Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 39
WAJAH Pek
Hong Ing yang cantik jelita dan segar itu sebentar pucat sebentar merah ketika
dia mendengar dari para pelayan bahwa kedua orang pendeta Lama yang sudah pergi
hampir dua bulan itu, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, hari itu telah kembali
ke kuil. Jantungnya berdebar keras dan bermacam pertanyaan mengaduk-aduk
hatinya.
Apakah dua
orang pendeta itu telah berjumpa dengan Kun Liong? Apakah sudah bertemu dengan
Ketua Cin-ling-pai? Apa yang sudah terjadi? Harapan dan kecemasan membuat
jantungnya berdebar-debar tegang dan dia segera lari keluar dari dalam kamarnya
untuk menemui mereka.
Mereka sudah
duduk di ruangan besar, bersila di atas bantalan kuning. Hun Beng Lama, Lak
Beng Lama, dan Sin Beng Lama yang mendengarkan laporan mereka. Ketika mereka
bertiga melihat munculnya Hong Ing, Sin Beng Lama lalu tersenyum dan berkata,
"Hong
Ing, kau duduklah. Biar pun kedua orang susiok-mu belum berhasil mendatangkan
Kun Liong, namun kami yakin bahwa tidak lama lagi dia akan muncul di
sini."
Hong Ing tak
menjawab, matanya memandang ke arah seorang anak laki-laki berusia lima tahun
yang duduk di atas lantai dekat dengan Lak Beng Lama. Anak laki-laki itu tampan
dan sehat, matanya tajam bersinar-sinar dan kelihatan sedang marah.
Mendengar
ucapan Sin Beng Lama tadi, anak laki-laki itu segera membuka mulutnya dan
berkata, suaranya nyaring dan lantang, "Kalau Suheng Yap Kun Liong datang
bersama ayahku, kalian tentu akan dihajar sampai mampus!"
Tentu saja
Hong Ing terkejut sekali mendengar ucapan anak itu yang menyebut Suheng (kakak
seperguruan) kepada Kun Liong. Ia cepat menghampiri, memandang anak itu dan
bertanya kepada Sin Beng Lama. "Susiok, siapakah anak ini dan dari mana
dia datang?"
Bibir Sin
Beng Lama yang bersikap lemah lembut itu tersenyum, "Dia ikut bersama
kedua orang susiok-mu..."
"Aku
diculik!" Anak itu berseru marah. "Pendeta-pendeta menculik anak
kecil, sungguh tak tahu malu!"
Hong Ing
semakin kaget dan heran, juga kagum menyaksikan sikap yang demikian tabah dari
anak itu.
"Lak
Beng Susiok, siapakah dia itu?" tanyanya kepada paman gurunya ke tiga yang
terus menjaga anak itu.
"Dia?
Ha-ha-ha, dia adalah putera Ketua Cin-ling-pai..."
"Ohh...!
Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) tidak memegang janji! Aku minta agar supaya
Yap Kun Liong yang dibawa ke sini, mengapa malah membawa anak kecil, putera
Ketua Cin-ling-pai yang tidak tahu apa-apa?"
"Siancai...!
Kami sama sekali tidak melanggar janji. Kami membawa anak ini ke sini justru
adalah untuk memenuhi janji kami karena hanya dengan cara inilah Yap Kun Liong
dapat muncul di sini," Lak Beng Lama berkata.
"Apa
maksud Susiok?"
Hun Beng
Lama yang sikapnya lebih halus dibandingkan dengan Lak Beng Lama segera
menjawab, "Kami tidak berhasil bertemu dengan Yap Kun Liong di
Cin-ling-san, bahkan Ketua Cin-ling-pai juga tidak berada di rumahnya. Kami
hanya bertemu dengan isterinya dan puteranya ini, maka terpaksa kami membawa
puteranya ini ke sini dan meninggalkan pesan kepada isterinya bahwa apa bila
Ketua Cin-ling-pai mengantarkan Yap Kun Liong ke sini, maka puteranya akan
dikembalikan. Bukankah ini merupakan cara terbaik untuk memaksa Yap Kun Liong
datang ke sini?"
Setelah
mendengar penjelasan ini, wajah yang tadinya pucat itu menjadi merah kembali
dan berseri gembira. Diam-diam hati Hong Ing merasa gembira sekali karena
siasatnya sudah berhasil. Memang sebaiknya begini karena perbuatan dua orang
pendeta Lama itu tentu akan memancing kemarahan Pendekar Sakti Cia Keng Hong,
dan tentu pendekar itu bersama Kun Liong akan muncul di tempat ini! Dan kalau
Kun Liong datang bersama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, tentu ayahnya dan dia
sendiri akan dapat diselamatkan.
"Ahh,
maafkan saya, Ji-wi Susiok! Kiranya begitukah? Memang baik sekali dan saya amat
berterima kasih kepada Ji-wi Susiok. Akan tetapi, supaya anak ini tidak rewel
dan senang tinggal sementara di sini, biarlah dia tidur bersama saya."
Sin Beng
Lama tersenyum. "Sebaiknya begitu. Bawalah dia ke kamarmu."
Hong Ing
menghampiri anak itu yang memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh
curiga.
Hong Ing
tersenyum manis dan menyentuh pundak Cia Bun Houw. "Mari ikutlah bersama
Enci."
Tiba-tiba
Bun Houw menggerakkan tangan menangkis lengan dara itu dengan sigap dan
mengelak ke belakang. "Siapa kau? Kalian semua orang jahat!"
bentaknya.
Hong Ing
memandang kagum. Anak ini benar-benar amat tampan dan bersemangat, baru berusia
lima tahun sudah memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya.
"Jangan
salah duga, Adik baik. Para Locianpwe yang membawamu ke sini bukan berniat
jahat. Engkau hanya disuruh tinggal di sini hingga ayahmu datang menjemputmu.
Marilah, aku Pek Hong Ing, dan aku sama sekali tidak berniat jahat
kepadamu."
Melihat dara
yang cantik jelita itu bersikap halus kepadanya, kecurigaan Bun Houw mulai
berkurang. Dia mengangguk biar pun dia menolak ketika Hong Ing hendak
menggandeng tangannya.
"Siapakah
namamu, Adik yang baik?"
"Namaku
Cia Bun Houw," jawabnya singkat.
"Adik
Bun Houw, mari ikut bersamaku. Engkau tentu lapar. Kita makan lalu bermain dan
bercakap-cakap di dalam taman. Di sini terdapat sebuah taman yang indah."
Sikap yang
amat ramah dan baik dari Hong Ing menghibur juga hati anak itu dan dalam
beberapa hari saja dia sudah menjadi sahabat baik Hong Ing dan menaruh
kepercayaan besar terhadap dara itu. Dua pekan kemudian, ketika Hong Ing
mengunjungi ayahnya di dalam kamar hukuman, dia sengaja mengajak Bun Houw.
Kamar hukuman
itu amat luar biasa, tidak patut disebut kamar hukuman, karena kamar itu
merupakan kamar yang lebarnya empat meter persegi dan kosong sama sekali tidak
ada perabotnya sepotong pun. Di tengah-tengah kamar ini, duduk bersila seorang
kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Kok Beng Lama.
Memang luar
biasa cara para Lama Jubah Merah ini. Yang merupakan belenggu hukuman hanyalah
janji-janji mereka yang lebih kokoh dari pada belenggu baja. Kok Beng Lama
menjalankan hukuman yang dijatuhkan padanya dengan cara bersemedhi siang malam,
hanya berhenti apa bila tubuhnya membutuhkan makan saja, atau membutuhkan
istirahat dan tidur. Selain terpaksa memenuhi kebutuhan jasmaninya, semua
waktunya dihabiskan dengan bersemedhi!
Agaknya
kakek ini telah mengambil keputusan nekat akan menghabiskan usianya dengan
bersemedhi, sesudah dia memperoleh janji ketiga orang sute-nya bahwa puterinya,
Pek Hong Ing, tak akan diganggu. Satu-satunya orang yang dapat menyadarkan
kakek ini dari semedhinya hanyalah Hong Ing.
Setiap kali
puterinya ini datang tentu dia suka untuk menghentikan semedhinya kemudian
bercakap-cakap, bahkan juga menurunkan semua ilmunya kepada Hong Ing. Kalau
bukan puterinya, meski siapa saja dan meski diapakan juga dia tidak akan dapat
disadarkan dari semedhinya.
Sesudah
membuka pintu kamar itu dengan sangat hati-hati dan melihat ayahnya sedang
bersemedhi seperti biasanya, Hong Ing menuntun tangan Bun Houw dan mengajak
anak itu berlutut lalu duduk bersila di depan kakek itu, dalam jarak dua meter
karena mereka berdua duduk bersandar dinding di atas lantai yang mengkilap
bersih, karena sering kali dibersihkan sendiri oleh Hong Ing.
Kakek itu
masih duduk bersila dan memejamkan matanya. Namun pendengarannya yang sudah
terlatih hebat dan sangat tajam itu dapat menangkap semua suara dan mengikuti
semua gerak-gerik Hong Ing dan Bun Houw.
"Anakku,
dengan siapakah engkau memasuki kamar ini dan mengapa engkau mengajak orang
lain?"
Suara itu
halus, akan tetapi penuh teguran. Hong Ing cepat menjawab dengan suara agak
manja, "Ayah, inilah Adik Cia Bun How, putera dari Ketua
Cin-ling-pai!"
"Hemm,
suruh dia keluar dari kamar ini!" kakek itu membentak tanpa membuka
matanya.
Bun Houw
yang menyaksikan itu semua tiba-tiba berkata dengan suaranya yang bening
nyaring, "Enci Hong Ing, mengapa engkau mengajak aku masuk ke tempat ini?
Mana dia ayahmu? Kakek yang galak dan tua ini? Ahhh…, dia tidak patut menjadi
ayahmu, Enci. Engkau begini halus dan baik, akan tetapi dia begitu galak dan
jahat!"
"Hushh...
diamlah!" Hong Ing menegur anak itu.
Dia teringat
akan cerita Kun Liong mengenai Pendekar Sakti Cia Keng Hong, maka dia cepat
berkata lagi untuk memancing perhatian ayahnya. "Ayah, dia ini adalah
putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, murid tunggal
dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong...!"
Akan tetapi kakek
itu sudah tertarik sekali pada waktu mendengar suara Bun Houw tadi, suaranya
yang begitu bening dan seperti jarum-jarum menusuk telinganya, suara yang hanya
dapat dimiliki seorang bocah yang cerdas dan berbakat baik sekali. Maka dia
telah membuka kedua matanya memandang. Sinar kagum terpancar keluar dari
matanya ketika dia memandang Bun Houw, apa lagi ketika mendengar bahwa Bun Houw
adalah putera dari seorang murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong!
Melihat
sikap ayahnya, Hong Ing cepat-cepat menyambung, "Ayah, aku ingin agar Adik
Bun Houw menjadi muridmu!"
"Hemmmm...!"
Tiba-tiba kakek itu meluruskan lengan kanannya.
Bun Houw
yang sejak tadi memandang wajah kakek itu menjadi terbelalak kaget melihat
betapa lengan yang besar itu dapat mulur memanjang keluar dari lengan bajunya,
terus memanjang sampai tangan itu mencengkeram punggung bajunya dan
mengangkatnya ke atas lalu menariknya dekat dengan muka kakek itu!
Memang hebat
sekali kepandaian Kok Beng Lama. Sinkang-nya sudah sedemikian tinggi tingkatnya
sehingga dia mampu membuat lengannya mulur memanjang sampai hampir dua meter!
Dengan kepandaian seperti ini, tentu saja dia merupakan seorang lawan yang amat
berbahaya bagi siapa pun.
"Bagus!
Kau anak baik sekali... kau benar ingin menjadi muridku?" tanya kakek itu
sambil memeriksa tubuh anak itu dengan pandang matanya dan dengan rabaan
jari-jari tangan kirinya, terutama sekali meraba-raba tengkorak kepala Bun
Houw.
Bun Houw
adalah seorang anak yang usianya baru lima tahun, akan tetapi dia pun putera
suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia cerdik sekali.
Melihat kenyataan bahwa kakek aneh ini adalah ayah dari Pek Hong Ing yang
bersikap amat baik padanya, kemudian bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang
amat hebat sehingga akan mampu melindunginya di tempat asing itu, maka tanpa
ragu-ragu lagi dia menjawab,
"Aku
suka sekali menjadi muridmu!"
"Ha-ha-ha!"
Kok Beng Lama tertawa dan melepaskan tubuh anak itu ke atas lantai.
Kini hatinya
girang sekali karena tadinya dia merasa agak kecewa melihat bahwa bakat
puterinya sendiri masih jauh agar bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmunya yang
membutuhkan ‘wadah’ yang kuat dan berbakat. Kini, melihat Bun Houw, dia
menemukan seorang murid yang pasti akan dapat mewarisi semua kepandaiannya.
"Suhu...!"
Bun Houw yang berotak cerdas itu pun sudah berlutut sambil memberi hormat dan
menyebut suhu.
"Ha-ha-ha...!"
Kakek itu kembali tertawa.
Hong Ing
girang sekali. Dia lantas memeluk Bun Houw dengan girang. "Sekarang engkau
menjadi sute-ku (adik seperguruanku) dan aku adalah suci-mu (kakak
seperguruanmu)."
"Suci...!"
Bun Houw memberi hormat kepada dara itu.
Mulai hari
itu, Bun Houw menjadi murid Kok Beng Lama dan setiap hari anak itu berada di
dalam kamar hukuman untuk menerima petunjuk dan gemblengan kakek aneh itu. Kok
Beng Lama memang berwatak luar biasa. Dia sama sekali tidak peduli dan tidak
ingin tahu mengapa putera Ketua Cin-ling-pai itu bisa berada di tempat itu.
Dia tidak
mau mempedulikan lagi urusan dunia, maka dia tidak pernah bertanya kepada Hong
Ing mau pun kepada Bun Houw. Setiap hari dia hanya mengajarkan ilmu kepada
puterinya dan muridnya itu, tanpa membicarakan urusan lain lagi. Pekerjaannya
setiap hari hanya mengajar dan bersemedhi, lain tidak.
Tentu saja
setiap gerak-gerik Pek Hong Ing dan Cia Bun Houw tidak pernah terlepas dari
penyelidikan tiga orang pendeta Lama, namun mereka tidak menghalangi ketika
melihat bahwa Bun Houw menjadi murid suheng mereka yang menjalani hukuman itu.
Mereka percaya penuh akan janji Kok Beng Lama, dan mereka juga sudah mengenal
betul watak suheng mereka itu yang mungkin dapat mengamuk serta memusuhi mereka
mengenai urusan pribadi, tetapi akan membela dengan taruhan nyawa apa bila
perkumpulan agama mereka diserang musuh dari luar.
Di samping
itu, Hong Ing juga tidak memperlihatkan sikap mencurigakan, bahkan dara ini
menurut dan mempelajari dengan teliti semua pelajaran keagamaan mereka
sehubungan akan menjadi korban untuk dewa kelak, sesudah permintaannya
dipenuhi, yaitu hadirnya Yap Kun Liong di situ. Bahkan dia menurut pula ketika
diharuskan melakukan puasa dan pantang makan barang berjiwa agar supaya dirinya
tetap bersih apa bila tiba saatnya dia mengorbankan diri kepada dewa sebagai
penebus ‘dosa’ ibunya dahulu.
Melihat
sikap dara ini, Sin Beng Lama dan dua orang sute-nya tidak menjadi curiga, dan
mereka hanya menanti-nanti kedatangan Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia
Bun Houw, agar pelaksanaan korban suci untuk dewa dapat segera dilaksanakan.
Dalam hal ini, para pendeta Lama memiliki keyakinan bahwa pengorbanan suci
seorang dara kepada dewa akan mendatangkan berkah yang amat hebat, akan
mendatangkan keajaiban yang membawa kejayaan kepada perkumpulan mereka.
Mereka
percaya bahwa atas bantuan dan perlindungan dewa yang tentu akan membantu
mereka sesudah menerima pengorbanan istimewa, yakni puteri mendiang Pek Cu Sian
yang dulu mengecewakan dan membikin marah dewa, tentu Kerajaan Tibet akan dapat
mereka tumbangkan dan mereka rampas! Mereka berkeyakinan bahwa kalau selama ini
mereka belum juga berhasil adalah karena dewa marah terhadap mereka sehubungan
dengan peristiwa kedosaan yang dulu dilakukan oleh Pek Cu Sian, gadis calon
mempelai dewa yang melarikan diri!
Sekarang,
begitu Pek Hong Ing berada pada mereka, sudah nampak tanda-tanda bahwa usaha
mereka akan berhasil, terutama sekali dengan adanya kenyataan bahwa hubungan
antara mereka dengan pihak Pek-lian-kauw menjadi erat dan saling membantu.
Memang
perkumpulan Lama Jubah Merah mulai membuat persiapan untuk memberontak dan
menyerang Pemerintah Tibet. Seluruh Lama Jubah Merah sudah dikumpulkan dan
jumlah mereka ternyata hampir dua ratus orang. Di samping melatih semua Lama
Jubah Merah ini menjadi pasukan istimewa yang amat kuat, juga kini telah
dikumpulkan banyak bantuan dari luar, bantuan yang terdapat dari berbagai cara.
Ada yang karena percaya kepada keampuhan Kelenteng Lama Jubah Merah, yaitu para
penduduk di sekitar daerah itu yang pernah menerima ‘berkah’ dari kelenteng,
ada pula yang karena terpaksa atau dipaksa oleh pengaruh para pimpinan Lama,
ada pula yang ‘dibeli’ dengan uang!
Betapa pun
juga, Sin Beng Lama telah berhasil menghimpun ratusan orang prajurit ‘suka
relawan’, yang dilatih di luar markas mereka, dilatih ilmu perang dan barisan,
juga sudah diadakan kontak langsung dengan Pek-lian-kauw yang sudah siap
membantu para Lama untuk menyerbu Tibet dengan janji bahwa kelak, para Lama
yang sudah menguasai Tibet akan mengerahkan kekuatan pula untuk membantu mereka
menumbangkan Pemerintah Beng-tiauw!
Kini, para
Lama hanya menunggu tibanya saat yang suci itu, ialah pengorbanan seorang dara
kepada dewa untuk memberkahi mereka. Semua orang sudah tahu bahwa perawan yang
cantik jelita dan yang kini berada di markas, keponakan murid dari Sin Beng
Lama sendiri, dara jelita Pek Hong Ing yang akan menebus dosa ibunya dengan
mengorbankan diri kepada dewa dengan cara seperti biasa, yaitu dibakar
hidup-hidup! Akan tetapi gadis itu baru mau menjalani upacara pengorbanan diri
jika musuhnya sudah berlutut di bawah kakinya! Dan kini semua orang menanti
datangnya saat itu.
Bukan hanya
Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saja yang setiap hari
menanti-nanti kemunculan Cia Keng Hong yang membawa Yap Kun Liong untuk ditukar
dengan Cia Bun Houw. Juga Hong Ing dan Bun Houw setiap hari menanti-nanti
dengan penuh harap. Bagi Hong Ing, saat kedatangan Kun Liong akan menjadi saat
penentuan mati hidupnya!
Sin Beng
Lama memang cerdik sekali. Untuk melakukan suatu pemberontakan terhadap
pemerintah, terutama sekali lebih dahulu haruslah mencari kesan baik dari
rakyat jelata, supaya di dalam hati rakyat terkandung simpati terhadap
‘perjuangan’ mereka. Dan untuk ini, dia hampir setiap hari mengadakan
sembahyangan besar di kelentengnya yang amat luas, tentu saja disertai jamuan tanpa
bayar bagi rakyat yang berkunjung dan yang akan bersembahyang.
Mendengar
bahwa di Kelenteng Lama Jubah Merah setiap hari diadakan sembahyangan besar,
berbondong-bondonglah rakyat dari berbagai jurusan di sekitar daerah itu datang
berkunjung. Bahkan banyak pula di antara para pengunjung yang bermalam di
halaman kelenteng untuk dapat mendengarkan khotbah Sin Beng Lama atau kedua
orang sute-nya yang diadakan setiap hari, khotbah tentang kebatinan akan tetapi
sekaligus khotbah yang memburuk-burukkan Pemerintah Tibet dan bujukan-bujukan
untuk memberontak!
Pada suatu
pagi, ketika para pengunjung kelenteng sedang berkumpul di halaman sambil
mendengarkan khotbah yang dilakukan sendiri oleh Sin Beng Lama, mendadak
terdengar suara berisik dari dalam markas. Sin Beng Lama menyuruh kedua orang
sute-nya untuk memeriksa apa yang terjadi sedangkan dia sendiri tetap
melanjutkan khotbahnya.
Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama cepat berlarian melalui pintu belakang kelenteng,
langsung memasuki markas dari mana terdengar suara ribut-ribut itu. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika dua orang tokoh Lama Jubah Merah itu melihat
beberapa orang anak buah mereka bergelimpangan dan di tengah-tengah kepungan
para pendeta Lama berdirilah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lak Beng
Lama yang berwatak agak keras dan kasar segera berseru,
"Minggir
semua!" lalu dia memasuki kepungan bersama suheng-nya, Hun Beng Lama.
Sekarang
mereka berhadapan dengan pemuda itu yang tidak lain adalah Yap Kun Liong!
Melihat datangnya dua orang pendeta Lama ini, Kun Liong segera mengenal mereka.
"Hemm,
kebetulan sekali Ji-wi Losuhu (Kedua Bapak Pendeta) datang!" tegurnya
dengan nada suara tegas. "Aku datang untuk menemui tiga orang pemimpin
Lama Jubah Merah, akan tetapi tahu-tahu para pendeta di sini menyerbu dan
mengeroyokku."
Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama tidak mengenal Kun Liong karena ketika mereka dahulu
menculik Hong Ing di pulau kosong, pemuda ini berkepala gundul dan pakaiannya
hanya sehelai cawat. Kini pemuda itu sudah berambut panjang dan hitam, dan
meski pun pakaiannya sederhana, namun lengkap.
"Orang
muda yang lancang, siapakah kau dan apa keperluanmu mencari kami?"
"Aku
bernama Yap Kun Liong, ada pun kedatanganku adalah untuk minta kepada para
pimpinan Lama Jubah Merah agar suka membebaskan Nona Pek Hong Ing!"
Mendengar
ini, kagetlah dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka memandang lebih
teliti, kemudian saling pandang dan Lak Beng Lama berseru kepada para anak
buahnya. "Tangkap pemuda ini!"
Belasan
orang pendeta Lama langsung menyerbu dengan tangan kosong. Tadi mereka
mendengar perintah ‘tangkap’, maka tentu saja mereka tidak mau menggunakan
senjata tajam yang dapat membunuh pemuda ini.
Tapi untuk
kedua kalinya Kun Liong menggerakkan tubuh seperti tadi ketika dia diserbu,
tubuhnya berkelebatan dan berputaran dengan kaki tangan bergerak maka
berturut-turut robohlah belasan orang pengeroyok itu!
Hal ini
tentu saja menimbulkan kemarahan para pendeta yang lainnya. Segera mereka
menyerbu sehingga Kun Liong dikepung dan dikeroyok oleh banyak pendeta, bahkan
kini Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang maklum akan kelihaian pemuda itu,
sudah ikut bergerak menyerbu pula.
Majunya dua
orang pendeta Lama yang amat sakti ini membuat Kun Liong terdesak. Dia memang
hanya bermaksud membela diri dan hanya merobohkan lawan sedapat mungkin tanpa
melakukan pembunuhan. Tentu saja ia bersikap hati-hati sekali dalam menghadapi
serangan dua orang pendeta Lama yang berilmu tinggi itu, lebih-lebih karena
masih ada puluhan orang anggota perkumpulan Lama Jubah Merah itu yang membantu
Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.
Mendengar
suara ribut-ribut di halaman depan markas itu, Pek Hong Ing cepat lari keluar
dan dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya pada saat dia melihat Yap Kun
Liong sedang dikepung dan dikeroyok banyak pendeta. Sejenak dia seperti
terpesona melihat pemuda yang menjadi kekasih pujaan hatinya itu, yang setiap
saat selalu dirindukannya dan diharap-harapkan kedatangannya.
Sekarang
pemuda itu telah muncul, akan tetapi dikepung dan dikeroyok. Jika menurutkan
perasaannya, ingin dia ikut mengamuk dan membantu kekasihnya itu. Namun dia
teringat betapa liciknya para pendeta Lama itu. Apa bila dia maju, tentu mereka
akan menangkap dia dan menggunakan dia untuk memaksa Kun Liong menyerahkan
diri. Teringat akan ini, dia lalu cepat-cepat berlari masuk ke dalam dan
langsung dia memasuki kamar hukuman ayahnya.
"Ayah...
tolonglah aku...!" Dia berlutut memeluk ayahnya dengan muka pucat dan
napas terengah-engah.
Bun Houw
yang sedang duduk bersila melatih diri bersemedhi seperti yang diajarkan oleh
gurunya, membuka mata dan terkejut sekali melihat keadaan suci-nya. Akan tetapi
dia tidak berani membuka suara, hanya memandang kepada gurunya. Kok Beng Lama
juga membuka matanya, sejenak memandang heran kepada puterinya, lalu bertanya,
"Hong Ing,
apakah yang terjadi?"
"Ayah...,"
dengan suara terisak Hong Ing berkata. "Lekas Ayah menolongnya...! Yap Kun
Liong telah datang dan dikeroyok oleh kedua orang Susiok dan puluhan orang
pendeta...! Lekaslah Ayah...!"
Namun Kok
Beng Lama tidak bergerak. "Hemmm... salahnya sendiri kalau datang ke sini
dan dikeroyok, tidak ada urusannya dengan pinceng."
"Ayah,
akulah yang salah! Akulah yang menyebabkan semua itu. Ayah, aku mencinta Kun
Liong dan dia mencintaku. Kami saling mencinta, karena itu... aku sudah mencari
akal untuk memancing Kun Liong ke sini. Aku membohongi para Susiok, aku bilang
bahwa aku bersedia mengorbankan diri kepada dewa untuk menebus dosa ibuku, asal
mereka dapat mendatangkan Yap Kun Liong. Karena tidak berjumpa dengan Kun
Liong, para Susiok membawa Adik Bun Houw ke sini dengan pesan agar orang tua
anak ini mengantarkan Kun Liong ke sini untuk ditukar dengan Bun Houw. Ayah...
semua itu kulakukan demi cintaku kepada Kun Liong. Aku ingin pergi dari sini,
ingin ikut dia, hidup bersama dia. Tapi dia... dia dikeroyok di luar. Ayah,
tolonglah aku, bantulah dia... hu-huu-huuuuh!"
Hong Ing
menangis, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan kekasihnya. Memang dia tahu
akan kelihaian kekasihnya itu, akan tetapi membayangkan kesaktian para
susiok-nya dan banyaknya para pendeta yang mengeroyok, tentu saja hatinya
gelisah sekali.
"Hemmm...!"
Kok Beng Lama mengeluarkan suara dari dalam rongga perut yang tertahan di
kerongkongan, sampai lama dia diam saja. Setelah Hong Ing berkali-kali
membujuknya sambil terus menangis, akhirnya dia mendorong tubuh puterinya
sehingga tubuh Hong Ing terpental ke belakang.
"Tidak!
Kau minta agar ayahmu menjadi seorang hina dina yang melanggar janji? Tidak,
lebih baik kau menyuruh aku mati! Anak tidak berbakti, kau berani minta ayahmu
untuk melakukan hal yang hina itu?" Setelah membentak demikian, kakek ini
sudah meramkan matanya kembali dengan alis berkerut.
"Ayaaaahhh...!"
Hong Ing menjerit.
Pada saat
itu di luar terdengar suara makin berisik, tanda bahwa jumlah para pengeroyok
bertambah banyak dan makin gelisah hati Hong Ing. Dia menubruk lagi ayahnya
dengan nekat sambil menangis. "Ayah, aku tidak minta Ayah melanggar janji.
Hanya tolonglah dia, tolonglah Kun Liong yang dikeroyok... kalau sampai dia
mati, aku pun akan mati di depan kakimu, Ayah!"
Sesudah
berkali-kali Hong Ing mengulangi kata-katanya sambil menangis, akhirnya kakek
itu membuka mata dan mengangguk. "Memang lebih baik mati dari pada hidup
dalam kehinaan karena melanggar janji. Pergilah!"
Sikap dan
kata-kata ayahnya ini tiba-tiba saja membuat Hong Ing timbul semangat dan
kenekatannya. Sebelum bertemu dengan ayahnya, memang dia hidup di dalam dunia
ini tanpa mengandalkan siapa pun juga, maka terasalah olehnya betapa sikapnya
tadi amat lemah dan manja.
"Baik,
Ayah! Aku akan mati bersama Kun Liong, akan tetapi bukan karena tidak hendak
memegang janji terhadap para Susiok yang palsu itu! Aku akan melawan mereka
sampai mati!" Dengan isak tertahan Hong Ing lalu berlari keluar dari dalam
kamar hukuman.
"Suci...!"
Bun Houw berteriak memanggil namun Hong Ing tidak menengok lagi.
Sementara
itu, di luar markas terjadi pertempuran yang sangat hebat. Kun Liong masih
dapat mempertahankan dirinya biar pun kini Hun Beng Lama yang menggunakan
senjata tasbih dan Lak Beng Lama yang bertongkat mengurung dan mendesaknya,
dibantu oleh banyak sekali pendeta Lama yang berjubah merah.
Yang membuat
kepala Kun Liong terasa pening adalah karena persamaan pakaian para
pengeroyoknya itu sehingga sulit baginya untuk membedakan orangnya. Hal ini
membuat dia sering kali terkena hantaman tasbih atau tongkat di tangan dua
orang pendeta Lama yang lihai itu. Untung bahwa tingkat sinkang-nya memang
sangat tinggi sehingga dengan perlindungan tenaga sakti ini, tubuh yang kena
dihantam dua senjata itu tidak mengalami luka.
Kun Liong
mengamuk bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok banyak semut. Kaki dan
tangannya bergerak dan siapa saja, kecuali dua orang pendeta Lama Jubah Merah
itu, yang terkena sentuhan kedua tangan atau kakinya tentu terlempar jauh ke
belakang.
"Kun
Liong jangan khawatir, aku membantumu!" Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan muncullah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki gagah
yang datang menyerbu dengan pedang mereka. Hanya dengan beberapa gebrakan saja
dua orang yang datang membantu Kun Liong ini sudah berhasil merobohkan dua
orang pendeta Lama.
"Hwi
Sian...!" Kun Liong terkejut bukan main ketika sudah mengenali wanita
cantik yang membantunya. "Tan-twako...!" Dia mengenal pula Tan Swi
Bu, yakni bekas suheng dari Hwi Sian yang kini sudah menjadi suami wanita itu.
"Mundurlah,
pergilah dan jangan mencampuri urusanku...!" teriak Kun Liong dengan suara
penuh kekhawatiran karena dia maklum betapa lihainya para pendeta Lama Jubah
Merah ini, sama sekali bukanlah lawan kedua orang suami isteri itu. Betapa pun
juga, melihat Hwi Sian, ulu hatinya seperti tertusuk sesuatu dan dia merasa
terharu.
"Kun
Liong, aku... girang dapat membantumu...!”
“Tranggg...!"
Hwi Sian
menangkis datangnya sambaran sebatang golok dengan pedangnya, kemudian
melanjutkan pedangnya menusuk yang dapat ditangkis pula oleh lawannya.
"Yap-taihiap,
mari kita basmi para pemberontak ini!" Tan Swi Bu juga berseru.
Mendengar
seruan ini, para pendeta menjadi kaget bukan kepalang. Maklumlah mereka bahwa
rahasia mereka telah diketahui orang dan tentu dua orang laki-laki dan
perempuan yang baru datang ini adalah mata-mata pemerintah.
"Tangkap
mata-mata!"
"Bunuh
mata-mata!"
Teriakan-teriakan
ini disusul dengan menyerbunya banyak pendeta mengepung Hwi Sian dan Tan Swi Bu
yang memutar pedang mereka dan mengamuk penuh semangat.
Seperti
sudah diceritakan oleh Poa Su It kepada Kun Liong, suami isteri murid pendekar
Secuan Gak Liong ini telah melaksanakan tugas mereka menyelidiki perkumpulan
Agama Lama Jubah Merah yang dikabarkan hendak memberontak itu, menjalankan
perintah dari susiok-couw mereka, yaitu Panglima Besar The Hoo.
Mereka
menyamar sebagai orang-orang yang datang hendak bersembahyang dan setiap hari
mereka melakukan penyelidikan hingga akhirnya mereka dapat mengetahui tentang
gerakan Lama Jubah Merah yang sudah menyiapkan dan melatih pasukan-pasukannya,
dan juga kontak mereka dengan pihak Pek-lian-kauw yang kini banyak pula
berkumpul di luar markas, ikut melatih para penduduk yang dapat dibujuk oleh
Lama Jubah Merah.
Akan tetapi
pada pagi hari itu, selagi mereka mengambil keputusan hendak meninggalkan
tempat itu untuk melaporkan hasil penyelidikan mereka, mereka mendengar
ribut-ribut di dalam markas. Dengan cerdik mereka berhasil menyelundup masuk ke
markas dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hwi Sian ketika melihat bahwa
pemuda tampan yang kini memiliki rambut kepala bagus itu, yang sedang dikeroyok
oleh banyak pendeta, adalah Yap Kun Liong, pria yang tak pernah dapat
dilupakannya!
Maka serta
merta dia mencabut pedang yang disembunyikan di bawah bajunya kemudian menyerbu
tanpa berunding dahulu dengan suaminya! Tentu saja Tan Swi Bu juga tidak
membiarkan isterinya menempuh bahaya seorang diri dan dia pun menyerbu
mati-matian.
Melihat
betapa Hwi Sian dan Swi Bu terus mengamuk dan dikepung banyak pendeta, Kun
Liong menjadi gelisah sekali. Apa lagi ketika dari jauh dia melihat munculnya
seorang pendeta Lama yang amat lihai, yaitu Sin Beng Lama dengan lima batang
hio mengepul, maklumlah dia bahwa bahaya besar mengancam suami isteri itu.
"Hemmm...!"
Dia menggeram sambil mengerahkan tenaganya, menerima saja hantaman-hantaman Hun
Beng Lama dan Lak Beng Lama serta lain-lain pendeta, kemudian secepat kilat dia
menangkap lengan dua orang pendeta Lama yang lihai itu sambil mengerahkan
tenaga sakti Thi-khi I-beng!
"Auhhh...!"
"Aduhhh...!"
"Haiii...,
lepaskan aku...!"
Teriakan-teriakan
penuh kepanikan itu terdengar dari mulut mereka yang memukul tubuh Kun Liong
dan tangan mereka yang mengenai tubuh pemuda ini melekat tak dapat ditarik
kembali, bahkan segera mereka merasakan betapa tenaga sinkang mereka membanjir
keluar disedot oleh tubuh pemuda itu!
Karena
banyaknya para pendeta yang tadi memukul Kun Liong untuk membantu kawan, maka
belasan orang pendeta, termasuk Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama melekat pada
tubuh pemuda itu dan kedua orang Lama yang sakti itu merasa panik dan juga
marah kepada anak buah mereka sendiri. Kalau saja tidak ada anak buah mereka
yang ikut-ikutan memukul dan melekat sehingga menghalangi gerakan mereka, tentu
dengan tangan mereka yang masih bebas mereka dapat mengirim pukulan maut dengan
totokan-totokan ke bagian tubuh yang lemah dari pemuda luar biasa itu.
Kun Liong
yang melihat betapa Sin Beng Lama sudah menggerakkan tubuhnya meloncat dekat
Hwi Sian dan Swi Bu, cepat mengembalikan tenaga sinkang yang tersedot olehnya
dan kini terkumpul menyesak di pusar, mengeluarkan bentakan nyaring dan
menggoyang tubuhnya seperti seekor harimau menghalau air dari bulu-bulu
tubuhnya.
"Haaaiiiihhhh!"
Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama, juga belasan orang anak buahnya, berseru kaget dan
terlempar ke arah Sin Beng Lama! Belasan orang anak buah mereka itu terlempar
dalam keadaan pingsan, sedangkan Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masih dapat
mengumpulkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tubuh mereka
itu tidak meluncur menerjang suheng mereka sendiri. Mereka berjungkir balik dan
terjatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan terhuyung-huyung.
Sementara
itu, Sin Beng Lama sudah membuat pedang di tangan Hwi Sian dan Swi Bu terpental
jauh, kemudian dua kali tangannya bergerak lagi maka robohlah Hwi Sian dan
suaminya. Akan tetapi pada saat itu, belasan batang tubuh beterbangan
menerjangnya dari arah Kun Liong!
"Omitohud...!"
Dia berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali sehingga belasan
sosok tubuh yang meluncur itu lewat di bawah kakinya kemudian terbanting dan
terguling-guling ke atas tanah dalam keadaan pingsan.
"Pendeta
keji...!" Kun Liong membentak dan segera dia sudah bertanding melawan Sin
Beng Lama yang amat lihai.
Tampak
sinar-sinar kecil berapi seperti ada banyak sekali kunang-kunang beterbangan di
sekitar tubuh Kun Liong. Diam-diam pemuda itu terkejut juga melihat betapa lima
batang hio membara itu meluncur dan menyambar-nyambar cepat sekali ke arah
seluruh jalan darah di tubuhnya. Dia maklum betapa hebatnya serangan ini,
karena itu dia pun cepat menggerakkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan
balas menyerang.
Karena lawan
menggunakan lima batang hio yang amat luar biasa itu, dia tidak mungkin dapat
mengandalkan Thi-khi I-beng. Maka untuk mengimbangi kecepatan lawan terpaksa
dia mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan menggunakan tenaga sinkang
Pek-in-ciang sehingga dari kedua telapak tangannya mengepul uap putih yang
menyambar-nyambar dahsyat.
"Yap
Kun Liong menyerahlah engkau dan pinceng akan mengampunimu," kata Sin Beng
Lama.
Pendeta ini
diam-diam merasa kagum bukan main terhadap Kun Liong dan kalau pemuda ini mau
menyerah sehingga Hong Ing dapat mengorbankan diri kepada dewa, kemudian pemuda
ini mau pula membantunya, tentu merupakan tenaga bantuan yang tidak ternilai
harganya!
"Sin
Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing maka aku akan pergi dari sini dengan
damai!" Kun Liong berkata pula, akan tetapi matanya melirik ke arah Hwi
Sian dan Swi Bu yang sudah rebah tak bergerak lagi. Dia tak dapat menyatakan
sakit hatinya kalau suami isteri itu tewas, karena hal itu adalah kesalahan Hwi
Sian dan suaminya sendiri, dan mereka itu pun telah merobohkan dan membunuh
beberapa orang pendeta!
"Pemuda
sombong!" Sin Beng Lama berseru dan kini dia memperhebat serangannya dan
bahkan dibantu oleh Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang sudah dapat memulihkan
kembali tenaganya.
"Suheng,
hati-hati terhadap Thi-khi I-beng!" berkata Lak Beng Lama.
"Ya,
dia tentu menggunakan ilmu mukjijat itu!" kata pula Hun Beng Lama.
Sin Beng
Lama berseru, "Jangan melewatkan bagian-bagian yang paling lemah. Serang
matanya!"
Kun Liong
mendongkol bukan main, akan tetapi juga sibuk karena tiga orang lawannya itu
benar-benar amat sakti, sedangkan dia sangat khawatir melihat keadaan Hwi Sian
yang sudah bergerak dan mengeluarkan rintihan perlahan.
"Kun
Liong... ohhh... Kun Liong...!"
Suara ini
cukup menusuk perasaan hati pemuda itu. Dia mengeluarkan suara melengking
nyaring sekali dan tenaga sakti mukjijat yang terkumpul di dalam tubuhnya
berkat latihan menurut ilmu dalam kitab Keng-lun Tai-pun secara tiba-tiba
bekerja akibat didorong oleh perasaannya. Tiga orang pendeta Lama itu
mengeluarkan seruan kaget dan seperti tiga helai daun kering tertiup angin,
mereka terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!
"Hwi
Sian...!" Kun Liong meloncat dan menghampiri Hwi Sian, berlutut sambil
merangkul leher wanita itu.
"Kun
Liong...!" Hwi Sian menggerakkan lengan merangkul leher Kun Liong.
"Kun Liong, dia... suamiku... dia telah mati..."
Kun Liong
menoleh dan menghela napas. Memang jelas bahwa Tan Swi Bu telah tewas, dan
wanita ini pun berada dalam keadaan payah sekali, dadanya berlubang dan seperti
terbakar.
"Kun
Liong... aku... aku tetap cinta padamu..."
Kun Liong
menarik napas lagi, dua butir air mata membasahi pipinya. Dia tidak mampu
mengeluarkan suara.
"Kun
Liong..." Suara itu berbisik lirih. "Dengarlah..." Terpaksa Kun
Liong mendekatkan telinganya ke dekat mulut yang amat dikaguminya itu, mulut
yang bentuknya amat indah dan selalu menjadi daya tarik utama dari kecantikan
Hwi Sian.
"Aku
akan mati... dan kau pelihara baik-baik anak itu... kutitipkan di Kuil
Kwan-im-bio di kaki bukit, tanya Suheng Poa Su It..."
"Plak-plakk...!"
Tanpa
menoleh Kun Liong mengangkat tangan kirinya. Dua kali dia menangkis datangnya
dua batang golok yang menyambarnya dari arah belakang. Golok-golok itu
terpental dari tangan pemegangnya dan dua orang pendeta Lama meloncat ke
belakang, memegangi tangan mereka yang terasa panas!
"Anakmu...?"
Kun Liong bertanya.
Mata itu
bersinar-sinar memandang wajahnya, dan bibir yang masih merah membasah itu
tersenyum sehingga nampak sebagian gigi yang berkilat putih.
"Kini
aku... aku bisa membuka rahasia... dia... dia anak kita, Kun Liong... rawatlah
dan... selamat tinggal..."
Keduanya
menjadi lemas seketika. Hwi Sian lemas karena tubuhnya tidak bernyawa lagi,
sedangkan Kun Liong lemas lunglai mendengar pengakuan yang sangat hebat dan di
luar dugaannya itu. Hwi Sian meninggalkan seorang anak, anak mereka! Anak Hwi
Slan dan dia! Betapa mungkin ini? Hubungan yang dahulu itu... di kuil tua itu...
telah menghasilkan keturunan?
"Tidak
mungkin!" Dia meletakkan tubuh Hwi Sian ke atas tanah dan meloncat
berdiri, matanya merah.
"Wuttt-wuuuttt...
desss! Aughhh...!"
Lak Beng
Lama berteriak keras karena kini tongkatnya yang menyambar bertemu dengan tangkisan
yang dilakukan dengan tenaga mukjijat sedemikian dahsyatnya sehingga tidak
hanya tongkatnya yang terpental, juga tubuhnya terasa seperti disambar petir!
Sin Beng
Lama dan Hun Beng Lama cepat menyerang dan kembali Kun Liong dikeroyok dan
didesak hebat. Pemuda ini melawan dengan pandang mata masih termenung, dan
dengan dua butir air mata membasahi pipinya. Pikirannya masih penuh oleh
pengakuan Hwi Sian. Anak Hwi Sian, anaknya!
"Siuttt...
cussss... dukk!"
Dia
terhuyung-huyung ke belakang. Ketika nyaris lehernya tertusuk hio membara dan
dia mengelak sambil membuang diri ke belakang tadi, tasbih di tangan Hun Beng
Lama telah menyambar lambungnya dengan tepat, membuat dia terpelanting ke
belakang.
Tentu saja
kedua orang pendeta Lama itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, terus
mendesak maju. Kun Liong menggoyangkan kepalanya untuk mengusir suara Hwi Sian
yang masih mengiang-ngiang mengikuti telinganya, agar dia dapat memusatkan
perhatian menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu.
"Kun
Liong...!"
Untuk kedua
kalinya selama beberapa menit itu jantung Kun Liong terguncang hebat. Dia cepat
meloncat ke belakang dan melihat dara yang dirindukannya selama ini, Pek Hong
Ing, meronta-ronta dalam pegangan Lak Beng Lama! Cepat dia mengerahkan
tenaganya dan tubuhnya melayang ke arah Lak Beng Lama.
"Mundur!
Kalau tidak, kubunuh dia!" Lak Beng Lama berseru, tongkatnya menempel pada
ubun-ubun kepala Hong Ing.
Kun Liong
mundur dengan muka pucat. "Hong Ing... Hong Ing...!" bibirnya
berbisik.
"Kun
Liong, lawanlah! Lawan dan bunuhlah mereka yang keji dan jahat! Jangan
pedulikan diriku!" Hong Ing berkata sambil menangis.
"Tidak!
Sam-wi Losuhu (Tiga Bapak Pendeta), dengarlah! Aku menyerah asalkan Sam-wi
Losuhu tidak mengganggu Hong Ing!"
"Omitohud,
bagus kalau begitu. Berlututlah!" Sin Beng Lama berseru sambil menghampiri
Kun Liong.
"Kun
Liong, jangan...!" Hong Ing menjerit.
Akan tetapi
karena mengkhawatirkan keadaan kekasihnya, Kun Liong telah maju berlutut di
depan Sin Beng Lama. Kakek ini mengeluarkan segulung tali hitam, lalu dibantu
oleh Hun Beng Lama dia membelenggu sepasang pergelangan tangan Kun Liong di
belakang tubuhnya.
TALI HITAM
itu bukanlah sembarang tali, melainkan terbuat dari bulu biruang hitam yang
hanya terdapat di pegunungan yang sunyi dari daerah Tibet. Bulu binatang ini
amat kuat sehingga tidak mungkin dibacok putus oleh senjata pusaka yang mana
pun. Orang hanya dapat membunuh biruang hitam itu dengan jalan menusuknya,
sehingga senjata runcing menyusup di antara bulu kuat itu dan melukai tubuh.
Kalau dibacok, jangan harap dapat melukai binatang itu. Akan tetapi bagi yang
mengerti tentu saja ada kelemahan bulu itu. Kun Liong membiarkan kedua
tangannya dibelenggu tanpa mengadakan perlawanan.
"Hong
Ing, jangan melawan, menurutlah saja. Kurasa para Losuhu ini tidak akan berniat
buruk."
"Omitohud,
sama sekali tidak, Yap-taihiap. Engkau sungguh gagah dan kami bukanlah
orang-orang yang tidak menghargai orang pandai. Kami ingin sekali bersahabat
dengan Taihiap." Sin Beng Lama berkata ramah dan halus penuh bujukan.
Akan tetapi
dengan sinar mata tajam dan suara tegas, Kun Liong berkata kepada ketua para
Lama Jubah Merah itu, "Losuhu, aku menyerah bukan karena hendak bersahabat
dengan Losuhu sekalian, melainkan karena Losuhu berjanji tidak akan mengganggu
Hong Ing. Sekarang, setelah aku menyerah, harap lekas bebaskan Hong Ing dan
lakukan apa saja yang Losuhu sukai terhadap diriku."
"Kun
Liong...!" Hong Ing yang sudah dilepas oleh Lak Beng Lama karena pemuda
lihai itu telah dibelenggu, cepat lari menubruk pemuda itu, merangkulnya sambil
menangis.
"Kun
Liong... oh, Kun Liong...!" Hong Ing hanya dapat meratap karena hatinya menyesak
oleh perasaan terharu.
Seluruh
kerinduan hatinya menyesak dalam dada, kegirangan melihat pemuda ini kembali
bercampur dengan rasa kekhawatiran melihat kekasihnya menyerah dan dibelenggu.
Dia merangkul, memeluk, mendekapkan mukanya yang basah oleh air mata itu di
pipi, leher, dan dada Kun Liong yang menunduk dan mencoba meredakan hati
kekasihnya.
"Tenanglah,
Hong Ing. tenanglah..."
Akan tetapi
mana mungkin hati Hong Ing dapat ditenangkan kalau dia teringat bahwa dia akan
dikorbankan kepada dewa di depan mata Kun Liong seperti yang telah
dijanjikannya kepada Sin Beng Lama? Siasatnya memang berhasil membawa Kun Liong
menyusulnya ke tempat ini, akan tetapi kesudahannya sama sekali lain dengan
yang dikehendakinya.
Dia
mengharapkan kedatangan Kun Liong bersama Cia Keng Hong untuk melawan para
pendeta Lama itu dan membebaskan dia bersama ayahnya, akan tetapi hasilnya jauh
berlainan. Ayahnya tidak mau membantu, dan Kun Liong menyerah untuk
melindunginya! Bagaimana dia dapat tenang menghadapi malapetaka ini?
"Mundurlah
kau!" Lak Beng Lama menarik lengan Hong Ing sehingga lepas dari rangkulan
pada leher Kun Liong.
"Hong
Ing, sekarang Yap-taihiap sudah datang, kau harus memenuhi janjimu," Sin
Beng Lama berkata, suaranya halus akan tetapi nadanya mengandung paksaan dan
ancaman.
Dengan kedua
mata masih basah Hong Ing memandang kepada Kun Liong yang masih berdiri tegak
dengan dua lengan terikat ke belakang. Pemuda itu memandangnya dengan tenang
dan bibirnya tersenyum bagaikan hendak menghibur serta membesarkan hatinya.
Maklumlah dara ini bahwa siasatnya telah gagal sama sekali, bahkan dia telah
menyeret Kun Liong ke dalam bahaya maut. Dan dia tahu pula akan kepalsuan hati
para paman gurunya, maka dia khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya itu.
"Susiok,
aku hanya mau berkorban diri apa bila Susiok bertiga suka berjanji tidak akan
membunuh Yap Kun Liong."
"Hong
Ing, apa maksudmu dengan berkorban diri?" Kun Liong bertanya dengan
tiba-tiba dan hatinya berdebar tegang.
Akan tetapi
Hong Ing menundukkan mukanya dan tidak berani menjawab. Bila dia bicara terus
terang, tentu Kun Liong akan marah-marah kepada para pendeta dan memberontak.
Dalam keadaan sudah terbelenggu seperti itu, hasilnya tentu akan sia-sia,
bahkan akan membahayakan keselamatannya, maka dia diam saja, bahkan mendesak
Sin Beng Lama.
"Sin
Beng Susiok, bagaimana? Tanpa ada janji Sam-wi untuk membebaskan Kun Liong
segera setelah saya berkorban, saya tidak akan mau dan saya akan membunuh diri
kalau dipaksa!"
Tanpa
ragu-ragu lagi Sin Beng Lama langsung berkata, "Kami berjanji! Kami akan
segera membebaskan Yap Kun Liong setelah kau selesai berkorban diri untuk
dewa."
Hong Ing
menoleh kepada Kun Liong, menarik napas panjang dan terisak, lalu menunduk dan
berkata, "Kalau begitu, saya bersedia."
Sin Beng
Lama merasa girang sekali. "Hayo kau ikut denganku untuk menghafalkan doa
penyeberangan ke kahyangan! Sute berdua, harap bawa Yap-taihiap ke kamar tamu
dan menjaganya baik-baik." Kakek ini lalu menggandeng lengan Hong Ing,
dituntunnya gadis ini pergi dari situ masuk ke dalam.
"Hong
Ing...! Losuhu, nanti dulu! Hong Ing, jelaskan kepadaku apa artinya ini semua!
Apa artinya pengorbanan itu?!" teriak Kun Liong.
Akan tetapi
Hong Ing yang memandang kepadanya, hanya menggelengkan kepala dan air matanya
bercucuran, kemudian dengan cepat dia mengikuti Sin Beng Lama berjalan masuk.
Kun Liong hendak mengejar, akan tetapi Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memegang
kedua lengannya dari kanan kiri, Hun Beng Lama berkata,
"Harap
kau tidak memberontak. Kau lihat sendiri bahwa kami tidak melakukan paksaan
kepada Pek Hong Ing. Dia melakukan segala sesuatu dengan suka rela atas
kehendak dia sendiri, semoga para dewa melindunginya."
Kun Liong
terpaksa menahan kemarahannya. Pada saat dia digiring masuk, dia melirik ke
arah mayat-mayat di sekeliling tempat itu dan melihat mayat Hwi Sian dan
suaminya, dia memejamkan kedua matanya.
"Hwi
Sian, kau ampunkan aku...," bisik hatinya.
Betapa
hidupnya yang lalu bergelimang kepalsuan dan dosa, dan bahkan saat ini pun dia
tidak berdaya menolong Hong Ing. Ingin sekali dia meronta dan memberontak,
namun dia menekan kemarahannya. Hal ini tak mungkin dia lakukan selama Hong Ing
masih berada di tangan mereka. Dia harus bersabar dulu dan melihat perkembangan
selanjutnya untuk menentukan sikap.
Sementara
itu, Sin Beng Lama menuntun Pek Hong ing ke dalam ruangan sembahyang untuk
mengajarkan doa-doa yang harus diucapkannya ketika pengorbanan dilaksanakan.
Hatinya penuh harapan, penuh kegirangan, karena dia merasa yakin bahwa apa bila
Pek Hong Ing, keturunan Pek Cu Sian yang dulu pernah membikin murka dan kecewa
kepada dewa itu dengan suka rela mengorbankan diri menjadi ‘mempelai dewa’,
tentu para dewa akan memberkahi dan melindungi Lama Jubah Merah, dan juga
membantu mereka dalam ‘perjuangan’ mereka yang suci.
Sebagai
seorang dara yang sedikit banyak sudah kemasukan kepercayaan agama itu,
kepercayaan tradisi, diam-diam Hong Ing menerima nasib, bahkan dia pun
mengharapkan bahwa pengorbanan dirinya di samping akan menebus dosa mendiang
ibunya, juga akan dapat membebaskan orang yang dicintanya, yaitu Yap Kun Liong,
dan membebaskan pula ayahnya dari segala dosa!
Dia
benar-benar hendak berkorban secara suka rela, demi mereka bertiga itu,
terutama sekali demi kebebasan Kun Liong. Maka dia pun cepat menahan kedukaan
hatinya dan menghafalkan doa-doa itu dengan tekun tanpa banyak membantah lagi.
Hal ini semakin menggirangkan hati Sin Beng Lama yang menganggap bahwa dewa
sudah memilih dara ini maka telah menurunkan kegaiban dan mempengaruhi hati
dara itu!
Selama tiga
hari ini Kun Liong menjadi tamu yang terbelenggu! Dia diperlakukan dengan baik
dan dengan ilmunya melemaskan tubuh Sia-kut-hoat yang sudah mencapai tingkat
tinggi sekali, dia sudah berhasil memindahkan kedua lengannya yang terikat di
belakang tubuhnya itu kini menjadi berada di depan tubuhnya!
Bagi seorang
ahli seperti Kun Liong, tidaklah sukar untuk menurunkan kedua tangan yang
terbelenggu di belakang itu melalui bawah pinggulnya, lalu menarik kedua
kakinya dan membiarkan belenggu kedua tangan itu terus melalui bawah kedua
kakinya yang ditekuk ke atas sehingga sekarang kedua tangannya berada di depan
tubuh, walau pun kedua pergelangan tangannya masih dalam keadaan terbelenggu.
Melihat hal
ini, Hun Beng Lama hanya memandang kagum, namun mereka merasa lega bahwa pemuda
itu tidak dapat mematahkan belenggu. Dengan kedua tangan kini berada di depan,
Kun Liong dapat makan dengan mudah dan tidak merasa terlalu tersiksa lagi.
Tubuhnya
tidak merasa tersiksa, akan tetapi batinnya sangat gelisah. Beberapa kali dia
membujuk kedua orang pendeta Lama itu untuk menceritakan apa yang telah
terjadi, dan apa yang hendak dilakukan oleh Hong Ing. Namun kedua orang itu
hanya menjawab,
"Harap
Taihiap bersabar sebab Taihiap akan menyaksikan dengan mata sendiri apa yang
akan dilakukan oleh murid keponakan kami itu. Karena itulah maka Taihiap
ditahan di sini, supaya dapat menyaksikan sendiri. Sesudah selesai upacara
pengorbanan itu, kami pasti akan membebaskan Taihiap."
Pada hari ke
tiga itu, di halaman belakang markas Lama Jubah Merah sudah dibangun sebuah
tempat pembakaran yang merupakan sebuah panggung kecil dari kayu. Di tengah
panggung terdapat sebatang tiang dan pada sekeliling tiang ini ditumpuk
kayu-kayu yang mudah terbakar. Sebuah meja sembahyang besar juga telah
disiapkan dan di atas meja itu dihidangkan lengkap segala keperluan sembahyang,
dan banyak lilin dinyalakan.
Tempat itu
penuh dengan para anggota Lama Jubah Merah yang kini telah berkumpul di
sekeliling tempat pembakaran. Mereka semua duduk bersila di atas tanah hingga
terlihat laksana bunga-bunga besar berwarna merah karena mereka semua
mengenakan jubah merah mereka. Dengan penuh khidmat para pimpinan yang terdiri
dari Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dibantu oleh para Lama lain
yang tinggi tingkatnya, mengatur meja sembahyang.
Tidak lama
kemudian muncullah Pek Hong Ing, berjalan perlahan-lahan, diikuti dengan sikap
penuh hormat oleh para Lama dan disambut sambil membungkuk-bungkuk oleh Sin
Beng Lama sendiri yang bersikap seperti seorang pendeta menyambut datangnya
tamu agung, dalam hal ini pengantin agung!
Semua mata
para pendeta, yang telah bertahun-tahun bertapa dan berpuasa terhadap nafsu,
terutama sekali nafsu birahi, kini memandang penuh gairah. Bagi pandang mata
mereka, Pek Hong Ing bukan lagi manusia, melainkan seorang dewi, seorang calon
isteri dewa, karena itu mempunyai kecantikan agung, bukan kecantikan jasmaniah
belaka yang kasar, kotor dan hanya sedalam kulit! Mereka yakin bahwa kelak, di
alam baka, mereka akan bersahabat dengan wanita-wanita seperti ini!
Memang pada
saat itu, melihat Pek Hong Ing akan menimbulkan rasa takjub, hormat dan kagum.
Dara ini telah dirias dengan teliti, kelihatan cantik tetapi agung sekali,
tidak seperti seorang dara dari darah daging lagi, namun sepatutnya sudah menjadi
seorang bidadari dari kahyangan!
Wajahnya
yang putih halus itu seolah-olah bersinar, pandang matanya meremang jauh,
menembus segala sesuatu di depannya, langkahnya lembut dan agung, kepalanya
tegak, tubuhnya lurus dan lenggangnya amat lemah gemulai. Rambutnya yang
mengkilap bersih karena sudah dicuci secara istimewa, hitam subur dan panjang
digelung ke atas seperti gelung rambut para dewi dalam dongeng, dihias ratna
mutu manikam, gemerlap tertimpa cahaya matahari pagi.
Seluruh
pakaian dara itu, sampai sepatunya, berwarna putih bersih, dari sutera
termahal, sutera yang amat halus sehingga seolah-olah terbayang lekuk lengkung
tubuhnya di balik pakaian putih itu. Warna pakaian yang putih bersih ini
kelihatan makin mencolok karena dilatar belakangi warna merah darah dari jubah
merah yang dikenakannya.
Banyak di
antara para pendeta Lama yang hadir di situ memandang bengong, ada yang tanpa
disadarinya berlinang air mata, ada pula yang beberapa kali meneguk air liurnya
sendiri, ada pula yang langsung merangkap kedua tangan ke depan dada dan
mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk memuja para dewata dan memohon
kekuatan bagi batinnya yang terguncang hebat.
Dengan
langkah-langkah yang sudah teratur dan terlatih, Hong Ing menghampiri Sin Beng
Lama dan membalas penghormatan kakek ini, menerima hio kemudian bersembahyang
di depan meja sembahyang, berlutut kemudian membungkuk sampai dahinya yang
halus itu menempel pada permadani yang dibentang di sana, semua gerak-geriknya
diikuti oleh mata para pendeta dengan seksama.
Sesudah
selesai bersembahyang, Hong Ing melangkah meninggalkan meja sembahyang, diikuti
oleh suara tambur yang sejak tadi dipukul lambat-lambat sekali mengikuti
gerakan ‘pengantin puteri’ ini, lalu langsung melangkah menaiki anak tangga ke
atas panggung, diikuti oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Tiga orang
pendeta ini membawa bunga yang dirangkai menjadi tali yang amat panjang, kemudian,
setelah Hong Ing berdiri membelakangi tiang sampai punggungnya menempel pada
tiang, menghadap ke meja sembahyang, tiga orang pendeta itu sambil membaca doa
lalu melibat-libatkan tali kembang itu ke seluruh tubuh Hong Ing.
Kembang-kembang itu dirangkai dengan mempergunakan tali yang kuat dan tahan
api, dan hal ini dilakukan untuk menjaga agar sang mempelai akan tetap berdiri
ketika dilakukan pembakaran nanti, tetap berdiri dan habis terbakar dalam sikap
yang agung.
Setelah
selesai mengikat Hong Ing pada tiang itu, mereka bertiga turun lalu dimulailah
upacara sembahyang dan membaca doa sebelum pembakaran dilakukan. Dengan penuh
khidmat dan kesungguhan hati, semua pendeta itu dipimpin oleh Sin Beng Lama
mulai bersembahyang dan berdoa dan seluruh panca indria, seluruh perasaan dan
perhatian mereka tujukan kepada dewa di langit!
Semenjak
kecil, kita manusia sudah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh agama,
oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan dari pada
kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi. Jalan
pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh
kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan masyarakat
dan lingkungan masing-masing.
Karena itu
kita tidak mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup
melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk
pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku yang
juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan kita.
Demikian
palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidaklah
wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita. Segala
yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan kita
adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan semua
kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar! Kepalsuan
dianggap sebagai suatu kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita.
Para pendeta
Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang hanya bergerak menurut
garis yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Mereka tidak mau menyelidiki dan
mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena yang paling penting bagi
mereka, seperti bagi kita pada umumnya, ialah tujuan dari pada perbuatan
mereka. Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian
ditujukan untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata
demi sembahyang itu sendiri, akan tetapi bagi tercapainya yang mereka tuju
sebagai hasil dari sembahyang itu.
Mereka
menghadapi ‘perjuangan’ untuk menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka
melakukan upacara pengorbanan disertai sembahyang dengan segala kesungguhan
hati, bukan demi upacara itu sendiri, namun demi terkabulnya harapan dan
cita-cita mereka. Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi
cara atau jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu
kemenangan dalam ‘perjuangan’ itu, melalui berkah para dewa yang mereka
sembah-sembah.
Kalau kita
mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan mengatakan bahwa
mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita sendiri pun sesungguhnya
tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita membalikkan pandangan mata kita
untuk memandang dan meneliti, untuk mengenal keadaan diri sendiri!
Kalau kita
bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja
yang kita puja berdasarkan kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang
dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau
bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari
kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau
Nabi dengan kata-kata masing-masing,
"Ya
Tuhan, berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah
SAYA," atau di dalam kelompok kita berdoa, "Ya Tuhan lindungilah
KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa
KAMI", dan selanjutnya lagi?
Dengan
demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi
kepentingan SAYA, atau KAMI, atau pun si aku ini! Dengan demikian, apakah ini
disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah ini hanya
merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata?
Dengan cara
demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku,
untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya
kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir mau pun
keinginan batin, keinginan mendapat kedudukan dan kemuliaan di dunia mau pun
keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini
merupakan kepura-puraan dan kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang
dicap sebagai perbuatan baik mau pun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan
kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama pada
dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi!
Ini sudah
jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA
KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apa pun juga. Cinta kasih
akan menghilang selama di sana terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak
mungkin ada kebenaran, tak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat
dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih
kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.
Oleh karena
itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan,
kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati serta pikiran kita.
Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan sesudah
bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang
sinarnya tidak akan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula
cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber
kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan.
Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih.
Baru saja
upacara sembahyang selesai, Sin Beng Lama langsung berkata kepada dua orang
sute-nya, "Jemput Yap Kun Liong ke sini!"
Dua orang
pendeta Lama itu bergegas masuk ke dalam markas dan memasuki kamar di mana Kun
Liong duduk menunggu dengan tenang, dijaga oleh dua losin orang pendeta Lama
Jubah Merah. Begitu melihat Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masuk, Kun Liong
segera berkata,
"Ji-wi
berjanji akan mempertemukan aku dengan Pek Hong Ing pagi ini."
"Marilah,
semenjak tadi dia telah menanti. Upacara sembahyang telah dilakukan, dan kini
tinggal menunggu kehadiranmu untuk segera melaksanakan upacara
pengorbanan," kata Hun Beng Lama dengan sikap serius.
"Pengorbanan...?
Hong Ing...?" Kun Liong bangkit berdiri dan bertanya dengan hati penuh
ketegangan.
Hun Beng
Lama tersenyum dan memegang siku kanan Kun Liong sedangkan Lak Beng Lama
memegang siku kirinya. "Marilah, Taihiap, kau menyaksikan sendiri dan
melihat bahwa kami sama sekali tidak melakukan pemaksaan kepada Hong Ing."
Dengan
jantung berdebar penuh ketegangan Kun Liong mengikuti dua orang pendeta Lama
ini menuju ke belakang markas dan dia merasa makin gelisah dan tegang melihat
banyaknya pendeta yang berkumpul di halaman belakang itu. Sementara itu, di
dalam kamar hukuman di mana Kok Beng Lama duduk bersila, Bun Houw berlutut di
hadapan kakek itu sambil menangis.
"Suhu...!
Suhu...! Mengapa Suhu selama tiga hari tidak mau mendengarkan permintaan teecu
(murid)?" Bun Houw berteriak sambil menyusut air matanya. "Terjadi
banyak hal luar biasa. Suheng Yap Kun Liong telah datang dan dia ditangkap oleh
para Susiok dan dimasukkan kamar tahanan. Teecu sama sekali tidak boleh
mendekat, bahkan diancam akan dipukul kalau teecu mendekati kamar itu. Juga
Suci Hong Ing selalu berada di kamar sembahyang, tidak boleh teecu dekati.
Suhu, semua itu telah terjadi dan Suhu tidak ambil pusing."
Kok Beng
Lama termenung, kemudian membuka mata dan menunduk, menatap wajah muridnya yang
masih kecil itu, yang kini memandang kepadanya dengan pipi basah air mata. Dia
tersenyum lebar.
"Bun
Houw, engkau muridku penuh semangat, akan tetapi engkau masih kanak-kanak.
Engkau tidak tahu bahwa hidup ini baru berharga apa bila kita menjaga
kehormatan, dan kehormatan baru terjaga kalau kita selalu menyatukan kata-kata
dan perbuatan. Pinceng (aku) telah berjanji tak akan memberontak, mana mungkin
engkau minta supaya pinceng mencampuri urusan para sute-ku itu?"
"Tapi,
Suhu..."
"Sudahlah,
jangan ganggu aku lagi. Sekarang pergilah dan latih pelajaranmu!" kakek
itu menghardik.
Tiba-tiba
Bun Houw yang mengusap air matanya itu berkata, suaranya penuh kemarahan,
"Aku malu menjadi muridmu!"
Kata-kata
ini mengejutkan Kok Beng Lama sehingga kakek ini membuka lagi matanya,
memandang wajah yang kini merah dan penuh kemarahan, sepasang mata kecil yang
berapi-api ditujukan kepadanya itu.
"Apa...
apa katamu tadi?" tanyanya penuh keheranan sebab selama ini Bun Houw
selalu memperlihatkan sikap hormat, penuh sayang, dan penurut kepadanya.
"Aku
bilang bahwa aku malu menjadi muridmu! Suhu mengecewakan hatiku, Suhu bukan
seorang laki-laki gagah seperti yang kuduga! Suhu pengecut!"
Kalau saja
tidak ingat bahwa yang bicara adalah seorang anak kecil yang sudah diambil
sebagai muridnya, tentu sekali menggerakkan tangan Kok Beng Lama akan membunuh
orang yang memakinya pengecut itu! Sepasang matanya terbelalak lebar dan
telinganya mendengarkan kata-kata anak kecil itu yang terus menyerangnya!
"Suhu
lebih percaya kepada para Susiok yang jahat itu dari pada kepadaku! Suhu bilang
memegang janji, akan tetapi apakah mereka juga memegang janji? Tahukah Suhu
bahwa sekarang ini, seperti yang kuintai tadi, Suci sedang menghadapi ancaman
maut, akan dibakar hidup-hidup? Akan tetapi Suhu tidak mau menolong. Suhu takut
dan pengecut...!" Bun Houw tidak menangis lagi, bahkan sekarang sudah
bangkit berdiri, telunjuk kanannya menuding-nuding ke arah muka kakek itu.
"Kau
bohong...!" Kok Beng Lama membentak ketika mendengar cerita Bun Houw bahwa
puterinya hendak dibakar hidup-hidup!
"Suhu
lihat sendiri! Kalau saya bohong masih belum terlambat untuk menghukum saya.
Suhu boleh bunuh saya." Anak itu menjawab tegas.
Pada saat
itu, terdengar suara hiruk pikuk di bagian belakang markas, seperti kegaduhan
orang-orang yang bertempur, dan di antara suara hiruk pikuk itu pendengaran Kok
Beng Lama yang amat tajam menangkap jeritan suara puterinya! Dia mendengus dan
tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu, tiba-tiba saja berkelebat dan seperti
terbang cepatnya dia sudah melompat keluar dari kamar itu dan terus berlari ke
belakang!
Apa yang
disaksikannya di halaman belakang markas itu membuat dia kaget bukan main!
Puterinya, dengan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis yang menjadi mempelai
dewa, sudah berdiri di panggung dengan tubuh berbelit-belit rangkaian bunga dan
api di bawah panggung sudah mulai dinyalakan oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama,
dan Lak Beng Lama! Dia melihat puterinya itu memandang ke kanan kiri dan
menjerit-jerit,
"Kun
Liong...! Jangan melawan... ohhh, Kun Liong!"
Kok Beng
Lama terheran-heran. Melihat sikapnya dan keadaan di situ, agaknya puterinya
itu tidak dipaksa, namun dengan suka rela ingin mengorbankan diri kepada dewa.
Maka dia menjadi ragu-ragu dan bingung. Untuk merampas serta menolong puterinya
seperti yang telah dilakukan dahulu ketika dia menolong dan menyembunyikan Pek
Cu Sian, dia tidak berani. Bukan tidak berani kepada para Lama, melainkan tidak
berani melanggar janji, dan tidak berani lagi melakukan dosa terhadap dewa yang
dimuliakannya.
Pada saat
menoleh ke kiri, dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk. Dua tangan pemuda
itu masih terbelenggu di depan tubuhnya, dengan belenggu bulu biruang hitam,
akan tetapi biar pun kedua tangannya terbelenggu, dengan tangan terangkap dan
dengan kedua kakinya, pemuda itu telah merobohkan tiap orang Lama yang berani
menghadang dan mengeroyoknya! Inilah yang menimbulkan kegaduhan, dan kini para
pendeta Lama sudah marah dan mulai menggunakan senjata untuk mengeroyok pemuda
yang sedang memberontak dan mengamuk itu.
"Kalian
orang-orang kejam! Akan kubunuh semua kalau Hong Ing tidak dibebaskan!"
Kun Liong berteriak-teriak dan beberapa orang pendeta Lama lantas terlempar jauh
tersambar oleh tendangan kakinya yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap
tercampur rasa gelisah yang hebat melihat betapa kekasihnya akan dibakar
hidup-hidup!
"Manusia
lancang! Dengan suka rela dia ingin mengorbankan diri menjadi mempelai dewa,
ada sangkut-pautnya apa denganmu?!" bentak seorang Lama dengan marah.
Mendengar
ini, Kok Beng Lama merasa semakin bingung. Dia sudah berjanji tidak akan
memberontak, dan tentu saja dia merasa bahwa dia bersalah jika sampai dia
mencegah puterinya yang hendak melakukan pengorbanan diri, suatu hal yang
sangat dimuliakan di dalam tradisi mereka.
Akan tetapi,
tentu saja dia pun tidak akan dapat membiarkan puterinya tewas begitu saja.
Maka, melihat sepak-terjang pemuda itu yang sangat hebat, dia mendapat akal.
Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat dia menyerbu ke depan, mendorong semua
Lama ke pinggir kemudian dia menyerang Kun Liong dengan hebatnya!
Melihat
munculnya Kok Beng Lama, semua Lama, termasuk tiga orang pimpinan Lama, menjadi
terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat betapa Kok
Beng Lama menyerang Kun Liong. Diam-diam Sin Beng Lama tersenyum girang melihat
suheng-nya sudah benar-benar bertobat dan hendak menebus dosa terhadap dewa
itu. Dengan adanya suheng-nya yang membantu ini, tentu saja perjuangan mereka
akan lebih mantap lagi.
Sementara
itu, Kun Liong telah mengenal kakek tinggi besar yang baru muncul ini, kakek
yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang
kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu.
"Lociapwe,
saya hendak menolong Hong Ing!" katanya ketika kakek itu menerjangnya.
Namun
terlambat, serangan telah tiba dan hebat bukan main serangan kaki itu. Pukulan
yang dahsyat, mendatangkan hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke
arah dadanya. Kun Liong mengangkat dua lengannya yang masih terbelenggu,
mengerahkan sinkang-nya menangkis dari kiri ke kanan.
“Dessss...!”
“Belenggu
itu kalah oleh api...!"
Tubuh Kun
Liong terpental ke belakang, ada pun Kok Beng Lama juga terhuyung-huyung. Hal
ini sangat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi membuktikan
bahwa tenaga sinkang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat olehnya sendiri,
bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang.
Akan tetapi,
Kun Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi,
dia mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu sudah
membantunya secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat
itu, lebih kuat dari besi yang akan mudah dia patahkan, kiranya ada rahasia
kelemahannya, yaitu api!
"Haiiiihhhh…!"
Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya melayang
ke arah panggung yang mulai terbakar!
Dia meloncat
tinggi melewati kepala para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat
panggung, cepat dia merobohkan empat orang yang berlari menerjangnya. Kemudian
dia membalik, mengulur kedua tangannya ke api yang sudah menyala di bawah
panggung. Betapa girang rasa hatinya ketika melihat lidah api menjilat
belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu hitam itu dimakan api
hingga dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sinkang-nya yang tinggi, dia
dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh bakaran
api yang tidak terlalu lama itu.
Kembali
beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya, dan kembali dia merobohkan empat
orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada
saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok
Beng Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi ketiga orang sute-nya sambil
bertolak pinggang!
"Pengkhianat,
kau berani membuat dosa lagi?!" Sin Beng Lama membentak. "Kau tidak
malu untuk melanggar janji?"
"Sin
Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!" bentak Kok Beng
Lama dengan mata melotot. "Siapa yang melanggar janji? Siapa yang membuat
dosa? Tidak ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tak melanggar janji.
Sebaliknya, kalian berjanji tak akan mengganggu anakku, tapi buktinya kalian
hendak mengorbankan dia!"
Tiga orang
pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat naik
ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah
dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api.
"Kun
Liong...!"
"Hong
Ing...!"
Mereka
berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling
mereka.
"Kun
Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!" Berkali-kali Hong Ing menyebut nama
kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis.
Kun Liong
mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu dan
ditatapnya sampai lama dengan mata basah. "Hong Ing... kekasihku, pujaan
hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan
ayahmu..."
"Ayah...?"
Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah panggung.
Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman
bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, karena itu dia cepat memandang ke
bawah panggung.
Kok Beng
Lama masih berhadapan dengan tiga orang sute-nya, dan kini kakek itu berkata
lantang, "Apa?! Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak
mengorbankan diri? Benarkah itu? Mana buktinya? Itu dia, aku akan bertanya.
Heiii, Hong Ing, benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu
menjadi mempelai dewa yang mulia?"
"Tidak,
Ayah! Mereka memaksaku karena mereka sudah menangkap Kun Liong dengan cara yang
amat curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong menyerahkan
diri dan untuk menolong supaya Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar asal
Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!"
"Locianpwe,
mereka adalah gerombolan pemberontak-pemberontak yang telah bersekutu dengan
Pek-lian-kauw hendak merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!" Kun Liong
juga berteriak.
"Pengkhianat
dan manusia rendah!" Sin Beng Lama telah membentak marah bukan main karena
rahasianya dibongkar. Biar pun dia maklum akan kelihaian bekas suheng-nya ini
dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan
banyak anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw
berada di luar markas, tentu saja dia tidak takut.
"Serbuuuu...!
Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!" Teriaknya nyaring lantas dia
sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama.
"Locianpwe,
jangan khawatir, saya akan membantu!" Kun Liong berseru sambil membawa
Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar.
"Desss...!
Dukkk! Dukkk!"
Tiga orang
pimpinan Lama itu langsung terdorong ke belakang ketika lengan Kok Beng Lama
menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok Beng Lama menoleh ke
arah Kun Liong sambil berseru,
"Orang
muda, jangan bantu aku. Kau bawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku
serahkan dia kepadamu dengan berkatku!"
Kun Liong
mengangguk. "Hong Ing, mari kita segera pergi...!" katanya sambil
memegang pergelangan tangan kekasihnya.
Hung Ing
merenggutkan tangannya terlepas. "Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah
dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti
yang selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang
terancam bahaya."
Kun Liong
memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul dan
mencium dahi Hong Ing. Bagus! Memang demikianlah seharusnya seorang wanita
gagah dan berbakti. "Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!"
Kun Liong
dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok tiga oleh
pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu dan
mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing harus menghadapi
pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama dan tidak dapat mendekati Kok Beng
Lama.
Mereka ini
juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa
mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya,
sama dengan mengantar nyawa. Apa lagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok
Beng Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti
pula.
Terjadilah
pertandingan yang amat hebat. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh tiga orang
sute-nya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok puluhan orang
pendeta Lama. Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-mana dan
karena tidak ada yang mengurus, kini api itu bahkan mulai menjilat ke bangunan
belakang markas itu!
Betapa pun
saktinya Kok Beng Lama, dia mulai terdesak juga menghadapi pengeroyokan ketiga
orang sute-nya yang penuh kemarahan itu,. Demikian pula dengan Kun Liong yang
menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan masih ada puluhan orang
lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang roboh, di samping itu Kun
Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan mereka makin terdesak
dan terancam hebat.
Tiba-tiba
terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas itu
dan meski pun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan
dua orang sute-nya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah
diserbu musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut
bukan main dan Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk
menyelidiki keluar markas.
Sebentar
saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas,
tentara Pemerintah Beng sudah menyerbu dan kini sedang berperang melawan
pasukan Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw! Mendengar
keterangan ini, para pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok
Kun Liong dan Hong Ing, langsung berserabutan lari keluar dari markas untuk
membantu teman-teman mereka berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng.
Tiba-tiba
terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para pendeta
Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala tentara
Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa.
Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong beserta isterinya,
pendekar wanita Sie Biauw Eng! Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk,
suami isteri ini menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang
tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali.
Ketika
melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan main
karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan
tertolong dari bahaya maut.
"Supek...!
Supekbo...!" teriaknya gembira. "Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng
Lama Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!"
Mendengar
seruan ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk
menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak
heran, akan tetapi mereka, diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima
Besar The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng
Lama bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai.
Melihat
kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat dupa
dari sakunya dan sekali tiup, api pada kelima ujung dupa yang dipegangnya sudah
membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya
bergerak-gerak menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara
ujungnya itu ke arah Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal. Tampak
sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini.
"Awasss...!"
Cia Keng Hong berseru keras.
Dia dan
isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya, kakinya menendangi hio-hio yang
beterbangan di bawah, ada pun jari-jari tangan mereka menyambar dan menjepit
hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu melempar benda-benda itu ke atas
tanah. Akan tetapi di belakang mereka terdengar suara jeritan dan ternyata ada
empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena hio-hio membara yang
menancap di tubuh mereka.
Cia Keng
Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang
mempunyai tingkat kepandaian cukup tinggi, tetapi ternyata tidak mampu
menghindarkan diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata
rahasia istimewa itu langsung roboh berkelojotan dalam keadaan sekarat.
Mereka
menjadi marah, maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong
segera mengeluarkan pedang Siang-bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah
dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini mengeluarkan cahaya kehijauan pada
saat dicabut dan dengan mata memandang tajam dia bersama isterinya menerjang ke
depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng Lama.
"Trakkkk-trakkk!"
"Trangg!
Cring...!"
Tasbih di
tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan tubuh Lama itu tergetar
hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga tongkat
di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti Awan
Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi
kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sinkang sehingga kakek
ini juga amat terkejut dan terhuyung ke belakang.
Sin Beng
Lama yang kini harus menghadapi bekas suheng-nya sendirian saja, segera
terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama
menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk
menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran
angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah.
Terpaksa Sin
Beng Lama mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat
pinggang. Tampak cahaya terang menyilaukan mata disusul suara berdesing tinggi
ketika sinar ini menyambar ke arah Kok Beng Lama. Kakek tinggi besar ini
terkejut, mengelak cepat namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil
menyeka darah pada lehernya, Kok Beng Lama mendengus dan memandang penuh
kemarahan kepada bekas sute-nya.
"Manusia
munafik!" Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya
menyerang dengan lembut.
Sin Beng
Lama diam saja tak menjawab, kemudian dia cepat menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan
sinar putih berkilat menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat menjawab makian
bekas suheng-nya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah, sumpah
kepala Lama Jubah Merah.
Pedang itu
adalah pedang pusaka yang selalu menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah
Merah. Akan tetapi membunuh merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apa
lagi membunuh dengan pedang pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah
bahwa kalau seorang Kepala Lama melanggarnya, maka dia akan tewas di ujung
pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena merasa tidak kuat menandingi bekas
suheng-nya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya sendiri dan mengandalkan pedang
pusaka itu untuk memperoleh kemenangan.
Sambil
mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama maju
menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Sepasang lengan kakek
tinggi besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang sangat kuat sehingga gulungan
sinar pedang putih selalu terdorong mundur.
"Robohlah...!"
Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang pusakanya menyusul
tangan kirinya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari samping menuju
lambung lawan.
Kok Beng
Lama maklum akan jurus serangan yang sangat berbahaya ini, akan tetapi dia
sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh bekas sute-nya yang kejam dan
hampir membunuh anaknya itu. Apa lagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa
sute-nya ini sudah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan
Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak
dapat diampunkan.
Bagaikan
sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang kanan
menangkap tangan sute-nya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, dan yang kiri
dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke
arah pedang yang menusuk lambungnya.
"Desss!
Trangggg...!"
Pedang itu
langsung terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng Lama telah
tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan Ketua
Lama Jubah Merah itu sudah ditangkap oleh bekas suheng-nya! Keduanya saling
mengerahkan sinkang, tetapi tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan
sepasang lengannya sudah menggigil hebat.
"Haaaaiiiiiikkkk...!"
Tiba-tiba
Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat itu dan
kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau mengamuk ke arah perut
Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya karena kepala gundul
yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sinkang yang dahsyat
bukan main sehingga batu karang sekali pun akan hancur lebur kalau kena
diseruduk oleh kepala ini!
"Ceppppp...!"
Kok Beng
Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan memasang perutnya,
menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu mendadak menjadi lunak
sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga perutnya, karena
langsung disedot dengan pengerahan sinkang.
Terdengar
suara berkerotokan keras lantas tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika Kok
Beng Lama menarik napas panjang dan kembali melembungkan perutnya, tubuh Sin
Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena
kepalanya retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama segera
membalikkan tubuh untuk mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama
dan Lak Beng Lama.
Begitu dia
memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu
sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki
gerakan sangat luar biasa hebatnya.
Pada saat
itu sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu melayang seperti seekor naga
putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dan ketika dua
orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan tongkat untuk menangkis, kedua
ujung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka!
Kedua orang
Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan rusak sabuk
sutera putih. Akan tetapi pada saat itu pula berkelebat sinar kehijauan dari Pedang
Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak dapat
bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi
sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.
Siasat kerja
sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang amat hebat.
Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan Lak
Beng Lama, keadaan ramai bukan main. Keng Hong mampu mendesak Hun Beng Lama,
akan tetapi Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama
sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu
merobohkan lawan.
Tiba-tiba
Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan siasatnya
bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan
tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera,
Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan baik untuk melakukan
serangan kilat yang berhasil dengan baik.
Kok Beng
Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum akan
tetapi marah sekali. Dia terkejut dan heran melihat betapa dua orang sute-nya
itu sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi
dia marah sekali sesudah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh
musuh dan banyak yang telah roboh dan tewas.
Setelah kini
tiga orang sute-nya tewas semua, lenyap pulalah semua permusuhan di dalam
hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah, bahkan timbul kemarahannya
karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh. Maka sambil berteriak marah
dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng Lama, lalu berlari
ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng.
"Singgg...
trangg-trakkk... singgg...!"
Keng Hong
dan Biauw Eng yang sudah menangkis itu terdorong ke belakang dan mereka
terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini bahkan jauh lebih lihai lagi
dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang sudah berhasil mereka robohkan!
Namun Keng Hong cepat mendahului isterinya, menggerakkan Siang-bhok-kiam dan
menerjang kakek itu sambil berseru,
"Mundurlah,
biarkan aku menghadapinya!"
Biauw Eng
mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa
lihainya Lama tinggi besar ini sehingga bila dia maju maka akan membahayakan
dirinya. Betapa pun juga, Biauw Eng bersiap dengan sabuk sutera di tangannya,
siap membantu kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya.
Rangkaian
serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama amat hebatnya
sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar kehijauan dari
Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar, mula-mula
dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika dapat
ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam
lalu menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah
pada tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri
pendekar sakti itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan
kosong dari jurus Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mukjijat Thi-khi I-beng!
Kok Beng
Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis dengan
pedang, dengan lengan kirinya, mengelak dan berloncatan ke sana sini sehingga
akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu. Sesudah meloncat ke
belakang dia langsung menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang
tidak kalah dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi
serangan itu dengan kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri.
Terjadilah
serang-menyerang yang amat seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus
mengakui bahwa agaknya baru sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat
kuat dan seimbang! Walau pun tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun
dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan pendeta Lama tinggi besar ini.
"Supek...
harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!"
"Ayah...!
Ayah, jangan melawan, Ayah...!"
Munculnya
Kun Liong bersama Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama meloncat
mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis berkerut
penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu menubruk ayahnya.
"Ayah,
lekas... markas terbakar dan Sute berada di dalam...!"
Kok Beng
Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang
betul-betul telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di
pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali
seperti gerengan seekor singa.
"Bun
Houw...!" Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat ke depan.
"Brakkkkk…!"
Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol.
"Bresssss…!"
Dinding yang ke dua ambrol pula dan tampak kakek itu menerjang melalui dinding
yang diruntuhkannya memasuki lautan api!
"Ayaahhh...!"
Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba saja pinggangnya
dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta-ronta dan menangis.
"Biarkan aku menyusul Ayah!"
Namun Kun
Liong malah memperkuat pelukannya. "Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang
berusaha menyelamatkan Bun Houw, tak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-sia
di situ."
Sementara itu,
Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek tinggi besar
tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka!
"Kun
Liong, apa artinya ini? Mana Bun Houw?" Keng Hong bertanya.
"Supek,
saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di sini,
di dalam markas yang terbakar itu."
Hong Ing
kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi
karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata, "Sute Cia Bun
Houw diambil murid oleh Ayah... dan... dan kini Ayah sedang mencarinya ke dalam
sana..."
"Houw-ji
(Anak Houw)...!" Sie Biauw Eng menjerit.
"Harap
Supek-bo tenang...!" Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya
yang perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak.
"Ayahku
lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dia dapat menyelamatkan
Sute," Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.
"Aku
akan mencarinya!" Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya
disambar suaminya.
"Ucapan
Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan di dalam, kalau kau atau aku
yang masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis
di mana adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri."
"Aku
tidak takut mati untuk membela anakku!" Biauw Eng berteriak marah dan
meronta.
Keng Hong
terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong kepada
Hong Ing tadi. "Siapa takut mati? Aku pun tidak takut, akan tetapi
perlukah mati konyol? Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita
berdua mati terbakar di sana?"
Kata-kata
ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan menahan
napas. Bukan dia saja, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing memandang ke
arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana yang amat
menegangkan hati.
Sampai lama
mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah mereka lupa keadaan sekeliling di
mana masih terjadi pertempuran-pertempuran berat sebelah antara pasukan
pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan perlawanan dengan
setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan lari
bersama pasukan suka rela yang terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan
mereka telah tewas semua.
Mendadak
terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh
tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlarian meloncat keluar dari dalam
lautan api, kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya.
Ketika Kok
Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan tetapi
Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya.
"Houw-ji...!"
"Ibu...!"
Biauw Eng
cepat menyambar Bun Houw yang telah selamat dan hanya menderita sedikit
luka-luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh menghitam
semua, mukanya hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar! Keng Hong segera
menolong pendeta Lama itu sedangkan Hong Ing beserta Kun Liong lalu membujuk
semua pendeta untuk menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan.
Keng Hong
sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat itu,
sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa Kok
Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek ini
penuh ketekunan.
Sebulan
kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari
separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggota Lama yang kini sudah
insyaf dan diampuni oleh Pemerintah Tibet. Sekarang, atas saran dan tanggungan
dari pendekar Cia Keng Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk
menjadi ketua baru dari Lama Jubah Merah.
Dan pendeta
tinggi besar yang sekarang mukanya berubah hitam itu memimpin sendiri
pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil keputusan di dalam
hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah yang telah dicemarkan dan
diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga.
***************
Tidak jauh
dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk
berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri-seri
dan segar tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang
sudah mengalami perubahan yang amat hebat dalam hidupnya.
Tadinya dia
menghadapi ancaman hebat, terpisah dari Kun Liong yang sangat dicintanya, dan
ayah kandungnya juga menjadi orang hukuman yang tidak berdaya. Sekarang ayah
kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama
sekali Kun Liong yang dicintanya berada di sampingnya!
"Hong
Ing..."
"Hemmm...
?"
Di dalam
panggilan ini dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung
kemesraan dan cinta kasih yang tidak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata
karena di dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih
sayang yang terasa sampai di lubuk hati masing-masing. Demikian hebat pengaruh
getaran ini sehingga Kun Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sulit
untuk melanjutkan kata-katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui
pandang matanya.
Kun Liong
menarik napas panjang tiga kali, barulah dia bisa menenangkan gelora hatinya
yang dibangkitkan oleh getaran cinta kasihnya, kemudian dia berkata, "Hong
Ing, setelah keadaan telah menjadi baik kembali, ayahmu telah sembuh sama
sekali, kini aku... aku... terus terang meminangmu untuk menjadi isteriku, Hong
Ing."
Sejenak
mereka berpandangan, kemudian kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan
mukanya ditundukkan. Mereka sudah saling menyatakan cinta kasih tanpa sungkan
dan malu-malu lagi, tetapi mendengar pinangan untuk menjadi isteri pemuda yang
dikasihinya ini, Hong Ing menjadi canggung dan malu juga.
"Bagaimana
jawabanmu, Hong Ing?"
"Kun
Liong, kenapa... kenapa engkau memilih aku menjadi... isterimu?"
"Kenapa?
Ahh, tentu saja karena aku cinta padamu, Hong Ing."
Hong Ing
mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar memandang dan dia bertanya
lagi, "Kenapa engkau cinta padaku? Kun Liong, berhari-hari sudah aku
menahan pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu ini. Sekaranglah saatnya.
Mengapa engkau cinta kepadaku. Kun Liong? Mengapa?"
Kun Liong
memegang kedua tangan kekasihnya dan memandang tajam. "Aku memang telah
bersikap bodoh sekali dan berkali-kali menyakiti hatimu, Hong Ing. Menyakiti
hatimu karena kebodohanku dan kecanggunganku. Aku cinta kepadamu, semenjak kita
pertama kali bertemu, akan tetapi aku terlalu angkuh, canggung dan tidak mau
mengakui, walau terhadap diri sendiri sekali pun. Aku cinta padamu karena
engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang bagiku sempurna tanpa cacat,
engkaulah yang menciptakan bayangan wanita khayal yang kupuja-puja dahulu,
karena engkaulah orangnya. Wanita khayal itu adalah engkau, Hong Ing, dan lebih
lagi, kalau wanita khayal itu hanya angan-angan dan bayangan saja, engkau
adalah seorang manusia dari darah daging, seperti aku, maka bagiku engkau lebih
dari pada wanita khayal itu. Engkau adalah satu-satunya wanita yang kucinta,
yang ingin kujadikan isteriku, teman hidupku selamanya, membentuk keluarga
denganmu, mempunyai keturunan dan suka duka kita pikul bersama, Hong Ing."
Hong Ing
terisak dan rebah dalam pelukan Kun Liong. Dara ini merasa seperti diayun ke
sorga ke tujuh. Kata-kata yang diucapkan Kun Liong tadi baginya merupakan
nyanyian sorga yang amat merdu.
"Kun
Liong, aku... aku hanyalah seorang gadis bodoh dan hina yang... semenjak dulu
tak pernah berhenti mencintamu, yang setiap saat bermimpi menginginkan menjadi
isterimu dan aku... aku menerima segalanya, aku... bersedia menjadi isterimu
asal engkau suka mengirim Cia Keng Hong Locianpwe sebagai walimu untuk melamarku
kepada Ayah."
"Hong
Ing...!" Kun Liong mendekap dan menciuminya. Sejenak mereka tenggelam
dalam buaian cinta kasih yang memabukkan.
Akhirnya
Hong Ing menarik tubuhnya sedikit menjauh dan beberapa kali menarik napas
panjang. Sepasang pipinya menjadi makin kemerahan, matanya sayu seperti mata
orang mengantuk, bibirnya tersenyum aneh membayangkan rahasia hatinya.
"Aih,
Kun Liong, betapa mengerikan kalau aku mengenangkan waktu yang lalu, ketika aku
melakukan segala siasat dan daya upaya agar engkau dapat datang ke tempat ini.
Ketika itu, sudah bulat keputusanku bahwa lebih baik aku mati dari pada tidak
dapat bertemu lagi denganmu."
Kun Liong
memegang kedua tangan dara itu. "Engkau hebat, Hong Ing. Dan alangkah
bahagianya seorang seperti aku mendapatkan cinta kasih seorang dara seperti
engkau yang begini mulia! Padahal aku adalah seorang laki-laki yang bodoh, yang
sombong dan angkuh, yang selalu merendahkan cinta. Betapa aku dahulu selalu
memandang rendah kepada cinta kasih antara pria dan wanita! Semua ini timbul
karena di dalam kehidupanku banyak sekali aku mengalami godaan asmara! Sungguh
aku harus merasa malu kepada diri sendiri, dan aku menyesal sekali terutama
sekali tentang satu hal... yang harus kuberi tahukan padamu sebelum... sebelum
kita menjadi suami isteri. Kalau tidak kuberi tahukan kepadamu, hal ini hanya
akan menjadi penghalang kebahagiaan kita..." Dia lalu berhenti dengan
ragu-ragu sambil memandang kekasihnya.
"Kun
Liong! Apakah itu? Apa yang ingin kau sampaikan? Mengapa wajahmu tiba-tiba saja
kehilangan serinya dan engkau kelihatan khawatir dan ragu-ragu? Katakanlah,
apakah hal yang kau risaukan itu?"
"Hong
Ing, apa yang akan kuceritakan adalah hal yang amat memalukan, hal yang amat
kotor. Apa bila nanti engkau marah kepadaku, mengutukku, bahkan kalau hal ini
membuat engkau menolak aku dan memandang rendah kepadaku, aku akan menerimanya
dengan rendah hati, karena memang engkau patut mengutukku."
Wajah Hong
Ing menjadi pucat sekali. "Tidak...! Tidak...! Kalau begitu lebih baik
jangan kau ceritakan itu!"
Kun Liong
menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Harus kuceritakan, Hong Ing. Dari
pada menyimpan rahasia. Rahasia yang terselip di antara suami isteri kelak
hanya akan menimbulkan bencana. Aku, harus menceritakan kepadamu, kemudian
terserah padamu keputusannya. Engkau terlalu bersih dan murni, sedangkan aku
akan merasa diriku kotor dan tidak berharga bagimu, selamanya kalau aku belum
menceritakan hal ini."
Hong Ing
memandang kepada kekasihnya dengan sinar mata penuh kekhawatiran, akan tetapi
juga penuh rasa iba, kemudian katanya lirih, "Kalau begitu, ceritakanlah,
Kun Liong. Ceritakanlah semuanya dan sebelumnya aku sudah memaafkan segala
kekeliruanmu."
Kun Liong
memegang kedua tangan kekasihnya, tidak dilepaskannya lagi seolah-olah dia
mendapatkan kekuatan batin dari sepasang tangan kekasihnya itu untuk
menceritakan hal yang amat menindih perasaannya itu. "Terima kasih, Hong
Ing. Ingatkah engkau kepada wanita yang telah tewas bersama suaminya sebulan
yang lalu di tempat ini ketika mereka berdua membelaku?"
"Dua
orang murid pendekar Secuan itu? Tentu saja aku masih ingat, sungguh kasihan
sekali mereka. Engkau telah memberi tahu kepadaku bahwa mereka adalah Tan Swi
Bu dan Liem Hwi Sian."
Kun Liong
mengangguk. "Mereka adalah sahabat lamaku, terutama sekali Liem Hwi Sian.
Ketika mereka roboh, sebelum menghembuskan napas terakhir, Hwi Sian
meninggalkan pesan kepadaku."
"Pesan
apakah?"
"Bahwa
dia memiliki seorang anak yang ditinggalkannya di Kuil Kwan-im-bio, di kaki
bukit dekat rumah gurunya, dan dia berpesan kepadaku agar aku suka merawat anak
itu..."
Pandang mata
yang tadinya diliputi kekhawatiran itu kini berseri dan jari-jari tangan yang
dipegang Kun Liong itu membalas dengan sentuhan lembut, mulut yang tadi agak
terbuka itu kini tersenyum. "Aihhh, kau membikin orang menjadi tegang dan
gelisah saja! Kalau hanya urusan itu, mengapa dirisaukan benar? Tentu saja aku
setuju sepenuhnya untuk merawat anak yang bernasib malang itu!"
Akan tetapi
Kun Liong masih memegang kedua tangan Hong Ing dan sikapnya masih
sungguh-sungguh, pandang matanya masih penuh kegelisahan. "Bukan hanya
itu, Hong Ing, akan tetapi... anak itu... anak Hwi Sian itu bukanlah keturunan
suaminya, bukan anak Tan Swi Bu..."
"Ehhh...?"
Hong Ing memandang tajam dengan alis berkerut, timbul persangkaan bahwa yang
disebut rahasia itu adalah rahasia keburukan Hwi Sian, tentu sahabat suaminya
itu telah melakukan penyelewengan hingga melahirkan seorang anak bukan dari
keturunan suaminya!
"Kun
Liong, aku tidak ingin mengetahui rahasia orang lain, kalau kau mau menerima
anak sahabatmu itu untuk kau rawat, aku setuju saja. Tidak perlu kau
menceritakan rahasia pribadi Liem Hwi Sian itu."
"Bukan
begitu, Hong Ing, bukan rahasianya, melainkan rahasiaku. Dengarlah baik-baik,
dahulu, setahun lebih yang lalu, sebelum aku bertemu denganmu, aku amat
meremehkan soal cinta sehingga aku memandang rendah pula terhadap cinta kasih
wanita terhadap diriku. Di antara mereka yang mencintaku adalah Hwi Sian. Akan
tetapi aku yang suka menggodanya tidak membalas cinta kasihnya. Saat dia
ditunangkan dan akan dinikahkan dengan suheng-nya, yaitu Tan Swi Bu, hatinya
hancur dan dia mencariku, lalu... lalu... dia minta supaya aku suka menjadi
suaminya untuk semalam saja! Kalau menolak, dia akan membunuh diri karena dia
tidak mencinta suheng-nya, melainkan mencintaku. Dan aku... aku yang bodoh dan
sombong, aku... aku menuruti permintaannya. Kemudian, ketika dia akan mati, dia
meninggalkan pesan bahwa anak itu... anaknya itu... adalah... anak hasil dari
hubungan kami semalam itu, dia adalah anakku..."
Hong Ing
merenggut kedua tangannya, bangkit berdiri dan mukanya pucat sekali, kedua
matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan memandang kepada Kun Liong.
Pemuda itu
juga bangkit dengan tubuh gemetar. "Aku memang seorang manusia kotor,
seorang rendah yang tidak patut untukmu, Hong Ing. Aku akan menerimanya bila
engkau mengutukku, ketika itu aku memandang rendah cinta kasih antara pria dan
wanita. Aku menganggap bahwa semua cinta kasih menjurus kepada cinta birahi
belaka. Akan tetapi, ternyata tidak... cinta kasih adalah sesuatu yang luhur
dan mulia, yang bersih tak ternoda dari segala sesuatu, termasuk hubungan
jasmani antara pria dan wanita, barulah suci dan murni kalau didasari cinta
kasih. Tanpa cinta kasih, segala adalah kotor dan hina. Namun aku... aku
seperti buta pada waktu itu, Hong Ing."
Hong Ing
tidak menjawab, hanya berdiri memandang dengan mata terbetalak dan muka pucat.
Melihat keadaan kekasihnya ini, Kun Liong merasa sangat kasihan, akan tetapi
seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan hakim, dia berdiri dan
menundukkan mukanya, menanti suara Hong Ing...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment