Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 23
TIAP KALI
Biauw Eng menangkis, Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya
sehingga sabuk itu terbabat putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus
sehingga panjangnya tinggal satu kaki lagi. Ia terpaksa membuang sabuknya itu
dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri.
Akan tetapi
Cui Im hanya tertawa, kemudian dengan mudahnya dia membabat dengan pedangnya
sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang merah terus
mengejar Biauw Eng.
"Setan!"
Cui Im mendengus kaget.
Terpaksa dia
menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rambutnya menyambar
ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan
tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat dia terhuyung ke
belakang.
Akan tetapi
Biauw Eng telah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang
pedang itu. Namun pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu
ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung-huyung itu kehilangan keseimbangan, pedang
rampasannya mencelat dan dia pun terguling.
Sambil
tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali
pedangnya, kemudian dengan langkah perlahan dan pedang ditodongkan ia
menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im.
Sinar merah
berkelebat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar
mengikuti ke mana pedang hendak menyerang. Gadis ini yang merasa tak mungkin
lagi dapat menyelamatkan diri hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh
ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!
"Tranggggg...!"
"Aiiihhhhh...!"
Cui Im kaget
bukan main karena pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Cepat dia meloncat
ke belakang dan dengan mata terbelalak dia melihat bahwa yang menangkisnya
adalah Keng Hong yang menggunakan Pedang Kayu Harum!
Dengan sikap
tenang namun cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar tubuh Biauw Eng yang
setengah pingsan, kemudian sepasang matanya bagaikan dua ujung pedang menembus
jantung Cui Im ketika dia memandang wanita itu sambil berkata,
"Cui
Im, perempuan sejahat-jahatnya perempuan! Tak boleh engkau mengganggu seujung
rambut pun dari wanita yang kucinta sepenuh jiwaku!"
Setelah
berkata demikian, dengan menggunakan kesempatan selagi semua orang masih
terbelalak heran dan terkejut, tubuhnya meloncat tinggi melampaui kepala orang
ke atas genteng, memondong tubuh Biauw Eng yang sudah pingsan ketika mendengar
ucapan Keng Hong tadi.
"Keng
Hong, manusia menjemukan! Kejar! Tangkap!"
Cui Im
menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar merah dari senjata rahasia jarumnya
menyambar ke arah tubuh Keng Hong yang masih melayang. Tapi dengan menggerakkan
tangan kanan yang memegang Siang-bhok-kiam, hanya dengan angin sambaran pedang
ini saja sudah cukup membuat sinar merah jarum-jarum itu lenyap karena
jarum-jarumnya runtuh ke bawah.
Sebelum Cui
Im sempat menyerang lagi, Keng Hong telah menghilang di balik wuwungan istana.
Kemudian pemuda perkasa ini mengerahkan seluruh ginkang-nya berloncatan dari
rumah ke rumah sampai berhasil keluar dari kota raja.
Cui Im
meloncat ke atas genteng hendak mengejar, disusul oleh Siauw Lek, tetapi mereka
berdua tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Keng Hong sehingga jauh sebelum
Keng Hong keluar dari kota raja, mereka berdua sudah kehilangan jejaknya.
Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek kembali ke tempat tadi dengan sikap murung.
Apa lagi Cui
Im yang menjadi gelisah setelah melihat munculnya Keng Hong yang ia tahu
merupakan satu-satunya orang yang berbahaya dan terlalu lihai baginya. Baru
tangkisan tadi saja sudah membuktikan bahwa Keng Hong benar-benar amat lihai,
memiliki sinkang yang tak terlawan, kemudian gerakan Keng Hong ketika melarikan
diri juga membuktikan jelas keunggulannya.
"Mulai
sekarang kita harus berhati-hati. Sebelum manusia itu dapat kubunuh, hidup ini
tidak tenteram bagiku," kata Cui Im kepada Siauw Lek yang sudah mendengar
dari Cui Im tentang diri murid Sin-jiu Kiam-ong itu.
"Kenapa
khawatir?" katanya memandang rendah. "Dengan kepandaian kita berdua
belum tentu kita kalah olehnya. Apa lagi di sana ada lima orang rekan kita yang
berilmu tinggi."
"Phuhhh!
Apa kau kira manusia macam Pak-san Kwi-ong dan yang lain-lain itu akan suka
membantu aku?"
"Kalau
kita menggunakan akal sehingga Keng Hong dianggap berbahaya untuk istana, tentu
saja mereka mau tak mau akan membantu kita menghadapi Keng Hong. Kalau kita
bertujuh sudah maju mengeroyoknya, biar Keng Hong mempunyai tiga kepala dan
enam lengan, masa kita tidak mampu membinasakannya?"
Ucapan Siauw
Lek itu sedikit banyak menghibur hati Cui Im, akan tetapi wanita ini maklum
bahwa mulai saat itu, dia tidak akan dapat menikmati makan lezat tidur nyenyak
lagi.
***************
"Mengapa...
mengapa engkau menolongku?"
Pertanyaan
lirih sebagai kata-kata pertama yang keluar dari mulut Biauw Eng ini membuat
Keng Hong terharu. Dia hanya memandang ketika gadis itu yang siuman dari
pingsannya bergerak perlahan, bangkit dan duduk menyandarkan tubuhnya yang
masih lemas itu ke batang pohon. Wajah itu pucat, rambut yang kusut itu
sebagian menutupi muka, bibirnya agak menggigil pada waktu bertanya dan matanya
yang memandang wajah Keng Hong benar-benar merupakan ujung pedang yang menikam
jantung bagi Keng Hong.
"Mengapa...
Mengapa engkau menolongku? Mengapa tak kau biarkan saja aku mati agar tidak
memperpanjang penderitaan hidupku?" Kembali Biauw Eng bertanya dan kini
dua butir air mata membasahi kedua pipi yang pucat.
"Biauw
Eng, masihkah engkau bertanya lagi dan haruskah aku menjawabnya? Engkau tahu
bahwa aku tidak mungkin dapat membiarkan engkau terancam bahaya, apa lagi di
tangan Cui Im yang jahat. Engkau mengerti bahwa aku... aku mencintamu..."
"Ahhh...
Jangan sebut-sebut lagi hal itu...," suara Biauw Eng terisak.
Keng Hong menghela
napas. "Aku mengerti bahwa aku tidak berhak mengatakan hal itu karena
engkau sudah menjatuhkan pilihan hatimu kepada Sim Lai Sek. Seharusnya aku
mengubur cinta kasihku di dalam hati yang terluka... Ah, sudahlah, memang benar
bahwa kita tidak boleh lagi bicara tentang hal itu. Di manakah dia? Di mana Sim
Lai Sek?"
Dengan air
mata masih berlinang, pandang mata kosong serta suara menggetar Biauw Eng
menjawab lirih, "Dia... dia telah mati..."
Hampir saja
Keng Hong meloncat saking kagetnya. "Heh...?! Mengapa, bagaimana...?"
"Itulah
sebabnya aku mengamuk di kota raja, tidak menyangka bahwa Cui Im juga berada di
kota raja."
Dengan
singkat, dengan suara pilu Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya kepada Keng Hong. Sejak ibunya dibunuh Cui Im dan Siauw Lek,
kemudian betapa dia terancam maut oleh racun Cui Im dan betapa Lai Sek sudah
menyelamatkan nyawanya dengan mengorbankan sepasang matanya. Biauw Eng
menceritakan ini sambil bercururan air mata.
"Sesudah
menerima budi dan cinta kasihnya yang begitu suci murni, apakah aku masih dapat
menolaknya? Dapatkah aku meninggalkannya?"
Keng Hong
merasa terpukul. Cinta kasih yang sedemikian besar dan murninya bagaikan
ditusukkan ke dalam matanya! Mengertilah dia sekarang mengapa Biauw Eng memaksa
diri untuk mendampingi Lai Sek, dan hal ini kembali menjadi bukti betapa kuat
batin gadis ini yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi membalas budi
orang!
Alangkah
mulia hati gadis ini. Jauh bedanya dengan Cui Im, bagikan bumi dengan langit.
Dan masih jauh bedanya dengan dia sendiri! Mengingat akan hal ini, mukanya
menjadi merah dan dia berkata,
"Lalu
bagaimana, Biauw Eng? Bagaimana kalian bisa sampai di kota raja dan siapa yang
membunuh Lai Sek?"
Biauw Eng
kemudian melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di kota raja. Ketika
menceritakan ini, matanya berapi dan dia menutup ceritanya dengan kata-kata
duka.
"Sungguh
menyedihkan nasib yang menderita Sim-twako. Akan tetapi aku telah berhasil
membalaskan sakit hatinya! Aku sudah puas, dan andai kata aku mati di tangan
Cui Im sekali pun, sakit hati Sim-twako sudah terbalas. Sayang... kematian
ibuku agaknya tidak mungkin akan dapat kubalas, Cui Im terlalu lihai
untukku..."
Diam-diam
ada rasa girang yang luar biasa di hati Keng Hong, rasa girang yang membuat dia
malu dan merasa berdosa. Mengapa dia bergirang hati mendengar kematian Lai Sek?
Ia tidak pernah mengharapkan hal ini terjadi, akan tetapi hal itu terjadi di
luar harapan dan pengetahuannya. Betapa pun juga, sudah menjadi kenyataan bahwa
Lai Sek telah tewas dan hal ini berarti bahwa Biauw Eng sudah bebas! Bebas
hatinya, dan dahulu gadis ini amat mencintanya!
"Biauw
Eng..., kenapa engkau berduka akan hal itu? Engkau tahu bahwa aku selalu siap
membantumu menghadapi Cui Im, bukan hanya untuk membalaskan sakit hatimu, juga
membalaskan sakit hati ibumu sekalian membalaskan segala perbuatan kejinya
terhadap dirimu. Betapa dia dahulu berusaha merusak namamu, lalu dia malah
mencuri kitab-kitab pusaka suhu. Antara dia dengan aku terdapat perhitungan
besar. Biauw Eng, marilah kita bersama-sama menghadapinya dan percayalah mulai
saat ini, aku tak akan membiarkan engkau diganggu orang, tidak akan membolehkan
engkau hidup menderita dan berduka, dan tak akan membiarkan engkau terpisah
lagi dari sampingku. Biauw Eng, engkau tentu maklum betapa sebenarnya selama
ini aku mencintamu, semenjak kita berjumpa. Betapa bodoh dan tolol aku dahulu,
tidak dapat menghargai cinta kasih seorang gadis sepertimu. Kau maafkan semua
kesalahan-kesalahanku yang lalu, Biauw Eng, dan aku bersumpah bahwa sejak saat
ini aku Cia Keng Hong akan mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
Biauw Eng
mengeleng-geleng kepalanya, air matanya mengucur lagi ketika berkata lirih,
"Terlambat, Keng Hong... terlambat sudah..."
Keng Hong
memandang kaget dengan penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu? Telambat
bagaimana, Biauw Eng?" Ia menjadi tegang dan tanpa disadarinya dia
memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin sekali.
Biauw Eng
menunduk, membiarkan tangannya di pegang. Diam-diam dia merasa betapa dari dua
tangan pemuda yang menggenggam tangannya itu keluar getaran hangat yang
menyentuh hatinya, yang mendatangkan rasa bahagia, tenteram dan aman,
seolah-olah dalam kelelahan yang hebat tiba-tiba mendapatkan sandaran yang
melindungi.
"Terlambat...
" Ia memaksa mulutnya bicara lirih. "Engkau pun tahu bahwa sejak
dahulu, cintaku hanya untukmu, jiwaku adalah milikmu, akan tetapi tubuhku...
sudah kuserahkan kepada Sim Lai Sek, jasmaniku sudah menjadi milik mendiang Sim
Lai Sek..."
Tiba-tiba
kedua tangan Keng Hong yang memegang tangan gadis itu terlepas dan seluruh
tubuh pemuda itu menjadi lemas, pandang matanya penuh penasaran ditujukan
kepada Biauw Eng, hatinya dibakar cemburu dan dia lalu bangkit berdiri dengan
gerakan kasar.
"Biauw
Eng! Sungguh tidak kusangka... seorang gadis seperti engkau mudah saja untuk
menyerahkan diri kepada orang yang belum menjadi suamimu. Ahh... Semua
perempuan sama saja di dunia ini... lemah dan mudah dibujuk nafsu...! Engkau
perempuan murah...!"
Biauw Eng
juga bangkit berdiri, tidak kasar seperti Keng Hong tadi, akan tetapi berdiri
perlahan-lahan, pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah pemuda itu,
kemudian dia pun berkata, suaranya tidak selemah tadi, melainkan tegas dan
nyaring mengandung kemarahan yang ditahan-tahan,
"Sudah
kuduga bahwa cintamu kepadaku hanya cinta nafsu belaka, dan hanya tubuhku yang
kaucinta, maka kini begitu mendengar bahwa tubuhku telah dimiliki pria lain,
engkau menjadi kecewa dan marah! Cia Keng Hong, aku tadi hanya ingin mengujimu,
sebelum aku mengambil keputusan dan ternyata bahwa aku mengambil keputusan
untuk tidak sudi di sampingmu! Dahulu, setiap hari aku menangisimu, setiap hari
bersembahyang untukmu akan tetapi ternyata bahwa pria yang kucinta sepenuh
jiwaku, hanyalah seorang laki-laki yang diperhamba nafsu. Aku bukan seperti
engkau, Keng Hong, aku tak pernah tergelincir digoda nafsu, dan mendiang Sim
Lai Sek adalah seorang laki-laki yang tahu menghormati wanita, tidak seperti
engkau..." Teringat akan Lai Sek, kembali Biauw Eng menangis.
Ucapan itu
laksana cengkeraman maut yang mencabut semangat dari tubuh Keng Hong. Tahulah
dia Biauw Eng hanya mengujinya dan dia yang diuji telah jatuh! Hatinya menjadi
gelisah, rasa takut akan kehilangan gadis yang sungguh-sungguh dicintanya ini
membuat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng dengan kedua kaki
lemas!
"Ah,
ampunkan aku, Biauw Eng..., ahh, betapa bodohku selalu mencurigaimu! Ampunkan
aku yang mencintamu dengan jiwa ragaku. Aku bersumpah..., hidupku takkan ada
artinya kalau engkau meninggalkan aku. Biauw Eng... maafkanlah ucapan dan
sikapku tadi, dan ketahuilah bahwa aku dibikin gila oleh rasa cemburu yang
besar. Rasa cinta kasih selalu mendatangkan rasa cemburu, Biauw Eng, dan harap
engkau dapat mengerti perasaanku ini dan..."
"Cukuplah,
Keng Hong. Tadi engkau bilang bahwa engkau mencinta maka engkau bisa cemburu.
Sebaliknya aku pun pandai mencintamu harus pula pandai membencimu. Aku pernah
mencintamu dengan cinta kasih yang tulus ikhlas dan suci murni, bukan hanya
mencinta jasmanimu sehingga biar pun aku tahu betapa jasmanimu bermain gila
dengan wanita lain, cinta kasihku kepadamu tidak pernah goyah. Dan sekarang
aku... Aku... ben... benci... ahhhhh!" Biauw Eng tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena lehernya tercekik isak tangis, kemudian dia membalikkan
tubuhnya dan lari meninggalkan Keng Hong.
"Biauw
Eng... jangan pergi... engkau tidak membenciku! Biauw Eng, kembalilah... Engkau
mencintaku, aku yakin akan itu... ahhh, Biauw Eng...!"
Akan tetapi
jeritan hati Keng Hong ini tidak terucapkan. Lehernya seperti tercekik dan dia
hanya berdiri bengong dengan muka pucat dan wajah muram, terus memandang ke
arah bayangan Biauw Eng yang makin mengecil kemudian lenyap.
Dia menarik
napas panjang, menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar kepada batang
pohon. Masih terasa olehnya kehangatan bekas tubuh Biauw Eng dan tanpa terasa
pula mata pemuda itu menjadi basah.
"Biauw
Eng... apa artinya hidup ini bagiku sekarang...?" Ia mengeluh dengan hati
hancur.
Kemudian dia
menjadi seperti orang beringas. Ditamparnya kedua pipinya sendiri kanan kiri
hingga menjadi biru-biru dan membengkak. Setelah matanya berkunang dan tubuhnya
tergelimpang miring barulah dia berhenti menampari mukanya sendiri dan dia
menangis terisak-isak.
Keng Hong,
pemuda gagah perkasa yang memiliki kesaktian jarang ada bandingnya itu menangis
seperti anak kecil! Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, hatinya bagaikan
diremas-remas.
"Bodoh!
Engkau laki-laki tolol! Rasakan sekarang...!" Seperti orang gila Keng Hong
terus memaki-maki dirinya sendiri dan makin dia ingat dan kenangkan, makin sakit
rasa hatinya, teringat betapa dia telah melakukan hal-hal yang amat tidak patut
dan tidak adil terhadap Biauw Eng.
Teringatlah
dia betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh nafsu birahi, betapa mudah dia
melayani wanita-wanita bermain cinta. Dan dia telah memaki-maki Biauw Eng
sebagai gadis tak tahu malu, bahkan sebagai perempuan murahan karena gadis itu
menyerahkan tubuhnya kepada Lai Sek. Andai gadis itu menyerahkan tubuhnya
kepadanya, agaknya akan lain lagi sikapnya.
Ah, dan
ternyata gadis itu hanya mengujinya, membohong dan sama sekali belum pernah
menyerahkan tubuhnya, apa lagi hati serta cinta kasihnya kepada pria lain!
Biauw Eng selamanya hanya mencinta dia, dan kalau gadis itu dahulu memilih Lai
Sek hanya karena gadis itu hendak membalas budi.
Ah, betapa
mulianya gadis itu, betapa mendalam cinta kasihnya. Dan sebaliknya betapa
rendahnya dia, betapa cintanya dikotorkan oleh nafsu semata. Dan sampai saat
ini, dia tahu benar dan dapat meraba dengan perasaannya, betapa gadis yang
merasa sakit hati dan bertekad untuk membencinya itu sesungguhnya masih
mencintanya. Bahkan, untuk mengatakan membencinya dengan mulut saja sampai
tidak terucapkan.
"Aduh,
Biauw Eng... bagaimana aku dapat menemukan engkau kembali? Bagaimana aku bisa
mendapatkan engkau kembali...?" Keng Hong mengeluh dan menyembunyikan muka
di antara kedua lengan yang dia tumpangkan di atas kedua lutut yang dia angkat
naik. Sampai lama dia duduk di bawah pohon seperti itu, kedua pipinya membiru
dan bengkak-bengkak, pandang matanya kosong dan sayu.
Menjelang
senja, setelah duduk seperti itu selama setengah hari, tiba-tiba dia meloncat
berdiri dan mengepal tinjunya. Bhe Cui Im! Wanita itulah yang menjadi
gara-gara! Wanita itulah yang pertama kali menyeretnya ke dalam gelombang
permainan nafsu!
Wanita itu
yang menjatuhkan fitnah secara keji terhadap Biauw Eng, bahkan kemudian
membunuh ibu Biauw Eng dan hampir membunuh Biauw Eng kalau saja dia tidak
ditolong Lai Sek. Wanita itu sebenarnya membuat Biauw Eng berhutang budi kepada
Lai Sek dan menjadi biang keladi pertama sehingga timbullah pertentangan dan
keretakan dalam cinta kasih antara dia dan Biauw Eng.
Dan Cui Im
pulalah orangnya yang harus dia cari, tidak saja untuk mendapatkan kembali
semua pusaka yang dicuri gadis itu, yang membuat dia dimusuhi banyak tokoh
kang-ouw, juga untuk membunuhnya karena perbuatan-perbuatannya yang kejam dan
yang dahulu hampir membunuhnya dalam tempat persembunyian gurunya.
Masih ada
urusan di dalam hidupnya! Masih banyak tugas memanggilnya dan pada saat itu,
tugas terpenting adalah membasmi Cui Im dan Siauw Lek yang dia kenal dari
cerita Biauw Eng tadi, di samping merampas kembali semua benda pusaka yang
dicuri Cui Im.
Timbul
kembali semangat hidup dalam diri Keng Hong yang tadinya sudah melayu. Dan pada
saat itu juga dia segera berlari meninggalkan hutan itu, kembali ke kota raja
untuk mencari Cui Im!
Ternyata
tidak mudah bagi Keng Hong untuk mendapatkan keterangan tentang Cui Im. Dari
sekian banyaknya orang yang menyaksikan pertempuran di gedung bangsawan atau
pembesar Ang, tidak ada satu pun yang mengenal Cui Im, hanya semua orang merasa
kagum pada wanita cantik yang menunggang kuda dan berhasil mengalahkan pembunuh
pembesar Ang itu.
Hal ini
tidaklah mengherankan karena seperti diketahui, Cui Im adalah seorang pengawal
rahasia yang memang tidak dikenal oleh orang biasa kecuali para perwira
pengawal. Apa lagi karena Cui Im dan Siauw Lek belum lama menjadi pengawal rahasia
kaisar.
Setelah
melakukan penyelidikan selama tiga hari, barulah Keng Hong berhasil mendapat
keterangan dari seorang perwira yang sedang mabuk di dalam salah satu restoran,
yang agaknya tergila-gila dan kagum kepada Cui Im.
"Ha-ha-ha,
hebat bukan main dia! Kiraku, di antara tujuh orang pengawal rahasia kaisar,
dialah orang pertama yang paling lihai! Cantiknya seperti bidadari dan
kepandaiannya,... Aahhh... hebat! Juga kepandaiannya dalam hal... Hi-hi-hik,
mati pun tidak penasaran bagi seorang pria yang diberi kesempatan mengenalnya
luar dalam! Ang-kiam Bu-tek menang dalam segala macam pertandingan,
ha-ha-ha!"
Mendengar
ocehan perwira mabuk ini, Keng Hong yang juga sedang makan di restoran itu
segera mendekat dan bertanya, suaranya dibuat-buat seperti orang yang punya
gairah namun takut-takut.
"Saya
berkesempatan menonton ketika Ang-kiam Bu-tek mengalahkan pembunuh Ang Taijin.
Sungguh saya terpesona dan sekaligus jatuh cinta! Ahh, Tai-ciangkun yang baik,
di manakah rumah wanita perkasa itu? Ingin... ingin... aku belajar
kenal..."
Dengan mata
merah karena mabuk perwira itu memandang Keng Hong. Tentu dia sudah marah kalau
saja hatinya tidak terlalu senang disebut tai-ciangkun (panglima besar) tadi.
"Ho-ho-ho,
engkau...? Biar pun engkau cukup tampan, akan tetapi untuk mencium telapak
kakinya pun jangan harap..., akan tetapi siapa tahu... sekali waktu kalau dia
sedang naik kuda berkeliling kota raja dan dia merasa suka! Ahhh... dia
pengawal rahasia, tentu saja tempatnya di dalam istana..."
Tiba-tiba
perwira itu seperti orang tersentak kaget, agaknya dia telah membuka rahasia
yang tidak boleh dibicarakan, maka dia membentak,
"Heh,
cacing tanah! Mau apa kau tanya-tanya? Pergi sebelum kutendang mukamu!"
Keng Hong
menjura dan cepat mengundurkan diri. Ia tidak marah, malah tersenyum dan
berkata, "Terima kasih!" Memang dia berterima kasih karena dari
ocehan perwira mabuk ini dia dapat mengetahui ke mana dia harus mencari Cui Im.
Di dalam
istana! Memang sangat berbahaya dan besar resikonya, akan tetapi baginya,
jangankan harus memasuki istana, walau pun harus menempuh lautan api dia tetap
akan mengejarnya juga.
Malam hari
itu juga Keng Hong menyelinap di antara kegelapan malam di luar komplek istana,
menanti saat baik baginya selagi para peronda baru saja lewat, melompat naik ke
atas pagar tembok dan menggunakan kepandaiannya untuk melayang turun di sebelah
dalam tembok.
Biar pun
para pengawal luar mengadakan penjagaan ketat, namun gerakan Keng Hong yang
luar biasa cepatnya itu tak dapat terlihat oleh mereka karena di dalam
kegelapan itu, andai kata ada yang kebetulan memandang ke tempat Keng Hong
meloncat, tentu hanya akan melihat berkelebat bayang-bayang hitam yang secepat
kilat.
Keng Hong
menyelinap memasuki taman istana yang berada di sebelah belakang. Cepat dia
bersembunyi di balik pohon cemara ketika melihat seorang penjaga, agaknya
anggota pasukan pengawal yang menjaga taman, berjalan perlahan, tangan kiri
memegang lampu, tangan kanan memegang golok terhunus, celingukan memandang ke
kanan kiri sambil menyoroti bagian-bagian gelap dengan lampunya.
Tiba-tiba
penjaga ini terkejut melihat bayangan hitam menyambar. Akan tetapi dia tidak
sempat bergerak, tidak sempat pula berteriak, bahkan dia tidak tahu mengapa
tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Keng Hong cepat menyambar lampu yang terlepas
dari tangan penjaga itu, meniup padam lantas menyeret tubuh yang telah ditotok
serta dicengkeram pundaknya itu ke balik pohon cemara.
"Aku
bukan penjahat pengacau istana, juga tak ingin mengganggumu. Akan tetapi, kalau
engkau tidak memberi tahu di mana aku dapat bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe
Cui Im pengawal rahasia kaisar yang baru, maka terpaksa aku akan
membunuhmu." Setelah berbisik demikian Keng Hong menekan leher si penjaga
yang segara dapat mengeluarkan suara kembali. Tubuhnya gemetar ketakutan dan
dia berkata gagap.
"Kau...
siapa... mau apa...?"
"Aku
musuh pribadinya. Aku hanya hendak bertemu dengan dia dan takkan mengacaukan
istana. Lekas jawab, di mana dia?" Keng Hong menekan pundak orang itu yang
mengeluh kesakitan dan cepat menjawab,
"Pondok
para pengawal rahasia... ada di belakang istana sebelah kiri.. ada tirai
bambunya berwarna kuning...!"
Keng Hong
menotok kembali orang itu sehingga selain tidak mampu bergerak, juga tidak
dapat mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya berkelebat ke arah yang ditunjuk
penjaga itu. Setelah melewati taman yang luas itu, juga menghindarkan pertemuan
dengan para penjaga, akhirnya dia melihat pondok yang bertirai bambu kuning
itu.
Dia
berindap-indap mendekati dan betapa gembira rasa hatinya ketika dia mengintai
dari balik pintu samping, dia melihat Cui Im sedang duduk mengobrol sambil
makan minum bersama Siauw Lek, hanya berdua saja di ruang yang luas dan sunyi
itu, bahkan pondok ini, sebagai pondok para pengawal rahasia, tentu saja tidak
ada pasukan penjaganya.
Saking
girang dan lega hatinya dapat menemukan musuh besarnya, Keng Hong langsung
meloncat.
"Cui
Im, akhirnya aku dapat menemukan engkau di sini!"
Siauw Lek
meloncat bangun dan cepat mencabut senjatanya, pedang hitam yang selalu
tergantung pada pinggangnya. Tetapi Keng Hong tidak mempedulikan, pandang
matanya ditujukan kepada Cui Im yang sama sekali tak kelihatan gugup seperti
Siauw Lek, bahkan wanita ini masih duduk, hanya memutar tubuh menengok sambil
tersenyum.
"Hi-hi-hi-hik,
pancinganku melalui perwira mabuk itu ternyata berhasil, dan napas penjaga
taman juga kau caplok Keng Hong? Betapa bodoh engkau!"
Keng Hong
terkejut, akan tetapi sikapnya tenang. "Cui Im, tidak perlu banyak cakap
lagi. Kita sudah sama mengetahui mengapa aku datang mencarimu. Lekas serahkan
kembali semua kitab dan senjata pusaka kepadaku!"
Cui Im
tertawa mengejek. "Hi-hi-hik-hik, enak saja kau bicara, Keng Hong. Yang
bodoh menjadi makanan yang pintar dan yang lemah menjadi injakan kaki yang
kuat, hukum ini sudah berlaku semenjak aku masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni.
Engkau bodoh dan lemah, bahkan sampai sekarang pun masih bodoh. Keng Hong,
tengoklah, engkau sudah terkurung dan tidak akan dapat menyelamatkan diri.
Engkau akan mati sebagai seorang penjahat dan pemberontak yang berani mengacau
di istana kaisar!"
Siauw Lek
sudah meniup peluitnya dan setiap orang pengawal rahasia membawa peluit semacam
ini untuk memanggil teman. Terdengarlah suara berisik dan ketika Keng Hong
melirik, ternyata di tempat itu telah muncul Pak-san Kwi-ong dan empat orang
kakek yang kelihatan menyeramkan dan memiliki kepandaian tinggi, sedangkan di
belakangnya juga sudah muncul pasukan pengawal yang jumlahnya paling tidak ada
tiga puluh orang, terdiri dari para pengawal dalam istana!
Keng Hong
maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, namun dia tidak menjadi gentar.
Ancaman bahaya maut bukanlah apa-apa bagi orang yang memperjuangkan kebenaran,
apa lagi dalam menghadapi kejahatan, dan kedatangannya adalah untuk menentang
Cui Im, untuk merampas kembali pusaka yang menjadi haknya, bahkan pusaka-pusaka
yang harus dia kembalikan kepada para partai persilatan besar yang menjadi
pemiliknya, serta menghukum Cui Im atas segala kejahatan yang dilakukannya,
terutama sekali terhadap diri Biauw Eng dan terhadap dirinya sendiri.
"Ha-ha-ha,
bukankah ini murid Sin-jiu Kiam-ong? Ehhh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa bocah ini
kesasar sampai di sini?" Pak-san Kwi-ong bertanya.
"Pak-san
Kwi-ong, mau apa lagi dia kalau tidak mau membikin kacau? Gurunya dahulu pun
seorang pengacau besar, tentu muridnya sama saja!" jawab Cui Im.
Tujuh orang
pengawal rahasia yang menjadi jago-jago nomor satu dari istana itu sudah
mengurung dengan sikap mengancam. Melihat ini, Keng Hong berkata tenang,
"Pak-san
Kwi-ong, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang semacam engkau dan Cui Im,
juga Kim-lian Jai-hwa-ong yang nama busuknya sudah kudengar di mana-mana, bisa
menjadi pengawal-pengawal dari kaisar yang terkenal bijaksana. Akan tetapi hal
itu bukan urusanku dan aku pun tidak peduli. Kedatanganku ke sini tidak ada
hubungannya sama sekali dengan para pengawal, juga sama sekali takkan membuat
kekacauan. Aku datang khusus untuk menemui Cui Im dan untuk membereskan
perhitungan pribadi dengan dia. Harap kalian tidak mencampuri!"
"Ha-ha-ha-ha,
bocah lancang! Engkau sudah memasuki istana seperti maling, bagaimana kami
tidak akan mencampuri?"
"Bila
tidak lekas dienyahkan, bocah ini membahayakan keselamatan kaisar.
Serang!" Cui Im yang amat cerdik sudah berseru dan menerjang maju karena
kalau Keng Hong diberi kesempatan bicara, mungkin akan mengubah keadaan.
Bersama
Siauw Lek dia sudah maju, mencabut pedang merahnya dan Siauw Lek sudah pula
mencabut pedang hitamnya. Pak-san Kwi-ong sudah pula menggerakkan senjata
rantainya sehingga sepasang tengkorak di ujung rantai beterbangan! Demikian pula
Gu Coan Kok Si Iblis Cebol sudah maju dengan tongkatnya, Si Tinggi besar
bongkok Hok Ku sudah menyerang dengan cakar besi beracun, Kemutani memainkan
sepasang hui-to di kedua tangan, dan Thai-lek Sin Cou Seng sudah menggerakkan
pecut bajanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan nyaring.
Melihat
sinar-sinar berkelebat menyerangnya, dan semuanya merupakan senjata-senjata
ampuh dan berbahaya digerakkan oleh tangan-tangan yang mengandung tenaga
sinkang amat kuat, maklum bahwa serangan-serangan itu dahsyat, Keng Hong cepat
mencabut Siang-bhok-kiam, memutar pedang itu sehingga segera tampak
berkelebatnya sinar hijau menyilaukan mata dan dia pun menggunakan tangan
kirinya mendorong ke depan.
Terdengar
berturut-turut suara nyaring disusul teriakan-teriakan kaget ketika tujuh orang
itu merasa senjata mereka membalik dan disusul angin dorongan yang kuat sekali
ke arah mereka!
"Aku
Cia Keng Hong tidak bermaksud mengacau istana, juga tidak ingin memusuhi para
pengawal, melainkan hendak berurusan dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im!"
Seruan Keng Hong ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang, keluar dari
pusarnya dan terdengar amat nyaring hingga menggema di seluruh istana,
mengejutkan semua penjaga yang tidak berada di tempat itu, dan menggetarkan jantung
para pengurung yang menjadi bengong dan berubah wajahnya.
"Serang
pemberontak!" Kembali Cui Im berseru sehingga semua pengawal yang tadinya
merasa terkejut itu sudah siap mengurung Keng Hong.
Pada saat
itu pula terdengar suara yang berwibawa, "Hentikan pertempuran!"
Semua orang
menengok dan para pengawal terkejut ketika melihat hadirnya tiga orang yang
mereka tahu sangat berpengaruh dan sangat dekat dengan kaisar, yaitu Laksamana
The Ho yang menjadi panglima besar yang menguasai armada, Ma Huan seorang sakti
dan terpelajar beragama Islam yang diperbantukan pada laksamana itu dalam
perantauan yang akan datang, dan Tio Hok Gwan, si tinggi kurus sederhana yang
selalu mengantuk dan berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal pribadi Laksamana The Ho.
"The-tai-ciangkun,
dia adalah seorang pemberontak yang masuk istana seperti penjahat!" Cui Im
berusaha mempengaruhi pembesar itu.
Akan tetapi
The Ho mengangkat tangannya dan berkata, "Harap para pengawal minggir
semua dan biarkan aku bicara dengannya. Aku datang atas nama sendiri!"
Mendengar ucapan ini, semua pengawal lalu minggir.
The Ho
menatap Keng Hong yang masih berdiri tegak. Ketika Keng Hong memandang dan
melihat sinar mata pembesar ini, dia terkejut sekali. Cepat-cepat dia menyimpan
Siang-bhok-kiam dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, lalu berdiri
kembali.
"Orang
muda yang gagah, engkau siapakah?"
Tadi begitu
bertemu pandang dengan The Ho, Keng Hong segera mengenal seorang sakti, kini
melihat sikap dan mendengar suaranya, dia benar-benar menjadi kagum dan tunduk.
Diam-diam dia merasa heran sekali kenapa di bawah naungan kekuasaan kaisar,
terdapat pengawal-pengawal macam ketujuh orang itu di samping pembesar seperti
ini. Betapa mungkin kuda yang baik dapat bekerja sama dengan harimau yang
ganas, betapa burung hong dapat terbang bersama dengan burung-burung gagak.
Mendengar
pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara halus itu, dia segera menjawab dengan
singkat dan hormat. "Hamba Cia Keng Hong."
"Cia
Keng Hong, engkau bukan seorang pekerja istana, telah berani memasuki istana di
waktu malam tanpa ijin. Apa kehendakmu?"
Dengan sikap
penuh hormat Keng Hong menjawab, "Mohon maaf kepada Paduka, Taijin, hamba
mengaku sudah berbuat lancang. Akan tetapi hamba tidak bermaksud mengacau
istana, melainkan hendak bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang menjadi
musuh besar hamba."
Hening
sejenak, kemudian terdengar suara The Ho menegur, "Cia Keng Hong, sungguh
lancang dan besar dosamu! Kalau aku tidak melihat engkau seorang muda yang
gagah perkasa, tentu engkau akan kusuruh tangkap dan menerima hukuman berat.
Tapi karena engkau belum melakukan sesuatu yang merusak, biarlah atas nama
kaisar kami ampuni. Pergilah sekarang dari tempat ini dan jangan sekali-kali
engkau berani lagi masuk tanpa ijin karena tidak ada pengampunan dosa dua
kali!"
Suara ini
berwibawa sekali, maka di dalam hatinya Keng Hong sudah tunduk dan tidak berani
melanggar. Tapi karena dia masih merasa penasaran melihat betapa orang-orang
macam Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong bisa menjadi pengawal kaisar, dia lalu
bertanya,
"Jadi,
hamba tidak boleh menganggu musuh besar hamba ini?" Ia memandang ke arah
Cui Im yang tersenyum mengejek.
"Tidak
boleh! Dia adalah pengawal yang berada dalam istana, bagaimana engkau boleh
menganggunya?"
"Kalau
begitu... apakah istana melindungi orang-orang jahat dan keji macam Bhe Cui Im,
Siauw Lek dan..."
"Cia
Keng Hong!" The Ho membentak, suaranya keras mengguntur, bukan mengandung
kemarahan, melainkan mengandung bantahan dan peringatan.
"Bukalah
matamu, pergunakan pikiranmu dan lihatlah kenyataan! Istana mempergunakan
orang-orang pandai menjadi pengawal, bukan membutuhkan riwayat hidupnya,
melainkan tenaganya! Istana tidak akan mempedulikan urusan pribadi semua
petugasnya, dan tidak mengenal siapa keji siapa tidak sebelum menjadi petugas
istana! Urusan pribadi antara engkau dan dia sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan istana. Apa bila engkau hendak menyelesaikan urusan
pribadimu itu di luar lingkungan istana, di luar pelaksanaan tugas di istana,
hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan istana. Akan tetapi,
kedatanganmu malam-malam tanpa ijin memasuki istana, hal ini adalah urusan
istana! Mengertikah engkau ataukah pura-pura tidak mengerti?!"
Keng Hong
terkejut sekali, merasa mukanya seperti ditampar dan matanya seperti dibuka
lebar-lebar oleh ucapan yang keluar dari mulut The Ho ini. Betapa lancang dan
bodohnya dia yang mencari Cui Im ke dalam istana sehingga dia sudah membuat
kesalahan dan perbuatannya ini saja sudah cukup untuk mendatangkan maut
baginya, dapat dianggap pemberontakan. Dan walau pun pembesar yang mempunyai
pandang mata begitu tajam berwibawa ini seakan-akan marah kepadanya, namun
ternyata sudah menginsyafkannya dan telah mengampuninya. Tak terasa lagi Keng Hong
menjatuhkan diri memberi hormat kepada The Ho dan berkata,
"Hamba
mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih pada Paduka atas kemurahan hati
Paduka yang telah memberi ampun." Setelah berkata demikian, Keng Hong
bangkit, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Tunggu
dulu, Cia Keng Hong!" Tiba-tiba The Ho berkata. Keng Hong cepat
membalikkan tubuh, memandang tajam akan tetapi menanti dengan sikap tenang.
Laksamana
yang bermata tajam berwibawa itu tersenyum. "Kedatanganmu amat menarik
hatiku, orang muda. Engkau tidak bisa pergi begitu saja tanpa meninggalkan
sesuatu."
Keng Hong
memandang dengan alis berkerut. Apa pula kehendak pembesar yang sangat
berwibawa ini?
"Apakah
yang harus hamba tinggalkan?" tanyanya, sikapnya tenang sekali sehingga
The Ho dan Ma Huan, dua orang yang mempunyai pandang mata waspada itu,
diam-diam merasa kagum sekali.
Jarang
mereka bertemu dengan seorang pemuda seperti ini dan diam-diam menyesalkan
bahwa pemuda seperti ini kini seolah-olah menjadi seorang pelanggar. Betapa pun
juga, mereka tadi hanya menyaksikan sepak terjang Keng Hong segebrakan saja dan
ingin mereka menyaksikan kelihaian pemuda ini.
"Aku
bukan seorang yang menginginkan benda milik orang lain," jawab The Ho
tertawa. "Akan tetapi aku mempunyai semacam penyakit, yaitu kalau bertemu
orang pandai, hatiku belum merasa puas jika belum menyaksikan kepandaiannya.
Karena itu, sebagai imbalan keputusanku mengampunimu, aku minta agar engkau
meninggalkan pertunjukan ilmu silatmu dan suka melayani pengawalku barang
sepuluh jurus! Tio Hok Gwan, kau cobalah kelihaian Cia Keng Hong ini, akan
tetapi hati-hatilah, sekali ini engkau bertemu tanding."
Tio Hok Gwan
si pengantuk itu mengangguk lantas melangkah lebar menghadapi Keng Hong. Pemuda
ini merasa serba salah. Bila menolak berarti dia tidak menghargai sikap
pembesar yang baik itu, tapi kalau dia menerima berarti dia harus melawan si
tinggi kurus yang baru langkahnya saja mendatangkan kesan bahwa si pengantuk
ini tentu seorang ahli Iweekeh yang memiliki sinkang kuat sekali.
Juga dia
tidak dapat menerka apa yang dikandung dalam hati pembesar itu di balik ‘ujian’
ini. Maka dia lalu menjawab, "Baiklah, karena hamba telah melanggar dan
berada di sini, hamba tidak dapat membangkang perintah Paduka. Akan tetapi
hendaknya Paduka tidak menganggap hamba kurang ajar dan ingin memamerkan
kepandaian, karena sebenarnya hamba tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mana
dapat dibandingkan dengan Locianpwe ini yang menjadi pengawal Paduka?"
Setelah berkata demikian, Keng Hong berdiri tegak dan siap menghadapi Tio Hok
Gwan.
Sejenak
kedua orang ini berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter, saling memandang
penuh perhatian seolah-olah dengan pandang mata mereka itu mereka hendak
mengukur keadaan lawan.
"Cia
Keng Hong, sambutlah!" Tiba-tiba saja Tio Hok Gwan berseru dan tubuhnya
sudah bergerak ke depan, sekaligus mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah
dada Keng Hong.
"Wuuuttttt!"
Angin
pukulan yang dahsyat menyambar dan sebelum kepalan itu datang, Keng Hong sudah
merasakan hawa pukulannya. Tidak salah dugaannya, pengawal yang mukanya seperti
orang kurang tidur ini memiliki sinkang yang hebat. Cepat dia mementang kedua
kaki, lalu memutar tubuh miring ke kiri untuk mengelak dan secara kontan dia
membalas dengan pukulan tangan kiri ke arah lambung lawan.
Tio Hok Gwan
agaknya betul-betul hendak mengandalkan kemenangan tenaga. Dia tidak mengelak
seperti Keng Hong, melainkan cepat menggerakkan tangan kanan dengan jari
terbuka menerima hantaman Keng Hong.
"Desssss!"
Dua telapak
tangan bertemu dan mengeluarkan bunyi keras. Akibatnya, tubuh Keng Hong
terpental ke belakang sedangkan tubuh Tio Hok Gwan terdorong tiga tindak ke
belakang!
"Hebat...!"
Terdengar The Ho berseru karena dari pertemuan tenaga kedua orang itu pembesar
yang sakti ini dapat mengukur bahwa Keng Hong benar-benar memiliki sinkang yang
dapat mengatasi pengawalnya!
Hok Gwan
menjadi penasaran. Selama dia menjadi pengawal The Ho, belum pernah dia menemui
tanding yang dapat melawan sinkang-nya. Dalam hal ilmu silat, mungkin banyak
tokoh-tokoh, umpamanya ketujuh orang pengawal rahasia kaisar, yang dapat
menandingi bahkan mungkin melebihinya. Akan tetapi dalam hal kekuatan sinkang,
dia berani diadu dengan siapa pun juga dan merasa yakin bahwa dia akan lebih
kuat. Siapa kira, pemuda ini dapat menandinginya, bahkan diam-diam dia merasa
sangsi apakah dia lebih kuat dari pada pemuda ini.
Karena
merasa penasaran, dia lantas membuat gerakan miring dan mengirim tendangan dari
samping, diikuti pukulan kedua tangannya ke arah muka dan perut lawan! Cepat
dan kuat bukan main gerakan Hok Gwan ini hingga Keng Hong terpaksa harus
mengerahkan ginkang-nya, meloncat ke arah berlawanan dengan datangnya tendangan
lawan sambil mengibaskan kedua tangan ke bawah dan atas untuk menangkis pukulan
tangan lawan.
Kembali
kedua tangan saling bertemu hingga membuat mereka berdua terhuyung. Keng Hong
tidak mau mengalah. Karena maklum akan kekuatan lawan, dia cepat membalas
dengan pukulan tangan miring menuju tengkuk selagi leher lawan miring.
Tetapi
sambil memutar tubuhnya kembali Hok Gwan dapat menangkis, bahkan langsung
membarengi dengan jotosan lurus ke arah bawah ketiak lawan yang lengannya
sedang terangkat itu. Keng Hong kembali mengelak karena pemuda ini maklum bahwa
kalau dia mengandalkan sinkang untuk selalu menandingi kekuatan lawannya, maka
hal itu berarti keras lawan keras dan tentu akan mengakibatkan luka-luka dalam
di antara mereka.
Hal ini
tidak dia kehendaki. Pertama karena dia tidak mempunyai permusuhan apa-apa
dengan Tio Hok Gwan, kedua karena dia ingin pergi dari situ tanpa meninggalkan
kesan buruk.
Karena
menemui tandingan yang seimbang, Hok Gwan dan Keng Hong menjadi gembira dan
mereka beradu kelihaian sampai lebih dari lima puluh jurus tanpa ada yang
terdesak! Keng Hong yang baru saja mewarisi kepandaian dari gurunya dan juga
dari Thai Kek Couwsu, diam-diam juga menjadi penasaran. Kalau dia kalah oleh
pengawal The Ho yang amat lihai ini, bukanlah merupakan hal yang besar baginya,
akan tetapi karena Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong hadir di situ dan
menonton, dia tidak ingin kalah di depan mereka!
Dia harus
menang dan pikiran ini membuat Keng Hong makin lama makin cepat dan kuat gerakannya.
Mula-mula kedua orang itu mengandalkan tenaga, kini karena Keng Hong
mengerahkan kecepatannya, terpaksa Hok Gwan harus pula mengerahkan ginkang-nya
yang ternyata tidak sehebat Keng Hong.
Mulailah
bayangan dua orang itu berkelebat cepat dan berubah menjadi bayangan yang
bergulung menjadi satu! Akan tetapi dalam pandangan mata para tokoh yang berada
di situ, jelas tampak betapa Keng Hong mulai mendesak Tio Hok Gwan dengan
serangan-serangan kilatnya.
"Hiaaaaaaahhhhh…!"
Tiba-tiba Hok Gwan mengeluarkan teriakan keras.
Gerakannya
kini berubah, tidak cepat lagi akan tetapi gerakan merupakan benteng yang amat
kuat sehingga semua serangan Keng Hong menemui jalan buntu. Kalau serangan Keng
Hong yang cepat itu seperti air mengalir, pertahanan Hok Gwan seperti tanggul
dari baja yang menahan banjirnya air! Melihat ini, Keng Hong terkejut dan
maklum bahwa lawannya sudah bersungguh-sungguh dan kini mengeluarkan ilmu
simpanannya.
"Haaaiiitttttt…!”
Keng Hong pun memekik.
Kini caranya
bersilat juga berubah pula. Gerakan-gerakannya juga lambat, namun setiap
gerakan mendatangkan tenaga yang dahsyat, dan kedua lengannya melakukan gerakan
membentuk lingkaran-lingkaran! Inilah Thai-kek Sin-kun yang ia pelajari dari
kitab pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu! Inilah ilmu silat sakti yang
digerakkan dengan inti tenaga sinkang!
Menghadapi
ilmu silat ini, Hok Gwan menjadi sangat terkejut dan tampak bingung, bahkan
gerakan-gerakannya menjadi agak kacau.
"Ahh...,
gerakan-gerakan membuat lingkaran itu... Lihat... delapan macam gerakan tangan
dengan mengarah delapan jurusan... ehhh…, apakah ini Pat-kwa Kun-hoat? Akan
tetapi berbeda benar... Dan lingkaran-lingkaran itu, ahh..." Terdengar The
Ho berseru kaget dan kagum sekali setelah menyaksikan Keng Hong bersilat Thai
Kek Sin-kun sampai belasan jurus yang membingungkan Hok Gwan.
"Akan
tetapi, Taijin, harap Taijin lihat gerakan kakinya. Bukankah berdasarkan
Ngo-heng? Gerakan kakinya seperti Ilmu Silat Ngo-heng Kun Hoat, akan tetapi
gerakan atasnya lain. Dan lingkaran-lingkaran itu amat aneh...!" Demikian
Ma Huan berkata.
Saking kagum
dan tertariknya, dua orang ini bicara dengan suara keras sambil menonton, lupa
bahwa di tempat itu ada tujuh orang pengawal rahasia yang juga menonton dengan
bengong dan kagum.
Kata-kata
kedua orang pembesar itu tidak terlepas dari pendengaran Keng Hong dan pemuda
ini terkejut. Sungguh pun tidak dapat menebak dengan tepat, namun pernyataan
kedua orang itu sudah mendekati rahasia Ilmu Silat Thai Kek Sin-kun! Hal itu
sudah cukup membuktikan bahwa The Ho dan Ma Huan tentu bukan sembarang
pembesar, melainkan orang-orang yang sakti, dan mungkin lebih lihai! Maka dia
berlaku hati-hati sekali.
"Sambutlah!"
Tiba-tiba Hok Gwan mengirim tendangan kilat.
Itulah ilmu
tendangan yang sangat terkenal di Tiongkok Utara yang disebut Soan-hong-twi
atau Tendangan Angin Taufan yang datangnya amat cepat dan susul-menyusul, ada
pun yang diarah oleh kedua kaki adalah bagian atas tubuh.
Pada waktu
kaki lawan menendang ke arah tenggorokannya dengan cepat sekali, Keng Hong lalu
membuat gerakan yang indah. Kaki kirinya diluruskan ke depan dengan tumit
menempel lantai, sedang kaki kanan berjongkok ketika dia mengelak dari
tendangan yang menyambar lewat di atas kepalanya. Tangan kiri yang tadinya
melingkar di depan pusar itu membuat gerakan melingkar ke atas sehingga
mengangkat tubuh menjadi tegak, ada pun tangan kanan yang tadinya melingkar di
depan dada secara tiba-tiba mendorong ke depan dengan tangan kiri ditarik ke
atas kepala.
Inilah jurus
yang disebut ‘Bidadari Meneropong’ dari Ilmu silat Thai-kek Sin-kun! Gerakan
yang sederhana, akan tetapi karena dilakukan sebagai lanjutan mengelak
tendangan, dan pukulan dengan tangan kanan mendorong itu mengandung tenaga
sinkang yang hebat luar biasa, membuat Hok Gwan yang tendangannya luput tadi
terkejut. Ia masih dapat menjatuhkan diri ke kanan dan bergulingan, namun dia
mengalami kekagetan dan ketika melompat bangun dia lalu menyerang lagi dengan
hati-hati, lebih mengerahkan tenaga dan perhatian untuk bertahan!
Pertandingan
antara dua jago sakti ini berlangsung sampai seratus jurus lebih dan para
pengawal yang menonton pertandingan itu menahan napas. Bahkan Cui Im sendiri
lalu merasa penasaran sekali menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimainkan
Keng Hong. Ia menjadi bingung dan menduga-duga.
Dari mana
Keng Hong mendapatkan ilmu ini? Semua kitab telah dibacanya, dipelajarinya,
bahkan kitab-kitab itu telah dibawanya. Apakah guru pemuda itu, Sin-jiu
Kiam-ong, masih mempunyai simpanan kitab lain yang tak dilihatnya? Diam-diam
dia menyumpah di dalam hati dan merasa menyesal mengapa dahulu di tempat
rahasia dia tergesa-gesa berusaha melenyapkan Keng Hong. Kini menyaksikan
kelihaian Keng Hong dia merasa ragu-ragu apakah dia akan dapat mengatasi pemuda
yang makin lihai itu.
Biar pun Tio
Hok Gwan ternyata amat lihai dan pertahanannya amat kuat, namun makin lama dia
semakin terdesak hebat. The Ho dan Ma Huan menonton dengan gembira, dan biar
pun The Ho maklum bahwa pengawalnya tidak akan dapat menangkan Keng Hong, akan
tetapi dia tidak mau menghentikan pertandingan itu saking tertariknya dan
hendak menonton sepuasnya!
Hok Gwan
diam-diam merasa sangat penasaran. Sepanjang hidupnya, baru sekali ini dia
bertemu tanding yang membuatnya kehabisan akal hingga terpaksa harus
mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk membela diri, membentuk
pertahanan yang amat kuat. Namun, ilmu silat yang melakukan gerakan-gerakan
tangan melingkar-lingkar itu amat membingungkannya dan pengawal lihai ini pun
maklum bahwa kalau dilanjutkan, lambat laun dia tentu akan roboh. Gerakan yang
aneh dari lawannya sudah beberapa kali hampir dapat menyusup dan membobolkan
pertahanannya.
Ia merasa
malu kalau harus menderita kekalahan di depan junjungannya. Tak lama lagi
junjungannya akan memimpin barisan menyerang lautan dan dialah yang selalu akan
diandalkan untuk melindungi pembesar itu. Kalau kini dia kalah oleh seorang
pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, bukankah dia akan kehilangan
muka?
Sebab itu,
tiba-tiba pengawal ini mengeluarkan pekik yang menyerupai gerengan harimau
marah, kedua tangannya membalas dengan pukulan nekat. Biar pun dia maklum bahwa
dengan mengubah gerakan bertahan menjadi menyerang ini berarti membuka sebagian
pertahanannya dan dia dapat celaka, namun dia yakin bahwa apa bila lawan
melakukan penyerangan, sebuah dari pada kedua tangannya akan mengenai sasaran pula
dan kalau perlu dia akan roboh bersama lawannya. Pokoknya asal dia tidak kalah.
Kalau keduanya roboh, berarti tidak ada yang menang!
Keng Hong
tadinya bersilat dengan tekun dan sabar. Maklum akan pertahanan lawan yang
sangat kuat, dia tahu bahwa kalau akan menjatuhkan lawan tanpa melukainya, dia
harus membuat lawan lelah dan pening. Akan tetapi tiba-tiba saja dia melihat
lawannya menyerang hebat, tidak begitu mempedulikan lagi pertahanannya. Ia
terkejut, tahu bahwa lawan menjadi nekat dan pantang kalah. Satu-satunya jalan
untuk mencapai kemenangan harus melancarkan pukulan maut mendahului kedua
tangan lawan.
Posisi
tubuhnya saat itu lebih baik karena dia dalam keadaan menekan. Kedua tangan
lawannya menyambar lurus menuju dada dan lehernya sehingga penjagaan tubuh
lawan di bagian bawah terbuka. Kalau dia merendahkan diri, membuat gerakan
melingkar dan menyerang perut dan pusar lawan, dia yakin pasti menang. Akan
tetapi kalau hal ini dia lakukan, berarti Tio Hok Gwan akan menderita luka
berat dan mungkin sekali tewas. Padahal dia tidak menghendaki hal ini terjadi.
Dia maklum
bahwa pembesar yang memiliki wibawa luar biasa itu tidak bermaksud buruk pada
dirinya, dan kalau kini mengujinya semata-mata memang ingin sekali menyaksikan
kepandaiannya. Hal ini terbukti ketika dia tadi melirik ke arah dua orang
pembesar itu, mereka itu menonton dengan wajah berseri dan pandang mata kagum,
sama sekali tidak menjadi khawatir atau penasaran melihat pengawalnya didesak.
"Haaaiiittttt!"
Pukulan
tangan kanan Hok Gwan menghantam pundaknya, sedang pukulan tangan kiri
menghantam lehernya. Namun Keng Hong kini menghentikan gerakannya sama sekali,
hanya mengerahkan sinkang-nya dan menggunakan tenaga mukjijatnya yang tidak
akan dia keluarkan seandainya keadaan tidak seperti itu.
"Bukkk!
Desssssss…!" Dua pukulan itu tiba pada saat yang hampir bersamaan, hanya
setengah detik selisihnya.
The Ho dan
Ma Huan berseru kaget. Mereka benar-benar kaget dan menyesal karena mereka tadi
hanya ingin menguji, sama sekali tidak bermaksud menyuruh pengawal itu membunuh
pemuda yang amat lihai itu. Mereka juga terkejut melihat betapa pemuda itu yang
tadinya sudah ‘menang angin’ kini menerima pukulan begitu saja tanpa mengelak
atau menangkis.
Mereka cukup
maklum betapa hebatnya pukulan kedua tangan Hok Gwan yang mampu memukul pohon
menjadi remuk di dalam batangnya tanpa melecetkan kulit batang pohon! Tembok
yang ditutup kertas tipis akan hancur oleh pukulan ini tanpa merobek kertasnya!
Akan tetapi
kekagetan kedua orang pembesar ini disusul keheranan yang sangat besar sehingga
mereka melongo. The Ho adalah seorang pembesar sakti dan sudah mengalami banyak
hal aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan yang seaneh itu. Jelas
bahwa kedua kepalan tangan Hok Gwan mengenai leher dan pundak Keng Hong, akan
tetapi pukulan-pukulan itu bagaikan dua buah batu besar dilempar ke permukaan
telaga yang dalam dan amblas tanpa bekas!
Tangan Hok
Gwan yang kiri masih menempel pada leher Keng Hong, sedangkan tangan kanannya
masih melekat pada pundak. Akan tetapi pengawalnya itu kini membelalakkan
sepasang mata yang biasanya sipit mengantuk itu, seolah-olah dia bangun tidur
karena disiram air, mukanya pucat dan mulutnya mengeluarkan suara merintih!
Kedua tangan
itu tidak bisa ditariknya kembali seperti biasa dilakukan oleh ahli silat yang
setiap memukul tentu menggunakan sasaran untuk menendang balik pukulannya.
Kedua tangan itu melekat pada leher dan pundak Keng Hong sedangkan pemuda yang
dipukul itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah tidak merasa sesuatu.
"Aihhh...
Thi-khi I-beng...!" Cui Im berseru kaget karena dia maklum bahwa ilmu yang
dimiliki Keng Hong itu adalah ilmu yang tidak wajar, yaitu yang dimiliki Keng
Hong bukan berdasarkan ilmu, melainkan karena sesuatu keanehan dan biasanya
pemuda itu tidak tahu bagaimana harus membebaskan lawan yang telah tersedot
sinkang-nya.
Sejenak
teringatlah wanita ini betapa dulu, tanpa disengaja, Keng Hong telah ‘menyedot’
pula sinkang-nya secara halus ketika mereka memadu asmara! Sedetik mukanya
menjadi merah sekali dan dia sudah melangkah maju hendak membantu Hok Gwan.
Akan tetapi pada waktu sinar matanya bertemu dengan pandang mata The Ho, dia
mundur lagi. Jelas tampak bahwa pembesar itu melarang dia turun tangan.
Memang
sesungguhnya The Ho sendiri tidak tahu akan keadaan pengawalnya sungguh pun dia
heran mengapa pengawalnya tidak bergerak dan wajah pengawalnya itu menjadi
pucat sekali.
Tio Hok Gwan
merasa betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar, menerobos melalui kedua
tangannya. Dia terkejut dan berusaha menarik tangannya, namun makin keras dia
berusaha makin keras pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Ia terkejut dan
matanya terbelalak saking herannya.
Ketika Keng
Hong mendengar seruan Cui Im, dia langsung teringat dan cepat sekali dia
mengeluarkan pekik melengking kemudian menggerakkan tubuh sendiri ke belakang
dan menggunakan sinkang menolak. Tio Hok Gwan berteriak nyaring dan tubuh
pengawal ini mencelat ke belakang seperti dilontarkan, sedangkan tubuh Keng
Hong sendiri berjungkir balik sampai lima kali ke belakang.
Tio Hok Gwan
masih dapat turun di atas kedua kakinya dengan terhuyung. Ia berdiri dan
memandang Keng Hong dengan wajah pucat. Kaget sekali pengawal ini dan dia tidak
lagi berani bergerak, melainkan menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan
tenaga sambil menyalurkan sinkang-nya ke pusar, kemudian memutar hawa panas
dari pusar itu untuk menyelidiki keadaan dalam tubuhnya. Dia merasa lega karena
tidak terluka, hanya agak lemas karena ada tenaga sinkang yang membocor keluar
secara aneh.
Ada pun Keng
Hong yang mukanya lebih merah dari pada biasanya, akibat kebanjiran sinkang,
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan The Ho dan berkata,
"Harap
Taijin sudi memberi maaf kepada hamba. Pengawal Taijin terlalu lihai, dan hamba
tidak kuat melawannya."
The Ho yang
masih terheran-heran mengangguk-anggguk dan berkata, "Cia Keng Hong orang
muda yang hebat, bagaimana kalau engkau bekerja padaku, membantuku seperti Tio
Hok Gwan?"
"Terima
kasih, Taijin. Kiranya hamba akan merasa berbahagia sekali jika hamba dapat
menghambakan diri kepada seorang bijaksana seperti Paduka. Akan tetapi maaf,
untuk waktu sekarang hamba belum sanggup karena urusan pribadi masih banyak
yang harus hamba selesaikan lebih dulu."
Kembali The
Ho mengangguk-angguk sambil menatap ke arah Cui Im yang memandang Keng Hong
dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. "Baiklah kalau begitu. Akan
tetapi sebelum engkau pergi, katakanlah apakah benar engkau tadi menggunakan
Ilmu Thi-khi I-beng? Aku mendengar bahwa ilmu mukjijat itu telah lenyap dari
permukaan dunia kang-ouw!"
"Ahh,
sesungguhnya hamba sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu, bahkan tidak tahu
bagaimanakah macamnya Thi-khi I-beng. Hamba mohon diperkenankan keluar,
Taijin."
"Pergilah,
mudah-mudahan kelak kita berjodoh untuk saling bertemu kembali. Hok Gwan, kau
antar Cia Keng Hong keluar dari istana dengan aman!"
Perintah ini
melenyapkan harapan Cui Im untuk mencegat dan mengeroyok Keng Hong dalam
perjalanannya keluar dari istana. Hok Gwan segera mengajak Keng Hong pergi dari
tempat itu dan dengan adanya pengawal The Ho ini, Keng Hong dapat keluar dengan
aman tanpa ada yang berani mengganggu.
"Sahabat
muda, terima kasih atas kemurahan hatimu dalam pertandingan tadi. Aku takluk
benar kepadamu. Siapakah gurumu?" tanya Hok Gwan setelah mereka tiba di
luar istana dan mereka akan berpisah.
"Mendiang
suhu adalah Sin-jiu Kiam-ong..."
"Ah...
sungguh aku tak tahu diri, maaf... maaf!" Hok Gwan menjura dan cepat-cepat
Keng Hong membalas penghormatan ini.
"Engkau
juga hebat sekali, Ciangkun. Dan engkau amat baik hati. Kuharap engkau suka
berhati-hati menghadapi orang-orang macam pengawal-pengawal rahasia yang hadir
di sana tadi. Mereka bukanlah orang-orang yang baik dan boleh dipercaya."
Tio Hok Gwan
mengangguk. "Aku sudah tahu mengenai hal itu, dan terima kasih atas
peringatanmu. Engkau ingin membekuk wanita cabul itu, bukan?"
"Benar,
akan tetapi tidak mungkin sekarang. Dia telah menjadi pengawal, bagaimana aku
akan dapat menyentuhnya? Dia dilindungi oleh kekuasaan kaisar."
"Memang,
apa bila engkau mencarinya di dalam istana atau pun menyerangnya selagi dia
bertugas sebagai pengawal, engkau akan dianggap pemberontak dan engkau tentu
akan menghadapi bencana. Akan tetapi, jika engkau bersabar, ada cara yang amat
baik, yang membuka kesempatan bagimu."
Mendengar
ini, Keng Hong cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Mohon petunjuk
Ciangkun, bagaimana aku akan dapat membekuk perempuan iblis itu?"
"Dia
terkenal sebagai wanita cabul yang tidak sanggup bertahan lama melewatkan malam
dingin sendirian saja." Hok Gwan tertawa mengejek dan merendahkan. "Selain
ini, setiap malam di waktu lepas tugas dia selalu berkeliaran mencari pemuda
untuk menemaninya. Nah, kalau engkau bersabar, Cia-taihiap, engkau dapat
menggunakan kesempatan selagi ia bebas tugas seperti itu, menyergapnya dan
kalau di waktu itu menewaskannya, engkau tak akan dianggap pemberontak. Akan
tetapi engkau harus bersabar dan untuk beberapa lamanya jangan muncul di kota
raja, karena seorang perempuan iblis seperti dia amatlah cerdik dan tentu dia
tidak akan berani muncul bila dia tahu atau menduga bahwa engkau sedang
mengintainya bagai kucing menanti munculnya seekor tikus. Mengertikah engkau
apa yang kumaksudkan, Taihiap?"
Keng Hong
menjadi girang sekali, akan tetapi dia merasa malu sendiri ketika mendengar
pengawal yang lihai ini menyebutnya taihiap (pendekar besar)! Dia cepat menjura
sambil berkata, "Banyak terima kasih atas petunjuk Ciangkun. Nah, selamat
berpisah, sampai jumpa pula." Tubuh Keng Hong berkelebat dan sebentar saja
lenyaplah pemuda ini dari depan Tio Hok Gwan.
Pengawal
pengantuk ini sejenak termangu, kemudian menghela napas dan menggeleng
kepalanya. "Pemuda hebat...!" Kemudian dia pun kembali ke dalam
istana.
Keng Hong
mempergunakan ilmu lari cepat setelah dia keluar dari kota raja. Ia memasuki
sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan kota raja, kemudian duduk di bawah
pohon, termenung. Hatinya girang bahwa dia telah bisa menemukan tepat sembunyi
Cui Im. Biar pun dia sekarang belum berhasil, akan tetapi dia yakin akan dapat
menangkap Cui Im, merampas kembali kitab-kitab yang harus dia kembalikan kepada
mereka yang berhak, kemudian menghukum gadis itu yang selalu mencelakai dirinya
dan sudah mendatangkan kesengsaraan kepada Biauw Eng.
Biauw Eng!
Begitu teringat akan gadis itu, tanpa disadarinya Keng Hong menyangga dagu
dengan tangan dan menyangga siku lengan lutut. Hatinya berduka sekali. Memang
ada rasa bahagia di hatinya bahwa dia sudah berjumpa dengan Biauw Eng, melihat
dara itu selamat dan telah membukakan rahasia hatinya kepada Biauw Eng, bahkan
juga sudah menceritakan segala kesalah pahaman pada masa lalu. Akan tetapi,
akhirnya Biauw Eng marah-marah dan meninggalkannya! Dan semua itu adalah karena
kesalahannya sendiri, karena sikapnya!
Kalau dia
kenangkan keadaan gadis itu, hatinya makin pedih dan tampak olehnya betapa mulia
dan murninya hati gadis itu, gadis yang menjadi puteri Lam-hai Sin-ni si nenek
iblis, akan tetapi juga puteri gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia selalu menyangka
yang bukan-bukan terhadap Biauw Eng, padahal gadis itu bersih dan tidak
berdosa.
Kalau
dipikir-pikir kembali, jelas kini bahwa dialah yang kotor dan penuh dosa. Dan
yang terakhir sekali, dia masih memaki Biauw Eng karena gadis ini hendak
membalas budi Lai Sek yang amat besar!
"Heh-heh-heh…
tidak baik orang muda melamun kosong! Melamun membikin orang lekas menjadi
lekas tua, heh-heh-heh!"
Keng Hong
terkejut, cepat meloncat bangun sambil membalikkan tubuh. Tidak banyak di dunia
kang-ouw ada orang yang datang tanpa dia ketahui, biar pun dia sedang melamun.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang kakek bertubuh kecil bongkok,
punggungnya berpunuk dan mukanya ramah tersenyum terus, rambutnya panjang akan
tetapi di tengah kepalanya botak, tangan kirinya membawa guci arak. Siauw-bin
Kuncu!
Di antara
selaksa orang, dia mengenal kakek ini, kakek yang selain aneh juga yang amat
berjasa kepadanya karena kakek inilah yang membuka rahasia Siang-bhok-kiam.
Kakek inilah yang tanpa disadari oleh kakek itu sendiri sudah menolong dirinya
sehingga berhasil mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.
Hanya tampak
perbedaan pada pakaian kakek itu. Kalau dahulu pakaiannya yang selalu bersih
dan baru itu terbuat dari bahan sederhana dan dengan potongan tidak karuan
pula, kini pakaiannya sangat mewah, berkembang seperti pakaian orang
berpangkat, bahkan kedua kaki yang biasanya telanjang itu kini memakai sepatu
baru, berkembang pula!
"Ahhh,
kiranya Locianpwe yang datang!" Keng Hong cepat menjura penuh hormat
karena hatinya sangat girang bertemu dengan kakek ini. "Siauw-bin Kuncu
Locianpwe, sungguh saya hampir tak mengenal Locianpwe melihat pakaian dan sepatu
Locianpwe yang amat indah!"
"Heh-heh-heh-he-he!
Wah, engkau menyindir, ya? Memang pakaian dan sepatuku hebat. Menyala, ya? Dan
caraku berjalan juga berubah. Lihat...!"
Kakek itu
lalu mendemonstrasikan cara melangkah kaki seorang pembesar! Penuh gaya, dengan
langkah tegap tenang berwibawa, dagu ditarik ke atas, mata memandang seperti
dari angkasa memandang ke bawah. Akan tetapi karena punuk di punggungnya
membuat dia terpaksa membongkok, biar pun dia memasang aksi tetap saja
kelihatan lucu!
Keng Hong menahan
rasa geli hatinya dan berkata, "Locianpwe benar hebat! Telah memperoleh
banyak kemajuan kiranya!"
"Tentu
saja! Wah, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Cia Keng Hong!
Murid Sin-jiu Kiam-ong benar-benar sudah menimbulkan gara-gara dan heboh! Aku
sudah mendengar akan sepak terjangmu di istana. Sampai-sampai panglima besar
seperti The Taijin yang gagah perkasa dan arif bijaksana juga kagum padamu.
Bagaimana kabarnya, sahabat cilik? Aduh, betapa bahagianya bertemu dengan
sahabat lama!"
"Sayalah
yang bahagia dan gembira dapat bertemu dengan Locianpwe yang bijaksana karena
tentu akan mendapatkan banyak petunjuk. Di manakah Locianpwe kini tinggal?
Ataukah masih merantau sebatang kara, bebas lepas di udara seperti
burung?"
"Heh-heh-heh,
orang setua aku, kalau seperti burung terus, bukankah berarti kelak akan mati
terlantar dan menyia-nyiakan pengertian yang telah kupelajari hingga puluhan
tahun? Ha-ha-ha, tidak Cia Keng Hong. Sekarang aku sudah menjadi guru besar,
aku menjadi pembesar di kota raja, memimpin kebudayaan dan kesusastraan,
mengurus pelaksanaan ujian bagi para calon siucai. Ha-ha-ha-ha-ha!"
Keng Hong
tertegun. "Locianpwe... Menjadi pembesar...?" Kenyataan ini amat aneh
dan lucu bagi Keng Hong. Sulit membayangkan seorang pendekar tua aneh seperti
Siauw-bin Kuncu menjadi seorang pembesar!
"Apa
salahnya?" Mata kakek itu melotot. "Asal orang telah mengerti dan
menjalankan tugas hidupnya sesuai dengan To, menjadi pembesar pun tidak ada
salahnya. Seorang kuncu (budiman) bukan hanya sebutannya saja, juga harus dalam
sepak terjangnya! Aku memegang jabatanku sebagai pembesar berdasarkan pelajaran
dari Nabi Khong Hu Cu. Engkau mau tahu? Dengarlah!"
Siauw-bin
Kuncu yang masih berdiri itu lalu menengadah dan membaca ujar-ujar dengan suara
lantang dan memakai irama seperti orang bernyanyi berdeklamasi:
"Cai-siang-wi,
put-leng-he, Cai-he-wi, put-wan-siang! Ceng-ki-ji, put-kiu-I-jin..."
Ujar-ujar
itu berarti ‘Berada di atas tidak menghina yang bawah, berada di bawah tidak
menjilat atasan! Memperbaiki diri sendiri tidak mengharapkan sesuatu dari orang
lain...’
Keng Hong
tersenyum mendengar kalimat terakhir tadi yang dikutip oleh si kakek dari
pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Keng Hong kemudian melanjutkan,
"Siang-put-wan-Thian, he-put-yu-jin! (Ke atas tidak mencela Tuhan, ke
bawah tidak menyalahkan orang!)"
"Heh-heh-heh,
engkau murid yang baik! Engkau tahu betapa Nabi Khong Hu Cu sampai mengeluh
menyaksikan betapa pada masa beliau hidup, pelajarannya yang sangat indah dan
menuntun manusia ke kebenaran, disia-siakan orang. Karena itu, sekarang aku
ikut membantu menyebarkan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu agar sedikit
banyak bisa berguna bagi manusia. Ehhh, orang muda, mari kita duduk dan
mengobrol yang enak, jarang aku bertemu dengan orang yang dapat mengerti baik
apa bila diajak bicara soal filsafat dan kebatinan."
Keng Hong
tersenyum dan mereka duduk di bawah pohon besar, di atas akar-akar pohon. Kakek
itu menenggak arak dari gucinya, menawarkan kepada Keng Hong. Dengan halus
pemuda itu menolak. Kakek itu minum lagi beberapa teguk, lalu berkata,
"Ahh,
apa katamu melihat aku menjadi pembesar dan mengajarkan pelajaran Nabi Khong Hu
Cu yang memang mulai disebar luaskan oleh kaisar yang pandai memakai orang dan
menghargai kebudayaan ini?"
"Maaf,
kalau pendapat saya keliru, Locianpwe. Sesungguhnya saya hanya seorang muda
yang bodoh dan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu amatlah sukar bagiku..."
Kakek itu
sibuk menggoyang-goyang kedua tangannya. "Salah! Salah! Tidak ada orang
pintar atau bodoh di dunia ini. Tidak ada pula sesuatu yang sukar atau mudah!
Yang ada hanyalah belum mengerti atau sudah mengerti. Biasanya orang disebut
bodoh karena belum mengerti, dan disebut pintar kalau sudah mengerti. Dan untuk
jadi mengerti orang harus belajar! Engkau pandai silat, apakah engkau bisa
disebut orang pintar? Aku pandai filsafat, apakah aku orang pintar? Kalau kita
berdua pergi melihat seorang tukang kayu membuat ukiran-ukiran kayu yang indah,
apakah kita dapat melakukannya? Apakah kita pintar dalam pertukangan kayu?
Tentu saja tidak. Oleh si tukang kayu kita akan dianggap bodoh. Bukan bodoh,
hanya belum mengerti, belum bisa! Dan apakah itu sukar? Apa itu mudah? Tidak
ada. Kalau sudah bisa tentu saja mudah, kalau belum bisa menjadi sukar. Soalnya
hanya MENGERTI, dan untuk mengerti harus belajar!"
"Locianpwe
benar sekali, akan tetapi pelajaran budi pekerti sungguh soal lain lagi, mudah
dipelajari, mudah dihafal namun betapa sulitnya melaksanakannya!"
"Salah!
Salah! Nabi Khong Hu Cu pernah bersabda demikian:,” Siauw-bin Kuncu lantas
melantunkan sabda yang dia maksudkan.
Yang
menyebabkan To tidak dilaksanakan:
Orang pandai
terlampau jauh melewatinya,
orang bodoh
tidak mampu mencapai/mengertinya.
Yang
menyebabkan To tidak dimengerti:
Orang pintar
terlampau jauh melewatinya,
orang tidak
pintar tidak mampu memahaminya.
Keng Hong
mengangguk-angguk karena dia pun hafal akan ujar-ujar itu, akan tetapi dia mendengarkan
terus. Kakek itu menggaruk-garuk botak pada kepalanya lalu melanjutkan,
"Ujar-ujar itu menyatakan: Tidak ada seorang pun manusia yang tidak minum
dan makan, akan tetapi hanya sedikit saja yang dapat mengenal cita
rasanya!"
"Tepat
sekali ujar-ujar itu, locianpwe. Memang manusia di dunia ini selalu tertarik
dengan kulit tanpa mau memperhatikan isi. Alangkah banyaknya orang yang hafal
akan segala filsafat, kenal segala pengetahuan batin, mengerti akan segala ilmu
kebatinan dan tentang kebajikan. Namun betapa sedikit sepak terjang dalam
penghidupan manusia berlandaskan kebenaran dan kebajikan."
Kakek itu
mengangguk-angguk dan menghela napas. "Orang muda, dengan kata-katamu itu
engkau menampar mukaku pula! Memang demikianlah, banyak sekali orang, termasuk
aku juga agaknya, gila akan kedudukan, akan nama, paling suka kalau disebut
seorang kuncu, seorang budiman, seorang cerdik pandai dan arif bijaksana!
Segala filsafat yang muluk-muluk ditelan semua, akan tetapi apa artinya
mengenal dan menghafal seribu satu macam filsafat kebatinan namun tidak
menerapkannya satu pun juga dalam hidup? Sama dengan gentong kosong nyaring
bunyinya!"
"Apa
bila Locianpwe sudah tahu akan hal ini, mengapa Locianpwe kini menjadi seorang
pembesar, menjadi seorang yang berusaha mengembangkan pelajaran kebatinan atau
agama? Bukankah akan sia-sia belaka bila ada selaksa orang yang mengerti akan
semua filsafat kebatinan tanpa melaksanakannya dalam hidup?"
"Eh-eh-eh,
orang muda. Lidahmu terlalu tajam dan berbahaya. Coba jelaskan!" Kakek itu
melotot.
"Maaf
akan pendapat saya yang pandir, Locianpwe. Bagi saya, filsafat dan ujar-ujar
dalam kitab-kitab suci dibuat untuk dilaksanakan! Kalau hanya untuk dihafalkan
belaka kemudian tidak dilaksanakan, sama halnya dengan menodai semua
pengetahuan murni dan suci itu! Misalnya saja, ada dua buah ujar-ujar Nabi
Khong Hu Cu yang kalau dituruti oleh semua orang di dunia ini, kiranya dunia
akan menjadi aman."
"Heh-heh-heh,
kau kira begitu? Ujar-ujar yang manakah itu?"
"Pertama
ujar-ujar yang berbunyi: Semua manusia di empat penjuru adalah saudara! Bila
kita berpegang kepada pelajaran ini dan menganggap setiap orang manusia, bangsa
apa pun juga, di mana pun juga adanya, kaya mau pun miskin, berpangkat tinggi
mau pun rendah, pintar mau pun bodoh, adalah seperti saudara sendiri, tentu tak
akan ada musuh! Tentu akan saling bantu, seperti yang selayaknya di antara
saudara! Kemudian yang ke dua ujar-ujar yang berbunyi: Jangan melakukan kepada
orang lain suatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya
kepadamu. Apa bila semua orang mentaati pelajaran ini, saya kira tidak akan ada
orang yang suka berbuat jahat terhadap orang lain karena dia sendiri tentu
tidak mau kalau orang lain berbuat jahat kepadanya."
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!
Apa kau kira hanya untuk itu manusia hidup di dunia? Apakah cukup dengan
mencinta sesama dan tidak berbuat jahat kepada orang lain? Tidak, Keng Hong.
Manusia terikat kewajiban-kewajiban, kewajiban sebagai manusia hidup dan Nabi
Khong Hu Cu menunjukkan jalan-jalan dan cara-cara betapa manusia dapat
menunaikan kewajiban hidupnya dengan sempurna! Oleh karena itu, mutlak penting
bagiku yang telah berani memakai nama julukan Kuncu untuk menyebar luaskan
pelajaran-pelajaran itu agar setiap orang manusia di dunia mengerti,
mempelajari, dan kemudian melaksanakannya dalam hidup sehingga semua manusia
akan tahu memenuhi kewajiban masing-masing!"
"Maaf,
Locianpwe. Akan tetapi bukankah kewajiban pun dapat diartikan banyak sekali,
tergantung dari pada orang yang mengartikannya?"
"Tidak
begitu, ada sabda Nabi Khong Hu Cu tentang itu yang berbunyi begini: Melakukan
kewajiban terhadap ayahku seperti aku ingin melihat puteraku melakukannya
terhadapku. Melakukan kewajiban terhadap rajaku seperti aku ingin melihat
bawahanku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap kakakku
sebagaimana aku ingin melihat adikku melakukannya terhadap aku dan demikianlah
selanjutnya. Singkatnya merupakan kebalikan dari pada ujar-ujar yang kau sebut
ke dua tadi. Kalau tadi ujar-ujar itu berbunyi jangan melakukan kepada orang
lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu,
yaitu, lakukanlah kepada orang lain perbuatan yang kau ingin orang lain
melakukannya kepadamu! Jelaskan?"
"Jelas,
Locianpwe. Saya teringat akan sebuah pelajaran yang mengatakan bahwa untuk
dapat mengatur dan memperbaiki orang lain harus lebih dulu mengatur dan
memperbaiki keluarga sendiri dan untuk dapat mengatur dan memperbaiki keluarga
sendiri harus lebih dahulu mengatur dan memperbaiki diri sendiri."
Kakek itu
bersungut-sungut dan mengamang-amangkan telunjuknya kepada Keng Hong,
seolah-olah hendak menusuk hidung pemuda itu dengan telunjuknya. "Wah-wah,
engkau sekali lagi menyinggung aku, ya? Kata-katamu itu benar-benar ‘mengenai’
namanya! Kau tentu bertanya dalam hatimu apakah aku yang mengajar orang lain
ini sudah mengatur keluarga sendiri dan sudah memperbaiki diri sendiri, bukan?
Akan tetapi kata-katamu itu memang amat perlu diperhatikan tiap orang. Memang
apakah artinya mengajar orang lain atau keluarga sendiri kalau tidak dapat
memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Siu-sin (mengatur dan memperbaiki
diri sendiri) ini merupakan pelajaran paling penting dari Nabi Khong Hu Cu
mengajarkan demikian: Seorang Kuncu tidak boleh tidak harus mengatur dan
memperbaiki diri sendiri. Untuk dapat memperbaiki diri sendiri, tidak boleh
tidak harus mencinta dan berbakti kepada orang tua. Untuk dapat mencinta dan
berbakti, tidak boleh tidak harus tahu akan peri kemanusiaan. Untuk dapat tahu
akan peri kemanusiaan, tidak boleh tidak harus tahu akan keTuhanan!"
"Saya
mengenal pelajaran itu, Locianpwe. Dilanjutkan dengan pelajaran bahwa ada lima
macam jalan kebenaran, yaitu tata susila antara raja dan hulubalangnya, antara
orang tua dan anaknya, antara suami dan isterinya, antara kakak dan adiknya dan
antara sahabat dengan handai taulannya. Untuk melaksanakan tata susila itu ada
tiga dasar kebajikan, yaitu pengertian (kesadaran), welas asih, dan gagah
berani."
"Benar...
benar...! Kalau sudah melaksanakan dalam hidupnya semua pelajaran itu, mau apa
lagi hidup di dunia? Heh-heh-ha-ha-ha! Hatiku senang sekali bertemu dan
berbicara denganmu Keng Hong! Engkau masih muda akan tetapi engkau sudah banyak
mengerti tentang ilmu kebatinan!"
"Aahhh,
Locianpwe. Saya hanyalah seperti seekor burung beo yang meniru-niru belaka.
Ujar-ujar dan ayat-ayat suci, juga pengetahuan tentang agama bukannya hal yang
perlu diributkan dalam percakapan namun pelajaran yang harus dilaksanakan dalam
perbuatan. Kalau tidak dengan Locianpwe, sungguh saya tidak berani bicara soal
itu. Hanya satu hal yang amat membingungkan hati saya, Locianpwe. Saya sudah
banyak mendengar akan kebijaksanaan kaisar yang pandai menggunakan orang-orang
bijaksana sehingga buktinya Locianpwe menghambakan diri kepada kaisar. Hal ini
saja sudah cukup bagi saya untuk membuktikan kebenaran kabar yang saya dengar
itu. Akan tetapi, Locianpwe, mengapa dalam tempat yang bersih disimpan barang
yang kotor? Mengapa kaisar yang bijaksana memelihara serigala dan harimau buas?
Kenapa orang-orang macam mereka itu diangkat menjadi pengawal-pengawal?"
"Kenapa
tidak? Hal ini justru menunjukkan betapa bijaksananya kaisar! Bisa menjinakkan
serigala dan harimau kemudian mengubah mereka dari binatang-binatang buas
perusak tiada guna menjadi anjing-anjing penjaga yang sangat berguna, betapa
bijaksananya itu! Jauh lebih bijaksana dari pada membiarkan mereka berkeliaran
bebas dapat melakukan pengrusakan sehingga perlu mengerahkan tenaga untuk
mengejar-ngejar dan berusaha membasmi mereka!"
Keng Hong
tidak membantah, akan tetapi diam-diam dia tidak menyetujui kebijaksanaan itu.
Mendadak
kakek itu meloncat berdiri. "Cia Keng Hong, kuperingatkan kepadamu, jangan
sekali lagi engkau mengacau istana, karena kalau engkau ulangi lain kali aku
sendiri tentu akan ikut muncul untuk menentangmu! Aku suka kepadamu, akan
tetapi apa bila urusan pribadi kau bawa-bawa ke istana hingga mengacaukan
istana, terpaksa aku melupakan rasa sukaku kepadamu. Selamat tinggal!"
Sesudah
berkata demikian, kakek aneh itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
Keng Hong memandang bengong, dia teringat akan nasehat Panglima The Ho dan juga
nasehat pengawal lihai Tio Hok Gwan.
Baru pergi
belasan langkah, Siauw-bin Kuncu menoleh lantas berkata, "Aku mendengar
bahwa pengawal rahasia wanita itu mempunyai pondok di luar kota raja sebelah
barat, pondok mungil warna merah!"
Setelah
berkata demikian, kakek itu bergerak cepat sekali dan seperti juga dahulu, Keng
Hong merasa geli dan kagum melihat kakek itu melompat-lompat dengan kedua
lengan digerakkan seperti seekor ayam lari akan tetapi gerakannya cepat sekali.
Juga hatinya girang.
Ternyata
sungguh pun mulut orang-orang seperti Siauw-bin Kuncu dan Tio Hok Gwan
menentangnya, namun di dalam hati mereka itu berpihak kepadanya dalam
menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Dia harus bersabar dan menanti saat dan
kesempatan baik untuk menyergap Cui Im di luar istana, dan kalau mungkin di
luar kota raja.......
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment