Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 10
KAKEK ini
selain aneh, lihai, juga amat lucu dan gembira. Melihat sikap sungguh-sungguh
ketika kakek yang nama julukannya saja sudah aneh itu bertanya apakah dia gila,
Keng Hong tidak dapat menahan kegelian hatinya dan dia tertawa bergelak,
membuat kakek itu makin curiga, makin keras mengira bahwa pemuda ini
benar-benar telah gila!
"Tidak,
Locianpwe. Aku belum gila dan mudah-mudahan tak akan gila," jawab Keng
Hong. "Yang kumaksudkan dengan air adalah kalimat yang Lociapwe berikan
pada saya sebagai nasehat menghadapi orang-orang Tiat-ciang-pang. Kalimat yang
sangat menarik hati saya dan yang ingin sekali saya tanyakan kepada locianpwe
tentang artinya."
"Kalimat
apa?"
"Yang
seperti bunyi ujar-ujar kuno yang suci, mengenai air." Keng Hong sengaja
bicara berputar untuk memancing.
"Sangat
banyak ujar-ujar suci yang membawa-bawa air sebagai wejangan. Yang mana yang
kau maksudkan? Nasehat apakah yang kuberikan tadi? Aku sudah tidak ingat lagi.
Pertanyaan-pertanyaanmu aneh dan membikin aku bingung. Eh, benar-benarkah
engkau tidak miring otak, ya?"
"Tidak,
Locianpwe. Kalau locianpwe lupa, biarlah saya mengulang kalimat yang locianpwe
ucapkan tadi. Begini bunyinya: ‘Kebijaksanaan tertinggi seperti air’."
"Heh-heh-heh!
Betul sekali! Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Kalimat lengkapnya begini:
Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang memberi manfaat kepada segala sesuatu
dan mengalir ke tempat rendah yang tak disukai orang karena itu sifatnya
berdekatan dengan To…"
"Eh
bukankah itu ayat di kitab To-tik-keng bagian ke delapan?" Keng Hong
berseru girang dan heran.
Sebaliknya,
kakek bongkok itu memandang Keng Hong dengan mata berseri, "Hayaaaa!
Engkau ini benar-benar bocah yang kukoai (aneh) sekali! Mengerti dan hafal pula
dengan ayat-ayat di kitab To-tik-keng?"
"Tentu
saja hafal karena saya sudah sering kali menghafalnya, Locianpwe. Tadi saya
lupa dan... ahhh, hal ini tidak perlu. Yang penting sekarang apakah Locianpwe
mengenal pula kalimat yang berbunyi seperti ini: Tulus dan sungguh mengabdi
kebajikan."
"Apakah
engkau maksudkan tulus dan sungguh mengabdi kebajikan seperti air keluar dari
sumbernya? Dan juga sewajarnya seperti munculnya matahari dan bulan atau
sewajarnya seperti empat musim yang datang bergantian? Ujar-ujar itu lengkapnya
berbunyi begini: Phouw Phek Yan Coan, Ji Si Chut Ci."
"Wah,
itu adalah ujar-ujar pasal tiga puluh satu ayat dua dari kitab
Tiong-yong!" kembali Keng Hong berseru girang sekali karena mengenal
ujar-ujar itu yang seluruh isi kitabnya pernah dihafalnya di luar kepala.
Sekali lagi
kakek bongkok itu bengong dan kagum. "Engkau juga pandai ujar-ujar Nabi
Khongcu? Wah, bocah apakah engkau ini? Kalau gila terang belum! Akan tetapi,
engkau menguasai ilmu sesat Thi-khi I-beng, ginkang-mu luar biasa sekali dapat
menandingi aku, sinkang-mu menakjubkan, dan engkau hafal akan kitab-kitab
To-tik-keng dan Tiong-yong! Siapakah sesungguhnya engkau ini bocah aneh?"
Akan tetapi
Keng Hong yang sudah mengenal dua di antara tiga baris kalimat yang terukir di
pedang Siang-bhok-kiam, menjadi begitu girang sehingga dia tidak mempedulikan
lagi pertanyaan kakek itu, melainkan cepat dan menahan napas ketika dia berkata
lagi,
"Satu
lagi, Locianpwe. Satu lagi mohon bantuanmu. Dengarkanlah kalimat ini: Tukang
saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka."
Tiba-tiba
sikap kakek itu berubah. Dia selamanya tidak bisa marah, akan tetapi sekarang
berpura-pura marah, atau memasang muka seperti orang marah. Betapa pun juga,
karena mukanya itu muka lucu, meski memasang muka marah tidak kelihatan
menyeramkan atau menakutkan, malah menggelikan!
"Bocah
sombong! Apakah engkau hendak menantang aku? Apakah engkau tidak percaya akan
julukanku Siauw-bin Kuncu? Aku berjuluk Kuncu, tentu saja aku seorang bijaksana
yang telah mengenal seluruh ayat di permukaan bumi ini! Apakah engkau sengaja
hendak mengujiku? Sekaligus kau mengeluarkan tiga ayat dari tiga macam agama,
apa kau kira aku berjuluk kuncu hanya untuk main-main dan palsu belaka? Kalau
memang kau hendak menantangku berdebat tentang filsafat agama-agama di dunia
ini, kau bilang saja terus terang, dan akan kulayani sampai engkau keok!"
Keng Hong
menahan kegelian hatinya, dia maklum bahwa kakek ini seorang tokoh yang amat
aneh dan agaknya memang seorang ahli kitab-kitab suci. Jika dipaksa dan
dibujuk, biar dia menyembah-menyembahnya tentu tak akan sudi memenuhi
permintaannya, maka jalan satu-satunya hanya menantangnya!
"Ha-ha-ha-ha,
kusangka tadinya julukanmu hanya kosong belaka, siapa kira ternyata lebih
kosong dari pada yang kosong!" berkata Keng Hong untuk memanaskan hati
kakek itu. "Memang aku menantangmu berdebat tentang filsafat. Kalimat
terakhir tadi tentu tidak kau kenal, maka engkau mencari-cari alasan, kakek
bongkok!"
Anehnya
kakek itu tidak marah malah tertawa-tawa. "He-he-heh, engkau memujiku
terlalu tinggi, orang muda. Siapa namamu tadi? Cia Keng Hong? Ahh, aku mulai
suka kembali kepadamu. Di dalam to-kauw terdapat paham bahwa yang kosong itu
lebih berguna dari pada yang isi, maka kau menyebut aku lebih kosong dari pada
yang kosong. Pujian apa lagi yang lebih hebat dari pada ini?"
Celaka,
pikir Keng Hong. Kakek ini benar angin-anginan dan mencampur adukkan isi
filsafat dengan ucapan-ucapan biasa. Akan tetapi dia tidak kekurangan akal.
"Locianpwe, ada maksud saya dengan menjajarkan tiga ayat itu, karena dua
ayat terdahulu sudah dapat Locianpwe tebak, harap tidak berlaku kepalang dan
suka mengenal ayat terakhir tadi. Saya ulangi lagi. Tukang saluran mengalirkan
airnya ke mana dia suka."
Kakek itu
tertawa lalu bersenandung,
"Tukang-tukang
pembuat saluran air mengalirkan airnya ke mana mereka suka;
para pembuat
panah meluruskan anak panahnya;
tukang kayu
melengkungkan sebatang kayu;
para
bijaksana mengendalikan diri pribadi!"
Keng Hong
meloncat dan berjingkrak-jingkrak saking senangnya. "Ha-ha-ha! Itulah ayat
ke delapan puluh dari kitab Jalan Suci Kebajikan (Dharmapada)!"
Kakek itu
melangkah dekat dan menantang, "Tak perlu mengejek! Kalau engkau memang
seorang ahli dalam filsafat dari isi kitab suci dari tiga agama, mari berdebat
dengan aku. Kalau aku kalah, aku akan membuang julukan Kuncu dan akan mengaku
engkau sebagai guru!"
Keng Hong
yang tadinya menari-nari kegirangan karena merasa dapat memecahkan arti tiga
baris kalimat yang terukir di atas pedang Siang-bhok-kiam, tiba-tiba saja
terdiam dan mengasah otaknya. Jika sudah dapat mengenal, lalu bagaimana
lanjutannya? Bagaimana artinya yang berhubungan dengan rahasia penyimpanan
pusaka-pusaka peninggalan dari gurunya? Dia mendapat akal dan ingin
mempergunakan pengertian yang mendalam dari kakek yang berjuluk Siauw-bin Kuncu
itu untuk mencoba-coba membongkar rahasia yang tersembunyi di balik tiga baris
kalimat itu.
"Baiklah,
Locianpwe. Akan tetapi karena Locianpwe yang menantang, harap Locianpwe yang
lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang sulit-sulit. Kalau
Locianpwe tidak dapat menjawab berarti Locianpwe kalah satu angka. Nanti kita
saling perhitungkan, siapa yang mendapat angka terbanyak dia menang."
"Akur!
Dapat menjawab mendapat satu angka, tak dapat menjawab dipotong satu angka.
Majukan pertanyaanmu, bocah yang menyenangkan hati!"
"Pertanyaan
pertama. Apakah bedanya antara ketiga pelajaran yang Locianpwe sebutkan tadi,
yaitu mengenai kalimat-kalimat yang saya sebutkan. Untuk jelasnya, apa bedanya
antara tiga kalimat ini. Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh
mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!"
"Heh-heh-heh,
pertanyaan kanak-kanak. Amat mudahnya, lebih baik kau tanyakan yang lain dan
yang lebih sulit. Baiklah kujawab. Ketiganya tak ada perbedaannya dan ketiganya
mengandung nasehat agar manusia meniru sifat air yang sangat bijaksana. Mengapa
air disebut bijaksana dalam ayat-ayat suci itu? Pertama, karena air selalu
bergerak secara wajar, tidak memaksa sesuatu tidak menentang sesuatu, menurut
sifat alam, keluar dari sumbernya kemudian mengalir menuju ke tempat rendah,
menyerahkan diri untuk segala macam benda yang membutuhkannya dan
memanfaatkannya, tanpa pamrih, dan selalu menempatkan diri di tempat yang
paling rendah. Itulah inti pelajaran itu dan ketiganya menggunakan sifat air
sebagai contoh."
"Tepat
sekali, Locianpwe dan biarlah untuk jawaban ini Locianpwe mendapatkan angka
satu. Sekarang pertanyaan kedua. Ada hubungan apakah antara ketiga ayat
itu?"
Kakek itu
mengernyitkan alisnya. Pertanyaan ini sulit sekali karena tidak mengandung
maksud pemecahan filsafat, lebih condong kepada pertanyaan teka-teki. Akan
tetapi dia tidak mau kalah karena kalau dia tidak dapat menjawab berarti dia
kehilangan nilai satu angka!
Memang Keng
Hong sengaja mengajukan pertanyaan ini untuk memecahkan rahasia
Siang-bhok-kiam. Ia maklum bahwa tiga kalimat di pedang itu diambil dari tiga
bagian ayat To-tik-keng, Tiong-yong dan Dharmapada, dan jika di dalam
kalimat-kalimat itu terdapat rahasia yang sifatnya filsafat, maka sudah tentu
akan dapat dipecahkan oleh kakek bongkok yang ternyata seorang ahli dalam
segala macam agama. Kalau kakek bongkok ini tidak mampu memecahkannya, apa lagi
dia yang dahulu hanya menghafal saja segala kitab itu, belum dapat menyelami
maknanya yang sangat dalam. Kalau tidak mempunyai maksud tersembunyi yang
dalam, juga akan dapat dia pelajari dari jawaban kakek itu.
"Hubungannya
hanya penggunaan air sebagai contoh nasehat. Tiada hubungan apa-apa lagi
kecuali persamaan yang menyebut air itu. Kalau dipaksakan hubungannya, tiada
lain hanya air dan memang oleh air, seluruh dunia ini dipersatukan dan jika
mengingat akan air, tidak ada lagi yang terpisah-pisah, segala sesuatu di dunia
ini sambung-menyambung dan sesungguhnya hanya satu, seperti air samudera, walau
pun terdiri dari titik-titik air, namun tak dapat dibedakan karena merupakan
kesatuan yang tiada bedanya."
Keng Hong
mengangguk-angguk, akan tetapi sesungguhnya di dalam hatinya dia menjadi
bingung. Agaknya, ketika menuliskan kalimat-kalimat itu, gurunya maksudkan AIR!
Akan tetapi, apa artinya air yang hendak ditunjukkan gurunya itu? Air di puncak
Kiam-kok-san? Apa maksudnya? Air selalu mengalir ke tempat rendah!
Dan di
puncak itu ada sebuah kolam kecil yang menampung semua air yang jatuh dari
langit, baik air hujan mau pun air dari embun dan dari kolam ini, air mengalir
ke bawah seperti sebuah sungai kecil, hanya dua kaki lebarnya, terus ke bawah
melalui celah-celah batu karang.
"Bagus
sekali jawabanmu, Locianpwe. Biarlah aku kalah dua nilai. Sekarang pertanyaan
ketiga. Kalau ada orang menuliskan tiga buah kalimat tadi bersambung, dengan
niat untuk memberitahukan sesuatu yang rahasia, yaitu hendak menunjukkan suatu
tempat rahasia, apakah maksudnya?"
Mata kakek
itu terbelalak. "Eh, orang muda. Benar-benarkah engkau tidak gila?"
Keng Hong
tersenyum lebar, "Masih belum, Locianpwe. Kalau kelak sudah gila, tentulah
akan kuberi tahu kepada Locianpwe. Sekarang aku belum gila!"
"Kita
berdebat mengenai filsafat, akan tetapi kau selalu mengajukan pertanyaan
seperti anak-anak penggembala kerbau bermain teka-teki! Aku tidak sudi menjawab
kalau kau hendak mempermainkan aku orang tua!"
"Ahh,
sungguh mati saya tidak mempermainkan Locianpwe. Pertanyaan saya ini amatlah
penting bagi saya. Percayalah, Locianpwe, hanya satu pertanyaan itu lagi saja.
Setelah itu, saya akan bertanya kepada Locianpwe mengenai filsafat yang amat
tinggi dan yang belum tentu bisa dijawab oleh dewa sekali pun, yaitu tentang
mati dan hidup dan isinya!"
"Bagus!
Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang seharusnya kudengar! Ayo lekas
ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang mati atau hidup itu."
"Nanti
dulu Locianpwe. Saya minta Locianpwe menjawab lebih dulu pertanyaan saya tadi.
Apakah kira-kira yang dimaksudkan oleh orang yang merangkai ketiga kalimat itu
untuk menunjukkan sebuah tempat rahasia?"
Kakek itu
meraba-raba dagunya, kemudian menggaruk-garuk botaknya. "Hemmm, kau keras
kepala. Akan tetapi agaknya orang yang meninggalkan tanda seperti itu adalah
seorang yang suka bergurau, seorang yang merasa kesepian sehingga melihat air
pun kemudian timbul pikiran yang bukan-bukan untuk mempermainkan orang lain.
Tentu dia maksudkan air yang mengalir. Mungkin tempat yang dia rahasiakan itu
dapat dicari kalau menurutkan air yang mengalir ke bawah. Dan karena di dalam
kalimat itu tidak terdapat angka-angka, maka mungkin sekali angka-angka sebagai
ukuran tempat itu diambil dari nomor-nomor ayat dan bagian dari ketiga ayat
suci itu. Kebijaksanaan tertinggi seperti air, terdapat dalam To-tik-keng
bagian ke delapan. Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan adalah sifat-sifat
kuncu seperti dinasehatkan dalam kitab Tiong-yong bagian tiga puluh satu ayat
dua, ada pun yang terakhir tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka
terdapat di dalam kitab Dhammapada pasal enam ayat delapan puluh. Bila mana
diambil angka-angka dalam ketiga ujar-ujar itu, maka terdapatlah angka delapan,
tiga puluh satu, dua, enam, dan delapan puluh. Kalau dijumlahkan akan menjadi
seratus dua puluh tujuh. Mungkin itulah rahasianya, tempatnya mengikuti aliran
air, dan jumlah ukurannya seratus dua puluh tujuh!"
Keng Hong
hampir berjingkrak-jingkrak dan menari-nari lagi. Itulah agaknya! Tak ada lain
tafsiran dan perhitungan lagi. Itu tentu yang dimaksudkan mendiang suhu-nya.
Rahasia Siang-bhok-kiam! Rahasia tempat penyimpanan pusaka! Rahasia tiga baris
kalimat pada Pedang Kayu Harum itu.
"Terima
kasih, Locianpwe. Sungguh budi Locianpwe amat besar terhadap saya!"
Setelah berkata demikian, Keng Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi
meninggalkan tempat itu.
"Ehh,
ehh, nanti dulu, orang muda! Seeokor kerbau diikat hidungnya, akan tetapi
seorang manusia yang diikat mulutnya yang sudah berjanji! Engkau tadi berjanji
akan mengajukan pertanyaan tentang mati atau hidup. Hayo penuhi janjimu lebih
dulu, kemudian aku yang akan balas mengajukan pertanyaan-pertanyaan."
Dalam
kegembiraannya, Keng Hong tadi hampir lupa akan janjinya, maka sambil tertawa
dia kemudian berhenti dan menghadapi kakek itu lagi. Dia mengerutkan alisnya,
berpikir dan mengingat-ingat. Banyak filsafat hidup yang dia ketahui, dan dalam
kesempatan itu, dia akan mengajukan pertanyaan yang dia sendiri belum dapat
menjawabnya dan yang jawaban kakek itu akan dapat menambah pengertiannya
tentang hidup dan mati.
"Pertanyaan
pertama, Locianpwe. Untuk apa manusia hidup harus melakukan kebajikan?"
"Heh-heh-heh,
baru pertanyaanmu itu saja sudah tidak tepat, orang muda. Pertanyaanmu itu
menyatakan bahwa seakan-akan kebajikan harus dilakukan untuk sesuatu. Padahal,
sesuatu yang dilakukan dengan pamrih, bukanlah kebajikan lagi namanya.
Seharusnya pertanyaan itu berbunyi: Mengapa manusia hidup harus melakukan
kebajikan? Nah, untuk pertanyaan ini kujawab begini dan dengarlah baik-baik
karena setiap orang manusia perlu mengetahui dan sadar akan hal ini."
Keng Hong
mengangguk-angguk dan mendengarkan penuh perhatian.
"Kebajikan
merupakan kewajiban manusia hidup sebab hidup itu harus sesuai dan selaras
dengan alam, maka untuk menyesuaikan diri dengan alam yang memberi manfaat
kepada setiap benda, manusia pun harus memanfaatkan diri sebagai bagian dari
pada alam. Ada pun pemanfaatan diri inilah yang mewajibkan manusia untuk
mengisi hidupnya dengan kebajikan. Kebajikan berarti segala perbuatan baik yang
ditujukan kepada orang lain atau sesama hidup. Perbuatan baik dalam arti kata berbuat
demi keuntungan dan kesenangan orang lain. Sebab itu harus tanpa pamrih karena
dengan demikian barulah kebajikan ini wajar, seperti alam sendiri yang memberi
tanpa meminta, tanpa pamrih. Kebajikan yang dilakukan dengan pamrih berarti
palsu, hanya merupakan kedok untuk menutupi nafsu sendiri. Contohnya, kalau
engkau menolong seseorang dengan pamrih rahasia dalam hati sendiri yaitu agar
supaya engkau memperoleh pujian, maka perbuatanmu menolong itu sebenarnya
bukanlah kebajikan karena pada dasarnya bukan untuk menolong melainkan
melakukan daya upaya agar memperoleh pujian! Andai kata di sana tidak ada
harapan untuk memperoleh pujian, tentu saja engkau tidak akan suka melakukan
perbuatan itu. Kebajikan sejati yang tanpa pamrih, adalah kebajikan yang dilakukan
dengan kesadaran bahwa itu adalah sebuah kewajiban mutlak dalam hidup. Bila
manusia telah membiasakan diri meletakkan kebajikan sebagai kewajiban hidup,
maka pamrihnya akan lenyap karena perbuatan itu tidak dianggapnya baik atau
buruk lagi, tetapi pelaksanaan tugas kewajiban hidup. Dan sebagaimana biasa,
setiap kewajiban jika sudah dilakukan dengan baik, akan mendatangkan rasa lega
di hati dan lapang di dada."
Keng Hong
mengangguk-angguk. Banyak sudah dia membaca uraian tentang kebajikan yang harus
dilaksanakan manusia hidup di dunia ini, ada yang muluk-muluk uraiannya, ada
yang berbelit-belit. Uraian kakek ini sederhana sekali dan gamblang, mudah
untuk dimengerti dan juga mudah diterima oleh akal.
Benda apakah
yang tidak ada guna atau manfaatnya di dunia ini? Semua ada manfaatnya bagi
makhluk lain, memberi, memberi dan memberi tanpa pamrih. Buah-buahan di pohon,
bunga-bunga yang indah, tanah dan air, angin dan hujan, matahari dan bulan,
binatang-binatang.
Manusia
berakal budi, masa kalah dengan yang lain dalam mengusahakan agar dirinya
bermanfaat bagi dunia dan isinya? Tentu saja manfaat yang ditimbulkan oleh
perbuatan yang berguna dan menguntungkan sesamanya. Tidak melakukan kebajikan
berarti sudah mengabaikan kewajiban hidup, apa lagi jika melakukan hal yang
menjadi lawannya, yaitu kejahatan!
"Bagus
sekali uraian Locianpwe dan sudah membuka mata dan pikiran saya. Sekarang
pertanyaan terakhir, Locianpwe. Bagaimanakah sikap manusia selagi hidup dan apa
yang harus dilakukan sesudah mati?"
Kakek itu
terkekeh. "Ha-ha-ha, jangan engkau memasukkan dirimu ke dalam kelompok
mereka yang merasa ngeri menghadapi kematian, orang muda. Patut dikasihani
mereka itu yang takut menghadapi pengalaman yang belum pernah dialaminya itu,
ketakutan oleh karena bayangan-bayangan sendiri. Aku lebih condong kepada
pelajaran Nabi Khong-cu yang mengingatkan para muridnya kenapa ingin mengetahui
tentang kematian sedangkan tentang hidupnya sendiri saja belum tahu artinya dan
belum mampu mengisinya dengan sempurna? Seperti lahir bukan kehendak manusia,
mati pun bukan kehendak manusia, oleh karena itu lebih baik tentang kematian
kita serahkan saja pada Pengurusnya karena itu bukanlah urusan atau wewenang
manusia yang masih hidup. Yang sekarang paling penting adalah mengisi hidup,
mempelajari tentang soal peri kehidupan serta lika-likunya, seluk-beluknya
karena kita adalah manusia yang harus hidup selaras dan sesuai dengan kehendak
alam, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan apa yang ada di sekeliling kita.
Menyesuaikan diri terhadap manusia lain yang kita hadapi. Menyesuaikan ke dalam
lingkungan masyarakat di mana kita tinggal. Menyesuaikan diri dengan keadaan.
Dengan menyesuaikan diri berarti tidak menentang karena hanya pertentangan yang
akan dapat menimbulkan keretakan dan juga kehancuran. Penyesuaian diri tentu
akan menimbulkan kerukunan, kecocokan dan dalam keadaan seperti ini, akan lebih
mudah memanfaatkaan diri seperti yang telah kusinggung-singgung tadi tentang
kewajiban manusia untuk mengisi hidup dengan kebajikan."
Keng Hong
yang hatinya masih diliputi ketegangan dan kegembiraan akibat merasa dapat
memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam, menganggap sudah cukup mengobrol tentang
hal yang amat tinggi dan sukar itu, maka ia cepat menjura dengan hormat dan
berkata,
"Locianpwe,
saya menghaturkan banyak terima kasih untuk semua wejangan Locianpwe yang amat
berharga bagi saya. Harap Locianpwe maafkan bahwa saya tidak dapat lebih lama
lagi melayani Locianpwe."
"Eh-ehh-ehh,
nanti dulu, orang muda. Engkau sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
semua sudah kujawab. Sekarang tiba giliranku untuk bertanya tentang…"
"Saya
mengaku kalah, Locianpwe. Memang Locianpwe sangat hebat dalam soal filsafat dan
saya patut menjadi murid Locianpwe, bagaimana saya berani beradu debat dengan
Locianpwe? Sudahlah, saya mengaku kalah dan kelak bila mana kita ada kesempatan
bertemu kembali, tentu saya akan menyediakan lebih banyak waktu untuk
mendengarkan wejangan-wejangan Locianpwe yang amat berharga. Selamat
tinggal!"
Keng Hong
tidak memberi kesempatan lagi kepada kakek itu untuk membantah karena dia sudah
cepat berkelebat melarikan diri sambil mengerahkan tenaganya. Ia mendengar
kakek itu memanggil-manggil, namun dia tidak peduli dan berlari terus secepatnya.
Dia kagum
akan pengetahuan kakek itu tentang kitab-kitab suci dan ayat-ayatnya, kagum
akan pandangan kakek itu tentang hidup. Akan tetapi dia merasa sangsi apakah
kakek itu sudah dapat mengetrapkan semua teori dalam praktek, apakah kakek itu
sudah dapat menyesuaikan tiga serangkai yang tak boleh dipisah-pisahkan dalam
ilmu kebatinan, yaitu sesuainya hati, kata, perbuatan. Dia belum pernah
menyaksikan sepak terjang kakek itu, akan tetapi orang itu telah berani memakai
julukan Kuncu (Budiman Bijaksana) sungguh amat meragukan!
Akan tetapi
setelah berlari cukup jauh dan tak melihat kakek itu mengejarnya, Keng Hong
sudah melupakan lagi kakek itu. Sekarang pikirannya penuh dengan pemecahan
rahasia Siang-bhok-kiam.
Semenjak
turun dari Kiam-kok-san, dia selalu bertemu dengan peristiwa-peristiwa hebat,
bertemu dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan beberapa kali
terancam bahaya maut. Memang benar seperti pesan suhu-nya, kepandaiannya
sendiri masih jauh dari pada mencukupi untuk dapat melindungi dirinya terhadap
ancaman orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang selalu membayanginya, yang
demikian tamak hendak merampas pusaka yang tersembunyi di balik rahasia
Siang-bhok-kiam.
Dia kini
sudah dapat membuka rahasia itu. Dia harus kembali ke Kiam-kok-san mencari
pusaka suhu-nya dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan gurunya.
Setelah kepandaiannya cukup, mewarisi ilmu-ilmu gurunya, baru dia akan turun
dari Kiam-kok-san dan dia akan dapat menghadapi lawan mana pun juga dengan
penuh kepercayaan pada diri sendiri, seperti sikap gurunya ketika menghadapi
begitu banyak lawan.
Dari
pegunungan Bayangkara, Keng Hong terus lari ke barat dan beberapa hari kemudian
ia telah memasuki daerah Pegunungan Kun-lun-san. Sungguh pun Kun-lun-san
dianggap sebagai pusat atau markas besar para tosu Kun-lun-pai, akan tetapi hal
ini sebenarnya hanyalah anggapan dunia kang-ouw saja.
Kun-lun-san
adalah daerah pegunungan yang amat luas dan besar, ada pun Kun-lun-pai hanyalah
sebuah partai persilatan yang dibentuk oleh sekelompok tosu yang kemudian
berkembang biak dengan murid-murid mereka, juga akhir-akhir ini semuanya tosu
belaka. Biar pun jumlah mereka banyak, dan yang berdiam di puncak Kun-lun tidak
kurang dari dua ratus orang, namun jumlah yang sedemikian itu tidak ada artinya
bagi Pegunungan Kun-lun-san yang amat luas itu.
Pada
sepanjang kaki Pegunungan Kun-lun-san, juga di lereng-lereng, terdapat
pedusunan dan pada bagian-bagian yang sunyi terdapat pula banyak pertapa yang
menyembunyikan diri. Hanya karena mereka ini memang bersembunyi di tempat sunyi
untuk bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, maka pihak Kun-lun-pai juga
tidak pernah mau menganggap mereka. Bahkan para tosu Kun-lun-pai sering kali
turun tangan membantu para penduduk dusun-dusun di situ. Karena pengaruh
Kun-lun-pai pula maka tidak ada seorang pun perampok berani mengacau di daerah
Kun-lun-san.
Keng Hong terpaksa
menghentikan perjalanannya dalam sebuah hutan ketika malam tiba. Ia merasa amat
lelah karena selama beberapa hari melakukan perjalanan terus-menerus dan hanya
berhenti kalau malam tiba. Makannya tidak teratur, kadang-kadang selama dua
hari baru bertemu makanan. Malam ini dia lelah sekali dan begitu membuat api
unggun dan merebahkan diri di bawah pohon, dia segera jatuh pulas.
Malam itu
gelap, tiada bulan dan angkasa hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya
terlampau suram untuk dapat menembusi celah-celah daun pohon yang lebat.
Menjelang tengah malam, dalam keadaan setengah sadar setengah mimpi, dia merasa
betapa dia diberi minum orang. Dalam keadaan setengah sadar itu dia merasa
betapa lengan yang halus lunak dan hangat memeluk lehernya, mengangkat
kepalanya dan ketika pundaknya menyentuh dada yang menonjol, Keng Hong
diam-diam tersenyum.
Ada wanita
yang bentuk tubuhnya halus lunak dan padat, wanita muda, mencoba untuk
meminumkan sesuatu kepadanya. Dia tidak takut akan segala macam racun karena
dia sudah kebal terhadap racun, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menurut saja dan
minum dari cawan yang ditempelkan di bibirnya.
Bibir cawan
yang halus, rasa anggur yang harum dan manis, mengingatkan dia akan bibir Sim
Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang belum lama ini telah melayaninya dalam cinta
kasih yang mesra. Maka, setelah minum habis anggur itu, dia pun berbisik,
"Ciang
Bi.. Kekasihku.."
Akan tetapi
mendadak lengan yang halus itu merangkulnya lebih erat dan sepasang bibir yang
hangat menyumbat erat mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Keng Hong
bergidik. Kalau ini Ciang Bi, betapa pun mencintainya, tidak mungkin mampu
memberinya ciuman seberani dan sepenuh nafsu seperti ini. Hanya seorang Cui Im
yang akan dapat melakukan ciuman seperti ini.
Akan tetapi
Keng Hong tak mempedulikannya, melainkan menerima hal itu sebagai suatu
kenikmatan, pelipur hati gelisah dan lelah setelah mengalami banyak hal yang
berbahaya. Dia tidak pernah minta, dia tidak mengajak, melainkan gadis itu
sendiri yang datang dan ‘memperkosanya’. Bukan, bukan memperkosa karena dia
menerima dengan senang hati!
Watak
gurunya menurun kepadanya! Cinta kasih wanita dianggapnya sebagai semacam
‘rejeki’ yang tidak boleh ditolaknya, apa lagi kalau wanita itu seperti ini,
muda jelita, halus, hangat dan harum seperti serangkai bunga mawar pagi. Segar
menggairahkan!
Keng Hong
membiarkan dirinya dihanyutkan permainan cinta kasih yang menggelora. Dia
berada dalam keadaan setengah sadar. Arak yang diminumnya tidak mempengaruhinya
karena gumpalan hawa beracun yang wangi ia kumpulkan di dada dan kini
perlahan-lahan dia hembuskan keluar kembali. Dia teringat bahwa arak semacam
ini adalah arak yang pernah diminumnya dari Ang-kiam Tok-sian-li Bhe-Cui-Im.
Cui Im-kah gadis ini?
"Keng
Hong... akulah kekasihmu... hanya akulah yang mencintaimu."
Suara Cui
Im-kah ini? Atau suara Biauw Eng? Sukar bagi Keng Hong untuk mengenal gadis ini
karena malam itu sangat gelap dan api unggun yang tadi dinyalakannya sudah
padam. Akan tetapi dia tak peduli dan hanya menyelamkan diri ke dalam lautan
cinta yang memabukkan.
Keng Hong
sadar dari tidurnya. Mimpikah dia semalam? Dia meraba ke kiri dan membuka mata,
hendak meraba tubuh yang menggairahkan, yang semalam rebah di sampingnya. Akan
tetapi kosong! Tangannya hanya meraba rumput yang masih hangat. Dia membuka
matanya.
Cuaca tidak
segelap malam tadi. Kiranya sudah menjelang fajar. Ia mendengar suara kaki di
sebelah kanan, maka dia cepat menoleh dan masih tampak olehnya Sie Biauw Eng
dengan pakaian serba putihnya yang mudah dikenal itu berlari cepat meninggalkan
tempat itu.
Aihhhhh!
Biauw Eng kiranya gadis yang begitu mesra kepadanya semalam! Jantung Keng Hong
berdebar dan dia meloncat bangun, berteriak, "Nona Biauw Eng...!"
Akan tetapi
bayangan putih itu lenyap di dalam halimun pagi yang memenuhi tempat itu. Keng
Hong bangun duduk, tidak mengejar, lalu mengenakan pakaiannya untuk melawan
hawa yang sangat dingin itu. Dilihatnya sebuah cawan kosong menggeletak di
sana, dan sebuah tusuk konde berkepala bunga bwee. Lagi-lagi sebuah di antara
senjata rahasia Sie Biauw Eng, agaknya jatuh tercecer.
Ia melamun,
bermacam perasaan mengaduk hatinya. Kemudian dia tersenyum pahit dan entah
mengapa, hatinya merasa kecewa sekali.
Sie Biauw
Eng gadis itu! Gadis yang semalam menggerumutnya, yang ternyata tidak ada
bedanya dengan Bhe Cui Im! Gadis yang menjadi hamba nafsu birahi, yang hatinya
tidak kuat sehingga mudah tunduk ke dalam cengkeraman nafsu.
Kiranya
tiada bedanya antara Biauw Eng dan Cui Im, bahkan Biauw Eng lebih jahat lagi.
Tidak hanya menjadi hawa nafsu birahi, juga hati Biauw Eng amat kejam. Gadis
itu telah membunuh Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai itu secara keji sehingga
gadis Hoa-sa-pai yang dia tahu benar-benar mencintainya, bukan hanya oleh
dorongan hawa nafsu birahi itu tewas dalam pelukannya!
Rasa kagum
dan juga rasa aneh yang pernah dia kandung terhadap diri Biauw Eng, mungkin
karena Biauw Eng adalah puteri suhu-nya, atau mungkin juga karena merupakan
perasaan cinta kasih yang sesungguhnya, bukan cinta nafsu yang mempengaruhi
hatinya seperti ketika dia melayani Cui Im, bahkan ketika dia bercinta dengan
Sim Ciang Bi sekali pun. perasaan itu sekarang berubah menjadi perasaan muak
dan benci. Muak dan benci terhadap Biauw Eng yang timbul dari kecewa dan sesal.
Mengapa puteri suhu-nya macam itu?
Karena Biauw
Eng membunuh banyak orang Tiat-cang-pang dengan senjata rahasianya, maka dia
makin dibenci orang-orang Tiat-ciang-pang. Karena Biauw Eng membunuh Sim Ciang
Bi secara keji, tentu saja dia akan dimusuhi oleh Hoa-san-pai dengan hebat! Dan
kini secara tak tahu malu, di malam buta, Biauw Eng agaknya tidak dapat menahan
gelora nafsu birahinya dan menggerumutnya seperti seorang pelacur.
"Terkutuk!
Engkau tak patut menjadi puteri mendiang suhu! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni
nenek iblis itu, akan tetapi aku tidak percaya engkau puteri guruku. Engkau
iblis betina yang keji dan jahat!" dia memaki sambil bangun berdiri,
menendang pergi cawan kosong dengan jijik.
Kalau dia
tahu benar bahwa gadis semalam itu adalah Biauw Eng, betapa pun mesranya sikap
gadis itu, betapa pun indah menggairahkan tubuhnya, dia pasti akan menendangnya
pergi! Baru sekarang, Keng Hong merasa sebal dan menyesal sekali telah menuruti
hati mengejar kenikmatan dalam menyambut cinta kasih seorang gadis.
Kemudian,
dengan hati panas dan penuh kebencian, dia segera berlari-lari pergi dari situ
menuju ke arah barat. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia peduli akan semua
yang dilakukan Biauw Eng? Padahal, Cui Im juga jahat dan keji, namun dia sama
sekali tidak menyesal telah bermain cinta dengan murid Lam-hai Sin-ni yang
seperti iblis itu.
Mengapa dia
merasa menyesal mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis
baik-baik yang patut menjadi puteri gurunya? Mengapa dia menyesal mendapatkan
kenyataan bahwa gadis pakaian putih itu ternyata juga seorang hamba nafsu
birahi dan seorang yang keji, yang membunuh orang lain yang tidak berdosa tanpa
berkedip mata? Dia sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan hatinya yang ditujukan
kepada perasaannya itu.
Hatinya
terasa agak lega setelah ia mulai mengenal daerah yang sudah termasuk daerah
Kun-lun-san ini. Memasuki daerah Kun-lun-san berarti berada di wilayah yang
dikuasai Kun-lun-pai, daerah aman. Dia tentu takkan menghadapi gangguan-gangguan
para tokoh kang-ouw lagi setelah berada di sini.
Akan tetapi
tak mungkin dia pergi menghadap tokoh-tokoh Kun-lun-pai, karena kalau para
tokoh Kun-lun-pai mengetahui dia berada di situ, tentu dia akan ditangkap dan
tidak ada harapan lagi baginya untuk naik ke Kiam-kok-san. Ia harus dapat
mencapai Kiam-kok-san dengan diam-diam, tanpa diketahui tokoh-tokoh
Kun-lun-pai. Apa bila dia sudah berada di puncak Kiam-kok-san, biar pun
diketahui juga, tak akan ada yang berani menyusulnya ke tempat itu.
Akan tetapi
dugaannya ini ternyata keliru karena baru saja dia keluar dari hutan itu, dia
melihat banyak orang menghadang di sebelah depan! Tadinya dia mengira bahwa
mereka tentulah tokoh Kun-lun-pai, akan tetapi dugaannya keliru karena ketika
dia sudah sampai dekat dengan mereka, dia mengenal tosu tua yang berdiri di
depan itu adalah seorang di antara para tokoh yang pernah mengeroyok suhu-nya,
yaitu Kok Cin Cu tosu termuda dari Kong-thong Ngo-iojin, seorang tokoh
Kong-thong-pai yang amat lihai!
Oleh karena
dia sendiri belum pernah bentrok secara hebat dengan pihak Kong-thong-pai,
kecuali dengan sembilan orang murid Kong-thong-pai yang beberapa orang di
antaranya, juga termasuk seorang di antara dua wanita cantik itu kini berada di
situ, maka dia masih memiliki harapan untuk membebaskan diri dari keadaan tidak
enak dalam pertemuannya dengan tokoh besar Kong-thong-pai yang memimpin sepuluh
orang murid itu.
Ketika dia
bentrok dengan sembilan orang murid Kong-thong-pai yang bercampur dengan empat
orang murid Hoa-san-pai dan tiga orang murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya yang
bertempur adalah Cui Im dan Biauw Eng, dan sungguh pun di antara beberapa orang
Kong-thong-pai ada yang terluka, namun tidak ada yang sampai tewas. Ia cepat
menjura penuh hormat kepada tosu itu sambil berkata,
"Selamat
pagi, Totiang dan para Twako dan Cici dari Kong-thong-pai yang mulia!"
Kok Cin Cu,
tosu yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih itu, memandang penuh
perhatian. Dia telah mendengar cerita dari para muridnya mengenai pemuda murid
Sin-jiu Kiam-ong ini, yang kabarnya memiliki ilmu mukjijat, yaitu menyedot hawa
sinkang para muridnya. Mendengar itu dia menjadi penasaran dan tertarik sekali,
lalu mengajak mereka dan beberapa orang murid lain untuk menghadang di kaki
Kun-lun-san karena merasa yakin bahwa sekali waktu pemuda itu tentu akan
kembali ke Kun-lun-san. Dia tercengang melihat bahwa pemuda ini hanyalah seorang
bocah biasa saja, tampan dan memiliki sinar mata yang cemerlang, sikap yang
sopan santun dan wajah yang berseri gembira. Juga dia terheran melihat pemuda
ini seperti mengenalnya.
"Hemmm,
engkau telah mengenal pinto?"
Keng Hong
tersenyum, "Tentu saja saya telah mengenal Totiang. Bukankah Totiang yang
disebut Kok Cin Cu, tokoh termuda dari Kong-thong Ngo-Lojin?"
"Siancai...!
Agaknya Sin-jiu Kiam-ong tidak menyimpan sesuatu rahasia terhadap murid
tunggalnya. Bukankah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong?"
"Benar,
Totiang. Saya Cia Keng Hong, murid dari suhu Sin-jiu Kiam-ong dan betul pula
bahwa saya mendengar segala hal tentang Kong-thong-pai dari mendiang
suhu."
"Hal
apa saja kau dengar?"
"Bahwa
Kong-thong-pai merupakan sebuah partai persilatan besar yang mengutamakan
kebajikan berdasarkan kegagahan, keadilan dan kebenaran. Bahwa Kong-thong
Ngo-lojin merupakan lima tokoh besar yang menjadi tulang punggung
Kong-thong-pai dan bahwa suhu bersahabat baik dengan para pimpinan
Kong-thong-pai," kata Keng Hong, sengaja menambah untuk mendinginkan
suasana.
"Bersahabat
baik apanya? Dia sudah membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dan engkau
masih mengatakan bersahabat baik? Apa bila dia bersahabat baik, tentu dia tidak
akan begitu pelit untuk memberikan Siang-bhok-kiam kepada pinto sebagai tebusan
atas kesalahannya terhadap pihak kami. Pinto hanya mengharapkan supaya engkau
sebagai muridnya dapat melihat kekeliruan gurumu dan dapat menebus semua
kesalahan supaya persahabatan akan terpelihara."
Keng Hong
menghela napas panjang. Tak lain tak bukan, ke sana juga larinya. Alangkah
tamaknya kaum kang-ouw ini di dalam mengejar ilmu. Mereka itu seakan-akan tidak
ada puasnya dalam mencari ilmu-ilmu yang tinggi, seolah-olah berlomba agar
menjadi jagoan nomor satu di dunia, lupa bahwa semua itu akan musnah dan habis
digerogoti waktu dan usia, akhirnya ditelan oleh kematian.
Bahkan kakek
yang begini tua masih begitu tidak tahu diri untuk memperebutkan pusaka
peninggalan suhu-nya. Apakah kakek ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari
dan kemudian mempunyai kesempatan pula untuk mempergunakan ilmu yang
dipelajarinya?
Sungguh
manusia-manusia merupakan badut-badut yang tidak lucu, malah menjemukan, selalu
menjadi hamba dari pada nafsu dan ketamakan. Ada yang tamak dalam mengejar
kedudukan tinggi, mengejar nama besar, mengejar kemuliaan duniawi, mengejar
wanita, atau seperti orang-orang kang-ouw ini, mengejar ilmu supaya menjadi
orang yang paling hebat di dunia ini!
Benar
gurunya! Gurunya tidak mengejar, melainkan menerima segala sesuatu sebagai
suatu berkah, suatu nikmat hidup, suatu kesenangan! Gurunya yang melakukan segala
sesuatu demi kesenangan hidup, tidak menyia-nyiakan hidupnya untuk mengejar
sesuatu.
Tentu saja
Keng Hong tidak tahu keadaan gurunya seperti itu pun adalah sebagai akibat dari
pada suatu sebab, yaitu sebab patah hati oleh cinta kasih yang ternoda. Dia
masih terlalu muda, masih belum berpengalaman untuk bisa meneropong sepak
terjang gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti orang tua, yang merupakan
satu-satunya manusia di permukaan bumi yang dianggapnya paling baik.
"Maaf,
Totiang. Menurut cerita guru saya, bentrokan yang terjadi antara suhu dan anak
murid Kong-thong-pai adalah bentrokan di antara orang-orang ada yang sedang
bermain judi, artinya merupakan bentrokan pribadi yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan partai Kong-thong-pai. Kalah dan menang dalam
perkelahian sudah wajar, terluka atau mati juga hanya merupakan resiko-resiko
dalam sebuah pertandingan. Kebetulan saja murid-murid Kong-thong-pai yang kalah
dan tewas. Bagaimana kalau suhu yang ketika itu kalah dan tewas? Saya rasa
urusan seperti itu saja tidak perlu diperpanjang, apa lagi kedua pihak, baik
lima orang murid Kong-thong-pai yang kalah mau pun suhu yang menang, semuanya
telah meninggal dunia. Saya menganggap bahwa urusan itu sudah selesai!"
"Aha,
kulihat engkau seorang muda yang berpandangan luas. Tentu engkau akan dapat
mengerti pula akan kesediaan pinto menghapus semua luka lama dengan sebuah
tangan murid Sin-jiu Kiam-ong yang akan memenuhi permintaan pinto."
Diam-diam
Keng Hong menjadi jengkel juga. "Kalau saya tidak salah artikan tentu
Totiang maksudkan pedang Siang-bhok-kiam, bukan?"
Tosu itu
tersenyum dan mengangguk, "Engkau seorang muda yang gagah dan cerdik,
tentu maklum apa yang kami kehendaki."
"Tentu
Totiang sendiri juga sudah tahu jelas bahwa Siang-bhok-kiam telah saya serahkan
kepada Kun-lun-pai."
Tosu tua itu
meraba-raba jenggotnya yang panjang. "Tentu saja pinto tahu. Akan tetapi
pinto juga tahu bahwa pihak Kun-lun-pai sudah kena dibohongi, sudah terkena
tipuanmu. Ahh! engkau benar-benar menuruni sifat Sin-jiu Kiam-ong yang nakal,
orang muda. Masa para pimpinan Kun-lun-pai sampai kena kau bohongi, kau beri
sebuah pedang kayu yang palsu. Ha-ha-ha! Sungguh amat lucu sekali."
Keng Hong
terkejut. "Ahh, jadi... mereka sudah tahu...?"
"Sudah,
rahasiamu telah terbuka dan kini engkau berada dalam bahaya maut yang hebat.
Maka mengingat persahabatan pinto dengan gurumu, sebaiknya lekas engkau
serahkan pedang itu atau memberitahukan tempat pedang itu kepada pinto, dan
pinto serta semua pimpinan Kong-thong-pai akan melindungimu. Percayalah bahwa
Kong-thong Ngo-Iojin masih memiliki cukup wibawa untuk melindungi murid
Sin-jiu-kiam-ong."
Keng Hong
segera maklum bahwa kini dia sudah menambah ancaman baru bagi dirinya, menambah
musuh baru yang hebat bukan main, yaitu pihak Kun-lun-pai! Ternyata pihak
Kun-lun-pai telah mengetahui akan kepalsuan pedang yang dia berikan pada Kiang
Tojin!
Akan tetapi,
untuk menyerahkan diri berlindung kepada Kong-tong-pai, dia tidak sudi. Dia
sudah berbuat, dan dia sendiri pula yang harus bertanggung jawab, demikian
ajaran yang dia terima dari gurunya. Bukan sengaja dia hendak menipu
Kun-lun-pai, tapi adalah pihak Kun-lun-pai sendiri yang tidak benar, yang telah
memaksa minta pedang Siang-bhok-kiam darinya.
"Terima
kasih atas atas kebaikan Totiang akan tetapi saya tidak bisa memberikan pedang
itu kepada Totiang, karena pedang itu telah lenyap dan saya sendiri tidak tahu
berada di mana."
Wajah tosu
itu menjadi merah. "Bohong kau!"
"Terserah
penilaian Totiang, akan tetapi yang jelas, saya tidak dapat memberikan pedang
itu kepada pun juga."
"Cia
Keng Hong, bocah masih ingusan seperti engkau ini berani menentang pinto?"
"Totiang,
agaknya menurut kenyataannya, baik mendiang suhu mau pun saya sendiri tak
pernah menentang siapa-siapa, tidak menentang Totiang dan juga tak pernah
memusuhi Kong-thong-pai. Adalah Totiang sendiri bersama para tokoh kang ouw
yang dahulu selalu mendesak-desak suhu dan kini setelah suhu meninggal dunia
lalu mendesak-desak saya. Memang soal kebenaran tidak bisa diperebutkan,
Totiang, oleh karena setiap orang selalu melihat kebenaran dari sudut demi
kepentingan pribadinya. Yang penting adalah buktinya. Sekarang kita bertemu di
jalan, apa bila kita masing-masing jalan sendiri, bukankah tidak akan timbul
pertentangan? Saya hendak membuktikan bahwa saya tak menentang siapa pun, yaitu
saya hendak mengambil jalan sendiri, tidak mengganggu Totiang sama sekali.
Hendak saya lihat, siapakah di antara kita yang mencari pertentangan."
Setelah berkata demikian, Keng Hong langsung melangkah pergi dan hendak
melewati orang-orang yang menghadangnya itu dengan jalan memutar.
"Mau
atau tidak, engkau harus ikut bersama kami ke Kong-thong-pai! Di sana, di
hadapan Kong-thong Ngo-lojin, baru kau boleh bicara untuk membela diri"
kata Kok Cin Cu sambil melangkah dan menghadang Keng Hong.
Pemuda itu
menjadi penasaran dan marah sekali. Di antara banyak watak gurunya, salah satu
watak yang diwarisinya adalah watak tidak takut menghadapi apa pun asal merasa
benar. Ia maklum akan kelihaian kakek ini, maklum dari penuturan gurunya bahwa
kelima orang Kong-thong Ngo-lojin mempunyai ilmu pukulan Ang-liong Jiauw-kang
(Cengkeraman Kuku Naga Merah) dan sangatlah ampuhnya, mengandung tenaga panas
melebihi api membara dan merupakan kesaktian yang amat sukar dikalahkan.
Dia pun
pernah mendengar pula bahwa selain Ang-liong Jiauw-kang, kelima orang kakek itu
mempunyai senjata keistimewaan sendiri-sendiri dan Kok Cin Cu ini memiliki
senjata sabuk baja yang dipergunakan sebagai pecut. Akan tetapi melihat betapa
kakek ini amat mendesak dan memaksanya, timbul sifat keras kepalanya sehingga
ia menjawab dengan tegas,
"Sebaliknya,
Totiang. Dengan cara apa pun juga, saya tidak mau ikut ke Kong-thong-pai karena
tidak mempunyai urusan dengan siapa pun juga di sana!"
"Bagus,
engkau berani menentang pinto, ya?"
"Saya
bukan menentang orangnya, melainkan perbuatan dan sikapnya yang tidak benar
yang saya tentang!"
"Bocah
sombong! Kau kira pinto tidak akan dapat menangkapmu?" Tosu tua itu
menjadi marah.
Dia bukan
seorang pemarah, di depan murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, ia
selalu didesak omongan oleh pemuda ini, tentu saja ia menjadi malu dan
menganggap Keng Hong tidak memandang mata kepadanya. Dia telah berlaku sungkan
dan mengajak pemuda itu ke Kong-thong-pai hingga keputusan yang akan dijatuhkan
terhadap pemuda ini bukan keputusan dia sendiri, melainkan keputusan kelima
orang Kong-thong Ngo-Lojin. Hal ini saja sudah dia lakukan secara banyak
mengalah terhadap seorang pemuda.
Sekarang,
ditambah oleh bantahan-bantahan Keng Hong, benar-benar membuat kakek ini
kehilangan kesabaran dan lupa diri. Ia sudah melangkah maju dan cepat
mencengkeram untuk menangkap pundak Keng Hong dengan tangan kanan, ada pun
tangan kirinya telah melolos sabuk baja dari pinggangnya.
Keng Hong
menjadi marah dan tidak mau diam saja. Dia lalu mengerahkan sinkang dari
pusarnya, kemudian mengangkat tangan kiri menagkis cengkeraman itu.
"Plakkk!"
Tangan Kok
Cin Cu tertangkis secara hebat, akan tetapi kakek ini bukan main lihainya.
Cengkeraman pada pundak yang ditangkis itu cepat berbalik menjadi cengkeraman
pada pergelangan tangan Keng Hong dan gerakannya amat cepat dan kuat sehingga
sebelum Keng Hong tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya
sudah kena dicengkeram oleh lima buah jari tangan yang panas dan kuat sekali.
"Hayaaaaaaa...!
Teriakan ini keluar dari mulut Kok Cin Cu ketika kakek ini merasa betapa tenaga
singkang yang terkandung di dalam tangan kanannya membanjir keluar memasuki
pergelangan tangan pemuda itu.
Maklumlah
dia kini akan cerita para muridnya betapa pemuda ini memiliki ilmu ‘menyedot
sinkang lawan.’ Ia memang sudah bersiap-siap untuk ini, dan untuk penjagaan inilah
dia tadi mencabut sabuk baja, maka kini cepat menggerakkan tangan kirinya,
menggunakan sabuk itu menotok siku tangan kiri Keng Hong.
Totokan itu
mengenai jalan darah dengan tepat sekali sehingga seketika tangan kiri Keng
Hong menjadi lumpuh, dan otomatis tangan Kok Cin Cu yang mencengkeram dan telah
melekat tadi dapat direnggutnya terlepas. Kok Cin Cu cepat melompat ke belakang
sambil berseru,
"Bocah
keji! Engkau benar-banar memiliki ilmu iblis Thi-khi I-beng itu?" Kakek
ini dia-diam merasa kagum dan juga iri hati sekali.
Ilmu yang
sudah ratusan tahun dikabarkan lenyap itu, yang tentu saja sangat diinginkan
oleh semua tokoh kang-ouw, dan bahkan Lam-hai Sin-ni sendiri, tokoh datuk hitam
yang paling lihai hanya mengerti sedikit saja tentang ilmu ini, kini dimiliki
oleh bocah yang masih hijau! Ia lalu menggerakkan sabuk baja itu yang
meledak-ledak di udara seperti sebatang cambuk dan segera berubahlah cambuk itu
menjadi sinar melingkar-lingkar laksana naga beterbangan di atas kepala Keng
Hong!
Keng Hong
menjadi pening kepalanya memandang sinar hitam melingkar-lingkar ini, akan
tetapi dia tidak menjadi gentar dan sambil melengking keras tubuhnya sudah
meloncat. Akan tetapi tubuhnya yang meloncat itu bertemu dengan ujung sabuk
baja di udara. Ujung sabuk yang lemas itu tahu-tahu telah mengait lehernya.
Keng Hong
yang tercekik itu kaget dan marah sekali, tetapi sabuk itu sudah ditarik dengan
gentakan keras sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting dan
bergulingan di atas tanah. Ia meloncat bangun, mendengar suara ketawa dan
ternyata sepuluh orang murid Kong-thong-pai itu sedang mentertawakannya.
Kemarahannya makin menjadi dan cepat Keng Hong sudah membalikkan tubuh
menghadapi kakek itu lagi.
Kok Cin Cu
merasa tidak enak sendiri harus menghadapi seorang lawan muda dengan senjata di
tangan. Akan tetapi dia pun maklum betapa bahayanya apa bila dia bertangan
kosong saja, mengingat pemuda itu memiliki ilu Thi-khi I-beng. Dia tentu saja
tidak tahu bahwa sesungguhnya dalam hal ilmu silat, kepandaian Keng Hong masih
dangkal sekali. Bahkan dalam hal itu pukulan, dia hanya mengenal ilmu pukulan
sakti San-in Kun-hoat di samping ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang hanya
dapat dimainkan dengan pedang kayu itu!
Kakek itu
mengira bahwa pemuda yang sudah memiliki Thi-khi I-beng tentu memiliki pula
ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi. Dan dia tidak berniat merobohkan pemuda ini
dengan membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya yang tentu saja lebih sukar
dari pada kalau membunuhnya.
"Totiang,
engkau jahat!" Keng Hong berseru dan kini dia menerjang maju sambil
mainkan jurus ke tiga Ilmu Silat San-in Kun-hoat.
Jurus ini
disebut Siang-in Twi-san (Sepaang Mega Mendorong Gunung), dilakukan dengan
pukulan mendorong ke arah lawan mempergunakan sepasang lengan yang dilonjorkan
sambil melompat maju. Untuk melakukan serangan ini, Keng Hong menggunakan
sinkang sehingga angin pukulannya dari jauh sudah menyambar ke arah dada Kok
Cin Cu.
Tokoh
Kong-thong-pai ini sendiri adalah seorang ahli Iweekeh, seorang yang mahir
sekali mempergunakan sinkang untuk memainkan Ilmu Ang-liong Jiauw-kang, juga
sinkang-nya sudah kuat sekali. Akan tetapi, pada saat angin pukulan dari
sepasang tangan pemuda itu mendorongnya dan dia merasa betapa tenaga itu sangat
dahsyat, yang kalau dia lawan agaknya dia tidak akan kuat, dia menjadi terkejut
bukan main.
Cepat dia
melempar tubuh ke belakang dan segera berjungkir balik ke samping, kemudian
pecutnya disabetkan ke depan mengarah tubuh Keng Hong yang masih meloncat
datang. Ujung cabuk ini melibat kedua kaki Keng Hong sehingga pemuda itu
terpelanting keras ke atas tanah. Kembali dia terjatuh dan terguling-guling,
juga kembali dia mendengar suara ketawa anak murid Kong-thong-pai yang baginya
lebih menyakitkan dari pada bantingan itu sendri.
Keng Hong
melompat bangun lagi. Bajunya sudah robek di bagian siku dan pundak, akan
tetapi dia tidak peduli akan keadaan dirinya, bahkan tidak peduli terhadap rasa
nyeri pada pinggul dan pahanya pada waktu terbanting tadi. Kemarahannya membuat
dia tidak mau mengeluarkan suara, melainkan siap untuk menyerang lagi.
Melihat
sikap pemuda ini yang agaknya nekat dan sama sekali tidak mengenal takut, Kok
Cin Cu menjadi makin tidak enak. "Orang muda, lebih baik engkau menyerah
saja. Pinto hanya ingin mengajakmu ke Kong-thong-pai, apa sukarnya bagimu?
Mengapa kau harus menantang pinto? Pinto sungguh tak ingin menghina orang muda,
tak ingin menyakitimu."
"Tosu
palsu, tak perlu banyak bicara manis lagi karena bicara manis itu
menyembunyikan kepahitan yang memuakkan. Engkau menghendaki Siang-bhok-kiam dan
aku tidak ingin memberikan. Mau bunuh atau mau apakan aku, terserah, aku tidak
takut!" jawab Keng Hong.
"Ahh,
bocah keras kepala, kau memang perlu dihajar!" bentak Kok Cin Cu yang
sudah benar-benar tidak berdaya untuk membujuk.
Sabuk
bajanya menyambar dan meledak-ledak ke atas kepala Keng Hong, lalu meluncur ke
bawah mencambuk ke arah leher pemuda itu. Keng Hong cepat mengelak, akan tetapi
cabuk itu seolah-olah mempunyai mata, karena begitu juga mengejar dan dengan suara
keras cambuk itu telah menghantam pangkal bahunya.
"Tarrr..!"
Untung Keng
Hong cepat sekali mengerahkan lweekang-nya sehingga ujung cabuk itu mental
kembali dan hanya berhasil menggigit robek baju di bagian bahunya. Betapa pun
juga, kulit bahu terasa pedas dan panas.
Ada pun Kok
Cin Cu yang melihat betapa kulit bahu itu tidak lecet sedikit pun, diam-diam
merasa semakin kagum dan harus memuji pemuda ini yang betul-betul telah
mempunyai tenaga sinkang yang amat hebat. Diam-diam dia harus mengakui pula
bahwa jika pemuda itu mempunyai ilmu silat yang tinggi dan terlatih, kiranya
sukarlah baginya untuk dapat menandingi pemuda ini.
Untung
baginya, pemuda ini agaknya hanya mewarisi sinkang yang amat dahsyat, namun
belum mewarisi ilmu silat Sin-jiu Kiam-ong yang tinggi. Biar pun gerakan
serangannya tadi luar bisa anehnya dan dahsyatnya, namun gerakannya masih kaku,
tanda bahwa pemuda ini kurang terlatih dalam ilmu silat.
"Tarr…!
Tarrr…!! Tarrrrrrrrr…!!!"
Cambuk itu
melecut-lecut dengan ganasnya, menghujani tubuh Keng Hong dari segala jurusan
dan datangnya dari jarak jauh sehingga pemuda itu tidak ada kesempatan untuk
balas menyerang. Memang benar bahwa dengan sinkang-nya Keng Hong dapat menolak
lecutan tiba, akan tetapi cambuk itu terus melecut tubuhnya sehingga mulailah
darahnya mengalir keluar dari kulit paha dan kulit punggung yang ikut robek
bersama pakaiannya.
Melihat
darahnya sendiri serta merasa betapa nyeri punggung dan pahanya, Keng Hong
bukannya menjadi jeri bahkan menjadi makin marah. Ia kini berusaha menerima
lecutan cambuk dengan kedua tangannya dan setelah kedua lengannya penuh luka
oleh ujung cabuk, akhirnya dia berhasil menangkap ujung cambuk dengan tangan
kanannya.
Keng Hong
mengerahkan tenaga membetot untuk merampas, Kok Cin Cu mengerahkan tenaganya
untuk menahan dengan susah payah. Untung bagi Tosu ini bahwa Keng Hong memegang
ujung cambuk baja yang kecil, licin dan keras, berbeda dengan tosu itu yang
memegang gagangnya yang tentu saja lebih enak sehingga sampai beberapa lama
Keng Hong belum juga berhasil merampasnya.
Sementara
itu anak murid Kong-thong-pai mulai mengurung dengan senjata di tangan dan
sudah siap menghujankan senjata pada tubuh Keng Hong. Pemuda ini terancam
bahaya, terutama sekali dari Kok Cin Cu yang mulai menggerakkan tangan kirinya
dengan Ilmu Ang-liong Jiauw-kang sehingga perlahan-lahan tangan kirinya itu
berubah merah sekali, tanda bahwa tenaga Ang-liong Jiauw-kang telah terkumpul.
Sekarang tosu itu siap dengan tangan kirinya dan agaknya begitu Keng Hong dapat
menang dalam perebutan cambuk, tentu dia akan mengirim pukulan mautnya.
"Suhu,
biar teecu serampang kakinya dengan tombak teecu!" seru salah seorang di
antara murid-murid Kok Cin Cu.
"Biar
teecu tusuk dari belakang," kata yang lain.
Teriakan-teriakan
mereka itu dibarengi dengan pengurungan yang makin ketat dan tangan mereka
sudah mulai bergerak-gerak penuh semangat karena begitu ada komando dari guru
mereka, tentu mereka itu akan berlomba untuk menyerang Keng Hong.
"Jangan…
turun tangan...," terdengar Kok Cin Cu berkata lirih.
Cepat kakek
ini mengerahkan tenaga lagi karena begitu dia bicara sedikit saja, cambuk
terbetot dan hampir dapat terampas oleh Keng Hong.
Pemuda ini
pun agak berkurang kemarahannya, bahkan kalau tadi ia bernafsu membunuh kakek
ini, sekarang nafsunya hilang dan dia sadar bahwa betapa pun juga, kakek ini
tidak seperti tokoh kang-ouw lainnya yang haus akan pusaka simpanan gurunya.
Kakek ini masih mengenal sifat gagah, buktinya dia melarang murid-muridnya
turun tangan padahal kalau saja hal itu terjadi, sudah jelas bahwa kakek itu
tentu akan dapat mengalahkannya, menangkapnya atau pun membunuhnya.
Pada saat
itu terdengar suara melengking tinggi dan suara ini disusul teriakan-teriakan
kesakitan dan robohlah empat murid Kong-thong-pai. Mereka roboh bergulingan,
lantas berkelojotan karena pelipis mereka masing-masing sudah tertusuk sebatang
tusuk konde berkepala bunga bwee!
Pada saat
itu nampaklah bayangan putih berkelebat dan Sie Biauw Eng sudah meloncat dengan
gerakan ringan. Ketika tangannya bergerak, terlihat sebuah sinar putih melayang
ke depan dan ujungnya menyambar ke arah mata Kok Cin Cu!
"Hayaaa...!"
Tosu itu berseru kaget melihat menyambarnya sabuk sutera putih yang amat cepat
seperti ular hidup ini.
Terpaksa dia
pun melepaskan cambuknya sehingga cambuk itu tertinggal di tangan Keng Hong,
kemudian dengan gerakan cepat kakek itu meraih ke arah ujung sabuk sutera putih
dengan cengkeraman tangan kirinya untuk merampas senjata wanita berbaju putih
ini. Sie Biauw Eng sudah menyendal kembali sabuk suteranya karena niatnya tadi
hanya hendak menolong Keng Hong dari pada bahaya.
Akan tetapi
Kok Cin Cu tidak mengerti akan niat wanita cantik jelita yang baru datang ini.
Melihat gerakan sabuk sutera putih tadi, Kok Cin Cu yang juga seorang ahli
memainkan senjata lemas, maklum bahwa wanita muda ini merupakan seorang lawan
lihai yang sama sekali tidak boleh di pandang ringan, maka dia pikir bahwa
sebelum dikeroyok dua orang muda lihai ini, lebih baik turun tangan dulu membunuh
Keng Hong, baru menghadapi wanita itu.
Pikiran
inilah yang membuat Kok Cin Cu tiba-tiba meloncat ke depan menubruk ke arah
Keng Hong dan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah
kepala dengan Ilmu Ang-liong Jiauw-kang yang luar biasa dahsyatnya!
"Keng
Hong... awas...!" Sie Biauw Eng menjerit ngeri menyaksikan dahsyatnya
serangan tokoh Kong-thong-pai ini dan dari tangannya meluncur sinar putih.
Keng Hong
juga maklum akan kelihaian Ang-liong Jiauw-kang, maka dia pun cepat-cepat mengerahkan
sinkang-nya. Akan tetapi karena dia tak ingin membunuh kakek ini, dia pun
menggunakan tenaga sinkang-nya untuk mendorong agar tubuh kakek itu terpental.
Kini dia tidak marah kepada kakek itu, maka otomatis tenaga sedot yang mukjijat
di tubuhnya pun tidak bekerja!
"Dessss...!"
Dua tenaga
raksasa yang tidak tampak bertemu di udara. Tubuh Keng Hong tergetar dan
bergoyang-goyang, kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang. Akan tetapi
Kok Cin Cu mengeluarkan keluhan tertahan, tubuhnya terbanting ke belakang dan
kakek itu pun roboh tak berkutik lagi!
"Kau...
perempuan keji…!"
Keng Hong
menoleh ke arah Biauw Eng karena dia dapat melihat jelas betapa ujung sabuk
sutera Biauw Eng tadi menotok ke arah jalan darah di belakang kepala tosu itu,
sebuah totokan maut yang tak mungkin dapat dielakkan oleh tosu yang sedang
mengadu tenaga dahsyat dengan dia tadi. Gerakan sabuk sutera di tangan Biauw
Eng sedemikian cepatnya sehingga hanya dia yang bisa melihatnya sedangkan sisa
murid Kong-thong-pai tidak ada yang mengetahuinya, menyangka bahwa guru mereka
itu tewas di tangan Keng Hong.
Biauw Eng
memandang heran. "Keng Hong ..., aku hanya membantumu...!"
"Perempuan
rendah! Perempuan tak tahu malu! Siapa membutuhkan bantuanmu? Pergi, muak
perutku melihatmu!"
"Kau...!
Kau...!"
Biauw Eng
terisak dan mukanya pucat sekali, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya
lantas berkelebat cepat melarikan diri dari tempat itu dengan meninggalkan isak
tertahan. Keng Hong menghela napas panjang, memandang ke arah mayat Kok Cin Cu
dan mayat empat orang murid Kong-thong-pai, kemudian dia berkata, suaranya
berat.
"Heh,
kalian murid-murid Kong-thong-pai, semua ini salahku. Aku sudah membunuh Kok
Cin Cu totiang dan empat orang saudara kalian. Nah, tangkaplah aku, belenggu
tanganku. Bawa aku ke Kong-thong-pai menghadap para pimpinan kalian agar aku
dapat menerima hukumannya secara adil."
Empat orang
laki-laki gagah serta dua wanita cantik itu sejenak memandang kepadanya dengan
perasaan jeri, benci, marah dan juga heran. Kemudian mereka meloncat maju dan
menelikung kedua tangan Keng Hong ke belakang. Salah seorang di antara mereka
mempergunakan cambuk baja milik Kok Cin Cu untuk mengikat kedua lengan pemuda
itu ke belakang, kemudian mereka menggiring Keng Hong sambil membawa lima
jenazah itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment