Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 24
BAYANGAN
putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa
saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam
hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang
berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan!
Bayangan
putih itu adalah Biauw Eng. Sesudah melarikan diri dari kota raja, dara ini
lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati
pilu. Ibunya telah dibunuh bekas suci-nya dan dendam ini bukan hanya tidak
dapat dia balas, bahkan dia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya.
Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan malapetaka hebat yang
amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya
karena pertemuannya dengan Keng Hong.
Ia harus
mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin
mendalam. Akan tetapi setelah dia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa cinta
Keng Hong tidak setulus cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta
kecantikan wajahnya sehingga saat ia mencoba dan membohonginya, mengatakan
bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan
menghinanya!
Ahh, betapa
dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta
kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap wanita-wanita lain yang pernah
dilayaninya bermain cinta. Cinta pemuda itu sifatnya hanyalah badani belaka,
cinta nafsu, cinta birahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya sudah
dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah.
Padahal,
cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong
walau pun dia tahu bahwa pemuda itu sudah bermain cinta dengan Cui Im dan
dengan beberapa gadis lainnya. Cintanya amat mendalam dan dia telah berkabung
untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biar pun tadinya menyangka bahwa pemuda
itu telah tewas, namun dia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu
dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, dia dikecewakan!
Makin
diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri
di atas rumput dalam hutan itu. "Ahhh, Keng Hong... alangkah kejam
hatimu...!"
Tentu saja
ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri
dengan pemuda itu, akhirnya dia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah,
dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tak sudi. Lebih baik berpisah!
Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang
dicintanya!
"Aduhhh...,
dari pada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja...! Mati
menyusul ibu... menyusul ayah..."
Makin
terisak dia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong.
Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya,
murid satu-satunya yang terkasih! Kalau saja dia dapat bersanding dengan Keng
Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong...!
"Lebih
baik aku mati...!" Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti
air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes
ke dada.
Akan tetapi
Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecil digembleng kegagahan oleh
mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia
ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri.
Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka
yang amat mendalam.
Di dalam
hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apa lagi bunuh diri
yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Dia tidak takut apa pun juga,
mengapa takut melanjutkan hidup? Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada
saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa
menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Bekas
suci-nya itu, yang dahulu bekas kawannya dan akan dapat dia kalahkan dengan
mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian
yang jauh mengatasinya. Apa lagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga
amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan
dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek. Keng Hong...!
Ahhh, tak
dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu
itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukanlah seorang tolol yang
menyerahkan kematian begitu saja dengan nekat menyerang Cui Im. Ibunya dulu
memberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga
diri sendiri dirobohkan, itu bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan
perbuatan seorang tolol!
Habis, apa
yang akan dia lakukan?
"Aduh,
ibu...!" Biauw Eng menangis lagi.
Baru pertama
kali ini selama hidupnya dia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan
semangat. Luka di hati karena asmara memang sangat pedih, apa lagi kalau
dirasakan dan dikenang.
Memang
sebenarnya hal itu bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan
sendirinya, akan sembuh tanpa diobati. Obatnya hanya jangan memikirkannya lagi
dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup.
Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan
tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri. Akan tetapi kalau dikenang
dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih dari pada luka asmara, tidak
ada penyakit yang lebih parah dan berat dari pada penyakit asmara!
Tidak, dia
tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Dahulu
hati Ibunya juga pernah disakiti oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng
Hong sudah menggoda ibunya, bahkan perbuatan Sin-jiu Kiam-ong lebih jauh, yaitu
sudah melakukan hubungan cinta dengan ibunya hingga ibunya mengandung! Dan
ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya.
Meski pun
demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil
memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari
semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya?
Ia akan
pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia
akan bisa memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih
memiliki alasan untuk hidup dari pada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri
dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im!
Pikiran ini
mendatangkan semangat baru di dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus
asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara
ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis.
Lai Sek
sekali pun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja
untuknya, bahkan yang telah dia serahi seluruh tubuhnya, namun Lai Sek pun tak
pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian
murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ahhh, tidak
perlu memikirkan Keng Hong lagi.
"Aku
tidak boleh memikirkannya lagi. Dia adalah laki-laki yang tidak berharga!
Aku... benci kepadanya!" Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke
utara.
Dia lari
seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan
yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin dia dapat melupakan Keng Hong,
bahwa tidak mungkin dia sanggup membencinya. Betapa pun cepat dia berlari,
suara bisikan ini terus mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena
yang berbisik adalah hatinya sendiri.
Ahh, cinta!
Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang
iblis yang kejam pembawa derita sengsara! Dan betapa bodohya orang muda yang
sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya
seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara
cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita
macam Cui Im.
***************
Pakaiannya
yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan
mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang
robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus
putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari.
Hanya ada
perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika
masih bersama ibunya, pada saat namanya terkenal sebagai Song-bun Siu-li (Dara
Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah
gunung es, dingin akan tetapi amat ganas, bahkan ia dapat membunuh lawannya
dengan mata tanpa berkedip.
Akan tetapi
kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di
dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya
berubah panas, juga nampak kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan
seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat.
Keadaan di
hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan
tidak pernah dijumpainya di selatan. Juga banyak terdapat burung-burung indah
yang beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk mau
pun warnanya.
Biauw Eng
duduk beristirahat di bawah sebatang pohon, memperhatikan kembang kuning yang
tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, bahkan dapat dikatakan buruk dan
tidak berbau wangi. Tidak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang
warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum
sekali. Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut
hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Sedangkan kembang
kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang.
Biauw Eng
menarik napas panjang. Dia mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan
ujung jari-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.
"Jangan
berduka, bunga kuning," bisiknya menghibur. "Dalam kesepianmu, engkau
lebih bahagia dari pada bunga merah itu.”
Biauw Eng
memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib
bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana-mana, seperti bunga-bunga
ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang
dikejar-kejar oleh kumbang. Pria dan kumbang sama saja.
Pria
tertarik dengan kecantikan wanita bagaikan kumbang tertarik oleh keharuman madu
kembang. Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak
cantik, tidak dipedulikan dan menjadi tersia-sia. Akan tetapi, kembang-kembang
tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik belum tentu lebih sengsara dari pada
nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik.
Sesudah
madunya habis dihisap kumbang, kembang bermadu lalu ditinggal pergi tanpa pamit
oleh si kumbang. Sesudah dipermainkan oleh pria, wanita cantik seperti kembang
habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal
begitu saja! Seperti ibunya! Dan dia tak mau dijadikan seperti ibunya, seperti
kembang bermadu yang harum namun kelak akan disia-siakan.
Tidak, lebih
baik menjadi kembang kuning yang tak dipedulikan oleh kumbang, akan lebih segar
dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang
palsu itu! Persetan dengan segala cinta kasih pria-pria palsu yang hanya
membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh!
Tiba-tiba
rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan
membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu. Tangan kirinya bergerak
menampar dan empat ekor kumbang besar terkena tamparan tangannya, lalu
terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang
puas.
"Tersenyumlah,
kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi
bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!" Saking gembiranya dan
puas hatinya melihat ‘kumbang-kumbang berhati palsu’ itu telah tewas, Biauw Eng
bicara dengan keras, seakan-akan kembang kuning merupakan seorang wanita lain
yang perlu dihibur hatinya.
Tiba-tiba
saja, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat
berkuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng
terkejut dan segera memandang, ketawa senang dan dia merasa kagum sekali
menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking
gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, dia
pun lalu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor
kijang yang berlari naik ke bukit.
Dua ekor
kijang itu berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia
yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu sedang mengejar mereka dan
hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau
balau.
Melihat ini,
Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu
tidak menjadi ketakutan. Dia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi
agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya.
Tiba-tiba
terdengar suara gerengan yang nyaring bukan main, yang menggetarkan seluruh
permukaan bukit. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua
kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat dia meloncat, tubuhnya
berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini
memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking
marahnya.
Dua ekor
kijang jantan dan betina yang berkejaran tadi kini telah menjadi bangkai, leher
mereka terluka dan robek, darah mereka menjadi satu membasahi rumput dan di
antara kedua bangkai kijang itu berdiri seekor harimau besar yang mengaum
perlahan, kemudian mencium-cium darah serta tubuh kijang, agaknya hendak
menikmati baunya yang sedap dan gurih sebelum mengganyangnya. Harimau itu besar
seukuran anak lembu, bulunya kehitaman, ekornya panjang melingkar dan yang aneh
sekali adalah sebuah tanduk yang tumbuh di antara kedua telinganya yang kecil!
Akan tetapi
Biauw Eng tidak mempedulikan keanehan binatang ini. Hatinya telah dikuasai
nafsu amarah dan sambil mengeluarkan jerit melengking dia melompat ke depan,
segera menerjang harimau bertanduk satu itu. Dalam kemarahannya, Biauw Eng
menubruk maju dan menghantam dengan tenaga sekuatnya ke arah kepala harimau
yang ada tanduknya itu.
"Siuuuuuuttt...
werrrrrrr…!"
"Aihhhhh…!"
Biauw Eng
berseru kaget karena pukulannya yang cepat dan kuat itu mengenai tempat kosong!
Ternyata harimau bertanduk itu sudah dapat mengelakkan pukulannya. Padahal
pukulan tadi tidak akan mudah dielakkan begitu saja oleh seorang ahli silat
yang belum mempunyai kepandaian tinggi! Tentu saja merupakan hal yang sangat
aneh kalau seekor binatang dapat mengelak dengan gerakan yang begitu cepat akan
tetapi juga seenaknya saja karena dengan jelas Biauw Eng melihat betapa harimau
itu mengelak secara tenang tidak tergesa-gesa, hanya dengan miringkan kepala ke
kiri!
Biauw Eng
yang marah sekali melihat sepasang kijang menjadi bangkai karena diterkam oleh
harimau ganas ini, cepat-cepat memutar tubuh dan melanjutkan gerakannya dengan
sebuah tendangan. Ujung sepatunya meluncur cepat menyambar bawah iga binatang
itu. Akan tetapi, sambil mengaum harimau itu kini mengelak dengan loncatan ke
belakang dan kaki depan kiri yang bercakar runcing tiba-tiba saja diangkat
menampar ke arah kaki Biauw Eng!
"Ehhh...!"
Biauw Eng terpaksa menarik kembali kakinya. Ia tidak takut dicakar, akan tetapi
celana dan sepatunya bisa dirobek kalau terkait kuku-kuku yang kuat itu. Ia
makin heran dan penasaran.
Dua kali dia
menyerang dan dua kali pula binatang itu mampu mengelak, bahkan balas mencakar
ke arah kakinya. Biauw Eng hampir tidak percaya. Cepat ia menerjang lagi, kini
menggunakan seluruh kecepatan gerakannya, melambung dan saat tubuhnya menubruk
dan menukik, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah mata
harimau itu, ada pun tangan kanannya dimiringkan menghantam ke arah tengkuk.
Dua serangan ini ia lakukan sambil mengerahkan Iweekang.
Melihat
gadis itu yang malah menerkamnya, harimau bertanduk satu mengangkat muka,
agaknya terheran, akan tetapi begitu angin serangan yang dahsyat menyambar,
harimau itu mengaum dan mendadak tubuhnya merendah serta diputar, lalu kaki
depan kanannya membuat gerakan melingkar, menangkis tusukan jari ke arah
matanya, sedangkan tangan kanan Biauw Eng yang menghantam tengkuknya itu
ditangkisnya dengan ekornya yang panjang, yang dipergunakan seperti cambuk
diayun dari belakang.
"Plakkk!
Dukkk!"
"Hayaaaaaa...!"
Biauw Eng
cepat melempar tubuh ke belakang. Tangkisan-tangkisan itu membuat kedua
pukulannya tertahan. Tadi harimau yang agaknya menjadi marah itu sambil
menangkis sudah menggerakkan kepala menggigit sehingga Biauw Eng terpaksa
melempar tubuh ke belakang.
Akan tetapi
baru saja meloncat turun, harimau yang marah itu sudah menerjangnya dan
membalas dengan serangan yang dilakukan secara aneh, bukan menubruk seperti
yang dilakukan oleh harimau-harimau biasa, melainkan menggerakkan dua kaki
depan secara bertubi-tubi mencakarnya dari kanan kiri, sedangkan tubuhnya
bergerak maju dengan kaki belakang saja, benar-benar seperti gerakan manusia!
Biauw Eng
melangkah mundur lantas melolos sabuknya. Dalam keadaan biasa kiranya gadis ini
akan merasa malu bila menggunakan senjatanya menghadapi seekor binatang hutan.
Akan tetapi, dia sudah merasa amat marah melihat sepasang kijang yang dibunuh
dan dia tahu bahwa harimau ini bukan sembarangan harimau, melainkan seekor
harimau yang memiliki kelebihan dari pada harimau lain. Gerakannya selain cepat
dan kuat, juga aneh, mirip gerakan yang terlatih, gerakan yang memiliki dasar
ilmu silat!
"Binatang
jahat dan kejam, mampuslah!" Biauw Eng membentak dan tangannya bergerak.
Sinar putih
menyambar ke depan, sinar putih yang panjang dari sabuk suteranya. Dengan sabuk
suteranya ini, dahulu Biauw Eng amat dikenal dan ditakuti lawan, karena memang
hebat permainan sabuk suteranya yang dalam segebrakan saja dapat merampas
senjata lawan, kalau perlu mampu merampas nyawa lawan!
Kini ujung
sabuk sutera itu melayang ke arah kepala, tenggorokan dan lambung harimau
dengan kecepatan yang menyilaukan mata. Ujung sabuk yang bergerak bertubi-tubi
itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan ketika menyambar ke arah
harimau mengeluarkan bunyi bercuitan mengerikan.
"Cuiiiiiittttt...
dar-dar-dar...!"
Tiga kali
ujung sabuk sutera yang tidak mengenai sasaran itu meledak di tempat kosong.
Sekali ini Biauw Eng benar-benar terkejut. Binatang buas itu mampu mengelak
serangan sabuk suteranya secara beruntun tiga kali dengan cara menggulingkan
diri. Mana di dunia ini ada harimau yang mempunyai akal untuk mengelak sambil
bergulingan?
Dan bukan
sampai di situ saja karena tiba-tiba harimau itu mengaum dan tubuhnya yang tadi
bergulingan itu kini berguling mendekat lantas secara mendadak sekali tubuh
yang kehitaman itu mencelat ke atas dan sudah menubruk ke arah Biauw Eng dengan
gerakan dahsyat.
Keempat
kakinya bergerak hendak mencengkeram, akan tetapi dengan cakar-cakar yang
digerak-gerakkan hingga sulit ditentukan ke mana keempat buah cakar yang
mengerikan itu akan mencengkeram, dan serangan ini didahului oleh sebatang
‘cambuk’ yaitu ekornya yang digerakkan lebih dahulu, bukan menyabet seperti
buntut harimau biasa, akan tetapi dari bawah ekor ini bagaikan menjadi sebatang
toya lurus yang menyodok ke arah leher Biauw Eng.
Hebat bukan
main serangan binatang itu karena sekali serang, buntutnya menotok leher,
keempat cakar kakinya mencengkeram dan mulutnya yang terbuka menggigit kepala!
"Aihhhhh...!"
Biauw Eng kaget, akan tetapi tidak menjadi gugup.
Dia
merendahkan tubuh, tidak mengelak mundur, bahkan cepat dia menyusup ke bawah
tubuh harimau yang sedang meloncat. Harimau menggereng, agaknya menjadi bingung
dan merasa diakali oleh lawan karena selagi tubuhnya meloncat tidak mungkin
membalik. Hanya buntutnya yang dapat digerakkan secara tidak terduga oleh Biauw
Eng kemudian tiba-tiba menyabet ke bawah selagi gadis itu menyusup.
Hal ini
sungguh tidak terduga oleh Biauw Eng sehingga pundaknya terpukul ekor harimau
yang menyambar. Dan ternyata pukulan itu amat keras sehingga Biauw Eng
terbanting ke kanan dan pundaknya terasa nyeri seperti dipukul toya oleh lawan
yang bertenaga besar!
Sekarang
Biauw Eng marah sekali. Dia tidak mempedulikan rasa nyeri pada pundaknya, cepat
dia melompat bangun dan pada saat harimau itu melayang turun, sabuk suteranya
sudah menyambar ganas, merupakan dua cahaya putih karena yang menyambar adalah
kedua ujungnya sedangkan dara itu memegang bagian tengah. Kedua ujung sabuk itu
dengan kecepatan kilat sudah menyambar dan membelit keempat kaki harimau itu,
ujung pertama membelit kedua kaki belakang, ujung ke dua membelit dua kaki
depan.
Harimau
menggereng dan meronta, tetapi sia-sia saja karena tubuhnya tiba-tiba terangkat
naik tanpa mampu ditahannya lagi. Harimau masih terus meronta-ronta ketika
Biauw Eng mengerahkan tenaga menggerakkan tangan. Tubuh harimau yang sudah dibelenggu
oleh kedua ujung sabuk itu kini terbanting ke bawah menghantam sebuah batu
gunung.
"Desssss…!"
Batu itu
remuk dan harimau itu mengerang-erang kesakitan. Kembali tubuhnya terangkat dan
kini menghantam sebuah batu lainnya yang lebih besar, hanya kali ini dia
terbanting dengan kepala lebih dulu.
"Prokkk!"
Kembali batu yang pecah biar pun kepala harimau itu pun terluka dan berdarah.
Biauw Eng
menjadi penasaran sekali. Alangkah kuatnya harimau itu. Saking marah dan
penasaran, berkali-kali dia membanting tubuh harimau yang sudah tak berdaya itu
sampai kepala harimau itu pecah-pecah. Sebelum tewas harimau itu sempat
mengeluarkan suara mengaum yang amat dahsyat dan nyaring, menggetarkan gunung.
Biauw Eng
lalu melontarkan bangkai harimau itu jauh memasuki jurang. Kemudian Biauw Eng
menghampiri bangkai sepasang kijang, berjongkok dan menatap bangkai sepasang
kijang itu dengan kening berkerut karena kasihan. Akan tetapi kemarahannya
mereda dan sekarang, dalam keadaan tidak panas hatinya, baru ia teringat dan
terheran-heran penuh kekaguman akan kelihaian harimau itu.
Baru
keadaannya sudah aneh, kepalanya bertanduk, sungguh pun dalam perkelahian tadi
dia melihat bahwa benda di kepalanya itu bukan tanduk keras macam lembu,
melainkan segumpal daging yang tumbuh di antara kedua telinga. Selain keadaanya
yang aneh, juga kini dia teringat betapa gerakan harimau tidak wajar.
Gerakan-gerakannya mengandung teknik ilmu silat! Cara kaki depan menangkis dari
samping dengan gerakan memutar dan membesut, cara buntut harimau itu menangkis
dan menyerang, semua itu adalah gerakan ilmu silat!
Kemudian
Biauw Eng termenung memandangi bangkai dua ekor kijang itu dan ia merasa heran
teringat akan kelakuannya sendiri. Harimau itu membunuh dua ekor kijang ini
akibat lapar, karena kijang-kijang ini akan dijadikan mangsanya. Mengapa dia
marah-marah dan membunuh harimau itu? Hal ini tidak biasa ia lakukan. Mengapa
ia menjadi marah melihat harimau membunuh kijang? Bukankah hal itu sudah
sewajarnya dan dahulu sudah sering kali dia melihat kejadian seperti ini tanpa
terpengaruh sedikit pun? Ia memandang lagi dan tiba-tiba mengertilah dia, lalu
menghela napas panjang.
Tadi dia
melihat dua ekor kijang itu, sepasang kijang yang indah, jantan dan betina yang
kelihatan rukun. Hatinya yang baru diobrak-abrik oleh asmara itu tadi merasa
mesra dan penuh gairah menyaksikan pasangan kijang ini, mengingatkan dia
terhadap Keng Hong. Betapa akan mesra dan bahagianya apa blia dia bersama Keng
Hong dapat hidup rukun berdampingan seperti sepasang kijang itu.
Dan harimau
itu kemudian muncul, menghancurkan kemesraan yang memenuhi dada. Melihat
sepasang kijang rebah menjadi bangkai yang berlumuran darah, dia seolah-olah
merasa bahwa si harimau juga menghancurkan kebahagiaannya bersama Keng Hong,
maka bangkitlah kemarahannya yang luar biasa.
"Ahh,
Keng Hong... engkau membuat aku tidak hanya menjadi merana, juga menjadi
gila!" keluhnya dan kini hatinya mulai merasa menyesal mengapa dia
membunuh harimau yang sesungguhnya tidak bersalah apa-apa terhadap dirinya itu.
Tiba-tiba
saja terdengar teriakan-teriakan keras, teriakan-teriakan yang makin lama makin
mendekati tepat itu. Biauw Eng terkejut dan cepat meloncat bangun sambil
melibatkan sabuk suteranya di pinggang.
Tidak lama
kemudian muncullah tiga belas orang wanita. Mereka muncul dari berbagai
jurusan, ada yang berlari-larian dari atas, ada yang meloncat keluar dari
jurang. Gerakan mereka gesit-gesit dan mereka memakai pakaian seragam warna
kuning. Tangan mereka memegang pedang dan gerakan mereka gesit bukan main.
Sambil berteriak-teriak marah mereka mengurung Biauw Eng yang berdiri tegak
dengan sikap tenang.
"Dia
sudah membunuh tuan muda..!" Beberapa orang di antara mereka berteriak
sambil menangis.
"Dia
juga menyiksa tubuh tuan muda..., hi-hi-hik!" Beberapa orang lainya
berseru sambil... tertawa-tawa.
Melihat
sikap mereka, meremang bulu tengkuk Biauw Eng. Wajah tiga belas orang wanita
yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu rata-rata cantik,
akan tetapi sinar mata mereka liar seperti mata orang yang miring otaknya!
Mereka menangis dan tertawa tidak karuan, meloncat-loncat seperti orang menari
mengelilinginya.
"Kalian
ini mau apakah?!" Biauw Eng membentak. "Siapa pula yang membunuh tuan
muda?"
"Kau
yang membunuh siauw-ya (tuan muda)!" salah seorang di antara mereka, yang
membiarkan rambutnya terurai dan yang nampak paling tua di antara mereka, juga
paling cantik, membentak dengan suara seperti orang menangis, akan tetapi
bentakan marah itu disusul suara ketawa cekikikan!
"Aku?
Tuan muda yang manakah yang telah kubunuh?" Biauw Eng bertanya, tengkuknya
terasa dingin dan hatinya merasa seram.
Mudah
diduganya bahwa wanita yang mengurai rambut ini tidak waras pikirannya. Akan
tetapi kalau gila, masakah tiga belas orang wanita yang melihat pakaiannya
merupakan pasukan berseragam ini gila semua?
"Ehh,
engkau masih berpura-pura? Engkau sudah membunuh tuan muda Tok-kak-houw
(Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!" Sambil
berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.
"Srattttt...
Sing-sing...!" Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok
satu kali dan menusuk dua kali.
Biauw Eng
mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita
itu sudah menerjangnya. Dia mempergunakan ginkang-nya mengelak ke sana-sini
sambil berseru,
"Heeeee!
Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang tadi kubunuh adalah seekor
binatang! Seekor harimau berbulu hitam karena ia telah membunuh sepasang
kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh
tuan muda kalian?"
Tiba-tiba
tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding
ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini,
Biauw Eng makin terheran-heran dan seram, bahkan otomatis dia meraba hidungnya
sendiri. Kenapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan?
Ternyata
hidungnya tidak apa-apa, dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati
mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang
sambil memegangi perut menahan ketawa.
"Hi-hik-hik,
heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau sudah membunuh tuan
muda Tok-kak-houw dan masih berani menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kami
belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!" kata pemimpin pasukan
itu dan kembali Biauw Eng terkejut.
Apakah di
tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, lalu
bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang
sengaja hendak mempermainkannya, dan marahlah Biauw Eng. Dia tadi melihat
gerakan mereka amat gesit dan lihai, maka dia segera meloloskan sabuk suteranya
dan berkata dengan suara nyaring,
"Kalian
ini kumpulan orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian
akan mampus seperti harimau siluman itu!"
Tiga belas
orang wanita itu tertawa cekikikan, tetapi di antara suara ketawa ini terdengar
oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan. Gadis ini
menjadi seram karena baru saja dia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah
membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga
belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan dia menganggap mereka seperti
gila.
Benar
gilakah mereka ini? Ataukah... dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal
yang wajar tampak olehnya sebagai tak wajar? Ia mengkirik dan kemarahan
memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan
jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya
yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung.
Tiga belas
orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Walau pun
mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain
ringan, cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.
Gulungan
sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran
pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat
amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Gerakan
pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti
gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang kala gerakan mereka
melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga ke mana hendak menyerang. Tetapi
Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu
silat tinggi, maka dengan tenang dia dapat menangkis semua serangan dengan
membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat
sekali.
Yang
membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya. Mereka itu
bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan ada kalanya
seperti tarian manusia-manusia yang liar. Mereka meloncat-loncat, berjongkok,
bahkan ada yang bergulingan di atas tanah, menyerang dengan pedang membabat ke
arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya
menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng!
Biauw Eng
sangat terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dalam hal
ginkang dan tenaga sinkang, dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi
menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah dia
saksikan itu, benar-benar dia tak berani bersikap sembrono dan melawan dengan
hati-hati sekali.
Setelah
melawan dengan pertahanan ketat hingga lima puluh jurus sambil memperhatikan
gerakan mereka, Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan yang
aneh-aneh dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya
tinggi dan indah sekali. Semua gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat
mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan!
Sebagai
seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar ilmu mereka, Biauw Eng dapat
melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih
rendah. Maka sekali ia berseru keras, secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh
terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran
lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya!
Terdengar
jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena
terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali
sabuknya kemudian menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya
sudah mencelat berdiri di atas tanah.
Dan tepat
seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan
sabuknya sekarang menusuk atau membacok pinggangnya. Ia berseru keras, tubuhnya
meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat
ia menggunakan kedua kakinya membarengi ketika semua pedang menyambar,
menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas.
Sebelas
batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat
gerakan mereka. Dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang telah melayang ke atas
cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah, kemudian sinar
putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.
"Wuuuttt...
Trang-trang-cringggg...!"
Beberapa
batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh
menghindar, akan tetapi masih ada tiga orang yang kurang cepat mengelak
sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka lantas terguling
roboh dan... tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah
jalan darah Kin-ceng Hiat-to dan Tiong-ca Hiat-to. Mestinya mereka yang
tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tak
mengeluh dan tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!
Dua orang
sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang
lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata
mereka makin liar berputaran, mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir
basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing. Sungguh sikap mereka amat
menyeramkan.
Akan tetapi
ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin
bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila!
Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang
sebetulnya tidak berdosa ini.
Akan tetapi,
selagi dia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengarlah
suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata
mengandung wibawa hebat bagi delapan wanita berseragam kuning yang belum roboh
dan serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,
"Sian-li
datang...!"
Biauw Eng
cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap. Dia terkejut mendengar
mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi. Ia makin
terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba
merah.
Wanita itu
masih muda, hanya sekitar dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah
cantik manis dan bersikap gagah. Matanya bersinar-sinar seperti sepasang
bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayang kebengisan
dan kekerasan hati. Pakaian berwarna merah dan pada pinggangnya juga tergantung
sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula.
Dua orang
gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng
bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah
majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya saja sudah begitu
lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka dia langsung bersikap waspada,
menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
"Apa
yang terjadi di sini?" Suara wanita baju merah itu halus dan merdu,
sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih berhati-hati
lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat
lihai.
"Tanpa
sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri," kata
Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.
"Hi-hi-hik,
orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sian-li. Dia sudah melakukan tiga macam
kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, kedua, dia membikin
sakit hati Sian-li, dan ke tiga, dia menyerang kami!" kata wanita gila
berambut riap-riapan.
"Bohong!"
Biauw Eng berteriak marah dan penasaran. "Mereka itulah yang gila dan
miring otaknya!"
"Kau
yang gila!" Teriak tiga belas orang itu berbarengan.
"Kalian
yang gila!" Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.
"Kau...!"
Tiga belas orang itu membalas.
"Kalian!"
Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling
mengatakan gila.
Dara baju
merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, maka terpaksa
Biauw Eng juga diam. "Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang
berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar
itu?"
"Tidak!
Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang sudah aku
lakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun
belum?"
Wanita
berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.
"Tentu
saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan
Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?"
Biauw Eng
meraba-raba dagunya. Biar pun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tidak
dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ,
walau pun dia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan
bertanya,
"Kenapa
kalian katakan aku menyakitkan hati Sian-li dan menyerang kalian?"
"Dosamu
ke dua adalah, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi
kesayangan Sian-li, bukankah berarti engkau sudah menyakitkan hati Sianli? Dan
engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami
bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!"
Biauw Eng
mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian
berdebat melebihi pokrol bambu! (Pengacara yang tidak memiliki pendidikan
resmi. Istilah ini dikiaskan bagi orang yang suka ngotot tanpa dasar, keras
kepala dan tidak mau mengalah). Sia-sia saja berdebat dengan orang gila,
pikirnya. Maka dia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu
lalu berkata,
"Aku
kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku telah melanggar wilayah
orang. Kemudian aku melihat seekor harimau yang membunuh dua ekor kijang, maka
aku lantas membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan
mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang
roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan."
"Siapa
namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.
"Namaku
Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng," Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya
karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya.
Akan tetapi
ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan
yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,
"Julukanmu
Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?"
Pertanyaan
ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian
putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan ‘berkabung’ karena
pakaiannya yang selalu putih itu. Sekarang pertanyaan itu membuatnya berpikir
dan tanpa ragu-ragu dia pun menjawab,
"Aku
berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada."
"Kenapa
engkau memakai pakaian putih?"
Pertanyaan
tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar,
"Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?"
Tiba-tiba
saja wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi,
nyaring dan merdu sekali. Akan tetapi anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita
gila yang mendengar suara ketawa ini segera menundukkan muka seperti orang
ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang
marah?
"Mengapa
engkau tertawa?" Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah.
Gadis baju
merah itu tertawa makin nyaring. "Siapa tidak akan tertawa kalau mendengar
engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena
kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru
benar-benar berkabung!"
Biauw Eng
mengangkat muka, kemudian memandang wajah yang cantik manis itu penuh
perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang tampaknya waras ini pun
ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya!
"Hemmm,
seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan
warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah
kepadamu," jawab Biauw Eng yang menganggap bahwa tidak akan ada gunanya
berdebat dengan orang berotak miring.
"Hi-hi-hi-hik-hik,
alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa
warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu
hatinya ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?"
Diam-diam
Biauw Eng mendongkol karena betapa pun gilanya bantahan itu, memang sulit untuk
dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya,
berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya.
"Sesukamulah,
aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!"
Biauw Eng
lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada
bayangan merah melesat cepat bagaikan kilat menyambar dan tahu-tahu gadis
pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya.
"Engkau
mau apa?!" Bentaknya marah, tidak takut sedikit pun meski dia tahu bahwa
gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa.
"Mau
apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?"
"Bukan."
"Nah,
engkau telah membunuh kesayanganku, karena itu sekarang engkau harus menjadi
penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku. Jika engkau tidak mau, aku
akan membunuhmu."
"Gila!
Kau kira aku takut kepadamu?" Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi
dan ia sudah menubruk serta memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis
itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis.
"Dukkk!"
Dua buah
lengan yang berkulit putih halus bertemu dan dua tenaga dahsyat dari sinkang
yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis
baju merah itu bergoyang-goyang.
"Hi-hi-hik,
tenagamu boleh juga!" Gadis berpakaian merah itu tertawa. "Engkau
lebih kuat dari pada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman
main yang lebih menyenangkan."
"Tidak
sudi!" Biauw Eng membentak.
Tentu saja
dia marah sekali. Masa dia hendak disamakan seekor harimau yang menjadi
binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah
meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan.
"Hi-hi-hik,
bagus sekali! Mari kita main-main!" Si nona berpakaian merah tertawa dan
sinar hitam berkelebat ketika ia mencabut pedangnya.
"Wuuuttt..
wirrrr... cringgg...!"
Sinar putih
dan sinar hitam itu pecah membuyar, dan masing-masing menarik kembali senjatanya
setelah ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka
tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, ternyata gadis baju
merah itu benar-benar mempunyai sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan
senjata pedang yang ampuh!
"Bagus,
engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!"
Gadis baju
merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang sangat aneh
sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung
berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget
sekali, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik
itu dengan seru.
Tiga belas
orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata sangat senang menonton
pertandingan silat. Kini mereka bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi
sudah dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya,
seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini
dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai
tingkat tinggi.
Betapa pun
juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur
dan kepala mereka terasa pening. Yang tampak oleh mereka hanyalah sinar hitam
dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita
baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng.
Puteri
Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang
banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas suci-nya
yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang
mempunyai kepandaian seperti wanita baju merah ini.
Hatinya
panas mendengar pujian-pujian dan suara tawa yang keluar dari mulut lawannya.
Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga serta mengeluarkan
semua kepandaiannya, juga tak berani memecah perhatian. Akan tetapi lawannya
masih dapat tertawa-tawa sambil memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan
ejekan yang memanaskan hati.
Maka ia
melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in
Sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebenarnya diperuntukkan bagi
senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi
karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu
dimainkannya dengan sabuk dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang
khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in Sin-pian itu. Segera
sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang
keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang
membunyikan cambuk.
"Hi-hi-hik,
ilmu cambuk yang luar biasa!" Wanita baju merah itu berseru keras.
Akan tetapi
seruannya itu segera disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat
ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya
direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju
merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika
mereka saling membetot sabuk sutera.
Biauw Eng
maklum bahwa jika mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan
putus dan hal ini tak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya
sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan.
Tetapi
wanita itu lihai sekali. Dia melepaskan ujung sabuk sambil menggulingkan tubuh
di atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan dia tidak mau mengambilnya.
Bahkan dia lalu tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan
tangan kosong.
"Hi-hi-hik,
bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan
tangan kosong!"
Melihat
datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, tetapi lawannya
sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu.
Agaknya lawan yang dianggapnya gila dan jahat ini belum tentu benar-benar
jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih.
Mungkin
sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang
peliharaan, juga menjadi temannya berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina,
bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, tapi dijadikan
teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya, akan tetapi dia pun merasa
amat penasaran.
Dalam
pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita
itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal
itu mungkin karena lawannya merasa terkejut dan bingung menyaksikan perubahan
permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan
pedang untuk merampas sabuk sutera! Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi
masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya sama-sama kehilangan
senjata.
Dalam hal
ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jeri
dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, sesudah lewat tiga puluh
jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng
terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan.
Kini
lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang
lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan
buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba
menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis
laksana seorang bocah nakal sedang ngambek! Akan tetapi dalam keadaan seperti
itu, ketika diserang tiba-tiba dia mencelat dan membalas serangan dengan lebih
hebat! Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar pula dilawan
karena Biauw Eng menjadi bingung sekali.
Lima puluh
jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah
jalan dalam penyerangannya sebab melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia
mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan lagi sikap lawan yang
luar biasa itu. Sambil berteriak dia menerjang maju, memukul ke arah perut
lawan.
Nona baju
merah menangkis dan karena posisinya miring dia lalu terhuyung. Biauw Eng terus
mendesak, akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng
siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului
serangan yang dahsyat. Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia
tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri.
Wanita baju
merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan,
ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanannya dikepal, terus
dihantamkan ke arah... mukanya sendiri!
Gerakan
Biauw Eng terhenti, matanya terbelalak lebar saking herannya. Meski pun hanya
sedetik dua detik dia terpesona dan terheran, akan tetapi yang sedetik dua
detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawan
sudah ‘menyelonong’ dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat
dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak
dan punggung membuat dia tidak dapat berkutik lagi!
Sambil
tertawa-tawa lima orang anggota pasukan baju kuning menubruk lantas mengikat
tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih,
lalu beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa
naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira.
Sikap mereka
mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa
seekor harimau hasil buruan. Dia pun bergidik. Akan diapakankah dia? Segala
kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini.
Apakah mereka nanti akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas
api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman
arak wangi?
Kembali ia
bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang semua
cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu!
Akan tetapi,
setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak
memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah
dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal
yang sebenarnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia
sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi
tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan
di mana ia digotong bagai seekor domba.
Yang membuat
ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di
puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tak
lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun
bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk
bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol
tinggi-rendah tidak karuan pula.
Lantainya
tidak rata, namun penuh lekuk-lengkung sehingga jika tidak hati-hati berjalan
di situ bisa tersandung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya
jendelanya malah selebar pintu. Daun pintu bangunan itu tidak dibuka dengan
engsel pada kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas,
melainkan daun pintunya justru amblas ke dalam lantai.
Pendeknya,
selama hidup belum pernah dia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuat
bangunan itu adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak
waras! Ataukah... pikirannya sendiri dan pandang matanya yang kini telah
berubah sehingga dia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh?
Para
pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk
gadis pakaian merah berdiri di pinggiran. Tiga belas orang pelayan itu berlutut
dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis berpakaian merah itu
berlutut dengan sebelah kaki.
Tak lama
kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh
dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak
buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel
tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk,
sikapnya penuh hormat.
Hati Biauw
Eng berdebar-debar tidak karuan. Makhluk apakah yang tertawa seperti itu?
Mengingatkan dia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di
tengah tanah kuburan. Apakah dia akan diserahkan kepada makhluk ajaib yang
kemudian akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik lagi dan membuka mata
lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap.
Suara ketawa
disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapa pun juga,
yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi
manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak
rata bunyinya. Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai
berlekuk-lengkung seperti itu, mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil
berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.
Kini
muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang
tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak
mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup keriput,
rambutnya sudah putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya
yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit
kekurangan daging.
Biar pun
nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan
indah, terbuat dari pada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima
macam warna, kuning merah biru hitam dan putih!
Sepatunya
sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias dengan burung hong
emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat
dari pada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar
ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun.
Bukan main,
pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan hatinya merasa ngeri.
Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini!
Ia
mengingat-ingat akan penuturan ibunya dulu tentang nama tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw bagian utara. Akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah
menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di
rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di
antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding yang disebut pula empat
datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur
Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri.
Ada pun
tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai
persilatan Go-bi-san yang ilmu pedangnya amat tersohor akan tetapi termasuk
golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping
Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat,
yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dulu pernah hampir memperkosa
ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya
yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi
Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian
Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas suci-nya. Akan tetapi nenek
gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!
"Heh-heh-heh-heh!
Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula
hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau
dipelihara, dia ini gila, bukan?"
"Dia
gila segila-gilanya, Thai-houw...!" Tiga belas orang anak buah pasukan
baju kuning menjawab serentak.
"Dia
mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan dengan rambut
berurai berkata sambil tertawa.
"Hush,
aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!" Sang ratu itu
memencet hidungnya.
Melihat ini
hampir saja Biauw Eng tidak dapat menahan ketawanya. Benar-benar dia telah
memasuki dunianya orang gila.
"Apa
engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si
rambut riap-riapan.
"Sudah,
Thai-houw."
"Perlihatkan
gigimu!"
Wanita itu
meringis sehingga deretan giginya yang putih bagai mutiara itu tampak semua.
Nenek itu menggangguk-angguk.
"Baik,
akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku
dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekalian. Sekarang bersih.
Nah, lihat, bagus dan tidak bau, kan?" Nenek itu meringis hingga tampak
gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi.
Biauw Eng
tak dapat menahan ketawanya. Biar pun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis
ini cekikikan, tidak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu
mencela muridnya yang berpakaian merah.
"Hun
Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!"
Gadis
berpakaian merah itu cepat menjawab, "Dia memang gila, Subo, akan tetapi
bisa disembuhkan."
"Hemmm,
begitukah? Eh, kenapa dia dibelenggu? Bila mau dipelihara, harus dibebaskan
agar dia senang."
"Dia
lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak."
"Di
depanku mana bisa memberontak?" Nenek itu menggerakkan tongkatnya.
Biauw Eng
terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia
cepat memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa
menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu,
dia tak akan dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi
betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas dari pada
belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali
kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal
tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak, melainkan tumpul. Cepat ia
meloncat bangun dengan sigap, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri
mati-matian sebelum menyerah.
"Heh,
di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu
membentak.
Biauw Eng
adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja dia tidak sudi
berlutut di depan nenek gila ini, biar pun nenek ini menamakan dirinya seorang
ratu. Akan tetapi sebelum dia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah
kakinya.
Biauw Eng
hanya melihat sinar tapi dapat menduga bahwa dia diserang, maka cepat dia
meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek
itu lalu mengejar ke atas, lantas kakinya ditotok dan dia pun roboh kembali ke
atas tanah!
"Heh-heh-heh,
berlutut... rebahlah...!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Merah
seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun
lagi, akan tetapi kali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar,
melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng
cepat-cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi,
percuma saja dia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja
mengenai tubuhnya dan sekali lagi dia roboh terguling!
"Nenek
iblis!" Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biar pun dia
roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, hanya membuatnya
terjengkang saja karena hawa pukulan itu amat kuat.
"Bagus,
terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu
kuterima dengan hati terbuka!" Nenek itu berjingkrak kegirangan bagaikan
seorang anak kecil mendapat pujian.
Melihat ini,
Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek
ini lihai sekali. Bila ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu takkan ada
harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju
kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biar pun lihai, dapat pula ia
tahan karena tidak selihai nenek ini.
Dia
menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh. Secepat
kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.
"Wuuuuuuttt...
bleggg!"
Pukulan
Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini dia mengerahkan
tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima
macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Tadi dalam
pertandingan melawan gadis baju merah dia tidak tega menggunakan tangan beracun
itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia
pukul mati supaya ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan
memukul dari belakang.
Pukulannya
mengenai punggung dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari
mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan
jantung nenek itu telah keracunan. Namun anehnya, baik nona baju merah mau pun
tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung.
Kesempatan
ini segera digunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari
meninggalkan puncak. Akan tetapi baru dia melangkah beberapa tindak, terdengar
suara ketawa,
"Heh-heh-heh,
dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?"
Biauw Eng
terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun dia terguling roboh
karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan
diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat
nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan
terkekeh-kekeh.
Kiranya
nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkan dirinya saja. Akan tetapi
mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini
luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, mungkin
lebih lihai dari pada ibunya sendiri...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment