Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 21
SEPASANG
PEDANG SAKTI dari Hoa-san-pai melangkah maju menghadapi Keng Hong, dan Coa Kiu
berkata, "Cia Keng Hong, engkau telah berjanji untuk mencari Ang-kiam
Bu-tek, merampas kembali pedang pusaka Hoa-san-pai dan menggembalikan kepada
kami, juga menghukum Ang-kiam Bu-tek atas semua perbuatannya. Benarkah
itu?"
"Betul,
Locianpwe. Dan sekali lagi saya bersumpah untuk melakukan hal yang Locianpwe
sebutkan tadi."
"Cia
Keng Hong, apakah engkau cukup mempunyai ilmu kepandaian untuk mengalahkan
Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong
tersenyum. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan pertanyaan ini sudah cukup
baginya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Hoa-san Siang-sin-kiam, maka ia
menjawab tanpa ragu-ragu, "Saya merasa yakin bahwa saya akan sanggup
mengalahkan dia, Locianpwe."
"Bocah
sombong! Apa bila engkau tidak sanggup membuktikan sekarang juga di depan
Hoa-san-pai, maka jelas bahwa engkau tadi sudah menipu kami dengan kata-kata
manis, muluk-muluk dan kosong belaka!" berkata pula Coa Kiu, di dalam
suaranya mengandung kemenangan.
Keng Hong
mengerti, akan tetapi pura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Apakah yang
Locianpwe maksudkan?"
"Nama
Ang-kiam Bu-tek menjadi buah percakapan di dunia kang-ouw. Ia telah membunuh
Thian Ti Hwesio dan Sin-to Gi-hiap, juga merobohkan banyak sekali tokoh
kang-ouw yang berilmu tinggi…"
"Saya
dapat menambah lagi, Locianpwe," kata Keng Hong memotong kata-kata Coa
Kiu, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im itu bahkan telah membunuh bekas gurunya
sendiri, Lam-hai Sin-ni."
Semua orang
kaget, bahkan Bun Hoat Tosu sendiri nampak tercengang. Coa Kiu segera
melanjutkan ucapannya, "Nah, hal itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian
Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat dan jelas tingkat kepandaiannya melebihi
tingkat kepandaian Hoa-san Siang-sin-kiam. Kami sendiri agaknya tidak akan
mampu menandinginya. Akan tetapi engkau telah menyatakan keyakinanmu untuk
mengalahkannya. Dapatkah engkau membuktikan kata-katamu itu sekarang
juga?"
Keng Hong
masih berpura-pura tidak mengerti. "Membuktikan dengan cara bagaimana,
Locianpwe?"
"Dengan
cara mengalahkan Hoa-san Siang-sin-kiam! Sudah jelas bahwa kepandaian kami
masih lebih rendah dari pada Ang-kiam Bu-tek, maka kalau engkau sudah merasa yakin
akan mampu mengalahkan dia, tentu saja engkau pun harus sanggup mengalahkan
kami. Sebaliknya, bila terhadap kami saja engkau tidak dapat menang, apakah
salah jika kami menganggap engkau sudah berani membohongi guru kami bahwa
engkau akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong
pura-pura kaget dan bingung, kemudian dia menghadap ketua Hoa-san-pai sambil
berkata, "Mohon pertimbangan dari Locianpwe yang bijaksana tentang
tantangan Hoa-san Siang-sin-kiam ini. Locianpwe, saya datang menghadap Locianpwe
dengan niat untuk menghabiskan segala permusuhan dan kesalah pahaman yang ada
di antara kita, bagaimana mungkin saya berani menghadapi dua orang tokoh besar
Hoa-san-pai dalam pertandingan? Bukankah hal ini akan membuat usaha dan maksud
baik boanpwe menjadi sia-sia belaka?"
Bun Hoat
Tosu tersenyum, kemudian berkata, "Tidak mengapa, orang muda. Apa yang
diusulkan oleh kedua orang muridku memang benar, bukan sekali-kali untuk
mengujimu karena tidak percaya. Engkau adalah murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong,
tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi sepeninggalmu, bagaimana
hati kami akan dapat tenang dan yakin bahwa pusaka Hoa-san-pai akan dapat
dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan kelihaianmu lebih dahulu. Harap
engkau jangan sungkan dan perlihatkanlah kepandaianmu dan keampuhan
Siang-bhok-kiam kepada kami."
Keng Hong
menjadi kagum. Ketua Hoa-san-pai ini benar-benar bijaksana. Jawabannya
sekaligus menyadarkan kedua orang muridnya bahwa pertandingan ini hanya
merupakan ujian dan sekaligus menarik kesempatan untuk menyaksikan kehebatan
Siang-bhok-kiam dan ilmu pedangnya.
Ia pun kagum
bahwa kakek tua renta ini sudah tahu bahwa dia membawa Pedang Kayu Harum itu,
padahal pedang itu dia sembunyikan di balik jubahnya. Dia cepat memberi hormat
dan berkata, "Baiklah kalau begitu, Locianpwe Ji-wi Hoa-san
Siang-sin-kiam, saya telah siap menerima pelajaran Ji-wi!"
Lega hati
kedua tokoh Hoa-san-pai itu. Mereka selalu merasa penasaran dan hal ini akan
mengganggu hati mereka kalau mereka belum mencoba kelihaian murid tunggal
Sin-jiu Kiam-ong yang selama beberapa tahun ini membuat mereka, seperti juga
tokoh-tokoh lain di dunia kang-ouw, menjadi lelah badan dan kesal pikiran.
Sudah
bertahun-tahun mereka ikut mengejar Keng Hong tanpa hasil, kini setelah pemuda
itu muncul sendiri, malah demikian mudahnya dibebaskan. Mereka tentu akan
penasaran dan gelisah kalau belum menguji kepandaian pemuda ini yang oleh guru
mereka kini tidak dianggap musuh lagi, melainkan sahabat yang akan mencarikan
kembali pedang pusaka Hoa-san-pai!
Kedua orang
kakek itu melangkah ke tengah ruangan, diikuti oleh pandang mata ketua
Hoa-san-pai serta tujuh orang murid kepala lainnya yang menjadi adik-adik
seperguruan Hoa-san Siang-sin-kiam. Juga para murid yang berkumpul mengelilingi
ruangan itu turut memandang dengan hati tegang, akan tetapi juga ada rasa
gembira di hati mereka karena seperti semua ahli silat di dunia ini,
pertandingan yang paling menarik ialah pertandingan silat, apa lagi bagi mereka
yang sekarang disuguhi pertandingan hebat dengan majunya Hoa-san Siang-sin-kiam
melawan seorang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong yang terkenal.
Karena
merasa bahwa mereka berdua maju untuk menguji, apa lagi karena maklum atau
dapat menduga akan kelihaian pemuda ini, maka Siang-sin-kiam mengusir rasa
sungkan di hati akan kenyataan bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh besar
Hoa-san-pai kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang patut menjadi cucu murid
mereka!
"Singgg…!
Singgg…!"
Tampak sinar
berkilat menyilauan mata saat kakak beradik ini mencabut pedang mereka. Kini
mereka sudah berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda yang sama, dengan
pedang pada tangan kanan melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas
kepala dengan jari-jari disatukan menuding ke langit, lutut kaki kanan ditekuk
di depan kaki kiri, mata mereka menatap tajam kepada Keng Hong.
Keng Hong
maklum bahwa dua orang kakek ini sangat lihai ilmu pedangnya. Kalau tidak
demikian masa mereka mendapat julukan Hoa-san Siang-sin-kiam? Mereka merupakan
murid-murid utama dari Hoa-san-pai dan berkedudukan tinggi. Untuk dapat
menimbulkan kesan baik dan membuktikan kesanggupannya, dia harus dapat
mengalahkan mereka. Akan tetapi mengalahkan mereka tanpa melukai, karena kalau
hal ini terjadi tentu akan menimbulkan lagi perasaan bermusuh.
Dia mengerti
pula bahwa sekali ini, dia bertanding melawan dua orang lihai di bawah
pengawasan mata yang tajam dari ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala
yang lain, maka sudah tentu saja dia tidak berani main-main dan berpura-pura
karena hal ini kalau sampai ketahuan tentu menimbulkan kesan seakan-akan dia
memandang rendah Hoa-san-pai. Jalan satu-satunya harus mengalahkan mereka
dengan ilmu pedang yang lebih tinggi, dan hanya Siang-bhok-kiam sajalah yang
kiranya akan dapat menundukkan Sepasang Pedang Sakti ini.
"Maafkan
saya!" katanya dan tangannya meraba ke dalam jubahnya. Pada lain saat dia
telah mencabut Siang-bhok-kiam dan yang tampak hanya sinar hijau berkelebat
berbareng tercium bau yang harum.
"Siang-bhok-kiam...!"
Terdengar bisikan-bisikan yang hampir berbareng keluar dari mulut murid-murid
Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut murid-murid itu
menjadi tidak lirih lagi.
Sesudah
sinar hijau lenyap, yang nampak hanya sebatang pedang kayu di tangan Keng Hong,
dan sebagus-bagusnya pedang kayu, tentu tidaklah seindah dan segagah pedang
baja. Akan tetapi, begitu melihat pedang itu terpegang di tangan Keng Hong dan
melihat pemuda itu membuat gerakan kuda-kuda pembukaan, Siang-sin-kiam
mengikuti dengan pandang mata tajam dan penuh kewaspadaan.
Gerakan
kuda-kuda Keng Hong merupakan gerakan pembukaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut
yang luar biasa. Sepasang kaki pemuda itu terpentang dengan lutut ditekuk ke
depan, Pedang Kayu Harum mula-mula menuding ke langit lalu perlahan-lahan dari
atas kepala melingkari leher terus turun menuding bumi di depan kaki, sedangkan
tangan kiri membentuk lingkaran yang berakhir di depan dada dengan sikap
menyembah, telapak tangan miring dengan jari terbuka rapat.
"Cia
Keng Hong, jaga serangan kami!" Coa Kiu berseru keras dan tiba-tiba saja
dia dan Coa Bu sudah menerjang maju, pedangnya menusuk leher dan pedang adiknya
menusuk pusar.
"Trang-tranggg...!"
Pedang Kayu
Harum sudah menangkis kedua pedang itu sekaligus hingga kedua pedang itu
terpental. Namun kakak beradik Coa itu adalah ahli-ahli pedang yang kenamaan
dan banyak pengalaman. Sungguh pun dari getaran yang melewati pedang mereka itu
jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda ini seperti yang sudah mereka
ketahui amat kuat, namun pedang mereka yang terpental itu mereka ikuti dengan
tubuh, dan mereka kini berpencar ke kanan kiri. Cepat sekali datangnya
penyerangannya itu, pedang Coa Kiu membabat kaki sedangkan pedang Coa Bu
menusuk lambung.
"Sing-singggg...!"
Keng Hong
tetap tenang, kakinya meloncat ke depan, tubuhnya membalik, cahaya hijau
Siang-bhok-kiam membabat ke kanan kiri menangkis.
"Cring-cringgg...!"
Kembali dua
kakek itu memutar tubuh karena pedang mereka terpental. Sekarang mereka berdiri
saling berdekatan, pedang mereka diputar membentuk dua gulungan sinar yang
menyilaukan, makin lama semakin cepat dan dua gulungan sinar itu lalu bersatu,
menjadi segulung sinar yang tebal dan kuat, kemudian tubuh mereka berkelebat
lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah Keng Hong.
Pemuda ini
maklum bahwa ‘penyatuan’ sinar pedang dua kakek ini amat berbahaya dan inilah
agaknya yang membuat nama Sepasang Pedang Sakti sangat terkenal. Ia pun lalu
mengerahkan tenaganya dan mempercepat pemutaran pedang Siang-bhok-kiam hingga
bayangan tubuhnya terbungkus sinar hijau yang meluncur dan menyambut sinar
pedang putih yang mengeluarkan suara bercuitan itu.
Terjadilah
pertandingan ilmu pedang sakti, yang tampak hanya gulungan putih dan hijau,
suara bercuitan dan berdesing-desing diselingi suara ‘crang-cring-trang-tring!’
dan tampak pula bunga api kadang-kadang muncrat berhamburan.
Sesudah
bertanding selama empat lima puluh jurus, Keng Hong maklum bahwa kalau dia
menghendaki, dengan mudah dia akan mampu merobohkan kedua orang kakek ini. Akan
tetapi dia tidak mau menyakitkan hati atau membuat malu dua orang kakek yang
sudah memiliki nama besar di dunia kang-ouw ini.
Maka dia
bersuit nyaring dan gerakannya dipercepat. Gulungan cahaya pedang berwarna
hijau menjadi terang dan lebih panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan
terus menghimpit serta membelit gulungan sinar putih dari pedang kedua kakek
itu.
Kini tampak
betapa Hoa-san Siang-sin-kiam mulai terdesak hebat dan hal ini dapat diikuti
dengan pandang mata dan jelas oleh Bun Hoat Tosu dan para muridnya sehingga
mereka menjadi kagum sekali. Akan tetapi para murid Hoa-san-pai yang berdiri di
luar ruangan itu, yang ilmu kepandaiannya belum mencapai tingkat setinggi itu
dan belum mempunyai ketajaman penglihatan sehingga sanggup mengikuti kecepatan
sinar pedang, tidak dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat melihat
tiga orang yang bertanding, hanya melihat gulungan-gulungan sinar pedang.
Bagi mereka,
pertandingan ini hanya merupakan pertandingan hebat yang menegangkan di mana
mereka melihat betapa gulungan cahaya pedang putih tidak sehebat tadi bahkan
ada kalanya terpecah menjadi dua lalu bersatu lagi dan kemudian terpecah lagi,
bahkan kadang-kadang terpisah makin jauh, dan keduanya digulung oleh sinar
pedang hijau.
"Ji-wi
Locianpwe, maafkan saya!" Tiba-tiba terdengar seruan Keng Hong.
Dan
tampaklah dua orang kakek itu meloncat ke kanan kiri dengan muka pucat dan
tanpa memegang pedang lagi, sedangkan Keng Hong berdiri di tengah-tengah dengan
pedang Siang-bhok-kiam diputar-putar sedangkan dua batang pedang milik kakek
itu menempel dan ikut berputaran pada ujung Siang-bhok-kiam. Kemudian, tiba-tiba
dua batang pedang itu mencelat lantas meluncur ke arah pemiliknya
masing-masing!
Coa Kiu dan
Coa Bu menyambut pedang mereka dan menyimpannya kembali, kemudian menjura ke
arah Keng Hong dan berkata,
"Kepandaianmu
hebat, orang muda. Kami Hoa-san Siang-sin-kiam mengaku kalah."
Keng Hong
sudah lebih dulu menjura dan dia cepat berkata, "Ahh, Ji-wi Locianpwe
terlalu mengalah dan sungkan. Terima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan
kepada saya dan biarlah saya anggap bahwa saya telah lulus ujian."
Bun Hoat
Tosu berkata, "Engkau telah lulus ujian, Cia-taihiap. Ilmu pedangmu memang
benar-benar menakjubkan!"
Wajah Keng
Hong menjadi merah sekali mendengar dia disebut ‘taihiap’ (pendekar besar) oleh
ketua Hoa-san-pai. Benar-benar penghormatan yang berlebihan! Cepat dia memberi
hormat dan berkata,
"Locianpwe,
harap jangan menyebut boanpwe dengan sebutan taihiap. Sebutan itu bukan
didasarkan atas kepandaian, melainkan atas sepak terjang dan perbuatan
seseorang, ada pun boanpwe adalah seorang yang sama sekali belum melakukan
sesuatu yang penting. Selamat tinggal dan mudah-mudahan boanpwe akan dapat
segera mengantarkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang dahulu dipinjam oleh
mendiang suhu. Ji-wi Siang-sin-kiam, ilmu pedang Ji-wi hebat bukan main, saya
menyatakan kagum yang sedalam-dalamnya dan maafkan saya." Sesudah berkata
demikian, Keng Hong melangkah keluar meninggalkan Hoa-san-pai diikuti pandang
mata mereka. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi sekali.
Terdengar
helaan napas Bun Hoat Tosu memecah kesunyian. "Ahhh, hebat sekali ilmu
kepandaian bocah itu, benar-benar dia mewarisi ilmu dan kelihaian Sie Cun Hong
taihiap. Kalian berdua tidak usah merasa penasaran dikalahkan olehnya, karena
pinto sendiri pun mungkin tidak akan dapat mengalahkan dia dengan mudah."
Mendengar
pengakuan ketua Hoa-san-pai ini, para anak murid Hoa-san-pai makin kagum kepada
Keng Hong dan keadaan pemuda itu memberi dorongan kepada mereka supaya berlatih
lebih giat lagi.
***************
Sejak Kaisar
Yung Lo mengalahkan keponakannya sendiri dalam perebutan kekuasaan dan naik
tahta Kerajaan Beng pada tahun 1403, terjadilah perubahan besar yang menuju
perbaikan keadaan pemerintah. Kaisar Yung Lo yang tadinya adalah seorang
panglima perang, memegang tampuk kerajaan dengan tangan besi sesuai dengan
jiwanya sebagai prajurit.
Segala macam
bentuk korupsi dan penyalah gunaan wewenang diberantas, dan untuk menghindarkan
pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh buruk tuan-tuan tanah yang ada pada masa
lalu seolah-olah mencengkeram semua alat pemerintah dengan kekuasan uang
sogokan dan suapan, maka Kaisar Yung Lo memindahkan ibu kota dari Nanking ke
Peking di utara.
Ibu kota
utara ini memang tempat di mana dia bertugas ketika masih menjadi panglima,
memimpin barisan pertahanan di utara, maka tentu saja Kaisar Yung Lo lebih
merasa ‘di tempat sendiri’ kalau berada di utara. Pembangunan besar-besaran
dilakukan di ibu kota atau kota raja ini, pembangunan yang dikerjakan oleh
banyak ahli seni bangunan yang didatangkan dari segenap penjuru tanah air.
Istana yang besar-besar dan sangat indah dibangun sehingga Kota Raja Peking
menjadi kota yang hebat dan indah luar biasa pada masa itu, dan terkenal di
luar negeri sebagai kota terindah dan menakjubkan para musafir kelana yang
datang dari segala penjuru dunia.
Tembok besar
yang melintang di utara, yang menjadi keajaiban dunia dan membuktikan kehebatan
hasil tenaga manusia (panjangnya ± 22500 mil), diperbaiki dan diperkuat. Juga
Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Yang-tse-kiang dengan Sungai Huang-ho,
yang belum selesai dibangun oleh beberapa kaisar Mongol, kini diteruskan dan
diperbaiki kemudian diselesaikan pembangunannya.
Selain
mengadakan pembangunan besar-besaran, juga Kaisar Yung Lo berusaha keras untuk
meningkatkan kecerdasan kaum petani yang menjadi sebagian besar dari rakyat
dengan jalan memerintahkan penyebar luasan kesusastraan dengan mencetak
kitab-kitab pusaka lama dan ajaran-ajaran Khong-hu-cu sehingga kitab-kitab itu
menjadi murah dan mudah didapatkan serta mudah dipelajari oleh rakyat, tidak
seperti jaman sebelum itu di mana kitab-kitab hanya dapat dimiliki dan
dipelajari oleh kaum ningrat dan hartawan saja.
Maka
muncullah sastrawan-sastrawan dari kalangan rakyat miskin, dan mereka itu
diberi kesempatan untuk meningkatkan hidup dengan jalan menempuh ujian-ujian
yang setiap tahun diadakan di kota raja dan bagi siapa yang lulus akan diberi
gelar siucai serta diberi kesempatan menduduki jabatan.
Kaisar Yung
Lo memang bijaksana, tidak hanya di dalam hal kesusastraan di mana dia
mencurahkan perhatiannya. Dia juga mempersilakan kaum terpelajar dan para
sastrawan yang dahulu banyak yang dikejar-kejar sebagai pemberontak bila ada di
antara mereka yang berani mengeritik istana, untuk datang membantu pemerintahannya
dan memberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Di samping
usaha memajukan kesusastraan dan kesenian, sebagai seorang kaisar bekas
panglima, tentu saja kaisar ini tidak mengabaikan pertahanan dan dapat pula
menghargai bantuan kaum persilatan. Maka Kaisar Yung Lo mengumumkan untuk
membuka tangan kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang suka untuk membantunya, untuk
diuji kepandaiannya dan diberi kedudukan pula, dari pengawal-pengawal istana
sampai komandan-komandan pasukan, yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian
dan pengalaman masing-masing.
Dengan janji
kedudukan tinggi, apa lagi waktu itu menjadi pengawal istana merupakan pangkat
yang sangat besar kekuasaannya (biasanya pengawal lebih galak dan merasa lebih
kuasa dari pada yang dikawal), banyaklah para tokoh kang-ouw yang berilmu
tinggi datang ke kota raja untuk menghambakan diri kepada kaisar baru Kerajaan
Beng ini.
Akan tetapi,
tidaklah mudah untuk dapat diterima menjadi pengawal kaisar atau pengawal
istana. Ujiannya terlampau berat. Ada tiga tingkat pengawal istana kaisar,
yaitu tingkat pengawal istana kaisar yang memiliki ilmu kepandaian paling
tinggi, tingkat kedua adalah pengawal istana bagian dalam, dan tingkat ke tiga
adalah tingkat istana bagian luar. Agar bisa diterima menjadi pengawal-pengawal
ini, para calon harus membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan penguji dari
tiga tingkatan. Ternyata tidak mudah dan jarang sekali terdapat tokoh kang-ouw
yang dapat mengalahkan atau menandingi para penguji ketiga tingkatan itu, apa
lagi tingkat pertamanya!
Kaisar Yung
Lo merasa perlu sekali menghimpun tenaga tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai untuk
memperkuat barisannya karena dia memiliki cita-cita mengembangkan kekuasaan
negara sampai jauh ke luar negeri, untuk menundukkan daerah-daerah barat dan
selatan yang semenjak jatuhnya Kerajaan Mongol tak mau mengakui lagi kekuasaan
pemerintah pusat.
Bahkan
Kaisar Yung Lo bercita-cita lebih jauh lagi, yaitu mengirim pasukan-pasukan
jauh menyeberangi lautan selatan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang
akan dapat mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi negaranya, karena dia
mendengar selatan amat kaya akan rempah-rempah dan hasil buminya yang subur.
***************
Pada suatu
hari, masih pagi-pagi sekali, datanglah dua orang muda yang amat menarik
perhatian ke kota raja. Mereka ini menarik perhatian orang karena merupakan
pasangan orang muda yang cantik jelita dan tampan perkasa.
Seorang
wanita muda yang sukar ditaksir usianya, antara dua puluh dan tiga puluh tahun,
berpakaian serba jambon, rambutnya yang hitam digelung ke atas dengan dihias
burung hong kecil dari emas permata yang amat indah, di punggungnya terdapat
sarung pedang dari emas pula, yang terukir indah sehingga hiasan ini
mendatangkan sifat gagah pada kecantikannya.
Ada pun pria
yang berjalan di sebelahnya juga sangat menarik perhatian orang. Pria ini
usianya lebih kurang empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah.
Pakaiannya mewah sekali, dari ujung rambut yang tersisir rapi dan licin
mengkilap sampai ke ujung sepatunya yang baru dan mengkilap pula dapat
diketahui bahwa dia adalah seorang pria pesolek yang amat menjaga diri dan
pakaiannya agar selalu kelihatan tampan.
Dan memang
pria itu berwajah tampan, berpandang mata penuh pikatan, senyumnya pun dapat meruntuhkan
hati wanita yang batinnya kurang kuat. Seperti juga wanita muda di sebelahnya,
di samping ketampanan serta kegantengannya, laki-laki ini kelihatan gagah
dengan adanya pedang yang tergantung di pinggang, pedang yang sarungnya
berwarna hitam dan terukir bunga-bunga teratai terbuat dari emas di gagang
pedang dan sarungnya.
Wanita
cantik jelita dan gagah itu bukan lain Bhe Cui Im, sedangkan pria di sebelahnya
ini adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Cui Im yang mendengar pula akan
pengumuman istana segera mempergunakan kesempatan ini untuk mengikuti ujian
karena wanita yang haus kekuasaan ini menganggap bahwa cara yang paling tepat
untuk menjadi nomor satu di dunia adalah menjadi jagoan nomor satu pula. Maka
ia lalu mengajak sekutunya, Siauw Lek untuk datang ke kota raja.
Berbeda
dengan sebagian tokoh kang-ouw di masa itu yang segan untuk memperlihatkan diri
sehingga bisa terlibat dalam pertentangan, Cui Im dan Siauw Lek yang terlalu
percaya kepada diri sendiri dan memandang rendah orang lain, secara
terang-terangan bersikap sebagai ahli persilatan dengan lagak terbuka serta
menantang! Maka tentu saja mereka lalu menarik banyak perhatian orang di kota
raja dengan lagak mereka yang menginap di rumah penginapan terbesar, makan di
rumah makan termewah dan hidup secara royal sekali.
Mereka
berdua tidak tergesa-gesa mengunjungi tempat pendaftaran di istana, melainkan
lebih dulu berpesiar di kota raja sampai tiga hari. Siauw Lek yang selalu taat
dan tunduk kepada Cui Im, selama berada di kota raja tidak berani melakukan
kebiasaannya, yaitu mengganggu wanita-wanita cantik.
"Kita
menghendaki kedudukan tinggi sebagai pengawal kaisar, karena itu jangan merusak
nama dengan perbuatan yang mengacaukan," kata Cui Im.
Siauw Lek
tidak berani melanggar dan dia hanya menelan ludah saja setiap kali melihat
puteri-puteri cantik yang banyak terdapat di kota raja, dan memuaskan nafsunya
dengan berfoya-foya bersama wanita kelas satu di kota raja.
Tiga hari
kemudian, barulah Cui Im dan Siauw Lek menghadap para petugas pendaftaran,
yaitu perwira-perwira pengawal yang menerima semua pendaftaran dan kantornya
berada di bangunan samping depan istana. Pagi itu tidak ada orang lain yang
mendaftarkan diri, dan memang semakin lama makin berkuranglah para pendaftar
sesudah terdengar berita betapa beratnya syarat-syarat ujian dan betapa
sebagian besar para peserta gagal dalam menempuh ujian, tidak dapat menandingi
kelihaian si penguji.
Belasan
orang perwira yang bertugas di situ memandang Cui Im dengan mata terbelalak,
penuh kekaguman dan keheranan. Apa bila yang datang mendaftarkan diri seorang
pria seperti Siauw Lek, mereka tidak akan merasa heran, dan kalau seorang
wanita tua yang banyak terdapat di kalangan tokoh kang-ouw mendaftarkan, mereka
pun akan menerima hal ini sebagai hal wajar dan tidak aneh.
Akan tetapi
seorang wanita muda dan cantik jelita seperti Cui Im datang mendaftarkan diri
untuk menjadi pengawal! Sungguh hal ini membuat mereka terheran-heran. Akan
tetapi mereka adalah petugas-petugas yang langsung berada di bawah pengawasan
istana dan berdisiplin, maka mereka menerima Siauw Lek dan Cui Im sebagaimana
mestinya dan bertanya kepada dua orang ini hendak mendaftarkan untuk calon
pengawal tingkat apa.
"Tentu
saja tingkat pengawal kaisar, atau adakah tingkat yang lebih tinggi dari itu?
Kalau ada, aku hendak mendaftar untuk tingkat yang lebih tinggi, tingkat yang
paling tinggi," kata Cui Im dengan sikap sembarangan.
Para petugas
yang sudah terheran-heran itu menjadi melongo saking herannya. Seorang di
antara mereka yang bertugas menuliskan nama pendaftaran khawatir kalau dia
salah dengar, maka kembali dia bertanya,
"Siapa
yang mendaftar untuk tingkat pertama, sebagai calon pengawal kaisar, Saudara
inikah?" Ia menuding ke arah Siauw Lek.
Siauw Lek
tersenyum. "Kedua-duanya, Sobat. Kami berdua mendaftarkan untuk calon
pengawal kaisar. Apakah tidak boleh?"
"Ah,
boleh... boleh..., tentu saja boleh. Akan tetapi ujiannya amat berat dan
salah-salah nyawa bisa melayang..."
"Kami
sudah siap sedia untuk resiko itu," Cui Im menjawab, "dan harap catat
bahwa aku mempunyai sebuah benda amat berharga yang hendak kupersembahkan
kepada kaisar apa bila aku dapat lulus ujian dan menjadi pengawal kaisar."
"Di
sini dilarang untuk menyuap dan menyogok, apa lagi terhadap kaisar!"
Tiba-tiba saja perwira itu berkata tegas.
Cui Im
bertolak pinggang, memandang tajam dan berkata lebih tegas lagi. "Siapa
bicara tentang suap dan sogok? Aku akan memenangkan kedudukan pengawal kaisar
dengan kepandaianku, akan kukalahkan pengujinya, dan tentang benda itu
ketahuilah hai perwira yang lancang mulut, bahwa persembahanku itu adalah kitab
Thai-yang Cin-keng. Orang berkedudukan rendah seperti engkau mungkin tak
mengenalnya, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kaisar akan mengenal kitab
itu."
Para perwira
itu diam-diam mendongkol akan tetapi terkejut juga. Dengan singkat dan tanpa
banyak cakap supaya tidak menimbulkan keributan dengan orang-orang kang-ouw
yang mereka tahu berwatak aneh-aneh itu, nama Siauw Lek dan Cui Im dicatat dan
juga rumah penginapan mereka dicatat.
"Ji-wi
(kalian berdua) akan dipanggil kalau saat ujian tiba."
Cui Im dan
Siauw Lek meninggalkan tempat itu dan sambil menanti panggilan itu mereka
berdua lalu melihat-lihat pembangunan yang sedang dilakukan secara
besar-besaran oleh kaisar. Tiada kunjung habis keheranan dan kekaguman mereka
berdua akan kehebatan pembangunan itu sehingga mereka semakin bersemangat pula
untuk mencari kedudukan menghambakan diri kepada kaisar yang luar biasa ini.
Para petugas
memandang rendah karena Bhe Cui Im dan Siauw Lek mendaftarkan nama mereka tanpa
julukan, akan tetapi pada waktu mereka menyebut tentang kitab Thai-yang
Cin-keng, terkejutlah semua pegawai kaisar sehingga cepat-cepat mereka
melaporkannya kepada kaisar.
Kaisar Yung
Lo terkejut juga dan merasa girang sekali. Tentu saja dia sudah mengenal nama
kitab Thai-yang Cin-keng ini, karena sejak dulu dia mencari-cari kitab ini.
Thai-yang Cin-keng (Kitab Ilmu Barisan Matahari) adalah kitab pusaka ciptaan Raja
Besar Jenghis Khan berisi ilmu dan siasat mengatur barisan. Mengingat akan
hasil yang gilang gemilang dari bangsa Mongol di bawah bimbingan Jenghis Khan
dahulu, dapat dibayangkan betapa pentingnya isi kitab ini bagi Kaisar Yung Lo
yang berjiwa prajurit.
"Panggil
mereka dan biar mereka diuji oleh pengawal nomor satu! Kami akan saksikan
sendiri ujian ini!" berkata kaisar.
Dan sibuklah
para pengawal mengatur untuk melaksanakan perintah ini. Dahulu memang kaisar
sendiri sering menonton ujian kelihaian para calon pengawal, akan tetapi karena
jarang sekali ada yang lulus, akhir-akhir ini kaisar jarang menonton. Hanya
kalau ada calon yang namanya sudah terkenal, baru kaisar berkenan menonton
karena memang menjadi sebuah di antara kesukaan Kaisar Yung Lo untuk menonton
pertandingan silat, apa lagi dia sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai.
Kalau sekarang kaisar berkenan ingin menyaksikan sendiri ujian yang akan
dilakukan terhadap Cui Im dan Siauw Lek, hal ini adalah karena kaisar amat
tertarik mendengar bahwa wanita muda yang bernama Bhe Cui Im hendak
mempersembahkan Thai-yang Cin-keng!
Pada waktu
Cui Im dan Siauw Lek memenuhi panggilan menghadap ke istana, mereka memasuki
halaman istana dengan sikap yang biasa saja, tidak kelihatan tegang sama sekali
sehingga makin mengagumkan hati para pengawal yang menyambut mereka di pintu
gerbang pertama.
Bhe Cui Im
mengenakan pakaian berwarna merah muda yang ringkas dan ketat sehingga bentuk
tubuhnya tampak membayang nyata. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita
dengan erat, pinggangnya yang ramping memakai ikat pinggang dari sutera kuning
yang panjang hingga ke depan jari kaki, pedangnya tergantung di punggung, dan
dekat pedang itu tampak sebuah buntalan sutera kuning yang berisi kitab dan
menempel di punggung.
Siauw Lek
berpakaian gagah, pakaian seorang jago silat yang ringkas. Dua pergelangan
tangannya dipasangi kulit hitam pelindung pergelangan, rambut kepalanya
tertutup kain pengikat kepala yang dihias bunga teratai emas, pedangnya
tergantung pada pinggang sebelah kiri, langkahnya tegap, dadanya bidang
membusung ke depan, matanya berkilat dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah
meninggalkan bibir.
Cui Im dan
Siauw Lek diantarkan masuk ke ruang sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan
memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di
kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan
pengawal-pengawal tingkat dua. Sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh
kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana.
Akan tetapi
Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan
yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper
tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan
pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek
memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu
atau pengawal pribadi kaisar.
Ruangan itu
sangat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di sana kosong tidak tampak
seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di
setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Namun enam orang
pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut
menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam.
Dari tempat
itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja
besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong.
"Harap
Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di
antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek.
Tempat itu
mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw
Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu
menghadap ke arah tirai.
"Riiiiittt…!"
Tiba-tiba
tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di
balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada
bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi
ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah
berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung
sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi
kaisar!
Rata-rata
mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada
yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah
perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan
tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa
lima anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba-tiba
terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam
kemudian muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar
Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan
wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang
ujungnya naik ke atas, demikian pula kedua matanya yang tajam dan membayangkan
kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan
hati itu terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan
panjang sekali.
Wajah
seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada
saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang
berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal.
"Kedua
calon telah menghadap, Paduka Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Salah
seorang di antara pengawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian
ruangan itu.
Kaisar
memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua
berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam,
"Para
pengawal dalam boleh mundur!"
Enam orang
pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos
mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan
kepada Cui Im dan Siauw Lek,
"Kedua
orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!"
Tempat,
suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek
segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke
arah kaisar. Betapa pun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang
tidak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar
dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang.
Sekarang
mereka berdua dapat memandang jelas. Mereka tak berani memandang wajah kaisar
secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang
pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara kedua belas orang
pengawal ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai
wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah.
Setelah
kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan
waspada, hati kaisar agak kecewa. Dia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri
kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada
tubuh dan wajah mereka.
Dia
memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaannya akan
dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi
sekali dapat menundukkan mereka, maka akan menjadi alat yang amat berguna karena
tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini.
"Siapa
di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang
Cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi
mengandung dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya.
"Hamba
Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab
Cui Im dengan muka tunduk.
Kaisar
memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata,
"Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?"
Biasanya,
kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu
dengan hati besar dan bangga. Akan tetapi sekali ini, ditanya langsung oleh
kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika
menjawab, "Hamba... hamba... disebut Ang-kiam Bu-tek!"
"Pedang
Merah Tanpa Tanding! Hemmm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im,
engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang
Cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?"
"Hamba
bukan seorang ahli barisan, tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang
palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat memperolehnya dari pusaka
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Ahhh!
Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira.
Melihat
kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di
punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat tinggi-tinggi
buntalan kitab itu sambil berkata,
"Hamba
mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima."
"Eh,
Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau
akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?"
"Hamba
yakin akan lulus," jawab Cui Im, sekarang dengan suara tegas, karena
setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya agak
berkurang.
Kaisar
tersenyum lebar. "Engkau yakin? Pengawal tingkat mana yang hendak kau
pilih?"
"Tingkat
pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia."
"Ha-ha-ha!
Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku
engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas
orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau tak akan menang!"
"Mohon
ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan
dapat mengalahkan pengawal Paduka yang mana pun juga."
"Wah,
engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu
tidak palsu, kemudian akan kusaksikan pula apakah kesanggupanmu itupun bukan
hanya kosong belaka!"
Kaisar
memberi isyarat. Salah seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu,
lalu menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli
silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar
telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau
yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai
ilmu silat dari utara yang kemudian dia gabungkan dengan ilmu silat dari
selatan.
Setelah
menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan
jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng
Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingannya, akan tetapi karena dia tidak
pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya
tidak terkenal dalam dunia kang-ouw.
Ketika
melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang
begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong
sekali. Di antara dua belas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya
memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang
sudah diuji kepandaian dan kesetiaannya, dia merupakan orang pertama dan boleh
dibilang jago nomor satu kecuali lima orang ‘pengawal rahasia’ kaisar yang
diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar.
Kini ada
seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di hadapan
kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal
pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dan dia menjadi penasaran sekali.
Ia merasa
yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu!
Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu
perang itu, dia langsung melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut,
kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera
kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini dia telah mengerahkan tenaga
sinkang-nya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita
itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita
yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar.
Tadinya Cui
Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah
kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam.
Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini
sengaja hendak ‘menguji’ dan membikin malu. Cui Im menjadi marah dan tanpa
diketahui siapa pun dia mengerahkan sinkang-nya sambil mempererat pegangan jari
tangannya pada kitab dalam bungkusan itu.
Kini giliran
Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi
lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkang-nya, dan buku itu
sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang pada saat dia mencoba
untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui
Im.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment