Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 09
KENG HONG
sebenarnya adalah seorang pemuda yang baru berusia delapan belas tahun, masih
hijau dan belum ada pengalaman sama sekali mengenai pergaulan dengan wanita.
Akan tetapi, sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, seorang ‘jagoan’
besar, bukan hanya tentang ilmu silat akan tetapi juga mengenai ilmu
menjatuhkan hati wanita, sedikit banyak Keng Hong ketularan penyakit itu.
Sering kali
suhu-nya bercerita tentang petualangan-petualangan cintanya di masa muda,
bahkan memberinya nasehat-nasehat tentang wanita, mengajarkan ‘teknik-teknik’
merayu wanita, sehingga biar pun pada dasarnya Keng Hong tidak berbakat menjadi
seorang pria mata keranjang dan hidung belang, akan tetapi watak suhu-nya
menular dan dia menjadi seorang pemuda yang lebih berani menghadapi wanita dari
pada pemuda-pemuda lain yang sebaya dengannya.
Apa lagi
sesudah dia berjumpa dengan Ang-kiam Tok-sian-li Bhi Cui Im dan remajanya gugur
oleh wanita cabul yang cantik itu, pengalaman hebat ini menambah keberaniannya
menghadapi Ciang Bi. Hanya ada satu hal yang menguntungkan bagi batin Keng
Hong, yaitu bahwa dia amat taat kepada pesan-pesan suhu-nya sehingga betapa pun
terpupuk dan bangkit selera serta nafsunya untuk berdekatan dan bermain cinta
dengan wanita, tetapi seperti suhu-nya, memaksa dan memperkosa wanita merupakan
pantangan mutlak baginya.
Kalau ada
wanita suka kepadanya, dia akan melayaninya. Akan tetapi betapa pun cantik
seorang wanita dan betapa pun tertarik hatinya, kalau wanita itu tidak suka
kepadanya, dia tidak akan menyentuh seujung rambutnya. Ketaatan ini
menguntungkan Keng Hong sendiri dan para wanita, karena andai kata tidak, tentu
dia akan tersesat menjadi seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) atau
tukang pemerkosa wanita yang berbahaya sekali!
Mendengar
jawaban gadis itu, Keng Hong tertawa, merangkul lehernya dan menundukkan muka.
Mereka berciuman dan biar pun keduanya belum berpengalaman dalam bermain cinta,
namun karena didorong hati yang mencinta, mereka berciuman mesra.
"Hong-ko..."
Ciang Bi merintih, tubuhnya menggetar, semua bulu di tubuhnya meremang pada
waktu kedua lengannya merayap seperti ular melingkari leher pemuda perkasa yang
menjatuhkan hatinya itu.
"Bi-moi...
engkau jelita sekali..." Keng Hong juga berbisik di dekat telinga gadis
itu dan kembali mereka berdekapan dan berciuman mesra.
Cinta adalah
perasaan yang dimiliki oleh setiap makhluk di dunia, setiap makhluk yang hidup
wajar sesuai dengan kodrat dan kekuasaan alam. Cinta bukan merupakan sesuatu
yang kotor dan bukan merupakan hal yang tak patut dibicarakan. Sebaliknya dari
pada itu!
Cinta antara
pria dan wanita adalah hal yang amat wajar, merupakan anugrah dari Tuhan,
merupakan dorongan alamiah yang tak dapat dibantah, bahkan tak dapat
dihindarkan dan tak dapat dibuang karena cinta ini pula yang membuat manusia
masih berlangsung ada di dunia ini, berkembang biak dan menciptakan generasi
demi generasi. Karenanya, cinta adalah bersih dan murni, tidak kotor dan
bukanlah sesuatu yang tidak patut dibicarakan, bahkan seharusnya dibicarakan
agar tidak disalah gunakan.
Biar pun
cinta antara lawan kelamin merupakan kodrat dan dimiliki oleh setiap makhluk,
dari yang terkecil sampai yang terbesar, namun karena manusia adalah makhluk
yang berakhlak dan berakal budi, maka tidaklah dapat disamakan dengan makhluk
lain yang dalam hal cinta kasih semata-mata menurut dorongan kodrat belaka.
Cinta antara pria dan wanita diciptakan oleh kodrat dan pembawaan yang sudah
ada pada setiap makhluk, yaitu daya tarik yang ada di antara lawan kelamin.
Tanpa diberi
tahu, tanpa membaca buku, jika masanya sudah tiba sesuai dengan usianya,
seorang pemuda akan tertarik melihat seorang pemudi, dan sebaliknya. Rasa
tertarik ini menimbulkan suka yang disebut cinta, kasih atau asmara. Tidak
berhenti sampai di situ saja. Cinta antara pria dan wanita yang normal diikuti
oleh bangkitnya nafsu birahi yang wajar, diikuti pula oleh hubungan kelamin
yang juga sudah wajar.
Segala macam
makhluk di dunia ini, kecuali manusia, akan melakukan hal ini, yaitu saling
tertarik dan saling mendekati, menurut nafsu birahi melakukan hubungan kelamin.
Adakah seorang pun dapat mengatakan bahwa perkembangan dan perbuatan itu kotor
dan tidak patut? Sama sekali tidak!
Akan tetapi,
sekali lagi ditekankan bahwa manusia bukanlah sembarang makhluk! Tanpa
berunding lebih dulu, manusia seluruh dunia ini sudah membangun dan mendirikan
mercu suar di antara segala makhluk yang disebut peradaban dan melahirkan peri
kemanusiaan! Peri kemanusiaan inilah yang melahirkan hukum-hukum yang dibuat
oleh manusia sendiri, disesuaikan dengan rasa, dengan kebiasaan, dan dengan
kepercayaan golongan masing-masing.
Lalu lahir
pula hukum-hukum susila yang melarang pria dan wanita melakukan hubungan
kelamin di luar pengesahan hukum. Terciptalah istilah-istilah dan sebutan bagi
perbuatan-perbuatan yang melanggar garis yang ditentukan ini, misalnya
perjinahan, perkosaan dan lain-lain. Cintanya itu sendiri, nafsu birahinya itu
sendiri, dan hubungan kelamin itu sendiri tetap bersih dan murni, bukanlah hal
yang tidak patut. Hanya perbuatan melanggar garis hukum itulah yang tidak
patut, karena sudah tahu ada garis tetap dilanggar sehingga tentu saja
menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Keng Hong
adalah seorang pemuda yang kurang pengalaman. Dia bertumbuh menjadi dewasa
dalam asuhan seorang aneh seperti Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi gurunya. Dan
sejak dia masih muda, Sin-jiu Kiam-ong sudah meninggalkan dan tak lagi
mengindahkan gari-garis hukum buatan manusia ini. Dia melakukan apa saja yang
dia anggap benar, biar pun itu melanggar hukum manusia dan sebaliknya dia tidak
akan melakukan hal yang dianggapnya tidak benar, biar pun hal itu dibenarkan
hukum.
Maka
timbulah perbuatan-perbuatannya yang menggemparkan sebab tidak cocok dengan
hukum manusia lain, permainan cinta dengan banyak wanita yang merasa tertarik
dengan ketampanan dan kegagahannya, juga pencurian-pencurian dan
perampasan-perampasan benda-benda pusaka, atau pertolongan-pertolongan tanpa
melihat bulu, dan pertentangan-pertentangan lain yang mengakibatkan dia
dimusuhi orang-orang gagah sedunia!
Watak aneh
Sin-jiu Kiam-ong yang pada hakekatnya seorang pendekar yang sakti dan berjiwa
besar itu hanyalah akibat. Akibat dari kepatahan hati. Di waktu masih muda,
baru berusia dua puluh dua tahun dan baru saja menikah dua tahun dengan seorang
wanita yang cantik jelita, masih belum mempunyai keturunan, pada suatu malam
pendekar muda yang sakti ini, yang baru pulang dari perantauan selama sebulan,
menemukan isterinya yang tercinta itu sedang melakukan hubungan kelamin dengan
seorang pria lain, sahabat baiknya sendiri!
Tadinya
Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong amat marah dan hampir saja dia meloncat masuk dan
serta-merta membunuh isterinya dan sahabatnya itu, yang dalam keadaan seperti
itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka ditonton oleh Sie Cun Hong yang mengintai
di luar jendela kamar. Akan tetapi tiba-tiba pikiran yang aneh menyelinap dalam
benaknya.
Kekecewaan
dan pukulan batin yang amat hebat agaknya telah membuat jalan pikiran Sie Cun
Hong menjadi tidak normal, tidak lumrah seperti manusia biasanya, bahkan
menjadi berlawanan dengan pendapat umum! Pada saat itu timbul pendapat dalam
hatinya bahwa dia tidak perlu marah karena kalau isterinya sampai mau melakukan
hubungan kelamin dengan pria lain, tentu ini didasari hati suka kepada si pria
itu. Kenapa dia akan melarang orang yang mencinta? Kedua orang itu, biar pun
isterinya dan sahabatnya namun tetap orang, saling mencinta dan menumpahkan
rasa cinta mereka dalam hubungan kelamin. Mengapa dia harus marah dan membunuh
mereka?
Sie Cun Hong
tertawa, suara ketawanya meninggi dan melengking sehingga mengejutkan isterinya
dan sahabatnya yang baru saja mengakhiri perbuatan mereka. Isterinya terkejut
setengah mati, begitu pula sahabatnya, sehingga kedua orang ini dengan tubuh
menggigil menjatuhkan diri berlutut di atas lantai sambil memejamkan mata, siap
menanti datangnya maut sebab mereka kenal suara ketawa di luar jendela itu.
Bila pendekar itu turun tangan, mereka berdua tak akan dapat tertolong lagi.
Akan tetapi Sie Cun Hong tidak pernah lagi memasuki kamarnya itu, bahkan tidak
pernah lagi berjumpa dengan bekas isterinya dan bekas sahabatnya itu.
Peristiwa
itulah yang menjadi sebab munculnya seorang pendekar aneh yang kemudian
menggegerkan dunia persilatan. Sie Cun Hong melakukan banyak hal yang bagi
manusia biasa dianggap jahat dan keji, tidak lumrah dan dia dikutuk oleh banyak
tokoh kang-ouw. Bermain cinta dengan wanita mana pun juga, bahkan wanita-wanita
yang sudah menjadi isteri orang lain, kalau dasarnya suka sama suka, dia tidak
segan melakukannya. Banyak sekali wanita yang tergila-gila kepadanya karena
memang pada waktu mudanya Sie Cun Hong merupakan seorang pria yang gagah
perkasa dan tampan.
Sekarang Sie
Cun Hong sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia sudah mewariskan seluruh
miliknya kepada murid tunggalnya, yaitu Cia Keng Hong. Seluruh sinkang-nya dia
berikan, seluruh pusakanya dia tinggalkan untuk muridnya, bahkan sebagian
wataknya juga dia wariskan sehingga kini, dalam usia delapan belas tahun, Keng
Hong telah melayani nafsu birahi Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im, dan sekarang,
untuk kedua kalinya dia bermain cinta dengan seorang gadis Hoa-san-pai yang
mengaguminya dan jatuh hati kepadanya.
Apa bila
gurunya tidak peduli akan hukum susila karena pernah patah hati menyaksikan
isterinya berjinah dengan sahabatnya, adalah Keng Hong melakukan hal itu
semata-mata karena dia menganggap hal itu benar dan wajar saja, sesuai dengan
nasehat-nasehat dari mendiang gurunya! Dia tidak memperkosa, dia juga tidak
memaksa, dia dan Ciang Bi sama-sama mau, cocok sudah dengan pesan suhu-nya,
maka tentu saja hal itu sudah benar dan baik!
Sim Ciang
Bi, gadis remaja yang dikuasai nafsu birahinya sendiri, sudah seperti mabuk dan
buta bahwa dia telah melakukan pelanggaran garis hukum. Lupa bahwa garis hukum
susila itu diadakan oleh manusia semata-mata agar dapat melindungi dan membela
nasib hidup dan kebahagiaan wanita. Lupa bahwa hubungan kelamin di luar
pernikahan, maka si wanitalah yang akan menanggung akibat-akibat pahit getir,
bahkan yang akan dapat menyeretnya ke lembah kesengsaraan, mungkin ke lembah
kehinaan.
Manusia
tidak dapat membebaskan dirinya dari pada hukum-hukum manusia yang sudah
tersusun dan bertumpuk ribuan tahun lamanya. Apa lagi, dalam hubungan kelamin,
alam sendiri sudah menjatuhkan kodrat bahwa si wanitalah yang akan menanggung
akibatnya, yaitu kehamilan.
Setiap gadis
yang bijaksana, yang sadar betapa satu kali saja salah langkah melanggar garis
hukum kesusilaan ini maka bisa mengakibatkan mala petaka sepanjang hidup, akan
selalu pandai mengekang nafsu, pandai menjaga diri tidak terseret oleh
gelombang yang memabukkan, tentu akan menjaga kesusilaan dan kehormatannya yang
dia junjung lebih tinggi dan berharga dari pada nyawa! Kehilangan nyawa hanya
berarti mati. Akan tetapi kehilangan kehormatan sebagai gadis ternoda, berarti
akan hidup terhina oleh manusia-manusia lain yang sudah melekatkan batinnya
pada hukum.
Dua orang
yang tenggelam dalam lautan kasih asmara itu tidak sadar bahwa Sim Lai Sek
menjulurkan kepalanya keluar dari gubuk. Di tengah malam itu, pemuda remaja ini
sudah terbangun dari tidurnya dan menggerakkan tubuh, lantas menjenguk keluar
gubuk. Dapat dibayangkan alangkah terkejut hatinya pada saat dia menyaksikan
keadaan cici-nya dan penolong mereka itu di atas rumput, di dekat api ungun.
Sejenak dia
terbelalak, mukanya berubah merah, akan tetapi dia lalu menarik diri lagi dan
rebah di dalam gubuk, napasnya sedikit terengah dan diam-diam dia menangis,
berdoa semoga cici-nya yang telah tersesat itu akan menjadi isteri yang sah
dari Cia Keng Hong. Mengingat ini lenyaplah kemarahan dan kedukaan hatinya,
terganti rasa girang karena dia memang suka sekali dan amat kagum pada
penolongnya yang demikian gagah perkasa. Kalau dia dapat mempunyai Cihu (kakak
ipar) seperti itu, betapa senangnya dan dia akan memperdalam ilmu silatnya,
belajar dari cihu-nya. Kelegaan hati inilah yang membuat Lai Sek tertidur
kembali, lupa akan perutnya yang lapar.
Lewat tengah
malam, Keng Hong tertidur nyenyak, sedangkan Ciang Bi pulas pula di atas
dadanya. Mereka tidur berdekapan, pipi Ciang Bi terletak di atas dada Keng
Hong, rambut gadis itu terurai lepas menutupi dada, leher dan sebagian muka
Keng Hong. Mereka tidur dengan nikmat, karena badan lelah hati pun bahagia.
Mereka tidak
sadar dan tidak tahu bahwa tak jauh dari tempat itu tampak sepasang mata yang
bening dan jeli memandang ke arah mereka dengan sinar berkilat-kilat. Mulut
yang manis dengan bibir merah itu bergerak-gerak, tampak giginya berderet rapi
putih laksana mutiara. Kemudian, tangan yang halus itu merogoh kantong di dalam
baju, mengambil sesuatu, tangan digerakkan dan sinar putih meluncur ke arah
Ciang Bi yang masih tidur pulas berbantal dada Keng Hong.
Jerit
melengking yang keluar dari mulut Ciang Bi adalah jerit kematian, ada pun
bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, lenyap ditelan kegelapan malam.
Keng Hong tersentak bangun, secara otomatis lengannya memeluk leher Ciang Bi.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangannya menjadi basah oleh darah
yang mengucur keluar dari pelipis itu!
Di bawah
cahaya api unggun yang masih menyala sedikit, dia memandang dan merasa
kerongkongannya tercekik ketika dia melihat sebuah benda bulat berduri menancap
pada pelipis gadis itu. Senjata rahasia Biauw Eng yang tadi sudah menolongnya
merobohkan pengeroyokan para penjahat. Sekarang sebuah di antara senjata
rahasia itu menancap di pelipis kiri Ciang Bi, merenggut nyawa dari tubuh yang
masih hangat itu.
"Biauw
Eng...!" Seruan Keng Hong ini seperti jerit tangis.
Setelah dia
merebahkan tubuh yang masih hangat dan tak bernyawa lagi itu di atas tanah
bertilam rumput yang juga hangat dan rebah semua karena tindihan tubuh mereka
berdua semalam, dia meloncat dan mencari-cari dengan pandang matanya. Namun
keadaan di sekeliling tempat itu sunyi dan agak gelap.
Dia maklum
bahwa akan percuma saja dia mencari Biauw Eng. Maka dia lalu berlutut lagi dan
memeluk tubuh gadis yang semalam sudah menyerahkan segala-galanya kepadanya
dengan penuh kasih sayang, penuh kemesraan dan kehangatan.
"Ciang
Bi... ahh, Bi-moi...!" Keng Hong teringat akan sikap gadis ini semalam dan
dengan hati penuh keharuan dia menundukkan muka, kemudian mencium mulut mayat
itu yang semalam membisikan kata-kata cinta kepadanya.
"Cici...!
Cia-taihiap, ada apakah...?"
Sim Lai Sek
melompat keluar dari gubuk. Sepasang matanya yang masih mengantuk itu belum
dapat melihat jelas, hanya dia tadi terbangun mendengar jerit cici-nya.
Keng Hong
mengangkat mukanya dan dua titik air mata menetes turun. Kini Lai Sek dapat
melihat pelipis cici-nya dan melihat pula darah membasahi leher dan baju,
melihat bahwa tubuh cici-nya telah lemas tak bernyawa.
"Cici...!!"
Ia menubruk, berlutut dan menangis, memanggil-manggil nama cici-nya.
Keng Hong
hanya memandang dengan penuh keharuan, lalu memegang pundak pemuda itu sambil
berkata halus, "Dia... sudah mati..."
Tiba-tiba
Lai Sek meloncat bangun. Tangan Keng Hong yang menyentuh pundaknya itu terasa
olehnya seperti serangan seekor ular berbisa.
"Kau...!
Kau... telah membunuh cici...! Kau... telah berpura-pura menjadi pendekar
berbudi yang menolong kami, merayu cici, memperkosanya... kemudian
membunuhnya...!"
Sim Lai Sek
menerjang maju dengan pukulan tangannya ke arah kepala Keng Hong, akan tetapi
sekali tangkis, tubuhnya terpelanting ke atas tanah. Akan tetapi dia bangkit
kembali dengan kemarahan meluap.
"Sabar
dan tenanglah, siauwte, bukan aku yang membunuhnya. Lihat, pelipisnya terluka
oleh senjata rahasia..."
"Aku
tahu! Senjata rahasia ini adalah senjata rahasia wanita yang menolongmu. Dia
tentu sahabatmu, atau... kekasihmu! Tentu dia melihat engkau merayu dan
memperkosa cici, lalu ia membunuh cici. Sama saja, berarti engkau yang telah
membunuh cici-ku, keparat!"
Lai Sek
menerjang kembali sehingga Keng Hong terpaksa meloncat pergi. Dia tidak dapat
membantah lagi karena omongan atau tuduhan itu mendekati kenyataan. Hanya dia
tidak merasa memperkosa Ciang Bi dan baru sekarang dia tahu bahwa pemuda remaja
ini agaknya malam tadi telah melihat dia bermain cinta dengan Ciang Bi!
Memang
dugaan itu tidak salah. Sekarang dia sendiri merasa yakin bahwa Biauw Eng
membunuh Ciang Bi karena cemburu. Bukankah puteri Lam-hai Sin-ni itu
terang-terangan menyatakan bahwa gadis itu mencintainya? Agaknya Biauw Eng
terus mengikutinya, lalu membantunya merobohkan para pengeroyok dan tadi
melihat dia bermain cinta dengan Ciang Bi, lalu datang pada saat dia pulas dan
membunuh Ciang Bi. Memang bukan dia yang membunuh, namun sudah jelas gadis ini
tewas karena dia!
"Siauwte,
aku menyesal sekali... tetapi demi Tuhan, aku tidak bermaksud mencelakakan dia.
Bukan aku yang membunuhnya dan... sekiranya aku tidak sedang tidur pulas, tentu
aku dapat melindunginya... akan tetapi..."
"Laki-laki
laknat! Jai-hwa-cat! Setelah engkau memperkosa cici, engkau bisa saja bicara
seenakmu! Engkau sudah mempunyai kekasih yang bersenjata bola putih itu! Akan
tetapi engkau masih merayu enci-ku! Hayo katakan, apakah engkau berniat
mengawini enci-ku? Apakah engkau berniat mengambil dia sebagai isteri?"
Keng Hong
menghela napas dan menggelengkan kepala. Urusan ini amat pelik dan tidak boleh
dia main-main dan membohong. "Tidak, kami memang saling suka dan hubungan
cinta kami dilakukan dengan kesadaran kami berdua, dan aku sudah menjelaskan
kepada Bi-moi bahwa aku tidak dapat menjadi suaminya..."
"Keparat!
Jahanam! Sudah kuduga seperti itu! Kalau aku tahu tentu malam tadi sudah
kuremukkan kepalamu!" Lai Sek kembali berteriak-teriak dan menerjang maju.
Keng Hong
merasa bingung dan berduka sekali. Dia maklum bahwa tidak mungkin dia dapat
menenangkan dan menyabarkan hati pemuda yang sedang diamuk kemarahan dan
kesedihan itu, maka dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri, pergi dari
tempat itu. Jalan satu-satunya yang paling baik hanyalah menjauhkan diri pada
saat seperti itu.
Perhitungannya
memang tepat. Setelah maklum bahwa tak mungkin mengejar Keng Hong yang tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi, Lai Sek kembali berlutut dan menangisi jenazah
kakaknya dengan sedih. Setengah malam dia menangis sampai matahari muncul dan
penduduk dusun pergi ke sawah ladang.
Para
penduduk terheran dan terkejut, apa lagi setelah mendengar dari pemuda itu
bahwa kakak perempuan pemuda itu malam tadi telah terbunuh oleh penjahat.
Mereka menaruh kasihan dan beramai-ramai mereka itu membantu Lai Sek mengurus
jenazah Ciang Bi dan menguburnya di tanah perkuburan dusun itu secara
sederhana.
Pada
keesokan harinya, ketika malam sedang gelap, sesosok bayangan hitam datang ke
dalam tanah perkuburan itu dan berlutut di hadapan gundukan tanah yang masih
baru. Bayangan ini menangis dan dia bukan lain adalah Keng Hong!
Sampai
semalam dia berkabung dengan penuh kedukaan di depan kuburan itu, dan baru pada
esok harinya dia meninggalkan kuburan baru itu, pergi secepatnya meninggalkan
dusun di mana Ciang Bi dikuburkan, meninggalkannya sambil membawa pergi
kenangan sedih yang tak akan pernah dapat terlupakan. Hatinya penuh kedukaan,
bukan semata karena kematian Ciang Bi, akan tetapi yang lebih dari pada itu,
adalah karena kekejaman Biauw Eng!
Ia suka
kepada Biauw Eng, perasaan suka yang aneh dan berbeda kalau dibandingkan dengan
rasa suka kepada wanita lain seperti kepada Cui Im dan Ciang Bi. Suka bukan
semata karena kecantikan gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu, melainkan karena
pribadinya, dan mungkin sekali karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah
puteri suhu-nya, puteri Sin-jiu Kiam-ong! Inilah agaknya yang membuat dia
merasa suka kepada gadis itu, dan kini kenyataan betapa puteri suhu-nya itu
berhati kejam seperti iblis, membunuh Ciang Bi yang sama sekali tidak berdosa,
benar-benar mendatangkan rasa duka di hatinya di samping rasa marah terhadap
Biauw Eng.
Keng Hong
melakukan perjalanan cepat, tujuannya adalah Kun-lun-san karena dia ingin
kembali ke Kiam-kok-san, yaitu puncak di mana terdapat batu pedang tempat
suhu-nya menggemblengnya selama lima tahun. Dia harus pergi ke tempat itu,
mengambil pedang Siang-bhok-kiam yang memang dia sembunyikan di puncak
Kiam-kok-san!
Ketika dia
turun gunung setelah tak berhasil mencari rahasia penyimpanan barang-barang
pusaka gurunya, dia maklum akan bahayanya kalau dia membawa Siang-bhok-kiam
turun gunung, maka dia segera membuat sebuah pedang tiruan, pedang dari kayu
harum pula yang dia dapatkan di puncak, pedang yang mirip sekali dengan
Siang-bhok-kiam. Dia lalu menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam tulen di balik
tumpukan batu-batu karang dan membawa turun pedang palsu.
Tepat
seperti yang telah diduganya, begitu turun gunung pedangnya lantas menimbulkan
keributan sehingga terpaksa dia menyerahkan pedang palsu itu kepada Kiang
Tojin! Kini, pedang tulen masih berada di puncak Kiam-kok-san.
Setelah
mengalami banyak hal yang amat tak enak, bertemu dengan orang-orang pandai yang
memusuhinya, dia tahu bahwa dia harus kembali ke sana, harus menggembleng diri
seperti yang dipesankan suhu-nya. Dia harus dapat menemukan kitab-kitab
peninggalan suhu-nya, memperdalam ilmunya agar dia dapat menjaga diri kalau
berhadapan dengan tokoh-tokoh dunia kang-auw, baik para datuk hitam mau pun
para datuk putih!
Seminggu
setelah dia meninggalkan dusun di mana terdapat kuburan Ciang Bi, dia telah
tiba di kaki Pegunungan Bayangkara yang menyambung dengan Pegunungan Kun-lun,
setelah dia berhasil melewati Pegunungan Min-san. Akan tetapi untuk sampai di
tempat markas Kun-lun-pai, masih amat jauh dan sedikitnya dia harus melakukan
perjalanan naik turun gunung selama setengah bulan.
Selagi Keng
Hong enak-enakan berjalan mendaki sebuah lereng, tiba-tiba saja terdengar
bentakan keras dan muncullah puluhan orang yang menghadang jalan, bahkan segera
mengurungnya. Keng Hong terkejut bukan main karena orang-orang yang mengurungnya
ini jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang dan semuanya memegang senjata
tajam! Apa bila dilihat keadaan mereka, pasti bukan perampok, karena selain
mereka terdiri dari bermacam-macam orang yang berpakaian cukup baik, juga di
antara mereka terdapat pula wanita-wanita yang cantik dan gagah.
"Berhenti
dulu, orang muda!" Yang membentak adalah seorang kakek berjenggot panjang,
tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba gagang golok yang
terselip pada pinggangnya. Gagang golok ini indah sekali, terbuat dari emas
yang diukir seperti kepala naga. Kakek yang berjenggot panjang dan berusia
kurang lebih lima puluh tahun ini masih kelihatan gagah dan kuat sehingga Keng
Hong merasa kagum dan cepat menjura.
"Locianpwe
siapakah dan ada kepentingan apa menghadang perjalanan saya?"
Kakek itu
mengelus jenggotnya dan tercengang, juga bangga dan girang. Tak diduganya bahwa
pemuda yang menurut laporan anak buahnya yang telah membunuh muridnya itu
begini sopan dan halus, dan menyebutnya ‘Locianpwe’! Sikap Keng Hong ini saja
sudah melenyapkan sebagian dari kemarahannya.
Akan tetapi
mengingat akan kematian muridnya dan banyak anak buah muridnya, dia lalu
berkata lagi dengan suara nyaring, "Aku adalah Kiam-to (Si Golok Emas) Lai
Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang dan mereka semua ini adalah anak buah
Tiat-ciang-pang!"
Keng Hong
memandang penuh perhatian. Seingatnya ia belum pernah berurusan dengan
orang-orang dari Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi), hanya pernah
mendengar bahwa perkumpulan ini adalah sebuah perguruan silat yang lumayan
besar dan kabarnya membantu atau memihak kepada pemerintahan utara.
"Maaf,
menurut ingatan saya yang bodoh, belum pernah saya berurusan dengan pihak
Locianpwe, maka entah kesalahan apa yang telah saya lakukan di luar kesadaran
saya terhadap Tiat-ciang-pang, mohon Locianpwe suka memberi penjelasan."
Lai Ban
semakin suka kepada pemuda ini. Dia lalu menoleh ke belakang dan bertanya
dengan suara keras.
"Heiii,
benar inikah bocah yang kalian maksudkan itu?"
Tiga orang
muncul, laki-laki tinggi besar yang segera menuding ke arah Keng Hong dan
berkata, "Benar, Ji-pangcu (Ketua Ke Dua), dia inilah bocah setan yang
telah membunuh Kiang-twako dan mengaku bernama Cia Keng Hong!"
Teringatlah
Keng Hong sekarang bahwa tiga orang ini terdapat di antara anak-anak buah
penjahat yang mengeroyok Ciang Bi. Ketika dia membela gadis itu di depan kuil
dalam hutan, dia merobohkan kepala penjahat yang wajahnya seperti Kwan Kong
tokoh jaman Sam-kok yang bersenjata golok, kemudian setelah dia merobohkan
beberapa orang lagi, diam-diam dibantu pula oleh Biauw Eng dengan senjata
rahasianya, sisa gerombolan itu melarikan diri. Agaknya tiga orang ini lalu
melapor, dan sungguh di luar dugaannya bahwa kepala penjahat yang brewok dan
bersenjata golok besar itu adalah salah seorang anak murid Tiat-ciang-pang.
Kiam-to Lai
Ban Si Golok Emas itu memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata tidak
percaya. Pemuda halus tutur sapanya dan lemah lembut gerak-geriknya inikah yang
telah menewaskan muridnya? Sukar untuk dipercaya!
"Orang
muda, benarkah engkau bernama Cia Keng Hong?"
"Tidak
keliru, Locianpwe. Nama saya adalah Cia Keng Hong!"
"Benarkah
engkau telah membunuh muridku Pun Kiong di depan kuil tua di dalam hutan dekat
dusun Ciang-cung?"
Keng Hong
menggeleng kepala. "Saya tidak tahu siapa yang menjadi murid Locianpwe,
akan tetapi memang benar saya telah membunuh beberapa orang anggota penjahat
yang hendak berlaku keji dan mengganggu dua orang enci dan adik..." Keng
Hong berhenti dan lehernya terasa seperti tercekik karena dia teringat kepada
Ciang Bi, nona cantik jelita yang tewas secara mengerikan di tangan Song-bun
Siu-li Biauw Eng itu.
Kakek itu
menggerakkan alisnya dan matanya mulai menyinarkan kemarahan. "Hemmm,
kalau begitu benar engkau yang membunuh muridku dan anak buahnya. Bocah
lancang, mengapa engkau membunuh mereka? Berani engkau menghina Tiat-ciang-pang
dengan membunuh seorang anak muridnya?"
"Maaf,
Locianpwe. Saya tidak tahu bahwa dia itu murid Locianpwe atau anak murid dari Tiat-ciang-pang.
Saya hanya tahu bahwa mereka itu sangat jahat dan hendak menghina seorang gadis
baik-baik..."
"Aahhh!
Engkau seperti orang baik-baik, bukan orang jahat. Akan tetapi mengapa engkau
selancang itu? Apakah engkau anak murid Hoa-san-pai?"
"Bukan,
Locianpwe."
"Kalau
bukan, mengapa membela orang-orang Hoa-san-pai?"
Keng Hong
merasa terdesak. Kakek ini benar pandai berdebat sehingga dia tersudut oleh
pertanyaan-pertanyaan itu. "Saya... saya hanya melihat seorang gadis dan
adiknya... eh, diganggu orang-orang jahat..."
"Cia
Keng Hong! Bagaimana kau bisa membedakan bahwa gadis dan adiknya itu adalah
orang-orang baik dan anak buah muridku orang-orang jahat?" Kakek itu
membentak lagi, membuat Keng Hong tertegun karena memang tentu saja dia tidak
dapat membedakan, dia hanya membantu Ciang Bi dan Lai Sek berdasarkan rasa
kasihan melihat seorang gadis dikeroyok banyak laki-laki tinggi besar.
"Tentu
karena gadis itu cantik dan kami laki-laki mana mampu melawan
kecantikannya?" teriak salah seorang di antara mereka yang dahulu mengeroyok
Keng Hong dan ucapan ini disambut dengan suara ketawa.
"Cia
Keng Hong, agaknya engkau seorang pemuda hijau yang baru saja muncul di dunia
kang-ouw. Akan tetapi menurut pelaporan anak buah muridku, engkau lihai sekali.
Dari golongan atau partai manakah engkau? Siapa gurumu?"
"Maaf,
saya bukan dari golongan mana pun dan guruku yang sudah meninggal tidak boleh
diganggu namanya. Harap Locianpwe suka jelaskan, kesalahan apakah yang telah
saya lakukan dalam membela gadis dan adiknya yang dikeroyok itu?"
"Kami
orang-orang gagah dari Tiat-ciang-pang merupakan pendukung-pendukung gerakan
raja muda Yung Lo di utara yang perkasa dan yang sepatutnya dan seharusnya
menjadi kaisar yang menguasai seluruh tanah air. Akan tetapi Hoa-san-pai begitu
tidak tahu malu untuk membela kaisar palsu yang kini berkuasa di selatan, yang
secara tidak tahu malu mengangkat diri sendiri menjadi kaisar padahal
sesungguhnya singgasana menjadi hak raja Muda Yung Lo. Sudah sering kali
terjadi bentrokan di antara anak murid pihak kami dengan anak murid
Hoa-san-pai, maka saat terjadi bentrokan lain di dusun Ciang-cung, tanpa
melihat perkaranya, engkau langsung turun tangan membantu pihak Hoa-san-pai dan
membunuh orang-orang kami. Tidak salahkah itu?"
Keng Hong
terkejut sekali. Hal ini sungguh tidak pernah disangkanya, bahkan ketika dia
bercakap-cakap dengan Ciang Bi, gadis itu tak pernah menyebut-nyebut tentang
itu, tidak pernah membicarakan tentang permusuhan antara Hoa-san-pai dan
Tiat-ciang-pang yang diakibatkan perbedaan faham itu.
Dia merasa
menyesal juga mengapa dia tergesa-gesa turun tangan membunuh orang. Ternyata
perbuatannya itu menimbulkan kemarahan di pihak Tiat-ciang-pang. Betapa pun
juga, Keng Hong seorang yang berwatak jantan yang diwarisinya pula dari
suhu-nya. Dia tidak mengenal takut apa lagi karena dia merasa bahwa
perbuatannya dalam urusan ini tidak salah!
Menurut
ajaran suhu-nya, dalam keadaan benar dia harus berani menghadapi apa saja,
bahkan mati pun bukan apa-apa apa bila mati dalam kebenaran. Lebih baik mati
dalam kebenaran atau membela kebenaran dari pada hidup dalam keadaan tercemar
atau pun terhina karena kejahatan! Tentu saja baik atau jahat menurut
penilaiannya sendiri! Dan betapa pun dia pertimbangkan, dia tidak merasa salah
dalam hal itu!
"Maaf,
Locianpwe. Baru sekarang setelah mendengar penuturan Locianpwe, saya tahu akan
persoalannya. Akan tetapi pada waktu hal itu terjadi, saya hanya tahu bahwa ada
seorang gadis muda yang dikeroyok oleh banyak laki-laki tinggi besar yang
mengeluarkan ucapan-ucapan menghina. Tentu saja saya lalu turun tangan membela
wanita itu, karena bukankah hal itu merupakan tugas seorang gagah yang
menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan? Sekarang, ternyata ada sebab-sebab
lain tersembunyi di dalam perkelahian itu, sebab-sebab yang tidak saya ketahui.
Semua sudah terjadi, sekarang saya berhadapan dengan Locianpwe, harap jelaskan,
apa yang harus saya lakukan dan apa pula yang akan Locianpwe lakukan terhadap
saya?"
Kembali
kakek itu diam-diam menjadi kagum sekali. Terang bahwa bocah ini bukan bocah
sembarangan dan mulailah dia percaya bahwa pemuda ini memiliki kelihaian yang
luar biasa, murid seorang sakti yang tentu amat terkenal. Walau pun dia merasa
kagum dan sayang, namun sebagai ketua Tiat-ciang-pang, dia harus membela
perkumpulannya dan harus menuntut atas kematian murid Tiat-ciang-pang agar
tidak ditertawai dan dipandang rendah dunia kang-ouw, apa lagi dipandang rendah
oleh Hoa-san-pai!
"Cia
Keng Hong, ucapanmu membuktikan bahwa kau seorang laki-laki sejati yang tidak
menyangkal perbuatan yang pernah kau lakukan. Kau sudah mengaku bahwa kau telah
membunuh murid Tiat-ciang-pan, oleh karena itu, aku sebagai wakil ketua
Tiat-ciang-pang berkewajiban untuk menangkap dan membawamu ke depan ketua kami
untuk menerima keputusan dan hukuman."
Keng Hong
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Permintaanmu ini sukar sekali
untuk dapat saya terima, Locianpwe, karena apa pun yang sudah terjadi, saya
berbuat demi kebenaran dan kebaikan, sedikit pun tidak mengandung dasar yang
jahat dan buruk, sedikit pun tak merasa salah. Karena itu, saya tidak dapat
menghadap Tiat-ciang-pangcu (ketua) untuk menerima hukuman. Harap Locianpwe
suka memaafkan."
Sinar mata
yang tadinya sabar dan penuh kagum itu menjadi marah. "Ehh, orang muda,
boleh jadi engkau lihai, murid seorang sakti, akan tetapi ketahuilah bahwa
engkau sedang berhadapan dengan seorang tua seperti aku yang telah mengejar
ilmu sebelum engkau lahir! Kami orang-orang Tiat-ciang-pang mengutamakan
keadilan, setelah nanti didengar semua keteranganmu, tentu pangcu kami tidak
akan menjatuhkan hukuman sewenang-wenang! Apa bila engkau menolak, sungguh
menyesal sekali bahwa aku terpaksa harus memaksamu!"
"Ahh,
ternyata Locianpwe hanya ingin mencari benar sendiri!" kata Keng Hong.
"Hemm,
apakah bukan engkau yang hendak mencari benar sendiri, orang muda? Engkau sudah
membunuh murid kami, dan kami sekarang hendak menangkapmu. Siapakah yang salah
dan siapa benar dalam hal ini? Siapa yang jahat dan siapa yang baik?"
Mendadak
terdengar suara ketawa, suara ketawa yang mengakak seperti suara burung gagak
(goak) atau suara seekor ular besar. Mendengar suara tawanya, sepatutnya orang
yang tertawa seperti itu tentulah seorang yang tinggi besar. Akan tetapi
ternyata bahkan sebaliknya.
Ketika semua
orang memandang ke atas karena suara ketawa itu terdengar dari atas, mereka
melihat seorang kakek yang amat lucu tengah duduk dengan kedua kaki telanjang
ongkang-ongkang di atas dahan pohon tak jauh dari tempat itu. Kakek ini
tubuhnya kecil dan bongkok berpunuk, rambut, kumis dan jenggotnya panjang
terurai akan tetapi bagian atas kepalanya botak dan kelimis.
Mukanya
membayangkan kegembiraan total hingga tampak seperti wajah seorang bocah nakal
yang selalu tertawa-tawa. Pakaiannya bersih sekali dan baru, akan tetapi
sepasang kakinya telanjang. Tangan kirinya memegang sebuah guci arak, dan
setelah tertawa dia lalu menuangkan isi guci ke mulut. Bau arak wangi memenuhi
tempat itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Ia tertawa lagi setelah minum arak. "Semua salah, semua benar, tidak ada
yang baik tidak ada yang buruk. Sama saja! Ha-ha-ha-ha! Yang tinggi yang pendek
ya sama saja! Yang gemuk yang kurus ya sama saja! Yang salah yang benar, yang
buruk yang baik, yang cantik yang bopeng, semua ya sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha!"
Bila semua
orang merasa geli dan juga jengkel mendengar kata-kata tak karuan dan sikap
seperti orang gila itu, Keng Hong sebaliknya menjadi tertarik sekali. Dia dapat
menangkap inti sari ucapan yang tidak karuan itu maka lalu menjura ke atas
terhadap kakek itu sambil berkata,
"Kebetulan
sekali Locianpwe yang arif bijaksana muncul pada saat ini. Mohon petunjuk
Locianpwe siapakah yang salah dan siapa yang benar dalam urusan antara saya
dengan pihak Tiat-ciang-pang ini?"
"Urusan
ini tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain dan kami tidak membutuhkan
pendapat orang lain," kata Kim-to Lai Ban yang tentu saja merasa
direndahkan kalau sebagai wakil ketua Tiat-ciang-pang dia harus mendengarkan
pendapat orang luar untuk mengambil keputusan atas urusan yang mengenai
perkumpulannya.
"Lai-pangcu,"
kata Keng Hong dengan wajah tidak senang, "dalam setiap urusan antara
kedua pihak, selalu harus ada pihak ke tiga yang dimintakan pertimbangan supaya
dapat dipertimbangkan siapa salah siapa benar. Kalau tidak, bagaimana kedua
pihak yang bertentangan itu akan dapat menyelesaikan urusan secara
musyawarah?" Kemudian dia menoleh lagi kepada kakek bongkok di atas dahan
itu sambil berkata, "Mohon petunjuk Locianpwe."
Kakek
bongkok itu tertawa lagi. "Bocah, kau awas dan berbakat sekali! Di dunia
ini mana ada baik dan buruk? Mana ada salah dan benar? Yang ada hanya pandangan
manusia, tentu saja disesuaikan dengan selera masing-masing, disesuaikan dan
didasari oleh nafsu mementingkan diri sendiri masing-masing! Mana ada manusia
baik atau manusia jahat? Manusia ya manusia, tidak baik tidak jahat. Baik atau
buruknya tergantung dari pendapat masing-masing, pendapat yang diuntungkan atau
dirugikan. Pendapat manusia didasari sifat mementingkan diri pribadi.
Contohnya? Biar orang sedunia menganggap seseorang itu baik, kalau orang itu
merugikan dirinya, dia tentu menganggapnya jahat! Sebaliknya, biar orang
sedunia menganggap seseorang jahat, kalau orang itu menguntungkan dirinya, dia
tentu akan menganggapnya baik! Demikian pula perbuatan. Perbuatan ya perbuatan.
Salah atau benarnya, baik atau buruknya, selalu diciptakan manusia yang terkena
akibat perbuatan itu. Kalau menguntungkan, dianggapnya benar, tapi kalau
merugikan, salahlah perbuatan itu! Buktinya sekarang ini. Perbuatan bocah ini terang
sudah merugikan pihak Tiat-ciang-pang, tentu saja oleh pihak Tiat-ciang-pang
dianggap salah dan jahat! Padahal, bagaimanakah sifat perbuatan itu
sesungguhnya? Tanyakanlah kepada pihak murid-murid Hoa-san-pai yang oleh
perbuatan bocah ini diuntungkan terhindar dari kekalahan, tentu saja perbuatan
ini dianggapnya benar dan baik! Mana yang benar? Baik atau jahat? Salah atau
benar? Ya sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha-ha!"
Wakil ketua
Tiat-ciang-pang dan anak buahnya menjadi marah dan mendongkol. Akan tetapi
diam-diam Keng Hong merasa terkejut dan kagum. Kata-kata yang kedengarannya
tidak karuan artinya itu sekaligus mencakup segala rahasia pertentangan dan
keributan yang selalu timbul tiada henti-hentinya di atas bumi di antara
manusia! Rahasia dari pada timbulnya segala bentuk pertentangan telah tercakup
dalam kata-kata kakek bongkok itu, yaitu bahwa semua pertentangan timbul akibat
manusia memperebutkan ‘kebenaran’ yang sesungguhnya selalu didasari oleh sifat
mementingkan diri pribadi.
"Maafkan
saya, Locianpwe yang bijaksana. Kalau kebenaran dan kebaikan sepalsu yang
Locianpwe katakan, bagaimanakah sesungguhnya yang asli?"
"Heh-heh-heh,
tidak ada yang asli tidak ada yang palsu! Yang benar dan baik bagi diri sendiri
bukanlah kebenaran, yang benar dan baik bagi orang lain tanpa dipaksakan dalam
pengakuannya barulah mendekati kebenaran!"
"Ahh,
wejangan Locianpwe amat dalam dan sukar dimengerti. Mohon petunjuk bagaimana
saya harus menghadapi kemarahan Tiat-ciang-pang?"
"Ha-ha-ha-ha-ha,
sikap terbaik adalah seperti air! Kebijaksanan tertinggi seperti air, tidak
memaksa tidak mendesak, sepenuhnya mematuhi kekuasaan yang ada...!"
Jantung Keng
Hong berdebar. Dia sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, juga sudah banyak
menghafal ayat-ayat dalam kitab-kitab suci, maka tentu saja dia bisa menangkap
inti sari ucapan kakek ini, ialah bahwa dia harus bersikap wajar, tidak
dibuat-buat, seperti gerakan air yang wajar mengalir ke bawah. Tetapi bukan
maknanya yang mendebarkan jantungnya, melainkan disebutnya kalimat itu.
Kebijaksanaan
tertinggi seperti air! Bukankah itu merupakan kalimat di baris pertama dari
pada huruf-huruf yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam? Hanya kebetulan saja,
ataukah mungkin sekali kakek bongkok ini dapat memecahkan rahasia huruf-huruf
di pedang itu?
"He,
orang tua yang lancang mulut! Jangan mencampuri urusan kami!" bentak Lai
Ban yang menjadi marah karena pemuda itu mengobrol dengan si kakek bongkok
demikian asyiknya seolah-olah puluhan orang Tiat-ciang-pang itu dianggap
bagaikan segerombolan pohon saja!
Karena kakek
itu tak menjawab dan hanya tersenyum-senyum sambil tetap duduk di atas dahan
pohon dengan kedua kaki bergantungan, Keng Hong menoleh kepada Lai Ban dan
berkata dingin,
"Lai-pangcu,
salah-menyalahkan dalam urusan ini memang tidak ada habisnya dan tidak akan
dapat membereskan persoalan. Aku tidak memusuhi Tiat-ciang-pang, dan aku tidak
merasa bersalah dalam peristiwa antara anak murid Tiat-ciang-pang dengan anak
murid Hoa-san-pai, dan karena tak merasa bersalah, aku tidak mau bila
diharuskan menghadap ketua Tiat-ciang-pang untuk menerima hukuman. Kalau
Ji-pangcu hendak menggunakan paksaan dan kekerasan, silakan."
Kali ini
wakil ketua Tiat-ciang-pang itu benar-benar hilang kesabaran dan menjadi marah
sekali. "Orang muda! Engkau betul-betul tidak tahu tingginya langit dan
dalamnya lautan! Boleh jadi engkau lihai, akan tetapi engkau masih seorang muda
remaja, masih seorang bocah! Sebetulnya aku merasa sungkan untuk turun tangan
menandingi seorang yang sepantasnya menjadi cucu muridku kalau melihat
usianya..."
"Ha-ha-ha!
Pintar dan bodoh tidak mengenal tua atau muda. Yang makin tua makin tolol
sangat banyak, yang muda-muda sudah pintar seperti orang muda ini pun tidak
jarang! Siapa sih orangnya yang tahu akan tingginya langit dan dalamnya lautan?
Heh-heh-heh!" Kakek bongkok itu tertawa-tawa lagi sambil memberi komentar,
seakan-akan dia sedang menonton pertunjukan yang lucu.
Kim-to Lai
Ban menjadi semakin marah. "Ehhh, kakek tua yang lancang mulut! Pergilah
engkau dari sini, jangan mencampuri urusan orang lain! Kalau tidak, akan
kuseret turun engkau!"
"Wah-wah-wah,
ini aturan dari mana, ya? Sebelum kalian datang aku masih enak-enakan tidur di
pohon ini. Kalian datang lalu membikin ribut sampai aku terkejut dan terjaga
dari tidurku. Menurut patut, aku yang menegur kalian. Kalau kalian mengenal
malu, pergilah dari sini dan carilah tempat lain untuk main ribut-ribut agar
tidak mengganggu orang!"
Kim-to Lai
Ban membentak kepada dua orang sute-nya, "Seret dia turun dan tendang dia
jauh-jauh dari sini!"
Dua orang
sute-nya itu adalah orang-orang yang sudah mempunyai kepandaian tinggi. Di
dalam perguruan Tiat-ciang-pang, terdapat sebuah ilmu yang dipakai ukuran
tinggi tingkat murid-muridnya, yaitu ilmu Tiat-ciang-kang (Tangan Besi).
Kedua tangan
atau sebelah tangan saja, digembleng dan dilatih sedemikian rupa hingga tangan
itu menjadi kuat dan kebal seperti besi. Makin hebat latihannya, makin kuat
tenaga sinkang si murid, makin kebal dan kuat tangan besinya. Kekuatan tangan
besi inilah yang dijadikan ukuran tingkat.
Tingkat
pertama tentu saja diduduki oleh ketuanya yang bernama Ouw Beng Kok, sedang
tingkat kedua diduduki oleh Kiam-to Lai Ban. Kini, kedua orang sute yang
menghampiri pohon di mana duduk kakek bongkok, dan yang menerima tugas untuk
menyeret turun kakek itu, adalah orang-orang tinggi besar dan kuat sekali, apa
lagi karena mereka telah menduduki tingkat ke empat di Tiat-ciang-pang yang
menandakan bahwa ilmu ‘tangan besi’ mereka sudah amat hebat.
"Orang
tua bongkok, engkau sudah mendengar permintaan Ji-pangcu kami, harap lekas
turun dan pergi dari sini karena kami merasa tidak enak sekali kalau harus
menggunakan kekerasan terhadap seorang kakek tua seperti engkau," kata
seorang di antara dua murid Tiat-ciang-pang tingkat empat itu.
"He-he-heh-heh,
apakah sih artinya kekerasan? Kalian hendak menggunakan kekerasan seperti apa?
Aku sejak tadi duduk di sini dan hanya tertawa bicara, hanya menggunakan
kelemasan, duduk mengandalkan kelemasan kaki, bicara mengandalkan kelemasan
lidah, akan tetapi kalian ini agaknya suka sekali akan barang yang serba keras.
Agaknya, lebih baik lagi kalau Tiat-ciang (Tangan Besi) ditambah dengan
Tiat-sim (Hati Besi)!"
"Kekerasan
seperti inilah!" Seorang di antara mereka tiba-tiba menghantamkan tangan
kanan dengan jari-jari terbuka ke arah bantang pohon itu.
"Kraaakkkkk...!"
Hebat bukan
main hantaman tangan yang penuh berisi hawa Tiat-ciang-kang itu. Batang pohon
yang besarnya sepelukan orang itu, sekali kena dihantam tangan besi itu,
menjadi patah dan tumbang! Tentu saja tubuh kakek bongkok yang duduk di dahan
pohon itu ikut pula terbawa roboh ke bawah!
Akan tetapi
saat dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu siap hendak menubruk dan menyeret
kakek cerewet itu pergi, tiba-tiba hanya tampak bayangan berkelebat dan
tahu-tahu kakek bongkok itu sudah berjongkok lagi di atas dahan pohon lain
sambil terkekeh-kekeh.
"He-he-he,
itukah yang kalian sebut kekerasan? Bagiku, lebih tepat disebut pengrusakan!
Pengrusakan ciptaan alam, sungguh besar dosanya!"
Karena
merasa bahwa mereka diejek dan ditertawakan, dua orang tokoh Tiat-ciang-pang
itu menjadi makin marah. Mereka berlari menghampiri pohon besar di mana kakek
itu kini berjongkok di atas dahan, lalu mereka berdua secara berbareng memukul
batang pohon yang amat besar itu.
Kembali
terdengar suara yang lebih keras dari pada tadi dan batang pohon itu tumbang,
membawa dahan-dahan dan daun-daun berikut tubuh si kakek bongkok. Seperti tadi
pula, bagaikan seekor burung saja, kakek itu sudah meloncat seperti terbang
melayang lantas ‘hinggap’ di atas pohon lainnya. Cara dia bergerak meloncat
benar-benar mengagumkan sekali, selain cepat dan ringan, juga aneh gerakannya
karena dalam meloncat, kakek ini mengembangkan dan menggerak-gerakkan kedua
lengan seperti sayap burung!
Dua orang
tokoh Tiat-ciang-pang makin penasaran sehingga mereka terus mengejar dan
memukul tumbang semua pohon yang dijadikan tempat ‘mengungsi’ kakek itu
sehingga hanya dalam waktu tak berapa lama, belasan batang pohon telah tumbang!
"Wah-wah-wah,
kalian berdua ini bisa menjadi tukang-tukang penebang pohon yang amat baik dan
menguntungkan sekali, heh-heh-heh!" Kakek bongkok itu tertawa-tawa.
"Sute,
tahan...!" Tiba-tiba Kim-to Lai Ban berseru.
Kedua orang
sute-nya itu lalu mundur, akan tetapi muka mereka merah dan mata mereka melotot
ke arah kakek bongkok yang kini masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan
sebuah pohon yang lain, agak jauh dari situ karena pohon-pohon yang berdekatan
telah tumbang semua.
"Asal
kakek itu tidak mencampuri urusan secara langsung, biarkan saja dia menggoyang
lidahnya, setidaknya dia sudah tahu bahwa Tiat-ciang-pang tak boleh dibuat
main-main." Kemudian Lai Ban menghadapi Keng Hong dan berkata, "Orang
muda, kau sudah melihat sendiri kehebatan pukulan Tiat-ciang-kang dari dua
sute-ku. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadapmu. Apa bila kau
menyerahkan diri tanpa perlawanan, kami pun akan membawamu ke hadapan pangcu
tanpa kekerasan."
Semenjak
tadi Keng Hong memandang kakek bongkok dengan penuh perhatian. Ia dapat menduga
bahwa kakek itu bukanlah sembarang orang, akan tetapi yang paling menarik
hatinya adalah bunyi kalimat yang merupakan kalimat pertama yang terukir pada
pedang Siang-bhok-kiam. Ingin dia bertanya mengenai kalimat itu kepada si kakek
bongkok, akan tetapi dia masih menghadapi urusan dengan orang-orang
Tiat-ciang-pang ini, dan karena itu dia harus dapat membereskan urusan ini
lebih dulu.
Tadi dia
melihat kehebatan pukulan dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu dan dia maklum
bahwa orang-orang ini benar-benar amat lihai dan memiliki pukulan maut yang
amat kuat. Dalam hal ilmu silat tentu saja dia masih kalah jauh sekali, akan
tetapi dalam hal sinkang, mereka itu tidak ada artinya baginya. Juga dia
mempunyai kecepatan gerakan yang jauh melampaui mereka.
"Lai-pangcu,
kedua orang sute-mu telah mendemonstrasikan kelihaian dan hal ini hendak kau
gunakan untuk menundukkanku, apa bedanya itu dengan kekerasan? Tidak, Pangcu,
karena aku tidak merasa bersalah, aku tetap tidak mau kau bawa pergi menghadap
ketua kalian di Tiat-ciang-pang."
"Bocah,
kau benar-benar keras kepala!" teriak seorang di antara dua orang sute Lai
Ban yang tadi mengejar-ngejar si kakek bongkok. Mereka masih terlalu penasaran
dan marah karena merasa dipermainkan oleh si bongkok, dan sekarang mereka
seolah-olah hendak menimpakan kemarahan mereka kepada Keng Hong.
"Ji-suheng, serahkan saja bocah ini kepada kami, tidak perlu kiranya
Ji-suheng turun tangan sendiri!"
Kim-to Lai
Ban adalah seorang cerdik. Apa bila tadi dia menyuruh kedua orang sute-nya
untuk mundur adalah karena pandang matanya yang awas dapat menduga bahwa kakek
bongkok itu bukanlah orang sembarangan. Kalau pemuda yang lihai ini saja belum
dapat ditundukkan, sungguh tak menguntungkan jika menambah seorang lawan lagi
yang belum dapat diukur sampai di mana kelihaiannya.
Kini, dia
harus mengawasi gerak-gerik si bongkok yang dia duga tentu akan membantu Keng
Hong, maka dia mengambil keputusan untuk ‘menyerahkan’ Keng Hong pada anak
buahnya dan dia sendiri yang akan turun tangan kalau kakek bongkok itu
mencampuri urusan ini. Anak buahnya ada puluhan orang, masa tidak akan mampu
menangkap Keng Hong. Maka dia lalu mengganggukkan kepala dan berkata,
"Baik,
tangkaplah bocah sombong ini! "
Dua orang
tokah Tiat-ciang-pang yang tinggi besar itu lalu bergerak dari kanan kiri Keng
Hong sambil membentak keras, "Bocah, engkau ikutlah dengan kami!"
Mereka
mencengkeram ke arah pundak Keng Hong dari samping kanan dan kiri dengan niat
menangkap dan sekaligus membuat pemuda itu tidak berdaya dalam cengkeraman
tangan besi mereka.
Keng Hong
dapat merasakan sambaran angin pukulan tangan mereka yang sangat kuat dan
mantep. Dia tidak takut menghadapi cengkeraman itu karena kalau dia mengerahkan
sinkang ke arah sepasang pundaknya, kulit pundaknya akan menjadi kebal dan
agaknya tidak perlu takut menghadapi cengkeraman mereka.
Akan tetapi
setidaknya bajunya tentu akan menjadi robek-robek dan dia tak menghendaki ini.
Pula, dia pun harus memperlihatkan kelihaiannya, maka cepat dia mengangkat
kedua tangan ke kanan kiri, mengerahkan tenaga dan menangkis dengan tolakan
dari samping mengadu pergelangan kedua tangannya dengan lengan kedua orang
lawannya.
"Plak!
Plak!"
Dua orang
tokoh Tiat-ciang-pang itu berteriak kaget dan tubuh mereka lantas terdorong ke
belakang. Lengan mereka yang tertangkis terasa nyeri dan panas sekali. Hanya
dengan pengerahan tenaga saja mereka dapat mencegah tubuh mereka terguling, dan
sekarang mereka memandang dengan kemarahan berkobar, sejenak mengelus
pergelangan tangan yang terasa senut-senut.
Orang-orang
Tiat-ciang-pang menjadi marah sekali dan tanpa menanti komando, mereka sudah
menerjang maju dengan senjata di tangan mengeroyok Keng Hong. Hal ini bukan
hanya menunjukkan bahwa orang-orang Tiat-ciang-pang suka main keroyok,
melainkan karena mereka telah terlatih dalam perang melawan pasukan-pasukan
kerajaan sehingga mereka memiliki jiwa setia kawan yang tebal dan setiap
melihat seorang kawannya, apa lagi pimpinan, terdesak atau terpukul, tanpa
dikomando mereka lalu maju menerjang.
Hal ini
menimbulkan rasa marah di hati Keng Hong. Tadinya dia tidak marah, hanya ingin
berpegang kepada kebenaran menurut faham dan pendapatnya sendiri dalam
urusannya dengan orang-orang Tiat-ciang-pang, karena itu dia pun tidak berniat
untuk menurunkan tangan maut. Akan tetapi, sekarang melihat betapa puluhan
orang itu bergerak seperti semut menggeroyoknya, dia menjadi marah dan
membentak keras.
"Kalian
manusia-manusia curang tak tahu malu!"
Dan tubuhnya
langsung menerjang ke depan. Sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya,
Keng Hong menangkis, mencengkeram dan memukul. Karena pengeroyoknya hanyalah
para anggota Tiat-ciang-pang tingkat rendahan, maka berturut-turut robohlah
enam orang yang mengeroyok dari sebelah depan!
Tiba-tiba
angin pukulan yang amat dahsyat menghantam dari arah belakang, dari kanan kiri
menuju ke punggung Keng Hong. Pemuda ini terkejut karena angin pukulan ini
hebat bukan main. Dia maklum bahwa kedua orang tokoh Tiat-ciang-pang tukang
merobohkan pohon tadi telah menyerangnya dari belakang, menggunakan kesempatan
selagi dia sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang dari depan. Kemarahan
Keng Hong memuncak dan dia mengeluarkan suara pekik melengking sambil
mengerahkan sinkang ke tubuh bagian belakang.
"Bukk...!
Bukk...!" Dua kepalan tangan yang amat kuat telah menghantam punggung Keng
Hong di kanan kiri.
Akan tetapi
pada waktu itu, Keng Hong yang sedang marah sekali sudah mengerahkan tenaganya
dan tenaga mukjijatnya segera timbul di luar kehendaknya sehingga begitu dua
kepalan itu menyentuh tubuhnya, maka dua kepalan itu melekat pada punggungnya
dan tak dapat dilepaskan pula.
Kedua orang
itu adalah ahli-ahli pukulan Tiat-ciang-kang, sungguh pun belum mencapai
tingkatan paling tinggi, namun sudah cukup hebat dan tenaga sinkang mereka pun
sudah amat kuat. Kini, menghadapi kenyataan mengerikan bagi mereka itu, kepalan
tidak dapat dilepas dari punggung dan tenaga sinkang mereka molos keluar
bagaikan air membanjir akibat tanggulnya bobol, tanpa dapat mereka tahan,
mereka menjadi amat kaget dan juga panik.
Cepat mereka
menggunakan tangan kiri mereka, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya, dan kini mereka memukul ke kanan kiri lambung. Pukulan ini adalah
pukulan maut, karena selain yang memukul adalah kepalan-kepalan tangan yang
penuh dengan hawa sakti Tiat-ciang-kang, juga yang dipukul adalah sisi lambung
yang biasanya merupakan tempat yang lemah.
Akan tetapi,
justru bagian tubuh Keng Hong yang dekat pusar merupakan bagian-bagian yang
paling ‘peka’ dan aktif sekali bila tenaga mukjijat yang menyedot itu sedang
bekerja. Maka, begitu dua pukulan itu menyentuh lambung, kontan saja tersedot
dan melekat!
Dua orang
tokoh Tiat-ciang-pang itu kini menjadi seperti dua ekor lintah yang melekat,
tak dapat terlepas pula dan tenaga sinkang mereka terus menerobos keluar
melalui sepasang tangan mereka memasuki tubuh Keng Hong yang gerakan-gerakannya
menjadi semakin lamban akan tetapi menjadi makin hebat tenaga sinkang-nya.
Dia hanya
melangkah perlahan-lahan ke depan, kedua lengannya bergerak perlahan pula,
namun kedua tangannya itu mengeluarkan angin bersuitan dan setiap orang
pengeroyok yang terdorong oleh angin pukulan ini tentu roboh terjengkang! Hal
ini tidaklah aneh kalau dipikir bahwa pada saat itu tenaganya yang memang telah
amat kuat, kemudian ditambah lagi oleh tenaga Tiat-ciang-kang dari kedua orang
yang menempel yang di tubuhnya dari belakang itu!
"Pemuda
iblis!!" Kim-to Lai Ban menjadi marah sekali. 'Lepaskan dua orang
sute-ku!" Dia marah dan juga ngeri menyaksikan betapa dua orang sute-nya
itu kini telah bergantung pada tubuh Keng Hong dengan lemas, wajah mereka pucat
separti mayat.
Sebetulnya
hal ini adalah kesalahan dua orang itu sendiri. Tenaga mukjijat yang bergerak
di seluruh tubuh Keng Hong adalah tenaga yang hanya mengenal dan menyedot
tenaga sinkang dari luar. Andai kata seorang manusia biasa yang tidak pernah
berlatih sehingga tenaga sakti dalam tubuh mereka tidak bangkit, membuat mereka
itu hanya bertenaga biasa dari otot-otot saja, maka tenaga mukjijat di tubuh
Keng Hong takkan dapat berbuat apa-apa, dan orang yang tidak ber-sinkang itu
tidak akan dapat terlekat dan tersedot.
Demikian
pula bagi mereka yang memiliki tenaga sakti seperti dua orang Tiat-ciang-pang
itu, andai kata mereka tidak mempergunakan tenaga sinkang, tentu mereka akan
terlepas dengan sendirinya dari tubuh Keng Hong. Tadi mereka memukul dengan
tangan kanan, disusul dengan tangan kiri, mempergunakan Tiat-ciang-kang,
pukulan yang sepenuhnya didasari tenaga sinkang, tentu saja mereka segera
terlekat dan tersedot.
Setelah
demikian, mereka meronta-ronta dan mengerahkan tenaga pula untuk berusaha
melepaskan diri. Tentu saja usaha pengerahan tenaga ini menjadi ‘makanan empuk’
bagi tenaga mukjijat di tubuh Keng Hong yang bekerja sehingga makin hebat
mereka berusaha untuk melepaskan diri makin hebat pula mereka tersedot dan
melekat terus!
"Aku...
aku tidak bisa melepaskan mereka...!" kata Keng Hong gugup.
Peristiwa
seperti ini terulang kembali namun selalu dia menjadi gugup. Apa lagi sekarang
bukan hanya dua orang itu yang melekat dan tersedot sinkang-nya, juga ada dua
orang lain yang tadinya berusaha membantu kawan mereka, kini turut menempel dan
tersedot sinkang-nya. Yang menjemukan adalah, dua orang ini menjerit-jerti
seperti dua ekor babi disembelih! Ingin Keng Hong melepaskan diri dari mereka,
akan tetapi dia sendiri pun tak tahu bagaimana caranya!
Jawabannya
yang memang sesungguhnya itu diterima salah oleh Kim-to Lai Ban, maka dia
menjadi makin marah dan dicabutlah golok emasnya. "Terpaksa aku
membunuhmu, pemuda iblis!" serunya dan dia menerjang maju, lalu meloncat
ke atas dan berteriak keras menyerang Keng Hong.
Pemuda ini
maklum betapa hebat dan berbahayanya serangan Kim-to Lai Ban itu. Maka dia pun
mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya telah mencelat ke atas, membawa ke
udara empat tubuh yang menempel di sebelah belakang tubuhnya sendiri itu.
Menghadapi
serangan golok lawan yang sedemikian dahsyatnya, yang berubah menjadi sinar
keemasan yang melengkung panjang, Keng Hong sudah mengerahkan tenaga dan
menggunakan jurus In-keng Hong-wi (Awan menggetarkan Angin dan Hujan), yaitu
jurus kedelapan atau jurus terakhir, jurus yang paling dahsyat dari pada ilmu
silatnya, San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Awan Gunung) yang hanya
terdiri dari delapan jurus itu.
Jurus ini
amat sulit dimainkan, namun juga amat hebat gerakannya, karena selagi berada di
angkasa menyambut terjangan lawan yang juga meloncat ke udara itu, kaki kiri
Keng Hong bekerja susul menyusul dalam rangkaian yang selain cepat tak terduga,
juga amat aneh dalam kerja sama yang rapi sekali. Kedua kakinya sudah susul
menyusul melakukan tendangan ke arah pergelangan tangan Kim-to Lai Ban yang
memegang golok dan ke arah pusar, sedangkan kedua tangannya susul menyusul pula
melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan
yang kanan mengikuti gerakan golok yang ditarik ke belakang karena tendangannya
sedetik yang lalu!
"Hayaaaaa..!!"
Selama
hidupnya baru sekali ini Kim-to Lai Ban menjadi gugup. Tadinya dia memutar
goloknya dan melompat ke atas melakukan serangan dengan jurus yang terampuh
dari ilmu goloknya. Ia harus menyelamatkan dua orang sute-nya, maka dia tidak
segan-segan lagi menurunkan serangan maut, goloknya membentuk lingkaran dan
sasarannya adalah leher lawan, sedangkan tangan kirinya yang terbuka jarinya
mencengkeram ke arah lehar Keng Hong.
Akan tetapi,
siapa kira, lawannya itu malah meloncat pula dan menyambut serangannya secara
terbuka di udara! Tentu saja tubuh mereka bertemu di udara dan dalam beberapa
detik ini telah terjadi beberapa gebrakan hebat.
Kim-to Lai
Ban terpaksa segera menarik goloknya karena pergelangan tangannya yang membacok
itu dipapaki tendangan dari bawah, akan tetapi tangan kirinya berhasil ‘masuk’
dan mengcengkeram leher Keng Hong karena dia menang dulu. Tapi dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika jari-jari tangannya yang mencengkeram leher
itu terasa bagaikan mencengkeram daging yang amat lunak dan sekaligus tenaganya
tersedot dan tangannya melekat! Sebelum hilang rasa kagetnya, pusarnya sudah
terancam tendangan yang cepat dia elakkan, akan tetapi tiba-tiba goloknya terampas
oleh tangan Keng Hong dan juga ubun-ubunnya terancam oleh cengkeraman sebelah
tangan pemuda luar biasa itu!
"Celaka..!"
Lai Ban berseru keras, berusaha membetot tangannya dan pada detik lain, dia
mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hong dan hal ini
sama sekali tak dapat dielakkan mau pun ditangkis oleh pemuda itu! Dalam detik
itu, nyawa Lai Ban terancam maut oleh cengkeraman pada ubun-ubunnya, ada pun
keselamatan Keng Hong terancam kebutaan oleh dua jari tangan Kim-to Lai Ban.
"He-heh-heh,
sayang… sayang…!" Terdengar kakek yang duduk nongkrong di atas pohon itu
tertawa dan dari tangannya menyambar dua butir buah mentah dari pohon itu.
Yang sebutir
menyambar siku lengan Lai Ban yang menusukkan jari tangannya ke arah mata Keng
Hong, ada pun yang sebutir lagi melayang ke arah siku lengan Keng Hong yang
mencengkeram ke arah ubun-ubun lawannya. Biar pun buah mentah itu tidak keras,
namun ternyata tenaga luncuran dan tenaga totokannya dahsyat sekali sehingga
tiba-tiba kedua lengan yang tertotok buah-buah mentah itu menjadi lumpuh dan
kedua orang itu meloncat turun ke bawah.
Untung bagi
Lai Ban bahwa ketika dia tertotok oleh buah mentah yang melayang tadi,
kelumpuhannya membuat dia terlepas dari tenaga mukjijat Keng Hong yang menyedot
dan menempelnya sehingga dia dapat meloncat ke bawah. Dia terkejut bukan main
dan hanya dapat memandang kepada Keng Hong dengan mata terbelalak, ada pun
mulutnya menggumamkan bisikan, "Iblis...!"
Kemudian dia
terbelalak kaget ketika tubuh dua orang sute-nya beserta dua orang anak
buahnya, mereka berempat yang tadi melekat di belakang Keng Hong seperti
lintah, kini sudah menggeletak tak bernyawa lagi! Kiranya tadi karena terlalu
lama mereka tersedot sinkang-nya dan mereka sama sekali tidak berdaya, hawa sakti
tubuh mereka tersedot sampai habis sama sekali sehingga mereka dengan
sendirinya terlepas dan jatuh ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Melihat ini,
Kim-to Lai Ban menjadi makin marah. Selagi dia bersiap untuk mengerahkan anak
buahnya yang amat banyak dan mengeroyok mati-matian untuk menebus kematian dua
orang sute-nya, tiba-tiba Keng Hong meloncat pergi, melempar golok rampasannya
ke atas tanah sambil berseru,
"Locianpwe,
tunggu dulu...!"
Ketika Lai
Ban memandang lebih teliti, kiranya pemuda iblis itu telah lari mengejar kakek
bongkok yang juga telah melarikan diri amat cepatnya. Kim-to Lai Ban menggeget
giginya sambil memandang jauh ke depan sampai dua bayangan itu lenyap, kemudian
menghela napas dengan penuh duka sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sungguh tak
dia sangka bahwa hari ini nama besarnya, juga nama besar Tiat-ciang-pang akan
hancur hanya oleh seorang bocah yang tak ternama! Dengan hati penuh penasaran
dan dendam terhadap Keng Hong, Kim-to Lai Ban segera menyuruh para anak buahnya
mengangkut empat jenazah itu dan membawa pergi dari tempat itu.
Dia maklum
bahwa mengejar pemuda itu takkan ada gunanya. Sudah dia saksikan betapa ilmu
berlari cepat pemuda itu amat hebatnya ketika mengejar si kakek bongkok,
bagaikan terbang saja. Dan ilmu kepandaiannya pun mukjijat. Belum lagi diingat
kakek bongkok itu yang juga memiliki kesaktian.
Biarlah
untuk sekali ini Tiat-ciang-pang boleh mengaku kalah, akan tetapi urusan ini
tidak akan habis sampai di situ saja! Pada suatu saat, dendam ini harus
terbalas! Demikianlah tekad hati Lai Ban sambil mengiring jenazah ke empat
orang kawan, atau lebih tepat, dua orang sute dan dua orang anak buah itu
kembali ke pusat Tiat-ciang-pang yang berada di sebuah di antara puncak-puncak
pegunungan Bayangkara&.
***************
Kakek kecil
pendek yang bongkok itu ternyata dapat lari cepat sekali. Tadinya kakek itu
menggunakan ilmu berlari cepat secara melompat-lompat sepert katak, sekali
melompat ada sepuluh meter jauhnya dan begitu kakinya tiba di atas tanah terus
melompat lagi ke depan.
Akan tetapi
Keng Hong yang oleh mendiang gurunya digembleng terutama sekali untuk tenaga
dan kecepatan, dapat bergerak lebih cepat lagi. Tubuh pemuda yang kini terlalu
penuh dengan hawa sinkang ‘rampasan’ dari orang-orang Tiat-ciang-pang tadi,
sekarang ringan seperti sebuah balon karet penuh hawa, maka dia dapat berlari
cepat dan ringan sekali mengejar sambil berteriak, makin lama makin dekat.
"Locianpwe,
tunggu dulu...!" Mendengar ini, kakek itu berlari makin cepat lagi.
"Heiii,
Locianpwe yang bongkok, tunggu...!" Suara Keng Hong makin keras.
Ketika kakek
itu menoleh dan melihat betapa pemuda itu mengejarnya dengan cara yang sama, yaitu
melompat-lompat seperti katak, akan tetapi dengan lompatan yang lebih jauh dari
pada lompatannya, dia terkejut sekali dan cepat mengubah caranya berlari. Kini
dia tidak berlompatan lagi, namun berlari dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya sehingga kedua kakinya itu lenyap bentuknya dan tampak seperti kitiran
berputar sehingga terlihat bagaikan roda. Langkah-langkahnya pendek-pendek,
sesuai dengan kedua kakinya yang pendek-pendek, namun gerakannya cepat sekali
sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti seekor kuda membalap.
"Heh-heh-heh,
tak mungkin kau dapat mengejarku lagi, bocah bandel" Kakek itu terkekeh
dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari secepat mungkin.
Beberapa
lamanya kakek itu berlari sampai dia merasa yakin bahwa pemuda itu kini tentu
telah tertinggal jauh dan kalau dia teruskan, napasnya mungkin akan putus
meninggalkan tubuhnya yang sudah amat tua. Selagi dia hendak memperlambat
larinya, tiba-tiba dekat sekali di belakangnya terdengar teriakan Keng Hong.
"Heiii,
Locianpwe, mengapa melarikan diri? Saya hendak bicara..!"
Kakek
bongkok itu menengok dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa kini
pemuda itu pun berlari cepat seperti dia, cepat sekali seperti terbang melayang
saja. Karena merasa bahwa lari pun tidak ada gunanya, kakek itu berhenti dan
membalikkan tubuh menanti sampai Keng Hong tiba di depannya.
Muka pemuda
itu masih merah sekali, sampai matanya pun masih merah sebagai akibat dari pada
kebanjiran sinkang pada tubuhnya, akan tetapi dia sudah agak tenang karena
kelebihan hawa sakti itu tadi sudah banyak dia pergunakan untuk melakukan
pengejaran terhadap kakek yang amat cepat larinya itu, dan juga pada sepanjang
jalan Keng Hong sempat menggunakan tangannya mendorong roboh beberapa batang
pohon besar.
"Ehh,
bocah yang keji seperti setan. Apakah engkau masih belum kenyang sehingga terus
mengejarku untuk menyedot habis sinkang-ku dengan ilmu sesatmu Thi-khi
I-beng?" Dia bertanya sambil memandang tajam. "Seekor lintah sudah
puas dengan hanya menyedot darah sampai kenyang, akan tetapi engkau menyedot
hawa orang sampai empat orang mati masih belum puas, sungguh jauh lebih keji
dari pada seekor lintah!"
Keng Hong
mengerutkan alisnya dengan hati risau. "Locianpwe, benarkah ada ilmu yang
dinamai Thi-khi I-beng itu? Apakah benar tenaga menyedot yang keluar dari tubuhku
itu tadi Ilmu Thi-khi I-beng?"
Kakek itu
membusungkan dada menegakkan kepala dan memandang Keng Hong dari bawah dengan
sikap seorang guru memandang muridnya, kemudian dia menunjuk hidung sendiri
sambil berkata,
"Aku
Siauw-bin Kuncu (Budiman Berwajah Ramah) selamanya tidak suka membohong.
Seorang kuncu (budiman) tidak akan membohong! Terang bahwa kau tadi menggunakan
ilmu menyedot sinkang lawan, apa lagi namanya jika bukan Thi-khi I-beng yang
kabarnya sudah lenyap dari permukaan bumi dan dibawa lari ke neraka untuk
dijadikan ilmu para iblis dan setan? Akan tetapi kini ternyata engkau
memilikinya. Hihh, sungguh mengerikan, sungguh keji menakutkan!"
Sesudah
berkata demikian, dia bergidik dan mengangkat guci araknya, terus menuangkan
isi guci ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelogok. Kemudian dia
menutup mulut guci, mukanya menjadi merah dan wajahnya tertawa-tawa lagi.
"Heh-heh-heh,
seteguk arak mengusir semua kerisauan hati! Biar pun engkau mempunyai ilmu
iblis, tentu tak akan kau pergunakan untuk menyedot hawa dari tubuhku,
bukan?"
Dengan cepat
Keng Hong menggelengkan kepala. "Locianpwe telah menolong saya, telah
menyelamatkan nyawa saya dengan sambitan tadi, mengapa saya hendak mengganggu
locianpwe yang budiman? Tidak sama sekali, bahkan saya mengejar locianpwe agar
bisa menghaturkan terima kasih atas pertolongan itu dan .."
"Tidak
ada tolong menolong! Siapa suka menolong orang yang semuda ini telah memiliki
ilmu begitu keji sehingga tidak segan-segan membunuh orang? Seekor lintah
menyedot darah hanya secukupnya saja, setelah kenyang akan melepaskan diri.
Akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai orang-orang itu mati. Aku tidak
menolong siapa-siapa, aku hanya tidak suka melihat pembunuhan-pebunuhan."
"Ahh,
akan tetapi saya tidak sengaja membunuh mereka, Locianpwe..."
"Bohong!
Ingat, membohong itu tidak baik dan aku, Siauw-bin Kuncu selamanya tidak sudi
membohong! Kebohongan itu perbuatan berantai, sekali berbohong engkau harus
selalu membohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang terdahulu."
Keng Hong
menahan senyumnya, "Saya tak perlu berpura-pura, Locianpwe, sekali waktu,
kalau perlu saya akan membohong. Akan tetapi sungguh saya tidak pernah
mempunyai niat di hati untuk membunuh siapa pun juga. Dan ilmu Thi-khi I-beng
yang tadi Locianpwe sebut-sebut itu sama sekali saya tidak mengerti dan tak
pernah mempelajarinya. Tenaga penyedot yang berada di dalam tubuh saya ini
bukan saya pelihara dan bergerak di luar kesadaran saya."
"Eh,
ehh, ehh, mengapa begitu? Aku melihat engkau seorang bocah yang baik, maka aku
condong memihakmu ketika engkau ribut-ribut dengan orang-orang Tiat-ciang-pang.
Akan tetapi aku kecewa melihat engkau mempergunakan ilmu yang sesat itu. Dan
sekarang kau mengatakan tidak sadar akan ilmu itu? Sungguh luar biasa...!"
"Sudahlah,
Locianpwe. Sesungguhnya selain hendak menghaturkan terima kasih kepada
Locianpwe, saya hendak mohon penjelasan, hendak bicara dengan Locianpwe…"
"Hemm,
boleh. Bicara tentang apa?"
"Tentang
air!"
Kakek itu
melongo. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi karena terbuka lebar kelihatan
lucu, sepasang matanya terbelalak, tangan kirinya perlahan-lahan diangkat ke
atas lantas menggaruk-garuk bagian atas kepalanya yang botak kelimis.
"Eh,
orang muda, apakah kau sudah gila?" tanyanya, pertanyaan yang
sungguh-sungguh dengan wajah serius, bukan main-main atau memaki.
Timbul
kegembiraan di hati Keng Hong. Pemuda ini memang mempunyai dasar watak gembira,
maka walau pun kelihatannya pendiam, setiap kali bertemu dengan orang yang
bersikap riang dan lucu, tentu dia akan mudah terbawa riang pula...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment