Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 23
SEMENTARA
itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru sekali.
Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong mempergunakan ilmu
ginkang-nya, selalu berhasil mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jarak
jauh menggunakan sinkang.
Tentu saja
karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, saat menghadapi Legaspi
sekali pun dia tak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal
inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andai kata dia tidak
berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sinkang-nya
yang hebat dan Thi-khi I-beng yang mukjijat, dia tentu sudah berhasil membunuh
lawan.
Legaspi
menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi
yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan
pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biar pun hanya bertangan kosong.
Tiba-tiba ia
berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat
tiang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat
peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu dan karena angin
bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar.
Melihat ini,
Yuan dan Li Hwa cepat-cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya
mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu
mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dahsyat?
Kun Liong
penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar lagi, dia sengaja menubruk dan
melindungi tubuh dengan sinkang-nya.
"Tarrr…!"
Cambuk
menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun Liong mencengkeram ke arah
tangan kanan yang memegang cambuk.
"Augghh!"
Legaspi berteriak dan terpaksa dia melepaskan gagang cambuk serta menarik
tangannya.
Pada saat
itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada
Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dada
sambil mempergunakan Thi-khi I-beng dan... telapak tangan itu melekat pada
dadanya, terus saja sinkang dari tubuh Legaspi mengalir seperti air membanjir
ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat rel dek, di pinggir kapal.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa bahwa tenaganya disedot,
makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan
tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawannya dari
Thi-khi I-beng dan mendorongnya ke belakang.
Dengan
jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, melalui rel dan
jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke
bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu
tengkuknya berdiri. Dia tidak sengaja membunuh orang, akan tetapi orang itu
betapa pun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!
"Gara-gara
benda terkutuk ini!" Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan
korban.
"Kun
Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!" kata Li
Hwa.
"Aku
tidak membunuhnya dan..."
"Hemm,
mengapa mengobrol saja?" teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya
yang kekar itu penuh keringat. "Lebih baik lekas bantu memadamkan api
kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!"
Kun Liong
dan Li Hwa cepat-cepat membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan
menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang amat hebat itu.
Tapi usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam di sini, di lain bagian telah
mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak.
***************
Kita
tinggalkan dahulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan
kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih
berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar.
Toat-beng
Hoatsu sudah terengah-engah, peluh memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak
uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan
setiap gerakannya kelihatan mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang
menghadapi Keng Hong. Sekarang pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya
setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.
"Hayo
katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!" berkata The Hoo sambil
terus mendesak lawan. "Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum
mati."
Namun
Toat-beng Hoatsu tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap
gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat.
Akan tetapi lawannya, Panglima The Hoo adalah seorang yang selain memiliki ilmu
kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai
seorang yang memiliki sinkang yang mukjijat. Dari sepasang tangan kakek
panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu
lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoatsu terdorong mundur dan membuatnya
terhuyung-huyung.
Hal ini
membuat Toat-beng Hoatsu marah sekali. Sambil berteriak keras ia mengeluarkan
jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Akan tetapi, The Hoo sudah
pula mengeluarkan pedangnya. Tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan
mata ketika pedang itu dimainkan.
"Brett-brett-brett...!"
Alangkah
kagetnya hati Toat-beng Hoatsu melihat bahwa jubahnya, senjata yang sangat
diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.
Di lain
pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung
tidak kalah hebat dan serunya.
"Ha-ha-ha,
jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha, kalau memang begitu,
biar aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!" Bantok Coa-ong
tertawa mengejek ketika teringat bahwa tadi Kun Liong menyebut lawannya ini
‘supek’.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan
Ban-tok Coa-ong barusan berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas!
Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi
kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan
hebat.
Datuk kaum
sesat ini memang lihai bukan main, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan
batin yang membuat gerakannya mengendur, Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan
kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya
mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini
hanya dapat menangkis dan mundur-mundur.
"Mampuslah!
Ha-ha-ha-ha!" Ban-tok Coa-ong sudah menyerang dengan pedang ularnya,
menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang juga merupakan
senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.
Menghadapi
serangan yang sangat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman
maut. Karena itu dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan
mengerahkan sinkang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di
dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk, sementara
tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan sehingga jari-jari tangan
mereka saling mencengkeram!
"Lepaskan
pedang!" Keng Hong membentak.
Sebuah
kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena
tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar ke
samping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Sekarang kedua
tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan
keduanya lalu mengerahkan tenaga.
Ban-tok
Coa-ong mengandalkan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun, maka dia lantas
mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak
tangannya. Tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa
sinkang-nya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar sakti itu.
Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah dia kini akan ilmu mukjijat
Thi-khi I-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng
Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sinkang-nya yang
membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi
dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.
"Lepas...
lepaskan aku...!" katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri
ketika merasa betapa sinkang-nya terus membanjir keluar.
"Siapa
yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" terdengar suara pendekar itu
bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan amarahnya akibat
mendengar berita itu.
"Para
datuk kaum sesat... kecuali aku... ehhh, Toat-beng Hoatsu, Siang-tok Mo-li,
Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kau lepaskan aku...!"
"Di
mana dibunuhnya mereka?"
"Di...
di Tai-goan... auggghhhh!" Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika
ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.
"Desss...
aduhhhh...!"
Tubuh
Toat-beng Hoatsu juga terpelanting dan tewas seketika. Dadanya remuk terkena
pukulan mukjijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat Sin-ciang-hoat.
"Sayang
mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, kenapa wajahmu murung,
Cia-sicu?" Panglima itu bertanya heran.
"Hamba...
baru saja mendengar dari dia..." Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok
Coa-ong, "...bahwa sahabat hamba Yap Cong San beserta isterinya, sumoi
hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan." Tanpa
terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.
"Hemmm,
orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja." Dia menoleh dan
melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya
pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang sedang menyiapkan kapalnya.
Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. "Ada kebakaran di
sana...!" teriaknya.
Keng Hong
menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang
kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di
Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu. Akan tetapi begitu melihat, mata Keng
Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat di
atas kapal itu, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga
tentulah Legaspi, ada pun lawannya adalah seorang pemuda gundul.
"Kun
Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi," kata Keng
Hong.
"Akan
tetapi kapal itu terbakar hebat. "Dan ehh... bukankah itu Li Hwa di sana,
membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?"
Keng Hong
juga melibat ini. "Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!"
"Kapal
itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!" Panglima The Hoo,
diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya
kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar.
Akan tetapi
ketika mereka sudah tiba agak dekat, ternyata mereka tidak mungkin dapat
terlalu mendekat karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang
masih bernyala mulai beterbangan dan bisa berbahaya kalau mengenai kapal atau
layarnya. Di samping lainnya, Perahu Ikan Duyung juga mendekati kapal yang
terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu.
Panglima The
Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang
terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Akan
tetapi api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring
dan sebentar lagi tentu tenggelam!
Panglima The
Hoo dan Keng Hong memandang penuh khawatir. "Mereka harus segera meloncat
ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu
meledak, celaka...!"
Keng Hong
mengerahkan khikang-nya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main.
"Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!"
Panglima The
Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. "Li Hwa, aku
gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!"
Tiga orang
muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal
perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula
Perahu Ikan Duyung.
"Yuan,
Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!"
"Tidak,
Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan pernah
meninggalkan kapalnya. Lebih baik mati bersama tenggelamnya kapal dari pada
pergi meninggalkan kapal yang akan tenggelam!" Jawaban ini penuh semangat
dan dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah
bukan main.
"Li
Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil."
Li Hwa
tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, lalu menoleh
kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, "Pergilah kekasihku,
engkau harus diselamatkan."
"Tidak...!"
Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. "Kalau kau tidak pergi, aku juga
tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!"
"Li
Hwa..."
"Yuan..."
Mereka
berpelukan dan Kun Liong memandang dengan sepasang mata terbelalak. Sudah
diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak
disangkanya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!
"Apakah
kau telah gila, Yuan?"
"Bukan
aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal
meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa
kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga
dari pada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka."
"Yuan...
kau hebat...!" Li Hwa mendekap semakin erat, penuh bangga dan cinta kepada
kekasihnya.
"Li
Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu...
Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?"
Li Hwa tidak
melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Mulutnya
tersenyum tetapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan
dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya.
"Kun
Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, jika kau hendak memaksa
seorang dara pergi meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus
tinggal di sini bersama dia, kau pergilah, bawalah bokor itu dan serahkan
kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau..."
"Yuan...
Li Hwa..."
Kebakaran di
kapal semakin hebat sehingga kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi akan
tenggelam.
"Kun
Liong...!" terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.
"Li
Hwa...!" tersusul suara Panglima The Hoo.
Kun Liong
mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu
mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak
tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li
Hwa juga akan sengsara. Lagi pula, seandainya mereka berdua tertolong,
mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju,
menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru,
matanya basah dan air matanya bertitik.
"Selamat
tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian...
bahagia...!" Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa
bokor emas.
Keharuan dan
pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia
mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke
atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.
Cia Keng
Hong dan The Hoo menyambutnya. Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas
kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah
Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa
masih saling berdekapan di antara api dan air, di pinggiran ujung kapal yang
sudah tenggelam sebagian, Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis
mengguguk seperti anak kecil!
"Apa
yang terjadi...?" Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.
"Yuan
de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih
mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai
mati tak mau terpisah darinya..."
"Li
Hwa...?" Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran,
juga kedukaan.
Li Hwa
seperti puterinya sendiri. Apa bila dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia
masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan. Akan tetapi,
melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas
panjang.
"Semua
beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang, Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw
Li Hwa!" Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring, maka semua
pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan
sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.
Hanya ujung
kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu
seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam!
Tiba-tiba
terdengar jerit yang penuh kemesraan.
"Li
Hwa...!"
"Yuan...!"
Jerit penuh
kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seakan-akan merupakan jerit
kebahagiaan sepasang mempelai di atas pelaminan. Tubuh mereka perlahan-lahan
mulai ditelan air, kemudian lenyap.
Sunyi senyap
di kapal perang itu, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong
dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang
menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.
Di tempat
lain, yaitu di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita
jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut sambil bersembahyang kepada Tuhan
supaya menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa,
menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua
ini terdapat keharuan, kedukaan hebat, tapi ada pula sedikit kebanggaan. Dengan
matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.
Kun Liong
yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biar pun dia
tidak dapat melihatnya, dia bisa membayangkan betapa duka hati Richardo de
Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan
menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur
pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja.
Betapa buruk
nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Sungguh pun Yuan yang mencinta Li
Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus binasa bersama
dengan kekasihnya itu. Ada pun Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya,
terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal.
Sebuah
tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah
berdiri di depannya dan melihat wajahnya, agaknya supek-nya ini akan bicara hal
yang serius.
"Ada
apakah, Supek?"
"Ada
berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita
berpisah. Aku sudah mendengar tentang ayah bundamu..." Sampai sini leher
Keng Hong seperti dicekik.
Wajah Kun
Liong seketika berubah. Kedukaan akibat mengingat nasib Yuanita dan Yuan
tersapu bersih dan berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang
sudah terpisah belasan tahun dengannya.
"Di
mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa,
Supek?" Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata!
Dengan suara
parau dan sukar, Keng Hong kemudian berkata, "Jangan kaget, anakku... aku
mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa...
sahabatku Yap Cong San... dan sumoi-ku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu..."
Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.
"Supek!"
Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supek-nya dan
mengguncangkan keras-keras!
"Mereka
telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat..."
Kun Liong
terhuyung ke belakang, seakan-akan supek-nya memukulnya dengan pukulan maut.
Matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang
terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat
disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat
dan matanya terbuka tanpa cahaya!
"Kun
Liong... kasihan kau..." Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan
membawanya ke biliknya di kapal perang itu.
Panglima The
Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah
menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng
Hong, setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar dan menghiburnya
dengan nasehat-nasehat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke
Cin-ling-san.
Kun Liong
juga segera meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan
tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang
kematian ayah bundanya.
***************

Kun Liong
menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia
menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan
dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penyebab
kematian mereka.
Ia mendengar
peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua
hingga tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng
mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek
Theng mati dalam keadaan telanjang bulat!
Bahkan dia
mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap
In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana
perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi.
Dia lalu
menyembahyangi kuburan empat orang anggota keluarga Theng dan setelah air
matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka
amat pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan.
Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan enam buah kuburan itu, yaitu
kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan
lantang dia berkata,
"Ayah
dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini.
Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah hal buruk, perkelahian adalah
tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat
jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, lima orang datuk kaum sesat sudah
melakukan perbuatan yang paling biadab, maka saya bersumpah takkan mau berhenti
sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuh mereka dengan tangan
saya sendiri. Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan
Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan
kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng
Hoatsu. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya.
Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan
tenang."
Setelah
bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan
tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah
tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tidak perlu ditangisi
dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia kini menjadi yatim piatu, tiada
sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara.
Namun, masih
ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara
para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di
Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang
itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang
tuanya, karena orang yang sudah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari
Kwi-eng-pang itulah.
Dengan
demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama, merampas kembali
dua buah pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya,
kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata
‘membunuh’ ini.
Selamanya
dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja. Jangankan dalam perbuatan,
bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh
dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun
alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua
pun tidak mengurangi pendirian tentang itu.
Akan tetapi,
hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan
sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus
memenuhi sumpahnya itu, biar pun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.
***************
Pada suatu
hari tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar bukan main, maka dia
memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia
duduk di atas bangku panjang menghadapi meja, dan karena tidak ada seorang pun
di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, ia mengetuk-ngetuk meja
dengan jari tangannya sambil berteriak,
"Haiii,
ada orangnyakah di sini?!"
Sampai
beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap
gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka
tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia
mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang
tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Laki-laki
ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi
sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan
kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil
membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya,
"Tuan
Muda hendak memesan apakah?"
Kun Liong
yang merasa amat lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan
yang disukainya, "Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci
arak yang manis."
Akan tetapi
alangkah mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang
dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut
yang bibirnya tebal itu menjawab, "Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan
Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi, arak tua,
dan bakpauw."
"Ya
sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua juga lumayan, pokoknya asal
perutku bisa kenyang."
Dengan
terbongkok-bongkok dan agak pincang, kakek itu kemudian masuk lagi ke dalam
meninggalkan Kun Liong duduk seorang diri. Kembali dia mendongkol bukan main.
Kalau semua pesanannya ada, mungkin untuk memasaknya orang membutuhkan waktu
yang agak lama. Akan tetapi kalau hanya bakmi, memasak sebentar pun jadilah,
dan bakpauw paling-paling hanya menghangatkan saja. Akan tetapi, sudah setengah
jam dia menanti, namun belum ada satu pun pesanannya yang datang.
Sampai
beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap
gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka
tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia
mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang
tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Saking
laparnya, Kun Liong hampir saja memanggil kakek bongkok dan pincang itu untuk
ditegurnya, akan tetapi tiba-tiba pendengarannya kembali menangkap gerakan
orang di dalam warung itu, bukan gerakan wajar melainkan gerakan dua orang yang
sangat ringan dan gesit! Hatinya penasaran bukan main, maka pemuda gundul ini
membatalkan niatnya memanggil kakek bongkok, bahkan dia berpura-pura tidak tahu
dan kembali duduk sambil memperhatikan kegiatan di dalam dengan pendengarannya.
Akan tetapi
hal ini tidak berlangsung lama. Ketika Kun Liong mengerahkan perhatiannya
dengan sikap waspada, terdengar kakek itu berjalan keluar, tetap dengan tubuh
bongkok dan langkah terpincang-pincang. Kedua tangannya memegang sebuah baki
berisi sebotol arak dengan cangkirnya yang sederhana terbuat dari tanah liat,
sepiring mi dan beberapa potong bakpauw.
Lenyap
kemendongkolan hati Kun Liong. Dia sedang lapar dan haus, kini hatinya girang
melihat makanan, biar pun sederhana. Kakek pemilik warung itu kembali pergi
masuk meninggalkan Kun Liong dan hal ini pun menyenangkan Kun Liong karena bila
dia makan sambil ditunggui kakek yang mukanya mengerikan itu tentu sedikitnya
akan mengurangi seleranya.
Mulailah dia
makan, mula-mula empat buah bakpauw diganyangnya habis dan rasanya lumayan.
Bakmi yang agak terlalu asin itu pun lenyap ke dalam perutnya, hanya tersisa
beberapa potong bawang yang kurang disukainya. Kemudian dia minum arak dari
cawan butut itu.
Begitu minum
dia pun terkejut. Lidahnya yang sudah terbiasa dapat merasakan campuran racun
yang amat kuat dalam arak itu. Akan tetapi dia tak merasa khawatir karena
maklum bahwa perutnya telah kebal menerima racun ini. Dia minum arak itu sampai
rasa hausnya hilang dan timbul pikirannya untuk melihat perkembangan apa yang
akan terjadi. Kenapa kakek aneh itu hendak meracuninya dan siapa pula
orang-orang yang tadi dia tahu sudah mengintainya dari dalam rumah.
Maka,
setelah menghabiskan beberapa cawan arak, dia pura-pura memegangi kepalanya dan
perutnya. Dia mengingat-ingat bagaimana cara racun itu bekerja, lalu berkata,
“Aihhh…
mengapa kepalaku mendadak pusing dan mata ini… ahh… mata ini ini begitu
mengantuk… Huahhh…!” Kun Liong sengaja menguap lebar agar terlihat oleh dua
orang yang dia tahu sedang mengintainya dari dalam.
Sesudah itu
Kun Liong sengaja membuat tubuhnya terkulai lemas, lantas perlahan-lahan dia
menyandarkan punggungnya pada sebuah tiang kayu yang berdiri di belakang tempat
duduknya, menguap sekali lagi lalu memejamkan kedua matanya. Pemuda ini
mengatur tubuhnya agak miring ke kiri agar lagaknya berpura-pura pingsan tidak
mudah diketahui, akan tetapi dia masih dapat mengawasi sekelilingnya, lalu dia
mulai mengintai dari balik bulu matanya kepada kakek itu.
Sekarang
terjadi perubahan yang mengejutkan hatinya. Kakek itu tak lagi terbongkok atau
pincang, melainkan bergerak dengan sigap, dengan langkah kaki seorang ahli ginkang,
dan pada tangan kanannya kini tampak sebatang tongkat pendek yang berbentuk
sebuah tangan manusia, atau lebih tepat tangan setan karena tangan itu telah
mengering, terlihat keras membaja dengan jari-jarinya hendak mencengkeram,
lengkap dengan kuku warna kehitaman yang tentu mengandung racun berbahaya.
Ehh, kiranya
seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia
masih belum bergerak, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh kedua orang
itu.
“Sungguh
bagus pekerjaan kita, tepat seperti rencanamu, Tuan Muda Markus,” kakek itu
berkata.
“Siasatmu
memang hebat, Lo-mo. Begitu melihat dia tadi berjalan seorang diri, aku sudah
langsung mengenalnya dan kebetulan sekali dia masuk ke warung ini. Habis
bagaimana dengan pemilik warung dan isterinya yang kita belenggu di dalam itu?”
“Mereka
berjasa, kalau urusan ini selesai, kita bebaskan mereka,” kata si Kakek.
“Dan aku
akan memberi mereka hadiah,” kata si Pemuda Asing.
Mereka
kemudian duduk di atas bangku dekat Kun Liong, keduanya siap dengan senjata
masing-masing. Bagaimana pun juga mereka tetap bersikap waspada terhadap pemuda
gundul yang mereka tahu amat lihai ini. Cukup lama mereka duduk dengan pandang
mata ke arah luar, seperti tengah menantikan seseorang atau sesuatu.
Kurang lebih
setengah jam kemudian, dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang
membuat Si Kakek dan Si Pemuda Asing serentak mengalihkan pandangan ke arah
suara itu. Walau pun masih cukup jauh namun pandang mata Si Kakek yang tajam
sudah dapat melihat bahwa suara itu ditimbulkan oleh dua ekor kuda yang sedang
dilarikan oleh dua orang berpakaian perwira.
“Hemm,
akhirnya yang kita tunggu datang juga,” kata Si Kakek yang segera bangkit dari
duduknya dan melangkah keluar, diikuti oleh Si Pemuda Asing yang bernama Markus
itu.
Dua perwira
yang sedang melarikan kuda menuju benteng mereka cepat memperlambat lari kuda
mereka ketika dari kejauhan melihat ada dua orang yang menghadang di tengah
jalan yang akan mereka lewati, dan akhirnya menghentikan kudanya setelah tiba
tepat di hadapan dua orang yang menghadang, yang ternyata adalah Si Kakek dan
Si Pemuda Asing. Kedua perwira itu mengerutkan alis, kemudian seorang yang
tubuhnya lebih tinggi dan tegap segera membentak,
“Ada apa
kalian menghadang kami dua orang perwira pemerintah? Apa kalian hendak
memberontak?!”
“Maafkan
kami yang menghambat perjalanan Jiwi-ciangkun, tapi kami harus melaporkan bahwa
kami baru saja meringkus seorang penjahat yang sedang dicari oleh Panglima The
Hoo,” kata Si Kakek sambil menghormat dengan mengangkat dua tangan ke depan
dada.
Dua perwira
itu sangat terkejut, membuat kerut dia atas alis mereka makin dalam.
“Siapa
penjahat itu? Dan apa yang sudah dia lakukan sampai dicari oleh Panglima Besar
The Hoo?”
“Dia adalah
Yap Kun Hong, murid keponakan dari Cia Keng Hong yang telah memalsukan pusaka
bokor milik Panglima The Hoo,” jawab kakek itu, lalu melanjutkan. “Sekarang dia
ada di dalam warung itu, sudah kami buat tak berdaya.”
Dua perwira
itu makin terkejut. Berita tentang pusaka bokor yang dipalsukan itu memang
telah beredar di kalangan tentara kerajaan, sekaligus beredar pula perintah
untuk mencari bokor yang tulen.
Namun, Kun
Liong yang memiliki pendengaran tajam dan dapat pula mendengar ucapan tadi,
bahkan lebih terkejut dari pada dua perwira itu. Dia sendiri yang menyerahkan
bokor itu kepada Panglima Besar The Hoo, bagaimana sekarang tahu-tahu pusaka
itu menjadi bokor palsu? Akan tetapi dia cepat melanjutkan sandiwara pingsannya
ketika mendengar langkah empat orang itu yang sudah memasuki warung.
“Hemm,
inikah orangnya?” tanya perwira bertubuh tinggi besar sambil memandang tubuh
Kun Liong yang bersandar pada tiang. Setelah sejenak melirik pewira lain yang
berdiri di sampingnya, dia kemudian berkata lagi, “Baik. Kalian jaga dia di
sini. Kami akan kembali ke benteng untuk mengajak pasukan ke sini dan penjahat
ini akan langsung kita bawa ke kota raja.” Dua perwira itu lalu bergegas
keluar, menaiki kuda mereka dan melarikannya ke arah utara.
Setelah dua
orang perwira itu pergi, barulah Markus membuka suara. “Jadi dia ini adalah
keponakan Cia Keng Hong. Bukankah pendekar itu merupakan pembantu Panglima The
Hoo?”
“Dia memang
pembantu Panglima The Hoo, akan tetapi sekarang dia sudah kembali ke
Cin-ling-san setelah dipanggil menghadap ke Istana Panglima The Hoo. Tidak
salah lagi, pemuda cerdik inilah yang memalsukan bokor, karena menurut cerita
yang kudengar, dia inilah orang pertama yang menemukan bokor.”
Dua orang
itu kembali duduk di dekat Kun Liong, tetap dengan senjata di tangan, menanti
kedatangan pasukan tentara yang akan mengawal tawanan ke kota raja.
Biar pun
tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya
mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang
diberi laporan, Marcus bertanya, "Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai
bukan main."
"Seperti
dewa! Guruku itu, biar pun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan goa
pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi I-beng ilmu
tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di
dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu
keluar dari goa dan turun ke dunia ramai."
Marcus
mengangguk-angguk. "Dan tiga orang susiok-mu itu, siapakah mereka? Mengapa
pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?"
"Mereka
dulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi)
yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis),
Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang
pendeta agama To. Sebagai adik-adik seperguruan guruku, kepandaian mereka
sangat hebat, namun dengan secara licik, dengan Ilmu Thi-khi I-beng maka Cia
Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka sudah selama belasan tahun
ini guruku bersemedhi hendak mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi
I-beng."
Mengenai
kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita
Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang belum pernah mendengar cerita
ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor
emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan
dendam terhadap supek-nya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.
Tidak lama
kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang
sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang prajurit segera
memasuki warung itu lantas menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih
terkulai lemas bersandar pada tiang.
"Heh-heh-heh,
tidak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat
bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat," berkata kakek yang disebut Lo-mo
tadi, lalu bersama Marcus dia menemui komandan pasukan.
Komandan
pasukan memang sudah tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan
dua orang asing baginya ini, bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama
bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
"Kita
tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah
banyak kalau bokor yang asli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini."
"Kami
tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, yaitu para pedagang di Teluk
Pohai, dengan senang hati selalu akan membantu pemerintah," jawab Marcus
sehingga hati komandan itu makin senang, apa lagi sesudah Marcus
membagi-bagikan dinar emas kepada para anggota pasukan, seorang satu dan lima
buah untuk Sang Komandan.
Kun Liong
dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian tubuhnya dinaikkan ke
atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu
pun masing-masing memperoleh seekor kuda. Marcus membebaskan suami isteri
pemilik warung dan memberi hadiah pula.
Berangkatlah
rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia amat
tertarik dan ingin sekali dihadapkan kepada Panglima The Hoo untuk mendapatkan
keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak
percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya
sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh orang-orang ambisius yang gila
uang ini.
Setelah
setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Dia pura-pura
meronta, akan tetapi punggungnya segera ditodong cakar di ujung tongkat kakek
itu, dan beberapa ujung tombak runcing para prajurit juga menodongnya.
"Mengapa
aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?" Kun Liong pura-pura bertanya
untuk menyempurnakan sandiwara.
"Heh-heh-heh,
engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau adalah
penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan
menggantinya dengan yang palsu. Sekarang katakan di mana kau menyimpan yang
asli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!"
Dengan susah
payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, lalu memandang kakek itu dan
bertanya, "Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau
ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?"
"Heh-heh-heh,
bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh-heh, di dunia kang-ouw orang
menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun)!"
"Hemm,
aku tidak mengenalmu."
"Orang
macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu."
“Aku tidak
tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun di
Laut Pohai.”
"Bohong!"
"Terserah
penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang
menentukan apakah aku bohong atau tidak."
Mendengar
ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak
prajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa
pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik.
Tentu saja
tak ada selembar rambut pun di dalam hatinya, seperti kepala botaknya, untuk
menyerahkan bokor emas yang asli kepada Panglima The Hoo! Jika sampai dia
berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.
Ujung
tongkatnya yang sebelah belakang, yaitu yang tumpul, bergerak cepat sekali dan
tahu-tahu kakek ini telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika
pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan
diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti
itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia
benar-benar tidak berdaya sehingga terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk
dibawa pergi oleh pasukan itu.
Malam itu,
rombongan pasukan berhenti beristirahat dalam sebuah hutan. Mereka semua telah
melakukan perjalanan jauh sehari suntuk sehingga semuanya merasa lelah. Setelah
menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena meski
pun kaki tangan dan tubuhnya dibelenggu pada sebatang pohon namun di waktu
makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para prajurit itu
pergi tidur di bawah pohon-pohon.
Ada pun
Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus kemudian tidur pula bersama komandan pasukan, di
dalam sebuah tenda yang didirikan secara darurat. Mereka merasa bahwa Kun Liong
tak akan mampu berkutik lagi sebab selain kedua tangannya tergantung dengan
belenggu di batang pohon, juga kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan
sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk
melumpuhkan kedua tangan dan kakinya.
Seperti
biasanya, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para prajurit menggeletak
begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di mana pun juga, yang
tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan
bekerja paling berat!
Yang menjaga
tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka
ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena
mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu
banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula
yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment