Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 01
ANAK
LAKI-LAKI itu tidak akan lebih dari sepuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi dan
tegap bagi anak setua itu. Baju dan celananya terbuat dari sutera, bentuknya
amat sederhana. Bajunya warna kuning polos dengan pinggiran merah tua, membuat
warna kuning baju itu tampak menyala bersih. Pada pinggangnya membelit tali
sutera dan celananya berwarna biru muda. Sepatunya yang coklat itu masih baru
namun penuh debu.
Wajah anak
itu terang dan tampan, berbentuk bulat dengan sepasang telinga lebar yang
menjulang di kanan kiri karena rambutnya disatukan di atas kepala membentuk
sanggul dan dibungkus dengan kain kepala dari sutera hijau. Kedua matanya lebar
dan bersinar terang, dilindungi sepasang alis yang hitam dan sudah dapat diduga
bahwa kelak alis itu akan menjadi tebal dan berbentuk golok. Hidung serta
mulutnya kecil membayangkan kehalusan budi, akan tetapi tarikan syaraf pada
dagunya membayangkan kemauan yang membaja.
Dengan
lenggangnya yang bebas lepas anak itu melangkah di dalam hutan yang sedang
menyambut munculnya sang mentari pagi. Wajahnya gembira sekali, sepasang
matanya bersinar-sinar memandangi segala yang tampak di depannya, yang jauh mau
pun yang dekat, dan mulutnya tersenyum. Secara tiba-tiba dia berhenti, matanya
terbelalak penuh kegembiraan memandang ke arah kiri, melihat seekor kelinci
yang mendadak keluar dari semak-semak.
Agaknya
kelinci itu pun terkejut, berhenti, kemudian menengok ke kanan kiri. Hidungnya
bergerak-gerak kembang kempis membuat cambangnya yang hanya beberapa helai itu
juga turut bergerak-gerak naik turun. Matanya yang jernih dan lebar
bergerak-gerak liar, sepasang daun telinganya yang panjang menjungat ke atas,
bergerak-gerak ke atas dan ke bawah menangkap segala suara yang datang dari
sekelilingnya.
“Hi-hik...!"
Anak itu tak dapat menahan geli hatinya melihat binatang yang lucu itu dan si
kelinci terperanjat, berloncatan lenyap ke dalam semak-semak kembali.
Anak
laki-laki itu pun melanjutkan langkahnya. Hanya mata seorang yang pikirannya
tidak dibebani sepenuhnya dengan segala macam persoalan hidup seperti mata anak
itulah yang akan dapat menikmati keindahan dalam hutan di pagi hari itu, dan
sesungguhnyalah bahwa hanya anak-anak saja yang dapat menikmati hidup ini,
karena manusia dewasa, kecuali mereka yang sudah sadar dan bebas, hidupnya
penuh dengan persoalan yang timbul dari pertentangan-pertentangan batin dan
lahir.
Betapa
indahnya rumput-rumput menghijau di hutan itu. Ada yang rebah, ada pula yang
berdiri, ada yang panjang ada yang pendek, semua begitu bebas dan segar, begitu
wajar namun lebih rapi dari pada kalau diatur tangan manusia, nampak gembira
dengan batang membasah bermandikan cahaya matahari pagi, berkilauan seolah-olah
dari setiap batang rumput mengeluarkan cahaya kesucian.
Daun-daun
pohon menari-nari perlahan dihembus angin pagi, bagai mengangguk-angguk membawa
butiran-butiran lembut yang gemilang seperti mutiara. Burung-burung kecil dan
beraneka warna bulunya, lincah bergembira dan berkejaran sambil mencuit bersiul
saling sahut, berloncatan dari dahan ke dahan.
Sinar
matahari yang menyerbu pohon, menembus di antara celah-celah daun membentuk
garis-garis putih di antara cahaya kuning kemerahan, cahaya keemasan. Adakah
lukisan yang seindah kenyataan? Adakah rangkaian kata-kata yang bisa
menceritakan keindahan yang wajar, mulus asli dan ajaib ini?
Beberapa
helai daun pohon menguning lepas dari tangkainya, lalu melayang-layang ke
bawah, menari-nari ke kanan kiri seperti gerak pinggul seorang penari yang
lincah dan lemas, seolah-olah merasa sayang meninggalkan tangkainya tetapi
tidak dapat menahan daya tarik bumi. Betapa mata tidak akan menjadi sehat dan
segar menyaksikan semua keindahan ini?
Sayang bahwa
jarang terdapat manusia seperti anak laki-laki itu yang dapat memandang dengan
mata terbuka, terang dan jernih, tak terselubung tirai persoalan hidup yang
keruh. Makin terang cahaya matahari, semakin ramai suara memenuhi hutan. Ramai
akan tetapi sedap didengar bagi mereka yang mampu mempergunakan telinganya
untuk mendengar, seperti anak itu, sehingga mampu menangkap keindahan hidup
dalam pendengarannya.
Suara burung
beraneka macam, dengan keindahannya masing-masing, ada yang tinggi melengking,
ada yang menciap-ciap pendek, ada yang rendah parau, akan tetapi sukar
membedakan mana yang lebih indah bagi telinga yang mendengar tanpa perbandingan
sehingga tidak ada lagi istilah baik dan buruk!
Di antara
perlombaan suara burung ini, kadang-kadang terdengar kokok ayam hutan dan
sayup-sayup terdengar suara gemerciknya air dari anak sungai yang mengalir di
dalam hutan, suara air bermain dengan batu-batu hitam, seperti suara gelak tawa
dan kekeh manja sekumpulan anak perawan yang sedang bersendau gurau.
Kegembiraan
memenuhi hati anak itu, membuat dia merasa menjadi sebagian dari alam dan
keindahan itu sendiri. Dan dengan wajah tampak berseri-seri, anak itu lalu membuka
mulut dan bernyanyi! Nyanyian aneh yang dinyanyikan dengan wajah berseri dan
suara gembira, akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu sendiri adalah
kata-kata keluhan yang menyedihkan!
Agaknya,
nyanyian itulah yang dihafal olehnya, dan jelas bahwa dia bernyanyi sekedar
melepaskan kegembiraan yang berkumpul di dalam hatinya, sekedar mengeluarkan
suara mengikuti contoh burung-burung di dalam hutan, tanpa mempedulikan isi
nyanyian yang dihafalnya di luar kepala. Dia tidak peduli akan kata-kata dalam
nyanyian, karena dalam keadaan seperti dirinya di saat itu, kata-kata merupakan
benda usang yang sama sekali tidak ada artinya! Baginya, yang penting bukan
kata-katanya, melainkan suaranya yang menggetar nyaring penuh daya hidup!
Berbahagialah
anak itu yang mempunyaii seni memandang dan mendengar sewajarnya. Dengan
pandangan dan pendengaran wajar, penuh perhatian, penuh kasih sayang, tanpa
disertai penilaian, tanpa perbandingan, tanpa pamrih, tanpa prasangka, maka
tampak dan terdengarlah olehnya segala keindahan yang tak ternilai.
Lukisan-lukisan
terindah yang ada di dunia ini hanya akan tampak bagaikan benda lapuk saja
dibandingkan dengan kenyataannya. Nyanyian sajak-sajak yang paling terkenal di
dunia ini hanya akan terdengar bagai kata-kata hampa dibandingkan dengan suara
alam itu sendiri jika didengarkan dengan pikiran bebas.
Suara anak
itu masih lembut dan ringan seperti suara wanita. Suaranya belum pecah dan
parau, menunjukkan bahwa dia belum dewasa. Namun suaranya nyaring sekali,
karena dia bernyanyi dengan bebas lepas, dari dalam dadanya!
Langit di
atas bumi di bawah,
mengapit
ketidak adilan
perut lapar
minta makan,
minta kepada
siapa?
ayah bunda
pun belum makan,
semua
kelaparan!
minta kepada
Si bangsawan
digigit
anjing penjaga
minta kepada
Si kaya
diberi maki
dan pukulan!
Hayaaaa...!
Anak itu
mengulang-ulang dengan suara gembira, akan tetapi pada ulangan ke empat
kalinya, dia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara teguran,
"Haiiii!"
Anak itu
menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan tubuh.
Seorang
laki-laki setengah tua, memikul kayu bakar, mendekat dengan langkahnya yang
pendek-pendek namun cepat, mengimbangi ayunan pikulannya. Setibanya di depan
anak itu, dia menurunkan pikulan, menghapus keringat dari muka dan leher,
meludah ke kiri, kemudian memandang lagi kepada anak itu dengan mulut
menyeringai. Agaknya sudah menjadi kebiasaan orang ini menyeringai seperti itu
dengan mulut menyerong ke kanan, mata kanan agak disipitkan sehingga tampak
garis-garis tertentu pada bagian kulit muka yang berlipat.
"Wah,
engkau bukan pengemis!" serunya dengan nada heran setelah menyapu pakaian
anak itu dengan pandang matanya.
"Memang
aku bukan pengemis," jawab anak itu. "Dan engkau seorang tukang
pencari kayu agaknya, lopek (paman tua)?"
"Memang
aku mencari kayu. Setiap pagi aku mencari kayu di hutan ini, lalu kubawa ke
kota dan kujual sebagai penukar bahan pengisi perut kami bertiga."
"Bertiga?"
"Ya,
aku sendiri, anakku dan ibunya."
"Ohhhh..."
"Hemm,
dan selama bertahun-tahun aku mencari kayu, baru pagi ini aku melihat hal-hal
aneh, di antaranya melihat seorang anak kecil berkeliaran seorang diri di dalam
hutan, menyanyikan lagu pengemis padahal engkau bukan pengemis."
"Anehkah
itu?"
"Tentu
saja aneh. Pakaianmu dari sutera halus, sepatumu baru. Engkau bukan pengemis
dan biasanya, hanya para pengemis dan orang miskin saja yang suka menyanyikan
lagu itu. Dan engkau pasti bukan pengemis."
"Sudah
kukatakan aku bukan pengemis."
"Dan
bukan orang miskin pula."
Anak itu
mengerutkan alisnya, meragu lalu menggeleng kepala. "Entahlah, aku tidak
tahu apakah orang tuaku kaya ataukah miskin. Bagaimanakah untuk membedakan yang
kaya dengan yang miskin?"
Tukang
mencari kayu itu juga mengerutkan alisnya, menggaruk-garuk kepala kemudian
meludah lagi ke kiri. Tampaknya meludah ke kiri ini pun menjadi kebiasaannya,
seperti kebiasaan menyeringai dengan mulut menyerong ke kanan.
"Yang
hidup serba kecukupan itu orang kaya, yang serba kekurangan itu orang
miskin."
Anak itu
kembali termenung, kedua alisnya berkerut hampir bertemu di atas batas hidung,
kemudian dia memandang kakek itu sambil bertanya lagi, "Lopek, yang
dikatakan serba cukup itu bagaimana, dan yang serba kekurangan itu
bagaimana?"
Agaknya
kakek itu sudah lelah. Pagi ini dia mengumpulkan kayu hampir dua kali lebih
dari biasanya karena dia membutuhkan uang kelebihan, untuk membeli sepatu
anaknya yang rewel minta dibelikan sepatu baru. Bukan baru benar melainkan
bekas akan tetapi yang masih baik dan belum usang.
"Yang
serba kecukupan itu adalah... hemm, yang dapat menutup kebutuhannya, sedang
yang serba kekurangan itu tentu saja yang tak pernah terpenuhi segala
kebutuhannya."
"Ohhh,
jadi tergantung dari kebutuhannya, ya? Apa bila kebutuhannya hanya sedikit
tentu cukup dengan sedikit pula sedangkan yang kebutuhannya banyak sekali
melebihi semua yang dimilikinya, mana bisa mencukupi?"
"Wah,
sulit juga kalau begitu. Yang cukup adalah yang dapat makan setiap
hari...," kata Si Kakek agak bingung karena persoalan yang dianggapnya
remeh itu kini menjadi sulit.
"Lopek.
apakah lopek dapat makan setiap hari?"
"Hemm...
ya, biar pun hanya dengan sayur sederhana."
"Kalau
begitu, lopek adalah seorang kaya!" Anak itu berkata gembira seakan-akan
dia dapat memecahkan teka-teki yang amat sulit.
"Hahh...?!"
Pencari kayu itu terbelalak.
"Menurut
lopek, orang kaya adalah yang kecukupan, yang kecukupan adalah yang setiap hari
bisa makan. Lopek setiap hari bisa makan, berarti kecukupan, dan karena
kecukupan berarti kaya!" Anak itu gembira sekali lalu membungkuk
membalikkan tubuh dan berkata, "Selamat pagi, lopek!"
Kakek itu
masih berdiri terpukau pada tempatnya. Matanya memandang kosong karena
pikirannya bekerja keras mengingat semua ucapan anak itu. "Aku... kaya..?
Heiiiii! Nanti dulu! Tunggu dulu...!" dia memanggil.
Anak itu
menoleh, membalikkan tubuh dan tersenyum. Senyum bebas lepas dan wajar.
"Ada apakah, lopek?"
"Tentang
kaya dan miskin, aku menarik semua pendapatku. Aku bukan orang kaya, tetapi
apakah aku miskin...hemm, entahlah. Tetapi engkau yang berpakaian mahal,
mengapa menyanyikan lagu pengemis kelaparan?"
"Lagu
adalah lagu, lopek. Siapa saja beleh melagukannya!"
"Tapi
isi kata-katanya itu! Tentang kelaparan! Apakah engkau pernah kelaparan?"
Kini si anak
tercengang. Baru sekarang ia sadar bahwa nyanyiannya itu bercerita tentang anak
kelaparan. Dia menggeleng kepala dan berkata lambat-lambat, "Aku belum
pernah kelaparan, lopek. Akan tetapi... apakah bedanya? Melihat anak-anak
pengemis pun sama sengsaranya terasa dalam hati. Ada nyanyiannya tentu ada
kenyataannya, bukan? Ehh, lopek. Katakanlah, mengapa di dunia ini ada anak-anak
yang kelaparan? Mengapa ada bangsawan yang berkuasa amat tinggi, ada hartawan
yang memiliki kekayaan berlebihan dan berlimpahan, akan tetapi sebaliknya ada
pekerja yang paling rendah kedudukannya, dan ada pengemis-pengemis yang
kelaparan?"
Kakek itu
kembali terbelalak, kini memandang kepada anak itu dengan heran. Selamanya
belum pernah terpikirkan olehnya akan kenyataan yang sebetulnya sudah dia lihat
sendiri itu. Ya, kenapa?
"Wah,
kenapa ya? Mengapa keadaan bisa begitu?"
"Lopek,
salah siapakah itu? Apakah salah si bangsawan tinggi? Apakah si pekerja kasar
rendahan yang salah? Si hartawan kaya raya ataukah si pengemis yang salah?
Apakah si bangsawan tinggi terlampau menindas, ataukah si pekerja rendah
terlalu menjilat? Apakah hartawan terlampau kikir, ataukah pengemis terlampau
malas? Salah siapa lopek?"
"Cuhh!
Cuhhh!" Kakek itu kini meludah hingga dua kali, dengan hati-hati dia
mengarahkan ludah yang ke dua agar tepat mengenai yang pertama, akan tetapi
bidikannya meleset jauh.
"Agaknya
yang salah adalah..." Tiba-tiba dia menengok ke kanan kiri dengan muka
takut karena baru saja terpikir olehnya bahwa dia telah membawa diri dengan
percakapan yang amat berbahaya, percakapan yang mungkin akan mengakibatkan
kepalanya terpenggal kalau terdengar oleh ‘yang berwajib’! Maka disambungnya
kata-katanya tadi,
"...
adalah Thian (Tuhan)!"
"Ah,
engkau mencari kambing hitam yang tak tampak saja, lopek!" Anak itu
membantah.
Si kakek
lalu tergesa-gesa mengangkat dan memikul kembali pikulan kayunya sambil
berkata, "Wah, menuruti engkau bercakap-cakap, aku akan kesiangan menjual
kayu!"
Ucapan ini
dikeluarkan dengan suara keras, tapi kemudian disambungnya berbisik, "Anak
baik, engkau anak siapakah?"
"Ayahku
membuka toko obat di ujung Jembatan Hijau..."
"Wah,
engkau putera Yap-sinshe (tukang obat Yap)?" Pencari kayu itu bertanya.
"Ya,
namaku Yap Kun Liong...," anak itu menjawab,
Sesudah
mendengar jawaban anak itu, Si Pencari Kayu lalu berbisik lagi,
"Siauw-kongcu (tuan kecil), lebih baik engkau pulang saja. Hutan ini tidak
aman hari ini. Tadi, masih gelap sekali sudah kulihat banyak orang aneh
berkeliaran di dalam hutan, seperti setan-setan saja. Hayo, pulang saja ke kota
bersamaku."
Kun Liong,
anak itu mengerutkan alisnya sambil meruncingkan mulutnya, menggelengkan
kepala. "Aku belum ingin pulang, masih suka bermain-main di dalam hutan.
Selamat pagi, lopek." Anak itu karena khawatir kalau-kalau akan dipaksa
pulang oleh pencari kayu yang agaknya mengenal ayahnya, lalu berlari memasuki
hutan.
Tukang
pencari kayu itu hanya menggeleng kepala, lalu memikul kayunya sambil bicara
seorang diri, "Yap-sinshe orang baik, pernah mengobati isteriku. Aku harus
memberi tahu. Jangan-jangan anaknya berada dalam bahaya."
Tergesa-gesa
dia kemudian melanjutkan perjalanannya keluar dari hutan untuk menjual kayunya
ke kota.
Kun Liong
sudah melupakan pertemuan dan percakapan dengan pencari kayu tadi. Hari
terlampau cerah, hutan terlampau indah untuk diganggu kenangan peristiwa yang
tak ada artinya itu. Cahaya matahari pagi yang keemasan, dengan garis-garis
putih yang hidup dan mengandung kehidupan karena di dalamnya tampak jutaan
benda-benda kecil yang bergerak-gerak, berselang-seling dengan pohon-pohon
besar kecil dengan dahan serta cabangnya yang mencuat ke sana sini dengan
bebas. Indah bukan main!
Dia sudah
tahu bahwa tidak jauh dari situ, tepat di tengah-tengah hutan, di bagian yang
agak tinggi merupakan anak bukit, di sana terdapat sebuah kuil tua yang kini
sudah tidak berpenghuni lagi. Sudah beberapa kali dia bermain-main di dalam
kuil itu, dan sekarang ke sanalah dia menuju.
Ada serumpun
bambu kuning berbelang-belang hijau di belakang kuil tua itu dan dia ingin
mengambil sebatang bambu yang indah itu. Menurut kata ayahnya, bambu belang itu
adalah sejenis bambu ular yang kuat dan tebal, lubangnya hanya kecil saja dan
bambu itu sendiri, yang sudah tua, kulitnya mengkilap dan besarnya sama dengan lengannya.
Hatinya yang
gembira itu berubah ketika dia tiba di depan kuil tua karena dia mendengar
suara hiruk-pikuk dari dalam kuil! Kun Liong teringat akan cerita Si Tukang
Mencari Kayu, maka dia cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon depan kuil
sambil mengintai.
Dia
mendengar suara bentakan-bentakan seperti orang sedang bersilat dan bertempur,
kemudian disusul suara teriakan-teriakan mengerikan dan dari pintu kecil yang
sudah tak berdaun lagi, yang terbuka menganga, tampak tubuh dua orang terlempar
dan terbanting ke atas tanah depan kuil itu. Lemparan itu amat kuat sehingga
dua batang tubuh manusia itu bergulingan dan akhirnya terhenti tak jauh dari
tempat Kun Liong bersembunyi, tidak bergerak-gerak lagi.
Dari tempat
persembunyiannya Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia sering
mengikuti ayah dan ibunya mengobati orang sakit, dan sering pula melihat orang
mati. Kini, melihat letak tangan, kaki, dan kepala dua orang lelaki setengah
tua yang terlempar tadi, tahulah dia bahwa mereka berdua itu sudah tak bernyawa
lagi!
Kun Liong
tidak takut atau ngeri melihat orang mati, akan tetapi dia merasa penasaran
sekali. Siapakah yang begitu kejam membunuh orang begitu saja di pagi hari
seindah itu? Pembunuh yang amat kejam, hal ini dia ketahui sesudah mendekati
dan memeriksa dua mayat itu yang ternyata tewas dengan mata mendelik dan di
dahi mereka tampak bekas jari tangan berwarna putih! Walau pun pelajaran ilmu
silatnya belum setinggi itu, sebagai putera suami isteri pendekar, Kun Liong
dapat menduga bahwa pembunuh kedua orang ini mempunyai ilmu pukulan beracun
yang amat jahat!
Tiba-tiba
dia mendengar sesuatu dan cepat menyelinap kembali, bersembunyi di dalam
semak-semak. Kiranya suara itu adalah suara tiga orang laki-laki yang
berpakaian seperti petani, bertopi caping lebar dan sedang berjalan menuju kuil
dengan cepat sekali. Mereka berhenti di dekat mayat dua orang itu, memandang
sebentar kemudian seorang di antara mereka berkata perlahan,
"Si
Iblis itu benar-benar berada di dalam kuil."
Kedua orang temannya
mengangguk dan tangan mereka bertiga meraba-raba gagang pedang, kemudian
ketiganya dengan gerakan cepat dan ringan lari memasuki kuil tua.
Kun Liong
tertarik sekali menyaksikan apa yang akan terjadi di dalam kuil. Akan tetapi,
untuk mengikuti mereka tadi begitu saja, dia tidak berani karena dia mengerti
bahwa akan terjadi hal-hal yang hebat. Dia harus berlaku hati-hati sekali.
Dengan menyelinap di antara semak-semak dan pohon-pohon, dia mengambil jalan
memutar, menuju ke belakang kuil.
Tembok
belakang yang melingkari kuil tua itu sudah ambruk, maka bagian belakang kuil
itu tampak jelas. Kun Liong sudah sering mengunjungi tempat ini, maka dia hafal
benar. Dengan hati-hati akhirnya dia dapat bersembunyi di belakang rumpun bambu
kuning. Kini bambu-bambu kuning yang sudah banyak yang tua dan mengkilap itu
tak diperhatikannya lagi karena perhatiannya tercurah ke sebelah belakang kuil
dan dia memandang dengan jantung berdebar tegang.
Kiranya tiga
orang tadi sudah berada di halaman belakang kuil, berdiri dengan sikap tegak
dan telah bersiap-siap menghadapi seorang kakek yang aneh! Dari balik daun-daun
dan batang-batang bambu kuning, Kun Liong mengintai penuh perhatian. Kebetulan
sekali kakek aneh itu duduknya tidak membelakanginya benar sehingga dia dapat
melihat muka kakek itu dari samping.
Dia adalah
seorang kakek yang berpakaian serba putih, hanya merupakan kain panjang
membelit-belit tubuhnya yang tinggi kurus. Rambutnya sudah berwarna dua,
digelung ke atas model sanggul para tosu (pendeta beragama To), kedua kakinya
memakai kaus kaki dan sandal pendeta. Tosu yang usianya tentu tak kurang dari
enam puluh tahun ini duduk bersila di atas sebuah benda yang aneh.
Benda itu
berbentuk bunga teratai dan berwarna putih. Bunga logam putih itu terletak di
tengah halaman dan di sekeliling kakek itu tampak goresan di atas tanah yang
bergaris tengah tiga meter lebih.
Agaknya
kedatangan tiga orang petani bertopi caping lebar itu tidak dipedulikan tosu
yang tetap duduk bersila sambil memejamkan mata memangku sebatang tongkat bambu
yang panjangnya kira-kira tiga kaki.
"Totiang,
harap maafkan kalau kami datang mengganggu totiang yang sedang beristirahat
dalam kuil tua ini." Seorang di antara ketiga orang petani itu, yang
memelihara cambang melintang di bawah hidung, menjura sambil mengeluarkan
kata-kata yang nadanya sopan menghormat itu.
Tosu tua itu
membuka kedua matanya dan terkejutlah tiga orang itu melihat betapa mata tosu
itu hampir tidak tampak hitamnya. Mata seorang buta, atau setidaknya tentu
lamur!
"Siancai...!
Sam-wi ada keperluan apakah?"
"Kami
kebetulan lewat di dalam hutan dan di depan kuil kami melihat ada dua orang
yang telah menjadi mayat. Selain itu kami telah mendengar di kota bahwa sepekan
yang lalu, di dalam hutan pohon pek di selatan kota, juga terdapat mayat lima
orang dengan ciri yang sama, yaitu di dahi mayat-mayat itu terdapat tanda tapak
jari tangan putih. Totiang yang sejak tadi berada di dalam kuil ini tentu
mengetahui sebab kematian dua orang di luar kuil itu. Maukah totiang
memberitahukan kepada kami?"
Sejenak
kakek itu hanya memandang tiga orang tadi penuh perhatian, seolah-olah kedua
matanya dapat melihat dengan jelas. Biar pun tiga orang itu merasa yakin benar
bahwa dua buah mata yang maniknya yang sudah menjadi putih itu tidak dapat
melihat dengan baik, mereka merasa tidak enak dan diam-diam bulu tengkuk mereka
meremang ketika sepasang mata itu ditujukan kepada mereka sampai lama tidak
pernah berkejap!
Kemudian,
kedua mata itu dipejamkan, kakek itu lalu membuka mulutnya dan bernyanyi!
Bunga suci,
Teratai Putih
di tengah
lumpur, tetap bersih,
Siapa saja
hendak mengotori
berarti
mencari mati sendiri!
Jika ada
yang melanggar
garis
lingkaran pemisah
dia akan
menjadi korban
Pek-tok-ci
yang sakti!
Ketiga orang
itu saling pandang, kemudian mereka memandang ke arah garis lingkaran yang
melingkari tempat duduk aneh kakek itu. Si Cambang Melintang melangkah maju
selangkah, tepat di luar garis lingkaran, dan dia membentak sambil mencabut
pedangnya, diikuti oleh dua orang kawannya.
"Tosu
Pek-lian-kauw, kami sudah mengenal engkau! Menyerahlah, kami adalah
petugas-petugas pemerintah yang bertugas menangkap Loan Khi Tosu tokoh
Pek-lian-kauw!"
Tosu lamur
(setengah buta) itu kembali membuka matanya dan tersenyum. "Kiranya tiga
ekor anjing pemerintah! Pinto (aku) memang Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw.
Habis kalian mau apa? Pinto tetap tidak akan mengganggu kalian asalkan tidak
melanggar garis lingkaran. Hal ini sudah menjadi pegangan pinto!"
Setelah
berkata demikian, kakek itu mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya pada bunga
teratai putih dari logam yang didudukinya. Terdengar bunyi nyaring berirama,
kemudian bunyi ketukan itu dijadikan irama mengikuti nyanyian yang kembali
dinyanyikan oleh Si Kakek aneh. Akan tetapi berbeda dengan tadi, suara yang
menyanyikan lagu ini terdengar menggetar dan melengking menusuk telinga!
Tahu akan
kebodohan sendiri
adalah
waspada,
tidak tahu
mengaku tahu
adalah
sebuah penyakit,
yang
mengenal kenyataan ini
berarti
sehat!
Sang
Bijaksana berpikiran sehat
melihat
penyelewengan seperti apa adanya
karenanya
takkan pernah sakit.
Siancai...!
Kun Liong
yang bersembunyi di balik rumpun bambu kuning, terkejut bukan main ketika
mendengar suara nyanyian itu. Dia mengenal kata-kata nyanyian itu sebagai
ujar-ujar di dalam kitab To-tik-keng yang banyak berubah. Akan tetapi bukan itu
yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya itulah!
Suara itu
sangat tidak enak bagi telinganya, melengking tinggi rendah dan seakan-akan
kedua telinganya ditusuk-tusuk jarum! Dan yang lebih hebat lagi, tiga orang
yang sudah mencabut pedang itu, kini berdiri terhuyung-huyung, tidak dapat
berdiri tegak. Mereka itu kelihatan ragu-ragu untuk menyerang sebab muka mereka
pucat sekali dan tubuh mereka agak menggigil!
Kakek itu
mengulangi lagi nyanyiannya. Kun Liong diam-diam menjadi marah. Nyanyian buruk
itu masih hendak diulangi lagi? Dia marah dan hatinya panas. Kakek itu jelas
bukan orang baik-baik, pikirnya dan karena dia pun tidak akan mampu berbuat
sesuatu, untuk mengganggu kakek itu dia pun lalu membarengi kakek itu
bernyanyi, bahkan mendahului sedikit,. Tentu saja yang dinyanyikannya adalah
lagu pengemis tadi.
Maka segera
terdengarlah nyanyian-nyanyian hiruk-pikuk tidak karuan, campur aduk dan aneh
sekali, kacau-balau dan lucu karena nyanyian itu menjadi begini,
Langit di
atas bumi di bawah
tahu akan
kebodohan sendiri
mengapit
ketidak adilan
adalah
waspada!
perut lapar
minta makan
tidak tahu
mengaku tahu
minta kepada
siapa?
adalah
sebuah penyakit!
ayah bunda
pun belum makan
yang
mengenal kenyataan ini
semua
kelaparan
berarti
sehat.
Baru sampai
di situ, kakek itu menghentikan nyanyiannya dan berteriak marah, melompat turun
dari bunga teratai baja yang didudukinya. Tiga orang itu pun sudah menerjang
maju dengan pedang mereka dan ternyata ilmu pedang mereka cukup hebat sedangkan
wajah mereka tidak lagi pucat seperti tadi.
Tanpa
disengaja, nyanyian Kun Liong tadi telah menolong tiga orang petugas pemerintah
itu. Mereka sebetulnya adalah para perwira petugas keamanan yang sedang
melakukan penyelidikan, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Ketika tosu
tadi bernyanyi, dia menggunakan khikang sambil mengerahkan sinkang-nya hingga
suaranya itu merupakan serangan yang sangat hebat. Bagi orang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi, dia dapat menggunakan suara untuk mencelakakan lawan,
seperti yang dilakukan Loan Khi Tosu tadi.
Suara dapat
menyerang melalui pendengaran, lalu mengusik hati mengacau pikiran dan
menggetarkan urat syaraf, lama-lama dapat menyerang jantung lawan dan
membunuhnya tanpa turun tangan! Karena masih kanak-kanak dan pikirannya masih
bebas, atau paling tidak belum terlalu kotor dan penuh seperti pikiran manusia
dewasa, walau pun suara itu amat tidak enak didengarnya, akan tetapi Kun Liong
tidaklah amat menderita seperti yang diderita tiga orang perwira yang manyamar
sebagai petani-petani itu.
Kemudian
tanpa disengajanya, tapi hanya untuk menyatakan rasa mendongkol terhadap kakek
itu, Kun Liong dapat memecahkan atau membikin rusak pengaruh khikang dalam
nyanyian Loan Khi Tosu dengan mengacaukan nyanyiannya dengan nyanyiannya
sendiri! Hal ini membuat keadaan tiga orang tadi pulih kembali dan mereka lalu
menerjang maju, sedangkan Loan Khi Tosu dengan marah sekali sudah turun dari
bunga teratai baja dan menghadapi tiga orang lawannya dengan tongkat bambunya.
Tiga orang
perwira itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah kepala-kepala pengawal
di kota Leng-kok dan menjadi orang-orang kepercayaan kepala daerah kota
Leng-kok. Mereka adalah bekas anak buah Jenderal Yung Lo yang kini sudah
menjadi kaisar. Ilmu kepandaian mereka cukup tinggi dan kini mereka mengurung
tosu itu dengan membentuk barisan segitiga.
Si Cambang
Melintang rupa-rupanya menjadi pimpinan mereka. Ia lebih dulu membentak keras
dan menyerang dengan pedangnya, menusuk ke leher tosu itu dari samping kiri.
Gerakannya cepat dan kuat sekali, dan menyusul gerakannya ini, temannya yang
berada di depan tosu itu telah menerjang dengan tusukan pedang ke arah perut.
Orang ke
tiga segera menyusul dengan sambaran pedangnya yang membabat ke arah kaki
lawan. Dengan demikian, secara beruntun dan cepat sekali merupakan rangkaian
serangan bersambung, tosu itu dihujani serangan ke leher, perut, dan kakinya!
Melihat
sinar tiga batang pedang berkilat menyambar secara berturut-turut itu, Loan Khi
Tosu tak menjadi gentar atau pun gugup. Dengan tenang-tenang saja dia
menggerakkan tongkat, menangkis pedang yang menyambar leher, tongkatnya
dipentalkan dan langsung menangkis pedang yang menusuk perut kemudian tubuhnya
mencelat ke atas sehingga sambaran pedang ke arah kakinya itu tidak mengenai
sasaran.
Dari atas,
dia sudah menggerakkan lagi tongkatnya, menusuk ke arah ubun-ubun kepala Si
Cambang sambil menampar dengan tangan kiri ke arah orang di depannya, sedangkan
kakinya menendang ke arah orang di sebelah kanannya. Dapatlah dibayangkan
betapa cepat gerakan kakek itu yang selagi tubuhnya masih berada di atas telah
dapat mengirim serangan kepada tiga orang lawannya sekaligus!
Akan tetapi,
ketiga orang lawannya juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian segera
menyerang lagi secara teratur ketika kakek itu sudah turun kembali.
Pertandingan yang seru segera terjadi di halaman belakang kuil itu.
Tadi tosu
itu agaknya memandang rendah para pengeroyoknya yang disangkanya sama lemahnya
dengan dua orang musuh yang baru saja dibunuhnya. Dikiranya bahwa sekali
menggerakkan tongkatnya, dia akan dapat membunuh mereka. Setelah kini ternyata
tiga orang perwira itu belum juga dapat dirobohkan sesudah mereka bertanding
selama tiga puluh jurus lebih, hanya mampu mendesak mereka saja dengan gerakan
tongkatnya, dia menjadi penasaran dan marah sekali.
"Mampuslah
kalian!" bentaknya.
Ketiga orang
itu terkejut sekali ketika tiba-tiba Si Tosu melakukan gerakan cepat, tangan
kirinya menyerang mereka bertubi-tubi dengan tamparan-tamparan yang
mendatangkan hawa pukulan panas laksana api! Tahulah mereka bahwa kakek itu
sudah mengeluarkan ilmu pukulan simpanannya yang selama ini digunakan untuk
membunuhi orang, pukulan Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih) yang selalu
meninggalkan bekas tapak jari tangan pada tubuh korbannya.
Karena tahu
akan kelihaian jari tangan itu, mereka mencelat mundur, sama sekali tidak
menyangka bahwa pada saat itu, Loan Khi Tosu yang lihai telah meniup ujung
tongkatnya tiga kali dan tampak sinar hitam berkelebat tiga kali ke arah tiga
orang perwira itu. Mereka berteriak kaget dan terjungkal roboh, leher mereka
sudah terkena serangan gelap berupa jarum-jarum hitam yang ternyata disembunyikan
di dalam tongkat yang berlubang itu dan yang dapat dipergunakan sebagai semacam
sumpit.
"Heh-heh,
mata-mata laknat, anjing pemerintah yang busuk. Kalian harus mati!" Tosu
itu melangkah lebar menghampiri tiga orang yang telah terluka, lalu mengangkat
tongkatnya hendak mengirim pukulan terakhir.
"Kakek
tua bangka, engkau jahat sekali, ya?"
Loan Khi
Tosu menahan tongkatnya, cepat membalikkan tubuh dan melihat seorang anak
laki-laki lari menghampirinya sambil memandangnya dengan sepasang mata yang
jernih dan menyinarkan kemarahan. Setelah tiba di depan tosu itu, Kun Liong
bertolak pinggang dan berkata, suaranya lantang penuh keberanian dan kemarahan.
"Melihat
pakaianmu, engkau tentulah seorang tosu dan menurut pengetahuanku, seorang
pendeta selalu mengutamakan kebaikan dan berpantang melakukan kejahatan! Di
dalam kitab-kitab Agama To tidak terdapat pelajaran yang membenarkan kekejaman,
bahkan Nabi Lo-cu selalu menentang kekerasan. Mengapa engkau ini seorang tosu,
begini kejam dan suka melakukan pembunuhan?"
Loan Khi
Tosu tercengang dan sejenak tak dapat bicara, hanya menatap anak itu dengan
pengerahan kekuatan matanya agar dapat melihat lebih jelas. Matanya yang lamur
hanya melihat bentuk seorang anak laki-laki dan hanya pendengaran telinganya
yang jelas bisa menangkap suara itu dan ia menduga bahwa anak itu tentu tidak
lebih dari sepuluh tahun usianya.
Kalau yang
menegurnya seorang dewasa, teguran itu tentu dianggapnya penghinaan dan
membuatnya marah, akan tetapi yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Selama
hidupnya belum pernah dia menghadapi hal yang seaneh ini. Akhirnya dia menarik
napas panjang dan berkata,
"Siancai...
agaknya engkau juga yang tadi mengacaukan nyanyianku. Engkau sungguh bernyali
besar dan karena keberanianmu itu aku suka menjawab. Ketahuilah bahwa tosu dari
Pek-lian-kauw di samping mengutamakan kebajikan dan kegagahan, terutama sekali kekerasan
terhadap musuh. Membunuh musuh bukanlah perbuatan kejam namanya..."
"Omong
kosong! Membunuh tetap membunuh, membunuh siapa pun juga, dengan alasan apa pun
juga, tetap pembunuh namanya dan membunuh adalah perbuatan yang paling
terkutuk, paling keji dan yang paling busuk di dunia ini!"
Loan Khi
Tosu menggerakkan kedua pundaknya. "Karena kau seorang anak-anak, pinto
kagum menyaksikan sikapmu. Kalau engkau sudah dewasa dan mengeluarkan kata-kata
seperti itu berarti engkau musuh pula dan tentu telah pinto bunuh. Sudahlah,
pinto tidak ada waktu melayani seorang anak kecil!" Tosu itu membalik, dan
sekarang tongkatnya digerakkan ke arah tubuh tiga orang lawannya yang sudah
roboh pingsan itu!
"Wuuuuttt...
trakkkk!"
Loan Khi
Tosu meloncat ke belakang, tongkatnya tergetar dan hanya dengan pengerahan
tenaga sinkang sekuatnya saja membuat dia berhasil mencegah tongkatnya terlepas
dari pegangannya.
"Siancai...!
Siapakah engkau dan mengapa berani mencampuri urusan pinto?" Loan Khi Tosu
menegur seorang lelaki yang tadi menangkis tongkatnya dan yang sekarang berdiri
dengan tenang di depannya sambil menyimpan kembali senjatanya yang istimewa
karena senjatanya itu berupa sepasang pit (alat tulis, pensil buku) hitam dan
putih.
Laki-laki
itu berpakaian sastrawan, pakaian dan sikapnya sederhana, akan tetapi di balik
kesederhanaannya, tampak kegagahannya yang berwibawa. Wajahnya tampan, tubuhnya
tegak dan padat berisi membayangkan tenaga yang halus dan amat kuat. Usianya
kurang sedikit dari empat puluh tahun, namun rambut di atas sepasang telinganya
sudah mulai bercampur uban.
Dia bernama
Yap Cong San, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, murid dari Tiong Pek
Hosiang, tokoh nomor satu di Siauw-lim-pai, bekas ketua yang kini tidak muncul
lagi di dunia ramai karena sudah bertapa untuk selamanya dalam Ruang Kesadaran,
yaitu di sebuah ruangan tertutup dari kuil Siauw-lim-pai.
Yap Cong San
sendiri sudah dipecat sebagai anak murid Siauw-lim-pai, pemecatan yang
berdasarkan kebijaksanaan Ketua Siauw-lim-pai karena ingin menjaga nama baik
Siauw-lim-pai, akan tetapi pribadi pendekar ini tidak dimusuhi, bahkan dianggap
sebagai sahabat baik dari Siauw-lim-pai.
Bagi para
pembaca cerita Pedang Kayu Harum, nama Yap Cong San tentu bukan nama yang
asing. Akan tetapi untuk para pembaca cerita ini yang belum membaca Pedang Kayu
Harum sebaiknya berkenalan dengan Yap Cong San secara singkat.
Setelah
kehilangan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San menikah dengan
seorang pendekar wanita perkasa yang bernama Gui Yan Cu, seorang wanita amat
cantik jelita, berkepandaian tinggi dan juga mempunyai keahlian dalam ilmu
pengobatan. Suami isteri ini tinggal di kota Leng-kok, membuka sebuah toko obat
dan mereka mempunyai seorang putera, yaitu Yap Kun Liong, anak yang pemberani
tadi.
Karena dia
sendiri merupakan seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai yang sangat lihai dan
sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, sesudah menjadi suami Gui Yan Cu
dan membuka toko obat, Yap Cong San mempelajari ilmu pengobatan sehingga sering
kali dia mewakili isterinya memeriksa serta mengobati orang sakit. Isterinya
hanya memeriksa wanita-wanita yang sakit.
Karena
pekerjaannya ini, Yap Cong San lebih dikenal sebagai seorang ahli pengobatan
dan disebut Yap-sinshe dari pada seorang ahli silat yang berilmu tinggi.
Bertahun-tahun sudah dia dan isterinya tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw,
seolah-olah sepasang suami isteri pendekar ini bersembunyi di kota kecil
Leng-kok, sehingga jarang ada orang mengenal namanya.
Ketika tadi
mendengar dari pencari kayu yang menjadi langganannya pula, bahwa Kun Liong
sedang berkeliaran di dalam hutan di luar kota, sedangkan menurut pencari kayu
itu, di dalam hutan terdapat orang-orang yang aneh dan mencurigakan, Yap Cong
San merasa khawatir sekali. Cepat dia lantas meninggalkan toko obatnya,
menyuruh isterinya menjaga dan dia sendiri lalu pergi ke dalam hutan membawa
sepasang senjatanya yang istimewa, yaitu Im-yang-pit hitam putih. Dahulu Yap
Cong San terkenal sekali dengan ilmu silatnya, terutama sekali permainan
Im-yang-pit, sepasang pensil yang tidak hanya dapat dipergunakan sebagai
senjata, bahkan juga dapat dipakai untuk menulis.
Di samping
sepasang Im-yang-pit ini, dia juga mahir melepaskan senjata rahasia berupa uang
logam tembaga yang selain dapat dipakai berbelanja, juga dapat digunakan
sebagai senjata rahasia yang sangat berbahaya dan disebut Touw-kut-ji (Uang
Logam Penembus Tulang).
Pendekar ini
tiba di belakang kuil tepat pada saat Loan Khi Tosu menggerakkan tongkat hendak
membunuh tiga orang yang telah terluka itu. Sebagai seorang pendekar, biar pun
sudah bertahun-tahun dia tidak mempunyai urusan dengan dunia kang-ouw, tak
mungkin dia membiarkan saja pembunuhan dilakukan di hadapan matanya. Cepat dia
meloncat ke depan menggerakkan senjatanya menangkis sehingga tongkat tosu itu
terpental.
Sebelum
menjawab, Yap Cong San melirik ke arah puteranya yang masih berdiri di sana dan
Kun Liong tersenyum kepada ayahnya, senyum yang memancing maaf dari ayahnya.
Semenjak kecil, Kun Liong paling takut kepada ayahnya dan paling manja kepada
ibunya. Mungkin karena ayahnya bersikap keras maka ibunya memanjakannya atau
bisa jadi juga sebaliknya, karena ibunya memanjakannya maka ayahnya bersikap
keras terhadapnya. Melihat puteranya tidak apa-apa, legalah hati pendekar itu
dan dia cepat menjura kepada tosu yang bermata lamur itu.
"Totiang,
saya tak berniat mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena pekerjaanku
adalah menolong orang sakit, sedapat mungkin berusaha mencegah kematian
merenggut nyawa orang, tentu saja saya tidak tega menyaksikan totiang hendak
membunuh orang."
"Ayah,
kakek tua bangka ini sudah membunuh banyak sekali orang. Dia iblis jahat!"
Kun Liong tiba-tiba berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada tosu itu.
"Kun
Liong, diam!" Ayahnya membentak.
Tosu itu
mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya dia anakmu? Pantas pemberani, kiranya
ayahnya adalah seorang yang lihai. Gerakanmu tadi terang menunjukkan bahwa
engkau tentu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang sangat lihai, Sicu (orang gagah).
Karena Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan besar yang disegani serta dihormati
oleh perkumpulan kami, biarlah pinto mengalah terhadapmu dan ketahuilah bahwa
pinto adalah Loan Khi Tosu, pemimpin Pek-lian-kauw di daerah ini. Yang terbunuh
oleh pinto adalah kaki tangan pemerintah yang selalu memusuhi kami, maka pinto
harap sicu tidak ikut campur."
Yap Cong San
memang sudah menduga bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw saat ia melihat
bunga teratai putih dari baja itu. Ia menjadi tak enak hati karena maklum bahwa
Pek-lian-kauw merupakan kumpulan orang-orang yang menentang pemerintah, yang
menganggap pemerintah mulai menyeleweng, pembesar-pembesarnya tukang korup dan
rakyat mulai ditindas pula, tidak becus menanggulangi gangguan-gangguan yang
datang dari para bajak laut yang hanya menyusahkan kehidupan rakyat.
Dia
menganggap mereka itu sekumpulan orang-orang yang memberontak. Namun karena dia
melihat pula akan keadaan pemerintah yang makin memburuk saja, maka dia selalu
menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri pertentangan antara Pek-lian-kauw
dengan pemerintah itu.
"Totiang,
saya datang hanya untuk menyusul anak saya yang ternyata berada di tempat ini.
Karena totiang tidak mengganggu anak saya, maka saya pun tidak akan mengganggu
totiang, akan tetapi tiga orang yang terluka itu menjadi tanggungan saya untuk
mencoba mengobati dan menyembuhkannya."
Tosu itu
menyeringai, "Heh-heh, boleh kau coba, sicu. Dan melihat muka sicu, pinto
mau mengampuni mereka. Bolehkah pinto mengetahui nama besar sicu?"
"Saya
hanyalah seorang biasa saja yang tidak terkenal, tidak ada gunanya dikenal oleh
seorang tokoh Pek-lian-kauw seperti totiang."
Tosu itu
mendengus. Dia maklum dari tangkisan tadi bahwa yang berada di hadapannya
adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi. Karena itu, dia
tidak mau mencari perkara dan suka mengalah. Pertama, oleh karena agaknya akan
sukar baginya untuk menandingi lawan ini, kedua karena para pimpinan
Pek-lian-kauw melarang dengan keras orang Pek-lian-kauw mencari bibit
permusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai yang amat
kuat.
"Kalau
begitu, selamat tinggal dan sampai jumpa lagi, sicu!" Tosu itu menyambar
bunga teratai putih dari baja yang tadi menjadi tempat duduknya, kemudian
sekali meloncat dia sudah lenyap dari situ, tubuhnya melayang cepat sekali
keluar dari kuil tua.
"Ayah,
mengapa ayah membiarkan si jahat itu pergi?" Kun Liong bertanya penasaran.
Ayahnya
memandangnya dengan bengis. "Kun Liong, jangan mencampuri urusan orang
lain! Mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?"
Mendengar
suara ayahnya dan melihat sikap bengis itu, Kun Liong menundukkan muka dan
menjawab lirih. "Tadinya aku hendak mencari bambu kuning, ayah..."
"Hemmm,
mencari bambu tetapi melibatkan diri dengan urusan gawat! Anak lancang, kau tak
tahu akan bahaya. Kalau tosu itu berhati kejam, apa kau kira sekarang engkau
masih hidup? Hayo lekas pulang dan minta bantuan beberapa orang untuk
mengangkut mereka yang terluka ini. Cepat!"
Kun Liong
mengangguk-angguk kemudian melarikan diri secepatnya pulang ke kota untuk
memenuhi perintah ayahnya. Yap Cong San lalu berlutut memeriksa keadaan tiga
orang itu. Mereka belum tewas, bahkan Si Cambang Melintang sudah siuman.
"Yap...
sinshe... tolonglah kami...," katanya sambil mengeluh.
Pendekar itu
mengenal mereka sebagai perwira-perwira pengawal kepala daerah, maka ia
mengangguk dan memeriksa. Kiranya di leher tiga orang itu menancap sebatang
jarum hitam. Melihat keadaan luka di sekeliling jarum yang kulitnya menghitam,
tidak ragu lagi hatinya bahwa jarum itu tentu mengandung racun yang jahat.

Di samping
dikenal mempunyai banyak orang pandai, Pek-lian-kauw juga terkenal dengan
keahlian mereka menggunakan racun. Cepat dia mencabuti jarum-jarum itu dan
kembali Si Cambang Melintang jatuh pingsan.
Tak lama
kemudian datanglah pasukan pengawal dari Ma-taijin yang terdiri dari belasan
orang. Pasukan ini dikirim sesudah ibu Kun Liong mendengar dari puteranya
mengenai peristiwa di kuil tua dan nyonya perkasa itu sendiri melaporkan kepada
kepala daerah.
Tubuh ketiga
orang perwira pengawal itu, juga mayat dua orang yang terdahulu dibunuh Loan
Khi Tosu diangkut. Yap Cong San mengikuti dari belakang setelah menyimpan tiga
batang jarum hitam. Jarum-jarum itu diperlukan untuk diselidiki racunnya
sebelum dia bisa mengobati tiga orang perwira itu, dan dia perlu berunding
dengan isterinya yang lebih ahli dalam hal racun dibandingkan dengan dia.
Setelah
memasuki kota Leng-kok, para korban itu segera diangkut ke perkemahan kepala
daerah sedangkan Cong San pulang ke rumahnya untuk berunding dengan isterinya
dan mengambil obat.
***************
"Sungguh
menjengkelkan sekali tosu itu, ibu. Sayang bahwa ayah membiarkannya pergi
begitu saja sesudah dia membunuh dua orang dan melukai tiga orang. Enak sekali
bagi tosu itu. Padahal aku yakin ayah pasti akan bisa mengalahkannya!" Kun
Liong mengomel depan ibunya.
Nyonya Yap
Cong San atau Gui Yan Cu yang masih kelihatan cantik dan muda sekali biar pun
usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, tersenyum dan menarik kedua tangan
puteranya, lalu dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
"Habis,
jika menurut pendapatmu, dia harus diapakan? Apakah ayahmu harus membunuh tosu
itu?"
Kun Liong
menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak. "Membunuh? Ayah membunuh dia?
Aihhh…! Sama sekali tidak, ibu. Bukan maksudku supaya ayah menjadi pembunuh.
Akan tetapi sedikitnya, tosu itu harus ditangkap lantas diserahkan kepada yang
berwajib agar supaya mendapat hukuman atas kejahatannya. Kalau dibiarkan saja
terlepas seperti yang dilakukan ayah, bukankah terlalu enak?"
"Husshh,
kau tahu apa, Kun Liong? Di balik peristiwa itu tentu ada hal-hal lain sehingga
ayahmu membiarkannya pergi. Kalau mendengarkan ceritamu tadi, tosu itu yang
duduk di atas sebuah bunga teratai putih dari baja, dan mendengar nyanyian
seperti yang engkau ceritakan tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Karena
itulah ayahmu ingin lepas tangan dan tidak mau terlibat."
"Ibu,
apakah Pek-lian-kauw itu?"
"Dijelaskan
juga engkau tidak akan mengerti, anakku. Pek-lian-kauw sebuah perkumpulan besar
yang menentang pemerintah."
"Apakah
ayah takut kepada Pek-lian-kauw?"
"Bukan
soal takut atau berani, akan tetapi ayahmu tidak mau terlibat pertentangan
besar itu, dan aku membenarkan ayahmu karena memang tidak ada gunanya
melibatkan diri, akan membawa akibat yang berkepanjangan dan hebat saja. Yang
penting sekali adalah bahwa engkau tidak diganggunya dan syukur demikian, tadi
hatiku sudah khawatir sekali ketika pencari kayu memberi tahu."
Percakapan
itu berhenti dengan masuknya Yap Cong San. Isterinya segera menyambut sang
suami dan bertanya, "Bagaimana dengan para korban itu?"
Yap Cong San
menggelengkan kepala, menarik napas panjang dan mengeluarkan tiga batang jarum
hitam, memperlihatkan kepada isterinya sambil berkata, "Aku tak mengenal
jarum ini, maka baru kuberi obat untuk mencegah menjalarnya racun dan kutotok
jalan darah mereka."
Gui Yan Cu
memeriksa jarum hitam, memasukkan jarum itu ke dalam mangkok putih, menuangkan
air jernih sedikit dan air itu berubah hitam. Dia mencabut tusuk sanggulnya
yang terbuat dari perak, lalu mencelupkan benda itu ke dalam air beracun. Ujung
tusuk sanggul yang putih itu kini berubah menghijau. Sesudah memeriksa dan
mencium racun itu, mata yang indah dan lebar itu terbelalak dan dia pun
berseru.
"Racun
ular senduk...!"
"Apa?
Kalau begitu... nyawa mereka takkan dapat tertolong lagi!" Yap Cong San
berkata, "Hemmm... Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw itu benar-benar
terlalu kejam."
"Memang
dia kejam!" Tiba-tiba Kun Liong berseru, "Tidak seharusnya ayah
melepaskan dia begitu saja!"
"Diam
kau! Anak kecil tahu apa?" Yap Cong San membentak.
Isterinya
memandang kepadanya, lalu menarik napas panjang dan dengan halus berkata kepada
Kun Liong, "Liong-ji, (anak Liong), ayah dan ibumu sedang sibuk, kau
pergilah bermain-main di luar dan menjaga toko kalau-kalau ada tamu datang
mencari kami."
Kun Liong
bersungut-sungut. Selalu begitu. Ayahnya demikian keras dan ibunya demikian
lunak kepadanya. Kalau saja ayahnya selunak ibunya, atau ibunya sekeras
ayahnya, dia akan mengerti dan tidak menjadi penasaran! Dia berlari ke luar dan
duduk termenung di bangku dalam toko obat.
Baru saja
anak itu keluar dan suami isteri itu sekali lagi meneliti racun jarum, Kun
Liong sudah berlari masuk lagi dan berkata, "Ada tamu utusan dari
Ma-taijin!"
Yap Cong San
beserta isterinya segera keluar dan utusan itu mengatakan bahwa kepala daerah
she Ma memanggil Yap-sinshe untuk datang menghadap. Karena maklum bahwa tentu
kepala daerah ingin melihat dia cepat-cepat mengobati tiga orang perwiranya
yang terluka, Yap Cong San segera berangkat sambil membawa beberapa macam obat
anti racun yang ada, meski pun dia tahu bahwa obat-obat itu tidak akan dapat
menyembuhkan luka yang terkena racun ular senduk.
Seperginya
Yap Cong San, melihat anaknya masih cemberut merasa tidak puas, Gui Yan Cu
merangkul puteranya dan berkata,
"Kun Liong,
jangan kau kecewa pada ayahmu. Ayahmu bersikap tepat dan benar. Biarlah
kuceritakan kepadamu tentang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itu bukan perkumpulan
orang jahat, walau pun seperti perkumpulan yang menamakan dirinya pejuang
rakyat, mereka bisa berlaku amat kejam terhadap musuh-musuh mereka. Mereka
menentang pemerintah karena di dalam anggapan mereka, pemerintah tidak baik dan
menindas rakyat, membikin sengsara rakyat. Karena itu mereka dimusuhi oleh
pemerintah yang tentu berusaha keras membasminya. Nah, ayahmu tidak ingin
melihat dirinya terlibat dalam permusuhan itu dan sikapnya itu tepat sekali.
Mengertikan engkau?"
"Ibu,
aku tidak kecewa atau menyesal kepada ayah. Aku hanya ingin melihat di dunia
ini jangan ada orang menyakiti atau membunuh orang lain dan apa bila itu
terjadi, dia harus dihukum!"
Ibunya
tersenyum dan merasa bangga. "Memang sebaiknyalah memiliki pendirian
seperti itu, anakku. Pendirian seorang pendekar yang selalu menentang
penindasan. Akan tetapi engkau harus tahu bahwa yang melakukan kejahatan itu
tentulah mereka yang lebih kuat, sedangkan yang dijatuhi atau yang menderita
tentulah mereka yang lemah. Karena itu, seorang pendekar harus menggembleng
diri sendiri agar supaya kuat..."
"Wah,
dan menjadi penindas jahat?" Kun Liong memotong.
"Hushh,
bukan begitu. Akan tetapi kalau engkau ingin menghukum si jahat, engkau harus
dapat menundukkan yang jahat bukan? Dan untuk dapat menundukkan si jahat,
engkau harus lebih kuat dari mereka, padahal mereka itu adalah orang-orang
kuat. Itulah perlunya engkau memperdalam ilmu silat dan mempergiat latihanmu,
di samping pelajaran sastra dan pengobatan."
Kun Liong
mengangguk-angguk, namun kemudian mengerutkan alisnya. "Akan tetapi aku
paling tidak suka melihat kekerasan, tidak suka melihat perkelahian, Ibu. Aku
tidak mau berkelahi, aku benci perkelahian."
"Siapa
menyuruh engkau berkelahi? Belajar ilmu silat itu bukan untuk berkelahi!"
"Ibu
tadi bilang seorang pendekar harus menentang si jahat, kalau ditentang tentu
berarti berkelahi."
"Bukan,
anakku. Perkelahian hanya terjadi antara dua pihak yang ingin mempertahankan
kepentingan diri sendiri masing-masing, ingin memperebutkan sesuatu yang baik
berupa kebenaran sendiri mau pun berupa keuntungan bagi diri sendiri. Kalau
kita membela yang tertindas dan menentang si jahat sehingga terjadi
pertandingan, itu bukanlah pertandingan namanya. Mengertikah engkau?"
Kun Liong
mengerutkan kedua alisnya, meruncingkan mulutnya, dan menggeleng kepala.
"Aku tidak mengerti, dan aku tetap tidak suka, aku tetap benci pertempuran."
Ibunya
terkesiap, memandang dengan sinar mata penuh selidik. "Liong-ji, apakah
engkau takut akan pertempuran? Takut terluka, takut mati, takut kalah?"
Sepasang
mata anak itu terbelalak memandang ibunya, penasaran dan suaranya lantang,
"Aku...? Takut...? Tidak, ibu, aku tidak takut apa pun. Aku hanya benci
akan kekerasan. Dan Pek-lian-kauw itu, kenapa menentang pemerintah? Kenapa
menganggap pemerintah menindas rakyat? Betulkah itu, ibu?"
Ibunya
menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, Liong. Yang sudah jelas, kalau ada dua
pihak bertentangan, sudah pasti sekali mereka itu saling menyalahkan, sudah
pasti mereka itu masing-masing menganggap pihak sendiri benar dan pihak sana
yang salah. Itu adalah urusan orang-orang yang murka akan kedudukan serta
kemuliaan, kita tidak perlu turut mencampurinya, maka sikap ayahmu adalah tepat
dan benar. Andai kata ayahmu melukai atau membunuh tosu itu, berarti bukan dia
seorang, melainkan kita semua terlibat dalam permusuhan dan pertentangan yang
tiada habisnya."
Sambil
bercakap-cakap menceritakan keadaan dunia kang-ouw kepada puteranya yang
mendengarkan dengan bengong dan penuh kagum, apa lagi pada saat ibunya
menyebut-nyebut nama para tokoh kang-ouw yang dianggap sebagai
pendekar-pendekar pilihan, timbullah keinginan hati Kun Liong untuk menjumpai
pendekar-pendekar itu! Sedangkan ibunya sibuk membuat campuran obat yang
diambil dari resep simpanan, sambil menanti kembalinya suaminya.
Tak lama
kemudian Yap Cong San muncul dengan wajah keruh. Begitu memasuki toko, dia
melempar diri di atas kursinya dan mengeluh, "Tetap saja tersangkut!"
"Apa
maksudmu? Apa kehendak Ma-taijin memanggilmu?" tanya isterinya.
"Aku
dituduh bersahabat dengan tosu Pek-lian-kauw!"
"Wah,
itu fitnah!" Kun Liong berteriak penasaran.
"Apa
sebabnya kau dituduh begitu?" Gui Yan Cu bertanya, sepasang alisnya
berkerut, hatinya ikut penasaran.
"Agaknya,
seorang di antara tiga perwira itu melihat pertemuanku dengan Loan Khi Tosu,
melihat betapa aku dapat menangkis tongkat tosu itu dan menyelamatkan nyawa
mereka, kemudian melihat betapa aku melepaskan tosu itu pergi tanpa bertanding
dengannya, lalu melaporkan hal ini kepada Ma-taijin. Pembesar ini menegurku,
kenapa aku yang memiliki kepandaian tidak turun tangan terhadap seorang
pemberontak yang sudah jelas melukai dan membunuh orang, apa lagi melukai tiga
orang perwira pengawal. Dia lalu bertanya apakah aku bersimpati kepada pihak
pemberontak!"
"Hemmm...
tuduhannya hanya ngawur belaka. Kemudian bagaimana?"
"Aku
menjawab bahwa aku segan bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak
orang pandai. Aku bilang bahwa aku takut..."
"Ayah
membohong! Aku tahu betul, ayah dan ibu tidak takut terhadap apa pun, terhadap
setan dan iblis pun tidak takut. Dan aku tahu, tosu itulah yang gentar
menghadapi ayah!"
"Kun
Liong, diamlah!" Ayahnya membentak marah, "Berapa kali telah
kukatakan padamu, engkau tidak boleh mencampuri urusan orang-orang tua.
Dengarkan saja dan tutup mulut, kalau tidak bisa menutup mulut, pergilah dan
jangan mendengarkan!"
"Baik,
ayah." Kun Liong menundukkan kepala dan kedua bibirnya dirapatkan masuk ke
dalam mulutnya.
"Lalu
bagaimana?" Gui Yan Cu mendesak, alisnya makin dalam.
"Dia
bilang dapat memaafkan sikapku, akan tetapi aku harus dapat menyembuhkan tiga
orang perwiranya."
"Hemm,
harus katanya? Nyawa orang berada di tangan Thian, bukan di tangan kita. Lalu
bagaimana jawabanmu?"
"Aku
menjawab terus terang bahwa racun di tubuh mereka itu adalah racun ular senduk
yang sangat berbahaya dan sukar sekali dicari obatnya dan bahwa aku akan
berusaha sekuatku."
"Bagaimana
sambutannya?"
"Dia
bilang tidak peduli diobati apa dan bagaimana asal tiga orang perwiranya itu
sembuh. Dalam kata-katanya terkandung ancaman bahwa apa bila aku gagal
mengobati, tentu dia akan mengungkit kembali urusan tosu Pek-lian-kauw
itu."
"Hemm,
pembesar itu agaknya mempunyai niat buruk. Akan tetapi kita tak perlu gelisah.
Memang amat sukar mengobati racun ular senduk sampai sembuh, akan tetapi ada
obat yang untuk sementara waktu, sedikitnya sebulan, dapat menahannya sehingga
si korban tidak akan tewas. Dalam waktu sebulan itu, kalau engkau suka minta
pertolongan ke kuil Siauw-lim-pai di mana aku mendengar disimpan banyak sekali
obat-obat yang mukjijat, kurasa mereka masih akan dapat diselamatkan."
Berseri
wajah Yap Cong San. "Bagus kalau begitu! Memang aku juga mempunyai ingatan
untuk minta pertolongan kepada para suhu di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim-pai),
akan tetapi perjalanannya pulang pergi ke sana akan memakan waktu paling cepat
setengah bulan dan tadinya aku tidak mempunyai harapan untuk menolong mereka.
Akan tetapi, kalau engkau ada obat penawar selama sebulan, bagus sekali,
isteriku!"
"Inilah
obatnya, sejak tadi telah kusediakan. Berikan kepada mereka, dimasak dengan air
lalu diminumkan, kemudian cepat-cepat berangkat ke Siauw-lim-si, tentu urusan
ini akan dapat diatasi dengan baik."
Yap Cong San
memandang isterinya dengan wajah berseri dan penuh rasa syukur.
"Engkau
memang bijaksana sekali, isteriku." Dia hendak merangkul, akan tetapi
isterinya melirik ke arah Kun Liong, tersenyum dengan kedua pipi kemerahan
sambil meruncingkan mulut, persis seperti kebiasaan Kun Liong.
"Husshhh...!"
Suaminya
teringat, mengurungkan niatnya dan Kun Liong berkata, "Ayah, aku hendak
ikut ke Siauw-lim-si!"
"Wah,
kau kira ayahmu pergi melancong ya? Keperluan ini amat penting, bukan waktunya
melancong."
Melihat
puteranya menunduk dan kecewa, Yan Cu langsung berkata, "Kun Liong, ayahmu
betul. Perjalanan ini sangat jauh dan perlu cepat-cepat. Kelak bila mana tak
ada sesuatu kepentingan, engkau akan kuajak melancong ke Telaga Barat yang
indah!"
Hiburan ini
tidak meringankan hati Kun Liong yang lalu berkata, "Ibu selalu
membenarkan ayah!" Kemudian dia berlari ke luar.
Suami isteri
yang saling mencinta itu kini tidak malu-malu lagi untuk saling berpelukan dan
berciuman mesra.
"Dia
tidak tahu betapa engkau mencintaku, tentu saja engkau selalu membenarkan
aku!" Yap Cong San berbisik sambil mengelus rambut kepala isterinya.
"Ahh,
dan kau jangan terlalu keras kepadanya. Kasihan dia, tidak punya
saudara..."
"Aihh,
apakah engkau ingin sekali dia mempunyai adik?" Si suami menggoda, akan
tetapi si isteri berkata sungguh-sungguh,
"Siapa
yang tidak ingin mempunyai seorang anak perempuan yang mungil sebagai adik Kun
Liong?"
"Mudah-mudahan
Kwan Im Pouw-sat (Dewi Welas Asih) akan memberkahi kita dengan seorang anak
perempuan. Apa bila urusan ini sudah selesai, mari kita bersembahyang di Kuil
Kwan Im Bio, kemudian kita menyewa perahu di telaga semalam suntuk kita berdua
berpengantin baru di perahu, siapa tahu Kwan Im Pouwsat akan kebetulan
bersenang hati memberi anugerah..."
"Husshhh,
tidak tahu malu! Sudah berapa umur kita, masih mau berpengantin baru! Kau lekas
berangkatlah. Urusan antara kita baru akan terlaksana kalau urusan Ma-taijin
sudah beres dan berhasil baik. Berangkatlah, dan hati-hatilah di jalan,
suamiku. Dan sampaikan hormatku kepada para suhu di Siauw-lim-si, terutama
sekali kepada locianpwe (orang tua gagah) Thian Kek Hwesio ketua
Siauw-lim-pai."
Thian Kek
Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai yang baru, menggantikan kedudukan Tiong Pek
Hosiang yang sudah mengundurkan diri karena merasa bahwa dia telah melakukan
perbuatan sesat pada waktu mudanya sehingga dia tak ingin mengotori nama baik
Siauw-lim-pai.
Yap Cong San
dan isterinya sangat menghormat serta menjunjung tinggi hwesio tua ini, tidak
hanya karena Cong San adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai dan karena hwesio
itu adalah ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi terutama sekali karena hwesio
itulah yang dulu telah berjasa mengingatkan Cong San dengan nasehat-nasehat
yang amat berharga saat pendekar ini hampir mengalami keretakan rumah tangganya
akibat cemburu sehingga dia sadar akan kekeliruannya.
Hal itu
sudah dijelaskan oleh Cong San kepada isterinya sehingga Yan Cu juga merasa
berhutang budi kepada hwesio tua yang dianggapnya sudah mempunyai jasa besar
akan kebahagiaan rumah tangganya, berarti kebahagiaan hidupnya pula.
Pada hari
itu juga Cong San berangkat menuju Kuil Siauw-lim-pai setelah dia mengobati
tiga orang perwira dengan obat penawar buatan isterinya. Dengan menunggang
kuda, dia dapat melakukan perjalanan cepat dan seperti yang telah dia harapkan
Thian Kek Hwesio menerima bekas sute (adik seperguruan) itu dengan amat ramah
dan segera memberikan obat yang dibutuhkan Cong San setelah mendengar penuturan
bekas sute-nya.
"Yap-sicu,
engkau sudah bersikap benar sekali. Pinceng (aku) merasa berterima kasih bahwa
sicu masih menjaga akan nama Siauw-lim-pai sehingga tidak melibatkan diri dalam
pertentangan yang buruk itu."
"Ahh,
suheng mengapa berkata demikian? Ahh…, maaf, losuhu (sebutan pendeta), teecu
(murid) sampai lupa menyebutmu suheng (kakak seperguruan). Mengapa losuhu
bersikap sungkan? Sudah tentu sekali teecu menjaga nama Siauw-lim-pai, bukan
hanya karena teecu adalah bekas anak muridnya, namun terutama sekali karena
Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan besar dan mulia, tidak selayaknya kalau
sampai terseret ke dalam pemberontakan Pek-lian-kauw."
Setelah
bermalam satu malam dan melewatkan waktu semalam untuk melepaskan rindu
terhadap bekas saudara-saudara seperguruannya, dan mendengar bahwa sudah selama
bertahun-tahun bekas gurunya, yaitu Tiong Pek Hosiang, tidak pernah keluar dari
Ruang Kesadaran, pada keesokan harinya Cong San berpamit dan kembali secepatnya
ke kota Leng-kok.
***************
Kun Liong
duduk dengan tenang di dalam kamarnya, tekun membaca kitab kitab kuno (lama)
yang bertumpuk di atas mejanya. Seperti sudah lajim pada jaman itu, setiap
orang pelajar sastra yang sesungguhnya mempelajari membaca dan menulis,
diharuskan pula menghafal isi kitab-kitab lama.
Kitab-kitab
itu adalah kitab-kitab filsafat yang isinya sangat berat dan sama sekali bukan
‘makanan’ otak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun seperti Kun Liong!
Bukan hanya kitab Su-si Ngo-keng, yaitu kitab yang mengandung pelajaran Nabi
Khong Cu, akan tetapi bahkan oleh ayahnya dia disuguhi kitab Agama Buddha dan
kitab To-tik-keng dari Agama To!
Karena sudah
hampir hafal semua akan isi kitab-kitab itu, maka Kun Liong membalik-balik
lembaran kitab itu dengan acuh tak acuh. Dia diharuskan berdiam di kamar karena
ayah bundanya sedang sibuk membuatkan obat untuk tiga orang perwira yang
keracunan. Obat Siauw-lim-si yang katanya mesti dicampur dengan ramuan lain.
Agar jangan mengganggu, maka dia diharuskan membaca kitab-kitab itu seorang
diri di dalam kamarnya.
Hati Kun
Liong merasa kesal karena bosan. Hampir saja dibantingnya kitab-kitab itu. Apa
perlunya menghafal semua isi kitab lama itu? Apa perlunya mengasah otak
mencari-cari dan menafsirkan makna dari segala kata-kata yang diucapkan dan
dituliskan manusia di jaman dahulu kala? Apa gunanya mengerti akan isi hati
manusia kuno kalau tidak dapat mengerti akan isi hati sendiri?
"Apa
gunanya?" Kun Liong mengeluh dan melemparkan kitab-kitab itu ke atas meja.
"Apa gunanya kalau sesudah orang hafal akan seribu satu macam ujar-ujar
kebatinan namun tidak ada seorang pun melaksanakan sebuah pun dalam kehidupan
sehari-hari?"
Ucapan Kun
Liong ini timbul dari lubuk hatinya karena hampir setiap hari ia menyaksikan
kenyataan-kenyataan akan adanya pertentangan dan perlawanan antara isi
ujar-ujar dari sikap serta perbuatan manusia. Meski ucapan ini keluar dari
mulut seorang kanak-kanak yang mungkin bukan menjadi hasil pemikiran mendalam,
tetapi membuat kita termenung.
Memang
sesungguhnyalah, apa gunanya semua itu apa bila kita melihat betapa semua
pelajaran kebatinan dihafal oleh orang sedunia sejak kebudayaan berkembang?
Ribuan tahun orang mengikuti dan menghafalnya, berlomba keras dan bagus saat
menyanyikan ujar-ujar kuno itu.
Semua orang
hafal akan ujar-ujar yang berbunyi bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua
manusia adalah saudara’, namun apa gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata
hampa ini bila sehari-hari tampak kenyataan hidup yang berlawanan? Pada
kenyataannya, yang dianggap ‘saudara’ hanya orang-orang yang menguntungkan
kita, yang segolongan dengan kita, sealiran kepercayaan, seperkumpulan, sesuku,
sebangsa dengan kita! Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat
bahwa si pembesar dijilat, si hartawan dihormat, si pandai dipuji-puji,
sedangkan si kecil ditekan, si miskin dihina dan si bodoh dimaki?
Makin banyak
pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia budiman, semakin banyak
timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik, ingin dirinya dianggap
seperti manusia budiman. Kita selalu melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu
yang dapat dipelajari!
Melakukan
kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah perbuatan yang palsu, dipaksakan, dan
diikuti pamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi), karenanya
munafik! Kebaikan harus keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa
kekhawatiran, tanpa adanya keinginan di balik itu, tanpa pamrih, bahkan tanpa
disadari bahwa kita sedang berbuat baik! Dapatkah rasa kasihan dipelajari atau
pun dilatih? Dapatkah rasa haru dipelajari? Dapatkah orang belajar mencinta?
Kalau dipelajari maka palsulah itu!
Kalau kita
berbuat kebaikan supaya dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar
dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan
dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang
terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan,
haruslah wajar dan asli.
Yang asli
dan wajar itu selalu benar dan indah. Apa bila diperkosa, diubah dengan paksa,
maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan. Menginsyafi dan
menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke arah lenyapnya
keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan maka keindahan tercipta.
Perbuatan
buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan supaya dirinya baik dengan
jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya tidak akan
membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa sayang diri,
jadi tiada bedanya dengan keburukan. Dimana ada keburukan, di sana kebenaran,
kebaikan dan keindahan tak akan muncul. Yang terpenting adalah rnengenal diri
pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-keburukannya, cacat-cacatnya,
menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan bukan pura-pura, maka keburukan akan
tiada! Kalau keburukan tiada, dengan sendirinya yang ada hanyalah kebenaran,
dan keindahan.
Kun Liong
bersungut-sungut. Sudah dua hari ayah bundanya sibuk mempersiapkan obat untuk
perwira yang terluka. Mengapa ayah ibunya demikian sibuk mengurus ketiga orang
perwira sehingga tak mempedulikannya, bahkan sudah beberapa kali menolak
undangan orang-orang untuk memeriksa keluarga yang sakit?
"Ayah
dan lbu pilih kasih! Apakah karena yang memerintahkan adalah Ma-taijin, seorang
pembesar, dan karena itu undangan orang-orang kampung tak dihiraukan? Apakah
ayah dan ibu sudah menjadi orang-orang mata duitan?
“Ihhh...
bodoh kau!" Ia menampar dahi sendiri, merasa betapa tidak baik jalan
pikirannya terhadap ayah bundanya.
Seekor
anjing berbulu putih memasuki kamarnya. Wajah Kun Liong yang tadinya muram itu
kini berseri. Anjing itu bagus sekali, tubuhnya kecil seperti kucing, bulunya
tebal putih seperti kapas, ekornya pendek dan ujungnya mekar, sepasang matanya
berwarna kuning dan bergerak-gerak serta mulutnya yang kecil mengeluarkan salak
lucu.
"Pek-pek
(Si Putih) ke sinilah...!"
Akan tetapi
anjing kecil itu bagaikan menggodanya, mendekat akan tetapi kalau hendak
ditangkap, meloncat dan lari menjauh. Beberapa kali Kun Liong berusaha
menangkapnya, akan tetapi anjing itu gesit sekali dan selalu dapat mengelak
dengan loncatan-loncatan yang lucu, melarikan diri ke kolong meja, bangku dan
ranjang membuat Kun Liong payah mengejarnya dan kehabisan akal. Kalau anjing
yang bertubuh kecil itu menyusup-nyusup ke bawah kolong, mana bisa dia mengejar
dan menangkapnya?
"Pek-pek,
lihat ini kuberi roti!"
Anjing itu
mendengus-dengus dan menggerak-gerakkan ekornya yang pendek, kemudian segera
menghampiri Kun Liong, menerima sepotong roti kering itu dengan mulutnya, lalu
memakannya dengan ekor bergoyang dan tidak lari lagi ketika Kun Liong
merangkulnya.
"Kau
memang nakal! Kalau tidak diberi hadiah tidak mau mendekat!" Kun Liong
berkata, lalu membelitkan kain tilam mejanya pada pinggang anjing itu.
"Nah, pergilah dan larilah sekarang kalau bisa!"
Dia
memegangi ujung kain dan tentu saja anjing kecil itu tidak bisa lari lagi. Akan
tetapi dia pun agaknya sudah tidak ingin lari lagi setelah diberi roti, hanya
terus mengeluarkan bunyi ngak-nguk minta lagi karena sepotong roti tadi sudah
habis.
Karena
merasa kesepian dan bosan, timbul kenakalan Kun Liong untuk mempermainkan
anjing peliharaan keluarga itu. Sisa rotinya dia berikan semua kepada Si Putih
dan dia lalu mengambil kaleng-kaleng kosong dan sebuah kelenengan diikatkan
pada ekor dan leher anjingnya.
Setelah
anjing itu menghabiskan semua sisa roti, Kun Liong mengajaknya bermain-main.
Dia lari ke sana-sini sambil memanggil-manggil. Anjing itu segera mengejarnya
dan tentu saja kaleng-kaleng kosong dan kelenengan yang bergelantungan pada
leher dan ekornya mengeluarkan bunyi gaduh.
Kun Liong
tertawa dan anjing itu menjadi bingung dan ketakutan. Agaknya dia mengira bahwa
ada sesuatu yang mengejarnya dari belakang, sesuatu yang menakutkan karena
mengeluarkan suara gaduh. Beberapa kali dia menoleh dan berusaha menggigit
ekornya yang diganduli kaleng-kaleng kosong, akan tetapi gerakannya membuat
kaleng-kaleng itu terseret dan mengeluarkan suara sehingga anjing itu terkejut
dan melompat ke depan.
Tentu saja
setiap lompatannya membuat kaleng-kaleng itu terbanting dan makin gaduh
suaranya. Dengan ketakutan anjing itu meloncat dan berlari, keluar dari kamar
Kun Liong diikuti suara ketawa anak itu yang segera mengejar.
Makin
kencang lari anjing itu, makin keras pula suara kelenengan dan kaleng-kaleng
yang ikut terseret itu, dan makin takutlah binatang itu yang mengeluarkan suara
ngak-nguk dan berlari menabrak sana-sini. Mula-mula Kun Liong merasa gembira
sekali, mengejar sambil tertawa-tawa, akan tetapi ketika dia melihat anjing itu
memasuki kamar obat di ruangan belakang, dia menjadi terkejut sekali.
"Heiii!
Pek-pek... tidak boleh ke situ...! Hayo keluar kau...!"
Dia mengejar
ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu, siap menerima omelan ayahnya yang
tentunya akan marah-marah. Akan tetapi kamar itu kosong, agaknya ayah bundanya
sedang beristirahat di ruangan depan setelah dua hari sibuk di dalam kamar obat
itu.
"Pek-pek...
mari sini...!"
"Pranggg...
prakk...!"
Anjing itu
meloncat ke atas meja, menabrak dua buah guci yang terletak di atas meja
sehingga dua buah guci itu jatuh dan pecah, seluruh isinya tumpah.
"Aduh,
celaka...!" Kun Liong berseru dengan mata terbelalak dan muka berubah
pucat.
"Haiii,
suara apa itu...?"
Mendengar
seruan suara ayahnya, Kun Liong cepat menyelinap dan bersembunyi di balik
gulungan tirai. Yap Cong San berlari masuk dari kamar yang menembus ruangan
tengah.
"Wah...
sungguh celaka... obatnya tumpah semua...!"
Pendekar itu
cepat mengambil dua buah guci dan dengan hati-hati dia menampung isinya yang
tinggal sedikit. Ada pun Pek-pek telah keluar dari kamar itu melalui jendela.
Setelah menaruh obat yang tinggal sedikit itu ke dalam guci lain, Cong San lalu
menjenguk ke luar jendela.
"Hemmm...
Pek-cu yang menumpahkannya. Dia ketakutan diganduli kaleng kosong dan
kelenengan. Haiii... Kun Liong..." Dia memanggil dan meloncat keluar dari
jendela untuk menangkap Pek-pek.
Kun Liong
menggigil. Tidak mungkin dia menyangkal lagi. Tentu ayahnya mengerti siapa yang
menjadi biang keladi tumpahnya obat itu dan tentu sekali ini ayahnya tidak
hanya mengomel saja, melainkan telapak tangan ayahnya akan ikut pula beraksi.
Entah pantat atau telinganya, yang jelas dia akan menjadi korban hukuman,
bahkan sekali ini ibunya pun akan marah kepadanya!
Ngeri
menghadapi semua itu, terutama sekali menghadapi kemarahan ibunya yang tentu
akan menyakitkan hatinya, Kun Liong berindap-indap keluar dari kamar obat,
melalui pintu samping dan melarikan diri keluar dari rumah, terus berlari ke
luar kota dan memasuki hutan.!
***************
Selama dua
hari dua malam Kun Liong melarikan diri, hanya berhenti bila kakinya sudah
tidak kuat lagi berlari. Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa sekali,
dibayangi rasa takut kalau-kalau ayahnya melakukan pengejaran.
Oleh karena
sekali ini dia melakukan perjalanan dibayangi rasa takut, maka jauh bedanya
dengan perjalanannya masuk keluar hutan pada waktu dia pergi mencari bambu
kuning dulu. Kini dia tidak lagi dapat menikmati segala keindahan yang
terbentang di depannya.
Perutnya
hanya diisi kalau sudah tidak sanggup menahan lapar, diisi apa saja yang dapat
ditemukan dalam hutan. Buah-buah, daun-daun muda, akar-akaran dan kadang-kadang
kalau dia berhasil menangkap kelinci dengan sambitan batu, dapat juga dia makan
daging kelinci.
Untung
baginya bahwa pada waktu itu pemerintah dikendalikan oleh tangan Kaisar Yung Lo
yang amat keras. Kaisar ini terus berusaha memperbaiki keadaan negara dan
rakyat, dengan memberantas kejahatan, membasmi perampok-perampok sehingga pada
waktu itu tak ada perampok yang berani muncul. Kalau tidak demikian keadaannya,
sudah pasti sebelum lewat sehari menjelajahi hutan-hutan itu, Kun Liong sudah
akan bertemu dengan perampok.
Harus diakui
bahwa Kaisar Yung Lo yang berhasil merebut kedudukan Kaisar dari tangan
keponakannya sendiri, yaitu Kaisar Hui Ti, sudah melakukan banyak usaha keras
untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Pertama, untuk menghindarkan
pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh pembesar-pembesar korup sebagai
sisa-sisa kaki tangan pemerintah yang lalu, ibu kota yang tadinya berada di
Nanking dipindahkannya ke Peking. Di kota itu oleh Kaisar Yung Lo didirikan
bangunan-bangunan yang luar biasa besar dan indahnya, yang gilang-gemilang
sehingga menurut sejarah tidak ada taranya di jaman itu.
Di samping
pembangunan yang mengandung seni bangunan megah itu ia pun menyuruh susun,
perbaiki dan perkuat bangunan Tembok Besar di sebelah utara. Tembok besar ini
dimulai pembangunannya pada abad ke dua sebelum tarikh Masehi oleh Kaisar Chin
She dari Kerajaan Cin yang kemudian sering mengalami perbaikan-perbaikan selama
sejarah berkembang. Maksud pertama dari pembangunan Tembok Besar ini adalah
untuk dapat mencegah serbuan-serbuan bangsa asing dari utara yang semenjak
dahulu merupakan ancaman.
Selain
memerintah untuk memperbaiki dan memperkuat Tembok Besar yang panjangnya lebih
dari tiga ribu lima ratus kilometer itu, juga Kaisar Yung Lo melanjutkan
pekerjaan besar membuat Terusan Besar yang dimulai penggaliannya oleh para
kaisar Mongol di jaman Kerajaan Goan-tiauw yang lalu. Terusan ini menghubungkan
Sungai Yang-ce dan Sungai Huang-ho, lalu terus ke utara hingga dekat kota raja
Peking. Untuk pembangunan-pembangunan yang hebat itu tentu saja dibutuhkan
banyak sekali biaya-biaya dan tenaga manusia, namun dengan kekerasan, pekerjaan
raksasa itu dapat juga diteruskan.
Kaisar Yung
Lo tidak hanya mengusahakan kemajuan pembangunan-pembangunan saja, akan tetapi
juga perdagangan dengan luar negeri. Untuk keperluan ini maka harus dicari
hubungan dengan negara-negara baru di seberang lautan dan dia memerintahkan
kepada seorang laksamana yang terkenal amat sakti dan pandai, yaitu The Hoo...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment