Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 22
NINA berlari
menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk pintu
kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Selado! Kakek botak
itu membawa sebuah botol yang isinya tinggal sedikit, mukanya merah dan begitu
melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar.
"Plakkk!"
"Aughhh...!"
Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak merah, matanya
terbelalak memandang suaminya.
Melihat ini,
Kun Liong merasa tangannya gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa
yang menampar adalah suami sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia
sudah keluar menegur kakek botak itu!
"Perempuan
rendah! Perempuan tak tahu malu!" Legapsi Selado memaki lalu menenggak
minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, sesudah itu sekali
mengayun tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari
kapal menuju ke laut gelap.
Kun Liong
mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu
marah-marah, mengata-ngatainya dengan gerakan tangan sambil bercucuran air
mata. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wanita itu, akan tetapi
dia melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali,
sedangkan Legaspi Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak
dengan acuh tak acuh dan pergi meninggalkan Nina.
Wanita itu
membanting-banting kaki, berteriak-teriak dan menangis. Tak lama kemudian
muncullah seorang pemuda yang bukan lain ialah Hendrik Selado, putera Legapsi
Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan merangkulnya, bergantung pada
pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak.
Hendrik
mengeluarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya. Kemudian dia
menarik tubuh ibu tirinya, diajak memasuki kamar dan lenyaplah kedua orang itu
di balik pintu kamar yang tertutup.
Kun Liong
berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh
sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba-tiba terdengar
suara tarikan napas panjang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat
bahwa Yuanita sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Keluarga
yang luar biasa..." Yuanita berkata lirih, "Kotor dan mengerikan
sekali..."
Kun Liong
menghampiri. "Apa maksudmu, Yuanita? Aku tidak mengerti."
"Mereka
itu..." Yuanita mengangkat mukanya ke arah pintu kamar di mana ibu tiri
dan pemuda itu tadi lenyap. "Sungguh mengerikan sekali! Tentu engkau tidak
mengerti apa yang diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya."
Kun Liong
menggelengkan kepalanya dan memandang wajah dara itu penuh perhatian. Wajah
yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut menyaksikan
adegan yang menegangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya.
"Dia
menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah mendapat
kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suaminya hanya namanya
saja suami, akan tetapi tak pernah mencintanya, tak pernah memperlakukannya
sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bilang... suaminya yang
terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati
kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap
isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita yang
masih muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa
lebih lama lagi dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani
kebutuhan tubuhnya sebagai seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia
serong dan suka berjinah, melainkan karena kesalahan suaminya yang tidak pernah
dapat melayani nafsu birahinya..."
"Sudahlah,
Yuanita... sudah cukup..." kata Kun Liong yang menjadi merah sekali
mukanya sampai kepalanya.
Dia merasa
heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-kata wanita barat ini. Begitu bebas
bicara tentang urusan yang bagi bangsanya merupakan pelanggaran susila yang
memalukan! Sungguh pun dia sendiri tidak melihat sebabnya mengapa urusan
manusia ini dianggap pantang untuk dibicarakan!
Yuanita
memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini berjalan
bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi.
"Kasihan
sekali Nina," kata Yuanita. "Dia hanya dipermainkan oleh nafsu
birahi, dan tidak mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena
aku mengenal cinta. Kun Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya
sebelum berjumpa denganmu, aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku
mengenalnya. Akan tetapi, begitu bertemu denganmu, tahulah aku apa yang disebut
cinta itu, Kun Liong, dan sesudah mengenal cinta, nafsu birahi sama sekali
bukan hal yang terpenting."
Mereka duduk
di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut bayangan
tiang-tiang layar sehingga tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk
berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pandang dengan
bantuan cahaya bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong
menarik napas panjang dan berkata,
"Tetap
saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku tidak dapat membalas cinta
kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak akan pernah dapat jatuh
cinta kepada wanita yang mana pun juga."
Yuanita
menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, lalu dia berbisik,
"Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu
berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang
menarik hatimu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan, tidak seperti
matamu yang hitam. Rambutku keemasan, tidak seperti rambutmu yang hitam arang
dan kulit tubuhku putih berbulu halus tidak seperti kulitmu yang kekuningan dan
halus licin tidak berbulu. Tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tak akan pernah
dapat jatuh cinta kepada wanita yang mana pun, hal itu... ahhh, bagaimana aku
dapat percaya?"
"Percaya
atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi sesudah aku melihat segala peristiwa
tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!"
"Aihh,
mengapa?"
"Karena
melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu, hanya mendatangkan
kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta antara wanita
dan pria, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya, cinta
antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan tanah airnya, antara
manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata
hanyalah pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan
diri, dan dengan apa pun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit
kesengsaraan. Bibit itu berakar dalam hati, kita terikat, dan sekali waktu
tentu akan datang saat perpisahan sehingga akar yang sudah mengikat itu akan
membuat hati kita terluka dan akhirnya membuat kita sengsara. Ikatan itu akan
mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian, karena itu cintakah
ikatan itu? Kurasa bukan!"
Yuanita
memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak. "Tentu saja itu cinta!
Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang
mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi sekaligus
diberi, ingin menikmati kesenangan, dan tentu saja di sana terdapat pula
cemburu, iri, dendam dan kebencian. Memang itulah cinta!"
Kun Liong
tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu. "Jika begitu, kasihan
sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, berarti dia hanya menunggu
kesengsaraan hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta
yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita."
"Habis
kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?"
Kun Liong
menggelengkan kepalanya yang gundul. "Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku
belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta."
Yuanita
merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas
panjang. "Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun
Liong, sekali jatuh cinta benar-benar tentu akan hebat luar biasa! Ahh, sungguh
buruk nasibku, tidak dapat memiliki cinta seorang pria seperti engkau."
"Jangan
berduka, Yuanita. Betapa pun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik yang
siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu."
Mendengar
ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak
pendekar, membuat hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas
dada Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus-elus rambutnya. Sampai
lama mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya
lagi, detak jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah.
Tak tama
kemudian, Kun Liong berkata, "Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biar pun
aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan
seperti ini sangatlah berbahaya bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu.
Engkau adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang
melihatnya, namamu tentu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang
baik."
Yuanita
menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bangkit berdiri
dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wajah pemuda itu
lalu berkata, "Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah
kulupakan, Kun Liong. Apa pun yang terjadi dengan diriku, di dalam lubuk hati
ini selalu tersimpan cinta kasih murni untukmu."
"Ahhh,
engkau memang seorang dara yang baik sekali." Kun Liong lalu merangkul dan
mencium dahi dara itu. Ciuman yang mesra dan lembut bagaikan ciuman seorang
kakak kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati
Yuanita. Dara itu terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan
diri kembali ke kamarnya.
Kun Liong
berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang dara
sebaik Yuanita dengan menolak cintanya.
Belum juga
Kun Liong pulas, tiba-tiba saja dia mendengar suara orang-orang di atas dek,
terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan
pukulan itu, Kun Liong meloncat turun dan lari keluar dari kamarnya.
Di atas dek
itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki
seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu membentak
dengan suara kaku,
"Hayo
kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!"
Orang pribumi
yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat dari daerah Pantai Pohai,
"Ampunkan saya, Tuan... ampun.... sungguh mati saya tidak melakukan
pembunuhan itu."
"Bukkkk...!"
Sebuah
pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-guling. Penyiksa
itu kembali membentak, "Hayo, mengaku atau tidak? Tuan muda Hendrik
sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir? Hayo
mengaku!"
Dengan tubuh
matang biru dan mulut mengeluarkan darah akibat giginya rontok, orang itu
berkata lemah, "Tidak... tidak... saya tidak membunuhnya..."
Raksasa itu
melotot dan melangkah maju. "Kalau begitu kau memang ingin mati!"
Diayunnya
lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Kalau terkena
hantaman dahsyat itu tentu kepala itu akan pecah atau setidaknya gegar otak.
"Dukkkk!"
Raksasa itu
berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang memegangi lengan kanannya yang
tertangkis oleh Kun Liong.
"Adouuw...
kau... kau mau membela bangsamu?" Raksasa itu membentak saat mengenal
pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda asing
gundul ini diaku sebagai sahabat oleh Tuan Muda Yuan, bahkan Nona Yuanita
kelihatannya begitu akrab dengan pemuda ini!
"Menyaksikan
orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa apa.
Yang sudah jelas, baik penyiksanya mau pun yang disiksa adalah manusia. Tuan,
mengapa kau menyiksa orang ini?" Kun Liong melirik dan kini dia mengenal
orang kurus itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja
di kapal itu sebagai pelayan.
"Dia
sudah membunuh seorang di antara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang
bernama Kitty. Dia memperkosa dan mencekiknya. Apakah engkau hendak bilang
bahwa orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?" Raksasa itu
menghardik.
Kun Liong
memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak tiga
puluh tahun usianya dan biar pun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan.
Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata,
"Demi
Tuhan, saya tidah membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk
membunuhnya? Menyusahkannya saja saya takkan tega... Nona Kitty begitu
baik..." Dan laki-laki itu menangis!
"Dia
bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut jika Nona
Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya," raksasa itu berkata. "Saya
hanya seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya
supaya dia mengakui perbuatannya yang biadab!"
Kun Liong
merasa amat curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan
sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona
itu. Dia kemudian mengingat-ingat.
Lima orang
pelayan wanita itu memang cantik dan genit-genit. Agaknya seorang laki-laki
muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang tampan, tak perlu harus
menggunakan paksaan untuk bermain-main dengan salah seorang di antara mereka.
"Soal
pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa
orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab,
tidak kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Penegak hukum adalah orang
yang menentang dan memberantas perbuatan jahat, akan tetapi apa jadinya dunia
ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih
jahat dari pada penjahat itu sendiri? Seperti semua bangsamu, engkau tentu
seorang berTuhan dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan. Juga kau sebagai
seorang manusia, dan dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar peri
kemanusiaan. Tak perlu lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang
manusia. Dia boleh jadi bersalah, akan tetapi pemeriksaan harus dilakukan
secara teliti dan hukuman harus dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Untuk
itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau menggunakan hukum rimba?"
Ribut-ribut
itu lalu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama,
Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina serta Legaspi Selado sendiri. Yuan de
Gama merasa sangat heran melihat Kun Liong sedang bertengkar dengan seorang
anak buah yang dikenal sebagai tukang pukulnya Hendrik Selado.
"Kun
Liong, apa yang terjadi?" dia bertanya.
"Yuan,
aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan
pembunuhan. Pembunuhan yang tak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya
diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membongkar rahasia
itu. Akan tetapi sekarang kulihat usaha penyelidikan itu diserahkan kepada
segala macam tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat."
Dimaki
seperti itu di depan banyak orang, apa lagi di situ terdapat Hendrik yang
menjadi majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah
menerjang Kun Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya
menghantam lurus ke arah dada Kun Liong ada pun kepalan kirinya dari bawah
melakukan ‘uppercut’, yaitu pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah menyambar
ke atas mengarah ke dagu lawan. Kedua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan
hanya berselisih dua detik saja.
Kun Liong bersikap
tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu ke arah mana dua
kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kilat kedua
tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan
terbuka.
"Krekk!
Krekk! Oouuuwww...!"
Raksasa itu
terpelanting, mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan dua tangannya yang sudah
patah tulang lengan dekat pergelangan dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk
jantung.
"Kau
berani melukai orangku...?" Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap
tenang dan sama sekali tak mempedulikan pemuda ini, karena Kun Liong
mencurahkan sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya
sebagai orang yang paling berbahaya.
"Tahan!"
Yuan cepat melompat maju dan menghalangi Hendrik. "Hendrik, kau tidak
boleh menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!"
"Tapi
dia melukai orangku, Yuan!"
"Hemmm,
semua mata tadi melihat bahwa orangmu yang memukul dan Kun Liong hanya
menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini,
akulah yang bertanggung jawab akan segala urusan. Siapa pun juga, bahkan ayahku
sendiri, apa bila berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai
kapten kapal. Akulah yang bertanggung jawab dan kupertaruhkan nyawaku sebagai
seorang kapten untuk membela kapal ini beserta keamanannya,. Urusan ini, aku
yang berhak untuk menyelidiki."
Hendrik terpaksa
mundur, kemudian Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan menundukkan
mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya terasa nyeri semua akibat penyiksaan
raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi untuk mengobati kedua lengannya.
"Hayo
katakan terus terang, apa yang kau ketahui tentang pembunuhan itu!" kata
Yuan kepada orang tersiksa tadi.
Sedangkan
Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa seorang
di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang.
Orang itu
mengangkat muka dan memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah Hendrik
dan menunduk lagi, lalu menangis! Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan
pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh
permohonan dan pertolongan, kemudian lirikannya pada Hendrik penuh ketakutan
melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut!
Melihat
semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu, "Kawan, kau
telah dituduh membunuh, kalau kau tidak mau mengaku, mungkin kau akan dihukum
mati, dan sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Jika kau
mau bercerita terus terang, andai kata kau mati pun, kau mati sebagai seorang
terhormat dan gagah. Lagi pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut
bicara?"
Mendengar
ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan, "Tuan Muda
Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita
terus terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty,
sudah lama ada hubungan cinta di antara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan
antara kami diketahui orang. Saya lalu melarikan diri dan mendengar Nona Kitty
menjerit akan tetapi saya tidak berani keluar, kemudian saya diseret dan
disiksa di sini."
Yuan de Gama
mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya, "Siapa orang yang
melihat pertemuan kalian itu?"
"Dia...
dia adalah...”
“Darrrrr…!"
Tubuh orang
itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalanya ditembus sebutir peluru.
Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong
marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya.
"Hendrik,
mengapa kau membunuh dia?" Yuan bertanya dengan nada menegur.
"Hemmm,
manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang dia
bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku
tidak sabar lagi mendengar omongannya."
"Ha-ha-ha,
Yuan! Urusan seekor anjing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan?
Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!" kata Legaspi Selado
sambil tertawa, akan tetapi matanya melirik ke arah Kun Liong.
Muka pemuda
ini makin merah, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan hingga
terjadi pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan
keluarganya. Apa lagi, orang itu sudah mati, dan betapa pun juga dia sudah
mencari penyakit sendiri dengan bercintaan dengan Kitty. Di samping itu, tugas
ke Pulau Ular lebih penting lagi.
Maka dia
lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi, memasuki kamarnya dan tidur. Di
atas pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang
terjadi.
Orang yang
menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty, kalau tidak mana mungkin ada
seorang pelayan yang berani main gila dengan seorang nona asing? Dan agaknya
Kitty itu merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya
bermain cinta, Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada
orang itu. Hemm... cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi,
apakah itu patut disebut cinta?
***************
Wajahnya
yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Akan tetapi sepasang
matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat
perlawanan, sungguh pun keadaannya amat mengkhawatirkan. Dengan sikap gagah dan
sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa
yang dibelenggu tubuhnya pada sebuah tiang di ruangan batu itu memandang kepada
pemuda yang berdiri di depannya.
Ouwyang Bouw
hampir hilang kesabaran menghadapi tawanan wanita yang dicintanya ini. Terhadap
Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan, tidak mau menggunakan kekerasan
untuk menggagahinya. Dia betul-betul jatuh hati kepada dara ini dan berharap Li
Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela.
Akan tetapi,
setelah berhari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa tak
mengacuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan menantang
minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, pesaaran, juga duka
sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan
tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah
marah-marah.
"Li
Hwa, mengapa engkau begini keras kepala? Biar pun engkau murid Panglima Besar
The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus
murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dulu juga pernah menjabat kedudukan
tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat kalau menjadi isteriku dan aku
bersumpah bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan penurut, sayangku!"
"Phuih!
Laki-laki rendah budi yang tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan
bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan
memperkosaku, maka aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang
selalu akan mengejar dan menganggumu sampai kau mampus!"
Wajah tampan
yang tadinya menyeringai itu sekarang berubah beringas. Matanya yang memang
liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya dan tangannya
sudah gemetar hendak membunuh saja dara yang membuatnya sengsara ini.
"Kalau
begitu, engkau akan kubunuh!"
"Terima
kasih, memang aku lebih suka mati dari pada melihat mukamu lebih lama
lagi!"
"Keparat,
engkau tidak akan mati begitu enak!" Dia mengeluarkan sebatang suling,
suling biasa tidak seperti terompetnya, kemudian dia meniup suling itu dengan
suara meliuk-liuk yang sifatnya liar.
Li Hwa dapat
menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu sedang mememanggil ular. Di dalam
hatinya, sebagai wanita tentu saja ia merasa jijik dan takut melihat ular, akan
tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dara ini sanggup menghadapi siksaan
apa saja dan lebih baik mati dari pada harus menyerahkan diri secara suka rela.
Tepat dugaan
Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis lalu muncullah seekor
ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan matanya ketika
melihat ular yang besar sekali itu, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa.
Dia tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya.
Ular itu
mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap kepala
ular itu seperti orang mengelus-elus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan
sulingnya dihentikan dan dia tertawa melihat Li Hwa memejamkan mata.
"Nah,
kau sudah melihatnya, bukan? Li Hwa, jangan sampai kau memaksa aku menyuruh dia
membelit-belit tubuhmu yang indah itu, dan kemudian mengganyang dagingnya
sedikit demi sedikit."
Biar pun
tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang
Bouw semua rasa takut lenyap seketika berganti rasa marah dan kebencian hebat.
Dia membuka mata, tak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang
Ouwyang Bouw sambil membentak,
"Mau
bunuh, bunuhlah. Dengan jalan apa pun terserah, aku tidak takut!"
Habislah
kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau dan
mencengkeram.
"Bret-brett-brettt!"
Pakaian yang
melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian besar tubuh dara itu kini
telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air ludah itu dapat
dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw yang lihai
dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya.
Ular besar
yang berwarna hitam berbelang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak
tinggi, matanya yang bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang
panjang dan berwarna merah itu menjilat-jilat keluar, kemudian dengan lambat
karena tubuhnya yang besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap
menghampiri Li Hwa!
Li Hwa
mencoba untuk bersikap tabah, membuka mata lebar-lebar memandang binatang itu,
menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri
dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan agaknya
terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu.
Biar pun dia
sudah berusaha bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh
kakinya, naik ke betis dan pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang
dingin menggeliat-geliat, dia tidak kuat menahan dan memejamkan kedua matanya
rapat-rapat dan berusaha melakukan semedhi mematikan rasa.
Akan tetapi
hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik terus, menjilati
seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memaksanya untuk bermain
cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouwyang Bouw,
"Li
Hwa, katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu."
Walau pun
kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian dan
kejijikannya, Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti
ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit
bagian tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu namun
belum menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dahulu sampai puas dengan
calon mangsa yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu.
Kegelian dan
kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka mata dan melihat
kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti
hendak menelan kepalanya sekaligus! Tak mampu dia menahan kengerian itu dan dia
meramkan kedua matanya, tubuhnya lemas dan dia pingsan!
Ular itu
sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan tetapi
tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh
ke arah majikannya, lehernya digoyang-goyangkan seperti dalam keadaan
ragu-ragu. Akan tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular
yang sudah terlatih ini lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun
dan meninggalkan ruangan itu.
Dengan mata
merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li Hwa mengeluh
dan membuka mata. Dara itu terheran-heran, akan tetapi jelas dia merasa lega
karena terlihat menarik napas panjang ketika melihat dia masih terbelenggu dan
ular mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi? Mimpi menyeramkan
dan sekarang baru bangun dari tidur? Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di
depannya.
"Li
Hwa, aku tak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tak mau membunuhmu.
Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, apa bila aku tidak boleh
memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!"
"Cih,
laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!" Li Hwa membentak.
Ouwyang Bouw
tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan, kedua tangannya
menyambar empat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang membuat dua lengan
dan sepasang kakinya lumpuh! Pemuda itu lalu membuka belenggu kaki tangan,
memondong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamarnya sendiri.
Dia sudah
melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka bajunya sendiri
ketika tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar.
Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu kali melainkan
banyak sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main!
Dia mengancingkan
lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa. "Kau tunggulah sebentar, manis,
aku hendak melihat apa yang terjadi di luar." Dia lantas meloncat ke luar,
maklum bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai
beberapa jam lamanya.
Li Hwa tidak
dapat bergerak, atau lebih tepat, dia tidak dapat menggerakkan kedua kaki
tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang,
pakaiannya setengah telanjang, robek-robek tak karuan dan dia mendengar suara
di luar dengan teliti dan penuh harapan.
Apakah
pertolongan datang? Gurunya? Pasukan gurunya? Atau panglima Tio Hok Gwan?
Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Akan tetapi terdengarlah
suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang menggunakan
senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan!
Jantungnya
berdebar-debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi
harapan berjumpa dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget
sekali bahwa dia mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik
turun di atas pipinya.
Akan tetapi
kembali dia khawatir melihat yang berkelebat masuk adalah Ouwyang Bouw. Muka
pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kembali membelenggu
kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas
dinding kamarnya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang sangat
berbahaya, dan meloncat keluar sesudah menutup dan mengunci pintu kamar itu
dari luar.
Li Hwa
menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa menduga
pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya. Kalau tidak
terbelenggu, mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat
bebas, akan tetapi sekarang, andai kata totokannya buyar sekali pun, dia tetap
saja masih terbelenggu dan tidak dapat bebas! Akan tetapi dia masih penuh
harapan dan di hatinya bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi di luar?
***************
Setiap pagi,
permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang sangat indah.
Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali!
Kun Liong
bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, juga sempat menikmati
munculnya matahari yang berupa sebuah bola api merah yang muncul dari permukaan
laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong bagai terbenam dalam semua
keindahan itu.
Matahari
seperti bola api besar kemerahan yang mulai menyinarkan cahayanya, seperti
membakar seluruh permukaan laut dengan warna kemerahan. Laut kemerahan ini
tampak berkeriput kecil, seperti tak pernah bergerak. Tidak ada suara terdengar
kecuali percikan air di tubuh kapal.
Langit biru
kemerahan mulai ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana sini tampak burung
burung camar laut yang beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak
tampak menggerakkan sayap, hanya meluncur dengan halus, membuat lingkaran-lingkaran
lebar.
Pada saat
seperti itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang
ada hanyalah kesadaran akan keindahan itu. Bukan akunya lagi yang menikmati
keindahan, yang ada hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti burung
camar, seperti air laut, dia merupakan sebagian dari alam dan keindahan itu
yang tak terpisahkan.
Semua ini
akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan aku-nya.
Apa bila ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka
timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan
yang lalu, atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin
melihat keindahan ini lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya.
Bila sudah
begitu, bila si aku sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar,
menjadi gambaran yang melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan
keinginan melihat kembali, menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tak
suka. Demikian pula dengan segala keindahan di dunia ini.
Selama si
aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu terjadi pertentangan. Ia lebih
kaya dari aku dan timbullah iri hati. Ia lebih miskin dari aku dan timbullah
kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya. Semua timbul dari perbandingan,
perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran.
Kalau kita
menghadapi keadaan kita dengan sewajarnya, menghadapi hanya memandang penuh
kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka tidak akan
timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah
begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih,
kasih suci murni tanpa pamrih, tanpa tujuan, tanpa keinginan, dan tanpa
DISADARI bahwa perbuatannya itu baik!
Namun, hanya
beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh rahasia
keindahan itu sebab perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di
selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tidak salah lagi, cocok dengan gambaran
yang diberikan oleh supek-nya, Cia Keng Hong!
Bukan hanya
dia seorang yang dapat melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera
memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun
dan berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk pada saat Yuan menyerukan perintah.
Legaspi Selado memberi petunjuk-petunjuk.
Perahu besar
Ikan Duyung mendekati kapal dan Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado
dan empat orang pelayan wanita, mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda
Terbang sudah siap untuk menyerbu ke Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung
hanya menanti di pantai bersama Richardo de Gama, puterinya dan pelayan-pelayan
itu termasuk anak buah perahu.
Sebelum
pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong. Secara terang-terangan di
depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan
memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik, "Hati-hatilah
kau..."
Tentu saja
Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya, akan tetapi
dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita juga
merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi.
Sesudah itu baru Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu
Ikan Duyung. Tak sengaja Kun Liong melirik dan melihat Hendrik menatapnya
dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian!
Meriam-meriam
Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan dan
peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun
Liong, pemuda ini menolak. "Senjata apimu itu sama saja dengan senjata
gelap berupa piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tak pernah menggunakan
am-gi (senjata gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci
perkelahian, benci perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk
membunuh atau melukai orang? Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua
tanganku!"
"Aihh!
Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?"
"Akan
kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya, biar
pun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan
sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang."
Yuan
memandang sahabatnya itu. "Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu
inilah adikku jatuh cinta kepadamu!"
Kun Liong
tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali.
"Sayang
kau tidak membalas cintanya."
Kun Liong
kaget, cepat mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada
rahasia! "Maafkan aku...," katanya lirih.
Yuan
menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan
gagah, tidak menggunakan kesempatan selagi ada gadis cantik mencintamu kau
gunakan untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tidak dapat
dipaksakan. Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau
mempunyai kepandaian, hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum
sesat itu..."
"Tuan,
dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas dan
ke dua menolong Nona Souw Li Hwa."
"Serahkan
nona itu pada tanggung jawabku!" Ucapan itu dikeluarkan keras-keras hingga
mengagetkan Kun Liong.

Akan tetapi
karena maklum bahwa hal ini terdorong oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk
dan berkata lirih, "Engkau pun gila oleh cinta seperti adikmu."
Yuan
menghela napas duka. "Agaknya memang sudah nasib kami kakak dan adik untuk
berduka, menjadi korban cinta sepihak."
"Bagimu
belum tentu, Yuan."
Agaknya Yuan
tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata, "Semua
telah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado
menghadapi Toat-beng Hoatsu dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku
menghadapi anak buah Pulau Ular, akan kupimpin sendiri dan aku sekalian hendak
mencari Li Hwa. Harap saja engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan
rencana penyerbuan."
Kun Liong
meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata, "Aku siap dan
taat, Kapten!"
Yuan tertawa
dan menampar pundak Kun Liong. "Gila kau!"
Sesuai
rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat ke pantai lalu menembakkan meriamnya. Para
anak buah Pulau Ular yang berkumpul di pantai untuk menyambut penyerbuan itu,
kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Yuan dan anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat.
Mulailah
terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api menimbulkan
bising, diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang
jarak jauh ini. Akan tetapi pihak Yuan bisa terus mendesak sampai ke tengah
pulau di mana terjadi sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol semakin
tidak berguna, lebih banyak terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan
kepalan tangan.
Toat-beng
Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong sudah bersiap menyambut. Kun Liong bersama Legaspi
Selado dan Hendrik lalu menghadapi mereka, seperti yang sudah direncanakan. Kun
Liong melawan Toat-beng Hoatsu, ada pun Legaspi dengan puteranya mengeroyok
Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama
karena terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh,
"Aku
mencari benda itu!" Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun
Liong dikeroyok dua oleh Ban-tok Coa-ong.
Agaknya
Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang dia tahu memiliki kepandaian
tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek itu tak akan
mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia. Hanya
dia, Toat-beng Hoatsu dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana tempat rahasia
itu.
Diam-diam
Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoatsu, dia repot
setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar sangat lihai.
Mula-mula kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerang hanya dengan
tangan kosong saja. Akan tetapi pemuda itu selalu dapat mengelak dari
serangannya, bahkan berani pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat
seluruh lengannya tergetar, tanda bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang
yang amat kuat!
Karena
penasaran, Toat-beng Hoatsu lalu menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu
jubahnya dan begitu diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun
membawa tangan maut itu, Kun Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya
biar pun membuat jubah itu terpental, namun lengannya terasa pedas juga sedangkan
lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa, berbeda kalau lengan kakek itu yang
ditangkisnya!
Dan sekarang
mendadak Hendrik dan Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan
puteranya itu berwatak curang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk
sedangkan mereka sendiri pergi mencari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas
itu terjatuh ke tangan Legaspi, kakek asing yang tidak kalah jahatnya
dibandingkan dengan para datuk kaum sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan
bokor pusaka.
Namun, dia tidak
mempedulikan kakek asing itu. Andai kata bokor didapat oleh kakek itu, kelak
akan mudah dicari. Sekarang yang paling penting dia harus mencurahkan seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok
Coa-ong yang lihai.
Sebetulnya,
mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti
Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong
masih jauh lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan dua orang kakek sesat
yang hanya memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak
karuan dan semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki
dasar yang kuat.
Juga dalam
hal sinkang, pemuda gundul ini telah memiliki sinkang Pek-in-ciang dari Tiong
Pek Hosiang, sinkang istimewa untuk membetot dari Bun Hwat Tosu, dan terutama
sekali Thi-khi I-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia
pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya.
Akan tetapi
dia kalah pengalaman, terutama sekali kedua orang kakek itu adalah ahil-ahli
ilmu muslihat licik, ditambah lagi Toat-beng Hoatsu menggunakan senjata jubah
ada pun Ban-tok Coa-ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang
ular di tangan kanan. Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan
sinkang-nya melindungi tubuh, mengerahkan ginkang untuk mengelak dengan
berloncatan ke sana-sini, dan juga mainkan Pat-hong Sin-kun yang dapat membuat
penjagaan delapan penjuru!
Pertempuran
antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi karena tidak
ada lagi kesempatan untuk menggunakan senjata api, orang-orang barat itu dalam
pertandingan senjata tajam dan kepalan tangan kalah pandai oleh anak buah Pulau
Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak.
Akan tetapi, Yuan de Gama yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera
menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggota lawan dan menyeretnya ke
pinggir.
"Lekas
katakan, di mana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!"
Orang Nepal
itu yang tengkuknya dicengkeram oleh tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri
sekali, maka dia menjawab gagap. "Dia... di... pondok Kongcu...!"
"Lekas
kau bawa aku ke sana. Kalau kau membohong akan kubunuh, kalau tidak, akan
kulepaskan!"
Sambil
mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke arah
pondok Ouwyang Bouw. Yuan lantas menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia
lari masuk sambil berteriak memanggil, "Li Hwa...! Li Hwa...!"
"Tuan...!"
Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak.
Ditamparnya
leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari
masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di
pembaringan dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang,
rambut awut-awutan dan muka pucat, Yuan menjerit. "Duhai... Li Hwa...
kau...!"
"Yuan!
Syukur kau datang...!"
Yuan segera
melepaskan belenggu kaki tangan dara itu, dan seperti digerakkan tenaga
mukjijat mereka saling dekap, saling cium dan keduanya lalu menangis! Akan
tetapi Yuan berbisik, "Tenanglah, kekasihku, dewiku... ahh, Li Hwa yang
kucinta, kau telah selamat... mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk
ini..."
Sambil
tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih
lemas sekali, pergelangan kedua tangan serta kakinya masih luka-luka bekas
belenggu yang kuat. Dara ini hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu,
merebahkan dan menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik,
"Yuan... aku... aku cinta padamu..."
Ucapan ini
membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak
mengijinkan, hanya air matanya saja yang berderai saking terharu dan
bahagianya. Dia memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong
sebuah benda pusaka keramat yang dipujanya, kemudian berlari keluar dari pondok
itu dan terus berlari cepat menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang
yang masih terjadi di situ.
Setibanya di
Kapal Kuda Terbang, dia segera memerintahkan beberapa anak buah yang melayani
kapal dan tidak turut bertempur, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan
kapal agak ke tengah, akan tetapi lebih dahulu melepaskan perahu-perahu kecil
di pantai sehingga para anak buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal
kalau pertandingan sudah selesai.
Setelah
memondong tubuh Li Hwa ke dalam kamarnya dan merebahkan dara itu di atas
pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas,
lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki,
memberikan seperangkat pakaian Yuanita untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu
berkata,
"Li
Hwa, kau menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan
yang masih bertempur."
"Jangan...!"
Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng Hoatsu,
Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow. "Mereka amat sakti..."
Tahu bahwa
dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan lantas
membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang kini sudah duduk itu. Muka Li
Hwa menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu
dibalasnya dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia
menjadi malu sendiri dan dia ikut turun dan berdiri.
"Jangan
khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak
buah, dan terutama sekali, di sana juga ada sahabatku yang paling hebat, yaitu
Yap Kun Liong."
"Ohhhh...!"
Sungguh Li Hwa tidak menyangka akan hal ini dan diam-diam dia pun girang karena
dia tahu bahwa pemuda gundul itu benar-benar lihai, meski pun dia masih sangsi
apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular.
Mereka
keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal.
"Aku
harus membantu mereka, dan kau tinggallah di sini, sayang."
"Tidak,
aku akan ikut denganmu!"
"Jangan…
kau masih lemah."
"Hanya
luka-luka ringan dan sekarang sudah pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh,
lihat, mereka datang..."
Yuan
menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besar
milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengan sigap ke
darat lalu menyerbu ke pulau.
"Mereka
itu tentulah anak buah Suhu!" Li Hwa berseru girang.
Mendengar
ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa yang
menggandeng lengannya. Agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi.
Diam-diam Li
Hwa melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan pun mencintanya.
Cinta yang mendalam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan
tetapi Yuan adalah pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan
dapat menyetujui perjodohan ini?
Apa pun yang
akan terjadi, dia tetap akan hidup bersama dengan Yuan. Kalau perlu dia akan
menentang gurunya. Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun tidak boleh
mencampurinya, termasuk gurunya sendiri!
Apakah yang
terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa? Ketika itu, Kun
Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat
yang amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih
sempat mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata
terompet.
Akan tetapi
jubah di tangan Toat-beng Hoatsu menyambar dari samping, dan dia merasa seperti
diseruduk oleh gajah. Tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sejauh sepuluh
meter! Baiknya, sinkang di dalam tubuhnya yang otomatis itu sudah
menyelamatkannya sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening,
nampak bintang-bintang kecil menari-nari.
Terlempar
sejauh itu ternyata menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat menyambar
sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang lawannya
menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu. Dia kemudian
memainkan Siang-liong Pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri.
Kedua orang
kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan
Toat-beng Hoatsu hampir saja buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah
di pundak kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas.
Mereka kaget dan marah.
Ban-tok
Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia sudah
menerjang lagi dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak. Akan
tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan, dia lebih leluasa melawan
dan penjagaannya lebih kuat, karena setiap kali menangkis ranting-ranting itu
dapat dia serongkan sebagai serangan balasan.
Pada saat
itu terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan pemerintah yang
dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia Keng Hong!
Sekali ini Panglima Besar The Hoo memimpin sendiri penyerbuan, bukan
semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi
terutama sekali karena dia merasa khawatir dengan keselamatan murid tunggalnya
yang juga seperti puterinya sendiri, Souw Li Hwa.
Kedatangan
pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama sekali.
Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban
di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus.
Para pasukan
pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan karena
bukankah sekarang telah ada semacam ‘perdamaian’ antara orang-orang bule ini
dengan pemerintah , karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai
Pohai? Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu menjadi amat girang dan
mundur untuk beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular
segera terdesak hebat dan banyak di antara mereka berjatuhan.
Sementara
itu, ketika melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang datuk, Cia Keng Hong
bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Dua orang sakti ini kagum bukan
main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting mampu
mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu. Mereka
segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong,
"Mundurlah
kau dan mengasolah!"
Kun Liong
menjadi gembira bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah
menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak
melihat Owyang Bouw? Ke mana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini?
Pemuda itu
sedang berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua
orang datuk itu takut kalau-kalau musuh mempergunakan siasat memancing harimau
keluar dari goa, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena
mereka sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, tak perlu kiranya Ouwyang
Bouw membantu mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas!
"Supek,
teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!"
"Hemmm,
kalau begitu pergilah!" Keng Hong berkata cepat.
Sesudah
memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan main
gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The Hoo
itu! Dia lalu pergi dan meloncat ke arah ke mana perginya Legaspi dan Hendrik
tadi.
Ke mana
perginya Legaspi Selado dan puteranya? Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak
melihat Ouwyang Bouw, dan dia langsung menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu
yang bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular,
mencekiknya dan mengancam,
"Hayo
katakan di mana adanya Ouwyang-kongcu!" Dia tidak menanyakan bokor emas
karena menduga bahwa anak buah di situ kiranya tidak ada yang diberi tahu dan
memang dugaannya itu tepat.
Karena
takut, orang itu lalu memberi tahu di mana kamar pusaka, karena tadi dia
melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat
rahasia. Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu
memutar sebuah patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka hingga
terdapat sebuah pintu! Legaspi menampar pecah kepala orang itu, kemudian
bersama Hendrik dia memasuki pintu rahasia!
Pada saat
Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, kebetulan Hendrik
melihat berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang, Ouwyang Bouw tentu saja
sudah tahu bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi
Selado yang sudah diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang
melawan kakek botak itu. Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan
terlihat oleh Hendrik.
"Heee...
berhenti...!" Hendrik mengejar dan mencabut pistolnya.
Melihat ada
lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek ketika
melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata api
di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan kecepatan pelurunya, dan
lebih bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik,
tangannya sudah menggenggam jarum-jarum mautnya.
Melihat
orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa
orang-orang di Pulau Ular ini tentu sangat lihai, cepat mengangkat lengan,
membidik dan menarik pelatuk pistolnya. Semua gerakan ini dilakukan cepat
sekali karena dia termasuk seorang penembak ulung di negaranya.
Akan tetapi
gerakan Hendrik masih terlalu lambat bagi pandangan Ouwyang Bouw yang telah
bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol diarahkan kepadanya. Dia
miringkan tubuh dan gerakan ini hanya memerlukan waktu seperempat detik saja,
ada pun jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai sasarannya paling cepat
setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan sebelum Hendrik sempat
menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan menggerakkan tangannya.
Melihat
cahaya merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang dengan senjata gelap.
Cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan.
Hanya tiga
perempat saja dari jarum-jarum yang digenggam itu menyerang dan semua ini dapat
dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum segera menyusul sedetik kemudian
dan sekali ini, walau pun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah cepat dan
sambil berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah memasuki dadanya!
"Hendrik...!"
Legaspi berteriak.
Kakek botak
ini sudah keluar dari rumah itu dan mengejar. Terlambat dia karena melihat
puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat memanggil nama puteranya.
Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan cepatnya sambil
memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan puteranya dan terus
mengejar.
Owyang Bouw
tidak berani melawan Kakek Botak itu. Ia telah mendengar dari para datuk kaum
sesat betapa lihainya kakek asing ini, maka dia tidak mau membahayakan dirinya
sendiri. Dia mengerahkan tenaga ginkang-nya, dan berlari lebih cepat lagi masuk
keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu.
Namun kakek
itu tetap dapat mengejarnya, makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw
menjadi panik sekali. Sebentar lagi dia tentu akan tersusul. Dia meloncati
jurang, namun pengejarnya mampu meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia
mendengar suara kakek itu dekat di belakangnya.
"Serahkan
bokor itu kepadaku, ke mana pun kau lari tentu akan terdapat olehku!"
Mendengar
suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw betapa tinggi
ilmu ginkang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam
pikirannya. Bokor atau nyawa? Dia memilih nyawa dan tiba-tiba saja dia
melontarkan bokor emas itu sekuatnya ke dalam jurang!
Perhitungannya
tepat sekali. Begitu melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi segera
mengejar benda itu dan tidak lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang
paling penting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andai kata
tidak ada bokor itu, tentu saja dia akan membunuh pemuda itu karena telah
merobohkan puteranya.
Mendapatkan
bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian kembali berlari.
Ketika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh itu
hingga telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun
yang amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia
menolong.
"Ayah...
tolonglah saya..."
Legaspi
Selado bangkit berdiri. "Percuma, tidak lama lagi kau tentu akan mati. Dan
lebih baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina."
Sesudah
berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia
telah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih
berlangsung, apa lagi menolong Souw Li Hwa seperti yang direncanakan. Bokor
sudah didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik!
Apa lagi dia
bisa melihat dari jauh betapa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang
bertanding dan terdesak oleh dua orang yang lihai bukan main. Yang seorang dia
tidak mengenalnya, akan tetapi yang melawan Toat-beng Hoatsu yang dia tahu
sangat sakti, adalah orang yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri,
karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima Besar The Hoo yang namanya tidak
saja menggemparkan seluruh Tiongkok, akan tetapi juga terkenal jauh di
negara-negara di luar Tiongkok!
Maka dia
berlari makin cepat dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang
berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong.
Dari jauh
dia tidak melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor. Akan tetapi karena
dia tahu bahwa Legaspi Selado bersama puteranya tadi pergi meninggalkan
gelanggang pertandingan tentu untuk mencari bokor, maka dia mengejar terus.
Di jalan
tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan tanda-tanda keracunan jarum merah milik
Ouwyang Bouw. Akan tetapi di sana tidak nampak Ouwyang Bouw atau mayatnya.
Apakah kakek di depan itu masih sedang mengejar Ouwyang Bouw? Dia tidak tahu
maka dia mempercepat larinya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek itu
benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biar pun dia sudah tua dan tubuhnya
gendut.
Legaspi
telah meloncat ke atas sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung
kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar di tengah laut dengan Perahu
Ikan Duyung, dalam jarak yang tidak terlalu jauh.
Kun Liong
yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di kapal
dan meloncat ke atas kapal itu. Karena itu dia pun cepat menggunakan sebuah di
antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang, namun sengaja dia
mengambil jalan memutar.
Sementara
itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum bahwa
penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintahkan Perahu Ikan Duyung
yang ditumpangi ayah serta adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh
(jangkar) dan berlayar lebih dulu ke utara. Ada pun dia dengan Li Hwa yang
memiliki kepandaian tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi
kesempatan kepada kawan-kawan yang lain untuk kembali ke kapal.
Dan benar
saja, dia melihat dari pantai ada tujuh orang temannya yang tergesa-gesa naik
perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi Legaspi Selado sudah meloncat lebih
dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama dan Li Hwa betapa bokor emas
itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik jubahnya!
"Guruku
sudah berhasil merampas bokor!" kata Yuan gembira karena memang menurut
rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar
perhubungan antara para pedagang dengan pihak kerajaan menjadi makin erat yang
hasilnya tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing.
Souw Li Hwa
menghadapi Legaspi dan berkata, "Kembalikan bokor emas itu kepadaku."
Akan tetapi
Legaspi memandangnya dengan mata terbelalak dan melotot marah. "Kau!
Bukankah engkau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan
sahabatku? Kau harus mati!" Sambil berkata demikian, Legaspi langsung
mengeluarkan cambuknya yang lihai, lalu mengayun cambuk di atas kepala sampai
terdengar ledakan-ledakan, kemudian cambuknya menyambar turun ke arah tubuh Li
Hwa!
Walau pun Li
Hwa masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan
meloncat ke kiri. Dia sudah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia
siap menghadapi lawan tangguh itu dengan tangan kosong.
"Tuan
Legaspi Selado, jangan serang dia!" Yuan de Gama membentak, "Dia
adalah murid Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan
bokor..."
Cambuk itu
menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek.
"Ha-ha-ha,
kau hendak melawan gurumu, ya?"
Legaspi kini
kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan biar pun Li Hwa
dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas menyerang.
Tubuhnya masih amat lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian
Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali pada
pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya
robek.
"Tuan
Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!"
Mendengar
ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama. Dia
maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu.
"Saya
adalah kapten kapal ini, biar pun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah
kapten!"
Pada saat
itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat
di atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat
mereka itu adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu
cukup bagi Legaspi. Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika
pistolnya direnggut ujung cambuk dari tangannya!
"Ha-ha-ha!
Cepat tangkap mereka!" Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang
dengan cambuknya.
Yuan dan Li
Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua orang di antara tujuh kaki
tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan menodongkan senjata itu, terpaksa mereka
menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti mati, maka
untuk sementara ini lebih baik menyerah.
"Ikat
mereka di tiang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!" kata Legaspi.
"Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!"
Di dalam
kesibukan itu mereka semua tidak melihat Kun Liong yang menyelinap naik dan
tahu-tahu pemuda gundul ini sudah berada di belakang tiang di mana Li Hwa dan
Yuan dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka
kemudian membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua
orang tawanan itu tidak mungkin lolos.
"Terima
kasih, Kun Liong..."
"Sssttt,
kalian lawan tujuh orang itu dan aku akan menghadapi Legaspi!" Kun Liong
cepat meloncat ke luar.
Gegerlah
tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul ini muncul bagaikan
setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, tetapi dari belakang mereka
meloncat keluar lima orang pelayan pribumi yang segera menyergap mereka. Hanya
mereka yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata saat melarikan
diri dan meninggalkan banyak mayat kawan mereka.
Terjadi
perkelahian hebat dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan
tetapi Kun Liong yang bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah
pistol terlempar ke laut. Li Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh
orang anak buah Legaspi Selado, ada pun kakek botak itu sendiri, dengan bokor
emas dirangkul oleh lengan kiri dan cambuknya dipegang di tangan kanan, terpaksa
menghadapi serbuan Kun Liong!
Ada pun Yuan
dan Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan
mereka. Apa lagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan
kakek botak yang lihai itu, dia mengerahkan semua tenaga yang masih ada dan
berkat ilmu silatnya yang lebih tinggi, dengan dibantu Yuan, sebentar saja dia
dapat merobohkan mereka seorang demi seorang...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment