Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 02
PADA TAHUN
1405 mulailah The Hoo dengan pelayarannya yang terkenal, dengan armada yang
kuat dan didampingi pembantu-pembantu yang sakti, Ma Huan, tokoh Islam yang
sangat pandai dan sakti, Tio Hok Gwan, pengawal pribadinya yang lihai bukan
main, dan masih banyak lagi jago-jago silat yang ahli. Armada ini menjelajah
sampai ke Indocina, Sumatera, Jawa, India, Sailan dan sampai ke pantai Arab!
Tentu saja
tidak semua usaha Kaisar ini berhasil, bahkan usahanya memperkembangkan
kebudayaan serta kesusastraan menimbulkan banyak kesempatan untuk berbuat
korupsi. Akan tetapi harus diakui bahwa banyak pula hasilnya, di antaranya
Tembok Besar dan juga Terusan Besar yang selesai dalam waktu sepuluh tahun,
serta bangunan-bangunan lain di samping hubungan dengan negara-negara asing
baru di sebelah selatan.
Keamanan
perjalanan Kun Liong melalui hutan-hutan pun merupakan hasil dari usaha
pemerintah menekan kejahatan. Tetapi, apakah lenyapnya para perampok dan maling
itu betul-betul dapat dianggap sebagai hasil baik? Sulit untuk dikatakan secara
pasti, karena lenyapnya kejahatan-kejahatan kasar itu terganti korupsi yang
merajalela di kota. Apakah bedanya itu? Hanya cara yang kasar diganti oleh cara
yang halus! Semua perbuatan itu, baik yang kasar mau pun yang halus, terdorong oleh
rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang menyenangkan, dan takut akan
mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Pada hari ke
tiga Kun Liong keluar dari hutan terakhir, menuruni lembah gunung dan tiba di
luar sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali dan timbul harapannya di dalam
dusun itu. Akan tetapi saat melihat dua orang anak laki-laki pengemis berkelahi
memperebutkan sepotong roti kering yang kotor, Kun Liong berhenti dan cepat
melerai.
"Eh,
ehh, kenapa berkelahi hanya untuk sepotong roti kering yang kotor?" Dia
mencela.
Dua orang
anak laki-laki berpakaian kotor dan lapuk itu berhenti berkelahi ketika
tiba-tiba roti itu sudah terampas oteh Kun Liong. Mereka itu sebaya dengan Kun
Liong, pakaian dan sepatu mereka sudah koyak-koyak. Yang seorang berkepala
gundul sedangkan yang ke dua amat kurus dan pucat. Kini keduanya menghadapi Kun
Liong dengan mata melotot marah.
"Kembalikan
rotiku!" Si Gundul berteriak.
"Tidak,
itu rotiku, hasilku mengemis di dusun, dia mau merampasnya!" teriak Si
Kurus.
"Dia
mendapatkan dua potong, sudah makan sepotong, sepantasnya yang sepotong itu
diberikan kepadaku!" Si Gundul membantah.
"Perutku
masih lapar!"
Kun Liong
memandang roti di tangannya. Hanya roti kering yang sudah tengik sebesar
kepalan tangannya dan sudah kotor pula. Roti begini saja diperebutkan. Tadinya
ia ingin membuang roti itu, akan tetapi mendengar keluhan mereka bahwa mereka
lapar sekali dan sejak kemarin belum makan dia merasa kasihan sekali.
"Heiii,
agaknya dia sendiri mau merampas rotinya!" Si Kurus berseru.
"Kurang
ajar. Hayo pukul anak ini!" teriak Si Gundul dan mereka berdua yang
tadinya berkelahi memperebutkan roti kering, kini maju mengerojok Kun Liong
dengan nekat!
Kun Liong
adalah anak suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu
silat, maka dengan mudah dia mengelak dan dua kali kakinya bergerak, membabat
kaki mereka, maka robohlah dua orang anak itu. Mereka mengaduh, akan tetapi
bangkit lagi dan makin marah.
"Sabarlah,
siapa yang ingin merampas roti tengik ini? Aku hanya melerai, dan agar kalian
berdua tidak berkelahi. Roti sekecil ini tidak akan dapat mengenyangkan perut,
perlu apa diributkan dan dijadikan sebab perkelahian antara teman sendiri? Nah,
sekarang kubagi dua. Makanlah dan tak perlu berkelahi!"
Kun Liong
membagi roti menjadi dua potong dan memberikan kepada mereka, seorang sepotong.
Mereka memandang dengan mata terbuka lebar, akan tetapi segera menerima
potongan roti itu dan memakannya dengan lahap. Tentu saja sekali telan sepotong
kecil roti itu lenyap ke dalam perutnya yang kosong.
"Kau
siapa?" tanya Si Gundul dengan mulut bergerak-gerak, agaknya masih
merasakan sedapnya roti tadi dan masih ingin lagi.
"Kau
tentu bukan anak sini, dan bukan jembel," kata Si Kurus sambil memandang
Kun Liong dengan sepasang matanya yang lebar. Anak ini begitu kurusnya sehingga
matanya kelihatan besar sekali.
"Aku
seorang pelancong," kata Kun Liong yang enggan memperkenalkan diri karena
jika dia memperkenalkan namanya, tentu akan mudah bagi ayahnya untuk
mencarinya. "Akan tetapi aku pun lapar sekali, mungkin lebih lapar dari
pada kalian."
Dua orang
anak yang tadi berkelahi itu saling pandang. "Kalau begitu, kenapa kau
tidak makan roti tadi? Engkau sudah dapat merampasnya dari kami."
"Uhhhh,
siapa sudi makan roti rampasan? Lebih baik mati kelaparan!" Kun Liong
berkata cepat. Tapi dua orang anak itu tentu saja tidak pernah mendengar
tentang kebijaksanaan seperti itu.
"Bodoh
sekali! Kenapa lebih baik mati kelaparan?" Si Kurus bertanya.
"Perut
lapar sungguh amat menyiksa, seperti sekarang ini," Si Gundul kemudian
berkata pula sebagai tanggapan yang menentang pendapat Kun Liong tadi.
"Jika
yang dirampas itu kelebihan makanan, masih tak mengapa. Akan tetapi merampas
roti dari orang yang kelaparan juga, benar-benar amat rendah dan hina! Di
antara teman senasib seharusnya tolong-menolong, kalau mendapat rejeki
seharusnya saling memberi dan membagi."
Kembali dua
orang anak itu saling pandang, agaknya mereka berdua bisa membenarkan pendapat
ini dan keduanya mengangguk-angguk.
"Lapar
benarkah engkau?" Si Kurus bertanya, memandang Kun Liong dengan iba karena
dia sudah terlalu sering merasakan betapa perih dan nyerinya perut kalau lapar.
"Tentu
saja aku lapar, semenjak kemarin hanya mendapatkan daun-daun muda di dalam
hutan itu, sedikit pun tidak ada buahnya, dan aku juga tidak melihat seekor pun
binatang di dalam hutan itu. Sialan benar!"
"Kalau
begitu, mari kita mengemis makanan di dusun. Agaknya engkau masih tidak biasa
kelaparan, bisa jatuh sakit.
“Kalau perut
kami sudah kebal..." kata si Gundul.
Kun Liong
mengangkat hidungnya sambil meruncingkan mulutnya. "Uhhh, tidak sudi aku
mengemis! Mengemis tanda malas!"
"Malas...?"
Hampir berbareng dua orang anak itu bertanya.
"Ya,
malas. Dan kalian ini malas sekali. Untuk mengisi perut, harus dicari, bukan
cukup dengan minta-minta saja."
"Bagaimana
mencarinya?" Mereka bertanya lagi.
"Bodohnya!
Mencari, bekerja membantu orang lain dengan upah pembeli nasi."
"Kalau
tidak ada yang suka mempekerjakan kami?"
"Mencari
sendiri, mengumpulkan kayu kering untuk dijual, menangkap binatang hutan. Eh,
benar-benar kalian bodoh."
"Bagaimana
caranya menangkap binatang hutan? Mengejar seekor kelinci pun amat sulit dan
tidak mungkin bisa ditangkap," kata Si Kurus.
Wajah Kun
Liong bersinar mendengar kata-kata ‘kelinci’.
"Di
mana ada kelinci? Tahukah kalian daerah yang banyak binatangnya? Hayo, akan aku
perlihatkan kalian bagaimana menangkapnya dan kita makan daging kelinci
panggang! Atau kijang, atau apa saja yang ada."
"Binatang
di hutan-hutan sudah habis diburu orang-orang dewasa. Yang kulihat hanya
tinggal ular-ular saja di hutan sebelah timur itu," kata Si Gundul.
"Ular?
Daging ular pun enak sekali!" kata Kun Liong gembira.
"Hah?"
Kedua orang anak itu terbelalak.
Akan tetapi
Kun Liong sudah menyambar tangan mereka, diajak berlari sambil berkata,
"Hayo tunjukkan aku di mana ada ular!"
Tiga orang
anak laki-laki itu berlarian memasuki sebuah hutan yang pohonnya jarang. Tak
lama kemudian mereka melihat seekor ular yang kulitnya berwarna hijau, membelit
dahan pohon yang rendah. Melihat ular ini, Kun Liong menjadi girang sekali.
"Wah
ular itu beracun tetapi dagingnya sedap sekali, hangat di perut dan rasanya
gurih manis kalau dipanggang!"
Dua orang
temannya terbelalak dan tidak berani maju mendekat ketika mendengar bahwa ular
itu beracun. Kun Liong mengambil sebatang ranting, memegangnya dengan tangan
kiri, menghampiri ular itu dan menggunakan rantingnya untuk mengusirnya.
Ular itu
mendesis marah, apa lagi ketika perutnya disogok-sogok oleh ranting dan
tiba-tiba kepalanya bergerak meluncur dan menggigit ranting yang dipegang
tangan kiri Kun Liong. Anak ini cepat menggerakkan tangan kanan, menyambar ke
arah kepala ular kemudian menangkap lehernya, mencengkeram dengan cara seorang
ahli sehingga ular itu tidak mampu melepaskan diri.
Tubuh ular
itu berkelojotan menggeliat dan mulai membelit lengan Kun Liong. Akan tetapi jari-jari
tangan kiri Kun Liong sudah mengetuk tengkuk ular itu beberapa kali dan
tiba-tiba ular itu menjadi lemas tak berdaya sama sekali.
"Nah,
sudah jinak. Ada yang membawa pisau?"
"Aku
mempunyai pisau kecil," Si Gundul berkata, mengeluarkan sebatang pisau
kecil dari saku bajunya yang rombeng.
"Lekas
kuliti dia. Aku mau mencari beberapa ekor lagi."
"Ihhh,
aku... aku tidak berani!" Si Gundul berkata.
"Aku
takut digigit," Si Kurus menyambung.
"Bodoh.
Dia sudah tidak dapat menggigit lagi. Penggal lehernya di belakang warna hitam
itu. Racunnya berkumpul di sana dan dari tempat itu ke bawah tidak ada
racunnya. Buka kulitnya bagian perut ke belakang, kemudian tarik ekornya, tentu
kulitnya terlepas."
"Kau
saja yang mengulitinya," kata Si Gundul ragu-ragu.
"Dan
kau yang mencari ular lain?"
"Aihh,
siapa berani? Seekor ini pun cukuplah, untuk kau sendiri."
"Dalam
keadaan kelaparan seperti ini, tiga ekor ular pun akan habis olehku sendiri,
belum untuk kalian berdua!" kata Kun Liong. "Lekas kerjakan, aku akan
pergi mencari lagi." Dia lalu pergi memasuki semak-semak belukar,
meninggalkan dua orang anak jembel yang masih saling pandang itu.
Ketika Kun
Liong kembali ke tempat itu dan membawa empat ekor ular lagi, ada yang hijau
seperti ular pertama, ada yang hitam, ada yang belang dan kemerahan, semuanya
masih hidup, akan tetapi sudah lemas seperti ular pertama, dua orang anak itu
terbelalak keheranan dan juga penuh kagum. Mereka sendiri dengan penuh rasa
takut memaksakan diri dan akhirnya setelah dengan susah payah berhasil juga
menguliti ular pertama.
Melihat
betapa daging ular banyak yang terpotong, Kun Liong menjadi tidak sabar, minta
pisau itu dan menguliti ular-ular itu dengan cepat dan mudah. Mula-mula
dipenggalnya leher ular, kemudian kulit pada bagian leher dibuka sedikit,
dengan pisau dia menusuk daging sesudah menyingkap kulitnya bagian leher, terus
menancapkan ujung pisau pada batang pohon sehingga tubuh ular tergantung.
Setelah itu, dia ‘melepaskan’ kulit ular itu dari tubuh ular, seperti orang
melepas kaos kaki dari kakinya saja!
Sibuklah dua
orang anak jembel itu membuat api dengan batu api. Biar pun mereka tadi merasa
jijik melihat ular-ular itu, sesudah dikuliti dan tampak dagingnya yang putih
bersih, melihat pula cara Kun Liong menguliti ular demikian mudah dan biasa,
timbul keinginan tahu mereka untuk mencicipi daging ular panggang.
Setelah
daging ular masak dan dua orang anak itu mencoba mencicipinya, mereka lantas
tercengang dan menjadi girang sekali, menyerbu daging ular dengan lahapnya,
terutama sekali Si Gundul.
"Wah,
benar gurih dan manis!" serunya girang.
"Lezat
sekali, belum pernah aku makan daging seenak ini!" kata Si Kurus.
Diam-diam
hati Kun Liong merasa terharu menyaksikan dua orang anak itu. Semuda dan
sekecil itu sudah harus mengalami hidup kelaparan dan menderita sengsara!
"Mengapa
kalian menjadi pengemis? Orang tua kalian di mana?"
"Orang
tua kami sudah mati semua, menjadi korban ketika terjadi perang, pada waktu
pemerintah melakukan pembersihan dan membasmi penjahat-penjahat," jawab Si
Kurus.
"Ehh,
apakah orang tua kalian penjahat?"
Si Gundul
menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan. Aku dan dia tetangga di sebuah
dusun di seberang, di balik gunung itu. Ketika terjadi perang antara gerombolan
perampok melawan pemerintah, kami menjadi korban. Apa bila tidak mau membantu
perampok dan menyembunyikan mereka, maka kami dibunuh perampok. Tapi bila
membantu perampok kami dibunuh tentara pemerintah. Orang tua kami dicurigai
karena ada perampok yang bersembunyi di rumah kami, maka mereka dibunuh semua.
Kami yang masih kecil tidak dibunuhnya, dibiarkan hidup."
Hemm,
dibiarkan hidup agar supaya menjadi pengemis yang terlantar, pikir Kun Liong
dan hatinya yang pada dasarnya memang tidak suka dengan kekerasan itu kini
semakin membenci perang dan pertempuran!
"Mari,
kalian kuajari cara menangkap ular agar supaya kalian dapat mencari
penghasilan. Ular-ular berbisa itu kalau kalian bawa ke kota dalam keadaan
hidup lantas menjualnya kepada rumah makan, tentu akan menghasilkan uang
lumayan. Juga rumah-rumah obat membutuhkan racunnya untuk obat."
Dua orang
anak itu girang sekali. Sehari itu Kun Liong menghabiskan waktunya di dalam
hutan yang banyak ularnya untuk mengajari dua orang teman barunya cara
menangkap ular. Oleh karena kedua orang anak itu belum cekatan dan masih kurang
berani, maka pertama-tama sebelum mereka tangkas mempergunakan tangan, dia
mengajarinya untuk menangkap ular dengan kayu yang ujungnya bercabang, menjepit
leher ular dengan kayu bercabang itu. Dia memberi tahu akan obat daun-daun dan
akar-akar yang harus diminum airnya dan digosok-gosokkan kepada kedua lengan
agar dapat kebal terhadap gigitan ular berbisa yang biasa.
Akhirnya,
dengan bantuan kayu yang ujungnya bercabang, kedua orang anak itu berhasil juga
menangkap masing-masing seekor ular hijau, dan atas petunjuk Kun Liong mereka
berhasil pula ‘melumpuhkan’ ular dengan menekan dan mengetuk tengkuk ular itu.
Bukan main senangnya hati mereka. Mereka tidak takut kelaparan lagi, biar pun
kalau terpaksa setiap hari makan daging ular.
"Kalau
makan daging ular terus-menerus kalian bisa celaka, bisa sakit," kata Kun
Liong. "Daging ular mengandung obat dan hawa panas, boleh dimakan sekali
waktu, tapi bukan menjadi makanan utama seperti ayam hutan saja!"
"Mengapa
ayam hutan?"
"Ayam
hutan paling suka makan ular dan kelabang!" jawab Kun Liong.
"Malam
ini kau tidur di mana?" Si Gundul bertanya sambil mempermainkan ularnya
yang sudah lumpuh.
"Entah,
apakah bisa bermalam di rumahmu?"
"Wah,
dia mana punya rumah!" kata Si Kurus. "Orang-orang seperti kami ini,
boleh tidur di emper orang saja sudah untung, kadang-kadang diusir dan
ditendang bersama makian."
"Eh,
kita nonton saja, ayo! Di dusun ada keramaian, ada pesta. Siapa tahu kita
kebagian rezeki sisa masakan-masakan yang enak!" kata Si Gundul.
"Ihh!
Dasar kau ini tulang jembel!" Kun Liong mencela. "Sudah diajari
bekerja menangkap ular masih mengharapkan sisa makanan orang!"
Ditegur
demikian, Si Gundul segera menunduk, tidak berani melawan karena dia sudah
menganggap Kun Liong sebagai ‘gurunya’, guru menangkap ular. Tapi Si Kurus
membela temannya. "Dia tak bisa disalahkan, karena selama ini, dari
manakah kami dapat makan kalau bukan dari sisa orang? Lagi pula, bila ada
pesta, banyak sekali masakan yang tidak habis dimakan, biasanya pelayan-pelayan
yang baik hati suka membagi sedikit sisa-sisa makanan kepada kami."
"Hemm,
kalau ada pesta mengapa kita tidak masuk saja dan ikut berpesta?"
tiba-tiba Kun Liong berkata karena hatinya sudah merasa penasaran sekali kenapa
ada orang berpesta pora sedangkan di sini ada anak-anak yang kelaparan!
"Wah,
mana boleh masuk? Kita akan dipukul!" kata Si Kurus.
Mendengar
ucapan Si Kurus, kening Kun Liong berkerut, bola matanya berputaran, dan
akhirnya bibirnya tersenyum. “Kalian ikut aku, dan jangan lupa bawa ular
kalian!” Selesai berkata demikian, anak ini langsung berlari ke arah dusun.
Dua orang
anak itu kini percaya sepenuhnya kepada Kun Liong yang dianggapnya anak dari
‘kota' dan amat pandai. Otomatis mereka menganggap Kun Liong sebagai pemimpin
mereka, maka dengan gembira mereka pun lari di belakang Kun Liong sambil
memegang ular masing-masing.
Si Kurus dan
Si Gundul masing-masing telah menangkap seekor ular, ada pun Kun Liong sendiri
membawa dua ekor ular yang cukup besar dan menyeramkan, seekor berkulit hitam
bermata merah, yang seekor lagi adalah ular belang yang terkenal jahat
racunnya.
Benar saja,
di sebelah dusun tak jauh dari situ, tampak kesibukan yang menggembirakan di
rumah kepala dusun. Hari sudah mulai gelap ketika tiga orang anak itu sampai di
depan rumah kepala dusun dan mereka menonton dari luar.
Rumah itu
penuh tamu yang memakai pakaian serba baru dan suasana amat gembira dengan
senda-gurau mereka. Tampak tuan rumah sedang menyambut para tamu sambil
mengelus jenggotnya yang panjang. Pesta ini adalah pesta ulang tahunnya yang ke
lima puluh dan meski pun kelihatannya pesta itu meriah, banyak tamu, dan dengan
sendirinya banyak pula hidangan yang dikeluarkan, namun sebenarnya kepala dusun
ini sama sekali tidak menderita rugi karenanya.
Besarnya
sumbangan yang masuk dari mereka yang menyumbang karena ingin menjilat, atau
dari sebagian besar yang kurang mampu tetapi terpaksa menyumbang karena takut
dianggap kurang menghormat, jumlahnya ada lima kali lipat lebih besar dari pada
jumlah pengeluaran untuk pesta itu. Tentu saja dia merasa gembira sekali.
Pertama,
wibawa dan kehormatannya sekaligus terangkat naik dengan adanya pesta itu. Ke
dua, dia sekeluarga merasa gembira sekali dan bangga karena mampu mengadakan
pesta secara besar-besaran. Dan ketiga, keuntungan yang masuk kali ini jauh
melampaui penghasilannya selama beberapa bulan!
"Wah,
berbahaya ini..." Si Gundul berbisik, "Yang berpesta adalah kepala
dusun, mari kita menyingkir sebelum ditendang oleh para pengawal."
Kun Liong
melihat bahwa di bagian depan berdiri berjajar belasan orang tinggi besar yang
sikapnya laksana anjing-anjing penjaga yang siap menggonggong dan menggigit,
karena itu rasa penasaran di hatinya pun meningkat.
"Mereka
belum mulai makan, hidangan belum dikeluarkan, baru minuman saja. Mari kita
menyelinap dan ke belakang saja," kata Kun Liong.
"Ehh,
ke belakang mau apa?" Si Kurus berbisik.
"Ke
dapur. Cepat sebelum masakan dihidangkan!"
Tiga orang
anak itu menyelinap di kegelapan malam, terlindung oleh bayangan-bayangan pohon
dan menuju ke belakang, ke dapur rumah besar itu di mana terdapat
kesibukan-kesibukan yang tidak segembira di bagian depan. Para koki dan pelayan
sedang sibuk mempersiapkan hidangan yang beraneka macam, siap untuk segera
menghidangkan ke luar apa bila ada perintah dan tanda dari depan.
Yang paling
sibuk adalah koki gendut yang menjadi koki kepala. Karena gemuknya dan keadaan
hawa di dapur itu panas oleh api, ditambah lagi dia harus mondar-mandir ke
sana-sini untuk memeriksa pekerjaan para pembantunya, maka mukanya yang gemuk
itu basah oleh peluh, bahkan pakaiannya juga basah. Dengan wajah
bersungut-sungut akibat tegang dan repot, dia menghapus peluh berkali-kali dari
muka dan leher, menggunakan sehelai kain putih yang tergantung di depan dada
dan perutnya.
"Hah!
Mau apa kalian berkeliaran di sini?" Tiba-tiba koki gendut itu membentak
ketika dia berdiri di pintu dapur untuk mencari angin dan hawa sejuk, agar
panas yang menyiksa itu berkurang, dan melihat Kun Liong beserta dua orang
temannya.
Si Kurus dan
Si Gendut sudah ketakutan dan menggigil, tak berani bergerak. Akan tetapi Kun
Liong yang menyembunyikan kedua ekor ular di tangannya itu ke belakang tubuh,
membungkuk dan berkata,
"Lopek
(Paman Tua) yang baik, kami adalah tiga orang anak yang menderita kelaparan.
Melihat banyaknya masakan yang tentu akan berlebihan, berlakulah baik kepada
kami dan berikan sedikit masakan-masakan itu."
Sepasang
mata yang kecil sipit, hampir tak tampak karena mukanya yang gemuk, makin
menyipit dalam usahanya memperlebar, dan sejenak mulut yang juga terlalu kecil
bagi muka selebar itu, ternganga tak dapat menjawab. Selamanya belum pernah
koki gendut ini melihat kekurang ajaran seperti ini, juga belum pernah
mendengar ucapan pengemis serapi itu.
Kalau ada
anak jembel minta sisa makanan yang sudah tidak terpakai lagi, hal itu adalah
lumrah dan sudah biasa dia memberikan sisa makanan yang sudah hampir bau kepada
anjing-anjing atau jembel-jembel kelaparan. Akan tetapi anak ini, dengan gaya
bahasanya yang sopan seperti seorang bangsawan saja layaknya, minta ‘sedikit
makanan’ yang masih segar, masih mengepul panas dan belum dihidangkan kepada
para tamu. Mana ada aturan macam ini?
"Keparat
cilik! Jembel busuk. Pergi kalian! Kalau tidak, akan kusiram kalian dengan air
mendidih!" teriaknya. Peistiwa ini menambah panas tubuhnya yang telah
berpeluh karena dia merasa terganggu dan jengkel, bahkan merasa dipermainkan
oleh anak kecil.
"Babi
gendut yang pelit!" Tiba-tiba Si Gundul memaki dari tempat yang gelap.
"Apa?!
Bocah gembel ingin mampus...!" Koki itu marah dan mengulurkan tangan
hendak menangkap, akan tetapi Kun Liong dan dua orang temannya sudah berlari
menyelinap ke dalam gelap dan lenyap.
Makin
penasaran dan mendongkol hati Kun Liong, apa lagi ketika ditegur oleh Si Kurus,
"Apa kata kami tadi? Percuma saja, untung kita belum sampai disiram air
panas atau dipukuli mereka."
"Sudah,
lebih baik kita menanti sampai pesta bubar dan minta sisanya, tentu
berlimpah-limpah dan banyak yang dibuang," berkata Si Gundul. "Tentu
masih ada beberapa butir bakso, beberapa potong tulang berdaging dan beberapa
helai bakmi."
Ingin Kun
Liong menampar muka Si Gundul itu kalau tidak ingat bahwa memang kedua orang
anak ini adalah pengemis-pengemis yang sejak kecil secara terpaksa harus puas
dengan makanan sisa, maka dia menahan kedongkolan hatinya. Akan tetapi dia
semakin penasaran terhadap penghuni rumah dan para tamu-tamunya yang berpesta
pora, sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang kelaparan di luar rumah
itu.
"Dengar
baik-baik, kita kacaukan dapur itu. Dari jendela di sana itu, dari kanan kiri,
kita lemparkan ular-ular ini ke dalam. Tentu mereka akan lari dan pada saat
itu, kalian masuk dan mengambil sepanci masakan yang paling enak, segera bawa
lari ke luar. Aku akan melempar ular dari jendela kiri, Si Gundul dari jendela kanan,
dan engkau yang bertugas menyambar masakan dalam panci."
Si Gundul
dan Si Kurus mengangguk-angguk, sepasang mata mereka bersinar-sinar. Setiap
orang anak kecil akan merasa ‘penting’ dan gembira sekali kalau diajak
melakukan sesuatu yang menegangkan, apa lagi yang selama ini belum pernah
mereka lakukan.
Kalau hanya
mencuri dan mencopet makanan karena terpaksa oleh desakan perut lapar dan untuk
itu harus menerima gebukan-gebukan, sudah biasalah mereka. Akan tetapi mengacau
sebuah pesta, apa lagi pesta di rumah kepala dusun, dengan melemparkan
ular-ular beracun yang mereka tangkap sendiri ke dalam dapur, benar-benar
merupakan hal yang baru yang amat menegangkan hati!
Atas isyarat
Kun Liong, mereka berpencar. Kun Liong lari ke jendela kiri membawa dua ekor
ular, Si Gundul menyelinap ke jendela kanan membawa dua ekor ular pula karena
ular Si Kurus diberikan kepadanya, sedangkan Si Kurus dengan jantung
berdebar-debar menyelinap dekat pintu, siap untuk memasuki dapur kemudian
mengambil masakan kalau kesempatan terbuka. Dia sudah memilih-milih dengan
pandang matanya, masakan dalam panci yang mana akan disambarnya nanti!
Dari jendela
kanan Si Gundul mengintai ke arah jendela kiri. Pada saat melihat Kun Liong
menggerakkan tangan seperti yang telah mereka janjikan, dia lalu melemparkan
dua ekor ular dengan kuat dan karena takut ketahuan, ia melempar secara ngawur
lalu menyelinap ke bawah jandela, merangkak dan pergi.
Kun Liong
lebih tenang. Dia melemparkan dua ekor ularnya ke bawah, ke tengah-tengah
ruangan itu, dan dia melihat betapa lemparan Si Gundul tadi secara ngawur
ternyata telah mengakibatkan kekacauan luar biasa, sebab salah seekor dari ular
hijau itu tepat hinggap di tubuh koki kepala yang gendut, mengalungi leher koki
itu!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya koki itu ketika merasa ada sesuatu membelit yang lehernya
dan ketika kepala ular itu tepat berada di depan hidungnya, sepasang matanya
menjuling dan dia pun berteriak, "Ular...! Ular...!"
Pada saat
itu juga, para koki beserta beberapa orang pelayan melihat ular-ular berbisa
merayap perlahan di dekat kaki mereka. Ular hijau, ular hitam dan ular belang!
Mereka segera lari ketakutan dan berteriak-teriak, "Ular...! Ular beracun!
Berbahaya sekali...!"
Kasihan
sekali koki gendut itu. Dia tidak berani membuang ular yang membelit lehernya.
Pada waktu mendengar teriakan ular beracun yang berbahaya, dia hampir pingsan
dan menjerit-jerit, "Tolong...! Ular...! Tolong ini...!" Dia lari
menabrak sana-sini, menabrak meja dan dengan susah payah akhirnya berhasil lari
ke luar, tidak tahu bahwa lampu minyak di atas meja yang ditabraknya tadi sudah
terguling!
Pengemis
kecil kurus sudah cepat menyelinap masuk dan menyambar sepanci masakan lalu
berlari ke luar lagi. Ia terengah-engah, akan tetapi tertawa-tawa ketika di
tempat gelap yang sudah dijanjikan, dia berkumpul dengan Si Gundul dan Kun
Liong.
"Masakan
apa yang kau ambil?" Si Gundul langsung membuka panci. "Waduh,
masakan capjai...! Ada baksonya, besar-besar... wah, udangnya pun
besar-besar!"
Tanpa
diperintah lagi kedua orang anak jembel itu menyerbu masakan dalam panci. Akan
tetapi Kun Liong tak ikut makan karena dia lebih tertarik oleh
teriakan-teriakan yang amat gaduh.
"Api...!
Kebakaran...! Tolong...!"
"Ada
kebakaran. Mari kita bantu...!" Kun Liong cepat melompat dan berlari ke
dusun yang mereka tinggalkan tadi. Akan tetapi dua orang anak jembel itu tidak
mempedulikan karena mereka sedang asyik menikmati capjai, mulut mereka
mengeluarkan bunyi berkecap dan mata mereka berkejap-kejap penuh nikmat.
Karena sudah
banyak orang, termasuk anak laki-laki seperti dia yang membantu untuk
memadamkan kebakaran, maka kehadiran Kun Liong tidak menarik perhatian. Kun
Liong merasa menyesal sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang terbakar
adalah rumah kepala dusun dan menurut suara orang-orang di situ, kebakaran
dimulai dari dalam dapur. Tadi dia sempat melihat betapa lampu di atas meja
terguling ditabrak koki gendut, maka mengertilah dia bahwa kebakaran itu
terjadi karena dia dan kedua orang temannya!
Di antara
kesibukan orang-orang yang berusaha memadamkann api yang mengamuk dan hampir
memusnahkan semua bangunan rumah kepala dusun itu, tampak seorang laki-laki
gemuk diseret-seret. Kun Liong melihat betapa laki-laki gemuk itu didorong
hingga jatuh berlutut di depan Si Kepala Dusun yang kini berdiri dengan muka
pucat dan sinar mata penuh kemarahan, bertolak pinggang sambil memandang Si
Gemuk dengan sikap penuh kebencian.
"Hemmm,
keparat jahanam! Engkau berani membakar rumahku, ya?"
"Ti...
tidak... ampunkan hamba, Loya (Tuan Besar)... di dapur mendadak muncul
ular-ular beracun... seekor malah membelit leher hamba dan akan menggigit
hamba... semua koki dan pelayan melihatnya... hamba... hamba tidak melakukan
pembakaran..." Koki gundul itu menangis.
"Hemmm…,
aku sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi semua orang juga melihat bahwa
engkaulah yang menabrak meja sehingga lampu minyak terguling lantas
mengakibatkan kebakaran. Kau hendak menyangkal?"

Tubuh yang
gendut itu menggigil, suaranya juga menggigil seperti diserang demam ketika dia
menjawab, "...hamba... ohh... hamba... karena takut... hamba lari... dan
andai kata memang benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu
sama sekali tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya..."
"Sengaja
atau pun tidak, yang jelas engkaulah yang sudah menjadi penyebab kebakaran!
Mengampunkanmu? Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau
minta aku memberi ampun!"
Kepala dusun
itu menendang dengan kerasnya, akan tetapi karena tubuh Si Koki sangat gendut
dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir saja dia terguling. Kakinya
yang menendang itu terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis menahan
nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.
"Pukul
dia! Pukul sampai mampus!"
Para
pengawal atau tukang pukul yang sudah siap segera menghampiri Si Koki gendut.
Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.
"Tahan!
Jangan pukul dia!"
Semua tukang
pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki kecil
yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya
penuh keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam
sama sekali.
"Ceritanya
tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran itu,
jadi tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak
bersalah merupakan perbuatan yang biadab dan keji!"
Semua orang
merasa terkejut sekali dan banyak orang kini memandang pada Kun Liong, apa lagi
karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah
yang tinggal separuh.
"Hemmm,
anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis
siapa?"
"Yang
salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke
dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran
itu," kata Kun Liong dengan tenang.
Tentu saja
ia bukan seorang anak bodoh yang sengaja mau mencari malapetaka dengan pegakuan
itu. Akan tetapi. melihat betapa koki gendut yang tidak bersalah digebugi dan
terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak dapat berdiam saja.
Muka kepala
dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa herannya lebih
besar lagi, oleh karena itu dia kembali bertanya, "Bocah setan! Apa
perlunya engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?"
"Tadinya
aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci
masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku amat menyesal, akan tetapi
harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa."
Koki itu
memang telah dilepaskan dan masih berlutut, sekarang memandang kepada Kun Liong
dengan muka pucat dan sepasang matanya yang sipit memandang tanpa berkedip,
penuh perasaan heran, kagum dan terharu karena dia mengenal anak yang diusirnya
tadi.
"Tangkap
dia!" Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.
"Pukul
saja bocah setan ini!"
"Bunuh
bocah pengacau!"
Orang-orang
dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi, melainkan
berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun! Kun Liong ditangkap,
diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan
ini tentu saja tidak mau mandah, lalu menggunakan kaki tangannya untuk mengelak
atau menangkis, walau pun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang
merasa bersalah dan pantas dihukum!
"Bukan
hanya dia yang melepas ular, kami juga...!"
"Ya,
kami juga...!"
Dua orang
anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, mendadak muncul di situ. Kun Liong
kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena
sebetulnya mereka berdua itu tidak akan berani melakukan pengacauan kalau tidak
karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikan kesetia
kawanan mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetia
kawanan yang indah dan gagah!
Akan tetapi
dua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, sebab tenggelam dalam
teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan mereka
lantas didorong dan ditendang sehingga terguling-guling karena dianggap
menghalangi mereka yang berlomba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu
penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul!
Biar pun Kun
Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi dalam
pengeroyokan begitu banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya robek dan
tubuhnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apa lagi
ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, di samping tukang-tukang
pukul, juga ada penduduk dusun. Bahkan ada pula yang sambil menggendong anaknya
di punggung ikut-ikut mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya!
Meski pun
Kun Liong sudah menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, akan
tetapi tanpa membalas dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia pun
tertangkap. Seorang tukang pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk
dusun yang sudah tua dan marah-marah karena koki yang menjadi korban tadi
adalah anaknya, memegang lengan kanan Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya,
mencekik lehernya dari depan!
Kun Liong
yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, sekarang
dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya semakin kuat, dia tidak
dapat bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya
juga sudah berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara yang
berdengung dalam telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,
"Bunuh
saja bocah setan!"
"Cekik
sampai mampus!"
"Tidak,
aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku sudah melakukan kesalahan, akan
tetapi aku tak sengaja membakar rumah orang!" Pikiran ini menyelinap di
dalam hati Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran kenapa untuk perbuatannya
yang tanpa disengaja sudah mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus
dengan nyawa!
Dia teringat
akan pelajaran Sin-kut-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari
ayahnya dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan. Dia
hampir tidak kuat lagi. Kepalanya berdenyut-denyut semakin hebat, bagaikan mau
pecah. Dalam detik terakhir itu, dia mempergunakan tenaga kedua orang yang
memegangi lengannya kanan kiri, menggantungkan tubuhnya dan menggunakan
sepasang kakinya untuk menendang ke depan, mendorong perut dan dada tukang
pukul yang sedang berusaha mencekiknya sampai mati!
"Bresss...
augghhh...!"
Tubuh tukang
pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia memaki-maki sambil berusaha
bangun kembali.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kut-hoat, tiba-tiba saja kedua
lengannya menjadi lemas dan licin, lalu sekali renggut dia sudah berhasil
menarik kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang langsung
berteriak kaget dan heran karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu
merosot licin dan terlepas!
"Tangkap...!"
Kembali Kun
Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam, dan kini
seperti segerombolan serigala haus darah yang tentu tidak akan mau sudah
sebelum melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh
rusak penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya!
Tadi dia
membiarkan dirinya digebuki, dimaki dan dihukum. Tetapi, setelah kesalahannya
dia tebus dengan mandah menerima hukuman yang dianggapnya sudah lebih dari cukup,
jika mereka masih haus darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus
melindungi dirinya. Seorang yang tidak berani melindungi nyawa dan dirinya
sendiri adalah seorang pengecut.
"Kalian
sudah cukup menghukum aku!" teriaknya.
Sekarang dia
menerjang ke kiri dan menangkap sebatang bambu yang digunakan untuk menghantam
kepalanya, lantas membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga
pemegangnya yang tak menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut dengan
tendangan Kun Liong yang mengenai sambungan lututnya.
"Plakk!
Aduhhh...!"
Biar pun
yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi
karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenal sambungan lutut, tentu saja
rasanya nyeri bukan main, membuat orang itu terpelanting dan tongkatnya
terampas oleh Kun Liong!
Kini cuaca
sudah menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini
menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk,
kini tidak hanya menangkis atau mengelak saja, melainkan juga membalas dengan
sodokan tongkatnya.
Dia berhasil
merobohkan empat orang sambil melompat ke sana sini mencari lowongan di antara
para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh memegangi perut yang tersodok
sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai bengkak.
Orang yang
terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa,
yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah ancaman bahaya
maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tak pernah muncul dan
hanya akan muncul apa bila dirinya terancam bahaya maut dan tenaga mukjijat itu
akan bekerja di luar kesadarannya. Demikian pula dengan Kun Liong.
Memang harus
diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya, dua orang
ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun,
sepandai-pandainya, tentu dia tidak mungkin mampu melawan tukang-tukang pukul
dan penduduk dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu.
Namun ketika
anak itu sadar akan bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan,
secara tiba-tiba tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu
mendadak menjadi amat tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke
sana sini, merobohkan siapa saja yang mencoba menghalanginya sehingga akhirnya
dia dapat melarikan diri ke dalam kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang
yang berteriak-teriak marah.
Malam yang
sangat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran bagi
mereka yang mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap
suara kaki Kun Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang
dan pohon-pohon, kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan
arah karena tujuannya hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya
secepat dan sejauh mungkin.
***************
Dibantu oleh
isterinya, Yap Cong San mempergunakan semua ilmu kepandaiannya untuk mengobati
dan menolong ketiga orang perwira pengawal Ma-taijin. Tetapi, tanpa bantuan
obat khusus, mana mungkin mereka menyembuhkan luka akibat pukulan jari tangan sakti
Pek-tok-ci? Obat yang mereka dapatkan dari Siauw-lim-pai, yaitu satu-satunya
obat yang mungkin menyembuhkan luka beracun itu, sudah tumpah dan hanya tinggal
sedikit! Untuk mencari obat semacam itu lagi ke Siauw-lim-si, waktunya sudah
tidak cukup lagi.
Sesudah
membawa sisa obat yang tumpah seadanya, ditambah obat-obat buatan sendiri,
dengan dibantu oleh Gui Yan Cu, isterinya yang lebih pandai dalam hal ilmu
pengobatan, kemudian menggunakan sinkang mereka berdua untuk mengobati tiga
orang perwira itu secara bergantian, akhirnya Yap Cong San dan isterinya pulang
untuk dapat beristirahat. Pengobatan dengan obat khusus yang amat kurang itu
membuat mereka sangat lelah dan khawatir akan hasil pengobatan itu.
"Aihh,
ke manakah perginya anak bengal itu?" Cong San menggerutu setelah sampai
di rumah tetapi tidak melihat adanya Kun Liong.
“Tentu saja
dia pergi meninggalkan rumah, takut pulang sebab di rumah menanti ayahnya yang
siap untuk memaki dan memukulnya," Yan Cu menjawab.
Suami itu
memandang isterinya, kemudian menarik napas panjang. "Jika terlalu
dimanja, begitulah jadinya!"
"Kalau
terlalu ditekan dengan kekerasan, begitulah jadinya!"
Keduanya
saling memandang, kemudian Cong San yang mengalah dan menarik napas panjang
lagi. "Isteriku, aku tidak menekan dan tidak bersikap keras terhadap anak
kita. Akan tetapi, tidakkah engkau melihat bahwa keadaan ketiga orang perwira
itu berbahaya sekali dan karena perbuatan Kun Liong, maka obat menjadi tumpah
dan sekarang sukar mengobati mereka sampai sembuh?"
"Yang menumpahkan
obat bukan Liong-ji (Anak Liong), tetapi Pek-pek, anjing peliharaan kita. Tapi
siapa pun yang menumpahkan obat, yang tumpah sudah tumpah, mau diapakan lagi?
Hal itu merupakan kecelakaan. Siapa pun yang menumpahkan tentu tidak dilakukan
dengan sengaja. Kalau sampai hal itu membuat tiga orang perwira itu tidak
sembuh, berarti memang sudah semestinya demikian. Kita harus dapat dan berani
menghadapi segala kenyataan yang menimpa kita, suamiku."
Kembali Cong
San menarik napas panjang. Apa pun yang terjadi, dia tidak menghendaki
bentrokan pendapat dan kesalahan paham dengan isterinya. Apa bila hal itu
terjadi, dunia akan menjadi gelap baginya, dan hidup akan menjadi penderitaan.
Dipandangnya
wajah isterinya yang baginya luar biasa cantik jelitanya itu, ditangkapnya
tangan isterinya dan ditarik sehingga tubuh Yan Cu berada di dalam pelukannya.
Dalam keadaan begini, dengan tubuh isterinya berada demikian dekat, didekap
dalam pelukan di atas dadanya, segala kekhawatiran segera lenyap dari hati Cong
San. Dan inilah yang dia inginkan.
Ia kembali
menghela napas, kini helaan napas penuh kelegaan dan kebahagiaan. "Semua
ucapanmu memang benar, isteriku. Biarlah kita hadapi apa yang akan terjadi bila
sampai pengobatan kita gagal."
Yan Cu
menengadah, memandang wajah suaminya, mengangkat dua lengan merangkul leher
sehingga muka suaminya menunduk, menempel di dahinya, kemudian dengan sikap
penuh kasih sayang dan agak manja, kemanjaan seorang isteri yang membutuhkan
kasih suaminya selama dia hidup, Yan Cu berkata lirih,
"Gagal
atau berhasil pengobatan kita, tergantung dari nasib mereka sendiri, perlu apa
kita khawatir? Yang lebih penting adalah memikirkan anak kita yang sudah pergi.
Sebaiknya aku pergi mencarinya."
Cong Sang
memperketat pelukannya. "Jangan! Biarkan dia menyesali kenakalannya. Jika
dicari, tentu dia akan merasa amat dimanjakan. Dia sudah besar, sudah pandai
menjaga diri, biarlah dia pergi semalam lagi, tak akan berbahaya. Besok pagi-pagi
barulah engkau pergi mencarinya apa bila dia belum kembali. Malam ini aku lebih
membutuhkan engkau isteriku." Cong San menunduk dan mencium dengan pandang
mata serta gerakan yang sudah amat dikenal oleh Yan Cu.
"Ihhh,
seperti pengantin baru saja! Dua persoalan yang menghimpit kita, pertama adalah
kemungkinan gagal pengobatan para perwira, ke dua adalah perginya Kun Liong
tanpa pamit, dan engkau bersikap seperti pengantin baru saja!" Yan Cu
mengomel manja dan mengelak dari ciuman suaminya.
Cong San
tersenyum, dan walau pun mereka sudah menjadi suami isteri sebelas tahun
lamanya, tetap saja senyum pria itu masih memiliki daya tarik yang selalu
mendatangkan debar penuh gairah kasih di hati Yan Cu.
"Kita
akan selalu seperti pengantin baru sampai selama kita hidup!"
"Aihhh!
Tidak ingat anak kita? Engkau sudah menjadi ayah, aku sudah menjadi ibu, bukan
muda remaja lagi!" Yan Cu mencela manja.
Cong San
menciumnya akan tetapi sekali ini Yan Cu sama sekali tidak mengelak, bahkan
menerima dan menyambut pencurahan kasih sayang suaminya itu dengan hangat.
"Biar
kelak aku menjadi kakek dan engkau menjadi nenek yang sudah mempunyai selosin
buyut (anak cucu), kita akan tetap seperti pengantin baru!"
Yan Cu tidak
dapat membantah lagi dan malam itu, sepasang suami isteri ini benar-benar
seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu, lupa akan segala
masalah yang mengganggu, lupa akan ancaman Ma-taijin dan lupa pula akan anak
mereka yang pergi tanpa pamit.
Pada
keesokan harinya, setelah bangun dari tidur dan menghadapi sarapan pagi,
barulah mereka teringat kembali akan persoalan yang mereka hadapi. Begitulah
hidup! Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua malam tadi dan
pagi ini! Seperti siang dan malam. Kebalikannya!
Dan memang
sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah,
hanyalah sebuah benda dengan dua muka, keduanya tak dapat saling dipisahkan dan
siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Pengalaman
akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh ingatan dan mendorong orang
untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya kembali sehingga untuk selamanya
orang hidup dalam mengejar ingatan mengejar bayangan.
Dan
sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah yang dihidupkan oleh
ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak tahu bahwa pengejaran
akan bayangan suka menimbulkan duka, akan bayangan puas menimbulkan kecewa dan
akan bayangan menang menimbulkan kalah karena keduanya itu tidak dapat
dipisahkan.
Oleh karena
itu terjadilah perlombaan antar sesama manusia dalam mengejar kesukaan dan
menjauhkan kedukaan. Mereka tidak hanya saling berlomba, juga saling mendorong,
saling menjegal, saling memukul, bahkan juga saling membunuh untuk
memperebutkan bayangan ingatan!
"Aku
akan menengok para perwira, mudah-mudahan mereka dapat sembuh," kata Cong
San sehabis sarapan, suaranya terdengar berat.
"Aku
akan mencari Kun Liong, mudah-mudahan dia dapat kutemukan," kata Yan Cu,
juga suaranya tidak segembira malam tadi karena dia maklum bahwa mereka berdua
sedang menghadapi persoalan yang tidak menyenangkan.
Dengan
ucapan-ucapan itu, suami isteri ini saling berpisah. Cong San pergi ke gedung
tempat tinggal Ma-taijin, sedangkan Yan Cu segera pergi melakukan penyelidikan
dan bertanya-tanya kepada para tetangga akan diri puteranya yang sudah pergi
sehari dua malam meninggalkan rumah tanpa pamit.
Gui Yan Cu
adalah seorang wanita yang cerdik. Dia maklum bahwa puteranya tentu tidak
melarikan diri ke utara, timur atau barat karena dusun-dusun di bagian ini
merupakan tempat tinggal orang-orang yang sudah mengenal keluarganya. Kalau
puteranya itu pergi melarikan diri, tentu anak yang dia tahu sangat cerdik itu
melarikan diri ke arah selatan, daerah yang asing bagi mereka dan
dusun-dusunnya terletak jauh dari Leng-kok. Sebagai pelarian yang takut
ditemukan ayah bundanya tentulah anak itu mengambil jurusan yang satu ini.
Karena itu, maka Yan Cu lalu melakukan penyelidikan ke arah selatan, sesudah
para tetangganya tidak ada yang melihat Kun Liong dan tidak ada seorang pun di
antara mereka yang tahu ke mana perginya anak itu.
Dan dugaan
nyonya itu memang tepat sekali! Ketika melarikan diri, memang Kun Liong sengaja
mengambil jalan ke jurusan selatan, karena tepat seperti diduga ibunya, dia
tidak ingin ada orang mengenalnya karena kalau hal ini terjadi, sudah pasti
sekali dalam waktu singkat ayahnya atau ibunya akan dapat mengejar dan
memaksanya pulang!
Dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi, Gui Yan Cu mulai melakukan pengejaran. Jarak yang
ditempuh oleh puteranya dalam waktu sehari semalam, hanya membutuhkan waktu
setengah hari saja baginya. Tibalah dia di dusun di mana Kun Liong menjadi
penyebab kebakaran dan dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat ia melakukan
penyelidikan, ia mendengar tentang seorang anak laki-laki yang telah
menyebabkan kebakaran dengan melepaskan ular-ular beracun di dalam rumah yang
sedang pesta, kemudian betapa anak itu ditangkap dan dipukuli orang-orang, akan
tetapi secara aneh anak itu dapat melarikan diri dan tak seorang pun tahu ke
mana perginya.
"Semalam
suntuk kepala dusun serta tukang-tukang pukulnya pergi mencari, akan tetapi
sia-sia saja. Anak setan itu seperti menghilang. Kalau dapat dicari, tentu dia
akan dipukul sampai mampus!" Tukang warung nasi menutup keterangannya.
Gui Yan Cu
menahan kemarahan hatinya. Apa bila dia mendengar penuturan ini sepuluh tahun
yang lampau, tentu dia akan mengamuk dan menghajar orang sekampung itu, atau setidaknya
dia akan menghajar kepala kampung, atau paling sedikit dia akan menampar pipi
tukang warung nasi yang menceritakan perihal anaknya. Akan tetapi sekarang dia
bukanlah seorang dara remaja yang ganas lagi, melainkan seorang nyonya dan ibu
yang bingung memikirkan puteranya, dan yang maklum betapa sakit hati para
penduduk karena ada yang mengacaukan pesta, dan betapa jahat pandangan mereka
terhadap kenakalan anaknya.
Karena dia
tidak berhasil mencari di sekitar dusun itu, lagi pula karena dia khawatir akan
keadaan suaminya yang harus menghadapi ancaman kepala daerah kalau tidak
berhasil menyembuhkan ketiga orang perwira yang terluka, Yan Cu mengambil
keputusan untuk pulang dulu, kemudian setelah urusan Leng-kok beres, baru dia
akan mengajak suaminya untuk mencari Kun Liong.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan marah hati nyonya perkasa ini ketika dia sampai di
rumah pada waktu senja hari itu, dia disambut oleh seorang kakek dengan wajah
keruh dan penuh kegelisahan. Kakek itu adalah Liok Sui Hok, paman tua suaminya.
Kakek inilah yang dahulu membantu suaminya membuka toko obat di Leng-kok, dan
karena Liok Sui Hok ini tidak memiliki keturunan, lagi pula sudah duda dan
hidup seorang diri di rumahnya yang besar di Leng-kok, kakek ini menganggap
keponakannya itu seperti anak sendiri.
"Sungguh
celaka... suamimu gagal mengobati para perwira itu, dan dia kini ditahan oleh
Ma-taijin..." Demikianlah sambutan kakek itu begitu melihat Yan Cu datang.
Yan Cu
menggigit bibirnya, sejenak nyonya muda itu tak dapat berkata-kata. Memang hal
ini sudah dikhawatirkannya, akan tetapi sungguh tak disangka bahwa kepala
daerah she Ma itu benar-benar berani menahan suaminya!
"Hemmm...
agaknya si keparat Ma itu perlu dihajar!" katanya dan dia sudah
membalikkan tubuh hendak pergi lagi ke rumah pembesar itu.
"Wah-wah-wah…,
nanti dulu! Harap kau bersabar, perlu apa mempergunakan kekerasan menghadapi
pembesar? Jangan-jangan engkau malah akan dianggap pemberontak yang melawan
pemerintah!"
"Paman!
Pemerintah mempunyai hukum, kalau suamiku bersalah dan berarti dia sudah
melanggar hukum, tentu saja saya tak akan berani menggunakan kekerasan. Akan
tetapi dalam hal ini, suamiku sama sekali tak bersalah. Kalau sampai dia
ditahan, hal itu berarti bahwa Ma-taijin ingin menggunakan hukumnya sendiri,
dan aku pun dapat menggunakan hukumku sendiri terhadap dia!"
"Sabarlah!
Dia adalah kepala daerah di sini, di Leng-kok ini kekuasaannya paling besar dan
harus ditaati oleh seluruh rakyat."
"Apakah
dia raja?"
"Bukan,
akan tetapi biasanya, setiap kepala daerah merasa menjadi raja kecil di dalam
daerahnya masing-masing. Karena itu, besok aku akan pergi ke kota Khan-bun.
Kepala daerah di sana lebih tinggi pangkatnya dan dengan bantuan teman-teman
yang tinggal di Khan-bun, agaknya aku akan dapat menarik pengaruh dan
bantuannya untuk menolong suamimu."
Yan Cu
mengerutkan alisnya. Dia sudah banyak mendengar tentang tindakan
sewenang-wenang para pembesar setempat. Keadilan yang berlaku pada saat itu
hanyalah keadilan uang! Siapa yang mampu menyogok, dialah yang akan dilindungi
dan dimenangkan oleh mereka yang berkuasa!
"Paman,
saya dan suami saya tidak mau dilindungi dengan cara menyogok! Kalau kami
memang bersalah, kami rela dihukum! Akan tetapi kalau kami tidak bersalah, kami
siap melawan siapa saja yang hendak melakukan tindakan sewenang-wenang!
Sekarang juga saya mau menghadap Ma-taijin menuntut keadilan!"
Tanpa
menanti jawaban, Yan Cu berlari meninggalkan Liok Sui Hok yang berdiri bengong
kemudian menggelengkan kepala, menarik napas panjang berkali-kali. Ia maklum
bahwa keponakannya, Yap Cong San, adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang
berkepandaian tinggi sekali, ada pun isterinya yang cantik jelita itu bukan
hanya ahli dalam pengobatan, akan tetapi juga memiliki ilmu silat yang sangat
lihai.
Celaka,
pikirnya, tentulah akan terjadi keributan. Dan lebih celaka lagi adalah nasib
yang dihadapi Ma-taijin! Kakek itu maklum bahwa kalau keponakan dan mantu
keponakannya itu mengamuk, maka tiada seorang pun di antara jagoan-jagoan
pengawal kepala daerah yang akan mampu menandingi mereka.
"Hemm...
orang-orang muda... kurang perhitungan, asal berani dan kuat saja... hemm, ke
mana perginya Kun Liong cucuku itu?" Sambil menggeleng-geleng kepalanya
yang penuh uban, kakek itu melangkah perlahan-lahan, pulang ke rumahnya
sendiri......
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment