambil berjongkok. "Harap
Locianpwe suka membonceng di punggung saya, tapi saya harap Locianpwe sudi
menggunakan kepandaian ginkang seperti Susiok-couw tadi, kalau tidak, saya
khawatir tidak akan kuat menggendong Locianpwe."
Pendeta
asing itu hanya mendengus, lalu merangkul pundak bocah ini dan menggemblok di
punggungnya. Yo Wan bangkit berdiri dan diam-diam dia menjadi girang dan kagum.
Ternyata pendeta ini pun amat sakti, ginkang-nya hebat sehingga tubuhnya yang
jauh lebih besar dan tinggi dari pada susiok-couw-nya juga terasa ringan, hanya
sedikit lebih berat dari pada tubuh kakek tadi. Ia mulai melangkah maju
setengah berlari ke depan.
"Yo
Wan, kenapa kau mau menolong aku, seorang asing yang tidak kau kenal?"
tiba-tiba pendeta Nepal itu bertanya.
"Suhu
berpesan kepada saya bahwa menolong orang tak boleh melihat siapa dia, hanya
harus dilihat apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan dan apakah kita
dapat menolongnya. Locianpwe sedang terluka, perlu beristirahat, dan saya mampu
membawa Locianpwe ke puncak untuk beristirahat di pondok kediaman suhu, mengapa
saya tidak mau menolong Locianpwe?"
Diam-diam
Bhewakala kagum, bukan saja oleh jawaban ini, juga melihat betapa bocah ini
dapat menggendongnya sambil berjalan cepat dan ketika menjawab pertanyaannya,
nafasnya tidak memburu, kelihatan enak saja. Ketika ia memandang ke arah kedua
kaki bocah itu, dia terkejut. Bocah itu menggunakan langkah-langkah yang luar
biasa, kadang-kadang berlarian di atas tumit, kadang-kadang dengan kaki miring!
"He,
kau menggunakan langkah apa ini?" tak tertahan lagi Bhewakala bertanya
nyaring.
Yo Wan
menjadi merah mukanya. Karena selama lima tahun itu siang malam dia berlatih
langkah-langkah Si-cap-it Sin-po, maka setiap kali berlari tanpa disengaja
kedua kakinya melakukan gerak langkah-langkah itu secara otomatis!
"Bukan
apa-apa, Locianpwe, saya berlari biasa," jawabnya dan kedua kakinya kini
berlari biasa.
Seperti juga
dengan susiok-couw-nya tadi, dia hendak membawa Bhewakala ke dalam pondok, akan
tetapi pendeta Nepal ini tidak mau.
"Turunkan
saja aku di luar sini. Aku lebih senang duduk di luar menikmati pemandangan
alam yang amat hebat dan indah ini."
Yo Wan
menurunkan pendeta itu di atas bangku di depan rumah dan Bhewakala duduk
bersila di situ dengan wajah berseri gembira.
"Yo
Wan! Pendeta koplok itu sudah datang? Hayo, bawa aku ke luar!" terdengar
teriakan Sin-eng-cu dari dalam pondok.
Yo Wan
berlari masuk dan tak lama kemudian kakek tua itu sudah digendongnya keluar.
Sin-eng-cu minta diturunkan di atas sebuah batu halus yang memang dahulu
menjadi tempat duduknya. Dia pun bersila di atas batu ini, kurang lebih lima
meter jauhnya dari bangku yang diduduki Bhewakala.
"Sin-eng-cu,
cucu muridmu ini benar-benar hebat, membuat aku gembira sekali!" berkata
Bhewakala.
"Betapa
tidak? Kalau tidak hebat berarti dia bukan cucu muridku!" Sin-eng-cu
menjawab dengan nada suara bangga.
Yo Wan
menjadi heran dan merasa malu. Yang hebat adalah mereka, pikirnya, biar pun
sudah terluka hebat masih mampu mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka
begitu ringannya ketika dia membawa mereka mendaki tangga tali tadi. Kalau
tidak demikian, mana mungkin dia akan kuat?
Anak ini
sama sekali tidak tahu bahwa kedua orang itu sama sekali tidak menggunakan ilmu
untuk membuat tubuh mereka ringan. Hal ini tidak mungkin, apa lagi mereka
terluka hebat sehingga tidak mampu menggunakan ilmu-ilmu mereka yang
berhubungan dengan kekuatan di dalam tubuh. Yang membuat dia merasa ringan pada
waktu menggendong mereka bukan lain adalah karena kekuatan yang terkandung di
dalam tubuhnya sendiri. la telah melatih diri tujuh tahun dengan pekerjaan yang
membutuhkan tenaga serta kegesitan, di samping itu dia pun dengan amat tekun
berlatih semedhi dan pernafasan. Hawa murni dalam tubuhnya sudah terkumpul,
maka dia dapat mengerahkan tenaga besar luar biasa yang membuat dia dapat
menggendong kakek-kakek itu secara mudah!
"Yo
Wan, kau tadi sudah berjanji hendak menolong kami dua orang-orang tua. Apakah
kau betul-betul suka menolong?" tanya Bhewakala dengan pandang mata penuh
gairah.
"Betul,
Yo Wan, kau harus menolong kami melanjutkan adu ilmu sampai ada keputusan siapa
yang lebih unggul."
Yo Wan
membungkuk, "Susiok-couw, teecu siap menolong dan membantu, akan tetapi
teecu hanya seorang anak yang bodoh, mana bisa menjadi perantara dalam adu
ilmu? Bagaimana caranya?"
"Mudah
saja asal kau mau menolong. He, Bhewakala pendeta hitam! Di dalam pondok ini
terdapat empat buah kamar, cukup untuk kita seorang sekamar. Kita lanjutkan adu
ilmu. Kau tinggallah di kamar kiri, aku di kamar kanan, biar Yo Wan di kamar
lain. Kau kuberi kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Beritahukan jurus
penyeranganmu kepada Yo Wan, dan kalau dia sudah memperlihatkan jurus itu, aku
akan menghadapi dengan jurus pertahananku, lalu balas menyerang dengan jurus
istimewa. Dua jurus itu kuberitahukan kepada Yo Wan yang akan menyampaikannya
padamu. Kau harus dapat memecahkan jurusku dan boleh balas menyerang. Siapa
yang tidak dapat memecahkan sebuah jurus serangan, dia itu harus mengakui
keunggulan lawan. Bagaimana?"
"Setuju!
Itulah yang kukehendaki. Hayo mulai sekarang juga!"
"Yo
Wan, kau mendengar perjanjian kami untuk mengadu ilmu? Maukah kau menolong,
hanya menjadi perantara begitu?"
Yo Wan
adalah seorang anak yang baru berusia tiga belas tahun. Apa lagi dia kurang pengalaman,
semenjak kecil selalu berada di tempat sunyi mengejar ilmu dan bekerja, mana
dia mampu menandingi kelihaian otak dua orang sakti ini?
Secara tidak
langsung, selain dua orang itu dapat memuaskan hati mencari keunggulan dalam
ilmu silat, juga mereka ingin sekali menurunkan ilmu kepandaian masing-masing
kepada bocah yang sudah menaklukkan hati dan cinta kasih mereka itu. Yo Wan
malah menganggap mereka berdua adalah kakek-kakek yang lucu dan aneh. Masak ada
orang melanjutkan adu ilmu seperti itu? Seperti main-main saja. Keduanya sudah
terluka tetapi masih tidak mau terima, masih ingin melanjutkan terus,
benar-benar gila, pikirnya.
"Kalau
kau keberatan pun tidak apa," sambung Sin-eng-cu, "kami bisa
merangkak turun saling menghampiri, lalu saling cekik sampai mampus di
sini!" sambil berkata demikian, Sin-eng-cu mengedipkan mata kepada
Bhewakala.
"Jangan
kira kau akan dapat mencekik leherku, Sin-eng-cu tua bangka bangkotan. Lebih
dulu jari-jariku akan menusuk dadamu sampai bolong-bolong?” Bhewakala mengancam,
juga tersenyum dan mengedipkan mata pula.
"Jangan...!
Harap ji-wi jangan berkelahi lagi. Baiklah, saya bersedia mentaati permintaan
ji-wi, menjadi perantara. Akan tetapi saya harap ji-wi betul-betul menghentikan
adu ilmu ini apa bila seorang di antara ji-wi ada yang tidak sanggup memecahkan
sebuah jurus. Sekarang harap ji-wi sudi menanti sebentar, saya hendak
menyediakan makanan."
Tanpa
menanti jawaban mereka, Yo Wan lalu menuju ke ladang, memetik sayur-mayur,
kemudian membawanya ke dapur dan memasak sayur-mayur serta ubi kentang. Pandai
dia memasak setelah berlatih selama lima tahun ini, dan di situ pun tersedia
lengkap pula bumbu-bumbu yang dia tukar dari penduduk dusun dengan hasil
ladangnya. Di luar, tanpa sepengetahuan Yo Wan, dua orang kakek itu berunding.
Karena mereka amat suka kepada Yo Wan dan maklum pula bahwa keadaan tubuh
mereka sudah cacad akibat pertandingan semalam, agaknya tak mungkin dapat
tertolong lagi karena Kwa Kun Hong tidak berada di situ, maka mereka mengambil
keputusan untuk menurunkan semua ilmu-ilmu mereka yang paling lihai kepada Yo
Wan.
"Jangan
kau terlalu bernafsu merobohkan aku," kata Sin-eng-cu, "Kita turunkan
dahulu jurus-jurus yang pernah kita mainkan malam tadi sehingga masing-masing
tentu sudah mengenalnya dan mampu memecahkannya. Setelah itu, barulah kita
bertanding secara sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus-jurus baru yang harus
dapat dipecahkan."
Bhewakala
menyetujui usul kakek bekas lawannya ini. Sesudah masakan sayur-mayur matang
dan dihidangkan oleh Yo Wan, mereka bertiga makan dengan tenang dan lahap.
Kemudian dua orang sakti itu minta diantar ke kamar masing-masing dan mulai
hari itu juga, Yo Wan menjadi perantara pertandingan yang aneh ini. Mula-mula
dia harus menghafal dan menggerakkan sebuah jurus yang diturunkan oleh
Bhewakala. Oleh karena jurus ini harus digunakan untuk menyerang, tentu saja Yo
Wan diharuskan dapat memainkannya dengan baik.
Pada
hari-hari pertama, amat sukar bagi anak ini untuk dapat menghafal dan memainkan
jurus-jurus itu, karena jurus yang diturunkan itu adalah jurus ilmu silat
tingkat tinggi yang sukarnya bukan main. Andai kata dia belum pernah diberi
dasar Ilmu Si-cap-it Sin-po, yaitu langkah-langkah ajaib yang sudah mengandung
inti sari dari semua jenis langkah dalam persilatan, agaknya anak ini tak
mungkin sanggup melakukan gerakan jurus yang diturunkan oleh dua orang sakti
ini.
Jurus
pertama yang diturunkan Bhewakala baru dapat dia lakukan setelah latihan selama
dua minggu! Memang amat mengherankan bagi yang tidak tahu, akan tetapi jika
diingat syarat-syaratnya, memang berat. Dalam setiap gerakan pada jurus ini,
imbangan tubuh harus tepat bahkan keluar masuknya nafas juga harus disesuaikan
dengan setiap gerak!
Biar pun Yo
Wan belum dapat menikmati dan membuktikan sendiri kegunaan ilmu silat karena
selama belajar di situ belum pernah dia menggunakan ilmu silat untuk bertempur,
namun mengingat sukarnya jurus ini, dia mengira bahwa Sin-eng-cu tentu akan
menjadi bingung dan tidak mudah memecahkannya.
Jari tengah
dan telunjuk kanan menusuk mata, kemudian diteruskan dengan siku kanan
menghantam jalan darah di bawah telinga, dibarengi pukulan tangan kiri pada
pusar yang disusul lutut kaki kanan menyodok arah kemaluan, akhirnya
dilanjutkan tendangan kaki kanan sebagai gerak terakhir. Sebuah jurus yang
‘berisi’ lima gerak serangan berbahaya! Bhewakala menamakan jurus ini Ngo-houw
Lauw-yo (Lima Harimau Mencari Kambing), sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya
yang paling lihai pada saat dia bertapa di Gunung Himalaya, yaitu ilmu silat
yang dinamainya Ngo-sin Hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti).
Akan tetapi
alangkah herannya ketika Sin-eng-cu menyambut jurus yang dia mainkan di depan
kakek ini dengan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Pendeta koplok! Jurus cakar bebek beginian dipamerkan di depanku? Wah, terlalu
gampang untuk memecahkannya!"
Yo Wan hanya
memandang dengan kagum. Diam-diam dia pun girang karena ternyata
susiok-couw-nya ini tak kalah lihainya oleh Bhewakala. Sudah tentu saja dalam
adu ilmu yang luar biasa ini sedikit banyak dia berpihak kepada Sin-eng-cu dan
mengharapkan kemenangan bagi kakek ini, karena betapa pun juga kakek ini adalah
paman guru dari suhu-nya.
"Awas,
dengarkan dan lihat baik-baik gerak tanganku. Sekaligus aku akan patahkan daya
serang jurus cakar bebek ini." Dengan gerak tangan dan keterangan yang
lambat serta jelas Sin-eng-cu mengajarkan jurusnya.
"Menghadapi
serangan seorang berilmu seperti Bhewakala, kita harus bersikap waspada dan
jangan mudah terpancing oleh gerak pertama, karena semua jurus ilmu silat
tinggi selalu menggunakan pancingan dan semakin tersembunyi gerak pancingan ini
akan lebih baik. Gerak pertama menyerang anggota tubuh bagian atas tidak perlu
dihadapi dengan perhatian sepenuhnya, akan tetapi harus dielakkan sambil
menunggu munculnya gerak susulan yang merupakan gerak inti. Serangan tangan
kanan ke arah mata dan leher, kita hadapi dengan merendahkan tubuh sehingga
tusukan mata beserta serangan siku kanan akan lewat di atas kepala. Serangan
pukulan tangan kiri pada pusar kita tangkis dengan tangan kanan dan apa bila
dia berani menggunakan lututnya, kita mendahului dengan pukulan sebagai
tangkisan ke arah sambungan lutut. Inilah jurusku yang menghancurkan jurus
Bhewakala itu, kunamai jurus Lo-han Pai-hud (Kakek Menyembah Buddha)."
Jurus ini
dilatih oleh Yo Wan dengan susah payah, apa lagi karena segera disusul jurus
kedua yang merupakan serangan balasan dari Sin-eng-cu, yaitu jurus yang
dinamakan Liong-thouw Coan-po (Kepala Naga Terjang Ombak). Kedua buah jurus ini
merupakan jurus-jurus dari ilmu silat ciptaan kakek ini yang dia beri nama
Liong-thouw-kun (ilmu Silat Kepala Naga) atau ilmu silat dari Liong-thouw-san
tempat dia bertapa di bekas kediaman mendiang kakak seperguruannya, Bu Beng Cu.
Untuk dua
buah jurus ini Yo Wan menggunakan waktu dua puluh hari. Ia bangga sekali
terhadap kakek itu dan mengira bahwa Bhewakala tentu akan repot menghadapi
ketika Liong-thouw Coan-po. Eh, kembali dia tercengang dan kecewa karena
pendeta Nepal ini terkekeh-kekeh, memandang rendah sekali jurus serangan
balasan Sin-eng-cu ini.
"Uwa-ha-ha-ha…!
Tua bangka bangkotan itu sudah gila kalau mengira bahwa jurusnya monyet menari
ini bisa menggertak aku. Lihat baik-baik jurusku yang akan memecahkan
rahasianya dan sekali ini dengan jurus seranganku yang kedua, dia pasti akan
mati kutu!" Kakek pendeta Nepal ini lalu mengajarkan dua buah jurus lain
yang lebih sulit dan aneh lagi.
Demikianlah,
setiap hari, siang malam hanya berhenti kalau mengurus keperluan mereka
bertiga, makan dan tidur, Yo Wan melayani mereka berdua silih-berganti. Pada
mulanya memang setiap jurus harus dia pelajari sampai hafal dan baru dapat dia
mainkan setelah tekun mempelajarinya sampai beberapa hari, apa lagi jurus-jurus
yang dikeluarkan kedua orang sakti itu makin lama makin sukar. Akan tetapi
setelah lewat tiga bulan, dia mulai dapat melatihnya dengan lancar, dan dapat
menyelesaikan setiap jurus dalam waktu satu hari saja!
Yo Wan tidak
hanya harus menghafal dan dapat mainkan jurus-jurus ini untuk dimainkan di
depan kedua orang sakti itu, namun karena tingkat itu makin tinggi, terpaksa
dia harus menerima latihan siulian (semedhi), pernafasan serta cara menghimpun
tenaga dalam tubuh.
"Tanpa
mempelajari Iweekang dahulu, tak mungkin kau mainkan jurus ini," demikian
kata Bhewakala.
Karena dia
sudah berjanji untuk membantu kedua orang itu menjadi perantara dalam adu ilmu,
terpaksa Yo Wan tak membantah dan mempelajari Iweekang yang aneh dari kakek
Nepal ini. Begitu pula, dengan alasan yang sama, Sin-eng-cu juga menurunkan
latihan Iweekang yang lain. Untuk latihan ini Yo Wan mengalami kelancaran
karena Iweekang dari kakek ini sejalan dengan apa yang dia pelajari dari
suhu-nya.
Tanpa terasa
lagi, tiga tahun sudah lewat! Ngo-sin Hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran
Sakti) dari Bhewakala yang berjumlah lima puluh jurus itu sudah dia mainkan
semua. Demikian pula Liong-thouw-kun dari Sin-eng-cu Lui Bok yang jumlahnya
empat puluh delapan jurus.
Bukan ini
saja. Dengan alasan bahwa ilmu pukulan tangan kosong tak dapat menentukan
kemenangan, Bhewakala lalu menurunkan ilmu cambuk yang dapat dimainkan dengan
pedang. Karena ilmu pedang ini pun berdasar pada Ngo-sin Hoan-kun, maka tidak
sukar bagi Yo Wan untuk menghafal dan memainkannya. Sebagai imbangannya,
Sin-eng-cu juga menurunkan ilmu pedangnya.
Pada bulan
kedua dari tahun ketiga, Sin-eng-cu yang keadaannya sudah sangat payah saking
tuanya dan juga karena kelemahan tubuhnya akibat pertempuran tiga tahun yang
lalu, menurunkan jurus yang tadinya amat dirahasiakan.
"Yo
Wan... Bhewakala memang hebat. Tapi coba kau perlihatkan jurus ini dan dia
pasti akan kalah. Jurus ini dinamakan Pek-hong Ci-tiam (Bianglala Putih
Keluarkan Kilat), jurus simpananku yang belum pernah kupergunakan dalam
pertandingan karena amat ganas. Coba... bantu aku berdiri, jurus ini harus
kumainkan sendiri, baru kau dapat menirunya. Ke sinikan pedangmu..."
Yo Wan yang
tadinya berlutut menyerahkan pedangnya, pedang dari kayu cendana yang sengaja
dibuat untuk perang adu ilmu itu, sambil membantu kakek yang sudah tua renta
itu bangkit berdiri. Diam-diam Yo Wan menyesal sekali mengapa kakek yang tua
ini begini gemar mengadu ilmu. Selama tiga tahun ini sudah sering kali dia membujuk-bujuk
kedua orang kakek itu untuk menghentikan adu ilmu, namun sia-sia belaka. Namun
sebenarnya, di balik semua itu, dia pun mulai merasa senang sekali dengan
pelajaran jurus-jurus itu.
"Nah,
kau lihat baik-baik..."
Kakek itu
menggerakkan pedang kayu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya
mencengkeram dari atas. Memang gerakan yang amat hebat dan dahsyat. Bahkan
kakek yang sudah kehabisan tenaga itu, ketika mainkan jurus tersebut kelihatan
menyeramkan. Terdengar suara bercuitan dari pedang kayu dan tangan kirinya,
kemudian... kakek itu roboh terguling.
"Susiok-couw...!"
Yo Wan cepat menyambar tubuh kakek itu dan membantunya duduk sambil menempelkan
dua telapak tangannya pada punggung kakek itu dan menyalurkan hawa murni sesuai
dengan ajaran Sin-eng-cu.
"Sudah...
eh, sudah baik... uh-uh-uh... tua bangka tak becus aku ini... Yo Wan, sudahkah
kau dapat mengerti jurus tadi?"
Yo Wan
mengangguk, dan maklum akan watak kakek ini. Seperti biasa setelah kakek itu
duduk bersila, dia mengambil pedang kayu dan mainkan jurus tadi. Suara
bercuitan lebih nyaring terdengar, dan kakek itu berseru gembira, tapi nafasnya
terengah-engah.
"Bagus,
bagus…! Nah, kalau sekali ini pendeta koplok itu sanggup memecahkan jurusku
Pek-hong Ci-tiam, dia benar-benar patut kau puja sebagai gurumu!"
Dengan nafas
terengah-engah kakek itu lalu melambaikan tangannya, mengusir Yo Wan keluar
dari kamar itu untuk segera mendemonstrasikan jurus itu kepada lawannya. Dengan
hati sedih karena ketika meraba punggung tadi dia tahu bahwa keadaan kakek itu
sangat payah, Yo Wan meninggalkan kamar, langsung memasuki kamar Bhewakala.
Keadaan pendeta Nepal ini tidak lebih baik dari pada Sin-eng-cu Lui Bok. Dia
pun amat payah karena selain kekuatan tubuhnya makin mundur akibat luka dalam,
juga dia harus mengerahkan tenaga dan pikiran setiap hari untuk mengajar Yo
Wan.
Ketika Yo
Wan memasuki kamarnya dan mainkan jurus Pek-hong Ci-tiam, dia terkejut sekali.
Sampai lama dia bengong saja, menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengeluh.
"Hebat... Sin-eng-cu Lui Bok hendak mengadu nyawa..."
Akan tetapi
selanjutnya dia termenung. Dua tangannya bergerak-gerak menirukan gerak jurus
itu, bicara perlahan seorang diri, mengerutkan kening dan akhirnya
menggelengkan kepala seakan-akan pemecahannya tidak tepat. la memberi isyarat
dengan tangan agar Yo Wan keluar dari kamarnya. Pemuda ini lalu mengundurkan
diri dan masuk ke kamar sendiri karena waktu itu malam sudah agak larut.
Menjelang
fajar, Yo Wan kaget mendengar suara Bhewakala memanggil namanya. la bangun dan cepat
menuju ke kamar pendeta itu. Pintu kamarnya terbuka dan pendeta itu duduk di
atas pembaringan. Cepat dia maju menghampiri.
"Yo
Wan, jurus Sin-eng-cu ini hebat! Aku tidak dapat menangkis atau
mengelaknya...," katanya dengan suara lesu.
Diam-diam Yo
Wan menjadi girang. Akhirnya Sin-eng-cu yang menang, seperti yang dia harapkan.
"Kalau begitu, Locianpwe menyerah...," katanya perlahan.
Mata yang
lebar itu melotot. "Siapa yang menyerah? Karena Sin-eng-cu ingin mengadu
nyawa, apa kau kira aku tidak berani? Jurus itu memang tidak dapat kutangkis
atau pun kuhindarkan, akan tetapi dapat kuhadapi dengan jurusku yang istimewa
pula. Mungkin aku akan mati oleh jurusnya, tapi dia pun pasti mampus bila
melanjutkan serangannya. Kau lihat baik-baik!"
Bhewakala
kemudian mengajar Yo Wan sebuah jurus sebagai imbangan dari Pek-hong Ci-tiam.
Kemudian pendeta itu menyuruh Yo Wan memainkan cambuk dengan jurus itu. Hebat
bukan main jurus ini. Cambuk itu melingkar-lingkar di udara kemudian melejit ke
empat penjuru dengan suara nyaring sekali.
"Tar-tar-tar-tar!"
Terjangan cambuk ini diiringi gempuran tangan kiri yang penuh dengan tenaga
dalam ke arah pusar lawan.
"Cukup!
Lekas kau perlihatkan kepada Sin-eng-cu," kata Bhewakala setelah dia
merasa puas dengan gerakan Yo Wan.
Pemuda ini
keluar dari kamar Bhewakala dan memasuki kamar Sin-eng-cu. Waktu itu matahari
telah naik agak tinggi, akan tetapi lampu di dalam kamar kakek ini masih saja
menyala.
"Susiok-couw,
Locianpwe Bhewakala tidak dapat memecahkan Pek-hong Ci-tiam, akan tetapi
menghadapi jurus itu dengan jurus serangan pula, seperti ini," kata Yo Wan
sambil memainkan cambuk yang memang sengaja dibawanya ke dalam kamar itu.
Cambuknya melejit-lejit dan tangan kirinya mengeluarkan angin yang mematikan lampu
di atas meja ketika dia mainkan jurus itu.
Akan tetapi
setelah dia berhenti mainkan jurus ini, Sin-eng-cu tidak memberi komentar
apa-apa. Kakek itu tetap duduk bersila dengan tangan kanan terkepal di atas
pangkuan, telentang, serta tangan kiri diangkat ke depan dada, jari-jari tengah
terbuka dan telapak tangan menghadap keluar.
"Susiok-couw,
bagaimana sekarang...?" Yo Wan menegur lagi sambil maju mendekat dan
berlutut.
"Susiok-couw...!"
la berseru agak keras sambil berdongak memandang.
Kakek itu
masih duduk bersila dengan mata meram. Ketika Yo Wan melihat sikap yang tidak
wajar ini, berubah air mukanya. Dirabanya kepalan tangan kanan di atas pangkuan
itu dan dia menarik kembali tangannya. Kepalan itu dingin sekali. Dirabanya
lagi nadi, tidak ada denyutan. Kakeknya itu seperti orang tidur tanpa bernafas.
"Susiok-couw...!"
Tiba-tiba
dia mendengar suara di belakangnya. "Dia sudah mati. Ahhh, Sin-eng-cu, kau
benar-benar hebat. Dengan jurus terakhir itu kau telah mengalahkan aku. Aku
mengaku kalah!"
Yo Wan menoleh
dengan sangat heran. Bhewakala sudah berdiri di situ dan walau pun kelihatannya
masih amat lemah, kiranya pendeta ini sudah dapat berjalan dengan ringan
sehingga dia tidak mendengar kedatangannya.
Akan tetapi
Yo Wan segera menghadapi Sin-eng-cu lagi, berlutut sambil memberi hormat
sebagaimana layaknya dan berkata, "Harap Susiok-couw sudi mengampuni teecu
yang tidak bisa menolong Susiok-couw yang terluka sehingga hari ini Susiok-couw
meninggal dunia." la tidak dapat menangis karena memang dia tidak ingin
menangis.
"Yo
Wan, orang selihai dia mana bisa mati hanya karena luka pukulanku? Seperti juga
pukulannya, mana bisa membikin mati aku? Kami berdua hanya terluka yang
akibatnya melenyapkan tenaga dalam karena pusat pengerahan sinkang di tubuh
kami rusak akibat pukulan. Tanpa pukulanku, hari ini dia akan mati juga,
kematian wajar dari usia tua."
Bhewakala
maju menghampiri kakek yang masih duduk bersila itu, lalu tiba-tiba pendeta
Nepal ini memeluknya.
"Sin-eng-cu,
tua bangka... terima kasih. Belum pernah selama hidup aku merasa begitu senang
dan gembira seperti selama tiga tahun kita mengadu ilmu ini. Kau sangat hebat,
sahabatku, kau hebat. Jurusmu terakhir tak dapat kupecahkan, biarlah sisa hidupku
akan dapat kupergunakan untuk memecahkan jurus itu agar kelak kalau kita
bertemu kembali, dapat kumainkan di depanmu..."
Pendeta ini
lalu membaringkan tubuh Sin-eng-cu. Tangan dan kaki kakek itu sudah kaku, namun
begitu disentuh Bhewakala pada jalan darah dan sambungan-sambungan tulang yang
membeku itu, bagian-bagian tubuh kakek itu segera lemas kembali sehingga dapat
ditelentangkan. Kemudian pendeta hitam ini berpaling kepada Yo Wan yang
memandang semua itu dengan mata terbelalak heran. Memang pendeta hitam ini
seorang yang aneh dan luar biasa, pikirnya.
“Yo Wan, kau
adalah murid Pendekar Buta, akan tetapi tidak pernah menerima warisan ilmu
silatnya kecuali pelajaran langkah-langkah yang tak ada artinya dalam
menghadapi lawan. Kau bukan murid kami, namun kau sudah mewarisi inti sari dari
ilmu silat kami berdua. Memang lucu. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dalam
hatiku, aku menganggap kau sebagai murid tunggalku dan selalu menanti
kunjunganmu ke Anapurna di Himalaya. Selamat tinggal, muridku."
Setelah
berkata demikian, Bhewakala berjalan ke luar dari pondok itu. Wajahnya muram
seakan-akan kegembiraannya lenyap bersama nyawa Sin-eng-cu. Yo Wan tiba-tiba
merasa dirinya sangat kesunyian. Yang seorang menjadi mayat, yang seorang lagi
sudah pergi. Kembali dia hidup seorang diri di tempat sunyi itu. Namun dia
segera dapat menguasai perasaannya. la bukan kanak-kanak lagi.
Ketika suhu
dan subo-nya pergi, delapan tahun yang lalu, dia baru berusia delapan tahun
lebih. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda, enam belas tahun usianya
seperti dikatakan oleh Sin-eng-cu beberapa hari yang lalu. Tadinya dia sendiri
tidak tahu berapa usianya kalau saja bukan Sin-eng-cu yang menghitungnya.
Seorang jejaka, Jaka Lola. Tidak hanya yatim piatu, akan tetapi juga tiada
sanak-kadang. Di dunia ini hanya ada suhu serta subo-nya, akan tetapi kedua
orang itu sudah pergi meninggalkannya sampai delapan tahun tanpa berita.
Dengan hati
berat Yo Wan mengubur jenazah Sin-eng-cu di belakang pondok. la tidak tahu
bagaimana harus menghias kuburan ini, maka dia lalu mengangkuti batu-batu besar
yang dia taruh berjajar di sekeliling kuburan. la masih belum sadar bahwa kini
dia dapat mengangkat batu-batu yang demikian besarnya, tidak tahu pula bahwa
setiap batu yang diangkatnya dengan ringan itu sedikitnya ada seribu kati
beratnya!
"Aku
harus pergi menyusul suhu dan subo ke Hoa-san." Inilah pikiran yang
pertama-tama memasuki kepalanya. Teringat akan niatnya pergi menyusul ke
Hoa-san tiga tahun yang lalu, dia kini merasa menyesal sekali. Mengapa dia dahulu
tidak jadi menyusul? Kalau tiga tahun yang lalu dia sudah pergi ke Hoa-san,
tentu saat ini dia sudah berada bersama suhu dan subo-nya.
Akan tetapi,
dia teringat lagi betapa dua orang kakek yang mengadu ilmu itu membuat dia
betah, malah selama tiga tahun ini dia tidak merasa rindu kepada suhu dan
subo-nya. Juga membuat dia tak pernah meninggalkan puncak karena dua orang itu
melarangnya. Biar pun bumbu-bumbu habis, mereka tidak membolehkan dia turun
puncak, dan sebagai pengganti bumbu-bumbu itu, Bhewakala menyuruh dia mengambil
bermacam-macam daun di puncak yang ternyata dapat mengganti bumbu dapur.
Dengan
pakaian penuh tambalan Yo Wan turun dari puncak. Cambuk Bhewakala yang
ditinggalkan oleh pendeta itu digulungnya melingkari pinggangnya, tersembunyi
di balik bajunya yang penuh tambalan dan tidak karuan potongannya. Juga pedang
kayu buatan Sin-eng-cu yang dipakainya untuk bermain jurus di depan Bhewakala,
dia bawa pula, dia selipkan di balik ikat pinggang.
Berangkatlah
Yo Wan si Jaka Lola meninggalkan puncak Liong-thouw-san, berangkat dengan hati
lapang dan penuh harapan untuk segera bertemu kembali dengan dua orang yang
amat dikasihi, yaitu suhu dan subo-nya. la tidak sadar sama sekali, betapa
dirinya telah mengalami perubahan hebat berkat latihan Iweekang menurut ajaran
Sin-eng-cu dan Bhewakala, betapa dirinya selain mempunyai tenaga sinkang yang
hebat juga sudah memiliki berbagai ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mudah
didapat orang!
Ketika
penduduk sekitar kaki gunung yang sudah mengenalnya melihat Yo Wan, mereka
segera menegur dan mempersilakan dia singgah. Mereka menyatakan rasa penyesalan
mengapa pemuda itu selama tiga tahun ini bersembunyi saja. Malah yang mempunyai
kelebihan pakaian segera memberi beberapa buah celana dan baju kepada Yo Wan
ketika dilihatnya betapa pakaian pemuda ini penuh tambalan.
Yo Wan,
menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. Ia sendiri tak ingin suhu dan
subo-nya marah dan malu melihat dia berpakaian seperti jembel. Segera dia
menukar pakaiannya dan kini biar pun pakaiannya sederhana dan terbuat dari kain
kasar, tetapi cukup rapi dan tidak robek, juga tidak ada tambalan menghiasnya….
Yo Wan
melakukan perjalanan seperti seorang yang linglung. Dia laksana seekor anak
burung yang baru saja belajar terbang meninggalkan sarangnya. Semenjak usia
delapan tahun, dunianya hanya puncak Bukit Liong-thouw-san dan perkampungan
sekitar kaki gunung. Meski pun di waktu kecilnya dia pernah melihat kota dan
tempat-tempat ramai, akan tetapi selama delapan tahun dia seakan mengasingkan
diri di puncak gunung.
Dan
sekarang, melakukan perjalanan melalui kota-kota dan dusun-dusun yang ramai,
dia bagai orang dusun yang amat bodoh. Bangunan-bangunan besar mengagumkan
hatinya. Melihat banyak orang membuat dia bingung. Apa lagi ilmu membaca dan
menulis. Dia adalah seorang buta huruf yang melakukan perjalanan melalui
tempat-tempat yang asing baginya, tanpa kawan tiada sanak kadang, tanpa bekal
uang di saku!
Tetapi
kekurangan-kekurangan ini sama sekali tidak membuat Yo Wan menjadi khawatir
atau susah. Semenjak kecil dia sudah tergembleng oleh segala macam kesulitan
hidup. Meski masih muda, jiwanya sudah matang oleh asam garam dan pahit getir
kehidupan, membuatnya tenang dan dapat menghadapi segala macam keadaan dengan
tabah.
Tidak sukar
baginya untuk mengatasi kekurangannya dalam perjalanan. Kadang-kadang dia hanya
makan buah-buahan dan daun-daun muda di dalam hutan untuk berhari-hari. Ada
kalanya dia makan dalam sebuah kelenteng bersama hwesio-hwesio yang baik hati
dan yang tetap membagi hidangan sayur-mayur sekedarnya tanpa daging itu kepada
Yo Wan. Tentu saja Yo Wan belum mau pergi meninggalkan kelenteng sebelum melakukan
sesuatu, mencari air, menyapu lantai, membersihkan meja sembahyang dan
pekerjaan lain untuk membalas budi. Kadang kala ada orang dusun atau kota yang
mau menerima bantuan tenaganya untuk ditukar dengan makan sehari itu.
Dengan cara
begitu Yo Wan melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya jalan menuju ke
Hoa-san. Dia berlaku hati-hati sekali, selalu menjauhkan diri dari keributan,
dan tidak pernah dia memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa dia memiliki
tenaga luar biasa dan kepandaian yang tinggi. Yo Wan sendiri sebenarnya belum
mengerti betul bahwa dia telah mewarisi inti sari dari kepandaian dua orang
kakek berilmu, sungguh pun dia mengetahui bahwa dia memiliki tenaga dan
keringanan tubuh yang melebihi orang lain. Oleh karena ini maka dia sama sekali
tidak mempunyai keinginan mencari dan membalas musuhnya, The Sun, sebelum dia
bertemu dengan suhu-nya dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari gurunya
itu.
Setelah
melakukan perjalanan berbulan-bulan, akhirnya pada suatu pagi sampai juga dia di
kaki Gunung Hoa-san. Dengan hati berdebar tegang dia berdiri memandang ke arah
puncak gunung itu, sebuah gunung tinggi yang hijau, tidak liar seperti
Liong-thouw-san. Membayangkan pertemuan dengan suhu dan subo-nya setelah
berpisah selama delapan tahun, mendatangkan rasa haru dan membuatnya agak lama
termenung di situ dengan jantung berdebar-debar.
Betapa pun
juga, dalam kegembiraan ini, ada rasa tidak enak di hatinya, rasa bahwa dia
merupakan seorang tamu di Hoa-san. Suhu dan subo-nya sendiri terhitung tamu di
situ, bagaimana dia akan dapat merasa di rumah sendiri? Berpikir begitu,
timbullah kegetiran. Mengapa suhu-nya membiarkan dia bersunyi sampai delapan
tahun di Liong-thouw-san? Mengapa gurunya itu tidak kembali?
Ya,
mengapakah? Mengapa Kun Hong dan Hui Kauw tidak kembali ke Liong-thouw-san
sampai delapan tahun lamanya, dan membiarkan murid mereka itu seorang diri saja
di puncak gunung yang sunyi. Apakah terjadi sesuatu yang hebat atas diri
mereka?
Sebetulnya
tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tidak lama setelah Kun Hong dan Hui Kauw
sampai di Hoa-san, Hui Kauw melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Tentu
saja peristiwa ini mendatangkan kegembiraan luar biasa di Hoa-san. Oleh
kakeknya, anak itu diberi nama Kwa Swan Bu.
Ketua
Hoa-san-pai sekarang adalah Kui Lok yang berjulukan Kui Sanjin, seorang tokoh
Hoa-san-pai yang paling lihai karena dia dan isterinya (Thio Bwee) merupakan
sepasang suami isteri yang mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang paling tinggi.
Kedua suami isteri ini memimpin Hoa-san-pai, dibantu oleh suheng-nya bernama
Thian Beng Tosu (Thio Ki) dan Lee Giok, dan diawasi oleh kakek Kwa Tin Siong
dan isterinya. Kwa Tin Siong sudah amat tua dan sudah bosan mengurus
Hoa-san-pai, maka dia dan isterinya menyerahkan tugas ini kepada Kui Sanjin dan
mereka sendiri tekun bertapa.
Kedatangan
putera tunggal mereka, Kwa Kun Hong bersama isterinya, tentu saja sangat
menggirangkan hati kedua orang tua ini, apa lagi sesudah isteri Kun Hong
melahirkan seorang putera, kebahagiaan suami isteri tua ini pun menjadi
sempurna. Perlu diketahui bahwa tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang memiliki
keturunan laki-laki, kecuali Kwa Kun Hong seorang.
Thian Beng
Tosu hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Thio Hui Cu dan sudah
menikah dengan Tan Sin Lee, putera Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi ketua
Thai-san-pai. Juga Kui Sanjin hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Kui
Li Eng yang sudah menikah pula dengan Tan Kong Bu, yaitu putera lain lagi dari
Raja Pedang Tan Beng San.
Semua ini
dapat dibaca dalam cerita Rajawali Emas dan Pendekar Buta.
Karena tidak
ada keturunan laki-laki di Hoa-san, tentu saja lahirnya Kwa Swan Bu amat
menggirangkan hati Kakek Kwa. Thian Beng Tosu dan Kui Sanjin ketua Hoa-san-pai
juga amat girang. Orang-orang tua inilah yang minta dengan sangat kepada Kun
Hong dan istrinya agar suami isteri itu tidak kembali ke Liong-thouw-san,
setidaknya menanti kalau Swan Bu sudah besar. Sangatlah tidak baik membiarkan
seorang anak laki-laki bersunyi di puncak bukit dengan kedua orang tuanya saja,
kata Kwa Tin Siong kepada putera dan mantunya.
“Dia akan
tumbuh besar dalam kesunyian, kurang bergaul dengan sesama manusia. Di
Hoa-san-pai ini adalah tempat tinggalmu sendiri sejak kau kecil, Kun Hong. Oleh
karena itu sebaiknya kau membiarkan puteramu tinggal di sini pula. Di sini
merupakan keluarga Hoa-san-pai yang besar, dan puteramu tentu akan menerima
kasih sayang dari semua orang. Juga aku dan ibumu sudah tua, biarkanlah kami
menikmati hari-hari akhir kami dengan cucu kami Swan Bu."
Hal inilah
yang membuat Kun Hong dan isterinya tak dapat meninggalkan Hoa-san. Kun Hong
kemudian berunding dengan isterinya tentang Yo Wan. Hui Kauw yang tentu saja
menimpakan kasih sayang seluruhnya kepada puteranya, menyatakan bahwa tentu Yo
Wan akan menyusul ke Hoa-san.
"Bukankah
dulu kau sudah meninggalkan pesan bahwa dia harus menyusul ke Hoa-san kalau
dalam waktu dua tahun kita belum pulang? Dia sudah besar, tentu dapat mencari
jalan ke sini. Pula, hal ini amat perlu bagi dia. Murid kita harus menjadi
seorang yang tabah dan tidak gentar menghadapi kesukaran."
Kun Hong
setuju dengan pendapat isterinya ini. Akan tetapi hatinya gelisah juga setelah
lewat dua tahun, bahkan sampai lima tahun, murid itu tidak datang menyusul ke
Hoa-san. "Jangan-jangan ada sesuatu terjadi di sana?" Kun Hong
menyatakan kekhawatirannya.
"Atau
dia memang tak ingin ikut dengan kita di sini," Hui Kauw berkata,
keningnya agak berkerut.
Diam-diam ia
merasa tidak senang mengapa Yo Wan tidak mentaati perintah suaminya. Seorang
murid harus mentaati perintah guru, kalau tidak, dia bukanlah murid yang baik.
"Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan Yo Wan. Kalau dia datang menyusul,
berarti dia suka menjadi murid kita, kalau tidak, terserah kepadanya. Lebih
baik kita melatih anak kita sendiri."
Demikianlah,
setelah lewat delapan tahun, suami isteri ini telah melupakan murid mereka yang
mereka kira tentu sudah pergi dari Liong-thouw-san dan tidak mau ikut mereka di
Hoa-san. Sama sekali mereka tidak menyangka bahwa murid mereka itu selama ini
tak pernah meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan sama sekali mereka tidak
pernah menduga bahwa pada pagi hari itu, orang muda tampan sederhana yang
sedang berdiri termenung di kaki Gunung Hoa-san adalah Yo Wan.
Yo Wan amat
kagum melihat keadaan Gunung Hoa-san. Alangkah jauh bedanya dengan
Liong-thouw-san. Gunung ini benar-benar terawat. Tak ada bagian yang liar.
Hutan-hutan bersih dan penuh pohon buah dan kembang. Sawah ladang terpelihara,
ditanami dengan sayur-mayur dan pohon obat. Malah dibangun pula jalan yang
cukup lebar, memudahkan orang naik mendaki gunung.
Terdengar
derap kaki kuda dari sebelah kanan, diiringi suara ketawa yang amat nyaring,
ketawa kanak-kanak. Yo Wan mengangkat kepala memandang ke sebelah kanan dan dia
menjadi kagum sekali. Ada tiga orang penunggang kuda. Kuda mereka adalah
kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan nampak kuat. Akan tetapi bukan
binatang-binatang itu yang mengagumkan hati Yo Wan, tapi penunggang yang berada
di tengah-tengah, di antara dua orang penunggang kuda lainnya.
Penunggang
kuda ini adalah seorang anak laki-laki yang usianya kelihatannya belum ada
sepuluh tahun. Seorang anak laki-laki yang amat tampan, yang pakaiannya serba
indah, kepalanya ditutupi topi sutera yang bersulam kembang dan terhias burung
hong dari mutiara. Anak laki-laki itu pandai sekali menunggang kuda dan pada
saat itu dia menunggang kuda tanpa memegang kendali, karena kedua tangannya
memegangi sebuah gendewa dan beberapa batang anak panah. Dua orang yang
mengiringi anak ini adalah dua orang laki-laki berusia empat puluhan,
dandanannya seperti tosu dan terlihat sangat mencinta anak itu.
"Ji-wi
Susiok (Dua Paman Guru), lihat, burung yang paling gesit akan kupanah
jatuh!"
"Swan
Bu... jangan...! Itu bukan burung walet...!" Salah seorang di antara kedua
tosu itu mencegah.
Akan tetapi
anak itu sudah mengeprak kuda dengan kedua kakinya yang kecil. Kudanya lari
congklang dengan cepat ke depan. Dengan gerakan yang tenang namun cepat anak
itu sudah memasang dua batang anak panah pada gendewanya, kemudian menarik tali
gendewa. Terdengar suara menjepret dan Yo Wan melihat seekor burung kecil
melayang jatuh di dekat kakinya. Ia merasa kasihan sekali melihat burung itu,
sebatang anak panah sudah menembus dadanya. Burung kecil berbulu kuning amat
cantik.
Yo Wan
menekuk lutut, membungkuk untuk mengambil bangkai burung itu. Tiba-tiba saja
berkelebat bayangan dan tahu-tahu sebuah tangan yang kecil sudah mendahului
dirinya, menyambar bangkai burung itu. Yo Wan berdiri dan melihat anak kecil
yang pandai main anak panah tadi telah berdiri di depannya, bangkai burung di
tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Ehh,
kau mau mencuri burungku? Burung ini aku yang panah jatuh, enak saja kau mau
mengambilnya. Hemmm, kau orang dari mana? Mau apa berkeliaran di sini?"
Yo Wan
tertegun. Anak ini masih kecil, akan tetapi sikapnya amat gagah dan berwibawa.
Kedua matanya tajam penuh curiga, akan tetapi juga membayangkan watak tinggi
hati. la tahu bahwa dirinya berada di tempat orang, karena Gunung Hoa-san tentu
saja menjadi wilayah orang-orang Hoa-san-pai. Dengan senyum sabar dia menjura
dan berkata.
“Aku tidak
bermaksud mencuri, hanya kasihan melihat burung ini..."
Sementara
itu, dua orang tosu juga sudah melompat turun dan kuda dan menghampiri. “Swan
Bu, kau terlalu. Ilmu memanah yang kau pelajari bukan untuk membunuh burung
yang tidak berdosa. Kalau ayah bundamu tahu, kau tentu akan mendapat
marah," tegur seorang tosu.
“Susiok,
apakah urusan begini saja Susiok hendak mengadu kepada ayah dan ibu? Jika tidak
berlatih memanah burung kecil terbang, mana bisa mahir? Anggap saja burung ini
seorang penjahat. Susiok, orang ini mencurigakan sekali, aku belum pernah
melihatnya. Jangan-jangan dia pencuri.”
Dua orang
tosu itu memandang Yo Wan. Tosu kedua segera menegur, "Orang muda, kau
siapakah? Agaknya kau bukan orang sini .. ehhh, apakah kau pemuda yang hendak
bekerja sebagai tukang mengurus kuda di Hoa-san? Dua hari yang lalu kepala
kampung Lung-ti-bun menawarkan tenaga seorang pemuda tukang kuda..."
Yo Wan
menggeleng kepala. Dia sejak kecil tinggal di gunung, tentu saja tidak tahu
akan tata susila umum, dan gerak-geriknya agak kaku dan kasar. "Aku bukan
tukang kuda, akan tetapi kalau Lo-pek (Paman Tua) suka memberi pekerjaan, aku
pun mau mengurus kuda, asal mendapat makan setiap hari."
Entah
bagaimana, melihat anak laki-laki yang sombong dan yang dia tahu tentu anak
Hoa-san-pai ini, mendadak hati Yo Wan menjadi tawar untuk bertemu dengan
suhu-nya. Bukankah suhu-nya itu putera Hoa-san-pai dan sekarang sedang mondok
di situ? Bagai mana seandainya orang-orang Hoa-san-pai memandang rendah padanya
dan tidak suka mengangkatnya sebagai murid Pendekar Buta?
Lebih baik
dia menjadi tukang kuda dan tidak usah ‘mengaku’ sebagai murid gurunya agar
tidak merendahkan nama gurunya. Dengan pekerjaan ini, dia ingin melihat
gelagat, melihat dulu suasana di Hoa-san-pai sebelum mengambil keputusan untuk
menghadap suhu-nya.
"Baik,
kau boleh bekerja menjadi pengurus kuda. Setiap hari kau harus mencari rumput
yang segar dan gemuk untuk dua belas ekor kuda, memberi makan dan menyikat bulu
kuda. Tidak hanya makan, kau juga akan diberi pakaian dan upah. Ehh, siapa
namamu? Di mana rumahmu?"
"Namaku
A Wan, Lopek, dan aku tidak punya rumah. Terima kasih atas kebaikanmu, aku akan
merawat kuda dengan baik-baik.”
“Bekerjalah
dengan baik, dan ketua kami tentu akan menaruh kasihan padamu. Jangan
sekali-kali suka mencuri, apa lagi melarikan kuda," kata tosu kedua.
"Susiok,
mengapa takut dia mencuri dan lari? Kalau dia jahat, anak panahku pasti akan
merobohkannya!"
"Hushh,
Swan Bu, jangan bicara begitu...”
"Aku
paling benci penjahat, Susiok, setiap kali aku melihat penjahat, pasti akan
kupanah mampus. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan basmi semua penjahat di
permukaan bumi ini."
Hemmm, bocah
manja dan amat besar mulut, pikir Yo Wan. Heran sekali dia mendengar omongan
seorang anak kecil seperti itu. Anak siapa gerangan bocah ini? Apakah anak
ketua Hoa-san-pai? Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, karena nanti
pun dia akan tahu sendiri.
"Swan
Bu kita pulang berlari sambil melatih ilmu lari cepat," kata tosu pertama
kepada anak itu. "Biar tiga ekor kuda ini dituntun naik oleh A Wan. A Wan,
kau tuntun tiga ekor kuda ini ke puncak, sampai di sana bawa ke kandang, gosok
badannya sampai kering dari keringat dan beri makan." Setelah berkata
demikian, tosu itu memberikan kendali tiga ekor kuda itu kepada A Wan, kemudian
mengajak tosu kedua dan Swan Bu untuk berlari cepat.
Mereka
berkelebat dan seperti terbang mereka lari mendaki gunung. Memang tosu itu
sengaja tidak memberi penjelasan karena hendak menguji kecerdikan kacung kuda
itu, apakah mampu dan dengan baik mengantar binatang-binatang itu ke kandang
ataukah tidak. la masih ragu-ragu melihat pemuda yang bodoh itu. Ada pun Yo Wan
melihat mereka berlari-lari cepat sambil memegangi kendali tiga ekor kuda itu.
Biasa saja kepandaian mereka itu, pikirnya, lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu
mendaki gunung.
Sambil
berjalan perlahan dia bertanya-tanya di dalam hati, siapa gerangan bocah yang
bernama Swan Bu itu. Bocah tampan dan bersemangat, mempunyai dasar watak yang
gagah dan pembenci penjahat, akan tetapi rusak oleh kemanjaan dan kesombongan.
Pertemuannya dengan anak laki-laki tadi membuat hati Yo Wan makin terasa tidak
enak lagi. Dia merasa bahwa orang-orang Hoa-san-pai kurang bijaksana, terbukti
dari watak bocah tadi yang agaknya terlalu manja.
Heran dia
mengapa suhu-nya yang jujur dan budiman, subo-nya yang berwatak halus dan penuh
pribudi itu bisa tinggal di situ sampai bertahun-tahun. Akan tetapi dia
teringat lagi bahwa suhu-nya adalah putera ketua Hoa-san-pai, tentu saja harus
berbakti kepada orang tua, dan orang dengan watak sehalus subo-nya, tentu dapat
menghadapi segala macam watak dengan penuh kesabaran. Yo Wan menarik nafas.
Dasar kau sendiri yang iri agaknya melihat bocah tadi demikian manja,
pakaiannya demikian indah, dia mencela diri sendiri.
Betapa pun
juga, Yo Wan adalah seorang pemuda yang masih remaja dan kurang sekali
pengalaman, kurang pula pendidikan, maka rasa iri itu adalah wajar. Iri karena
dia tidak pernah merasakan bagaimana dicinta orang tua, dimanja orang tua. la
pun teringat akan keadaan sendiri, seorang jaka lola yang tidak punya apa-apa
di dunia ini. Alangkah jauh bedanya dengan Swan Bu tadi, bagai bumi dan langit.
Selagi dia
melamun sambil menuntun kudanya di jalan yang cukup lebar tapi menanjak itu,
tiba-tiba terdengar derap kaki-kaki kuda dari belakang dan disusul bentakan
nyaring, "Minggir...! Minggir...!!" Lalu terdengar bunyi cambuk di
udara.
Kalau saja A
Wan tidak sedang melamun, agaknya dia tidak begitu terkejut dan dapat menuntun
ketiga ekor kuda itu ke pinggir. Akan tetapi bentakan nyaring ini seakan-akan
menyeretnya secara tiba-tiba dari dunia lamunan, membuat dia kaget dan tidak
sempat menguasai seekor di antara kudanya yang kaget dan melonjak ke tengah
jalan.
Karena dua
ekor kuda yang lain juga melonjak-lonjak ketakutan, terpaksa Yo Wan hanya
menenangkan dua ekor yang masih dia pegang kendalinya, sedangkan yang seekor
lagi telah terlepas kendalinya dan kini berloncatan di tengah jalan. Pada saat
itu, dua orang penunggang kuda sudah datang membalap dekat sekali. Yo Wan
berteriak kaget, karena kudanya yang mengamuk itu tidak menghindar, malah
meloncat dan menubruk ke arah seorang di antara penunggang-penunggang kuda itu.
"Setan...!"
Penunggang kuda yang ditubruk itu memaki.
Dia adalah
seorang laki-laki yang berkumis panjang, berusia kurang lebih empat puluh
tahun. Pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi sepatunya baru dan mengkilap.
Sambil memaki, dia menggerakkah kakinya, menendang ke arah perut kuda yang
menubruknya.
"Krakkk!"
Tendangan
itu keras sekali dan mendengar bunyinya, agaknya tulang-tulang rusuk kuda yang
menubruknya itu telah ditendang hingga patah. Kuda itu meringkik, terjengkang ke
belakang lalu roboh dan berkelojotan, tak mampu bangun lagi.
"Wah-wah,
Sute (Adik seperguruan), kau sudah membunuh seekor kuda Hoa-san-pai!"
tegur orang kedua, usianya hampir lima puluh, rambutnya putih semua digelung ke
atas, mukanya licin tanpa kumis, pakaiannya juga penuh tambalan seperti orang
pertama.
"Habis,
apakah aku harus membiarkan kuda itu menubrukku, Suheng? Salahnya bocah ini,
menuntun kuda kurang hati-hati!"
Mereka
berdua melompat turun dari kuda dan memandang kepada Yo Wan. Bukan main
kagetnya hati Yo Wan melihat betapa seekor di antara tiga kuda yang dia tuntun
itu sekarang telah berkelojotan hampir mati di tengah jalan. Baru saja dia
diterima menjadi kacung kuda, tetapi sudah terjadi hal seperti ini. Karena
kaget dan bingung, dia segera berkata,
"Kau
membunuh kudaku. Hayo ganti kudaku!”
Si kumis
tersenyum. "Bocah, ketahuilah. Aku dan suheng-ku ini adalah dua orang
utusan dari Sin-tung Kaipang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti). Urusan kuda
merupakan urusan kecil, tak perlu kau ribut-ribut."
"Urusan
kecil bagaimana?" Yo Wan berteriak. "Mungkin kecil untuk kau, akan
tetapi amat besar bagiku. Kau harus mengganti kuda ini!"
Muka si
kumis menjadi merah. la heran sekali. Biasanya, orang-orang Hoa-san-pai tentu
akan bersikap hormat bila mana mendengar bahwa mereka adalah utusan dari
Sin-tung Kaipang. Akan tetapi bocah ini, tentunya hanya seorang anak murid yang
masih rendah, sama sekali tidak menghormat, malah agak kasar sikap dan
bicaranya.
"Kau
siapa? Apakah kuda ini bukan milik Hoa-san-pai?" tanya si kumis.
"Memang
kuda Hoa-san-pai, dan aku adalah kacung kuda yang baru. Bagaimana aku harus
pulang kalau kuda yang kutuntun berkurang seekor? Lopek, kau harus mengganti
kudaku!" Sambil berkata demikian, Yo Wan menuntun dua ekor kudanya di
tengah jalan, menghadang perjalanan karena dia khawatir kalau dua orang itu
akan melarikan diri.
Si kumis
menjadi makin merah mukanya karena marah ketika mendengar bahwa bocah ini hanya
seorang kacung kuda saja. Seorang kacung kuda bagaimana berani bersikap sekasar
itu terhadap dia, anak murid Sin-tung Kaipang yang sudah bersepatu baru?
Di
perkumpulan pengemis ini terdapat peraturan yang aneh. Tingkat seseorang
ditandai dengan sepatu. Yang terendah tidak memakai apa-apa, yang lebih tinggi
memakai alas kaki, makin tinggi semakin baik, mulai sandal kayu sampai sepatu
kulit yang mengkilap seperti yang dipakai oleh kedua orang penunggang kuda ini.
Maklumlah, mereka berdua adalah murid-murid dari ketua Sin-tung Kaipang, karena
itu kepandaiannya sudah sangat tinggi, demikian juga ‘pangkatnya’ karena
memakai sepatu baru.
"Hemmm,
bujang rendah! Kau hanya tukang kuda, banyak cerewet. Urusan seekor kuda saja
kau ribut-ribut! Minggir! Biarlah nanti kubicarakan dengan orang-orang
Hoa-san-pai tentang kuda ini, kau boleh pulang ke kandangmu!"
"Betul
kata-kata Sute-ku, bocah tukang kuda, jangan kau takut. Urusan kuda ini biar
nanti kami bicarakan dengan majikanmu," sambung orang kedua yang rambut
putih.
"Tidak!"
Yo Wan membantah karena dia takut dua orang ini akan mengadu kepada ketua
Hoa-san-pai dan membalikkan duduk perkaranya sehingga dia yang akan
dipersalahkan. "Kau harus ganti sekarang juga!"
"Bujang
rendah, kau buka matamu baik-baik dan lihat dengan siapa kau bicara!"
bentak si kumis, marah sekali.
"Aku
sudah melihat, kalian adalah dua orang pengemis aneh."
Kedua orang
itu tertawa. Memang aneh orang-orang dari Sin-tung Kaipang. Kalau orang lain
menyebut mereka pengemis, hal itu berarti suatu penghormatan bagi mereka!
Inilah sebabnya mereka menjadi senang mendengar Yo Wan menyebut mereka pengemis
aneh dan hal ini mereka anggap bahwa Yo Wan menyadari siapa mereka dan takut.
"Bocah!
Kau lihat sepatu kami!"
Yo Wan
mendongkol sekali. Orang ini terlalu menghinanya, akan tetapi dia memandang
juga ke arah sepatu mereka. "Ada apa dengan sepatu kalian? Sepatu baru, akan
tetapi penuh debu!" jawabnya.
"Ha-ha-ha,
anak baik, kau mengenal sepatu baru kami!" Si kumis tertawa senang.
"Hayo kau bersihkan debu sepatu kami, dan nanti kami akan minta kepada
majikanmu agar kau jangan dihukum karena kelalaianmu menuntun kuda."
Yo Wan
menegakkan kepalanya, memandang tajam. "Harap kalian tidak main-main. Aku
pun tidak ingin main-main dengan kalian. Lebih baik sekarang kalian tinggalkan
seekor di antara kudamu untuk mengganti kudaku yang mati, baru kalian
melanjutkan perjalanan."
“Apa...?!"
Dua orang itu berteriak kaget, heran dan juga marah. "Kau ini kacung kuda
tapi berani bicara begitu kepada kami? Kami adalah dua orang utusan yang
terhormat dari Sin-tung Kaipang, tahu? Minggir dan jangan banyak cerewet kalau
kau tak ingin mampus seperti kuda itu!"
Yo Wan
adalah seorang yang mempunyai watak suka merendah, hal ini terbentuk oleh
keadaan hidupnya semenjak kecil. Dia suka mengalah dan mempunyai rasa diri
rendah dan bodoh, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang muda yang
berdarah panas. Melihat sikap dan mendengar ucapan menghina itu, kesabarannya
patah.
"Biar
kalian utusan dari Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sekali pun, karena kau membunuh
kudaku, kau harus menggantinya!"
Dua orang
itu mencak-mencak saking marahnya. Kalau saja mereka tidak ingat bahwa kacung
itu adalah seorang bujang Hoa-san-pai dan bahwa mereka berada di wilayah
Hoa-san-pai, tentu sekali pukul mereka akan membikin mampus bocah ini.
"Sute,
jangan layani dia. Dorong minggir!"
Si kumis
tertawa sambil melangkah maju mendekati Yo Wan, tangan kirinya mendorong pundak
pemuda itu sambil membentak, "Tidurlah dekat bangkai kudamu!"
la
menggunakan tenaga setengahnya karena tidak ingin membunuh Yo Wan, hanya ingin
membuat kacung itu terjengkang dekat bangkai kuda tadi. Akan tetapi dia salah
besar kalau mengira bahwa dengan hanya sebuah dorongan seperti itu saja dia
akan mampu merobohkan Yo Wan.
Tangannya
mendorong pundak Yo Wan yang sengaja tidak mau mengelak, akan tetapi tenaga
dorongannya bertemu dengan pundak yang kokoh dan kuat seperti batu karang.
Jangankan membuat kacung itu roboh, membuat pundak itu bergoyang sedikit saja
tidak mampu!
"Kau
ganti kudaku yang mati!” kata Yo Wan tanpa bergerak.
Si kumis
terheran, penasaran, lalu timbul kemarahannya. "Kau kepala batu!"
bentaknya dan kini dia menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong dada Yo
Wan.
Yo Wan tidak
mau mengalah sampai dua kali, apa lagi sekarang yang didorong adalah dadanya.
Tak mungkin dia mau membiarkan dadanya didorong orang karena hal ini amat
berbahaya. Selama tiga tahun, terus-menerus siang malam dia bermain silat
menurut petunjuk dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, ilmu silat tingkat tinggi yang
membuat ilmu itu mendarah daging di tubuhnya dan di pikirannya. Seluruh panca
inderanya sudah matang sehingga segalanya bergerak secara otomatis, karena
memang demikianlah kehendak dua orang sakti itu.
Sekarang,
menghadapi dorongan dua tangan si kumis ke arah dadanya, secara otomatis kaki
Yo Wan melangkah dengan gerak tipu Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po, yang dia
warisi dari Pendekar Buta. Ketika tubuh si kumis yang mendorongnya itu lewat
dekat tubuhnya, otomatis pula tangannya bergerak ke punggung dan pantat.
Seperti sehelai layang-layang putus talinya, tubuh si kumis itu ‘melayang’ ke
depan dan memeluk bangkai kuda yang tadi ditendangnya!
"Bukkk!
Uh-uhhh..."
Si kumis
terbanting pada bangkai kuda. Oleh karena dia tadi mencium hidung kuda yang
mancung dan keras, hidungnya mengeluarkan darah dan kepalanya menjadi pening.
Temannya yang berambut putih sejenak berdiri melongo. Hampir saja dia tidak
dapat percaya bahwa sute-nya begitu mudah dirobohkan oleh seorang kacung kuda!
Padahal dia maklum bahwa ilmu kepandaian sute-nya itu sudah tinggi, patutnya
kalau dikeroyok oleh dua puluh orang kacung seperti ini saja tidak mungkin
kalah. Tapi mengapa sampai hidungnya mengeluarkan kecap?
"Kau
berani melawan kami?" bentaknya marah setelah sadar kembali dari
keheranannya.
Sambil
membentak begitu pengemis rambut putih ini menerjang maju. la memukul ke arah
muka Yo Wan dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya diam-diam melakukan
gerakan susulan, yaitu serangan yang sesungguhnya dan tersembunyi di balik
serangan pertama yang merupakan pancingan. Maksudnya hanyalah ingin membanting
roboh Yo Wan sebagai pembalasan atas kekalahan temannya tadi karena dia masih
belum berani membunuh seorang bujang Hoa-san-pai.
Yo Wan
tersenyum. Sesudah melatih dirinya dengan tipu-tipu yang luar biasa hebatnya
secara berganti-ganti dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, di mana kedua orang sakti
itu menggunakan gerakan-gerakan yang penuh tipu muslihat, penuh pancingan dan
amat tinggi tingkatnya, jurus yang dipergunakan oleh si rambut putih ini
baginya merupakan gerakan main-main yang tidak ada artinya sama sekali.
Agaknya
boleh dikatakan bahwa Yo Wan telah mengetahui lebih dulu sebelum pengemis itu
bergerak! Dengan tenang dia miringkan kepala dan tangannya mendahului
digerakkan ke depan menyambut tangan kanan kakek pengemis yang hendak
membantingnya, lalu dipegangnya pergelangan tangan itu dan sekali tekan tangan
itu seakan-akan menjadi lumpuh.
Pada lain
saat, tubuh pengemis berambut putih ini pun sudah melayang ke depan dan...
menimpa tubuh pengemis berkumis yang baru krengkang-krengkang hendak merangkak
bangun. Tentu saja dia roboh lagi dan keduanya bergulingan di dekat bangkai
kuda!
"Lebih
baik kalian pergi dan tinggalkan seekor kuda untuk mengganti yang mati,"
kata Yo Wan menyesal.
Dia sama
sekali tidak ingin berkelahi. Dia takut kalau-kalau hal ini akan membikin marah
suhu-nya. "Bila mana kau merasa rugi, boleh kau bawa bangkai kuda itu. Aku
tidak mau mencari perkara.”
Akan tetapi
kedua orang pengemis itu sudah memuncak kemarahannya. Mereka adalah murid-murid
yang terkenal dari ketua Sin-tung Kaipang, maka apa yang baru terjadi tadi
merupakan penghinaan besar yang hanya bisa dicuci dengan darah dan nyawa!
Seorang kacung kuda membuat mereka jatuh bangun macam itu. Mana mereka ada muka
untuk memakai sepatu baru lagi?
"Keparat,
lihat golok kami merenggut nyawamu!" bentak si kumis.
Sinar golok
berkelebat ke arah leher Yo Wan, disusul bacokan golok si rambut putih ke arah
pinggangnya. Memang keistimewaan para anak murid Sin-tung Kaipang ialah pada
permainan golok. Ketuanya terkenal dengan ilmu tongkatnya, maka perkumpulan
pengemis itu dinamakan Sin-tung (Tongkat Sakti). Akan tetapi agaknya si ketua
ini tidak mau menurunkan ilmu tongkatnya kepada para murid dan anggotanya.
Malah sebaliknya dia lalu menciptakan ilmu golok dari ilmu tongkat itu dan ilmu
golok inilah yang dipelajari oleh semua murid dan anggota Sin-tung Kaipang.
Yo Wan
menggerakkan kedua kakinya, dia memainkan langkah ajaib dan... dua orang
pengemis itu seketika menjadi bingung karena pemuda itu lenyap di belakang.
Pada saat mereka membalik dan menerjang kembali, pemuda itu menggerakkan kedua
kaki secara aneh, lenyap lagi dan tiba-tiba belakang siku kanan mereka terkena
sentilan jari tangan Yo Wan.
Seketika
kaku rasanya lengan itu dan golok mereka terlepas tanpa dapat dipertahankan
lagi. Sebelum mereka tahu apa yang barusan terjadi, untuk kedua kalinya tubuh
mereka melayang karena kaki Yo Wan otomatis telah mengirim dua buah tendangan.
"Aku
tidak mau berkelahi, lebih baik kalian pergi. Ganti saja kudaku dan perkara ini
habis sampai di sini saja,” kembali Yo Wan berkata.
Akan tetapi
dua orang pengemis itu menjadi begitu kaget, heran dan ketakutan sehingga tanpa
berkata apa-apa lagi mereka berdua kemudian merangkak bangun dan... lari turun
gunung!
Yo Wan
berdiri tertegun, mengikuti mereka dengan pandang mata heran. Kemudian dia
mengangkat pundak, lalu memegang kendali dua ekor kuda mereka itu. Kini ada
empat ekor kuda di tangannya. Kuda-kuda itu dia cancang pada sebatang pohon dan
dia segera menggali lubang di pinggir jalan untuk mengubur bangkai kuda tadi.
Setelah selesai, Yo Wan menuntun empat ekor kuda, melanjutkan perjalanannya
mendaki puncak. Kiranya jalan yang sengaja dibangun menuju puncak itu
berliku-liku mengelilingi puncak. Memang, satu-satunya cara untuk membuat jalan
yang dapat dilalui kuda dan manusia biasa, hanya membuatnya berliku-liku
seperti itu sehingga jalan tanjakannya tidak terlalu sukar dilalui.
Dengan
mempergunakan ilmu lari cepat, tentu saja dapat mendaki dengan melalui jalan
yang lurus dan dapat cepat sampai di puncak. Akan tetapi melalui jalan buatan
ini, apa lagi sambil menuntun empat ekor kuda yang kadang-kadang rewel dan
mogok di jalan, benar-benar memakan waktu setengah hari lebih. Menjelang senja
barulah Yo Wan tiba di pintu gerbang tembok yang mengelilingi Hoa-san-pai yang
berupa kelompok bangunan besar di puncak.
Seorang tosu
yang menjaga pintu gerbang menyambut Yo Wan dengan pertanyaan, "Apakah kau
tukang kuda baru?"
Yo Wan
mengangguk. "Aku harus membawa kuda-kuda ini ke kandang. Dapatkah kau
menunjukkan di mana adanya kandang kuda?"
Tosu itu
kelihatan kurang senang mendengar kata-kata Yo Wan yang sederhana tanpa
penghormatan sama sekali itu. Betul-betul seorang anak muda dusun yang amat
bodoh, pikirnya.
"Kandang
kuda berada di luar tembok sebelah barat. Kau kelilingi saja tembok ini terus
ke barat, nanti akan sampai di sana," jawabnya lalu duduk kembali, sama
sekali tidak mengacuhkan Yo Wan yang berpeluh dan amat lapar itu.
Yo Wan
memandang ke arah barat. Benar saja, di dekat tembok sebelah sana kelihatan
kandang kuda, terbuat dari papan dan kayu sederhana. Tanpa mengucap terima kasih
karena dianggapnya tanya jawab itu sudah semestinya, dia pun pergi dari situ,
menuntun empat ekor kudanya. Tosu yang menyambutnya di kandang kuda lebih
peramah. Tosu ini bertubuh gemuk pendek, mukanya bundar dan matanya seperti dua
buah kelereng.
"Ha-ha-ha,
ada tukang kuda baru!” serunya. "Orang muda, mana kuda tunggangan Swan Bu
yang berbulu hitam? Dan ini ada empat ekor, ehh, bagaimana ini, Bong-suheng
tadi bilang bahwa kau membawa kuda mereka bertiga, kenapa sekarang ada empat
ekor?" Kuda siapa yang dua ekor ini dan mana kuda Swan Bu?"
"Lopek,
kuda yang hitam itu sudah kukubur di pinggir jalan sana," berkata Yo Wan
sambil menyusut peluh dengan ujung lengan baju.
la merasa
lelah dan lapar sekali, juga amat haus. Semenjak kemarin ia tidak makan, dan tadi
ia tidak berani berhenti untuk mencari buah atau air. Kini ia pun masih
menghadapi urusan kuda dan tentu akan mendapat marah lagi.
Tosu gendut
itu melongo, sepasang matanya semakin bundar, memandangnya dengan bingung dan
heran. "Kau kubur? Bagaimana ini? Maksudmu, kau pendam kuda itu?"
Yo Wan
mengangguk, "Benar, karena dia mati." la berhenti sebentar kemudian
berkata, "Lopek, aku lapar dan haus, apa kau bisa menolong aku?"
Tosu itu
mengangguk-angguk, masih kebingungan. "Ah, tentu... tentu... tunggu
sebentar. Aneh, bagaimana kuda bisa mati dan dikubur? Aneh..." Namun dia
berjalan memasuki kandang kuda sambil mengomel panjang pendek, dan pada waktu
keluar lagi membawa bungkusan makanan dan sekaleng air minum.
Tanpa banyak
sungkan lagi Yo Wan menerima kaleng air dan minum dengan lahapnya. Tosu itu
memandangnya penuh kasihan dan tidak mengganggunya ketika Yo Wan mulai makan.
Berbeda dengan ketika minum tadi, kini Yo Wan makan dengan lambat-lambat dan
tenang. Melihat tosu itu memandangnya, Yo Wan bercerita sambil makan.
"Kuda
hitam dibunuh orang, Lopek. Untungnya mereka berdua itu lari meninggalkan dua
ekor kuda mereka ini, lalu kubawa ke sini dan bangkai kuda hitam itu kukubur di
pinggir jalan."
Tosu itu
mendengarkan dengan melongo. "Kuda itu dibunuh orang? Siapa mereka yang
begitu berani main gila di Hoa san?
"Mereka
mengaku utusan-utusan dari Sin-tung Kaipang. Tadinya mereka tidak mau ganti,
aku tetap tidak mau terima. Akhirnya mereka mengalah dan lari pergi,
meninggalkan dua ekor kuda ini."
Tosu itu
melebarkan matanya. "Sin-tung Kaipang? Dan mereka mengalah? Hemmm, kau
masih untung, orang muda. Mereka itu jahat. Kalau mereka tidak memandang
kebesaran Hoa-san-pai, kiranya bukan hanya kuda itu yang mereka bunuh dan saat
ini kau takkan dapat makan minum lagi."
Yo Wan diam
saja, pikirannya melayang ke arah Swan Bu. Jangan-jangan anak itu akan menjadi
marah sekali karena kuda kesayangannya dibunuh orang dan akan membuat gara-gara
dengan pembunuh kuda.
"Lopek,
tadi aku sudah melihat anak yang bernama Swan Bu itu. Dia tampan dan pandai
main panah. Siapakah dia? Apakah putera Ketua Hoa-san-pai?"
Tosu itu
menggeleng kepala. "Kau orang baru, agaknya bukan orang sekitar Hoa-san.
Memang Swan Bu tampan dan gagah. Ahhh, kasihan dia, tentu akan sedih dan marah
kalau mendengar kudanya dibunuh orang... hemmm, aku tidak akan tega
menyampaikan berita ini kepadanya, …anak malang..."
Hemmm,
benar-benar orang Hoa-san-pai amat memanjakan anak itu.
“Lopek,
kalau dia bukan putera Ketua Hoa-san-pai, apakah dia itu anak raja yang sedang
bermain-main di sini?"
Tosu itu
memandangnya dengan mata terbelalak. "Putera raja? Ha-ha-ha, sama sekali
bukan, akan tetapi memang dia patut menjadi putera raja! Dia itu adalah cucu
tunggal dari Kwa-lo-sukong, jadi masih terhitung keponakan dari ketua kami yang
sekarang.”
Berdebar
jantung Yo Wan. Cucu guru besar she Kwa? Suhu-nya juga she Kwa!
“Lopek, dia
itu anak siapakah? Aku belum mengenal orang-orang di sini, keteranganmu tadi
sama sekali tidak jelas.”
Tosu itu
kini tertawa dan mengangkat jempol tangan kanannya ke atas.
"Dia
keturunan orang-orang gagah, karena itu dia harus menjadi seorang calon tokoh
Hoa-san-pai yang nomor satu. Ayahnya adalah tokoh sakti yang terkenal dengan
julukan Pendekar Buta, ibunya juga mempunyai kepandaian setinggi langlt. Ada
pun kakeknya adalah Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong, bekas ketua Hoa-san-pai,
pamannya adalah Kui Sanjin (Orang Gunung she Kui) yang sekarang menjadi ketua
kami. Paman-paman gurunya adalah orang-orang sakti yang bersama-sama
menggemblengnya, bukankah dia kelak akan menjadi jago nomor satu di dunia
persilatan?"
Tosu gendut
itu nampak bangga sekali sehingga tidak tahu betapa wajah kacung kuda ini
menjadi pucat. Kiranya Swan Bu yang pagi tadi memakinya dan hendak memanahnya
kalau dia lari, adalah putera suhunya! Pantas saja demikian gagah dan tampan.
Ahhh, aku kurang hati-hati, pikirnya. Dia anak suhu, dan diam-diam dia merasa
bangga juga. Akan tetapi dia kecewa sekali teringat bahwa kuda anak itu telah
terbunuh.
"Malam
sudah tiba... ehh, siapa namamu tadi?"
"A Wan,
Lopek."
"A Wan,
kau jaga baik-baik kuda di kandang ini. Rumput masih cukup di sudut kandang
sana, kau beri makan mereka dulu, lalu kau boleh tidur. Kau bikin sendiri
tempat tidurmu, banyak rumput kering di kandang kosong sebelah kiri. Beberapa
malam ini pinto (aku) juga tidur di sana, lebih enak dari pada tidur di
ranjang. Kalau perlu mandi, tuh di bawah pohon besar itu ada sumber air. Besok
saja pinto ajak kau ke dalam, bertemu dengan para pemimpin. Malam ini kau
mengaso saja."
"Baik,
terima kasih, Lopek." Yo Wan berterima kasih sekali sekarang karena memang
dia membutuhkan istirahat untuk memutar otak.
Bermacam
perasaan teraduk di dalam hatinya. Jadi suhu-nya sudah mempunyai putera yang
demikian tampan dan gagahnya. Putera itu dididik di Hoa-san-pai. Mungkin saking
senangnya mendapatkan putera ini, suhu dan subo-nya sampai lupa kepadanya.
Besok dia harus menghadap suhu dan subo-nya.
Tentu saja
dia bisa bekerja di situ, menjadi tukang kuda atau apa saja. Akan tetapi... dia
ragu-ragu apakah dia akan suka tinggal di sini selamanya. Apakah suhu-nya masih
mau menurunkan ilmu silat sesudah mempunyai putera yang amat disayang? Bukankah
tosu gendut tadi menyatakan bahwa cita-cita mereka semua adalah membuat Swan Bu
agar menjadi jago nomor satu di dunia?
Mungkin suhu
dan subo-nya mau mengajarnya, dia cukup mengenal watak mereka yang budiman. Akan
tetapi apakah para orang tua di Hoa-san-pai akan suka menerimanya?
Pusing
pikiran Yo Wan. Betapa pun juga, besok aku akan menghadap suhu dan lihat saja
bagaimana perkembangannya. Kalau tidak mungkin tinggal di situ, pikirnya, dia
akan bertanya pada suhu-nya tentang musuh besarnya, The Sun. Akan dicari dan
dilawannya dengan apa yang dia miliki sekarang. Berpikir sampai di sini dia
teringat akan pertempuran tadi dan diam-diam dia menjadi girang. Tadinya dia
menganggap bahwa dua orang itu hanyalah dua manusia sombong yang tidak becus
apa-apa, orang-orang lemah yang hanya bisa mengandalkan aksi dan mungkin
kedudukan, yang sama sekali tidak mempunyai kepandaian silat yang berarti.
Apakah tosu gendut tadi yang melebih-lebihkan?
Tidak
mungkin dua orang yang begitu lemah bisa merajalela berbuat kejahatan. Orang
dengan kepandaian serendah itu mana bisa mengganggu orang lain? Sampai dia
tertidur pulas di atas rumput kering yang nyaman ditiduri, Yo Wan masih belum
dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu.
Memang,
pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan dua orang itu yang terlalu lemah,
melainkan dia sendirilah yang terlalu tinggi tingkat ilmunya bagi dua orang
tadi. la sama sekali tak menyadari bahwa dalam dirinya telah terkandung ilmu
silat tingkat tinggi yang sudah mendarah daging dengan dirinya. la menganggap
dirinya belum pandai silat, sama sekali tidak sadar bahwa setiap gerakannya
mengandung inti sari ilmu silat tinggi yang diwariskan oleh Sin-eng-cu dan
Bhewakala!
Tentu saja
Yo Wan yang sederhana jalan pikirannya ini tidak merasa pandai ilmu silat.
Baginya, ketika selama tiga tahun dia memainkan jurus-jurus sakti, sama sekali
bukanlah ‘belajar’, melainkan hanya menjadi perantara kedua orang sakti mengadu
ilmu.
Tiba-tiba Yo
Wan bangkit dari rumput kering. Telinganya mendengar kuda meringkik dan
menyepak-nyepak. Jika saja dia tidak ingat bahwa dia sedang menjadi tukang kuda
dan kewajibannya menjaga kuda, tentu dia akan tidur lagi. la terlalu lelah.
Dengan malas dia bangun dan keluar dari kandang kosong yang menjadi kamar
tidurnya, menghampiri kandang kuda. Tidak ada sesuatu. Malam gelap dan
kuda-kuda itu masih berada di kandang.
"Ahh,
kiranya benar hanya tukang kuda...," terdengar suara lirih, dari atas.
Yo Wan terkejut.
Kiranya ada orang di atas kandang kuda. Mendadak dia mendengar sambaran halus
dari belakang. Cepat dia miringkan tubuhnya dan…
"Takkk!"
Sebuah benda
kecil menyambar lewat, menghantam tiang kandang dan mengeluarkan sinar. Di lain
saat, tiang itu dan rumput kering di bawah yang terkena pecahan benda itu sudah
terbakar. Yo Wan kaget bukan main. Cepat dia menggunakan rumput basah untuk
memadamkan api. Dengan penuh amarah dia menggerakkan tubuh melompat ke atas
kandang. Akan tetapi sunyi di situ, tidak ada bayangan orang.
Dia menduga
bahwa orang yang menyambitnya tadi tentu sudah melarikan diri. Kembaii dia
memasuki kandang kosong, akan tetapi kali ini dia tidak dapat tidur pulas.
Agaknya yang datang itu adalah dua orang Sin-tung Kaipang tadi, atau bisa jadi
teman-temannya. Mereka datang menyerangnya dengan benda yang dapat membakar
tiang dan rumput, ataukah memang sengaja hendak membakar kandang? Namun
mendengar ucapan lirih tadi, agaknya mereka ingin pula melihat apakah dia
benar-benar seorang tukang kuda. Benar-benar aneh. Apa artinya ini semua?
Pada
keesokannya, pagi-pagi sekali serombongan orang yang semua berpakaian penuh
tambalan mendaki puncak Hoa-san. Yang berjalan paling depan adalah seorang
kakek berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering seperti tinggal
tulang terbungkus kulit saja tanpa daging sedikit pun, namun tubuh itu masih
tegak berdiri kaku seperti prajurit bersikap di depan komandannya.
la memegang
sebatang tongkat yang aneh. Tongkat ini entah terbuat dari bahan apa, tidak
dapat dikenal begitu saja, tapi warnanya aneka macam, belang-bonteng ada warna
hijau, merah, kuning, hitam dan putih. Lebih hebat lagi sepatunya, karena
sepatu ini pun terbuat dari kulit mengkilap yang warnanya juga macam-macam.
Dilihat begitu saja dia lebih pantas menjadi seorang pemain lawak di atas
panggung wayang.
Akan tetapi,
jangan dikira bahwa dia itu orang gila atau seorang biasa saja, karena kakek
ini adalah Sin-tung Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti) yang
amat terkenal sebagai raja pengemis. Permainan tongkatnya hebat dan ditakuti
orang. Memang ketua pengemis ini pandai sekali main tongkat. Dia menerima
kepandaian ini dari dua orang hwesio pelarian dari Siauw-lim-si yang terkenal
dengan julukan Hek-tung Hwesio dan Pek-tung Hwesio, Si Hwesio Tongkat Hitam dan
Hwesio Tongkat Putih.
Di kanan
kirinya berjalan dua orang pengemis tua yang berusia lima puluh lebih. Salah
seorang membawa sebatang pedang tergantung pada pinggang, yang kedua memegang
sebatang toya panjang. Kedua orang pengemis ini memakai sepatu yang berwarna,
akan tetapi warnanya tak sebanyak pada sepatu pangcu itu. Ini menjadi tanda
bahwa mereka itu masih setingkat lebih rendah dari pada pangcu mereka. Mereka
adalah kedua orang pembantu ketua itu, dan merupakan orang kedua dan ketiga
dalam Sin-tung Kaipang.
Di belakang
tiga orang tokoh Sin-tung Kaipang ini, nampak berbaris murid-murid mereka
bertiga yang jumlahnya lima belas orang, di antara mereka ini tampak dua orang
yang kemarin ribut-ribut dengan Yo Wan. Melihat mereka mendaki puncak dengan
kecepatan luar biasa dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi. Memang sesungguhnya, delapan belas orang pengemis yang
mendaki puncak Hoa-san dengan muka marah ini merupakan orang-orang terpenting
dalam Sin-tung Kaipang!
Para tosu
yang bekerja di luar dan menjaga pintu segera mengenal mereka. Dengan
tergesa-gesa para tosu yang melihat datangnya rombongan ini menyampaikan
laporan ke dalam. Kaget dan heran juga Kui Sanjin, ketua Hoa-san-pai ketika
mendengar laporan ini. Cepat dia keluar menyambut dan berturut-turut keluar
pula isterinya, suheng-nya yaitu Thian Beng Tosu. Bahkan Kwa Kun Hong bersama
isterinya, Kwee Hui Kauw, dan puteranya, Kwa Swan Bu, juga keluar untuk melihat
apa kehendak rombongan pengemis itu.
Ketua
Hoa-san-pai, Kui Sanjin, diam-diam merasa tidak enak perasaannya. Memang ada
sesuatu di antara Hoa-san-pai dan Sin-tung Kaipang yang menjadi ganjalan hati.
Dimulai dengan bentrokan kecil antara salah seorang anak murid Hoa-san-pai yang
pergi ke kota dengan seorang anggota Sin-tung Kaipang. Seorang pengemis yang
sombong dan memandang rendah Hoa-san-pai sudah bentrok dengan seorang anggota
Hoa-san-pai yang berwatak keras. Si pengemis dipukul roboh, datang banyak
pengemis yang mengeroyok sehingga anak murid Hoa-san-pai itu terluka dan lari.
Akan tetapi
urusan ini sudah diselesaikan oleh suheng-nya, Thian Beng Tosu sehingga tidak
menjalar lagi menjadi permusuhan antara kedua pihak. Betapa pun juga, diam-diam
kedua pihak menaruh ganjalan hati. Kini ketua Sin-tung Kaipang beserta
rombongannya pagi-pagi mendaki puncak Hoa-san, ada keperluan apakah? Karena
mendengar bahwa yang memimpin rombongan adalah ketuanya sendiri, maka Kui
Sanjin sendiri menyambut ke luar, khawatir kalau anak murid yang menyambut,
akan terjadi bentrokan yang lebih besar. Sengaja dia menyambut di luar tembok,
sesuai dengan keadaan tamu yang bukan merupakan sahabat.
Ketika
melihat rombongan tuan rumah ke luar dari pintu gerbang, Sin-tung Kaipangcu
memberi tanda kepada rombongannya untuk berhenti. la melihat dua orang kakek
yang berpakaian pendeta, seorang wanita tua yang masih cantik, seorang
laki-laki muda yang buta di samping seorang wanita jelita, dan juga seorang
anak laki-laki yang tampan dan membawa gendewa. Di belakang rombongan ini
tampak pula beberapa orang tosu yang mengikuti dari jauh, agaknya bukan
anggota-anggota rombongan penyambut.
Ketua
pengemis yang sebutannya Sin-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Sakti) berdiri
memandang dengan sikap galak dan angkuh. la sama sekali tak gentar biar pun
dengan sudut matanya dia lihat betapa puluhan orang tosu kelihatan keluar pula
seperti rayap. Malah dia hanya berdiri tegak saja, sama sekali tidak menghormat
tuan rumah sebagai mana layaknya seorang tamu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment