Tuesday, August 21, 2018

Cerita Silat Serial Petualang Asmara Jilid 39



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Petualang Asmara
                  Jilid 39


WAJAH Pek Hong Ing yang cantik jelita dan segar itu sebentar pucat sebentar merah ketika dia mendengar dari para pelayan bahwa kedua orang pendeta Lama yang sudah pergi hampir dua bulan itu, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, hari itu telah kembali ke kuil. Jantungnya berdebar keras dan bermacam pertanyaan mengaduk-aduk hatinya.

Apakah dua orang pendeta itu telah berjumpa dengan Kun Liong? Apakah sudah bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai? Apa yang sudah terjadi? Harapan dan kecemasan membuat jantungnya berdebar-debar tegang dan dia segera lari keluar dari dalam kamarnya untuk menemui mereka.

Mereka sudah duduk di ruangan besar, bersila di atas bantalan kuning. Hun Beng Lama, Lak Beng Lama, dan Sin Beng Lama yang mendengarkan laporan mereka. Ketika mereka bertiga melihat munculnya Hong Ing, Sin Beng Lama lalu tersenyum dan berkata,

"Hong Ing, kau duduklah. Biar pun kedua orang susiok-mu belum berhasil mendatangkan Kun Liong, namun kami yakin bahwa tidak lama lagi dia akan muncul di sini."

Hong Ing tak menjawab, matanya memandang ke arah seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang duduk di atas lantai dekat dengan Lak Beng Lama. Anak laki-laki itu tampan dan sehat, matanya tajam bersinar-sinar dan kelihatan sedang marah.

Mendengar ucapan Sin Beng Lama tadi, anak laki-laki itu segera membuka mulutnya dan berkata, suaranya nyaring dan lantang, "Kalau Suheng Yap Kun Liong datang bersama ayahku, kalian tentu akan dihajar sampai mampus!"

Tentu saja Hong Ing terkejut sekali mendengar ucapan anak itu yang menyebut Suheng (kakak seperguruan) kepada Kun Liong. Ia cepat menghampiri, memandang anak itu dan bertanya kepada Sin Beng Lama. "Susiok, siapakah anak ini dan dari mana dia datang?"

Bibir Sin Beng Lama yang bersikap lemah lembut itu tersenyum, "Dia ikut bersama kedua orang susiok-mu..."

"Aku diculik!" Anak itu berseru marah. "Pendeta-pendeta menculik anak kecil, sungguh tak tahu malu!"

Hong Ing semakin kaget dan heran, juga kagum menyaksikan sikap yang demikian tabah dari anak itu.

"Lak Beng Susiok, siapakah dia itu?" tanyanya kepada paman gurunya ke tiga yang terus menjaga anak itu.

"Dia? Ha-ha-ha, dia adalah putera Ketua Cin-ling-pai..."

"Ohh...! Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) tidak memegang janji! Aku minta agar supaya Yap Kun Liong yang dibawa ke sini, mengapa malah membawa anak kecil, putera Ketua Cin-ling-pai yang tidak tahu apa-apa?"

"Siancai...! Kami sama sekali tidak melanggar janji. Kami membawa anak ini ke sini justru adalah untuk memenuhi janji kami karena hanya dengan cara inilah Yap Kun Liong dapat muncul di sini," Lak Beng Lama berkata.

"Apa maksud Susiok?"

Hun Beng Lama yang sikapnya lebih halus dibandingkan dengan Lak Beng Lama segera menjawab, "Kami tidak berhasil bertemu dengan Yap Kun Liong di Cin-ling-san, bahkan Ketua Cin-ling-pai juga tidak berada di rumahnya. Kami hanya bertemu dengan isterinya dan puteranya ini, maka terpaksa kami membawa puteranya ini ke sini dan meninggalkan pesan kepada isterinya bahwa apa bila Ketua Cin-ling-pai mengantarkan Yap Kun Liong ke sini, maka puteranya akan dikembalikan. Bukankah ini merupakan cara terbaik untuk memaksa Yap Kun Liong datang ke sini?"

Setelah mendengar penjelasan ini, wajah yang tadinya pucat itu menjadi merah kembali dan berseri gembira. Diam-diam hati Hong Ing merasa gembira sekali karena siasatnya sudah berhasil. Memang sebaiknya begini karena perbuatan dua orang pendeta Lama itu tentu akan memancing kemarahan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan tentu pendekar itu bersama Kun Liong akan muncul di tempat ini! Dan kalau Kun Liong datang bersama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, tentu ayahnya dan dia sendiri akan dapat diselamatkan.

"Ahh, maafkan saya, Ji-wi Susiok! Kiranya begitukah? Memang baik sekali dan saya amat berterima kasih kepada Ji-wi Susiok. Akan tetapi, supaya anak ini tidak rewel dan senang tinggal sementara di sini, biarlah dia tidur bersama saya."

Sin Beng Lama tersenyum. "Sebaiknya begitu. Bawalah dia ke kamarmu."

Hong Ing menghampiri anak itu yang memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh curiga.

Hong Ing tersenyum manis dan menyentuh pundak Cia Bun Houw. "Mari ikutlah bersama Enci."

Tiba-tiba Bun Houw menggerakkan tangan menangkis lengan dara itu dengan sigap dan mengelak ke belakang. "Siapa kau? Kalian semua orang jahat!" bentaknya.

Hong Ing memandang kagum. Anak ini benar-benar amat tampan dan bersemangat, baru berusia lima tahun sudah memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya.

"Jangan salah duga, Adik baik. Para Locianpwe yang membawamu ke sini bukan berniat jahat. Engkau hanya disuruh tinggal di sini hingga ayahmu datang menjemputmu. Marilah, aku Pek Hong Ing, dan aku sama sekali tidak berniat jahat kepadamu."

Melihat dara yang cantik jelita itu bersikap halus kepadanya, kecurigaan Bun Houw mulai berkurang. Dia mengangguk biar pun dia menolak ketika Hong Ing hendak menggandeng tangannya.

"Siapakah namamu, Adik yang baik?"

"Namaku Cia Bun Houw," jawabnya singkat.

"Adik Bun Houw, mari ikut bersamaku. Engkau tentu lapar. Kita makan lalu bermain dan bercakap-cakap di dalam taman. Di sini terdapat sebuah taman yang indah."

Sikap yang amat ramah dan baik dari Hong Ing menghibur juga hati anak itu dan dalam beberapa hari saja dia sudah menjadi sahabat baik Hong Ing dan menaruh kepercayaan besar terhadap dara itu. Dua pekan kemudian, ketika Hong Ing mengunjungi ayahnya di dalam kamar hukuman, dia sengaja mengajak Bun Houw.

Kamar hukuman itu amat luar biasa, tidak patut disebut kamar hukuman, karena kamar itu merupakan kamar yang lebarnya empat meter persegi dan kosong sama sekali tidak ada perabotnya sepotong pun. Di tengah-tengah kamar ini, duduk bersila seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Kok Beng Lama.

Memang luar biasa cara para Lama Jubah Merah ini. Yang merupakan belenggu hukuman hanyalah janji-janji mereka yang lebih kokoh dari pada belenggu baja. Kok Beng Lama menjalankan hukuman yang dijatuhkan padanya dengan cara bersemedhi siang malam, hanya berhenti apa bila tubuhnya membutuhkan makan saja, atau membutuhkan istirahat dan tidur. Selain terpaksa memenuhi kebutuhan jasmaninya, semua waktunya dihabiskan dengan bersemedhi!

Agaknya kakek ini telah mengambil keputusan nekat akan menghabiskan usianya dengan bersemedhi, sesudah dia memperoleh janji ketiga orang sute-nya bahwa puterinya, Pek Hong Ing, tak akan diganggu. Satu-satunya orang yang dapat menyadarkan kakek ini dari semedhinya hanyalah Hong Ing.

Setiap kali puterinya ini datang tentu dia suka untuk menghentikan semedhinya kemudian bercakap-cakap, bahkan juga menurunkan semua ilmunya kepada Hong Ing. Kalau bukan puterinya, meski siapa saja dan meski diapakan juga dia tidak akan dapat disadarkan dari semedhinya.

Sesudah membuka pintu kamar itu dengan sangat hati-hati dan melihat ayahnya sedang bersemedhi seperti biasanya, Hong Ing menuntun tangan Bun Houw dan mengajak anak itu berlutut lalu duduk bersila di depan kakek itu, dalam jarak dua meter karena mereka berdua duduk bersandar dinding di atas lantai yang mengkilap bersih, karena sering kali dibersihkan sendiri oleh Hong Ing.

Kakek itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya. Namun pendengarannya yang sudah terlatih hebat dan sangat tajam itu dapat menangkap semua suara dan mengikuti semua gerak-gerik Hong Ing dan Bun Houw.

"Anakku, dengan siapakah engkau memasuki kamar ini dan mengapa engkau mengajak orang lain?"

Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran. Hong Ing cepat menjawab dengan suara agak manja, "Ayah, inilah Adik Cia Bun How, putera dari Ketua Cin-ling-pai!"

"Hemm, suruh dia keluar dari kamar ini!" kakek itu membentak tanpa membuka matanya.

Bun Houw yang menyaksikan itu semua tiba-tiba berkata dengan suaranya yang bening nyaring, "Enci Hong Ing, mengapa engkau mengajak aku masuk ke tempat ini? Mana dia ayahmu? Kakek yang galak dan tua ini? Ahhh…, dia tidak patut menjadi ayahmu, Enci. Engkau begini halus dan baik, akan tetapi dia begitu galak dan jahat!"

"Hushh... diamlah!" Hong Ing menegur anak itu.

Dia teringat akan cerita Kun Liong mengenai Pendekar Sakti Cia Keng Hong, maka dia cepat berkata lagi untuk memancing perhatian ayahnya. "Ayah, dia ini adalah putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, murid tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong...!"

Akan tetapi kakek itu sudah tertarik sekali pada waktu mendengar suara Bun Houw tadi, suaranya yang begitu bening dan seperti jarum-jarum menusuk telinganya, suara yang hanya dapat dimiliki seorang bocah yang cerdas dan berbakat baik sekali. Maka dia telah membuka kedua matanya memandang. Sinar kagum terpancar keluar dari matanya ketika dia memandang Bun Houw, apa lagi ketika mendengar bahwa Bun Houw adalah putera dari seorang murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong!

Melihat sikap ayahnya, Hong Ing cepat-cepat menyambung, "Ayah, aku ingin agar Adik Bun Houw menjadi muridmu!"

"Hemmmm...!" Tiba-tiba kakek itu meluruskan lengan kanannya.

Bun Houw yang sejak tadi memandang wajah kakek itu menjadi terbelalak kaget melihat betapa lengan yang besar itu dapat mulur memanjang keluar dari lengan bajunya, terus memanjang sampai tangan itu mencengkeram punggung bajunya dan mengangkatnya ke atas lalu menariknya dekat dengan muka kakek itu!

Memang hebat sekali kepandaian Kok Beng Lama. Sinkang-nya sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dia mampu membuat lengannya mulur memanjang sampai hampir dua meter! Dengan kepandaian seperti ini, tentu saja dia merupakan seorang lawan yang amat berbahaya bagi siapa pun.

"Bagus! Kau anak baik sekali... kau benar ingin menjadi muridku?" tanya kakek itu sambil memeriksa tubuh anak itu dengan pandang matanya dan dengan rabaan jari-jari tangan kirinya, terutama sekali meraba-raba tengkorak kepala Bun Houw.

Bun Houw adalah seorang anak yang usianya baru lima tahun, akan tetapi dia pun putera suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia cerdik sekali. Melihat kenyataan bahwa kakek aneh ini adalah ayah dari Pek Hong Ing yang bersikap amat baik padanya, kemudian bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang amat hebat sehingga akan mampu melindunginya di tempat asing itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,

"Aku suka sekali menjadi muridmu!"

"Ha-ha-ha!" Kok Beng Lama tertawa dan melepaskan tubuh anak itu ke atas lantai.

Kini hatinya girang sekali karena tadinya dia merasa agak kecewa melihat bahwa bakat puterinya sendiri masih jauh agar bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmunya yang membutuhkan ‘wadah’ yang kuat dan berbakat. Kini, melihat Bun Houw, dia menemukan seorang murid yang pasti akan dapat mewarisi semua kepandaiannya.

"Suhu...!" Bun Houw yang berotak cerdas itu pun sudah berlutut sambil memberi hormat dan menyebut suhu.

"Ha-ha-ha...!" Kakek itu kembali tertawa.

Hong Ing girang sekali. Dia lantas memeluk Bun Houw dengan girang. "Sekarang engkau menjadi sute-ku (adik seperguruanku) dan aku adalah suci-mu (kakak seperguruanmu)."

"Suci...!" Bun Houw memberi hormat kepada dara itu.

Mulai hari itu, Bun Houw menjadi murid Kok Beng Lama dan setiap hari anak itu berada di dalam kamar hukuman untuk menerima petunjuk dan gemblengan kakek aneh itu. Kok Beng Lama memang berwatak luar biasa. Dia sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tahu mengapa putera Ketua Cin-ling-pai itu bisa berada di tempat itu.

Dia tidak mau mempedulikan lagi urusan dunia, maka dia tidak pernah bertanya kepada Hong Ing mau pun kepada Bun Houw. Setiap hari dia hanya mengajarkan ilmu kepada puterinya dan muridnya itu, tanpa membicarakan urusan lain lagi. Pekerjaannya setiap hari hanya mengajar dan bersemedhi, lain tidak.

Tentu saja setiap gerak-gerik Pek Hong Ing dan Cia Bun Houw tidak pernah terlepas dari penyelidikan tiga orang pendeta Lama, namun mereka tidak menghalangi ketika melihat bahwa Bun Houw menjadi murid suheng mereka yang menjalani hukuman itu. Mereka percaya penuh akan janji Kok Beng Lama, dan mereka juga sudah mengenal betul watak suheng mereka itu yang mungkin dapat mengamuk serta memusuhi mereka mengenai urusan pribadi, tetapi akan membela dengan taruhan nyawa apa bila perkumpulan agama mereka diserang musuh dari luar.

Di samping itu, Hong Ing juga tidak memperlihatkan sikap mencurigakan, bahkan dara ini menurut dan mempelajari dengan teliti semua pelajaran keagamaan mereka sehubungan akan menjadi korban untuk dewa kelak, sesudah permintaannya dipenuhi, yaitu hadirnya Yap Kun Liong di situ. Bahkan dia menurut pula ketika diharuskan melakukan puasa dan pantang makan barang berjiwa agar supaya dirinya tetap bersih apa bila tiba saatnya dia mengorbankan diri kepada dewa sebagai penebus ‘dosa’ ibunya dahulu.

Melihat sikap dara ini, Sin Beng Lama dan dua orang sute-nya tidak menjadi curiga, dan mereka hanya menanti-nanti kedatangan Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw, agar pelaksanaan korban suci untuk dewa dapat segera dilaksanakan. Dalam hal ini, para pendeta Lama memiliki keyakinan bahwa pengorbanan suci seorang dara kepada dewa akan mendatangkan berkah yang amat hebat, akan mendatangkan keajaiban yang membawa kejayaan kepada perkumpulan mereka.

Mereka percaya bahwa atas bantuan dan perlindungan dewa yang tentu akan membantu mereka sesudah menerima pengorbanan istimewa, yakni puteri mendiang Pek Cu Sian yang dulu mengecewakan dan membikin marah dewa, tentu Kerajaan Tibet akan dapat mereka tumbangkan dan mereka rampas! Mereka berkeyakinan bahwa kalau selama ini mereka belum juga berhasil adalah karena dewa marah terhadap mereka sehubungan dengan peristiwa kedosaan yang dulu dilakukan oleh Pek Cu Sian, gadis calon mempelai dewa yang melarikan diri!

Sekarang, begitu Pek Hong Ing berada pada mereka, sudah nampak tanda-tanda bahwa usaha mereka akan berhasil, terutama sekali dengan adanya kenyataan bahwa hubungan antara mereka dengan pihak Pek-lian-kauw menjadi erat dan saling membantu.

Memang perkumpulan Lama Jubah Merah mulai membuat persiapan untuk memberontak dan menyerang Pemerintah Tibet. Seluruh Lama Jubah Merah sudah dikumpulkan dan jumlah mereka ternyata hampir dua ratus orang. Di samping melatih semua Lama Jubah Merah ini menjadi pasukan istimewa yang amat kuat, juga kini telah dikumpulkan banyak bantuan dari luar, bantuan yang terdapat dari berbagai cara. Ada yang karena percaya kepada keampuhan Kelenteng Lama Jubah Merah, yaitu para penduduk di sekitar daerah itu yang pernah menerima ‘berkah’ dari kelenteng, ada pula yang karena terpaksa atau dipaksa oleh pengaruh para pimpinan Lama, ada pula yang ‘dibeli’ dengan uang!

Betapa pun juga, Sin Beng Lama telah berhasil menghimpun ratusan orang prajurit ‘suka relawan’, yang dilatih di luar markas mereka, dilatih ilmu perang dan barisan, juga sudah diadakan kontak langsung dengan Pek-lian-kauw yang sudah siap membantu para Lama untuk menyerbu Tibet dengan janji bahwa kelak, para Lama yang sudah menguasai Tibet akan mengerahkan kekuatan pula untuk membantu mereka menumbangkan Pemerintah Beng-tiauw!

Kini, para Lama hanya menunggu tibanya saat yang suci itu, ialah pengorbanan seorang dara kepada dewa untuk memberkahi mereka. Semua orang sudah tahu bahwa perawan yang cantik jelita dan yang kini berada di markas, keponakan murid dari Sin Beng Lama sendiri, dara jelita Pek Hong Ing yang akan menebus dosa ibunya dengan mengorbankan diri kepada dewa dengan cara seperti biasa, yaitu dibakar hidup-hidup! Akan tetapi gadis itu baru mau menjalani upacara pengorbanan diri jika musuhnya sudah berlutut di bawah kakinya! Dan kini semua orang menanti datangnya saat itu.

Bukan hanya Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saja yang setiap hari menanti-nanti kemunculan Cia Keng Hong yang membawa Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw. Juga Hong Ing dan Bun Houw setiap hari menanti-nanti dengan penuh harap. Bagi Hong Ing, saat kedatangan Kun Liong akan menjadi saat penentuan mati hidupnya!

Sin Beng Lama memang cerdik sekali. Untuk melakukan suatu pemberontakan terhadap pemerintah, terutama sekali lebih dahulu haruslah mencari kesan baik dari rakyat jelata, supaya di dalam hati rakyat terkandung simpati terhadap ‘perjuangan’ mereka. Dan untuk ini, dia hampir setiap hari mengadakan sembahyangan besar di kelentengnya yang amat luas, tentu saja disertai jamuan tanpa bayar bagi rakyat yang berkunjung dan yang akan bersembahyang.

Mendengar bahwa di Kelenteng Lama Jubah Merah setiap hari diadakan sembahyangan besar, berbondong-bondonglah rakyat dari berbagai jurusan di sekitar daerah itu datang berkunjung. Bahkan banyak pula di antara para pengunjung yang bermalam di halaman kelenteng untuk dapat mendengarkan khotbah Sin Beng Lama atau kedua orang sute-nya yang diadakan setiap hari, khotbah tentang kebatinan akan tetapi sekaligus khotbah yang memburuk-burukkan Pemerintah Tibet dan bujukan-bujukan untuk memberontak!

Pada suatu pagi, ketika para pengunjung kelenteng sedang berkumpul di halaman sambil mendengarkan khotbah yang dilakukan sendiri oleh Sin Beng Lama, mendadak terdengar suara berisik dari dalam markas. Sin Beng Lama menyuruh kedua orang sute-nya untuk memeriksa apa yang terjadi sedangkan dia sendiri tetap melanjutkan khotbahnya.

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama cepat berlarian melalui pintu belakang kelenteng, langsung memasuki markas dari mana terdengar suara ribut-ribut itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dua orang tokoh Lama Jubah Merah itu melihat beberapa orang anak buah mereka bergelimpangan dan di tengah-tengah kepungan para pendeta Lama berdirilah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lak Beng Lama yang berwatak agak keras dan kasar segera berseru,

"Minggir semua!" lalu dia memasuki kepungan bersama suheng-nya, Hun Beng Lama.

Sekarang mereka berhadapan dengan pemuda itu yang tidak lain adalah Yap Kun Liong! Melihat datangnya dua orang pendeta Lama ini, Kun Liong segera mengenal mereka.

"Hemm, kebetulan sekali Ji-wi Losuhu (Kedua Bapak Pendeta) datang!" tegurnya dengan nada suara tegas. "Aku datang untuk menemui tiga orang pemimpin Lama Jubah Merah, akan tetapi tahu-tahu para pendeta di sini menyerbu dan mengeroyokku."

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama tidak mengenal Kun Liong karena ketika mereka dahulu menculik Hong Ing di pulau kosong, pemuda ini berkepala gundul dan pakaiannya hanya sehelai cawat. Kini pemuda itu sudah berambut panjang dan hitam, dan meski pun pakaiannya sederhana, namun lengkap.

"Orang muda yang lancang, siapakah kau dan apa keperluanmu mencari kami?"

"Aku bernama Yap Kun Liong, ada pun kedatanganku adalah untuk minta kepada para pimpinan Lama Jubah Merah agar suka membebaskan Nona Pek Hong Ing!"

Mendengar ini, kagetlah dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka memandang lebih teliti, kemudian saling pandang dan Lak Beng Lama berseru kepada para anak buahnya. "Tangkap pemuda ini!"

Belasan orang pendeta Lama langsung menyerbu dengan tangan kosong. Tadi mereka mendengar perintah ‘tangkap’, maka tentu saja mereka tidak mau menggunakan senjata tajam yang dapat membunuh pemuda ini.

Tapi untuk kedua kalinya Kun Liong menggerakkan tubuh seperti tadi ketika dia diserbu, tubuhnya berkelebatan dan berputaran dengan kaki tangan bergerak maka berturut-turut robohlah belasan orang pengeroyok itu!

Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan para pendeta yang lainnya. Segera mereka menyerbu sehingga Kun Liong dikepung dan dikeroyok oleh banyak pendeta, bahkan kini Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang maklum akan kelihaian pemuda itu, sudah ikut bergerak menyerbu pula.

Majunya dua orang pendeta Lama yang amat sakti ini membuat Kun Liong terdesak. Dia memang hanya bermaksud membela diri dan hanya merobohkan lawan sedapat mungkin tanpa melakukan pembunuhan. Tentu saja ia bersikap hati-hati sekali dalam menghadapi serangan dua orang pendeta Lama yang berilmu tinggi itu, lebih-lebih karena masih ada puluhan orang anggota perkumpulan Lama Jubah Merah itu yang membantu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan markas itu, Pek Hong Ing cepat lari keluar dan dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya pada saat dia melihat Yap Kun Liong sedang dikepung dan dikeroyok banyak pendeta. Sejenak dia seperti terpesona melihat pemuda yang menjadi kekasih pujaan hatinya itu, yang setiap saat selalu dirindukannya dan diharap-harapkan kedatangannya.

Sekarang pemuda itu telah muncul, akan tetapi dikepung dan dikeroyok. Jika menurutkan perasaannya, ingin dia ikut mengamuk dan membantu kekasihnya itu. Namun dia teringat betapa liciknya para pendeta Lama itu. Apa bila dia maju, tentu mereka akan menangkap dia dan menggunakan dia untuk memaksa Kun Liong menyerahkan diri. Teringat akan ini, dia lalu cepat-cepat berlari masuk ke dalam dan langsung dia memasuki kamar hukuman ayahnya.

"Ayah... tolonglah aku...!" Dia berlutut memeluk ayahnya dengan muka pucat dan napas terengah-engah.

Bun Houw yang sedang duduk bersila melatih diri bersemedhi seperti yang diajarkan oleh gurunya, membuka mata dan terkejut sekali melihat keadaan suci-nya. Akan tetapi dia tidak berani membuka suara, hanya memandang kepada gurunya. Kok Beng Lama juga membuka matanya, sejenak memandang heran kepada puterinya, lalu bertanya,

"Hong Ing, apakah yang terjadi?"

"Ayah...," dengan suara terisak Hong Ing berkata. "Lekas Ayah menolongnya...! Yap Kun Liong telah datang dan dikeroyok oleh kedua orang Susiok dan puluhan orang pendeta...! Lekaslah Ayah...!"

Namun Kok Beng Lama tidak bergerak. "Hemmm... salahnya sendiri kalau datang ke sini dan dikeroyok, tidak ada urusannya dengan pinceng."

"Ayah, akulah yang salah! Akulah yang menyebabkan semua itu. Ayah, aku mencinta Kun Liong dan dia mencintaku. Kami saling mencinta, karena itu... aku sudah mencari akal untuk memancing Kun Liong ke sini. Aku membohongi para Susiok, aku bilang bahwa aku bersedia mengorbankan diri kepada dewa untuk menebus dosa ibuku, asal mereka dapat mendatangkan Yap Kun Liong. Karena tidak berjumpa dengan Kun Liong, para Susiok membawa Adik Bun Houw ke sini dengan pesan agar orang tua anak ini mengantarkan Kun Liong ke sini untuk ditukar dengan Bun Houw. Ayah... semua itu kulakukan demi cintaku kepada Kun Liong. Aku ingin pergi dari sini, ingin ikut dia, hidup bersama dia. Tapi dia... dia dikeroyok di luar. Ayah, tolonglah aku, bantulah dia... hu-huu-huuuuh!"

Hong Ing menangis, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan kekasihnya. Memang dia tahu akan kelihaian kekasihnya itu, akan tetapi membayangkan kesaktian para susiok-nya dan banyaknya para pendeta yang mengeroyok, tentu saja hatinya gelisah sekali.

"Hemmm...!" Kok Beng Lama mengeluarkan suara dari dalam rongga perut yang tertahan di kerongkongan, sampai lama dia diam saja. Setelah Hong Ing berkali-kali membujuknya sambil terus menangis, akhirnya dia mendorong tubuh puterinya sehingga tubuh Hong Ing terpental ke belakang.

"Tidak! Kau minta agar ayahmu menjadi seorang hina dina yang melanggar janji? Tidak, lebih baik kau menyuruh aku mati! Anak tidak berbakti, kau berani minta ayahmu untuk melakukan hal yang hina itu?" Setelah membentak demikian, kakek ini sudah meramkan matanya kembali dengan alis berkerut.

"Ayaaaahhh...!" Hong Ing menjerit.

Pada saat itu di luar terdengar suara makin berisik, tanda bahwa jumlah para pengeroyok bertambah banyak dan makin gelisah hati Hong Ing. Dia menubruk lagi ayahnya dengan nekat sambil menangis. "Ayah, aku tidak minta Ayah melanggar janji. Hanya tolonglah dia, tolonglah Kun Liong yang dikeroyok... kalau sampai dia mati, aku pun akan mati di depan kakimu, Ayah!"

Sesudah berkali-kali Hong Ing mengulangi kata-katanya sambil menangis, akhirnya kakek itu membuka mata dan mengangguk. "Memang lebih baik mati dari pada hidup dalam kehinaan karena melanggar janji. Pergilah!"

Sikap dan kata-kata ayahnya ini tiba-tiba saja membuat Hong Ing timbul semangat dan kenekatannya. Sebelum bertemu dengan ayahnya, memang dia hidup di dalam dunia ini tanpa mengandalkan siapa pun juga, maka terasalah olehnya betapa sikapnya tadi amat lemah dan manja.

"Baik, Ayah! Aku akan mati bersama Kun Liong, akan tetapi bukan karena tidak hendak memegang janji terhadap para Susiok yang palsu itu! Aku akan melawan mereka sampai mati!" Dengan isak tertahan Hong Ing lalu berlari keluar dari dalam kamar hukuman.

"Suci...!" Bun Houw berteriak memanggil namun Hong Ing tidak menengok lagi.

Sementara itu, di luar markas terjadi pertempuran yang sangat hebat. Kun Liong masih dapat mempertahankan dirinya biar pun kini Hun Beng Lama yang menggunakan senjata tasbih dan Lak Beng Lama yang bertongkat mengurung dan mendesaknya, dibantu oleh banyak sekali pendeta Lama yang berjubah merah.

Yang membuat kepala Kun Liong terasa pening adalah karena persamaan pakaian para pengeroyoknya itu sehingga sulit baginya untuk membedakan orangnya. Hal ini membuat dia sering kali terkena hantaman tasbih atau tongkat di tangan dua orang pendeta Lama yang lihai itu. Untung bahwa tingkat sinkang-nya memang sangat tinggi sehingga dengan perlindungan tenaga sakti ini, tubuh yang kena dihantam dua senjata itu tidak mengalami luka.

Kun Liong mengamuk bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok banyak semut. Kaki dan tangannya bergerak dan siapa saja, kecuali dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu, yang terkena sentuhan kedua tangan atau kakinya tentu terlempar jauh ke belakang.

"Kun Liong jangan khawatir, aku membantumu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki gagah yang datang menyerbu dengan pedang mereka. Hanya dengan beberapa gebrakan saja dua orang yang datang membantu Kun Liong ini sudah berhasil merobohkan dua orang pendeta Lama.

"Hwi Sian...!" Kun Liong terkejut bukan main ketika sudah mengenali wanita cantik yang membantunya. "Tan-twako...!" Dia mengenal pula Tan Swi Bu, yakni bekas suheng dari Hwi Sian yang kini sudah menjadi suami wanita itu.

"Mundurlah, pergilah dan jangan mencampuri urusanku...!" teriak Kun Liong dengan suara penuh kekhawatiran karena dia maklum betapa lihainya para pendeta Lama Jubah Merah ini, sama sekali bukanlah lawan kedua orang suami isteri itu. Betapa pun juga, melihat Hwi Sian, ulu hatinya seperti tertusuk sesuatu dan dia merasa terharu.

"Kun Liong, aku... girang dapat membantumu...!”

“Tranggg...!"

Hwi Sian menangkis datangnya sambaran sebatang golok dengan pedangnya, kemudian melanjutkan pedangnya menusuk yang dapat ditangkis pula oleh lawannya.

"Yap-taihiap, mari kita basmi para pemberontak ini!" Tan Swi Bu juga berseru.

Mendengar seruan ini, para pendeta menjadi kaget bukan kepalang. Maklumlah mereka bahwa rahasia mereka telah diketahui orang dan tentu dua orang laki-laki dan perempuan yang baru datang ini adalah mata-mata pemerintah.

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mata-mata!"

Teriakan-teriakan ini disusul dengan menyerbunya banyak pendeta mengepung Hwi Sian dan Tan Swi Bu yang memutar pedang mereka dan mengamuk penuh semangat.

Seperti sudah diceritakan oleh Poa Su It kepada Kun Liong, suami isteri murid pendekar Secuan Gak Liong ini telah melaksanakan tugas mereka menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang dikabarkan hendak memberontak itu, menjalankan perintah dari susiok-couw mereka, yaitu Panglima Besar The Hoo.

Mereka menyamar sebagai orang-orang yang datang hendak bersembahyang dan setiap hari mereka melakukan penyelidikan hingga akhirnya mereka dapat mengetahui tentang gerakan Lama Jubah Merah yang sudah menyiapkan dan melatih pasukan-pasukannya, dan juga kontak mereka dengan pihak Pek-lian-kauw yang kini banyak pula berkumpul di luar markas, ikut melatih para penduduk yang dapat dibujuk oleh Lama Jubah Merah.

Akan tetapi pada pagi hari itu, selagi mereka mengambil keputusan hendak meninggalkan tempat itu untuk melaporkan hasil penyelidikan mereka, mereka mendengar ribut-ribut di dalam markas. Dengan cerdik mereka berhasil menyelundup masuk ke markas dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hwi Sian ketika melihat bahwa pemuda tampan yang kini memiliki rambut kepala bagus itu, yang sedang dikeroyok oleh banyak pendeta, adalah Yap Kun Liong, pria yang tak pernah dapat dilupakannya!

Maka serta merta dia mencabut pedang yang disembunyikan di bawah bajunya kemudian menyerbu tanpa berunding dahulu dengan suaminya! Tentu saja Tan Swi Bu juga tidak membiarkan isterinya menempuh bahaya seorang diri dan dia pun menyerbu mati-matian.

Melihat betapa Hwi Sian dan Swi Bu terus mengamuk dan dikepung banyak pendeta, Kun Liong menjadi gelisah sekali. Apa lagi ketika dari jauh dia melihat munculnya seorang pendeta Lama yang amat lihai, yaitu Sin Beng Lama dengan lima batang hio mengepul, maklumlah dia bahwa bahaya besar mengancam suami isteri itu.

"Hemmm...!" Dia menggeram sambil mengerahkan tenaganya, menerima saja hantaman-hantaman Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama serta lain-lain pendeta, kemudian secepat kilat dia menangkap lengan dua orang pendeta Lama yang lihai itu sambil mengerahkan tenaga sakti Thi-khi I-beng!

"Auhhh...!"

"Aduhhh...!"

"Haiii..., lepaskan aku...!"

Teriakan-teriakan penuh kepanikan itu terdengar dari mulut mereka yang memukul tubuh Kun Liong dan tangan mereka yang mengenai tubuh pemuda ini melekat tak dapat ditarik kembali, bahkan segera mereka merasakan betapa tenaga sinkang mereka membanjir keluar disedot oleh tubuh pemuda itu!

Karena banyaknya para pendeta yang tadi memukul Kun Liong untuk membantu kawan, maka belasan orang pendeta, termasuk Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama melekat pada tubuh pemuda itu dan kedua orang Lama yang sakti itu merasa panik dan juga marah kepada anak buah mereka sendiri. Kalau saja tidak ada anak buah mereka yang ikut-ikutan memukul dan melekat sehingga menghalangi gerakan mereka, tentu dengan tangan mereka yang masih bebas mereka dapat mengirim pukulan maut dengan totokan-totokan ke bagian tubuh yang lemah dari pemuda luar biasa itu.

Kun Liong yang melihat betapa Sin Beng Lama sudah menggerakkan tubuhnya meloncat dekat Hwi Sian dan Swi Bu, cepat mengembalikan tenaga sinkang yang tersedot olehnya dan kini terkumpul menyesak di pusar, mengeluarkan bentakan nyaring dan menggoyang tubuhnya seperti seekor harimau menghalau air dari bulu-bulu tubuhnya.

"Haaaiiiihhhh!"

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, juga belasan orang anak buahnya, berseru kaget dan terlempar ke arah Sin Beng Lama! Belasan orang anak buah mereka itu terlempar dalam keadaan pingsan, sedangkan Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masih dapat mengumpulkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tubuh mereka itu tidak meluncur menerjang suheng mereka sendiri. Mereka berjungkir balik dan terjatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan terhuyung-huyung.

Sementara itu, Sin Beng Lama sudah membuat pedang di tangan Hwi Sian dan Swi Bu terpental jauh, kemudian dua kali tangannya bergerak lagi maka robohlah Hwi Sian dan suaminya. Akan tetapi pada saat itu, belasan batang tubuh beterbangan menerjangnya dari arah Kun Liong!

"Omitohud...!" Dia berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali sehingga belasan sosok tubuh yang meluncur itu lewat di bawah kakinya kemudian terbanting dan terguling-guling ke atas tanah dalam keadaan pingsan.

"Pendeta keji...!" Kun Liong membentak dan segera dia sudah bertanding melawan Sin Beng Lama yang amat lihai.

Tampak sinar-sinar kecil berapi seperti ada banyak sekali kunang-kunang beterbangan di sekitar tubuh Kun Liong. Diam-diam pemuda itu terkejut juga melihat betapa lima batang hio membara itu meluncur dan menyambar-nyambar cepat sekali ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya. Dia maklum betapa hebatnya serangan ini, karena itu dia pun cepat menggerakkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan balas menyerang.

Karena lawan menggunakan lima batang hio yang amat luar biasa itu, dia tidak mungkin dapat mengandalkan Thi-khi I-beng. Maka untuk mengimbangi kecepatan lawan terpaksa dia mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan menggunakan tenaga sinkang Pek-in-ciang sehingga dari kedua telapak tangannya mengepul uap putih yang menyambar-nyambar dahsyat.

"Yap Kun Liong menyerahlah engkau dan pinceng akan mengampunimu," kata Sin Beng Lama.

Pendeta ini diam-diam merasa kagum bukan main terhadap Kun Liong dan kalau pemuda ini mau menyerah sehingga Hong Ing dapat mengorbankan diri kepada dewa, kemudian pemuda ini mau pula membantunya, tentu merupakan tenaga bantuan yang tidak ternilai harganya!

"Sin Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing maka aku akan pergi dari sini dengan damai!" Kun Liong berkata pula, akan tetapi matanya melirik ke arah Hwi Sian dan Swi Bu yang sudah rebah tak bergerak lagi. Dia tak dapat menyatakan sakit hatinya kalau suami isteri itu tewas, karena hal itu adalah kesalahan Hwi Sian dan suaminya sendiri, dan mereka itu pun telah merobohkan dan membunuh beberapa orang pendeta!

"Pemuda sombong!" Sin Beng Lama berseru dan kini dia memperhebat serangannya dan bahkan dibantu oleh Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang sudah dapat memulihkan kembali tenaganya.

"Suheng, hati-hati terhadap Thi-khi I-beng!" berkata Lak Beng Lama.

"Ya, dia tentu menggunakan ilmu mukjijat itu!" kata pula Hun Beng Lama.

Sin Beng Lama berseru, "Jangan melewatkan bagian-bagian yang paling lemah. Serang matanya!"

Kun Liong mendongkol bukan main, akan tetapi juga sibuk karena tiga orang lawannya itu benar-benar amat sakti, sedangkan dia sangat khawatir melihat keadaan Hwi Sian yang sudah bergerak dan mengeluarkan rintihan perlahan.

"Kun Liong... ohhh... Kun Liong...!"

Suara ini cukup menusuk perasaan hati pemuda itu. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali dan tenaga sakti mukjijat yang terkumpul di dalam tubuhnya berkat latihan menurut ilmu dalam kitab Keng-lun Tai-pun secara tiba-tiba bekerja akibat didorong oleh perasaannya. Tiga orang pendeta Lama itu mengeluarkan seruan kaget dan seperti tiga helai daun kering tertiup angin, mereka terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!

"Hwi Sian...!" Kun Liong meloncat dan menghampiri Hwi Sian, berlutut sambil merangkul leher wanita itu.

"Kun Liong...!" Hwi Sian menggerakkan lengan merangkul leher Kun Liong. "Kun Liong, dia... suamiku... dia telah mati..."

Kun Liong menoleh dan menghela napas. Memang jelas bahwa Tan Swi Bu telah tewas, dan wanita ini pun berada dalam keadaan payah sekali, dadanya berlubang dan seperti terbakar.

"Kun Liong... aku... aku tetap cinta padamu..."

Kun Liong menarik napas lagi, dua butir air mata membasahi pipinya. Dia tidak mampu mengeluarkan suara.

"Kun Liong..." Suara itu berbisik lirih. "Dengarlah..." Terpaksa Kun Liong mendekatkan telinganya ke dekat mulut yang amat dikaguminya itu, mulut yang bentuknya amat indah dan selalu menjadi daya tarik utama dari kecantikan Hwi Sian.

"Aku akan mati... dan kau pelihara baik-baik anak itu... kutitipkan di Kuil Kwan-im-bio di kaki bukit, tanya Suheng Poa Su It..."

"Plak-plakk...!"

Tanpa menoleh Kun Liong mengangkat tangan kirinya. Dua kali dia menangkis datangnya dua batang golok yang menyambarnya dari arah belakang. Golok-golok itu terpental dari tangan pemegangnya dan dua orang pendeta Lama meloncat ke belakang, memegangi tangan mereka yang terasa panas!

"Anakmu...?" Kun Liong bertanya.

Mata itu bersinar-sinar memandang wajahnya, dan bibir yang masih merah membasah itu tersenyum sehingga nampak sebagian gigi yang berkilat putih.

"Kini aku... aku bisa membuka rahasia... dia... dia anak kita, Kun Liong... rawatlah dan... selamat tinggal..."

Keduanya menjadi lemas seketika. Hwi Sian lemas karena tubuhnya tidak bernyawa lagi, sedangkan Kun Liong lemas lunglai mendengar pengakuan yang sangat hebat dan di luar dugaannya itu. Hwi Sian meninggalkan seorang anak, anak mereka! Anak Hwi Slan dan dia! Betapa mungkin ini? Hubungan yang dahulu itu... di kuil tua itu... telah menghasilkan keturunan?

"Tidak mungkin!" Dia meletakkan tubuh Hwi Sian ke atas tanah dan meloncat berdiri, matanya merah.

"Wuttt-wuuuttt... desss! Aughhh...!"

Lak Beng Lama berteriak keras karena kini tongkatnya yang menyambar bertemu dengan tangkisan yang dilakukan dengan tenaga mukjijat sedemikian dahsyatnya sehingga tidak hanya tongkatnya yang terpental, juga tubuhnya terasa seperti disambar petir!

Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama cepat menyerang dan kembali Kun Liong dikeroyok dan didesak hebat. Pemuda ini melawan dengan pandang mata masih termenung, dan dengan dua butir air mata membasahi pipinya. Pikirannya masih penuh oleh pengakuan Hwi Sian. Anak Hwi Sian, anaknya!

"Siuttt... cussss... dukk!"

Dia terhuyung-huyung ke belakang. Ketika nyaris lehernya tertusuk hio membara dan dia mengelak sambil membuang diri ke belakang tadi, tasbih di tangan Hun Beng Lama telah menyambar lambungnya dengan tepat, membuat dia terpelanting ke belakang.

Tentu saja kedua orang pendeta Lama itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, terus mendesak maju. Kun Liong menggoyangkan kepalanya untuk mengusir suara Hwi Sian yang masih mengiang-ngiang mengikuti telinganya, agar dia dapat memusatkan perhatian menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu.

"Kun Liong...!"

Untuk kedua kalinya selama beberapa menit itu jantung Kun Liong terguncang hebat. Dia cepat meloncat ke belakang dan melihat dara yang dirindukannya selama ini, Pek Hong Ing, meronta-ronta dalam pegangan Lak Beng Lama! Cepat dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya melayang ke arah Lak Beng Lama.

"Mundur! Kalau tidak, kubunuh dia!" Lak Beng Lama berseru, tongkatnya menempel pada ubun-ubun kepala Hong Ing.

Kun Liong mundur dengan muka pucat. "Hong Ing... Hong Ing...!" bibirnya berbisik.

"Kun Liong, lawanlah! Lawan dan bunuhlah mereka yang keji dan jahat! Jangan pedulikan diriku!" Hong Ing berkata sambil menangis.

"Tidak! Sam-wi Losuhu (Tiga Bapak Pendeta), dengarlah! Aku menyerah asalkan Sam-wi Losuhu tidak mengganggu Hong Ing!"

"Omitohud, bagus kalau begitu. Berlututlah!" Sin Beng Lama berseru sambil menghampiri Kun Liong.

"Kun Liong, jangan...!" Hong Ing menjerit.

Akan tetapi karena mengkhawatirkan keadaan kekasihnya, Kun Liong telah maju berlutut di depan Sin Beng Lama. Kakek ini mengeluarkan segulung tali hitam, lalu dibantu oleh Hun Beng Lama dia membelenggu sepasang pergelangan tangan Kun Liong di belakang tubuhnya.
TALI HITAM itu bukanlah sembarang tali, melainkan terbuat dari bulu biruang hitam yang hanya terdapat di pegunungan yang sunyi dari daerah Tibet. Bulu binatang ini amat kuat sehingga tidak mungkin dibacok putus oleh senjata pusaka yang mana pun. Orang hanya dapat membunuh biruang hitam itu dengan jalan menusuknya, sehingga senjata runcing menyusup di antara bulu kuat itu dan melukai tubuh. Kalau dibacok, jangan harap dapat melukai binatang itu. Akan tetapi bagi yang mengerti tentu saja ada kelemahan bulu itu. Kun Liong membiarkan kedua tangannya dibelenggu tanpa mengadakan perlawanan.

"Hong Ing, jangan melawan, menurutlah saja. Kurasa para Losuhu ini tidak akan berniat buruk."

"Omitohud, sama sekali tidak, Yap-taihiap. Engkau sungguh gagah dan kami bukanlah orang-orang yang tidak menghargai orang pandai. Kami ingin sekali bersahabat dengan Taihiap." Sin Beng Lama berkata ramah dan halus penuh bujukan.

Akan tetapi dengan sinar mata tajam dan suara tegas, Kun Liong berkata kepada ketua para Lama Jubah Merah itu, "Losuhu, aku menyerah bukan karena hendak bersahabat dengan Losuhu sekalian, melainkan karena Losuhu berjanji tidak akan mengganggu Hong Ing. Sekarang, setelah aku menyerah, harap lekas bebaskan Hong Ing dan lakukan apa saja yang Losuhu sukai terhadap diriku."

"Kun Liong...!" Hong Ing yang sudah dilepas oleh Lak Beng Lama karena pemuda lihai itu telah dibelenggu, cepat lari menubruk pemuda itu, merangkulnya sambil menangis.

"Kun Liong... oh, Kun Liong...!" Hong Ing hanya dapat meratap karena hatinya menyesak oleh perasaan terharu.

Seluruh kerinduan hatinya menyesak dalam dada, kegirangan melihat pemuda ini kembali bercampur dengan rasa kekhawatiran melihat kekasihnya menyerah dan dibelenggu. Dia merangkul, memeluk, mendekapkan mukanya yang basah oleh air mata itu di pipi, leher, dan dada Kun Liong yang menunduk dan mencoba meredakan hati kekasihnya.

"Tenanglah, Hong Ing. tenanglah..."

Akan tetapi mana mungkin hati Hong Ing dapat ditenangkan kalau dia teringat bahwa dia akan dikorbankan kepada dewa di depan mata Kun Liong seperti yang telah dijanjikannya kepada Sin Beng Lama? Siasatnya memang berhasil membawa Kun Liong menyusulnya ke tempat ini, akan tetapi kesudahannya sama sekali lain dengan yang dikehendakinya.

Dia mengharapkan kedatangan Kun Liong bersama Cia Keng Hong untuk melawan para pendeta Lama itu dan membebaskan dia bersama ayahnya, akan tetapi hasilnya jauh berlainan. Ayahnya tidak mau membantu, dan Kun Liong menyerah untuk melindunginya! Bagaimana dia dapat tenang menghadapi malapetaka ini?

"Mundurlah kau!" Lak Beng Lama menarik lengan Hong Ing sehingga lepas dari rangkulan pada leher Kun Liong.

"Hong Ing, sekarang Yap-taihiap sudah datang, kau harus memenuhi janjimu," Sin Beng Lama berkata, suaranya halus akan tetapi nadanya mengandung paksaan dan ancaman.

Dengan kedua mata masih basah Hong Ing memandang kepada Kun Liong yang masih berdiri tegak dengan dua lengan terikat ke belakang. Pemuda itu memandangnya dengan tenang dan bibirnya tersenyum bagaikan hendak menghibur serta membesarkan hatinya. Maklumlah dara ini bahwa siasatnya telah gagal sama sekali, bahkan dia telah menyeret Kun Liong ke dalam bahaya maut. Dan dia tahu pula akan kepalsuan hati para paman gurunya, maka dia khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya itu.

"Susiok, aku hanya mau berkorban diri apa bila Susiok bertiga suka berjanji tidak akan membunuh Yap Kun Liong."

"Hong Ing, apa maksudmu dengan berkorban diri?" Kun Liong bertanya dengan tiba-tiba dan hatinya berdebar tegang.

Akan tetapi Hong Ing menundukkan mukanya dan tidak berani menjawab. Bila dia bicara terus terang, tentu Kun Liong akan marah-marah kepada para pendeta dan memberontak. Dalam keadaan sudah terbelenggu seperti itu, hasilnya tentu akan sia-sia, bahkan akan membahayakan keselamatannya, maka dia diam saja, bahkan mendesak Sin Beng Lama.

"Sin Beng Susiok, bagaimana? Tanpa ada janji Sam-wi untuk membebaskan Kun Liong segera setelah saya berkorban, saya tidak akan mau dan saya akan membunuh diri kalau dipaksa!"

Tanpa ragu-ragu lagi Sin Beng Lama langsung berkata, "Kami berjanji! Kami akan segera membebaskan Yap Kun Liong setelah kau selesai berkorban diri untuk dewa."

Hong Ing menoleh kepada Kun Liong, menarik napas panjang dan terisak, lalu menunduk dan berkata, "Kalau begitu, saya bersedia."

Sin Beng Lama merasa girang sekali. "Hayo kau ikut denganku untuk menghafalkan doa penyeberangan ke kahyangan! Sute berdua, harap bawa Yap-taihiap ke kamar tamu dan menjaganya baik-baik." Kakek ini lalu menggandeng lengan Hong Ing, dituntunnya gadis ini pergi dari situ masuk ke dalam.

"Hong Ing...! Losuhu, nanti dulu! Hong Ing, jelaskan kepadaku apa artinya ini semua! Apa artinya pengorbanan itu?!" teriak Kun Liong.

Akan tetapi Hong Ing yang memandang kepadanya, hanya menggelengkan kepala dan air matanya bercucuran, kemudian dengan cepat dia mengikuti Sin Beng Lama berjalan masuk. Kun Liong hendak mengejar, akan tetapi Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memegang kedua lengannya dari kanan kiri, Hun Beng Lama berkata,

"Harap kau tidak memberontak. Kau lihat sendiri bahwa kami tidak melakukan paksaan kepada Pek Hong Ing. Dia melakukan segala sesuatu dengan suka rela atas kehendak dia sendiri, semoga para dewa melindunginya."

Kun Liong terpaksa menahan kemarahannya. Pada saat dia digiring masuk, dia melirik ke arah mayat-mayat di sekeliling tempat itu dan melihat mayat Hwi Sian dan suaminya, dia memejamkan kedua matanya.

"Hwi Sian, kau ampunkan aku...," bisik hatinya.

Betapa hidupnya yang lalu bergelimang kepalsuan dan dosa, dan bahkan saat ini pun dia tidak berdaya menolong Hong Ing. Ingin sekali dia meronta dan memberontak, namun dia menekan kemarahannya. Hal ini tak mungkin dia lakukan selama Hong Ing masih berada di tangan mereka. Dia harus bersabar dulu dan melihat perkembangan selanjutnya untuk menentukan sikap.

Sementara itu, Sin Beng Lama menuntun Pek Hong ing ke dalam ruangan sembahyang untuk mengajarkan doa-doa yang harus diucapkannya ketika pengorbanan dilaksanakan. Hatinya penuh harapan, penuh kegirangan, karena dia merasa yakin bahwa apa bila Pek Hong Ing, keturunan Pek Cu Sian yang dulu pernah membikin murka dan kecewa kepada dewa itu dengan suka rela mengorbankan diri menjadi ‘mempelai dewa’, tentu para dewa akan memberkahi dan melindungi Lama Jubah Merah, dan juga membantu mereka dalam ‘perjuangan’ mereka yang suci.

Sebagai seorang dara yang sedikit banyak sudah kemasukan kepercayaan agama itu, kepercayaan tradisi, diam-diam Hong Ing menerima nasib, bahkan dia pun mengharapkan bahwa pengorbanan dirinya di samping akan menebus dosa mendiang ibunya, juga akan dapat membebaskan orang yang dicintanya, yaitu Yap Kun Liong, dan membebaskan pula ayahnya dari segala dosa!

Dia benar-benar hendak berkorban secara suka rela, demi mereka bertiga itu, terutama sekali demi kebebasan Kun Liong. Maka dia pun cepat menahan kedukaan hatinya dan menghafalkan doa-doa itu dengan tekun tanpa banyak membantah lagi. Hal ini semakin menggirangkan hati Sin Beng Lama yang menganggap bahwa dewa sudah memilih dara ini maka telah menurunkan kegaiban dan mempengaruhi hati dara itu!

Selama tiga hari ini Kun Liong menjadi tamu yang terbelenggu! Dia diperlakukan dengan baik dan dengan ilmunya melemaskan tubuh Sia-kut-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, dia sudah berhasil memindahkan kedua lengannya yang terikat di belakang tubuhnya itu kini menjadi berada di depan tubuhnya!

Bagi seorang ahli seperti Kun Liong, tidaklah sukar untuk menurunkan kedua tangan yang terbelenggu di belakang itu melalui bawah pinggulnya, lalu menarik kedua kakinya dan membiarkan belenggu kedua tangan itu terus melalui bawah kedua kakinya yang ditekuk ke atas sehingga sekarang kedua tangannya berada di depan tubuh, walau pun kedua pergelangan tangannya masih dalam keadaan terbelenggu.

Melihat hal ini, Hun Beng Lama hanya memandang kagum, namun mereka merasa lega bahwa pemuda itu tidak dapat mematahkan belenggu. Dengan kedua tangan kini berada di depan, Kun Liong dapat makan dengan mudah dan tidak merasa terlalu tersiksa lagi.

Tubuhnya tidak merasa tersiksa, akan tetapi batinnya sangat gelisah. Beberapa kali dia membujuk kedua orang pendeta Lama itu untuk menceritakan apa yang telah terjadi, dan apa yang hendak dilakukan oleh Hong Ing. Namun kedua orang itu hanya menjawab,

"Harap Taihiap bersabar sebab Taihiap akan menyaksikan dengan mata sendiri apa yang akan dilakukan oleh murid keponakan kami itu. Karena itulah maka Taihiap ditahan di sini, supaya dapat menyaksikan sendiri. Sesudah selesai upacara pengorbanan itu, kami pasti akan membebaskan Taihiap."

Pada hari ke tiga itu, di halaman belakang markas Lama Jubah Merah sudah dibangun sebuah tempat pembakaran yang merupakan sebuah panggung kecil dari kayu. Di tengah panggung terdapat sebatang tiang dan pada sekeliling tiang ini ditumpuk kayu-kayu yang mudah terbakar. Sebuah meja sembahyang besar juga telah disiapkan dan di atas meja itu dihidangkan lengkap segala keperluan sembahyang, dan banyak lilin dinyalakan.

Tempat itu penuh dengan para anggota Lama Jubah Merah yang kini telah berkumpul di sekeliling tempat pembakaran. Mereka semua duduk bersila di atas tanah hingga terlihat laksana bunga-bunga besar berwarna merah karena mereka semua mengenakan jubah merah mereka. Dengan penuh khidmat para pimpinan yang terdiri dari Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dibantu oleh para Lama lain yang tinggi tingkatnya, mengatur meja sembahyang.

Tidak lama kemudian muncullah Pek Hong Ing, berjalan perlahan-lahan, diikuti dengan sikap penuh hormat oleh para Lama dan disambut sambil membungkuk-bungkuk oleh Sin Beng Lama sendiri yang bersikap seperti seorang pendeta menyambut datangnya tamu agung, dalam hal ini pengantin agung!

Semua mata para pendeta, yang telah bertahun-tahun bertapa dan berpuasa terhadap nafsu, terutama sekali nafsu birahi, kini memandang penuh gairah. Bagi pandang mata mereka, Pek Hong Ing bukan lagi manusia, melainkan seorang dewi, seorang calon isteri dewa, karena itu mempunyai kecantikan agung, bukan kecantikan jasmaniah belaka yang kasar, kotor dan hanya sedalam kulit! Mereka yakin bahwa kelak, di alam baka, mereka akan bersahabat dengan wanita-wanita seperti ini!

Memang pada saat itu, melihat Pek Hong Ing akan menimbulkan rasa takjub, hormat dan kagum. Dara ini telah dirias dengan teliti, kelihatan cantik tetapi agung sekali, tidak seperti seorang dara dari darah daging lagi, namun sepatutnya sudah menjadi seorang bidadari dari kahyangan!

Wajahnya yang putih halus itu seolah-olah bersinar, pandang matanya meremang jauh, menembus segala sesuatu di depannya, langkahnya lembut dan agung, kepalanya tegak, tubuhnya lurus dan lenggangnya amat lemah gemulai. Rambutnya yang mengkilap bersih karena sudah dicuci secara istimewa, hitam subur dan panjang digelung ke atas seperti gelung rambut para dewi dalam dongeng, dihias ratna mutu manikam, gemerlap tertimpa cahaya matahari pagi.

Seluruh pakaian dara itu, sampai sepatunya, berwarna putih bersih, dari sutera termahal, sutera yang amat halus sehingga seolah-olah terbayang lekuk lengkung tubuhnya di balik pakaian putih itu. Warna pakaian yang putih bersih ini kelihatan makin mencolok karena dilatar belakangi warna merah darah dari jubah merah yang dikenakannya.

Banyak di antara para pendeta Lama yang hadir di situ memandang bengong, ada yang tanpa disadarinya berlinang air mata, ada pula yang beberapa kali meneguk air liurnya sendiri, ada pula yang langsung merangkap kedua tangan ke depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk memuja para dewata dan memohon kekuatan bagi batinnya yang terguncang hebat.

Dengan langkah-langkah yang sudah teratur dan terlatih, Hong Ing menghampiri Sin Beng Lama dan membalas penghormatan kakek ini, menerima hio kemudian bersembahyang di depan meja sembahyang, berlutut kemudian membungkuk sampai dahinya yang halus itu menempel pada permadani yang dibentang di sana, semua gerak-geriknya diikuti oleh mata para pendeta dengan seksama.

Sesudah selesai bersembahyang, Hong Ing melangkah meninggalkan meja sembahyang, diikuti oleh suara tambur yang sejak tadi dipukul lambat-lambat sekali mengikuti gerakan ‘pengantin puteri’ ini, lalu langsung melangkah menaiki anak tangga ke atas panggung, diikuti oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.



Cerita Silat Online Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo


Tiga orang pendeta ini membawa bunga yang dirangkai menjadi tali yang amat panjang, kemudian, setelah Hong Ing berdiri membelakangi tiang sampai punggungnya menempel pada tiang, menghadap ke meja sembahyang, tiga orang pendeta itu sambil membaca doa lalu melibat-libatkan tali kembang itu ke seluruh tubuh Hong Ing. Kembang-kembang itu dirangkai dengan mempergunakan tali yang kuat dan tahan api, dan hal ini dilakukan untuk menjaga agar sang mempelai akan tetap berdiri ketika dilakukan pembakaran nanti, tetap berdiri dan habis terbakar dalam sikap yang agung.

Setelah selesai mengikat Hong Ing pada tiang itu, mereka bertiga turun lalu dimulailah upacara sembahyang dan membaca doa sebelum pembakaran dilakukan. Dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati, semua pendeta itu dipimpin oleh Sin Beng Lama mulai bersembahyang dan berdoa dan seluruh panca indria, seluruh perasaan dan perhatian mereka tujukan kepada dewa di langit!

Semenjak kecil, kita manusia sudah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh agama, oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan dari pada kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi. Jalan pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan masyarakat dan lingkungan masing-masing.

Karena itu kita tidak mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku yang juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan kita.

Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidaklah wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita. Segala yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan kita adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan semua kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar! Kepalsuan dianggap sebagai suatu kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita.

Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang hanya bergerak menurut garis yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Mereka tidak mau menyelidiki dan mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena yang paling penting bagi mereka, seperti bagi kita pada umumnya, ialah tujuan dari pada perbuatan mereka. Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata demi sembahyang itu sendiri, akan tetapi bagi tercapainya yang mereka tuju sebagai hasil dari sembahyang itu.

Mereka menghadapi ‘perjuangan’ untuk menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka melakukan upacara pengorbanan disertai sembahyang dengan segala kesungguhan hati, bukan demi upacara itu sendiri, namun demi terkabulnya harapan dan cita-cita mereka. Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi cara atau jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu kemenangan dalam ‘perjuangan’ itu, melalui berkah para dewa yang mereka sembah-sembah.

Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan mengatakan bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita sendiri pun sesungguhnya tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita membalikkan pandangan mata kita untuk memandang dan meneliti, untuk mengenal keadaan diri sendiri!

Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja berdasarkan kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing,

"Ya Tuhan, berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA," atau di dalam kelompok kita berdoa, "Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI", dan selanjutnya lagi?

Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau pun si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah ini hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata?

Dengan cara demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir mau pun keinginan batin, keinginan mendapat kedudukan dan kemuliaan di dunia mau pun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepura-puraan dan kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik mau pun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama pada dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi!

Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apa pun juga. Cinta kasih akan menghilang selama di sana terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada kebenaran, tak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.

Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati serta pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan sesudah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya tidak akan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih.

Baru saja upacara sembahyang selesai, Sin Beng Lama langsung berkata kepada dua orang sute-nya, "Jemput Yap Kun Liong ke sini!"

Dua orang pendeta Lama itu bergegas masuk ke dalam markas dan memasuki kamar di mana Kun Liong duduk menunggu dengan tenang, dijaga oleh dua losin orang pendeta Lama Jubah Merah. Begitu melihat Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masuk, Kun Liong segera berkata,

"Ji-wi berjanji akan mempertemukan aku dengan Pek Hong Ing pagi ini."

"Marilah, semenjak tadi dia telah menanti. Upacara sembahyang telah dilakukan, dan kini tinggal menunggu kehadiranmu untuk segera melaksanakan upacara pengorbanan," kata Hun Beng Lama dengan sikap serius.

"Pengorbanan...? Hong Ing...?" Kun Liong bangkit berdiri dan bertanya dengan hati penuh ketegangan.

Hun Beng Lama tersenyum dan memegang siku kanan Kun Liong sedangkan Lak Beng Lama memegang siku kirinya. "Marilah, Taihiap, kau menyaksikan sendiri dan melihat bahwa kami sama sekali tidak melakukan pemaksaan kepada Hong Ing."

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Kun Liong mengikuti dua orang pendeta Lama ini menuju ke belakang markas dan dia merasa makin gelisah dan tegang melihat banyaknya pendeta yang berkumpul di halaman belakang itu. Sementara itu, di dalam kamar hukuman di mana Kok Beng Lama duduk bersila, Bun Houw berlutut di hadapan kakek itu sambil menangis.

"Suhu...! Suhu...! Mengapa Suhu selama tiga hari tidak mau mendengarkan permintaan teecu (murid)?" Bun Houw berteriak sambil menyusut air matanya. "Terjadi banyak hal luar biasa. Suheng Yap Kun Liong telah datang dan dia ditangkap oleh para Susiok dan dimasukkan kamar tahanan. Teecu sama sekali tidak boleh mendekat, bahkan diancam akan dipukul kalau teecu mendekati kamar itu. Juga Suci Hong Ing selalu berada di kamar sembahyang, tidak boleh teecu dekati. Suhu, semua itu telah terjadi dan Suhu tidak ambil pusing."

Kok Beng Lama termenung, kemudian membuka mata dan menunduk, menatap wajah muridnya yang masih kecil itu, yang kini memandang kepadanya dengan pipi basah air mata. Dia tersenyum lebar.

"Bun Houw, engkau muridku penuh semangat, akan tetapi engkau masih kanak-kanak. Engkau tidak tahu bahwa hidup ini baru berharga apa bila kita menjaga kehormatan, dan kehormatan baru terjaga kalau kita selalu menyatukan kata-kata dan perbuatan. Pinceng (aku) telah berjanji tak akan memberontak, mana mungkin engkau minta supaya pinceng mencampuri urusan para sute-ku itu?"

"Tapi, Suhu..."

"Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Sekarang pergilah dan latih pelajaranmu!" kakek itu menghardik.

Tiba-tiba Bun Houw yang mengusap air matanya itu berkata, suaranya penuh kemarahan, "Aku malu menjadi muridmu!"

Kata-kata ini mengejutkan Kok Beng Lama sehingga kakek ini membuka lagi matanya, memandang wajah yang kini merah dan penuh kemarahan, sepasang mata kecil yang berapi-api ditujukan kepadanya itu.

"Apa... apa katamu tadi?" tanyanya penuh keheranan sebab selama ini Bun Houw selalu memperlihatkan sikap hormat, penuh sayang, dan penurut kepadanya.

"Aku bilang bahwa aku malu menjadi muridmu! Suhu mengecewakan hatiku, Suhu bukan seorang laki-laki gagah seperti yang kuduga! Suhu pengecut!"

Kalau saja tidak ingat bahwa yang bicara adalah seorang anak kecil yang sudah diambil sebagai muridnya, tentu sekali menggerakkan tangan Kok Beng Lama akan membunuh orang yang memakinya pengecut itu! Sepasang matanya terbelalak lebar dan telinganya mendengarkan kata-kata anak kecil itu yang terus menyerangnya!

"Suhu lebih percaya kepada para Susiok yang jahat itu dari pada kepadaku! Suhu bilang memegang janji, akan tetapi apakah mereka juga memegang janji? Tahukah Suhu bahwa sekarang ini, seperti yang kuintai tadi, Suci sedang menghadapi ancaman maut, akan dibakar hidup-hidup? Akan tetapi Suhu tidak mau menolong. Suhu takut dan pengecut...!" Bun Houw tidak menangis lagi, bahkan sekarang sudah bangkit berdiri, telunjuk kanannya menuding-nuding ke arah muka kakek itu.

"Kau bohong...!" Kok Beng Lama membentak ketika mendengar cerita Bun Houw bahwa puterinya hendak dibakar hidup-hidup!

"Suhu lihat sendiri! Kalau saya bohong masih belum terlambat untuk menghukum saya. Suhu boleh bunuh saya." Anak itu menjawab tegas.

Pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk di bagian belakang markas, seperti kegaduhan orang-orang yang bertempur, dan di antara suara hiruk pikuk itu pendengaran Kok Beng Lama yang amat tajam menangkap jeritan suara puterinya! Dia mendengus dan tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu, tiba-tiba saja berkelebat dan seperti terbang cepatnya dia sudah melompat keluar dari kamar itu dan terus berlari ke belakang!

Apa yang disaksikannya di halaman belakang markas itu membuat dia kaget bukan main! Puterinya, dengan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis yang menjadi mempelai dewa, sudah berdiri di panggung dengan tubuh berbelit-belit rangkaian bunga dan api di bawah panggung sudah mulai dinyalakan oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama! Dia melihat puterinya itu memandang ke kanan kiri dan menjerit-jerit,

"Kun Liong...! Jangan melawan... ohhh, Kun Liong!"

Kok Beng Lama terheran-heran. Melihat sikapnya dan keadaan di situ, agaknya puterinya itu tidak dipaksa, namun dengan suka rela ingin mengorbankan diri kepada dewa. Maka dia menjadi ragu-ragu dan bingung. Untuk merampas serta menolong puterinya seperti yang telah dilakukan dahulu ketika dia menolong dan menyembunyikan Pek Cu Sian, dia tidak berani. Bukan tidak berani kepada para Lama, melainkan tidak berani melanggar janji, dan tidak berani lagi melakukan dosa terhadap dewa yang dimuliakannya.

Pada saat menoleh ke kiri, dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk. Dua tangan pemuda itu masih terbelenggu di depan tubuhnya, dengan belenggu bulu biruang hitam, akan tetapi biar pun kedua tangannya terbelenggu, dengan tangan terangkap dan dengan kedua kakinya, pemuda itu telah merobohkan tiap orang Lama yang berani menghadang dan mengeroyoknya! Inilah yang menimbulkan kegaduhan, dan kini para pendeta Lama sudah marah dan mulai menggunakan senjata untuk mengeroyok pemuda yang sedang memberontak dan mengamuk itu.

"Kalian orang-orang kejam! Akan kubunuh semua kalau Hong Ing tidak dibebaskan!" Kun Liong berteriak-teriak dan beberapa orang pendeta Lama lantas terlempar jauh tersambar oleh tendangan kakinya yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap tercampur rasa gelisah yang hebat melihat betapa kekasihnya akan dibakar hidup-hidup!

"Manusia lancang! Dengan suka rela dia ingin mengorbankan diri menjadi mempelai dewa, ada sangkut-pautnya apa denganmu?!" bentak seorang Lama dengan marah.

Mendengar ini, Kok Beng Lama merasa semakin bingung. Dia sudah berjanji tidak akan memberontak, dan tentu saja dia merasa bahwa dia bersalah jika sampai dia mencegah puterinya yang hendak melakukan pengorbanan diri, suatu hal yang sangat dimuliakan di dalam tradisi mereka.

Akan tetapi, tentu saja dia pun tidak akan dapat membiarkan puterinya tewas begitu saja. Maka, melihat sepak-terjang pemuda itu yang sangat hebat, dia mendapat akal. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat dia menyerbu ke depan, mendorong semua Lama ke pinggir kemudian dia menyerang Kun Liong dengan hebatnya!

Melihat munculnya Kok Beng Lama, semua Lama, termasuk tiga orang pimpinan Lama, menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat betapa Kok Beng Lama menyerang Kun Liong. Diam-diam Sin Beng Lama tersenyum girang melihat suheng-nya sudah benar-benar bertobat dan hendak menebus dosa terhadap dewa itu. Dengan adanya suheng-nya yang membantu ini, tentu saja perjuangan mereka akan lebih mantap lagi.

Sementara itu, Kun Liong telah mengenal kakek tinggi besar yang baru muncul ini, kakek yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu.

"Lociapwe, saya hendak menolong Hong Ing!" katanya ketika kakek itu menerjangnya.

Namun terlambat, serangan telah tiba dan hebat bukan main serangan kaki itu. Pukulan yang dahsyat, mendatangkan hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke arah dadanya. Kun Liong mengangkat dua lengannya yang masih terbelenggu, mengerahkan sinkang-nya menangkis dari kiri ke kanan.

“Dessss...!”

“Belenggu itu kalah oleh api...!"

Tubuh Kun Liong terpental ke belakang, ada pun Kok Beng Lama juga terhuyung-huyung. Hal ini sangat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat olehnya sendiri, bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang.

Akan tetapi, Kun Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi, dia mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu sudah membantunya secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat itu, lebih kuat dari besi yang akan mudah dia patahkan, kiranya ada rahasia kelemahannya, yaitu api!

"Haiiiihhhh…!" Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya melayang ke arah panggung yang mulai terbakar!

Dia meloncat tinggi melewati kepala para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat panggung, cepat dia merobohkan empat orang yang berlari menerjangnya. Kemudian dia membalik, mengulur kedua tangannya ke api yang sudah menyala di bawah panggung. Betapa girang rasa hatinya ketika melihat lidah api menjilat belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu hitam itu dimakan api hingga dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sinkang-nya yang tinggi, dia dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh bakaran api yang tidak terlalu lama itu.

Kembali beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya, dan kembali dia merobohkan empat orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok Beng Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi ketiga orang sute-nya sambil bertolak pinggang!

"Pengkhianat, kau berani membuat dosa lagi?!" Sin Beng Lama membentak. "Kau tidak malu untuk melanggar janji?"

"Sin Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!" bentak Kok Beng Lama dengan mata melotot. "Siapa yang melanggar janji? Siapa yang membuat dosa? Tidak ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tak melanggar janji. Sebaliknya, kalian berjanji tak akan mengganggu anakku, tapi buktinya kalian hendak mengorbankan dia!"

Tiga orang pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat naik ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api.

"Kun Liong...!"

"Hong Ing...!"

Mereka berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling mereka.

"Kun Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!" Berkali-kali Hong Ing menyebut nama kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis.

Kun Liong mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu dan ditatapnya sampai lama dengan mata basah. "Hong Ing... kekasihku, pujaan hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan ayahmu..."

"Ayah...?" Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah panggung. Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, karena itu dia cepat memandang ke bawah panggung.

Kok Beng Lama masih berhadapan dengan tiga orang sute-nya, dan kini kakek itu berkata lantang, "Apa?! Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak mengorbankan diri? Benarkah itu? Mana buktinya? Itu dia, aku akan bertanya. Heiii, Hong Ing, benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu menjadi mempelai dewa yang mulia?"

"Tidak, Ayah! Mereka memaksaku karena mereka sudah menangkap Kun Liong dengan cara yang amat curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong menyerahkan diri dan untuk menolong supaya Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar asal Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!"

"Locianpwe, mereka adalah gerombolan pemberontak-pemberontak yang telah bersekutu dengan Pek-lian-kauw hendak merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!" Kun Liong juga berteriak.

"Pengkhianat dan manusia rendah!" Sin Beng Lama telah membentak marah bukan main karena rahasianya dibongkar. Biar pun dia maklum akan kelihaian bekas suheng-nya ini dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan banyak anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw berada di luar markas, tentu saja dia tidak takut.

"Serbuuuu...! Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!" Teriaknya nyaring lantas dia sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama.

"Locianpwe, jangan khawatir, saya akan membantu!" Kun Liong berseru sambil membawa Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar.

"Desss...! Dukkk! Dukkk!"

Tiga orang pimpinan Lama itu langsung terdorong ke belakang ketika lengan Kok Beng Lama menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok Beng Lama menoleh ke arah Kun Liong sambil berseru,

"Orang muda, jangan bantu aku. Kau bawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku serahkan dia kepadamu dengan berkatku!"

Kun Liong mengangguk. "Hong Ing, mari kita segera pergi...!" katanya sambil memegang pergelangan tangan kekasihnya.

Hung Ing merenggutkan tangannya terlepas. "Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti yang selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang terancam bahaya."

Kun Liong memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul dan mencium dahi Hong Ing. Bagus! Memang demikianlah seharusnya seorang wanita gagah dan berbakti. "Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!"

Kun Liong dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok tiga oleh pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu dan mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing harus menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama dan tidak dapat mendekati Kok Beng Lama.

Mereka ini juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya, sama dengan mengantar nyawa. Apa lagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok Beng Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti pula.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh tiga orang sute-nya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok puluhan orang pendeta Lama. Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-mana dan karena tidak ada yang mengurus, kini api itu bahkan mulai menjilat ke bangunan belakang markas itu!

Betapa pun saktinya Kok Beng Lama, dia mulai terdesak juga menghadapi pengeroyokan ketiga orang sute-nya yang penuh kemarahan itu,. Demikian pula dengan Kun Liong yang menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan masih ada puluhan orang lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang roboh, di samping itu Kun Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan mereka makin terdesak dan terancam hebat.

Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas itu dan meski pun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan dua orang sute-nya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah diserbu musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk menyelidiki keluar markas.

Sebentar saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas, tentara Pemerintah Beng sudah menyerbu dan kini sedang berperang melawan pasukan Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw! Mendengar keterangan ini, para pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok Kun Liong dan Hong Ing, langsung berserabutan lari keluar dari markas untuk membantu teman-teman mereka berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para pendeta Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala tentara Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong beserta isterinya, pendekar wanita Sie Biauw Eng! Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk, suami isteri ini menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali.

Ketika melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan main karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan tertolong dari bahaya maut.

"Supek...! Supekbo...!" teriaknya gembira. "Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng Lama Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!"

Mendengar seruan ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak heran, akan tetapi mereka, diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima Besar The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng Lama bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai.

Melihat kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat dupa dari sakunya dan sekali tiup, api pada kelima ujung dupa yang dipegangnya sudah membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya bergerak-gerak menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara ujungnya itu ke arah Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal. Tampak sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini.

"Awasss...!" Cia Keng Hong berseru keras.

Dia dan isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya, kakinya menendangi hio-hio yang beterbangan di bawah, ada pun jari-jari tangan mereka menyambar dan menjepit hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu melempar benda-benda itu ke atas tanah. Akan tetapi di belakang mereka terdengar suara jeritan dan ternyata ada empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena hio-hio membara yang menancap di tubuh mereka.

Cia Keng Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang mempunyai tingkat kepandaian cukup tinggi, tetapi ternyata tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata rahasia istimewa itu langsung roboh berkelojotan dalam keadaan sekarat.

Mereka menjadi marah, maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong segera mengeluarkan pedang Siang-bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini mengeluarkan cahaya kehijauan pada saat dicabut dan dengan mata memandang tajam dia bersama isterinya menerjang ke depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng Lama.

"Trakkkk-trakkk!"

"Trangg! Cring...!"

Tasbih di tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan tubuh Lama itu tergetar hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga tongkat di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti Awan Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sinkang sehingga kakek ini juga amat terkejut dan terhuyung ke belakang.

Sin Beng Lama yang kini harus menghadapi bekas suheng-nya sendirian saja, segera terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah.

Terpaksa Sin Beng Lama mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Tampak cahaya terang menyilaukan mata disusul suara berdesing tinggi ketika sinar ini menyambar ke arah Kok Beng Lama. Kakek tinggi besar ini terkejut, mengelak cepat namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil menyeka darah pada lehernya, Kok Beng Lama mendengus dan memandang penuh kemarahan kepada bekas sute-nya.

"Manusia munafik!" Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya menyerang dengan lembut.

Sin Beng Lama diam saja tak menjawab, kemudian dia cepat menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar putih berkilat menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat menjawab makian bekas suheng-nya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah, sumpah kepala Lama Jubah Merah.

Pedang itu adalah pedang pusaka yang selalu menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah Merah. Akan tetapi membunuh merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apa lagi membunuh dengan pedang pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah bahwa kalau seorang Kepala Lama melanggarnya, maka dia akan tewas di ujung pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena merasa tidak kuat menandingi bekas suheng-nya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya sendiri dan mengandalkan pedang pusaka itu untuk memperoleh kemenangan.

Sambil mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama maju menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Sepasang lengan kakek tinggi besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang sangat kuat sehingga gulungan sinar pedang putih selalu terdorong mundur.

"Robohlah...!" Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang pusakanya menyusul tangan kirinya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari samping menuju lambung lawan.

Kok Beng Lama maklum akan jurus serangan yang sangat berbahaya ini, akan tetapi dia sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh bekas sute-nya yang kejam dan hampir membunuh anaknya itu. Apa lagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa sute-nya ini sudah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak dapat diampunkan.

Bagaikan sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang kanan menangkap tangan sute-nya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, dan yang kiri dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke arah pedang yang menusuk lambungnya.

"Desss! Trangggg...!"

Pedang itu langsung terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng Lama telah tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan Ketua Lama Jubah Merah itu sudah ditangkap oleh bekas suheng-nya! Keduanya saling mengerahkan sinkang, tetapi tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan sepasang lengannya sudah menggigil hebat.

"Haaaaiiiiiikkkk...!"

Tiba-tiba Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat itu dan kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau mengamuk ke arah perut Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya karena kepala gundul yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sinkang yang dahsyat bukan main sehingga batu karang sekali pun akan hancur lebur kalau kena diseruduk oleh kepala ini!

"Ceppppp...!"

Kok Beng Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan memasang perutnya, menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu mendadak menjadi lunak sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga perutnya, karena langsung disedot dengan pengerahan sinkang.

Terdengar suara berkerotokan keras lantas tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika Kok Beng Lama menarik napas panjang dan kembali melembungkan perutnya, tubuh Sin Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena kepalanya retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama segera membalikkan tubuh untuk mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Begitu dia memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki gerakan sangat luar biasa hebatnya.

Pada saat itu sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu melayang seperti seekor naga putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dan ketika dua orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan tongkat untuk menangkis, kedua ujung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka!

Kedua orang Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan rusak sabuk sutera putih. Akan tetapi pada saat itu pula berkelebat sinar kehijauan dari Pedang Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak dapat bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.

Siasat kerja sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang amat hebat. Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan Lak Beng Lama, keadaan ramai bukan main. Keng Hong mampu mendesak Hun Beng Lama, akan tetapi Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu merobohkan lawan.

Tiba-tiba Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan siasatnya bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera, Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan baik untuk melakukan serangan kilat yang berhasil dengan baik.

Kok Beng Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum akan tetapi marah sekali. Dia terkejut dan heran melihat betapa dua orang sute-nya itu sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi dia marah sekali sesudah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh musuh dan banyak yang telah roboh dan tewas.

Setelah kini tiga orang sute-nya tewas semua, lenyap pulalah semua permusuhan di dalam hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah, bahkan timbul kemarahannya karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh. Maka sambil berteriak marah dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng Lama, lalu berlari ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng.

"Singgg... trangg-trakkk... singgg...!"

Keng Hong dan Biauw Eng yang sudah menangkis itu terdorong ke belakang dan mereka terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini bahkan jauh lebih lihai lagi dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang sudah berhasil mereka robohkan! Namun Keng Hong cepat mendahului isterinya, menggerakkan Siang-bhok-kiam dan menerjang kakek itu sambil berseru,

"Mundurlah, biarkan aku menghadapinya!"

Biauw Eng mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa lihainya Lama tinggi besar ini sehingga bila dia maju maka akan membahayakan dirinya. Betapa pun juga, Biauw Eng bersiap dengan sabuk sutera di tangannya, siap membantu kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya.

Rangkaian serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama amat hebatnya sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar kehijauan dari Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar, mula-mula dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika dapat ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam lalu menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah pada tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri pendekar sakti itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan kosong dari jurus Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mukjijat Thi-khi I-beng!

Kok Beng Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis dengan pedang, dengan lengan kirinya, mengelak dan berloncatan ke sana sini sehingga akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu. Sesudah meloncat ke belakang dia langsung menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang tidak kalah dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi serangan itu dengan kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri.

Terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus mengakui bahwa agaknya baru sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat kuat dan seimbang! Walau pun tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan pendeta Lama tinggi besar ini.

"Supek... harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!"

"Ayah...! Ayah, jangan melawan, Ayah...!"

Munculnya Kun Liong bersama Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama meloncat mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis berkerut penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu menubruk ayahnya.

"Ayah, lekas... markas terbakar dan Sute berada di dalam...!"

Kok Beng Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang betul-betul telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali seperti gerengan seekor singa.

"Bun Houw...!" Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat ke depan.

"Brakkkkk…!" Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol.

"Bresssss…!" Dinding yang ke dua ambrol pula dan tampak kakek itu menerjang melalui dinding yang diruntuhkannya memasuki lautan api!

"Ayaahhh...!" Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba saja pinggangnya dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta-ronta dan menangis. "Biarkan aku menyusul Ayah!"

Namun Kun Liong malah memperkuat pelukannya. "Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang berusaha menyelamatkan Bun Houw, tak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-sia di situ."

Sementara itu, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek tinggi besar tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka!

"Kun Liong, apa artinya ini? Mana Bun Houw?" Keng Hong bertanya.

"Supek, saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di sini, di dalam markas yang terbakar itu."

Hong Ing kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata, "Sute Cia Bun Houw diambil murid oleh Ayah... dan... dan kini Ayah sedang mencarinya ke dalam sana..."

"Houw-ji (Anak Houw)...!" Sie Biauw Eng menjerit.

"Harap Supek-bo tenang...!" Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya yang perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak.

"Ayahku lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dia dapat menyelamatkan Sute," Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.

"Aku akan mencarinya!" Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya disambar suaminya.

"Ucapan Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan di dalam, kalau kau atau aku yang masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis di mana adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri."

"Aku tidak takut mati untuk membela anakku!" Biauw Eng berteriak marah dan meronta.

Keng Hong terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong kepada Hong Ing tadi. "Siapa takut mati? Aku pun tidak takut, akan tetapi perlukah mati konyol? Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita berdua mati terbakar di sana?"

Kata-kata ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan menahan napas. Bukan dia saja, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing memandang ke arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana yang amat menegangkan hati.

Sampai lama mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah mereka lupa keadaan sekeliling di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan perlawanan dengan setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan lari bersama pasukan suka rela yang terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan mereka telah tewas semua.

Mendadak terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlarian meloncat keluar dari dalam lautan api, kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya.

Ketika Kok Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan tetapi Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya.

"Houw-ji...!"

"Ibu...!"

Biauw Eng cepat menyambar Bun Houw yang telah selamat dan hanya menderita sedikit luka-luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh menghitam semua, mukanya hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar! Keng Hong segera menolong pendeta Lama itu sedangkan Hong Ing beserta Kun Liong lalu membujuk semua pendeta untuk menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan.

Keng Hong sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat itu, sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa Kok Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek ini penuh ketekunan.

Sebulan kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggota Lama yang kini sudah insyaf dan diampuni oleh Pemerintah Tibet. Sekarang, atas saran dan tanggungan dari pendekar Cia Keng Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk menjadi ketua baru dari Lama Jubah Merah.

Dan pendeta tinggi besar yang sekarang mukanya berubah hitam itu memimpin sendiri pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah yang telah dicemarkan dan diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga.


                   ***************

Tidak jauh dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri-seri dan segar tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang sudah mengalami perubahan yang amat hebat dalam hidupnya.

Tadinya dia menghadapi ancaman hebat, terpisah dari Kun Liong yang sangat dicintanya, dan ayah kandungnya juga menjadi orang hukuman yang tidak berdaya. Sekarang ayah kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama sekali Kun Liong yang dicintanya berada di sampingnya!

"Hong Ing..."

"Hemmm... ?"

Di dalam panggilan ini dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung kemesraan dan cinta kasih yang tidak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata karena di dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih sayang yang terasa sampai di lubuk hati masing-masing. Demikian hebat pengaruh getaran ini sehingga Kun Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sulit untuk melanjutkan kata-katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui pandang matanya.

Kun Liong menarik napas panjang tiga kali, barulah dia bisa menenangkan gelora hatinya yang dibangkitkan oleh getaran cinta kasihnya, kemudian dia berkata, "Hong Ing, setelah keadaan telah menjadi baik kembali, ayahmu telah sembuh sama sekali, kini aku... aku... terus terang meminangmu untuk menjadi isteriku, Hong Ing."

Sejenak mereka berpandangan, kemudian kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan mukanya ditundukkan. Mereka sudah saling menyatakan cinta kasih tanpa sungkan dan malu-malu lagi, tetapi mendengar pinangan untuk menjadi isteri pemuda yang dikasihinya ini, Hong Ing menjadi canggung dan malu juga.

"Bagaimana jawabanmu, Hong Ing?"

"Kun Liong, kenapa... kenapa engkau memilih aku menjadi... isterimu?"

"Kenapa? Ahh, tentu saja karena aku cinta padamu, Hong Ing."

Hong Ing mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar memandang dan dia bertanya lagi, "Kenapa engkau cinta padaku? Kun Liong, berhari-hari sudah aku menahan pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu ini. Sekaranglah saatnya. Mengapa engkau cinta kepadaku. Kun Liong? Mengapa?"

Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya dan memandang tajam. "Aku memang telah bersikap bodoh sekali dan berkali-kali menyakiti hatimu, Hong Ing. Menyakiti hatimu karena kebodohanku dan kecanggunganku. Aku cinta kepadamu, semenjak kita pertama kali bertemu, akan tetapi aku terlalu angkuh, canggung dan tidak mau mengakui, walau terhadap diri sendiri sekali pun. Aku cinta padamu karena engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang bagiku sempurna tanpa cacat, engkaulah yang menciptakan bayangan wanita khayal yang kupuja-puja dahulu, karena engkaulah orangnya. Wanita khayal itu adalah engkau, Hong Ing, dan lebih lagi, kalau wanita khayal itu hanya angan-angan dan bayangan saja, engkau adalah seorang manusia dari darah daging, seperti aku, maka bagiku engkau lebih dari pada wanita khayal itu. Engkau adalah satu-satunya wanita yang kucinta, yang ingin kujadikan isteriku, teman hidupku selamanya, membentuk keluarga denganmu, mempunyai keturunan dan suka duka kita pikul bersama, Hong Ing."

Hong Ing terisak dan rebah dalam pelukan Kun Liong. Dara ini merasa seperti diayun ke sorga ke tujuh. Kata-kata yang diucapkan Kun Liong tadi baginya merupakan nyanyian sorga yang amat merdu.

"Kun Liong, aku... aku hanyalah seorang gadis bodoh dan hina yang... semenjak dulu tak pernah berhenti mencintamu, yang setiap saat bermimpi menginginkan menjadi isterimu dan aku... aku menerima segalanya, aku... bersedia menjadi isterimu asal engkau suka mengirim Cia Keng Hong Locianpwe sebagai walimu untuk melamarku kepada Ayah."

"Hong Ing...!" Kun Liong mendekap dan menciuminya. Sejenak mereka tenggelam dalam buaian cinta kasih yang memabukkan.

Akhirnya Hong Ing menarik tubuhnya sedikit menjauh dan beberapa kali menarik napas panjang. Sepasang pipinya menjadi makin kemerahan, matanya sayu seperti mata orang mengantuk, bibirnya tersenyum aneh membayangkan rahasia hatinya.

"Aih, Kun Liong, betapa mengerikan kalau aku mengenangkan waktu yang lalu, ketika aku melakukan segala siasat dan daya upaya agar engkau dapat datang ke tempat ini. Ketika itu, sudah bulat keputusanku bahwa lebih baik aku mati dari pada tidak dapat bertemu lagi denganmu."

Kun Liong memegang kedua tangan dara itu. "Engkau hebat, Hong Ing. Dan alangkah bahagianya seorang seperti aku mendapatkan cinta kasih seorang dara seperti engkau yang begini mulia! Padahal aku adalah seorang laki-laki yang bodoh, yang sombong dan angkuh, yang selalu merendahkan cinta. Betapa aku dahulu selalu memandang rendah kepada cinta kasih antara pria dan wanita! Semua ini timbul karena di dalam kehidupanku banyak sekali aku mengalami godaan asmara! Sungguh aku harus merasa malu kepada diri sendiri, dan aku menyesal sekali terutama sekali tentang satu hal... yang harus kuberi tahukan padamu sebelum... sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau tidak kuberi tahukan kepadamu, hal ini hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan kita..." Dia lalu berhenti dengan ragu-ragu sambil memandang kekasihnya.

"Kun Liong! Apakah itu? Apa yang ingin kau sampaikan? Mengapa wajahmu tiba-tiba saja kehilangan serinya dan engkau kelihatan khawatir dan ragu-ragu? Katakanlah, apakah hal yang kau risaukan itu?"

"Hong Ing, apa yang akan kuceritakan adalah hal yang amat memalukan, hal yang amat kotor. Apa bila nanti engkau marah kepadaku, mengutukku, bahkan kalau hal ini membuat engkau menolak aku dan memandang rendah kepadaku, aku akan menerimanya dengan rendah hati, karena memang engkau patut mengutukku."

Wajah Hong Ing menjadi pucat sekali. "Tidak...! Tidak...! Kalau begitu lebih baik jangan kau ceritakan itu!"

Kun Liong menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Harus kuceritakan, Hong Ing. Dari pada menyimpan rahasia. Rahasia yang terselip di antara suami isteri kelak hanya akan menimbulkan bencana. Aku, harus menceritakan kepadamu, kemudian terserah padamu keputusannya. Engkau terlalu bersih dan murni, sedangkan aku akan merasa diriku kotor dan tidak berharga bagimu, selamanya kalau aku belum menceritakan hal ini."

Hong Ing memandang kepada kekasihnya dengan sinar mata penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh rasa iba, kemudian katanya lirih, "Kalau begitu, ceritakanlah, Kun Liong. Ceritakanlah semuanya dan sebelumnya aku sudah memaafkan segala kekeliruanmu."

Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya, tidak dilepaskannya lagi seolah-olah dia mendapatkan kekuatan batin dari sepasang tangan kekasihnya itu untuk menceritakan hal yang amat menindih perasaannya itu. "Terima kasih, Hong Ing. Ingatkah engkau kepada wanita yang telah tewas bersama suaminya sebulan yang lalu di tempat ini ketika mereka berdua membelaku?"

"Dua orang murid pendekar Secuan itu? Tentu saja aku masih ingat, sungguh kasihan sekali mereka. Engkau telah memberi tahu kepadaku bahwa mereka adalah Tan Swi Bu dan Liem Hwi Sian."

Kun Liong mengangguk. "Mereka adalah sahabat lamaku, terutama sekali Liem Hwi Sian. Ketika mereka roboh, sebelum menghembuskan napas terakhir, Hwi Sian meninggalkan pesan kepadaku."

"Pesan apakah?"

"Bahwa dia memiliki seorang anak yang ditinggalkannya di Kuil Kwan-im-bio, di kaki bukit dekat rumah gurunya, dan dia berpesan kepadaku agar aku suka merawat anak itu..."

Pandang mata yang tadinya diliputi kekhawatiran itu kini berseri dan jari-jari tangan yang dipegang Kun Liong itu membalas dengan sentuhan lembut, mulut yang tadi agak terbuka itu kini tersenyum. "Aihhh, kau membikin orang menjadi tegang dan gelisah saja! Kalau hanya urusan itu, mengapa dirisaukan benar? Tentu saja aku setuju sepenuhnya untuk merawat anak yang bernasib malang itu!"

Akan tetapi Kun Liong masih memegang kedua tangan Hong Ing dan sikapnya masih sungguh-sungguh, pandang matanya masih penuh kegelisahan. "Bukan hanya itu, Hong Ing, akan tetapi... anak itu... anak Hwi Sian itu bukanlah keturunan suaminya, bukan anak Tan Swi Bu..."

"Ehhh...?" Hong Ing memandang tajam dengan alis berkerut, timbul persangkaan bahwa yang disebut rahasia itu adalah rahasia keburukan Hwi Sian, tentu sahabat suaminya itu telah melakukan penyelewengan hingga melahirkan seorang anak bukan dari keturunan suaminya!

"Kun Liong, aku tidak ingin mengetahui rahasia orang lain, kalau kau mau menerima anak sahabatmu itu untuk kau rawat, aku setuju saja. Tidak perlu kau menceritakan rahasia pribadi Liem Hwi Sian itu."

"Bukan begitu, Hong Ing, bukan rahasianya, melainkan rahasiaku. Dengarlah baik-baik, dahulu, setahun lebih yang lalu, sebelum aku bertemu denganmu, aku amat meremehkan soal cinta sehingga aku memandang rendah pula terhadap cinta kasih wanita terhadap diriku. Di antara mereka yang mencintaku adalah Hwi Sian. Akan tetapi aku yang suka menggodanya tidak membalas cinta kasihnya. Saat dia ditunangkan dan akan dinikahkan dengan suheng-nya, yaitu Tan Swi Bu, hatinya hancur dan dia mencariku, lalu... lalu... dia minta supaya aku suka menjadi suaminya untuk semalam saja! Kalau menolak, dia akan membunuh diri karena dia tidak mencinta suheng-nya, melainkan mencintaku. Dan aku... aku yang bodoh dan sombong, aku... aku menuruti permintaannya. Kemudian, ketika dia akan mati, dia meninggalkan pesan bahwa anak itu... anaknya itu... adalah... anak hasil dari hubungan kami semalam itu, dia adalah anakku..."

Hong Ing merenggut kedua tangannya, bangkit berdiri dan mukanya pucat sekali, kedua matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan memandang kepada Kun Liong.

Pemuda itu juga bangkit dengan tubuh gemetar. "Aku memang seorang manusia kotor, seorang rendah yang tidak patut untukmu, Hong Ing. Aku akan menerimanya bila engkau mengutukku, ketika itu aku memandang rendah cinta kasih antara pria dan wanita. Aku menganggap bahwa semua cinta kasih menjurus kepada cinta birahi belaka. Akan tetapi, ternyata tidak... cinta kasih adalah sesuatu yang luhur dan mulia, yang bersih tak ternoda dari segala sesuatu, termasuk hubungan jasmani antara pria dan wanita, barulah suci dan murni kalau didasari cinta kasih. Tanpa cinta kasih, segala adalah kotor dan hina. Namun aku... aku seperti buta pada waktu itu, Hong Ing."

Hong Ing tidak menjawab, hanya berdiri memandang dengan mata terbetalak dan muka pucat. Melihat keadaan kekasihnya ini, Kun Liong merasa sangat kasihan, akan tetapi seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan hakim, dia berdiri dan menundukkan mukanya, menanti suara Hong Ing...



























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12