Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 01
KIAM
-KOK-SAN (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak
Pegunungan Kun Lun San yang tidak pernah dikunjungi manusia seperti
puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena pemandangan di Kiam-kok-san
kurang indah. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari puncak
gunung ini amat indahnya.
Batu kapur
yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi bagai menara bei menembus awan,
tak nampak ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada
yang mengatakan bahwa puncak batu berawan itu adalah tempat kediaman dewa-dewa
penjaga gunung.
Awan putih
yang berarak bagai domba-domba kapas, yang tak pernah berhenti dihembus angin
langit, menjadi jinak setelah bertemu dengan Kiam-kok-san, berkumpul di
sekeliling puncak seperti sehelai selimut bulu domba yang hangat. Dari puncak
ini memandang ke bawah tampak awan putih mengambang di bawah kaki, menyusupi
lembah-lembah bukit yang amat curam.
Indah, sukar
dilukiskan dengan kata-kata keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati dari
puncak Kiam Kok-san. Betapa taman surga terbentang luas di bawah kaki gunung,
suram-suram terselimut tirai halimun menciptakan sifat yang ajaib penuh
rahasia.
Bukan karena
kurang indah, namun kesukaranlah yang membuat tempat itu tidak pernah dikunjungi
manusia. Sesuai dengan namanya, puncak ini terdiri dari lembah-lembah yang
penuh dengan batu gunung yang merupakan karang-karang meruncing dan tajam
seperti pedang. Tidak terdapat jalan tertentu mendaki puncak, tidak ada pula
jalan setapak bekas kaki manusia. Semuanya liar, lebat dan bahaya maut
mengintai setiap saat bagi manusia yang berani mendatangi tempat itu.
Jurang-jurang
yang amat curam, belukar tempat persembunyian binatang-binatang buas,
rumput-rumput hijau yang menjadi topeng bagi muara-muara dalam penuh lumpur dan
ular berbisa, serta bahaya tersesat jalan. Jangankan orang biasa, bahkan mereka
yang sudah memiliki ilmu kepandaian seperti para pertapa dan para pendekar
masih akan berpikir masak-masak lebih dahulu untuk mendaki puncak berbahaya
seperti Kiam-kok-san.
Pagi hari
itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya dan karenanya sinar matahari
pagi dapat menerobos di antara celah-celah daun pohon dan batu pedang, lalu
mengusir halimun serta menerangi tanah puncak yang penuh lumut dan rumput
hijau. Tak terkira indahnya puncak Kiam-kok-san yang bermandi cahaya keemasan
matahari pagi itu, sunyi dan hening, aman tentram.
Seperti
itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang
dijanjikan sebagai anugerah tempat tinggal bagi para manusia yang di dalam
hidupnya menjauhkan diri dari pada segala kemaksiatan dan kejahatan.
Pada saat
sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan
langit, tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus.
Kakek ini sudah sangat tua, terbukti dari kulit wajahnya yang dipenuhi keriput,
dagingnya yang sudah tipis hingga tulang-tulangnya menonjol di balik kulit,
rambutnya yang putih semua terurai panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi
kedua pundaknya. Apa bila ditaksir, usia kakek ini tentu tidak kurang dari
seratus tahun.
Pakaiannya
yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning
dibalut-balutkan ke tubuhnya, kakinya telanjang seperti kepalanya. Dia duduk
bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu dengan sepasang kaki dan kedua
lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata dipejamkan.
Dilihat dari
jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu dari pada
seorang manusia hidup. Namun sebenarnya dia bukanlah arca, karena bila
diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain putih itu bergerak perlahan
seirama dengan pernapasan kakek itu yang halus dan panjang.
Di atas
tanah, di depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki
terlentang di atas paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar
kehijauan sesudah tertimpa cahaya matahari. Sebatang pedang yang indah
bentuknya, namun amat aneh karena berbeda dari pada pedang-pedang umumnya yang
terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah
sebatang pedang kayu!
Perlahan-lahan
sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari seakan memandikan wajah tua
keriputan itu. Di bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak sangat elok
dan tak dapat diragukan pula bahwa kakek ini dahulu tentunya seorang pria yang
amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas membayangkan ketampanan
seorang pria.
Kehangatan
sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari semedhi. Dia membuka
kedua matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas
sudah amat tua, namun sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil
yang masih bersih batinnya! Bagi seorang ahli kesaktian, hal ini saja sudah
menjadi bukti bahwa kakek ini telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi,
karena hanya orang yang memiliki sinkang (hawa sakti) yang amat kuat saja yang
bisa mempunyai sepasang mata seperti itu.
Dengan
pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri,
dengan sinar matanya seolah-olah dia menyantap dan menikmati segala keindahan
yang diciptakan oleh sinar keemasan sang surya itu. Kemudian dia menggelengkan
kepalanya dan bibirnya bergerak-gerak, mengeluarkan kata-kata lirih.
"Ya
Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu terhadap seorang
penuh dosa seperti aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tidak
mungkin! Thian (Tuhan) hanya melimpahkan ganjaran kepada orang yang sudah
berjasa di dalam hidupnya. Guruku dahulu mengatakan dalam pesannya bahwa aku
harus berbuat jasa terhadap manusia dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup?
Tidak ada! Hanya malapetaka yang menjadi akibat dari semua perbuatanku! Dan
semua itu karena aku pandai ilmu silat, karena... karena Siang-bhok-kiam
(pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh, Tuhanku! Aku tidak akan mengelak dari pada
kenyataan. Aku rela dan siap sedia untuk menerima hukuman-hukumannya. Tidak
mungkin aku membebaskan diri dari pada belenggu karma. Aku tidak berhak
menikmati kemurahan dan kasihMu, ya Tuhan....!"
Kata-kata
terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali
kedua matanya seolah-olah dia tak mengijinkan matanya memandangi segala
keindahan yang terbentang luas di depannya. Keadaan menjadi sunyi kembali.
Sunyi sama sekali?
Tidak!
Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin
menghembus lewat mempermainkan daun-daun pohon. Paduan suara ini seakan-akan
mengejek kakek itu, seolah-olah menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia.
Tuhan Maha
Kasih tidak membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, pasti akan menerima
uluran kasihNya, seperti cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa
yang akan disinarinya. Kasih sayang Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak
dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang dilimpahkan tergantung dari
pada rasa penerimaan si manusia sendiri!
Tiba-tiba
terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini
berubah cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tak
wajar di tempat itu. Kemudian muncullah bayangan orang-orang yang berkelebat
cepat. Gerakan mereka tangkas bagaikan burung-burung raksasa dan dalam sekejap
mata saja sembilan orang telah membentuk lingkaran kipas di hadapan kakek yang
bersemedhi dalam jarak kurang lebih sepuluh meter.
Kenyataan
bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka
tadi, tentu saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika mereka berlompatan di depan kakek
itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung hinggap di atas
dahan.
Mereka
berdiri tak bergerak, akan tetapi dalam keadaan siap siaga, memasang kuda-kuda
dengan gaya masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan
ke arah kakek dan pedang yang tergeletak di depannya. Pandang mata yang menyapu
wajah kakek itu mengandung benci yang mendalam, ada pun ketika pandang mata
menyapu pedang, kebencian berubah menjadi rasa kepingin yang tak disembunyikan.
Meski
kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai dengan perubahan pada kicau
burung, ternyata sudah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk
bersemedhi. Dia membuka kedua matanya dan menyapu dengan pandang matanya ke
arah sembilan orang yang berdiri mengurungnya dalam bentuk lingkaran kipas.
Mulutnya tersenyum, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah
kedatangan mereka itu memang telah diduganya.
Ada pun
sembilan orang itu pada saat bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya,
langsung menjadi terkejut dan bergidik. Mereka temukan pandang mata itu saja
cukup memperingatkan mereka bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua
makin ampuh kesaktiannya.
"Sie
Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang
semestinya kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadapmu lunas!"
Kakek itu
menoleh ke kanan karena yang berbicara ini adalah orang yang berdiri paling
kanan dalam lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut
ompong tak bergigi lagi, seperti senyum seorang bayi yang belum bergigi.
Wanita yang
menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah
seorang nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya
sudah hampir putih semuanya, digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak.
Wajahnya
masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang tentu
dahulunya amat indah manis itu kini agak ‘nyamprut’ karena tidak bergigi lagi.
Tubuhnya yang dahulunya pasti tinggi semampai itu kini agak membongkok dan
kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan, tampak gagang
pedang tersembul dari balik pundak kanannya.
"Heiii,
bukankah engkau Lu Sian Cu? Ahh, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun
semangatmu benar-benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan kini
menghendaki pedang Siang-bhok-kiam sebagai pengganti jiwaku? Eh, dalam hal
apakah engkau mendendam kepadaku?"
"Keparat
tua bangka! Jangan kau kira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk
membikin aku malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh
besar di dunia kang-ouw, tidak perlu malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu
engkau telah mempergunakan kepandaianmu menggagahi dan memperkosaku. Dendamku
kepadamu setinggi langit!"
Kakek itu
tertawa, kemudian mengangguk-angguk. "Benar, betapa cepatnya sang waktu
meluncur. Pada waktu itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan
engkau terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selain lihai juga amat
cantik dan terutama sekali amat angkuh sehingga engkau menolak semua pinangan
pria, membuatmu masih perawan dalam usia hampir tiga puluh. Aku pun ketika itu
masih muda, belum lima puluh tahun. Aku tergila-gila kepadamu, menggunakan
kepandaian memasuki kamarmu dan memperkosamu. Akan tetapi, heh,Lu Sian Cu!
Lupakah engkau betapa engkau kemudian menerimaku dengan penuh kehangatan,
betapa engkau menangis dan merengek-rengek ketika hendak kutinggalkan? Lupakah
engkau betapa engkau sama sekali tidak menaruh dendam atas perbuatanku yang
juga menyenangkan hatimu itu? Mengapa kini engkau membalik dan memutar
lidah?"
"Cih,
laki-laki tak berjantung! Setelah perbuatan kejimu itu, bagaimana aku masih
dapat menerima pria lain? Aku telah menyerahkan raga dan jiwa, akan tetapi
engkau menolak dan meninggalkanku pergi! Engkau sudah mempermainkan cintaku.
Seharusnya engkau menjadi suamiku, akan tetapi engkau bahkan mengejek dan
minggat. Keparat, dendamku sedalam lautan setinggi langit!"
"Ha-ha-ha,
engkau mau menang sendiri, Sian Cu. Dahulu pun kau sudah tahu bahwa aku adalah
seorang yang selalu ingin bebas, bebas dari golongan, bebas dari segala ikatan
termasuk ikatan rumah tangga! Memang aku telah berbuat jahat, memperkosamu,
namun kita berdua, engkau dan aku, telah menikmatinya bersama dan hal yang
menyenangkan orang lain mana bisa kau sebut sebagai hal yang menyakitkan hati
orang itu?"
"Sie
Cun Hong! Tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan pedangmu itu atau serahkan
nyawamu!" Sambil berseru demikian, nenek itu kemudian mengeluarkan
senjatanya yang menyeramkan.
Senjata ini
berupa cambuk warna hitam, akan tetapi bukan sembarang cambuk karena pada
ujungnya terpecah menjadi sembilan dan di setiap ujung diberi baja pengait
seperti mata kail. Inilah senjata cambuk sembilan ekor yang sudah membuat nama
nenek ini tersohor di dunia kang-ouw, karena jarang ada lawan yang dapat
bertahan menghadapi senjatanya yang istimewa itu.
Dan senjata
itu pulalah yang membuat nenek ini dijuluki Kiu-bwe Toanio (Nyonya Besar
Berekor Sembilan), sebuah nama besar yang ditakuti para penjahat, seorang
pendekar wanita tua yang ganas dan keras hati terhadap penjahat. Telah puluhan
tahun lamanya ia dikenal sebagai Kiu-bwe Toanio dan baru sekarang tokoh-tokoh
lain yang hadir di sana mendengar namanya disebut oleh kakek itu, yaitu Lu Sian
Cu!
"Tar-tar-tar...!"
Cambuk hitam itu melecut-lecut di udara dan mengeluarkan suara nyaring
meledak-ledak. "Sie Cun Hong! Apakah engkau masih membandel dan tetap
tidak mau menyerahkan pedangmu?"
"Ha-ha-ha,
engkau masih bersemangat dan galak. Tubuhku sudah tua, semangatku pun sudah
melempem, apa bila kau hendak menolongku bebas dari tubuh tua dan dunia ini,
nah, lakukanlah, Lu Sian Cu!"
Nenek itu
mengeluarkan suara teriakan melengking panjang, lengking yang memekakkan
telinga, yang mengandung rasa duka, kecewa, menyesal dan benci karena cinta
ditolak. Cambuknya menyambar ke depan sehingga tiga buah di antara sembilan
ekor itu sudah meluncur ke arah sepasang mata dan ubun-ubun kepala kakek itu
masih duduk bersila, kini tangan kirinya diangkat, jari-jari tangannya bergerak
menyentil tiga kali.
"Tring-tring-tringgg....!"
"Aiiihhh.....!"
Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga
buah ekor cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara
mendadak membalik dan menerjangnya pada tiga buah tempat, yaitu ke arah buah
dada dan pusar.
Selain ini,
juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang
cambuk terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar
cambuknya, nenek ini berhasil menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali
dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya.
"Sie
Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin... cabul!"
Kakek itu
hanya tertawa-tawa saja, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah
kiri terdengar suara yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud....!"
Pada saat
melihat bahwa yang kini maju adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah
enam puluh tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh
pertanyaan karena sesungguhnya dia tidak mengenal dua orang pendeta ini.
"Locianpwe
betul-betul telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong (Raja Pedang
Tangan Sakti) adalah tepat karena tangan Locianpwe benar sakti!" kata
seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya putih dan tubuhnya kecil
kurus.
Hwesio ke
dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan
di depan dada sambil berulang-ulang memuji, "Omitohud...!”
Sin-jiu
Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua
telapak tangan di depan dada sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang
pendeta yang begitu lemah lembut, yang bersikap merendahkan diri sehingga mau
menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua tingkat atas, dia
menjadi waspada dan hati-hati. Orang yang sombong takabur tidak perlu
dikhawatirkan atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut
dan sikapnya halus, haruslah hati-hati karena orang-orang yang kelihatannya
lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.
"Ahh,
berat sekali menerima pujian ji-wi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh
angin. Aku yang tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena
biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-wi adalah untuk menyembahyangi orang
yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya dapat diterima di
tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa maksud kehadiran ji-wi ini di
Kiam-kok-san?"
"Omitohud...!
Kami berdua hanyalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan
Siauw-lim-pai untuk menemui Locianpwe."
"Ah,
kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan
yang besar sekali!" Kakek itu berkata tercengang.
"Pinceng
Thian Ti Hwesio dan dia ini adalah Sute (adik seperguruan) Thian Kek Hwesio,
mewakili suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe
supaya suka menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe
ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak menuntut ketika
Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to Ci-keng
(Kitab Perjalanan Bintang) dan I-kiong Hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan
Jalan Darah). Mengingat akan itu suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat
terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan menyerahkan Siang-bhok-kiam
supaya semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke tangan yang
sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!"
"Aha,
ternyata ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi
merupakan tokoh-tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali
bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan sopan santun, namun cerdik
sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan, dan hal
itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya
kepadaku. Siauw-lim-pai agaknya telah lupa bahwa pada waktu mendiang Tat Mo
Couwsu yang bijaksana menyalin dan memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah
dengan maksud agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua manusia hingga umat
manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh pihak Siauw-lim-pai
ilmu-ilmu itu dipendam dan disembunyikan, hanya sebagian dari ilmu-ilmu yang
dimiliki oleh guru lalu diturunkan kepada murid-murid. Dengan demikian,
bukankah ilmu-ilmu itu semakin lama semakin berkurang dan menjadi rendah
nilainya? Walau pun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah
memiliki ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dengan pindahnya kitab
ke tanganku, Siauw-lim-pai sebenarnya tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian
dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang manusia tanpa mengurangi
sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab
pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada
dia yang berjodoh."
"Omitohud!"
Hwesio tinggi besar Thian kek Hwesio melangkah maju sambil membentak keras.
Sekarang
hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata kedua
matanya lebar sekali. Wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti
wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan dalam cerita Sam Kok.
"Locianpwe
agaknya menghendaki kami pun menggunakan cara Locianpwe sendiri. Tidak boleh
meminjam kitab-kitab lalu mempergunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu.
Kini kami minta baik-baik tidak Locianpwe berikan, apakah berarti bahwa kami
juga harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam
itu?"
Sin-jiu
Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar
gembira. Orang yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya,
karena orang yang demikian itu lebih mudah dihadapi. Ia mengangguk dan
menjawab,
"Kalau
seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya."
"Hemm,
bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang, tapi
pinceng sedikit-sedikit juga telah berlatih selama puluhan tahun!" Setelah
berkata demikian, Thian Kek Hwesio membalikkan badannya dan dengan gerakan
kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu lalu mendorong dengan pukulan ke
depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia
berdiri.
Sambaran
angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti
dilanda angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah
seperti hujan! Andai kata manusia diserang dengan pukulan jarak jauh seperti
ini, pastilah tulang-tulangnya akan remuk, dan rontok isi dadanya!
Namun
Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang
mencapai tingkat tinggi itu. "Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, tapi
merusak amatlah mudahnya. Memang manusia adalah perusak terbesar di antara
segala makhluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan pohon itu sampai
ke akar-akarnya adalah hal yang mampu dilakukan semua orang, akan tetapi
dapatkah engkau membuat sehelai daun saja? Hemm, biarlah kucoba mengembalikan
daun-daun itu ke tempatnya, sungguh pun tak mungkin dapat kembali seperti
asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki oleh Thian!"
Sin-jiu
Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke
arah daun-daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan... bagaikan ada
angin puyuh, secara tiba-tiba semua daun itu bergerak, berputar-putar dan
terbang naik ke atas pohon kemudian menempel sejadinya pada cabang-cabang dan
ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang
pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah!
Melihat ini,
Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat
kekuatan sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi dari padanya. Ia
melangkah mundur sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada dan menggumam,
"Omitohud...!"
"Maaf,
sute-ku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan
si hwesio kurus ini sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang
kayu yang tergeletak di depan kaki Sin-jiu Kiam-ong dan... pedang itu tiba-tiba
melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah kedua tangan
tokoh Siauw-lim-pai itu.
Semua tokoh
yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini
jauh lebih tinggi dari pada kekuatan sute-nya. Sin-jiu Kiam-ong bahkan
mengeluarkan suara memuji,
"Bagus!
Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kau tidak boleh berganti majikan. Sekarang
kembalilah!"
Dia
menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua
tangan Thian Ti Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah
Sin-jiu Kiam-ong!
Thian Ti
Hwesio menjadi penasaran sekali. Dia segera menambah kekuatan pada kedua
lengannya, bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan
ke arah pedang. Siang-bhok-kiam kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang
hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang kembali ke Sin-jiu Kiam-ong
dan jatuh ke depan kakek itu di tempatnya yang tadi.
Thian Ti
Hwesio mengusap peluh pada keningnya, lalu menjura sambil merangkap kedua
tangan di depan dada.
"Sin-jiu
Kiam-ong makin tua semakin gagah, tepat seperti apa yang sudah diperingatkan
suhu kami. Siancai....siancai....!"
"Thian
Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.
"Orang
she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah
mengenal isi perutmu! Aku adalah seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum
benar dan bersih, bagaimana aku dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang
tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta diberi
Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas
pedangmu!"
Sin-jiu
Kiam-ong memandang orang yang berbicara dengan suara keras itu. Dia adalah
seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri
tegak dan tegap, wajahnya membayangkan kegagahan dan ketampanan. Sebatang golok
telanjang mengeluarkan cahaya berkeredepan berada di tangan kanannya, pakaiannya
ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih.
"Ehhh,
kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku,
tidak ada permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Kenapa
engkau datang-datang memaki orang?"
"Lidah
ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu
tidak akan lenyap sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah
disaksikan oleh para orang gagah di sini yang mendengarkan pengakuanku, karena
aku bukan seorang pengecut. Pada lima puluh tahun yang lalu, dengan
kepandaianmu merayu engkau sudah mengganggu isteriku dan memaksanya melakukan
hubungan perjinahan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu memang aku kalah
terhadapmu, akan tetapi sekarang coba-coba kita buktikan! Bangkitlah dan lawan
golokku!"
Sin-jiu
Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua
itu. "Sin-to Gi-hiap, sebelum memaki orang kenapa tidak meraba hidungmu
lebih dahulu? Dahulu aku memang melakukan hubungan cinta gelap dengan isterimu,
akan tetapi apa salahnya hal itu kalau dia sendiri juga menghendakinya? Dan
ketahuilah, aku sampai hati melakukan perbuatan itu karena mengingat betapa
engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan
memaksa! Engkau mendapatkan dia dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di
Taibu, kemudian merampas isterinya yang cantik. Apakah kau sangka aku tidak
tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan sekali-kali akibat terdorong jiwa
pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang cantik?
Engkau merampas wanita dengan jalan kekerasan, aku merampas cintanya dengan
cara halus. Apa bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan
cintanya!"
"Dasar
keparat! Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (pemetik bunga) yang tak tahu malu.
Sebentar lagi engkau tentu mampus di sini dan biarlah nanti akan kubuatkan arca
seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh di atas makammu agar setiap orang dapat
meludahinya!"
Setelah
berkata demikian, Sin-to Gi-hiap kemudian meloncat ke arah sebuah batu gunung
sebesar manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang,
berkelebat dan menggulung-gulung di sekitar batu itu sehingga terdengar suara
keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.
Sesudah
gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu di
antara debu itu, kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang
menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biar pun kasar akan tetapi jelas tampak
bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil
memandang arca itu dan tersenyum!
"Wah,
makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya
yang kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Apakah tidak
dapat diperhalus lagi? Biar kubantu engkau."
Setelah
berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong lalu mengambil Siang-bhok-kiam yang masih
menggeletak di depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar
suara bercuit nyaring.
Segulung
sinar hijau menyambar ke depan, ke arah patung, terus sinar itu mengelilingi
arca batu kemudian terbang kembali ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Semua orang
memandang dan... arca batu yang tadinya kasar, kini telah menjadi halus seperti
digosok pisau tajam dan agak mengkilap indah!
"Kiam-sut
(ilmu pedang) yang hebat, akan tetapi siapa takut? Lihat golok!" Sin-to
Gi-hiap yang sudah marah sekali menerjang maju dengan goloknya.
Sin-jiu
Kiam-ong tertawa dan menggerakkan Siang-bhok-kiam, membuat gerak berputar
mengelilingi golok lawan. Yang berputaran hanya sinar pedangnya, oleh karena
kakek itu sendiri hanya duduk bersila dan jarak antara mereka masih jauh. Namun
si Golok Sakti berteriak kaget dan cepat melompat mundur kemudian memandang
ujung lengan bajunya yang sudah buntung!
"Kiam-ong
masih pantas menjadi Kiam-ong (Raja Pedang)!" Terdengar suara memuji dan
kini dua orang kakek yang berpakaian seperti petani, bersikap sabar tenang dan
gagah, telah maju. "Namun sayang Kiam-ong hanya memajukan lahir tanpa mengingat
kemajuan batin, sehingga kulitnya indah akan tetapi isinya busuk! Sin-jiu
Kiam-ong, kami Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti Hoa-san) menjadi
utusan dari Hoa-san-pai untuk minta pertanggungan jawabmu terhadap dosa-dosamu.
Engkau pernah mencuri seorang murid perempuan Hoa-san-pai, mencuri pedang
pusaka, dan mencuri ramuan obat yang dibuat oleh Sucouw kami. Ketua kami akan
berpikir untuk bersikap bijaksana melupakan dosa-dosamu terhadap kami kalau
engkau suka menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam kepada kami!"
Kakek tua
renta itu mengerutkan keningnya, akan tetapi senyumnya masih ramah ketika ia
menjawab. "Bermacam-macam alasan yang dikemukakan dan bermacam-macam pula
yang dipergunakan, tetapi sebenarnya mengandung maksud yang sama. Wahai Hoa-san
Siang-sin-kiam, aku tidak menyangkal semua tuduhan Hoa-san-pai, memang aku
pernah mencuri murid perempuan, pedang pusaka dan ramuan obat. Akan tetapi
semua tokoh Hoa-san-pai tahu belaka bahwa murid perempuan Hoa-san-pai, mendiang
Cui Bi yang cantik manis, dahulu pergi mengikuti aku secara suka rela dan
berdasarkan cinta kasih, bukan karena kupaksa! Ada pun pedang pusaka
Hoa-san-pai, hingga sekarang pun masih kusimpan bersama koleksiku yang lain,
karena memang aku penyayang barang-barang pusaka. Tentang ramuan obat yang
dibuat oleh mendiang Sucouw kalian, ha-ha-ha telah membuka rahasia sucouw
kalian karena ternyata obat itu adalah obat perangsang bagi pria tua agar
supaya dapat kembali bersemangat laksana seekor kuda jantan yang muda.
Ha-ha-ha!"
Dua orang
pendekar itu sejenak saling pandang, kemudian wajah mereka menjadi merah.
Ucapan Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan penghinaan bagi Hoa-san-pai, apa lagi
kata-kata yang terakhir. Setelah saling memberi isyarat dengan pandang mata,
kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu menggerakkan tangan dan…
"Singgg…!"
tampak dua sinar berkelebat ketika mereka mencabut pedang mereka.
"Sin-jiu
Kiam-ong, ucapanmu yang menghina ini telah menambah dosamu terhadap kami. Biar
pun engkau memakai sebutan Raja Pedang, jangan kira bahwa kami dua saudara Coa
jeri padamu. Hadapilah sepasang pedang sakti dari Hoa-san!" tantang Coa
Kiu sambil melintangkan pedang, sedangkan adiknya, Coa Bu juga sudah siap
dengan pedangnya.
Mereka ini
masing-masing hanya berpedang tunggal, akan tetapi karena mereka ini kalau
memainkan pedang bersama merupakan pasangan yang amat kompak dan hebat, maka
kedua orang ini mendapat julukan Sepasang Pedang Sakti!
"Hemmm,
aku selamanya tidak suka berbohong, dan ucapanku tadi hanya ucapan terus terang
dan apa adanya, sama sekali tak ingin menghina siapa-siapa. Kalau kalian hendak
memperlihatkan Siang-sin-kiam untuk menundukkan aku, maka kalian telah
melamunkan hal yang bukan-bukan karena aku tak mudah ditundukkan oleh siapa pun
juga, termasuk kalian orang-orang Hoa-san-pai!" Ucapan ini dikeluarkan
dengan halus dan lunak, namun mengandung kekerasan melebihi baja.
Coa Kiu dan
Coa Bu mengeluarkan seruan keras, pedang mereka segera berkelebat dan tahu-tahu
telah menjadi sebuah gulungan cahaya tebal dan panjang, mengeluarkan suara
bercuitan dan bayangan tubuh mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi
satu. Dengan suara mencicit nyaring, mendadak gulungan sinar pedang ini
melayang ke arah sebatang pohon dan pecah menjadi dua, lalu bagaikan mata
gunting dua gulungan sinar ini menggunting batang pohon.
Tidak
terdengar sesuatu dan tidak terjadi sesuatu, namun begitu gulungan sinar pedang
itu melayang kembali ke tempatnya dan sinar pedang berubah kembali menjadi dua
orang kakek Hoa-san-pai yang sudah berdiri berdampingan, tiba-tiba batang pohon
itu tumbang dan tampak bekas pedang yang halus membuat batang pohon itu
seolah-olah baru saja digergaji!
"Ha-ha-ha-ha,
kalian ini pun bukan lain hanyalah kanak-kanak tukang merusak tanaman!"
Sin-jiu Kiam-ong mentertawakan.
Kakek Coa
Kiu dan Coa Bu marah sekali. “Sin-jiu Kiam-ong, beranikah kau mengahadapi
pedang kami?"
"Mengapa
tidak?"
"Lihat
pedang!"
Dua orang
kakek itu kembali menggerakkan pedang dan seperti tadi, dua gulungan sinar
terang menjadi satu, menjadi gulungan yang amat kuat dan tiba-tiba saja
terdengar suara mencicit keras ketika sinar pedang itu menyambar ke arah
Sin-jiu Kiam-ong. Kakek itu tertawa sambil menyambar pedang kayu di depan
kakinya, lalu menggerakkan pedang kayu menusuk ke arah sinar pedang yang
menyambarnya seperti kilat itu.
"Cing..cing..trang......!"
Gulungan
sinar pedang yang berkelebat itu menjadi kacau gerakannya. Meski berkali-kali
mengitari tubuh Sin-jiu Kiam-ong, berusaha membabat tubuh kakek itu, akan
tetapi selalu terhalang sinar hijau dari pedang kayu, bahkan kemudian terdengar
suara keras dan... sinar pedang yang tebal itu tiba-tiba pecah menjadi dua,
yang satu terpental ke kanan yang lain ke kiri. Sinar pedang lenyap dan kedua
orang kakek itu sudah berdiri dengan muka pucat. Ujung pedang mereka somplak
sedikit.
Mereka
saling pandang, lalu menghela napas panjang. Sebagai dua orang sakti mereka
tidaklah nekat dan cukup maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh di
bawah tingkat kakek sakti itu. Mereka tahu diri, lalu kembali ke tempat tadi,
memandang dengan mata penuh penasaran sambil menyimpan pedang masing-masing.
Sin-jiu
Kiam-ong yang sudah menundukkan enam orang lawannya, kini menoleh kepada tiga
orang yang masih belum bergerak dan belum mengeluarkan kata-kata, sampai saat
itu hanya menonton saja.
Dia melihat
seorang tosu tua yang tidak dikenalnya, dan seperti tadi ketika menghadapi dua
orang Hwesio Siauw-lim-pai, dia tidak berani memandang rendah. Ada pun yang dua
orang lain adalah sepasang suami isteri tua yang dia tahu dulu pernah dia
jumpai, namun lupa lagi kapan dan dimana.
Karena dia
menganggap tosu itu lebih penting, maka dia segera menghadapinya sambil bersila
dan berkata, "Maaf, kalau aku tidak ingat lagi siapa gerangan Toyu ini,
akan tetapi karena Toyu sudah membuang waktu dan datang ke sini, tentu juga
membawa keperluan yang amat penting."
"Siancai...,
Sin-jiu Kiam-ong yang sudah tua kiranya masih berwatak seperti orang muda,
segan mengalah dan tidak mau menyesali dosa-dosa yang dilakukan di waktu
mudanya sungguh patut disayangkan!"
"Ha-ha-ha-ha,
Toyu mengeluarkan pernyataan yang amat lucu! Kalau benar dosa sudah dilakukan,
apa gunanya hanya disesali? Lebih baik menyadarinya dan bersiap menerima
hukumannya sebab berdosa atau tidak tergantung pada penilainya, sedangkan
penilainya sendiri penuh dosa dan bergelimang nafsu mementingkan diri pribadi!
Ehhh, Toyu yang baik, aku seorang yang mengutamakan kejujuran dan lebih
menjunjung tinggi orang yang melakukan kesalahan namun berani mengakuinya dari
pada orang yang pura-pura suci akan tetapi di dalam hatinya sangat kotor, tidak
sama dengan yang keluar dari mulutnya. Karenanya, aku merasa senang sekali dengan
ujar-ujar dalam agamamu, seperti ini…”
Kemudian
Sin-jiu Kiam-ong mengucapkan ujar-ujar itu seperti melantunkan lagu,
“Langit
tiada prikemanusiaan segala benda dianggap sebagai korban.
Orang suci
tiada peri kemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban.
Ruang antara
Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan!
Kosong namun
tak pernah berkurang
makin besar
gerakan makin besar tiupan!
Banyak
bicara sering kali menghamburkan tenaga
Lebih baik
menjaga kejujuran!"
"Sin-jiu
Kiam-ong, selain kekanak-kanakan engkau pun masih mempunyai kesombongan!
Menggunakan ayat suci kitab To-tik-kheng untuk menghantam seorang tosu seperti
pinto (aku)! Sungguh amat menyebalkan. Kiam-ong, ketahuilah bahwa pinto adalah
Kok Cin Cu, utusan dari Kong-thong-pai. Jangan engkau pura-pura lupa betapa
dulu engkau pernah membunuh lima orang anak murid Kong-thong-pai. Kedatangan
pinto ini hendak mewakili lima orang tua Kong-thong-pai untuk menagih hutang.
Kami bukanlah orang-orang yang haus darah, akan tetapi sudah cukup adil kiranya
kalau engkau menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam untuk menebus dosamu terhadap
kami."
Sin-jiu
Kiam-ong mengangguk-angguk. "Ahh, jadi Toyu ini seorang di antara
Kong-thong Ngo-lojin (Lima Kakek kong-thong-pai) yang tersohor hebat sekali
ilmu kepandaiannya, yang puluhan tahun lamanya melatih diri dan kini kabarnya
mencapai tingkat yang sukar dicari bandingnya? Bagus, bagus! Kabarnya Thian-te
Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Langit Bumi) yang menjadi tiga datuk sesat terbesar di
seluruh dunia, juga merasa jeri untuk mengganggu Kong-thong-pai karena ada
kalian lima kakek sakti ini! Dan kini seorang di antara mereka memberi
kehormatan kepadaku? Ha-ha-ha, Kok Cin Cu toyu, engkau ini kakek yang ke
berapakah?"
"Yang
empat lain adalah para suheng-ku (kakak seperguruan)".
"Ahhh,
jadi yang termuda? Yang tua-tua agaknya masih enggan merendahkan diri, akan
tetapi aku percaya yang termuda sekali pun tentu memiliki kesaktian luar biasa.
Namun sayang, Toyu, aku tidak dapat menyerahkan pedang ini kepadamu."
"Kalau
begitu, perhitungan lama harus diselesaikan dengan mengadu ilmu!"
"Begitukah
wawasanmu Toyu? Agaknya Toyu masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu
kenapa dulu lima orang anak murid Kong-thong-pai tewas di tanganku? Kami telah bentrok
di tempat judi! Aku yang sudah terkenal sebagai seorang pengejar kesenangan di
waktu muda, tidak usah disebut-sebut lagi mengapa aku bisa berada di tempat
judi, akan tetapi lima orang tosu muda Kong-thong-pai, main-main di tempat judi
yang dilayani para pelacur? Apakah mereka itu berada di sana untuk berceramah
tentang kebatinan? Ahh…, betapa banyaknya orang-orang yang pada lahirnya
berpura-pura menjadi orang suci akan tetapi batinnya kotor melebihi orang-orang
yang mereka anggap sesat dan jahat. Karena pernyataan dan teguranku, mereka
marah dan kami berkelahi. Di dalam perkelahian ada yang menang dan ada yang
kalah, yang menang hidup dan yang kalah luka atau mati, apakah yang aneh dalam
hal itu? Kalau Toyu menganggapnya suatu penasaran dan kini hendak mengulang
kesalahan mereka menantangku, terserah."
Wajah tosu
itu menjadi merah, kemudian menjawab, suaranya kereng, "Sebagai seorang
tokoh Kong-thong-pai, tak mungkin pinto mendengarkan keterangan dari satu fihak
saja. Untuk minta keterangan anak murid kami yang tewas, tak mungkin lagi. Yang
jelas, anak murid Kong-thong-pai selalu menjunjung kebenaran, sedangkan nama
Sin-jiu Kiam-ong, siapa tidak mengenalnya dan mengetahui orang macam apa? Kami
Kong-thong Ngo-lojin berkewajiban membela nama Kong-thong-pai. Sin-jiu
Kiam-ong, bersiaplah dan mari kita mulai!"
"Engkau
yang berniat mengadu ilmu, engkau pulalah yang mulai, Toyu. Aku sudah siap
melayanimu!"
Tosu ini
melangkah maju. Ia bertangan kosong dan dia menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong
lalu berkata, "Pinto menghormat usiamu yang lebih tua. Karena dulu engkau
membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dengan tangan kosong, maka sudah
semestinya kalau kini pinto juga menghadapimu dengan tangan kosong. Bila mana
pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-thong-pai kembali lagi, apa bila
engkau yang kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-kiam sebagai tebusan
dosa!"
"Ha-ha-ha,
dalam setiap perbuatan selalu tersembunyi pamrih, di mana-mana manusia sama,
menjadi hamba nafsu pribadi. Silakan."
Tosu itu
mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka
jari-jarinya itu mengeluarkan suara berkerotokan dan tergetar hebat. Kedua
tangan itu kini bentuknya seperti cakar naga, ada pun kulit tangan itu berubah
menjadi kemerahan!
Inilah Ilmu
Ang-liong Jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang telah
sangat terkenal kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat
tinggi, menjadi amat hebat sehingga tangan berubah seperti baja panas. Tidak
saja kuat untuk melawan senjata tajam lawan, juga kalau mengenai tubuh lawan
menimbulkan luka-luka terbakar yang tak terobati lagi!
Dengan
beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di hadapan Sin-jiu Kiam-ong, kedua
tangannya dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala
dan dada kakek yang duduk bersila dengan tenangnya itu.
"Bergeraklah!
Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau
melawan!" Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring, sedangkan dua tangannya
sudah menggetar-getar amat hebatnya.
Sin-jiu
Kiam-ong tersenyum lebar. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan
watak pendekar. Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi sayang masih dikotori
rasa tamak. Biarlah kusambut Ang-liong Jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu,
bukan?"
Sambil
berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulurkan sepasang lengannya dan
sebelum tosu tua itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak
tangan tosu yang kemerahan itu.
"Wesssss...!"
Sungguh luar
biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara seperti api
membara bertemu benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang telapak
tangan yang saling bertemu.
Tosu tua itu
merendahkan tubuh sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk memperkuat daya
serang Ang-liong Jiauw-kang, namun sia-sia saja karena kedua telapak tangannya
yang tadinya panas itu makin lama menjadi makin dingin, bahkan rasa dingin
seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak tangannya, menjalar
dari telapak tangan ke atas!
Wajah tosu
itu mulai berkeringat, matanya merah dan mulutnya terbuka karena nafasnya
menjadi terengah-engah. Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum saja
dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah Kok Cin Cu bahwa kalau adu
tenaga sinkang ini terus dilanjutkan, maka ia akan roboh binasa. Terpaksa tosu
tua ini lalu menarik kembali kedua tangannya dan pada saat yang bersamaan,
Sin-jiu Kiam-ong yang tidak ingin membunuh orang juga menarik kedua tangannya.
Kok Cin Cu
melangkah mundur ke tempat semula. Tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah
dia dapat memulihkan keadaannya, lalu menjura dan membungkuk dan berkata dengan
suara lemah,
"Sungguh
hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali
pinto akan datang kembali bersama para suheng."
Melihat
kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami isteri tua yang semenjak tadi
hanya menonton, melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si
suami segera menudingkan telunjuknya.
"Sin-jiu
Kiam-ong, masih ingatkah engkau pada kami suami isteri yang pernah mengalami
penghinaan darimu?"
Kakek itu
memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak di
samping suaminya, kemudian dia menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan
kalian, akan tetapi aku lupa lagi entah dimana. Yang sudah pasti, aku tidak
pernah menganggu wanita itu, karena kalau hal itu terjadi, sampai kini pun aku
tentu akan ingat dan mengenalnya."
Merah wajah
wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!"
Akan tetapi
suaminya cepat-cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami memiliki
perusahaan pengawal barang kiriman. Apakah engkau lupa kepada Hek-houw
Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Macan Hitam)?"
"Aha,
sekarang aku ingat! Bukankah engkau adalah orang she Tan yang menjadi kepala
piauwkiok itu? Dan isterimu yang dulu amat galak dan amat pandai menggunakan
am-gi (senjata rahasia)? Hemm, aku pernah merampas beberapa benda perhiasan
indah yang kau kawal, perhiasan kiriman milik menteri keuangan kerajaan, bukan?
Malah puterinya, ahh, masih ingat benar aku akan puteri menteri yang amat
cantik manis itu, ia berkenan menemaniku di dalam hutan sampai dua hari dua
malam! Aha, pengalaman yang takkan terlupakan olehku! Puteri yang cantik manis,
dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku. Tusuk konde dan
perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku.
Ehh…, Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?"
"Sin-jiu
Kiam-ong, pada waktu muda engkau sudah melakukan segala macam kejahatan.
Merampok barang milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan
kami yang mengawal barang dan puteri. Masih hendak tanya mengapa kami datang?
Rasakan pembalasan kami!" Piauwsu (pengawal barang) tua ini menutup ucapannya
dengan satu gerakan tangan yang langsung diikuti oleh isterinya.
Cepat sekali
gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke depan dan
tahu-tahu suami-isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata
rahasia mereka.
Piauwsu itu
menggunakan dua macam senjata rahasia, yaitu piauw (pisau sambit) dan
Toat-beng-cui (Bor Pencabut Nyawa), ada pun isterinya mempergunakan
Ngo-tok-ciam (Jarum Lima Racun) yang jauh lebih cepat dan lebih berbahaya dari
pada kedua macam am-gi (senjata gelap) suaminya. Belasan buah senjata rahasia
itu menyambar ke bagian tubuh yang lemah, bahkan jarum-jarum halus itu langsung
mengarah ke jalan-jalan darah yang mematikan!
Namun kakek
tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua tangannya
dan sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak bagaikan sepuluh ekor ular
hidup, namun kuku-kuku jari tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya
menangkis semua senjata rahasia, bahkan dengan sentilan aneh dapat mengirim
kembali senjata-senjata kecil itu ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah
hujan senjata rahasia dari kedua fihak, yang menyerang dan yang mengembalikan!
"Sahabat-sahabat
yang sealiran! Apa bila hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk,
mau tunggu sampai kapan lagi? Marilah kita basmi dia bersama-sama!" teriak
Tan Kai Sek, piauwsu tua itu sambil terus menyerang dengan senjata rahasianya.
Tujuh orang
gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam kepada
Sin-jiu Kiam-ong dan sudah jelas tadi bahwa kalau mereka hanya mengandalkan
kepandaian masing-masing, tidak akan mungkin mereka dapat mengalahkan kakek
sakti itu. Sambil menyatakan setuju mereka semua mencabut senjata dan menerjang
maju!
Akan tetapi
mendadak tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka
memandang, kakek sakti itu bersama Siang-bhok-kiam sudah lenyap pula. Kiranya
kakek itu meloncat ke atas dan dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu
pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau halimun tebal yang menutup bagian
atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa tergelak, seolah-olah
suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang tertutup oleh
halimun tebal.
"Ha-ha-ha,
sembilan orang gagah yang berada di bawah! Kalau aku tadi menghendaki, apa
susahnya membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan
nyawa, alangkah mudahnya bagi kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum
mau mati, karena dalam hari-hari terakhir ini aku masih ingin menikmati tamasya
alam yang sangat indahnya di Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian karena
aku tak ingin mengotori tempat seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum
mau mati karena aku masih ingin menikmati keindahan alam di sini. Bila mana
kalian masih belum terima dan merasa penasaran, hayo siapa yang berani boleh
naik!"
Sembilan
orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang
berilmu tinggi, kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke
atas, akan tetapi batu pedang itu tidak dapat didaki oleh mereka bersama-sama,
harus seorang demi seorang. Dan kalau mereka mendaki ke atas seorang demi
seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa kepada kakek itu!
Kembali
terdengar suara ketawa dari atas. "Ha-ha-ha! Jangan kira aku amat pelit
untuk menyerahkan nyawa di dalam tubuh tua ini atau menyerahkan
Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu sebulan lamanya untuk menikmati tempat ini.
Setelah sebulan, kalau kalian masih menghendaki jiwaku, datanglah ke kaki
gunung sebelah selatan, di dalam hutan mawar, di sana aku menanti kalian
bersama Siang-bhok-kiam!"
Setelah
terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak
ada suara lagi. Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apa lagi mencoba
untuk mengejar kakek sakti itu ke atas puncak batu pedang yang ujungnya lenyap
tersembunyi di balik kabut tebal, akhirnya sembilan orang gagah itu pergi
meninggalkan Kiam-kok-san dan di dalam hati berjanji untuk mencari hutan mawar
yang dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian.
***************
Pada masa
itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara. Dinasti
Beng didirikan oleh Ciu Goan Ciang yang berhasil mengusir pemerintah penjajah
Goan (Mongol) dan kemudian menjadi Kaisar pertama Dinasti Beng dengan julukan
Kaisar Thai Cu (1368-1398).
Peking (ibu
kota utara) yang tadinya merupakan kota raja Kerajaan Mongol, oleh Kaisar
Kerajaan Beng ini tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota dipilihnya
Nanking (ibu kota selatan) yang letaknya di lembah Sungai Yang-ce-kiang, di
daerah yang lebih subur tanahnya.
Akan tetapi
kota Peking yang merupakan daerah pergolakan dan pangkalan penting untuk
mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara yang sudah
diusir dari pedalaman, tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini diperkuat
dengan bala tentara besar dan dipimpin oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri,
yaitu Yung Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang.
Perpecahan
dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertama meninggal.
Kaisar Thai Cu meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini
sudah meninggal dunia, maka sebelum meninggal Kaisar Thai Cu sudah menunjuk
keturunan dari putera sulungnya, jadi cucunya yang amat dikasihinya, untuk
menggantikannya dan naik tahta pada tahun berikutnya. Cucu yang menjadi kaisar
ke dua dari kerajaan Beng ini bernama Hui Ti. Dan peristiwa inilah yang
menimbulkan perang saudara.
Pangeran
Yung Lo atau lebih tepat disebut Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah
pertahanan di Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi
kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh
karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke selatan, ke Nanking.
Terjadilah perang saudara.
Perang
saudara selalu mengerikan, di mana terjadi bunuh-membunuh di antara saudara
sendiri, antara bangsa sendiri. Rakyat pun terpecah-pecah dan saling hantam.
Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah atasan yang memperebutkan
kedudukan. Untuk dapat mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan,
kedok, perisai dan senjata. Padahal ketika cita-cita sudah tercapai kemudian
pribadinya dimabuk kemuliaan, kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat
dilupakan begitu saja!
Di bagian
mana pun di dunia ini, tiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang
menderita paling hebat. Di dalam masa yang keruh ini bermunculan orang-orang
yang menggunakan kesempatan melampiaskan nafsu-nafsu jahatnya.
Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum
rimba bermunculan di mana-mana.
Sudah lazim
bahwa di dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat
orang. Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat yang berlainan,
bahkan celakanya berlawanan, maka inilah yang menjadi sebab timbulnya
pertentangan dan akhirnya mengakibatkan perpecahan dan keributan.
Juga di
dunia persilatan terjadi pula perpecahan sebagai akibat dari pada pendapat yang
berlawanan terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan Beng yang masih baru
itu. Ada yang pro utara (Raja Muda Yung Lo), tapi ada pula yang pro selatan
(Kaisar Hui To). Maka di antara mereka terjadilah perang sendiri.
Akan tetapi
banyak pula golongan atau tokoh persilatan yang mengundurkan diri dan tak mau
mencampuri segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah
Kun-lun-pai yang dipimpin oleh tosu-tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan
dan peperangan antara saudara sebangsa.
Thian Seng
Cinjin, yaitu tosu tua berusia seratus tahun yang pada saat ini menjadi ketua
Kun-lun-pai, sudah mengeluarkan larangan keras kepada semua anak murid
Kun-lun-pai untuk melibatkan diri dalam perang saudara itu. Bahkan ketua ini
telah memanggil semua tokoh-tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di puncak
Kun-lun yang menjadi pusat dari perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan
semedhi sebagai latihan dan sebagai keprihatinan, dan di samping ini, sang
ketua memperdalam pengetahuan mereka tentang pelajaran dalam Agama To (Taoism).
"Murid-murid
Kun-lun-pai yang baik," begitu antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil
memandang murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam
keadaan seperti sekarang ini, camkanlah baik-baik pelajaran ke lima puluh
tujuh." Kemudian kakek ini bersenandung membaca isi pelajaran yang
mengandung makna dalam sekali.
"Dengan
keadilan, negara dapat diatur.
Dengan
siasat, peperangan dapat dilakukan.
Namun hanya
dengan mengekang diri (tak bertindak),
dunia dapat
dimenangkan!
Bagaimana
kami tahu yang sedemikian itu?
Karena ini:
Makin banyak
larangan, orang makin menderita.
Makin banyak
digunakan senjata, makin banyak timbul kekacauan.
Makin banyak
hukum diundangkan, makin banyak pelanggaran terjadi.
Makin banyak
kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-aneh.
Maka Orang
Bijaksana berkata:
Kami
mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah kebaikan.
Kami suka
akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai.
Kami tidak
bertindak, rakyat hidup makmur.
Kami tidak
berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.”
Selanjutnya,
dengan suara penuh kesabaran Thian Seng Cinjin juga memberi wejangan kepada
murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut ajaran Tao dan murid
Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala
peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya akan bergerak
untuk menghadapi serta menanggulangi keadaan sebagai akibat. Tak sekali-kali
menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan
sikap diam dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi.
Karena
pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin melarang murid-muridnya terlibat dalam
perang saudara, karena sekali mereka turun tangan, mereka akan semakin
mengeruhkan suasana dan memperbesar penyembelihan antara saudara sebangsa.
Semua
wejangan dan percakapan yang terjadi di ruang belajar yang luas itu didengarkan
penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan
jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Anak laki-laki ini berusia
kurang lebih dua belas tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari
kain kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang
matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan
pikiran yang dalam, pandangan yang luas dan penuh pengertian.
Bocah yang
menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini bernama Cia Keng Hong,
dan sudah dua tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim
piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua telah
tewas ketika perang saudara mulai pecah.
Mendiang
ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun dan keluarga Cia ini
terbasmi habis ketika gerombolan perampok yang muncul pada waktu perang saudara
ini menyerbu dan merampok serta membasmi seluruh penduduk Kwi-bun. Oleh karena
lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua keluarganya terbasmi habis.
Keng Hong
yang pada saat itu kebetulan ikut menggembalakan kerbau bersama seorang pelayan
di luar dusun, selamat dan terbebas dari pada bencana maut. Dalam keributan ini
muncullah Kiang Tojin, tosu yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin.
Tosu ini
sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai
seorang pendekar sekailigus penyebar Agama To. Melihat perbuatan keji para
perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat menggunakan kepandaiannya menolong
penduduk kemudian berhasil mengusir para perampok.
Kiang Tojin
yang amat tertarik melihat Keng Hong, lalu mengajak anak itu ke Kun-lun-san dan
di situ Keng Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak
dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong
(calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai harus seorang calon yang
memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang
calon tosu.
Karena penolakannya
ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja sebagai seorang
kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan,
tanpa diperintah segera dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil,
menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil
yang dipergunakan untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan
rajin.
Di malam
hari, karena para tosu yang sayang kepadanya mengijinkannya, dia memasuki kamar
perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dulu,
Keng Hong telah belajar ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang
ingin melihat dia kelak menjadi seorang terpelajar agar dapat memperoleh
kedudukan tinggi.
Kitab-kitab
tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran
dasar ilmu silat Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya,
dia hanya bisa membaca tanpa dapat menangkap jelas inti sarinya.
Kerajinannya
dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian Seng
Cinjin sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam
merasa kecewa mengapa anak yang berbakat baik ini tidak suka menjadi calon
tosu.
Di lain
fihak, Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Dia melihat
sesuatu yang aneh dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya,
dari suaranya dan terutama sekali dari pandang matanya yang tenang penuh
kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk isi hatinya itu.
Dia sedang
membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng
Cinjin dan anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir
dan memang dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat
serta mendengar semua.
Suasana di
ruangan belajar itu amat hening sebab para murid mendengarkan wejangan guru
mereka dengan penuh hormat dan kesungguhan hati, membuat Keng Hong berkerja
makin hati-hati agar tidak mengganggu. Akan tetapi dia kadang-kadang sampai
lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal yang amat menarik hatinya. Dia
mendengarkan terus.
"Suhu,
kemarin di puncak Kiam-kok-san sudah terjadi keributan," demikian Kiang
Tojin, penolongnya dan merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng
Hong, berkata melapor. "Agaknya Sin-jiu Kiam-ong sudah kumat lagi watak
mudanya yang suka dengan keributan. Menurut laporan dari para murid, Suhu, ada
sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk pula dua orang hwesio Siauw-lim-pai,
dua orang tokoh Hoa-san-pai dan seorang tosu Kong-thong-pai, mendatangi dia
untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka telah dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong
yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah selatan
kaki gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah
kita."
"Siancai...,
siancai...! Sejak dahulu Sie-taihiap (pendekar besar she sie) selalu mengejar
kesenangan dan ketegangan. Akan tetapi harus diakui bahwa di balik kebiasaannya
yang buruk itu tersembunyi watak pendekar yang patut kita puji. Kita
orang-orang Kun-lun-pai bukan merupakan golongan yang tak kenal budi. Dulu
Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka kita mengijinkan dia bertapa
di Kiam-kok-san yang merupakan tempat suci bagi kita karena dahulu sucouw
(Kakek guru) kita memilih tempat itu sebagai tempat bertapa sampai musnah dari
dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita tidak mencampurinya.
Pinto melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biar
Sie-taihiap menyelesaikan urusannya sebagaimana yang dia kehendaki."
Mendengar
percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, hati Keng Hong
menjadi tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca kisah tentang keanehan para
pendekar. Walau pun Kun-lun-pai merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia
pun maklum bahwa Kiang Tojin penolongnya adalah orang yang berilmu tinggi, apa
lagi guru penolongnya itu tentu seorang yang sakti, tetapi mereka tak
memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-pertapa dan
petani-petani biasa. Maka kini pada saat mendengar tentang Sin-jiu Kiam-ong
yang hendak menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung sebelah selatan, di
dalam hutan mawar, dia menjadi ingin sekali menonton.
Demikianlah,
pada hari yang telah ditentukan, sebulan setelah pertemuan di puncak yang
disebut puncak Lembah Pedang, Keng Hong menggembalakan kerbaunya di luar hutan
mawar. Biasanya bila dia menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu, dia
akan pergi menuju ke utara. Akan tetapi sekali ini dia sengaja menggiring
kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput hijau
gemuk di luar hutan mawar.
Agar tidak
kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat itu untuk menonton pertemuan
orang-orang sakti seperti yang dia ketahui dari percakapan antara ketua
Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia lalu berbaring menelungkup di atas punggung
kerbau yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya.
Keng Hong
mempunyai kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil ia sudah
bermain suling, pandai meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung.
Juga dengan tiupan sulingnya dia dapat merangkai suara-suara indah dan
menciptakan lagu-lagu yang sungguh pun dirangkai sejadinya namun amat sedap
didengar.
Sementara itu,
sejak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong sudah duduk bersila di antara
sekelompok bunga mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang,
sekarang pedang Siang-bhok-kiam juga tergeletak di depan kedua lututnya. Ia
duduk bersila tanpa bergerak, dengan kedua mata dipejamkan, hening tenggelam ke
dalam semedhi.
Tiba-tiba
daun telinga kiri kakek ini bergerak, kemudian perlahan-lahan dia mengejapkan
matanya. Ia mengerutkan kening saat mencurahkan perhatian dengan
pendengarannya. Kakek ini mempunyai kebiasaan yang aneh, yaitu apa bila dia
mendengar sesuatu yang mengesankan, maka daun telinga kirinya dapat bergerak
seperti telinga kelinci!
Kalau dia
sedang semedhi, meski pun ada suara halilintar menyambar di atas kepalanya, dia
tidak akan terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang di dalam siulan-nya.
Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari siulan-nya (semedhi) karena mendengar
tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran sangat
mengharukan, yang sangat halus seolah-olah hembusan angin pada ujung daun-daun
bambu.
Karena
Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling
penuh getaraan halus ini lebih kuat pengaruhnya dari pada ledakan halilintar,
menggugah dia dari semedhi dan membuat kakek ini ingin sekali mengetahui siapa
gerangan yang dapat meniup suling seindah itu!
Jantungnya
berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan
mendatanginya, berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang sangat sakti.
Hanya orang sakti yang sudah tinggi tingkat kebatinannya saja yang akan dapat
meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran asli dari watak yang
belum dikotori oleh segala macam nafsu duniawi. Saking tertariknya, kakek ini
bangkit berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya
melayang ke arah luar hutan dari mana tiupan suling datang.
Ketika
sampai di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah
yang sedang duduk di atas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian
dan ketenangan, sejenak Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia
menghela napas panjang dan berbisik.
"Engkau
telah menjadi pikun, terlalu tua! Di mana bisa terdapat orang yang begitu
bersih hatinya sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah
saja yang akan sanggup meniup suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat
orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?"
Ia lalu
melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-gelengkan kepala
dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah kusuk bersila lagi,
akan tetapi kali ini dia tidak bersemedhi, namun memasang pendengarannya
menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling.
Kakek ini
tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang
lalu telah mengunjunginya di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia tak peduli, bahkan
pura-pura tidak tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar
sayup sampai.
Dia seperti
orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang
kembali kepada masa mudanya sehingga diam-diam dia menyesali diri sendiri.
Sungguh dia harus merasa malu bahwa di ambang kematiannya, karena memang dia
sudah mengambil keputusan hendak menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada
sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa sedikit pun selama
hidupnya.
Bahkan
sebaliknya ia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasih
dengan banyak wanita yang dibalasnya hanya berdasarkan dorongan nafsu birahi.
Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita
dengan murni.
Betapa dia
hidup secara berandalan, tidak pernah membedakan antara baik dan buruk,
ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi
jagoan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu
partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya.
Walau pun
semenjak dahulu dia tidak pernah mempunyai niat untuk menjahati orang lain,
namun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak
orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang
mengalun merdu itu makin terharulah hatinya.
Perlahan-lahan
suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah
merasa bosan dan lelah, seperti juga dia yang sudah merasa bosan untuk hidup
lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak
deritanya dari pada senangnya.
Setelah
suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya
menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan
siap siaga, dengan senjata pada tangan masing-masing karena mereka itu kini
datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu
ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang
sebenarnya merupakan sebab utama kunjungan mereka.
"Ahh,
kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku takkan melawan bila
hendak membunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang
membunuhku berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dulu hendak kujelaskan
kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment