Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 02
PEDANG ini
terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah
kayu harum yang terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat.
Dalam perantauannya Sin-jiu Kiam-ong mendapatkan pedang itu sebagai anugerah
dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir.
Kayu dari
sebatang pohon yang mungkin hanya tersisa beberapa batang saja di seluruh
puncak Himalaya. Kayu yang sangat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan
tetapi di samping harum kayu ini juga merupakan obat penolak segala pengaruh
racun. Barang beracun apa saja apa bila tersentuh kayu ini seakan-akan terhisap
racunnya dan tidak berbahaya lagi.
"Siang-bhok-kiam
ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik
napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidung. "Bukan hanya merupakan
pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka
rahasia tempat simpanan seluruh milikku, mulai dari kitab-kitab pusaka berisi
pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga
dan senjata-senjata mustika. Betapa pun juga hanya dia yang berjodoh saja
agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi
kalian juga harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki pedang ini,
maka kurasa siapa pun di antara kalian tidak akan mudah dapat membunuhku
sungguh pun aku berjanji tak akan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku
sudah siap, siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan
menghalangi!"
Setelah
berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera menaruh pedang itu kembali ke depan
kakinya di atas tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya
tersenyum ikhlas, sama ikhlasnya dengan hatinya yang telah bulat menyambut
datangnya maut.
"Sie
Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau mau memberikan pedang itu kepadaku!"
terdengar teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu.
Teriakan itu
disusul bunyi bergeletar nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena
sembilan ujung cambuk yang memiliki kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah
pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.
"Trang-trang-trang...!"
Bunga api berpijar dan kesembilan ‘ekor’ cambuk terpental.
"Kalian
mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah. Matanya
mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang sudah serentak maju menangkis
cambuknya.
"Hemm,
bukan kau seorang saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, Kiu-bwe Toanio,
kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh
Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam
telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah cahaya panjang dan kuat menuju
ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu
sebelum yang lain sempat bergerak.
"Trang-trang...!"
Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental akibat ditangkis oleh banyak
senjata.
"Ho-ho-ho,
Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh…!" Thian
Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.
Senyum di
bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu
mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong
tadi yang mengatakan bahwa siapa pun di antara mereka takkan mudah membunuh
kakek itu biar pun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapat menduga
lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!
Sementara
itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya
meniup suling di atas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan
meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa
menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan
hatinya yang berdebar-debar.
Dia
menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di
lapangan terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia pun menonton dan
mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di
hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apa lagi setelah dia mendengar
ucapan kakek itu seakan-akan telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang
yang sikapnya mengancam itu.
Dan pada
saat yang sama timbullah rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak
membaca tentang watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak
para pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan.
Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang kakek tua renta yang
sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!
Sembilan
orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak ada
seorang pun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, tetapi pandang mata mereka
sudah menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh
sudah menegang, siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang
sangat mereka inginkan itu.
Akhirnya Kok
Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan
berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.
"Mencapai
cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu
saja amat sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah,
mari kita semua membuktikan, siapa di antara kita yang paling tepat dan
berjodoh untuk memiliki Siang-bhok-kiam." Setelah berkata demikian, Kok
Cin Cu meraba pinggangnya dan…
"Singgg…!"
terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata
merupakan sabuk baja yang tipis dan halus.
Kiranya
sabuk ini adalah senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang
sebuah pecut yang tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak
sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil memutar sabuk itu di atas kepala,
lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu
Ang-liong Jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai dari pada sabuk
baja itu sendiri!
"Omitohud!
Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio
yang beralis putih kepada sute-nya sambil memutar tongkat yang dibawanya.
Bukan
tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata
yang disebut Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar
bulat seperti bola baja, dan beratnya tidak akan kurang dari dua ratus kati!
Sute-nya, si
tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hwesio juga telah mengeluarkan suara
gerengan dan segera dia menggerakkan tangan kanan.
"Wuuuuttt...!"
terdengar suara dan angin keras menyambar.
Kiranya dia
telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu sudah dia pegang
ujungnya. Jangan anggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan
hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah menjadi senjata yang kerasnya
melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang!
Keng Hong
memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Dia melihat betapa kakek
tua renta yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan
mata akan tetapi senyum di mulutnya jelas mengandung ejekan, seakan-akan kakek
itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak tertawa bergelak.
Dia sendiri
pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu
yang dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan
anjing hendak memperebutkan tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan
kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. Akan tetapi mana mungkin dia
bisa tertawa kalau menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan
senjata semua?
Pada lain
saat pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika
terdengar suara desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar
berkelebat. Dia ternganga keheranan dan hampir tidak dapat mempercayai pandang
matanya sendiri.
Tubuh
sembilan orang-orang tua itu telah lenyap dan yang tampak kini hanya
bayangan-bayangan berkelebatan dibungkus bermacam-macam sinar, ada merah,
putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising sekali, ada suara meledak-ledak
seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan seperti
angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti di
situ terdapat banyak pandai besi bekerja!
Di
tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas nampak kakek
tua renta masih duduk bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu
masih tetap menggeletak mati di depan kakinya.
Pertempuran
yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing
ditujukan untuk mencegah lain orang merampas pedang. Maka, sampai lama tak ada
korban yang jatuh, apa lagi karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang
sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa mereka sadari, mereka itu
saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu.
Biar pun
kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya
pertandingan dan hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya
terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh jagat, pikirnya. Pertempuran
antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak
manusia yang sangat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan
peran badut yang menggelikan!
Manusia di
dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu
pribadi yang mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka hanya
memperebutkan kedudukan, atau nama, atau harta, atau pemuasan nafsu. Untuk
mencapai ‘cita-cita’ ini, mereka tidak segan-segan untuk saling menjatuhkan
fitnah, saling menyalahkan, saling mengejek, saling menipu, saling merugikan
dan apa bila perlu saling membunuh!
Yang besar
melahap yang kecil, yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang
besar dilalap oleh yang lebih besar lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar,
harta benda, benda-benda indah, wanita cantik diperebutkan secara tak tahu malu
seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia dalam hidup masing-masing.
Padahal, dan
hal ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama petualangannya puluhan
tahun, semuanya itu kosong belaka. Semuanya itu akan musnah kenikmatannya
setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan terlalu sering
sekali bahkan mendatangkan kepahitan. Karena yang menang akan mabuk dan diintai
mata dan hati si kalah yang penuh iri dan dendam, yang kalah akan mabuk oleh
dendam dan penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan
kembali yang menang!
Kakek ini
seakan-akan dapat melihat betapa siapa yang akhirnya mendapatkan pedang
Siang-bhok-kiam selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar.
Ingin dia tertawa kalau memikirkan hal ini!
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara tawa yang memekakkan telinga, yang
membuat Keng Hong tiba-tiba saja roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil.
Tampak berkelebat tiga bayangan hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau
itu tiba-tiba berhenti karena sembilan orang itu terpelanting ke kanan kiri.
Sekarang
mereka bersembilan berdiri siap siaga dengan wajah penuh keringat, mata liar
mengganas memandang ke arah tiga orang yang mendadak muncul dan yang sekaligus
membuat mereka yang sembilan orang tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi itu
terpelanting ke kanan kiri.
Keng Hong
kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang
itu. Jantungnya berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak,
hatinya diliputi kengerian. Tentu bukan manusia yang muncul ini, melainkan tiga
iblis penghuni hutan.
Belum pernah
Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian
mengerikan. Orang pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut
gimbal yang kasar serta riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri
merah seperti udang direbus, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang
besar-besar dan panjang-panjang sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan
selalu menyeringai.
Pakaiannya
dari sutera hitam berkembang merah dengan potongan ketat hingga melekat di
kulit tubuhnya, mencetak tubuhnya bagaikan telanjang bulat sehingga tampak
betapa sepasang buah dadanya besar-besar seperti buah semangka. Nenek ini tidak
memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari tangannya panjang-panjang dan
meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam kemerahan, amat mengerikan!
Orang ke dua
adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih delapan
puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, tentu sedikitnya ada dua
meter, besar dan kulitnya hitam arang penuh bulu. Apa bila tidak pakai pakaian
dia tentu lebih patut disebut orang hutan.
Pakaiannya
juga dari sutera berwarna berkembang. Oleh karena kulit mukanya juga hitam
seperti arang, maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan. Kedua
telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang mengerikan adalah sepasang
tengkorak kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung pada kedua rantai
baja, dua buah tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi
karena kedua tengkorak itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya.
Ada pun
orang ke tiga, sungguh pun tidak tinggi besar menyeramkan, akan tetapi cukup
mengerikan karena bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, namun
kepalanya besar sekali dan berbentuk lonjong seperti buah labu. Mukanya sempit
dengan sepasang mata yang hanya merupakan dua buah garis kecil, sikapnya
pendiam dan alim. Tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang
gagangnya hitam namun bulu kebutannya putih. Kedua lengannya bersedakap dan
bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang membaca doa!
Yang
tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi
besar masih tertawa sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di
pinggangnya turut bergerak-gerak dan saling beradu menimbulkan suara
seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula tertawa.
Sembilan
orang tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, sesudah dapat
memandang tiga orang ini, tampak terkejut sekali, tercengang dan gentar. Tiga
orang manusia iblis ini memang jarang muncul di dunia ramai, namun sebagai
tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan tentu saja mereka mengenal siapa adanya tiga
datuk persilatan, raja-raja dari golongan sesat ini.
Nenek itu
bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah) yang seolah-olah
merajai kaum sesat pada sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar
berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu adalah Pak-san Kwi-ong
(Raja Setan Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar di
utara, bahkan terkenal sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan
lain-lain. Orang ketiga yang kate dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan
nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa Lengan Delapan), karena Pat-jiu
Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada tokoh yang sanggup
menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang pada
masa itu merupakan tokoh-tokoh yang tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai
empat penjuru.
"Ha-ha-ha!"
Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan pandang
matanya. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri,
sungguh menyeramkan. "Ternyata sembilan tikus ini pun kepingin mendapatkan
Siang-bhok-kiam! Ha-ha-ha! Memang benar sekali, sebelum berhak mendapatkan
pedang pusaka, harus menjadi pemenang terlebih dulu. Kalian ini tikus-tikus
pelbagai golongan, setelah melihat kami bertiga datang, tidak lekas
menggelinding pergi, apakah ingin kami turun tangan dan menjadikan kalian
sebagai setan-setan tanpa kepala?"
"Kwi-ong,
usir saja anjing-anjing itu. Apa bila dibunuh, tentu kelak teman-temannya akan
menggonggong, akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil
menyeringai.
Sembilan
orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Meski pun pada
saat itu mereka saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, akan
tetapi mereka tetap merasa diri mereka bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh
yang menjadi datuk kaum sesat, tentu saja mereka merasa bertemu dengan lawan
sehingga otomatis mereka melupakan pertentangan sendiri, di dalam hati sudah
bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka tahu memiliki kesaktian hebat
itu. Namun sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka tidak menjadi
gentar.
"Bagus!
kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara
Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di
antara kami berhak memiliki Siang-bhok-kiam, akan tetapi kalian ini iblis-iblis
berwajah manusia tidak masuk hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami semua
pendekar golongan bersih untuk membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian
bertiga!"
Terdengar
suara ketawa terkekeh melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo telah menerjang maju
menyerang Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah
berusia delapan puluh tahun, sudah banyak pengalamannya bertanding dan pada
masa itu sukar dicari tandingannya dalam permainan golok, menjadi kaget bukan
main karena nenek itu menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa,
yaitu....rambutnya!
Rambut yang
gimbal kasar panjang ini bagai ratusan ekor ular serentak menerjangnya,
mengeluarkan suara seperti anak panah menyambar dan didahului bau amis seperti
ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar goloknya untuk menjaga diri, namun
sebagian dari pada rambut itu menggulung goloknya dan sebagian lagi terus
menyambar ke arah lehernya!
Pada saat
itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai
yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan.
Thian Ti
Hwesio menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian
Kek Hwesio menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa
Sin-to Gi-hiap! Sambil terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya
dan melangkah mundur kemudian ia mengulurkan kedua lengan, lengan kiri
menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir saja terlepas dari pegangan Thian Ti
Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan dada.
Kini sepuluh
buah kuku jari tangan nenek itu telah berubah makin menghitam dan jari-jari
tangan itu bergerak-gerak aneh, sangat mengerikan. Betapa pun juga, dua orang
tokoh Siauw-lim-pai bersama Sin-to Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap
mengurungnya.
Pendekar-pendekar
tua yang lain tidak tinggal diam. Walau pun tidak ada yang memimpin dan tidak
ada komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toanio bersama dua orang
tokoh Hoa-san-pai telah maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio lantas
menggerak-gerakkan pecut berekor sembilan yang mengeluarkan bunyi
ledakan-ledakan kecil, sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah
menyatukan pedang mereka.
Sedangkan
sepasang suami isteri piauwsu, yakni Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya,
bersama Kok Cin Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong
yang tampak tenang-tenang saja. Si kate kepala besar ini hanya
mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya seperti orang mengusir lalat, namun
hudtim yang hanya dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu mengeluarkan suara
bersiutan seakan-akan datang angin topan yang dahsyat! Suara ini diimbangi oleh
suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya ada sepasang tengkoraknya,
yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong.
Keng Hong
menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat
mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan bayangannya
lenyap terganti oleh sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi
ketiga orang manusia iblis yang mengerikan. Meski pun mereka itu belum saling
serang, akan tetapi keadaan sudah amat menegangkan.
Ketika Keng
Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia melihat betapa
Sin-jiu Kiam-ong masih duduk diam tidak bergerak, namun senyum mengejek di
bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua mata yang tadinya dipejamkan kini
terbuka. Keng Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu
mengeluarkan sinar yang berkilat!
Akan tetapi
perhatian Keng Hong segera tertarik dengan pertandingan yang telah dimulai.
Begitu dia mengalihkan pandangan matanya, dia menjadi pening. Pertandingan
sekali ini ternyata lebih hebat dan cepat dari pada tadi. Bayangan-bayangan
manusia berkelebat, sukar dia mengenali bayangan siapa, berkelebatan cepat di
antara sinar-sinar terang dan gulungan-gulungan uap hitam, kemudian terdengar
pula bermacam-macam suara yang menusuk-nusuk telinga, selain itu tercium bau
yang amis dan keras memuakkan.
Namun
pertandingan itu berjalan sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo
diseling gelak tawa Pak-san Kwi-ong, disusul oleh suara senjata-senjata patah
dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu terpelanting lagi ke kanan kiri, akan
tetapi sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah.
Pada saat
sinar-sinar itu mulai lenyap, Keng Hong melihat betapa sembilan orang itu ada
yang terbanting roboh, ada yang terhuyung-huyung ke belakang. Mereka ini
menyeringai kesakitan dan bangkit bangun lagi dengan wajah pucat.
Pecut
sembilan ekor di tangan Kiu-bwe Toanio kini ekornya tinggal lima, Liong-cu-pang
di tangan Thian Ti Hwesio semplak pada bagian ujung yang bulat, jubah di tangan
Thian Kek Hwesio robek, pundak Sin-to Gi-hiap berdarah.
Napas kedua
Hoa-san Siang-sin-kiam terengah-engah, sedangkan tangan mereka yang memegang
pedang menggigil. Juga Kok Cin Cu berdiri sambil memejamkan mata dan mengatur
pernapasan untuk memulihkan tenaga sambil mengobati luka di sebelah dalam
tubuhnya. Kedua suami-isteri piauwsu itu pun memandang pedang mereka yang
tinggal sepotong, adapun kantong-kantong senjata rahasia mereka sudah kosong
karena isinya hanya habis dihamburkan dengan sia-sia.
"Hi-hi-hik-hik!
Kalian berani menentang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tanpa Tanding)?" kata
Ang-bin Kwi-bo.
"Kelancangan
kalian harus ditebus dengan nyawa!" kata Pak-san Kwi-ong sambil tertawa.
"Bersembahyanglah
lebih dahulu sebelum menemui Giam-lo-ong (Raja Maut)!" Kini untuk pertama
kalinya terdengar suara Pat-jiu Sian-ong dan ternyata suaranya halus dan
seperti suara orang yang penuh kasih sayang!
Sembilan
orang itu sudah bersiap-siap. Mereka itu semuanya sudah menderita luka, dan
yang tak terluka telah mengorbankan senjatanya yang menjadi rusak. Akan tetapi
karena maklum bahwa nyawa mereka terancam maut, mereka siap-siaga untuk melawan
sampai detik terakhir.
Meski pun
tidak tahu akan ilmu silat, apa lagi ilmu silat tinggi yang dimainkan mereka,
dari percakapan itu Keng Hong maklum pula bahwa ketiga orang manusia iblis itu
siap untuk membunuh sembilan orang tokoh pendekar itu, maka dia membelalakkan
matanya sambil memandang dengan penuh ketegangan. Suling bambu di tangannya dia
pegang erat-erat, seolah-olah dia pun bersiap-siap menerima terjangan maut.
Setelah
tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Gerakan mereka
berbarengan, masing-masing mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut pada
kepala Ang-bin Kwi-bo menyambar ke depan, berlomba cepat dengan rantai
tengkorak serta hudtim pada tangan kedua orang kawannya.
Sembilan
orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka tak berdaya
menghadapi kehebatan ketiga orang lawan ini, apa lagi sekarang setelah mereka
terluka dan lemah. Betapa pun juga mereka terluka dan lemah, mereka tetap saja
menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri.
Tiba-tiba
saja terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat
sinar hijau yang panjang dan tebal, kemudian disusul bunyi nyaring.
"Cring-cring-tranggg...!"
Tiga orang
manusia iblis itu cepat mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget.
Tangkisan cahaya hijau tadi membuat sebagian rambut di kepala Ang-bin Kwi-bo
rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-ong berputaran, ada pun kebutan hudtim di
tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai!
Peristiwa
ini bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak
pernah mereka mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur
mereka. Karena kaget dan heran, mereka mencelat mundur dan kini mereka
memandang dengan mata terbelalak penuh dengan kemarahan.
Kiranya di
hadapan mereka sudah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-senyum dan pedang
Siang-bhok-kiam yang diperebutkan itu sudah berada di tangan kanannya. Kakek
ini tenang-tenang saja menoleh ke belakang dan berkata kepada sembilan orang
tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak kagum.
"Harap
Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biar aku yang menghadapi mereka
karena tiga iblis ini adalah tandinganku!"
Meski
berwatak angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan
orang-orang yang mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka
lalu melangkah mundur dan hanya menonton dari pinggiran.
"Sin-jiu
Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya
ke arah muka kakek tua renta itu. "Kabarnya engkau sudah mengundurkan diri
dan tidak mau mencampuri urusan dunia ramai. Bahkan tadi kami mendengar bahwa
engkau telah menyerahkan nyawa, tak akan melakukan perlawanan. Kenapa sekarang
engkau hendak menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan
hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali ucapannya
yang gemanya pun masih terdengar?"
Sin-jiu
Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab, "Hemm, kalian Bu-tek Sam-kwi
dengarlah baik-baik! Aku sama sekali tak pernah berjanji kepada kalian bertiga!
Aku berjanji kepada sembilan orang yang mewakili partai-partai yang dahulu
pernah kuganggu. Aku berhutang kepada mereka, karena itu sekarang aku bersedia
membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini sama harganya dengan
nyawaku, maka kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh Siang-bhok-kiam,
harus lebih dulu dapat merampas nyawaku!"
"Bagus!
Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka
bicara denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan
sekali-kali mengira bahwa kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo
marah.
"Heh-heh-heh,
Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki
kesukaan yang sama dengan aku, yaitu berenang di dalam lautan asmara. Akan
tetapi sekarang, heh-heh-heh, engkau buruk sekali......!"
"Gila...!"
Ang-bin Kwi-bo langsung menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku
runcing mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong.
Kakek ini
menggoyang pergelangan tangannya. Sinar hijau lantas berkelebat dan si nenek
memekik keras kemudian cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari
kedudukan menyerang berbalik terancam dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam!
Kedua orang
kawannya tidak tinggal diam. Mereka sudah menerjang maju dan terjadilah
pertempuran yang lebih dahsyat lagi dari pada tadi. Sembilan orang sakti yang
menonton, hampir berbarengan mengeluarkan seruan-seruan kagum.
Mereka adalah
orang-orang sakti, karena itu dengan pandang mata yang terlatih mereka dapat
menikmati dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-benar
belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri
setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga orang iblis itu yang
benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.
Bagi Keng
Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi
Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang
kelihatan olehnya hanyalah segulung sinar hijau bagaikan seekor naga
bermain-main di antara mega-mega yang beraneka warna, ada mega hitam, ada yang
putih dan ada yang kemerahan.
Pandang
matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sehingga Keng Hong terpaksa harus
memejamkan matanya. Bila ia membuka matanya, ia menjadi silau dan berkunang
lagi. Terpaksa ia pejamkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan
telinganya. Yang terdengar hanya lengking dan suara bercuitan, dia tidak tahu
bagaimana jalannya pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Jangankan
bagi mata Keng Hong yang belum terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang telah
tinggi tingkat kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama
gerakan Sin-jiu Kiam-ong dan ketiga orang lawannya, terutama sekali gerakan
Raja Dewa Lengan Delapan, semakin cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata
lagi.
Sinar pedang
Siang-bhok-kiam yang hijau itu mendadak menjadi lebar sekali pada waktu
terdengar Sin-jiu Kiam-ong membentak, kemudian nampaklah sinar hijau mencuat ke
tiga jurusan seperti bercabang, disusul pekik kesakitan tiga orang iblis itu.
Tetapi tampak jelas oleh kesembilan orang itu betapa ujung pedang
Siang-bhok-kiam sudah berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya,
pipi kanan Sin-jiu Kiam-ong terkena guratan kuku tangan Ang-bin Kwi-bo dan
punggungnya terkena gebukan salah sebuah tengkorak yang terbang membalik dan
seolah-olah mencium punggung kakek itu.
Sin-jiu
Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat
sampai tiga tombak jauhnya. Mereka kini berdiri saling pandang, tak bergerak.
Tiga orang iblis itu terengah-engah, pandang mata mereka beringas, mulut menyeringai.
Tiga orang
iblis ini diam-diam merasa girang sekali. Sin-jiu Kiam-ong sudah terkena luka
beracun. Racun-racun pada kuku Ang-bin Kwi-bo amat hebatnya, dan racun di
tengkorak Pak-san Kwi-ong juga tak kalah ampuhnya.
Apa bila
mereka bertanding lagi, amatlah sukar mengalahkan kakek itu yang benar-benar
patut berjuluk Raja Pedang oleh karena permainan pedangnya memang hebat di
samping pedang itu sendiri amat ampuh. Akan tetapi kalau mereka mengadu
sinkang, pengerahan tenaga sakti akan membuat racun itu menjalar secara hebat
dan akan membunuh Sin-jiu Kiam-ong! Dada mereka terkena tusukan ujung pedang
Siang-bhok-kiam, namun karena tubuh mereka kebal dan luka itu tidak terlalu
dalam, juga tak mengandung racun, mereka tidak khawatir untuk mengerahkan seluruh
sinkang di tubuh mereka.
"Sin-jiu
Kiam-ong, bersiaplah untuk mampus!" bentak Pak-san Kwi-ong.
Ia telah
menekuk kedua lututnya, berdiri setengah jongkok, kemudian setelah melibatkan
senjata rantai di pinggangnya raksasa hitam ini mendorongkan kedua lengannya
sambil mengerahkan tenaga sinkang. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandalkan
Iweekang yang sudah sempurna, dikendalikan oleh sinkang (hawa sakti) untuk
memukul lawan dari jarak jauh.
Pada waktu
yang bersamaan, Ang-bin Kwi-bo yang tadi memutar-mutar kedua lengannya sehingga
terdengar suara berkerotokan dan kedua lengannya menggigil, kini mendorong
lengan kanan ke depan sedangkan lengan kirinya diangkat lurus ke atas dengan
telapak tangan menghadap ke atas.
Pat-jiu
Sian-ong telah menancapkan hudtim-nya di pinggang, kemudian kedua tangannya
bergerak-gerak mendorong ke depan. Berbeda dengan dua kawannya yang mendorong
sambil mengerahkan sinkang tanpa menggerakkan lengan, kakek kate ini
terus-menerus menggerak-gerakkan kedua lengan dengan telapak tangan menghadap
ke arah Sin-jiu Kiam-ong dan melakukan gerakan-gerakan memukul dengan telapak
tangan.
“Wut-wuut-wuutt…!”
Terdengar bunyi dari kedua telapak tangan itu.
Sin-jiu
Kiam-ong masih tersenyum. Ia maklum bahwa lawan-lawannya hendak mengadu sinkang.
Di samping Kiam-ong (Raja Pedang) dia juga berjulukan Sin-jiu (Tangan Sakti).
Dia maklum bahwa lukanya yang mengandung racun itu merugikannya dalam mengadu
sinkang, namun karena tiga orang lawannya sudah siap menantang, dia sebagai
seorang yang berjuluk Sin-jiu, bagaimana mungkin akan menolak? Penolakan
mengadu sinkang berarti memperlihatkan rasa jeri.
Karena itu
sambil tersenyum dia pun lalu duduk bersila dan begitu tiga orang lawan itu
menggerakkan lengan, dia pun langsung mendorong ke depan dengan kedua
lengannya, menghadapi lawan. Segera terasa olehnya tenaga gabungan lawan
menyerang dirinya. Dia mengerahkan sinkang, disalurkan ke dalam kedua
lengannya, berkumpul pada kedua telapak tangannya dan ketika dia mendorong,
serangkum tenaga dahsyat menerjang ke depan dan menahan angin pukulan tiga
orang lawannya.
Apa bila
sembilan orang tokoh kang-ouw itu memandang dengan hati penuh ketegangan, maka
Keng Hong memandang dengan melongo dan hati penuh keheranan. Apakah yang mereka
lakukan, pikirnya. Sungguh lucu. Mengapa mereka itu diam tidak bergerak seperti
patung dengan lengan diluruskan ke arah lawan dan hanya kakek kate itu saja
yang terus menggerak-gerakkan kedua lengan, mendorong-dorong angin kosong?
Apakah mereka itu sedang bermain-main? Ataukah mereka sudah sedemikian tuanya
sehingga menjadi pikun atau kehabisan tenaga setelah pertandingan yang serba
cepat tadi?
“Trik-trik-trik…!”
Tiba-tiba terdengar suara terus-menerus, makin lama makin nyaring.
Kiranya
suara itu keluar dari kuku-kuku jari tangan Ang-bin Kwi-bo yang sengaja sambil
mendorong menyentil-nyentil antara kuku-kukunya sendiri sehingga mengeluarkan
bunyi seperti itu.
Beberapa
detik kemudian suara itu disusul oleh suara menggereng keras yang keluar dari
kerongkongan mulut Pat-san Kwi-ong yang terbuka. Suara gerengan yang rendah,
tetapi tiada hentinya, sambung-menyambung dan mengandung getaran hebat.
Segera dua
suara ini disusul pula dengan suara duk-creng-duk-creng seperti tambur dan gembreng.
Kiranya suara ini keluar dari sebuah tambur kecil yang pinggirannya dipasangi
kelenengan. Pat-jiu Sian-ong memegang tambur ini dengan tangan kirinya sedang
tangan kanan masih terus didorong-dorongkan ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Oleh
kakek pendek ini tambur itu dipukul-pukulkan pada paha dan lututnya, sekali
dipukulkan pada kulit tambur kemudian pada tepi lingkaran sehingga menimbulkan
suara duk-creng-duk-creng nyaring sekali.
Sembilan
orang itu mendadak duduk bersila dan memejamkan mata. Keng-Hong menjadi heran
sekali dan lebih kagetlah dia ketika tiba-tiba kedua kakinya gemetar dan dia
pun jatuh terduduk. Jantungnya berdebar aneh dan telinganya seperti
ditusuk-tusuk rasanya.
Ia melihat
betapa Sin-jiu Kiam-ong menjadi pucat wajahnya, tubuhnya menggigil, dahinya
penuh keringat dan tubuh kakek yang bersila itu pun mulai gemetar, kedua lengan
yang dilonjorkan ke depan bergoyang-goyang! Dia tidak mengerti dan sama sekali
tidak tahu bahwa suara-suara yang dikeluarkan oleh ketiga orang manusia iblis
itu merupakan suara mukjijat yang mengandung tenaga getaran amat hebat dan
dapat melumpuhkan bahkan membinasakan lawan!
Untung bahwa
Keng Hong belum pernah mempelajari Iweekang, karena kalau dia sudah
mempelajarinya dan mengerti akan pengaruh suara ini, tentu dia pun telah roboh
binasa. Memang suara-suara mukjijat tidaklah begitu hebat pengaruhnya terhadap
mereka yang tidak mengerti sama sekali, hanya menimbulkan suara tidak enak yang
menusuk-nusuk telinga, dan getaran itu hanya membuat kaki menggigil dan lemas.
"Dasar
manusia-manusia iblis!" Keng Hong menjadi marah karena rasa tidak enak
pada telinganya hampir tak tertahankan olehnya.
Dia teringat
akan sulingnya, maka dengan gemas dan marah dia lalu meniup sulingnya.
Suara-suara itu begitu bising dan amat tidak enak didengar, pikirnya. Maka
lebih baik aku memperdengarkan suara suling yang merdu untuk mengusir suara
tidak enak! Pendapat secara ngawur ini segera dilaksanakan dan tak lama
kemudian, suara-suara bising tidak enak itu sudah bercampur dengan suara tiupan
sulingnya.
Bocah ini
memang seorang ahli meniup suling yang berbakat. Tapi karena tidak ada yang
membimbing, maka dia merupakan peniup murid alam! Dia dapat menirukan
suara-suara yang didengarnya. Kalau hatinya senang, tiupannya mengandung suara
yang gembira ria dan tentu terasa oleh siapa pun juga yang mendengarnya. Kalau
dia berduka atau marah, suara sulingnya tentu membawa getaran perasaannya ini
tanpa disadarinya.
Sekarang ia
sedang marah, maka suara sulingnya juga penuh kemarahan, bergelora dan membubung
tinggi, melengking-lengking bagai bocah rewel menangis. Akan tetapi akibat
terpengaruh oleh bunyi-bunyi lain, kepandaiannya yang timbul dari bakatnya
membuat dia meniru suara-suara itu sehingga terdengarlah suara suling yang amat
aneh.
Kadang-kadang
meniru suara berkeritik kuku-kuku Ang-bin Kui-bo, kadang-kadang seperti
menggerengnya tenggorokan Pak-san Kwi-ong dan sering kali mengarah suara tambur
di tangan Pat-jiu Sian-ong! Hiruk-pikuk tak karuan, akan tetapi justru
kekacauan inilah yang mengacau pula daya tekan dan daya serang rangkaian tiga
suara yang dikeluarkan oleh Bu-tek Sam-kwi!
Setelah
meniup sulingnya untuk menyatakan kemarahannya terhadap suara-suara bising yang
tak sedap didengar itu, Keng Hong merasa kekuatannya pulih kembali. Ia kemudian
mengangkat muka memandang dan melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila
itu kini tidak lagi menggigil sungguh pun wajahnya masih pucat.
Sepasang
mata kakek itu ditujukan kepadanya, hanya sekilas pandang, akan tetapi Keng
Hong dapat merasa betapa pandang mata kepadanya itu penuh kagum, rasa syukur
dan gembira! Hal ini menimbulkan kegembiraan di dalam hatinya.
Keng Hong
bukan seorang anak bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia sangat cerdik dan biar
pun dia tidak mengerti mengapa demikian, namun dia dapat menduga bahwa suara
sulingnya tadi sudah membantu kakek ini! Kegembiraannya membuat dia bertekad
untuk mengacau terus suara-suara bising yang keluar dari tiga orang manusia
iblis itu.
Setelah
meniup sulingnya makin keras dan makin kacau, tiba-tiba ia menghentikan tiupan
sulingnya untuk diganti dengan suara nyanyian yang nyaring. Bocah ini memang
memiliki suara yang nyaring dan cukup merdu. Akan tetapi karena dia ingin
mangejek orang-orang yang mengganggu kakek tua itu, dia teringat akan bunyi
ujar-ujar dalam kitab-kitab kuno yang dibacanya, yang kini dia lupa lagi entah
dari kitab mana. Kemudian dia menyanyikan ujar-ujar itu dengan lagu yang
dikarangnya sendiri sejadi-jadinya:
Mengerti akan
orang lain adalah bijaksana pikirannya,
mengerti
akan diri pribadi adalah waspada batinnya!
Menaklukkan
orang lain adalah perkasa tubuhnya,
menaklukkan
diri pribadi adalah kokoh kuat batinnya!
Merasa puas
dengan keadaannya berarti kaya raya,
memaksakan
kehendak kepada orang lain berarti nekat!
Tahan tanpa
derita berarti terus berlangsung,
mati tapi
tidak musnah berarti panjang usia!
Karena
banyak membaca kitab-kitab kuno tanpa mengerti betul maknanya, bocah ini lupa
bahwa yang tadi dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab To-tik-kheng yang
menjadi pegangan penganut Agama To, dan tidak tahu bahwa ujar-ujar itu
mengandung makna yang amat dalam. Akan tetapi sebagian dari pada kata-kata itu
kena betul dan mengejek mereka semua yang berada di sana, tidak hanya tiga
orang manusia iblis, bahkan juga sembilan orang sakti yang kini sudah tidak
lagi terpengaruh suara-suara tiga iblis yang dikacau oleh Keng Hong dan yang
mendengarkan dengan mata terbelalak.
Mereka ini,
sembilan orang gagah tokoh kang-ouw, mengerti bahwa jiwa Sin-jiu Kiam-ong sudah
tertolong. Tadinya, setelah tiga orang iblis itu menambah serangan mereka
dengan suara-suara menekan, kakek itu telah terdesak amat hebat dan
sewaktu-waktu pasti akan roboh binasa. Kini, karena suara itu diganggu, Sin-jiu
Kiam-ong kembali dapat menekan mereka tiga orang lawannya.
Tiga orang
iblis itu marah sekali. Mereka menghentikan suara mereka dan sambil berseru
marah mereka itu lantas meloncat ke depan, menubruk Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini
dalam keadaan masih bersila mengeluarkan seruan panjang pula. Tubuhnya mencelat
ke atas menyambut terjangan ke tiga orang lawan.
Pertemuan
hebat terjadi di udara dan terdengar suara nyaring bertemunya senjata yang
disusul dengan jeritan kesakitan tiga orang manusia iblis itu yang terpelanting
ke kanan kiri. Kakek itu pun melayang turun lagi dan berdiri tegak dengan
pedang Siang-bhok-kiam di tangan.
Tiga orang
manusia iblis itu pucat wajahnya, kulit leher mereka bertiga lecet dan terluka
oleh guratan Siang-bhok-kiam. Setelah memandang sejenak, mereka cepat
membalikkan tubuh dan dengan hanya beberapa kali loncatan saja ketiganya sudah
lenyap dari tempat itu. Kiranya mereka kini menjadi jeri karena maklum bahwa
mereka bertiga tidak akan dapat menenangkan Sin-jiu Kiam-ong sungguh pun
selisihnya hanya sedikit saja. Mereka menyesal mengapa tidak mengundang Lam-hai
Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan) yang menjadi orang keempat dari Bu-tek
Su-kwi!
Setelah tiga
orang manusia iblis itu lenyap dari tempat itu, Sin-jiu Kiam-ong menarik nafas panjang
dan tiba-tiba dia terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan gerakan lemah kakek ini
lalu bangkit dan duduk bersila, wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan
tiba-tiba dari mulutnya menetes-netes darah segar!
Melihat
keadaan kakek ini, sembilan orang tokoh sakti itu maklum bahwa Sin-jiu Kiam-ong
sudah terluka parah dan mereka melihat kesempatan yang sangat baik untuk
merampas pedang Siang-bhok-kiam yang kini masih berada di dalam genggaman
Sin-jiu Kiam-ong. Agaknya mereka sudah dapat menerka isi hati masing-masing,
karena seperti mendapat komando, sembilan orang itu lalu bergerak maju
menghampiri Sin-jiu Kiam-ong.
Terdengar
kakek itu tertawa di balik batu, kemudian berkata, "Ha-ha-ha...! Kalian
hendak mengambil Siang-bhok-kiam? Sudah kukatakan, aku tidak akan melawan, apa
lagi dalam keadaan seperti ini... uh-huh... Bu-tek Sam-kwi betul-betul
tangguh... Nah, ambillah siapa yang berjodoh...!" Ia menancapkan pedang
kayu itu di depannya di atas tanah.
Sembilan
orang itu tidak ada yang berani bergerak. Mereka percaya bahwa kakek itu tak
akan melarang kalau mereka mengambil pedang, juga maklum bahwa kakek itu sudah
lemah sekali. Akan tetapi mereka tidak ada yang berani bergerak karena tahu
pula bahwa jika ada yang berani mengambil pedang, tentu akan dihalangi oleh
yang lain! Hal ini yang membuat mereka menjadi ragu-ragu.
"Tahan...!
Tahan...! Kalian orang-orang tua yang tak mengenal malu!" Tiba-tiba
terdengar teriakan marah.
Keng Hong
yang sudah keluar dari tempat sembunyinya itu sekarang menghampiri Sin-jiu
Kiam-ong dan memeluk leher kakek itu dari belakang sambil memandang sembilan
orang itu dengan pandang mata penuh kemarahan.
Sembilan
orang yang mengenal anak ini sebagai bocah yang tadi telah meniup suling dan
mengacau Bu-tek Sam-kwi, memandang heran. Tadi mereka seperti lupa kepada bocah
yang sangat berani itu karena mereka terlalu bernafsu untuk mendapatkan pedang.
Kini baru mereka teringat dan mereka lalu menduga-duga apakah hubungan anak ini
dengan Sin-jiu Kiam-ong.
"Heh,
bocah lancang! Siapakah engkau dan mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio dengan
pandang mata marah.
Akan tetapi
Keng Hong tidak mempedulikan nenek itu, melainkan bertanya kepada Sin-jiu
Kiam-ong, "Kong-kong (kakek), engkau terluka? Ahhh, mereka ini orang-orang
yang tidak mengenal budi!"
Sin-jiu
Kiam-ong membuka matanya dan memandang bocah itu dengan pandang mata penuh
kekaguman dan keharuan. Anehnya, ada dua butir air mata yang menitik turun dari
kedua mata kakek itu!
Sin-jiu
Kiam-ong terkenal sebagai seorang petualang di dunia persilatan dan selalu
hidup gembira, tak pernah berduka apa lagi sampai menangis! Bahkan ratusan kali
menghadapi ancaman maut sekali pun belum pernah memperlihatkan kedukaan. Akan tetapi
sekarang dia menitikkan air mata! Sesudah menarik nafas panjang, Sin-jiu
Kiam-ong memejamkan matanya kembali.
Keng Hong
melepaskan rangkulannya pada kakek itu, cepat meloncat ke depan Sin-jiu
Kiam-ong seolah-olah dia hendak melindunginya, lalu berkata kepada sembilan
orang itu, "Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Tidak kenal budi,
berhati kejam! Siapa tidak tahu bahwa kalau tidak ada kakek ini, kalian sudah
mati semua di tangan tiga iblis tadi? Kakek ini yang tadi menolong kalian
mengusir tiga iblis dan mengorbankan dirinya hingga terluka, namun kini kalian
tanpa malu-malu hendak membunuhnya! Sungguh pengecut, curang dan kalian ini
lebih jahat dari pada si tiga iblis! Mereka itu sudah terang adalah orang-orang
jahat dan menggunakan nama iblis, tetapi mereka sedikitnya lebih jujur dari
pada kalian. Sebaliknya kalian, yang tadi kudengar menggunakan nama sebagai
golongan bersih, sebagai pendekar-pendekar perkasa, namun kenyataannya kalian
ini orang-orang munafik yang hanya pada lahirnya saja bersih namun di sebelah
dalam lebih busuk dari pada yang busuk! Aku Cia Keng Hong walau pun tidak ada
hubungan dengan kakek ini, akan tetapi sebagai manusia aku tidak rela
menyaksikan kejahatan yang melewati batas. Kalau kalian hendak membunuh
penolong kalian yang terluka parah ini, jangan kepalang tanggung melakukan
kekejaman, bunuhlah aku terlebih dahulu!"
Wajah
kesembilan orang itu menjadi merah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut anak
kecil ini sangat tajam dan runcing melebihi pedang yang langsung menghujam ke
ulu hati mereka. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi jauh lebih besar. Apa
artinya makian seorang anak kecil penggembala kerbau? Tadi pada saat memasuki
hutan, mereka telah melihat Keng Hong menyuling di atas kerbaunya.
Di balik
perbuatan mereka terhadap Sin-jiu Kiam-ong yang kelihatan kejam, tersembunyi
persoalan-persoalan dendam yang besar dan kiranya tidak perlu diperdebatkan
dengan seorang bocah! Tidak mungkin kalau hanya karena maki-makian bocah ini
mereka harus membatalkan niat yang sudah dikandung di hati, dibela dengan
perjalanan jauh, bahkan yang hampir saja membuat mereka binasa di tangan Bu-tek
Sam-kwi.
"Bocah
bermulut lancang, kau tahu apa? Hayo minggat dari sini!" Hek-how Tan Kai
Sek piauwsu tua itu melangkah maju hendak menyeret dan mendorong pergi Keng
Hong.
Akan tetapi
tiba-tiba dia terhuyung mundur akibat ada tenaga hebat yang mendorongnya.
Kiranya Sin-jiu Kiam-ong kini sudah bangkit dan berdiri di dekat Keng Hong.
Wajah kakek ini masih pucat, akan tetapi sinar matanya berseri-seri dan
mulutnya yang masih merah karena darah tersenyum.
"Tiada
seorang pun yang boleh mengganggu Cia Keng Hong! Dia ini muridku, dan dialah
ahli warisku. Perkenalkan, hei, para pendekar! Pandanglah baik-baik. Inilah dia
muridku, orang yang akan mewarisi semua milikku termasuk pedang
Siang-bhok-kiam. Ha-ha-ha!"
Sembilan
orang itu tercengang! Mereka bersusah payah mengandalkan dendam mereka untuk
berusaha mendapatkan pedang pusaka serta warisan kitab-kitab dan ilmu si raja
pedang, tetapi kini begitu saja si raja pedang mengangkat murid dan hendak
mewariskan Siang-bhok-kiam kepada seorang bocah penggembala kerbau!
"Omitohud!
Kehendak Tuhan terjadi penuh mukjijat!" Thian Ti Hwesio mengeluh panjang.
"Sin-jiu
Kiam-ong! Engkau melanggar janji...!" bentak Sin-to Gi-hiap.
Sin-jiu
Kiam-ong tertawa. "Siapa melanggar janji? Bukankah kukatakan bahwa aku
tidak akan melawan kalau kalian hendak membunuhku di sini? Bukankah aku pun
tidak pernah melawan kalian tadi dan tidak menghalangi bila mana kalian hendak
merampas pedang Siang-bhok-kiam? Bukankah kukatakan sebulan yang lalu bahwa
yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam ialah orang yang berjodoh dengannya? Nah,
ternyata bocah inilah yang berjodoh dengan aku dan dengan pedang ini. Dan
ketahuilah, sesudah aku mengangkat murid, tentu saja aku tidak mau mati
sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi untuk mendidiknya, sesuai dengan
tugas kewajiban seorang guru! Pergilah kalian, pergilah...!"
Sembilan
orang itu ragu-ragu dan mereka kecewa serta menyesal sekali. Biar pun Sin-jiu
Kiam-ong sudah terluka, akan tetapi ilmu kepandaiannya yang hebat amat sukar
dilawan. Selain itu, mereka sendiri pun sudah terluka dan kehilangan senjata.
Mereka ini
adalah orang-orang cerdik. Mereka tahu bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah amat tua,
apa lagi menderita luka hebat. Kiranya takkan lama lagi usianya. Dan bocah itu
jelas belum mengenal ilmu silat sama sekali. Digembleng bagaimana hebat pun,
hanya dalam beberapa tahun apa artinya? Akhirnya mereka tentu akan dapat
merampas pedang dan kitab-kitab itu, bukan dari tangan Sin-jiu Kiam-ong,
melainkan dari tangan ahli warisnya ini!
Pada saat
itu, bersilir angin halus dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang tosu yang
berwajah gagah penuh wibawa. Dia ini bukan lain adalah Kiang Tojin, tokoh
Kun-lun-pai yang berilmu tinggi itu.
Ketika semua
orang yang memandang, ternyata bukan hanya Kiang Tojin yang datang, melainkan
banyak sekali tosu-tosu Kun-lun-pai, sedikitnya ada tiga puluh orang, semua
memegang pedang seperti Kiang Tojin. Gerakan mereka begitu rapi, tangkas dan
ringan sehingga tahu-tahu tempat itu telah dikepung!
Sejenak
Kiang Tojin memandang pada Keng Hong dengan heran, kemudian dia menjura penuh
hormat kepada Sian-jiu Kiam-ong dan berkata, "Mohon maaf kepada
Sie-taihiap (pendekar besar she Sie) bila mana pinto dan saudara-saudara
mengganggu. Kehadiran banyak sahabat kang-ouw di Kun-lun-san masih dapat kami
biarkan mengingat bahwa mereka itu adalah tamu-tamu Taihiap, Hanya kehadiran tiga
Bu-tek Sam-kwi benar-benar tak dapat kami biarkan begitu saja. Tokoh-tokoh
datuk hitam macam mereka tidak berhak mengotori bumi Kun-lun! Harap Taihiap
maklum dan maafkan pinto yang datang karena memenuhi perintah suhu."
Sin-jiu
Kiam-ong tertawa, dan menarik napas panjang. "Thian Seng Cinjin bersikap
amat sabar, sungguh patut dipuji." Kemudian dia menoleh ke arah sembilan
orang tokoh yang mengganggunya dan berkata, "Apa bila kalian sembilan
orang masih tidak hendak lekas pergi, aku tidak akan menganggap kalian sebagai
tamu lagi dan terserah kepada pihak Kun-lun-pai akan menganggap kalian
bagaimana."
Kiang Tojin
memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan lalu ia
berkata, suaranya penuh wibawa dan kereng. "Di antara cu-wi (tuan sekalian)
terdapat tokoh-tokoh partai persilatan besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan
tuan rumah. Cu-wi datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini berarti
pelanggaran kedaulatan dan tidak memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak
dapat dikatakan keterlaluan kalau terpaksa mengusir cu-wi."
Sikap Kiang
Tojin amat kereng dan sembilan orang itu sudah cukup mengenal siapa tosu ini,
maklum bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya sangat tinggi, juga
saudara-saudara Kiang Tojin yang berjumlah tiga puluh orang dan telah mengurung
tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin sanggup dilawan oleh mereka yang
sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua
Kun-lun-pai sendiri yang datang!
Maka setelah
menjura dan menggumamkan kata-kata maaf, mereka segera membalikkan tubuh dan
pergi meninggalkan tempat itu. Karena mereka merupakan orang-orang pandai, maka
gerakan-gerakan mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat itu
menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak lagi.
Kiang Tojin
sudah menyimpan kembali pedangnya, ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap
berdiri menjauh karena mereka itu semuanya merupakan tokoh-tokoh yang sangat
menghormati si raja pedang yang pernah melepas budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu
terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai diserbu oleh kaum sesat yang
dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga
Kun-lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.
Semua tokoh
Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, telah terdesak dan hanya setelah
Sin-jiu Kiam-ong yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini kemudian
datang membantu, maka pihak musuh dapat dihalau dan si datuk sesat tewas di
tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu dianggap sebagai
penolong dan diperbolehkan menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya
dianggap keramat oleh golongan Kun-lun-pai karena dahulu menjadi tempat bertapa
sucouw mereka.
"Kiang-toyu,
harap sampaikan kepada Thian Seng Cinjin guru kalian, bahwa aku meminta
perkenannya untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun
lagi, atau lebih jelasnya sampai matiku karena aku ingin menggunakan sisa
usiaku untuk menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong meraba kepala
Keng Hong yang semenjak tadi sudah berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan
saudara-saudaranya muncul.
Kiang Tojin
dan saudara-saudaranya tercengang hingga terdengar seruan-seruan kaget dan
heran.
"Siancai...,
sungguh luar biasa sekali nasib anak ini....! Akan tetapi, Taihiap, menyesal
bahwa hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh karena... karena anak ini
adalah orang Kun-lun-pai...!"
Sin-jiu
Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama
hidupnya dia selalu membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan
orang lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai dia merasa sungkan dan dia tahu
benar bahwa jika memang anak ini adalah seorang murid Kun-lun-pai, amat tidak baik
kalau dia memaksa dan mengambilnya sebagai murid, betapa pun sukanya dia
terhadap anak ini. Dia lalu menunduk dan bertanya kepada Keng Hong.
"Hong-ji
(anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?"
Keng Hong
tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara
tiba-tiba dia diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang
luar biasa itu. Namun, perasaan yang aneh sekali membuat hatinya menjadi besar
dan bahagia dan timbul tekad di hatinya bahwa dia harus menjadi murid kakek
ini, harus menjadi seorang pandai agar bisa menghadapi manusia-manusia jahat,
terutama sekali manusia-manusia munafik yang banyak terdapat di jagat ini.
Sekarang mendengar percakapan antara tosu penolongnya dan Sin-jiu Kiam-ong, dia
pun cepat berkata,
"Bukan,
aku bukan murid Kun-lun-pai! Memang sekarang aku bekerja menjadi kacung di
Kun-lun-pai, akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali
belum pernah mempelajari ilmu silat di Kun-lun-pai!"
"Kiang
Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong
menoleh kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran.
"Maaf,
harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak
mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai, tetapi hanya
mengatakan bahwa dia adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa
anak ini berasal dari sebuah dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh
keluarganya musnah dan secara kebetulan pinto dapat menyelamatkan dia
kemudianmembawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak menjadikannya murid
Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru. Belum lama ini
suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai
harus seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu,
maka hingga kini dia berada di Kun-lun-pai dan selama dua tahun ini bekerja
sebagai pembantu. Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri."
"Hemm,
begitukah? Kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung, tiada
halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Ehhh, Kiang-toyu, apakah
engkau berkeberatan kalau dia kuambil murid?"
"Mana
pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah ini
sendiri. Keng Hong, pinto sudah menyelamatkanmu dari pada bencana. Apakah
sekarang kau begitu tak ingat budi dan hendak meninggalkan pinto? Apakah
benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong
bangkit berdiri. Sesudah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis
dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi
dingin terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat
orang-orang sakti yang budiman. Dia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu
berkata,
"Totiang,
sampai mati pun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang sudah menolong nyawa
saya dan sampai mati pun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi
Totiang itu. Akan tetapi, apakah budi yang dulu Totiang lepas mengandung pamrih
supaya selama hidup saya harus ikut dan menuruti segala kehendak Totiang?
Apakah Totiang hendak merampas kebebasan saya? Totiang, pernah saya membaca
ujar-ujar di dalam kitab kuno bahwa budi disertai pamrih bukanlah pelepasan
budi namanya, akan tetapi pemberian hutang yang harus dibayar kembali beserta
bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya?"
"Ha-ha-ha...!"
Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus kepala anak
itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu,
maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau
hendak bilang apa lagi, Toyu?"
Wajah Kiang
Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sebetulnya tidak
ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi
berusaha memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di
dalam hatinya dia tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid
kakek luar biasa ini. Perasaan ini semata-mata timbul karena rasa sayang kepada
Keng Hong.
Dia mengenal
orang macam apa adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang sejak mudanya hanya
mengandalkan kepandaian malang melintang, seorang petualang yang tak pernah
segan-segan melakukan segala jenis kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas
nafsu. Dia ingin melihat Keng Hong menjadi seorang yang baik dan dia mengerti
bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu akan mewarisi pula
wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata,
"Siancai...
hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya
ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka
menjadi murid Taihiap. Akan tetapi ada satu hal yang hendaknya diketahui baik
oleh Taihiap dan terutama oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid
Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai, maka pada kelak
kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada hubungannya dengan Kun-lun-pai.
Taihiap dipersilakan menempati Kiam-kok-san sebab Taihiap merupakan seorang penolong
Kun-lun-pai, akan tetapi kelak bila mana Taihiap tidak lagi berada di
Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong untuk berada di wilayah
kami. Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan
melimpahkan berkahNya."
Tosu itu
memberi isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian setelah menjura ke arah
Sin-jiu Kiam-ong segera meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan
memberi laporan kepada Thian seng Cinjin.
Sin-jiu
Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong untuk diajak mendaki puncak
Kiam-kok-san sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu,
Hong-ji. Mereka itu adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya
oleh agamanya, kasihan...! Segala aturan yang dibuat oleh manusia merupakan belenggu-belenggu
yang akan mengikat kaki tangannya sendiri. Ehh, namamu memakai huruf Hong, sama
dengan namaku. Memang kita berjodoh... aughhh...!" Kakek itu memegangi
dadanya dan kakinya terhuyung.
"Ehh...
kenapa? Suhu.... Suhu terluka...?"
Wajah yang menyeringai
menahan nyeri itu berseri kembali. "Ahh, tidak seberapa hebat. Tahukah
engkau bahwa pada saat engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa
seolah-olah engkau ini cucuku sendiri? Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun
belum pernah, bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih tepat menjadi muridku.
Hemmm..., akan kuberikan seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja
tak terlambat. Mari kita naik ke Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar
karena waktunya tidak banyak. Aku... setan laknat tiga iblis itu... aku
terluka, kalau hanya racun saja sudah dipunahkan Siang-bhok-kiam, akan
tetapi... ahhh…, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...!
Mudah-mudahan tidak terlambat..."
Keng Hong
tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhu-nya, namun dengan patuh dia lalu
mengikuti suhu-nya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang,
Sin-jiu Kiam-ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan
tetapi dia menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya!
Ketika
mereka memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong
hampir menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil hingga gigi
atas beradu dengan gigi bawah. Namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama
sekali.
Ketika
suhu-nya melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa
kini dia berada di puncak batu pedang, dan bahwa puncak itu tidak meruncing
seperti nampaknya dari bawah. Halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak,
melainkan mengambang di bawahnya.
Puncak itu
sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu cukup lebar
berbentuk segi empat, seolah puncak itu tadinya meruncing kemudian patah.
Lebarnya lebih dari lima puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil,
dan tanah atau batu di situ ditumbuhi rumput dan lumut hijau muda.
Sekeliling
puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian
dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan
putih! Akan tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi
kejang-kejang saking dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya!
Keng Hong
sadar di dekat api unggun. Ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya
bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.
"Duduklah
bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang
panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin,
bahkan agak panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau."
Betapa
mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak
terasa sama sekali olehnya. Apa bila tidak ada telapak tangan gurunya yang
menempel pada punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa
panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan.
Akan tetapi
dia mematuhi perintah suhu-nya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam,
panjang-panjang, sambil menekankan keyakinan bahwa hawa sebetulnya tidak
sedingin yang dianggapnya semula. Memang tadinya agak sukar, akan tetapi
semakin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa memang dia keliru
menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas sampai
mulailah keluar peluh di lehernya!
"Tubuh
kita hanya merupakan alat, muridku. Bila mana batin kita kuat, maka kita akan
dapat menguasai alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita.
Kau harus berlatih seperti ini, memperkuat kemauan hingga seluruh anggota
tubuhmu tunduk dan taat kepadamu. Jika hatimu bilang panas, tubuhmu harus
merasa panas, sebaliknya bila menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa dingin
pula." Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama.
Guru dan
murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih
tekun, si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar
ilmu dan berlatih tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau
malam baginya, baik puncak batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap.
Baginya kini tidak ada bedanya karena dia dapat melihat di dalam gelap saking
hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya.
Ia mengaso
kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak
kuat menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar
dan minum kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa
bulan saja dia sudah dapat turun dari batu pedang dan menggantikan pekerjaan
gurunya untuk mencari bahan makanan.
Sin-jiu
Kiam-ong menggembleng muridnya itu dengan cara-cara yang luar biasa. Segala
pengertian dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan
ginkang dia berikan dan tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya.
Latihan semedhi dan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti)
di dalam tubuh, sambil sedikit demi sedikit ‘memindahkan’ sinkang-nya sendiri
melalui telapak tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.
Luar biasa
sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat
cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya.
Akan tetapi sebaliknya, bila Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan
cepat, adalah Sin-jiu Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat.
Kakek ini
semakin sering terbatuk-batuk, dan kadang kala batuknya mengeluarkan darah.
Kakek ini menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pertandingan melawan
Bu-tek Sam-kwi dahulu dan sekarang karena terlampau rajin dan memaksa tenaga,
dia menjadi berpenyakitan dan lemah.
Namun hal
ini tidak mengurangi semangatnya. Dia terus melatih muridnya secara tekun dan
teliti karena dia merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir di
dalam hidupnya yang tidak berapa lama lagi itu.
***************
Sang waktu
lewat dengan sangat cepatnya. Memang tidak keliru apa bila dikatakan oleh
penyair kuno bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, akan tetapi lambatnya
mengalahkan kelambatan seekor keong berjalan. Bila tidak diperhatikan setahun
terasa seperti sehari, sebaliknya bila diperhatikan dan ditunggu, sehari terasa
setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak tampak dan tak
terasa lagi, seakan-akan berhenti, padahal segala sesuatu terseret kemudian
hanyut dalam perputarannya, dilahap dan ditelan habis, untuk kemudian
dilahirkan dan dilenyapkan lagi.
Tanpa
terasa, apa lagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng
Hong hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia
dua belas tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap,
wajahnya tampan dengan kulit yang segar dan putih kemerahan membayangkan
kesehatan sempurna dan kekuatan mukjijat tersembunyi di dalam tubuhnya.
Pakaiannya model sederhana, hanya kain polos berwarna kuning yang kasar, dibuat
secara kasar pula. Warna kuning adalah warna kesukaannya.
Akan tetapi,
selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si
guru semakin lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan
Sin-jiu Kiam-ong kini melihatnya, tentu akan menjadi kaget. Kakek ini sudah
kelihatan tua sekali, tubuhnya kurus kering dan hanya sepasang matanya saja
yang kadang-kadang tampak berseri penuh semangat, itu pun hanya kalau dia
sedang melatih muridnya.
Pada hari
itu, sinar matahari sudah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu
pedang. Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera
agar bisa menerima sinar matahari pagi yang mengandung daya kekuatan mukjijat untuk
meningkatkan tenaga sinkang di tubuhnya. Seperti biasa pula, gurunya duduk
bersila tak jauh dari tempat dia duduk.
"Keng
Hong....!"
Suara
gurunya merupakan satu-satunya suara yang sanggup menyadarkan Keng Hong setiap
saat, karena selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi
pusat perhatiannya. Dia cepat sadar dari latihannya dan membuka mata, memandang
gurunya. Hati pemuda remaja ini berdebar.
Wajah
gurunya tampak berbeda dari biasanya. Biar pun wajah itu masih membayangkan
seri dan gembira, namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu pada wajah pucat dan
kurus itu yang membuat jantungnya berdebar. Hari ini wajah gurunya bagaikan
matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan cahayanya.
"Suhu
memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?"
Sin-jiu
Kiam-ong tersenyum sambil mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah
ketika dia menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku
sini, aku ingin bicara denganmu."
Keng Hong
menjadi makin heran. Sikap gurunya ini pun tidak seperti biasanya. Tentu ada
sesuatu yang amat penting. Ia cepat-cepat bangkit dan menghampiri suhu-nya,
lalu duduk bersila di depan suhu-nya.
Karena baru
sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya dalam keadaan tidak
sedang berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang dengan penuh
perhatian. Kini nyatalah olehnya betapa suhu-nya amat kurus, tinggal kulit
membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan yang luar biasa saja suhu-nya
dapat bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhu-nya menderita
luka-luka parah di sebelah dalam tubuh, luka yang akan merenggut nyawa setiap
orang dalam waktu beberapa bulan saja. Namun suhu-nya dapat bertahan sampai
lima tahun!
"Keng
Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Teecu
tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi kalau melihat dari banyaknya perubahan
musim, tentu kurang lebih lima tahun."
"Benar,
memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah cukup banyak kau belajar dariku.
Sayang waktunya amat tergesa-gesa hingga terpaksa aku hanya memperbanyak
latihan ginkang dan Iweekang kepadamu. Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam,
kurasa sudah cukup sebagai landasan dan aku tidak khawatir kau akan mudah
terkalahkan oleh orang lain. Akan tetapi ilmu silatmu.... ahh…, tidak ada waktu
bagi kita sehingga hanya dasar-dasarnya saja kau kuasai. Padahal ilmu silat di
dunia ini amatlah banyaknya Keng Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu silat
tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong yang sederhana
dan juga ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal
inilah yang memberatkan hatiku, karena apa bila engkau bertemu dengan orang-orang
sakti seperti sembilan orang tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke
sini, apa lagi bertemu dengan Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding),
kepandaianmu masih belum dapat diandalkan."
Keng Hong
mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa
hubungannya kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu,
yaitu hendak belajar ilmu kepada suhu untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu
dipelajari untuk menjaga diri dari pada serangan dari luar, baik itu serangan
lahir mau pun batin. Teecu tidak ingin mencari musuh!"
"Ha-ha-ha,
muridku, engkau masih hijau dan tidak mengenal watak manusia, juga belum
mengenal watak dan dirimu pribadi. Tidak ada makhluk seserakah manusia. Bila
mana engkau sudah turun ke dunia ramai, akan kau temui semua sepak terjang
manusia yang membabi buta karena dorongan nafsu mereka sendiri. Kau tidak
mencari musuh, namun engkau akan dimusuhi! Dan mau tidak mau engkau akan
terseret dan terlibat ke dalam rantai yang tak kunjung putus, rantai pergulatan
dan permusuhan antara manusia demi untuk memenangkan dan memuaskan hawa nafsu
yang menguasai diri pribadi. Aku pun dahulu menjadi seorang di antara mereka
yang menjadi abdi nafsuku sendiri, Keng Hong. Aku tidak pernah memusuhi orang,
juga tak pernah mengandung maksud hati melakukan kejahatan terhadap diri orang
lain. Akan tetapi, pengejaran ke arah pemuasan nafsuku membuat aku bentrok
dengan lain orang, dan membuat aku dicap sebagai seorang tokoh sesat. Baru
sekarang aku menyesal, namun apa gunanya sesal yang terlambat? Biarlah, akan
kutanggung segala akibat dan hukuman. Dan aku minta kepadamu supaya engkau pun
kelak akan berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu! Jangan menjadi
seorang manusia yang munafik, yang pura-pura alim. Kalau memang bersih,
usahakan supaya bersih luar dalam. Kalau engkau tak kuasa menahan hasrat
melakukan sesuatu, lakukanlah dengan dasar tidak merugikan orang lain dan
berani bertanggung jawab atas segala akibat kelakuanmu itu. Hal ini berarti
melakukan sesuatu dengan mata dan hati terbuka."
"Teecu
mengerti, suhu."
"Nah,
kuulangi lagi. Kepandaianmu masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi lawan
yang tangguh. Akan tetapi tiada waktu lagi bagiku." Ia menghela napas
panjang. "Bu-tek Su-kwi benar-benar hebat. Sampai sekarang masih ada bekas
tangan mereka. Rambut dan kuku Ang-bin Kwi-bo amat berbahaya, juga senjata
tengkorak milik Pak-san Kwi-ong. Hudtim dan ilmu silat tangan kosong Pat-jiu
Kiam-ong sukar dilawan pula. Apa lagi kalau kau bertemu dengan Lam-hai Sin-ni....
wah, sukar dikatakan atau diukur sampai di mana sekarang tingkat kepandaian
wanita iblis itu! Kiranya engkau baru akan dapat menandingi mereka bila engkau
sudah mempelajari semua kitab peninggalanku yang rahasia tempat
persembunyiannya berada di dalam Siang-bhok-kiam ini, muridku."
Keng Hong
memandang ke arah pedang di tangan suhu-nya itu dengan perasaan penuh heran.
Mengertilah dia sekarang mengapa tokoh-tokoh sakti itu memperebutkan pedang
kayu ini, kiranya merupakan kunci pembuka rahasia kitab-kitab pelajaran silat
tinggi yang dahulu telah dikumpulkan oleh suhu-nya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment