Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 20
PADA saat
yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan
putih dan sambaran angin dahsyat yang amat luar biasa membuat lima orang hwesio
itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah
tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana.
Melihat
pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak. Mukanya yang sudah pucat itu menjadi
makin pucat, napasnya yang biar pun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa,
kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat
itu bergerak seolah meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas
menjerit ‘Keng Hong’ akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu.
Pemuda itu
memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia bermaksud
dari kota ini mengambil jalan sungai untuk menuju ke selatan, yaitu mengikuti
sepanjang Sungai Han-sui. Akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba
saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu.
Ketika dia
tiba di dalam hutan di lereng itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran.
Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa
kaget dan juga girang hatinya pada waktu melihat bahwa gadis yang dikeroyok
oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya
yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih.
Dia hanya
memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah
pohon. Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya
berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, mempergunakan sepasang
tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang hingga lima orang hwesio yang
mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang.
Keng Hong
menahan keharuan hatinya karena bertemu dengan gadis itu, dan kini dia
menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus,
"Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi
Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara
dingin dan damai? Apakah perlu sesama manusia saling serang dan
berbunuh-bunuhan? Losuhu sekalian yang bijaksana tentunya maklum bahwa tidak
ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu
dibinasakan."
Thian Kek
Hwesio dan para sute-nya memandang dengan mata terbelalak. Apa bila tadi mereka
terkejut menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi pertandingan itu,
kini mereka tercengang mendengar ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek
Hwesio berseru,
"Haiiiii!
Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong
mengangkat muka dan memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang
dia teringat. Hwesio berkulit hitam ini ialah seorang di antara dua orang
hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di
Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata,
"Ahhh…,
kiranya Locianpwe dari Siauw-lim-pai yang berada di sini? Maaf, maaf...! Benar
Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini
adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan..."
"Yang
dulu sudah kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan?
Mengapa sekarang kau membelanya?"
Wajah Keng
Hong menjadi merah sekali. "Ahhh, maaf, Locianpwe. Dahulu saya adalah
orang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang
salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru
terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak
berdosa. Saya berani menanggungnya, maka harap Locianpwe sudi memaafkan apa
bila dia bersalah."
"Omitohud...!
Kalau ada hal yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang
pengalaman! Gadis yang kau bela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan suci-nya...
Si iblis betina itu telah membunuh sute-ku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya
seperti itu, suci-nya seperti itu, mana bisa diharapkan dia ini seorang yang
baik? Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, perempuan ini harus mati di tangan
kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga
bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri,
apa bila engkau tidak dapat mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu
dicuri suhu-mu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh
Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah
cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar kereng dan berwibawa.
Keng Hong
tersenyum sabar, walau pun hatinya merasa penasaran sekali. "Locianpwe,
bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang didasarkan kasih
yang luas? Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan,
tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikanNya
hawa untuk kita isap, diberikanNya sinar matahari untuk menghidupkan kita.
Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapa pun juga manusia mau pun
binatang, manusia yang disebut baik mau pun yang jahat, yang berdosa mau pun
yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya dari pada cinta kasihNya. Adakah
matahari kehilangan sinarnya apa bila menimpa tubuh orang-orang berdosa dan
dianggap jahat? Adakah manfaat hawa menjadi berkurang bila terisap oleh manusia
yang dianggap berdosa? Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran
berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur lalu
berubah menjadi kebencian dan nafsu membunuh setelah Locianpwe bertemu dengan
orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?"
Sejenak
kelima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio
menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak,
"Bocah!
Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia? Kalau ada manusia jahat,
kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, namun karena kita mengingat
akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu,
sehingga kita membunuh si jahat justru berdasarkan cinta kasih kita kepada
manusia!"
"Ha-ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa
bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak.
"Sungguh
amat lucu alasan yang kau kemukakan itu, Locianpwe! Aku tak percaya bahwa dalam
pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada
pada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang
harus mati? Dari siapakah Locianpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan
alasan demi untuk kasih. Tidak mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan!
Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama
sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi.
Alangkah munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan supaya bersekutu
dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ha-ha-ha, benar ucapan suhu dulu
bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah
kumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan
badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi
Locianpwe, apakah Ngo-wi juga memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa
rambut? Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba,
Keng Hong berhenti tertawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan
bicara seolah-olah di luar kesadarannya. Rasa girang yang luar biasa sekali
ketika melihat Biauw Eng berada dalam keadaan selamat dan sehat telah membuat
hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat
kembali.
Dia sama
sekali tidak bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sebenarnya
seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli
hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang hendak membunuh
Biauw Eng dan dia sendiri.
Thian Kek
Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong, kemudian dia
membentak, "Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat
dari pada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum
dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng adalah tukang
membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan,
perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali
bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng
berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kini kau bersiaplah,
bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!"
Thian Kek
Hwesio yang sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan
senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat
orang sute-nya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada.
Sambaran
jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat
batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua
tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan.
"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"
Empat orang
hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan
telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan
toya mereka.
"Locianpwe
sekalian merupakan tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, namun hendak menggunakan
kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun mempunyai kepandaian yang
hendak kupergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya diingat bahwa aku
bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku sudah mempelajari ilmu-ilmu
yang kiranya akan bisa mengatasi kepandaian Ngo-wi dan membatalkan niat buruk
hendak membunuh orang dan memaksa Ngo-wi pulang kembali ke Siauw-lim-si untuk
bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia."
Ucapan Keng
Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh lima orang hwesio itu dianggap
sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang
lagi, diikuti keempat orang sute-nya yang merasa penasaran. Serangan mereka
hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk.
Sekali lagi
Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga
kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan
sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke
belakang sambil berteriak kaget.
Kini Keng
Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya
bersinar-sinar dan keningnya berkerut, "Losuhu, aku mengerti bahwa
mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu
kitab-kitab Seng-to Cin-keng serta I-kiong Hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada
Losuhu bahwa kedua buah kitab itu sudah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah
demi roh suhu-ku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali
kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku
terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti
dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini."
"Siapa
percaya ocehanmu?"
Thian Kek
Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sute-nya juga menerjang maju, kini
menggunakan jurus-jurus mematikan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang
dalam menggerakkan senjata mereka.
Tiba-tiba
saja tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang
pengeroyoknya saking cepatnya. Pada detik-detik berikutnya, terdengarlah
seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio beserta empat orang sute-nya karena
tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka
terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata
sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu!
"Sudah
jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan
dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke
Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja? Beginikah sikap orang-orang
gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?" Keng Hong
berkata.
Sekali
tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik
masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian
Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, ada pun empat orang
sute-nya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya
masing-masing.
Diam-diam
Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Setelah lenyap di puncak
Kiam-kok-san, kini pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini telah menjadi seorang yang
sangat lihai, dan menurut penilaiannya, biar pun hanya bertanding dua gebrakan
saja, pemuda ini malah lebih lihai dari pada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka
dia kemudian menjura dan berkata,
"Pinceng
berlima tidak buta, bisa melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku
kalah dan akan melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Tetapi
hendaknya kau ketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang
boleh kau permainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu,
akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!"
Sesudah
berkata demikian, Thian Kek Hwesio lalu mengenakan jubah yang tadi dia pakai
sebagai senjata, kemudian menghampiri kudanya dan meloncat ke punggung kuda,
pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sute-nya yang juga sudah
menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan
setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya,
memandang Biauw Eng.
Sejak tadi
Biauw Eng berdiri bagai kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng
Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai itu, lupa
akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala
untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia
mengetahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang
dia anggap telah membunuh cici-nya.
Terbayanglah
dia betapa ketika dulu dia terbangun dari tidur, dia melihat cici-nya berada di
dalam pelukan Keng Hong, bermain cinta dengan pemuda ini, dan kemudian betapa
cici-nya tewas dalam pelukan pemuda ini pula. Teringat akan hal ini,
kebenciannya pada Keng Hong semakin mendalam. Akan tetapi karena Keng Hong
menghadapi lima orang hwesio itu dan membela Biauw Eng, tentu saja dia tidak
dapat berkata apa-apa, hanya mendengarkan penuh perhatian.
Keng Hong
yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri
berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak
mereka saling berpandangan. Hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang
semakin cantik jelita dalam pandangan matanya itu, kini agak kurus dan layu,
seakan-akan kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu
kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya.
"Biauw
Eng...!" bisik Keng Hong penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan
maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun,
jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di
hadapan gadis itu untuk meminta ampun. "Biauw Eng... Kau... kau maafkan
aku..." Ucapan ini lirih dan menggetar.
"Keng
Hong...!" Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya.
Hatinya
menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya
membuat dua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang
selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu
lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah pada saat bibirnya melanjutkan
bisikan, "...Syukurlah... engkau... engkau... masih hidup..."
Melihat
betapa kini dua butir air mata laksana butiran-butiran mutiara menitik turun
dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis? Gadis
yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati
dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata? Ahhh,
tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia
lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san!
Tiba-tiba
saja Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia
berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng.
"Maafkan
aku... Ampunkan aku, Biauw Eng... aku... aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah
engkau memaafkan aku...?"
"Jangan...
jangan berlutut, Keng Hong. Ahhh, Keng Hong... Keng Hong..." Tubuh gadis
itu terhuyung hendak roboh.
Keng Hong
meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak,
merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh
hatinya ini. Di antara isaknya dia hanya dapat berbisik, "Keng Hong...
Keng Hong...!" Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang
penuh rindu dan duka.
Pada waktu
merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya
terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng
Hong tidak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menggunakan kedua lengannya
mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah dia hendak memasukkan
kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata yang membasahi bulu matanya
akhirnya menitik turun ke atas pipinya.
"Biauw
Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu.
Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah
keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..."
"Keng
Hong... Keng Hong...!" Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang
dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan
melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah dia takut kalau
akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi.
"Biauw
Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila,
seperti buta kedua mataku..."
Mendadak
Biauw Eng merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat
dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri
seperti patung di bawah pohon, dia lalu meloncat dan lari menghampiri sambil
berseru,
"Sim-koko...
ahhh, Koko...!" Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti
buta itu teringat akan Lai Sek dan kini dia menangis di pundak pemuda buta itu,
hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Keng Hong
seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia
lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia menatap
penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda
itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai
yang pernah berenang di dalam lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas
dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh
Cui Im.
"Engkau
Sim Lai Sek...!"
"Bagus
kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina
dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah
berjalan maju.
Akan tetapi
kakinya tersandung akar pohon dan tubuhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar
lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai jatuh, kemudian Lai Sek
menudingkan jari telunjuknya ke arah Keng Hong sambil berkata dengan suara
nyaring penuh kebencian.
"Cia
Keng Hong manusia terkutuk! Engkau sudah merayu dan membujuk cici-ku, juga
menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau
laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona
Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura
membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang bagaikan lidah
ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah.
"Koko...!"
Biauw Eng berseru menahan isak.
Keng Hong
tersenyum pahit. "Sim Lai Sek, memang aku telah bersalah dan engkau boleh
memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh
enci-mu!"
"Apa?!
Kau tidak membunuhnya?" saking marahnya pemuda itu melangkah maju lagi
tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan
tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah
enci-ku, akan tetapi hatimu belepotan darahnya! Apa bila dulu engkau tidak
membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi
kekasihmu itu akan turun tangan membunuh enci-ku karena cemburu? Karena
engkaulah enci-ku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau...!"
Menghadapi
pemuda buta yang menudingnya sambil mengucapkan kata-kata keras itu, muka Keng
Hong menjadi pucat sehingga dia melangkah mundur dua tindak. Dia merasa
jantungnya bagaikan ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa
penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan
gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia
melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran.
"Terserah
kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau
cinta kepadaku, seperti yang kau katakan di depan ibumu, di depan banyak orang
di Kun-lun-san. Dulu aku seperti buta, bahkan lebih buta dari pemuda gagah ini,
buta oleh nafsu. Tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan
penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng..."
"Keparat
jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu
silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enci-ku, sekarang engkau
hendak membujuk Biauw Eng? Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu.
Hayo, kita sama-sama jantan dan biar pun aku buta, akan tetapi aku siap
mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta. Mari bertanding
sampai mati, Keng Hong!"
Keng Hong
terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir
jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh sangat menggelikan dan
sekaligus juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada
Biauw Eng yang memandang sambil menangis.
"Sekarang
terserah kepadamu, Biauw Eng. Jika engkau sudi mengampuni aku dan masih
mencintaku, marilah engkau ikut bersamaku, menjauhkan diri dari pada segala
keruwetan dunia. Aku cinta padamu!"
Sejenak
Biauw Eng bingung. Dia memandang Keng Hong, lalu memandang pemuda yang masih
memasang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian dia lari menghampiri Lai Sek,
memeluk pundaknya dan menangis. "Koko... aku... aku... tidak bisa
meninggalkanmu..."
Lega hati
Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia
berkata kepada Keng Hong, "Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar
sendiri! Apa yang hendak kau lakukan sekarang? Membunuhku kemudian memperkosa
Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan
cantik?"
Panas hati
Keng Hong, akan tetapi dia cepat menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa
Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian
enci-nya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia
tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, lalu berkata halus,
"Jangan
khawatir, Sim Lai Sek. Aku tak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng
telah bersikap bijaksana, telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Kuharap
engkau akan hidup bahagia, Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang
pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya dapat
menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku
ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..."
Keng Hong
menahan air mata dari kedua matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh
secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian
berlari cepat.
"Keng
Honggggg...!!" Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng
ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema saja di rongga dada dan
menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek
terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah!
Betapa pun
lihainya gadis ini, tidak kuat dia menahan tekanan batin yang amat hebatnya
itu. Ketika terpaksa dia ‘memilih’ Lai Sek, dia melakukan hal ini karena mana
mungkin dia meninggalkan pemuda yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa dan
telah menjadi buta karena dia itu? Akan tetapi ketika melihat pemuda yang
dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata tertahan, dengan hati
hancur dan hal ini diketahuinya betul, dia merasa jantungnya seperti
diremas-remas.
Tadi dia
sudah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di
sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan
ketika dia menjeritkan nama Keng Hong, bukan suara yang keluar melainkan darah
segar yang dimuntahkannya, kemudian dia roboh pingsan!
"Biauw
Eng...!" Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu.
Dia menjadi
bingung, menguncang-guncang, memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang
dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali.
"Biauw
Eng... Biauw Eng...!" Lai Sek terus memanggil-manggil dan dia sudah
menduga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya sudah dibunuh orang seperti
yang terjadi pada enci-nya!
"Biauw
Eng...!"
Biauw Eng
membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang
penuh kegelisahan, kemudian pandang matanya bergerak memandang dua tangan
pemuda buta itu yang penuh darah. Darah yang dimuntahkan tadi membasahi leher
dan karena tangan Lai Sek menguncang-guncang serta meraba-rabanya, diluar
pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah.
Melihat ini,
Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang
berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang
mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai
Sek.
"Engkau...
engkau kejam!" tiba-tiba dia berkata sambil bangkit duduk.
Lai Sek
menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah
pergi.
"Biauw
Eng, engkau tidak apa-apa...?"
Biauw Eng
seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Dia menatap wajah pemuda itu dan
berkata lagi, "Sim Lai Sek, engkau... manusia kejam...!"
Kini Lai Sek
terkejut bukan main. Suara gadis itu terdengar menggetar setengah berbisik,
penuh kedukaan yang amat hebat, akan tetapi amat dingin. "Apa... apa
maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak
Biauw Eng.
"Jangan
sentuh aku dengan tanganmu yang penuh darah. Darah yang mengucur dari hati Keng
Hong. Engkau kejam sekali!"
"Ehh,
Biauw Eng…! Apa... apa kesalahanku...?"
"Sim
Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu? Dia tidak
bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan
dan maki-makian yang bahkan lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Kenapa
engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung
kemarahan sehingga membuat Lai Sek lebih bingung lagi.
"Aku
benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia sudah menyebabkan kematian enci-ku, yaitu
satu-satunya orang yang kumiliki saat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku
benci sekali kepada Keng Hong dan andai kata aku tidak buta dan andai kata aku
berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya."
"Tetapi
dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh enci-mu, dan dia pun tidak pernah
memperkosa enci-mu. Bila sampai terjadi hubungan cinta, tentu enci-mu yang
tergila-gila kepadanya!" Suara Biauw Eng semakin marah karena hatinya
penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong.
"Biauw
Eng! Engkau malah menyalahkan enci-ku?"
"Aku
hanya bicara sebenarnya!"
Keduanya
sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek
mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, malah
kata-katanya halus dan lemah, "Biauw Eng, engkau... mencinta Keng
Hong?"
"Sudah
sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal
ini," kata Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya
karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong.
Lai Sek
menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut. Garis tegak lurus membagi
mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu, mata yang
dipejamkan rapat-rapat, dan urat di kedua pelipisnya berdenyut-denyut, suaranya
menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan,
"Kalau
begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong? Aku
seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak
meninggalkan aku saja? Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri
akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu..."
Biauw Eng
memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan
tadi. Sadarlah dia betapa sikapnya sangat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini
tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguh pun
pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar.
"Koko,
maafkan aku, Koko...!" Dia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu.
"Aku bingung... akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan
aku!"
Lai Sek
tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya dengan
sepenuh jiwa raganya itu. "Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak
mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng."
"Aku
tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku kuserahkan
kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, Koko. Kalau
engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang
juga!"
"Apa...
Apa katamu...?" Lai Sek terkejut.
Biauw Eng
menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu. "Aku menyerahkan tubuhku
kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!"
Lai Sek yang
memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus,
"Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah
semata-mata cinta birahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada,
cintaku terhadap enci-ku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku
kepadamu. Aku tak akan menggunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu
ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku dari pada perbuatan perbuatan itu.
Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan
sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalah gunakan kepercayaanmu."
Biauw Eng
menangis dalam pelukan pria ini. Betapa mulianya hati Lai Sek, betapa jauh
bedanya dengan Keng Hong. Bila Keng Hong yang diserahi tubuh dengan
wanita-wanita lain, tentu akan diterima oleh Keng Hong dengan segala kesenangan
hati, dengan kedua tangan terbuka dan hati terbuka, siap selalu melayani cinta
berani! Pikiran ini membuat Biauw Eng cemburu dan memudahkan dia untuk
melupakan Keng Hong.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan di sepanjang jalan Lai Sek yang
bijaksana tak mau menyebut-nyebut tentang Keng Hong. Juga Biauw Eng berusaha
untuk mengimbangi sikap yang penuh cinta kasih dari pemuda itu dengan
pencurahan perhatian kepada pemuda yang buta ini.
***************
Bagi orang
muda, di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa dari pada sakit
asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh
rasanya tak nyaman, tidur tak nyenyak, makan tak sedap, segala keindahan di
dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa
sunyi meski pun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan
apa-apa lagi di hati. Tubuh selalu lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur
terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi
teringat akan pacar direbut orang.
Sejak
meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung.
Wajahnya pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan
minyak. Dia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan
lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja
siang-malam. Lupa akan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan
Biauw Eng dan Lai Sek.
Pada suatu
pagi, akhirnya dia terkulai lemas di bawah sebatang pohon dan perutnya yang
menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung
berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum
bahwa kalau penderitaan yang dia buat sendiri ini dibiarkan berlarut-larut,
berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama
seorang laki-laki. Dia lalu mencari buah-buahan pengisi perut. Setelah makan
buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya.
Ia tahu
bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw
Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis
itu kepadanya? Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang
harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain?
Seorang
laki-laki yang biar pun tampan dan gagah perkasa namun buta, apakah dia kalah
nilainya oleh seorang buta? Ahh, mengapa Lai Sek buta? Ia meloncat bangun lalu
duduk kembali. Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak
buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya. Agaknya sebab kebutaan Lai
Sek ini ada sangkut pautnya dengan ‘pemindahan’ cinta dari hati Biauw Eng!
Ia
menganguk-angguk dan rasa penasaran di dalam hatinya agak terhibur. Agaknya
tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang
kuat. Biarlah dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan
pemuda itu. Enci-nya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam,
sekarang menjadi buta matanya!
Ah, kalau
dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal
kesengsaraan pemuda yang kehilangan enci-nya itu adalah karena dia! Kalau dia
tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan
terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu
pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng!
Dia harus
pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai ‘perhitungan’ yang belum beres
dengan suhu-nya, yaitu ketika suhu-nya bermain cinta dengan seorang murid
wanita dari Hoa-san-pai, kemudian suhu-nya mencuri pedang pusaka yang kini
dilarikan Cui Im pula.
Bahkan
perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi
karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia
harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan semua itu dan untuk mendinginkan hati
para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan
pusaka yang sudah dilarikan Cui Im.
Pada waktu
ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak
kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu
ini lebih suka bersemedhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi, maka
segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan
kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa
Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san Siang-sin-kiam. Dua orang
murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada
sembilan orang.
Pada waktu
itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu sembilan murid ketua
Hoa-san-pai amat terkenal dan mereka boleh dibilang menjadi ‘tiang’
Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid sembilan orang
kakek ini banyak sekali jumlahnya, di antara mereka ada yang menjadi tosu, ada
pula ada yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena
memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali
ilmu pedangnya.
Ketika pada
pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai
menuju ke puncak, gerakan-gerakannya sudah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai
yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu.
Segera
terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda
kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang
sehingga terdengar bergema sampai jauh. Beberapa detik kemudian terdengarlah
lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban.
Pemuda itu
adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia sudah
menghentikan langkahnya. Dia maklum bahwa dia sekarang berada di daerah
kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu
mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk
duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menunggu
perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat
oleh orang-orang Hoa-san-pai.
Ketika dia
mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali
lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu
bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid
pandai.
Keng Hong yang
menanti di bawah pohon bersikap tenang. Tidak lama dia menunggu, karena segera
muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di
depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia
tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat
puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan pada punggung mereka tampak terselip
sebatang pedang.
Melihat
mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di
hadapannya. Dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura
dan berkata,
"Siauwte
Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para
pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal
siauwte."
"Cia
Keng Hong...?!"
"Srat-srat-sing-singgggg...!"
Hampir semua
mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang sudah
terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid
Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka lalu bergerak
mengurung dengan sikap mengancam sekali.
Keng Hong
masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata,
"Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan
dengan niat hati buruk, namun siauwte sengaja datang untuk menemui para
pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul.
Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik."
"Niat
baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak
murid Hoa-san-pai?" mendadak seorang di antara tiga orang wanita gagah itu
bertanya, nadanya mengejek dan marah.
"Sama
baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula,
juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat?” seorang murid pria bertanya,
nadanya marah.
"Guru
dan murid sama saja, bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnya lebih berbahaya.
Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari
banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintang di depan dada kini
telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong.
Perlahan-lahan
tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki
berselang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari
Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di
tengah-tengah lingkaran itu.
Keng Hong
masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh. Dia menghela napas panjang.
Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut
tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya!
"Cu-wi
adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak
bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan
senjata cu-wi itu?"
Seorang di
antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, lalu menjawab,
"Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai sehingga kami seluruh
anak murid Hoa-san-pai boleh dicuci dengan darahmu!"
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang
mempunyai watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam
saja karena dia tidak pernah bergerak melawan.
Akan tetapi,
dendam dapat membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah
menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha
untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam
itu. Maka dia lalu berkata,
"Kalau
siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte
menghendaki, siauwte dapat bersikap seperti cu-wi, dengan mudah dan dan dalam waktu
singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Namun kedatanganku ini
mengandung niat hati yang baik, karena itu kalau cu-wi memaksa hendak membunuh
siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte
berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri, akan tetapi setelah itu harap
cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?"
Wajah ketiga
belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu yang berjenggot
panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang
terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid
dari tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang
sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu
Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata
mereka?
"Baiklah,
pemuda yang sombong! Kami berjanji, apa bila engkau dapat melucuti senjata
kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami."
Keng Hong
mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia lantas
berkata, "Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!"
Akan tetapi
tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali
melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika
mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di
depan dada.
Keng Hong
kagum bukan main. Ternyata murid-murid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan
agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan
senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan
lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki
ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sebenarnya
agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong. Kalau dia
menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan jauh
lebih mudah. Akan tetapi dia harus mampu menundukkan hati mereka, karena itu
akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong.
Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan
sinkang tentu akan berhasil!
"Cu-wi,
awas seranganku!"
Tiba-tiba
tubuhnya membalik ke kiri, melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang
laki-laki tinggi besar yang cepat mengelebatkan pedang membacok lengannya,
dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka
bertiga saling bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat
putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba saja Keng Hong membalikkan tubuh secepat
kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua pengeroyoknya dan benar saja
dugaannya.
Pada saat
tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di
belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok.
Sambil membalikkan tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke depan dengan sinkang
yang amat kuat. Angin dorongan dari kedua tangannya seperti angin taufan meniup
dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget.
Karena
keadaan mereka kacau-balau akibat kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika
tiba-tiba saja ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka. Seorang demi
seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu pedang mereka telah
terampas oleh Keng Hong.
Pemuda lihai
ini cepat membalik. Melihat pedang saudara-saudaranya sudah dirampas, ketiga
orang yang kini berada di belakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat.
Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di
lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Trang-trang-trangg…!"
Tiga batang
pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-pai itu terlempar ke atas. Keng Hong
meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus
diputar dan menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan... pedang-pedang
itu seperti melekat di pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara
melepaskan empat batang pedang itu. Kini semua pedang milik tiga belas murid
Hoa-san-pai itu sudah berada dalam pondongan lengan kirinya!
Tiga belas
orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata
terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa
pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan
bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana mendadak lengan mereka menjadi
lumpuh dan pedang mereka terlepas!
Sebenarnya,
ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat sehingga andai kata Keng Hong
hanya mengandalkan ilmu silat, sungguh pun dia sudah mempelajari ilmu
silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhu-nya dan disempurnakan dengan ilmu
dalam kitab Thai-kek Sin-kun, kiranya tak akan mudah pula baginya untuk
menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan
dapat merampas semua pedang sesudah merobohkan mereka, sedikitnya melukai
mereka.
Akan tetapi
pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkang-nya yang amat hebat itu, yang
dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian menggunakan kecepatan
gerakan yang didasari ginkang tinggi untuk menotok pundak dan merampas pedang!
"Sudah
siauwte katakan bahwa siauwte bukan datang untuk bermusuhan, maka siauwte
persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan
siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai."
Lengannya
tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti
hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi
kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget,
kagum dan jeri, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot
panjang berkata,
"Baiklah,
kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru
kami."
Keng Hong
menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan
sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang
tadi menyangka bahwa pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong,
"Silakan,
cu-wi, bila mana cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di
tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi." Karena Keng Hong bicara
dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan
beramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak.
Makin tinggi
ke puncak, semakin banyaklah anak murid Hoa-san-pai yang kini mengikuti
rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda
yang semenjak dahulu dianggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini
datang sendiri dengan ‘niat baik’. Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan
terjadi pada saat pemuda ini sudah berhadapan dengan guru-guru mereka.
Seorang
murid sudah terlebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa
mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap dan telah menundukkan tiga
belas orang murid yang bersenjata pedang hanya dengan tangan kosong, mereka
berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di
dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih.
Mengingat
akan pentingnya persoalan yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik
Hoa-san-pai, apa lagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong
yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua
orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang
bersemedhi di dalam kamarnya.
Mendengar
laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu menangguk-angguk dan
berkata, "Dia sudah datang, itu baik sekali. Apa pun yang dikehendakinya,
kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati
mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati
sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke
ruangan lian-bu-thia ini.
Hati Keng
Hong terasa gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilingi
pagar hidup berupa anak-anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin
baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh
kewaspadaan, semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul
di situ dia taksir tak kurang dari seratus orang!
Ketika dia
memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk
memegangi tongkat yang terbuat dari akar cendana berbentuk naga didampingi
Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah
dan kereng. Secara diam-diam Keng Hong berdoa di dalam hatinya semoga dia akan
berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia
gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini!
Para
pengawalnya berhenti di luar ruangan dan bergabung dengan murid-murid lain yang
berdiri mengelilingi ruangan itu di luar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap
hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan
orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam
sampai berkata,
"Boanpwe
(saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang
mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai." Suasana hening sekali setelah dia
bicara itu sehingga andai kata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan
terdengar nyata.
"Cia
Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa
Kiu yang nyaring dan penuh wibawa.
Keng Hong
mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka
bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan
tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang. "Coa-locianpwe, saya
sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Dia melirik ke
arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu.
"Siancai...
bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto
akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak
bicara apa?"
"Maafkan
saya, Locianpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya
yang muda dan bodoh, juga sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara.
Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul
antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan
saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua salah paham
itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai di sini
saja."
"Enak
saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit,
minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah.
Bun Hoat
mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, lalu memandang pada Keng
Hong sambil mengangguk-angguk.
"Orang
muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan
mengusulkan tentang segala perbuatan yang sudah dilakukan oleh gurumu dan
engkau sendiri?"
Keng Hong
masih bersikap tenang. Dia pun maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada
kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan hati kakek ini
dengan kata-kata yang tepat karena kalau sampai dia gagal, maka dia akan
menghadapi ancaman maut di tempat ini.
"Locianpwe.
Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf,
bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi,
oleh karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya
terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu.
Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu
saya dengan pihak Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai
lari bersama suhu..."
"Dilarikan!
Dicuri!" Coa Kiu memotong.
Keng Hong
tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai. "Benarkah dilarikan dengan
paksa, Locianpwe? Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa
seorang wanita..."
Bun Hoat
Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak. "Memang dia lari
bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi tidak dilarikan
secara paksa."
"Memang
demikianlah, baik dilarikan mau pun lari secara suka rela, akan tetapi seorang
murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, dahulu suhu
pernah mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai beserta ramuan obat."
Kakek itu
mengangguk-angguk.
"Locianpwe,
semua perbuatan suhu memang salah, akan tetapi karena beliau kini sudah
meninggal dunia, apakah sepatutnya jika dia masih terus dikejar-kejar, dan
apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?"
"Urusan
murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu
sudah habis, tak perlu dibicarakan lagi, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka
itu tidak mungkin bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus
dikembalikan kepada Hoa-san-pai."
Keng Hong
mengangguk. "Tepat dan adil sekali, dan memang sudah semestinya begitu,
Locianpwe. Akan tetapi kini pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe
Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!"
"Ahhhhhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua
itu yang masih tenang sikapnya.
"Sebagai
murid Sin-jiu Kiam-ong, saya merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu
dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, di kemudian
hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!"
"Apakah
sumpahmu ini akan kau penuhi, orang muda?"
"Locianpwe,
kalau saya tidak berniat memenuhi sumpah saya, untuk apa sekarang saya datang
menghadap Locianpwe untuk bersumpah? Kalau kelak saya tidak memenuhi janji
mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap sebagai musuh besar
Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak
melenyapkan segala macam permusuhan."
Kembali
kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya
urusan yang menyangkut suhu-nya sudah dapat dia bereskan, walau pun belum
lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan
kemarahan pihak Hoa-san-pai terhadap suhu-nya.
"Sekarang
bagaimana pertanggung jawabanmu mengenai perbuatan dirimu sendiri, orang muda?
Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat
tidak baik." Kini tosu tua itu memandangnya.
Diam-diam
Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang
putih itu menyorot bagai kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan
merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar.
"Maaf,
Locianpwe. Lebih baik saya bicara terus terang kepada Locianpwe yang bijaksana.
Saya mengaku bahwa memang saya telah melakukan hubungan cinta dengan mendiang
Sim Ciang Bi murid wanita Hoa-san-pai. Akan tetapi hal ini merupakan urusan
antara seorang pria dan seorang wanita yang melakukannya atas kehendak dan
kerelaan sendiri tanpa ada yang memaksa, merupakan suatu kejadian wajar dan
lumrah kalau terjadi di antara seorang pria dan seorang wanita yang saling
tertarik dan saling suka..."
"Itu
hubungan gelap! Hubungan kotor, hubungan karena dorongan nafsu birahi!"
Tiba-tiba Coa Bu tokoh Hoa-san Siang-sin-kiam yang lebih muda, membentak marah.
Dengan
tenang dan sabar Keng Hong memandang kakek itu, tersenyum pahit kemudian
berkata, "Terserah apa yang Totiang katakan atas hubungan anak-anak
manusia muda yang belum mampu mengendalikan dirinya itu. Akan tetapi, hubungan
kotor atau bersih, gelap mau pun terang, hal itu adalah urusan saya dan Sim
Ciang Bi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai sama sekali.
Ataukah... ada peraturan istimewa di Hoa-san-pai yang mengikat sehingga setiap
orang anak murid Hoa-san-pai tidak dapat bebas lagi dalam segala hal mengenai
pribadinya, sehingga untuk memilih pacar sekali pun harus ditentukan oleh
tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang duduk di pimpinan seperti Ji-wi Totiang dari
Siang-sin-kiam?"
"Hemm,
Cia Keng Hong, hati-hati menjaga mulutmu!" Coa Kiu membentak dengan muka
merah.
Ketua
Hoa-san-pai Bun-Hoat Tosu mengangkat tangannya dan berkata, "Siancai...
anak ini benar-benar mewarisi kepandaian bersilat lidah dari Sie Cun Hong! Akan
tetapi, apa yang diucapkan ada benarnya. Ehh, orang muda, pinto dapat menerima
alasanmu bahwa apa yang terjadi di antara engkau dan murid Sim Ciang Bi adalah
urusan pribadi kalian orang-orang muda. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat
membela diri tentang kematian murid kami itu?"
"Saya
bersumpah bahwa saya tidak membunuh Sim Ciang Bi, Locianpwe."
"Memang,
tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu. Dia mati dalam
pelukanmu dan kalau engkau tidak bermain cinta dengan dia, dia tidak akan mati
terbunuh iblis betina yang merasa cemburu. Hayo, bantahlah kalau bisa!"
kembali Coa Kiu membentak lagi.
"Maaf,
Totiang. Tidak ada kematian tanpa sebab, akan tetapi ada sebab langsung yang
disengaja. Kalau saya dianggap menjadi sebab kematian Sim Ciang Bi maka saya
hanya merupakan sebab tidak langsung dan tidak saya sengaja. Saya tidak berniat
membunuh dia dan kalau kenyataannya dia dibunuh orang selagi berada di dalam
pelukanku, hal itu hanya kebetulan saja. Sebab yang langsung berada di tangan
Bhe Cui Im, karena dialah yang membunuh Ciang Bi dan saya berjanji akan membuat
perhitungan dengan Cui Im."
Bun Hoat
Tosu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau pandai membela diri dan memang
pembelaanmu dapat diterima. Sesudah kami mendengar semua alasan-alasan yang kau
kemukakan, kami dari pihak Hoa-san-pai akan ditertawakan dunia kang-ouw kalau
masih hendak menyalahkanmu. Kiranya yang menjadi biang keladi dari kesemuanya
ini adalah murid Lam-hai Sin-ni yang bernama Bhe Cui Im itu. Ahhh, betapa aneh
peristiwa yang bermunculan di dunia kang-ouw sekarang ini. Selain muncul engkau
sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang cukup menghebohkan, muncul pula Bhe Cui Im
yang juga menggegerkan dunia, bahkan namanya kini menjulang tinggi melampaui
nama gurunya. Siapakah yang tidak mengenal dia yang kini berjuluk Ang-kiam
Bu-tek, yang sudah membunuh banyak tokoh besar dunia kang-ouw? Entah dari mana
dia mendapatkan ilmu kepandaian tinggi, kabarnya lebih tinggi dari pada Lam-hai
Sin-ni sendiri. Orang muda, dia bersama murid Go-bi Chit-kwi yang berjuluk
Jai-hwa-ong sekarang sudah menjadi jago-jago nomor satu dari barisan pengawal
kaisar, tahukah engkau?"
Keng Hong
terkejut. "Ahhh! Begitukah, Locianpwe? Baru sekarang saya mendengar dan
terima kasih atas petunjuk Locianpwe. Sekarang juga boanpwe akan pergi ke kota
raja dan mencarinya, di samping untuk merampas kembali semua kitab dan pusaka
yang telah dicurinya, juga untuk menghukumnya atas segala perbuatan jahatnya
sehingga menyeret saya ke dalam jurang permusuhan dari semua orang gagah."
Keng Hong
sudah menjura dengan hormat dan siap hendak berangkat, akan tetapi Coa Kiu dan
Coa Bu, Hoa-san Siang-sin-kiam, tiba-tiba saja telah meloncat maju dan Coa Kiu
berkata, "Tunggu dulu, Cia Keng Hong."
Keng Hong
berhenti dan membalikkan tubuh, berdiri tegak menanti dengan tenang apa yang
akan dikatakan dua orang tosu yang dia tahu masih merasa penasaran bahwa dia
dibebaskan secara demikian mudah oleh ketua Hoa-san-pai, kemudian Coa Kiu
berkata,
"Harap
Suhu tidak mudah dibohongi oleh pemuda yang pandai membujuk ini. Harap Suhu
memperkenan teecu bicara dengan dia sebelum dia pergi meloloskan diri."
"Asalkan
kau dapat menjaga agar Hoa-san-pai selalu bertindak berdasarkan kebenaran,
lakukanlah apa yang kau kehendaki dari pemuda ini," jawab ketua
Hoa-san-pai dengan sabar...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment