Tuesday, August 21, 2018

Cerita Silat Serial Petualang Asmara Jilid 38



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Petualang Asmara
                  Jilid 38



PERLAHAN-LAHAN Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah ‘suaminya’ yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tertidur dengan tubuh setengah telanjang, dan dia harus mengakui bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andai kata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini.

Akan tetapi lelaki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan bagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya lantas meluap.

"Wuuuuuttt…!" Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya.

"Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?" Sungguh pun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.

Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol.

"Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?" jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia lancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang masih kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa, "Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!"

Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa ‘isterinya’ itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Sesudah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.

"Sratttt!" Dia mencabut pedangnya.

"Lihat pedang!" bentaknya karena biar pun di lubuk hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang.

"Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan dari pada bertangan kosong, isteriku manis!" Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.

"Wah-wah, apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin mengaso!" Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu.

Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Dengan tangan kosong dia tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, meski pun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia segera menyarungkan pedangnya, lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut.

Ouwyang Bouw merangkulnya lalu mengusap keringat dari lehernya, dan tangannya terus membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.

"Aihh, Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?" Ouwyang Bouw malah menggoda dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.

"Engkau menipuku!" Lauw Kim In berkata.

"Heh? Aku...? Menipumu...?"

"Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya menipuku saja."

"Bukankah setiap kali kau minta, aku selalu melatihmu?"

“Huh! Selama ini kau hanya mengajarkan jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya sampai sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!"

"Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, tapi kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin walau pun aku mengajarkan seluruh ilmuku kepadamu."

Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan, juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini? Dia harus bersabar dan menunggu datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw.

Akan tetapi watak Ouwyang Bouw memang aneh sekali. Dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya, juga mengajarkan jurus-jurus baru, sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan semakin memuakkan hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa seperti dijadikan boneka hidup!

Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya penyakit Ouwyang Bouw sudah lewat pula kumatnya. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw Kim In sampai berpekan-pekan!

Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Ouwyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In dan menyeretnya ke dalam semak-semak.

"Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja..." Kim In menolak karena menduga bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw cepat mendekap mulutnya dan menuding ke depan.

Lauw Kim In memandang dan dia terkejut sekali ketika melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, oleh karena gadis itu bukan lain adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu.

Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek! Seperti sudah kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu, lalu memaksakan perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san.

Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong. Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil.

Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

"Cia-siocia (Nona Cia)...!" Dia memanggil sambil berlari mengejar.

Mendengar suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal orang itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di hadapan ayahnya, seketika Giok Keng cemberut. Hemmm, kembali dia berhadapan dengan seorang penjilat, pikirnya!

Alangkah banyaknya dia bertemu dengan pria-pria seperti itu! Pria yang memperlihatkan ‘kebaikan’, bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang gadis cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria semacam itu. Tentu sikapnya membela dirinya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah perkasa dan penuh kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan mengorbankan dirinya, hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya!

Dia sudah muak dengan semua itu, apa lagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong Bu Kong si tukang bujuk rayu! Kini teringat olehnya betapa hampir semua laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang berhati palsu, kecuali... Kun Liong agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan mengatakan tidak cinta kepadanya! Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini, dari pandang matanya saja seolah sudah menjeritkan ‘cinta’ yang memuakkan.

Betapa pun juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan hampir saja tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu, dia akan menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang sudah jatuh hati kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan.

Mulai sekarang, dia akan membalas semua pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dulu adalah para suheng-nya di Cin-ling-pai, terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta kepadanya, lalu disusul belasan orang suheng-nya yang lain. Sesudah itu, entah berapa banyaknya lirikan-lirikan cinta yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang pria, tua muda yang bertemu dengannya.

"Cia-siocia...!" Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap telah hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu?

"Siapakah engkau dan ada keperluan apa memanggil-manggil aku?" Giok Keng bertanya dengan sikap galak dan berpura-pura tidak mengenal karena dia hendak mempermainkan pemuda tinggi besar ini.

Lie Kong Tek memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan yang tidak dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak mempunyai keinginan dibalas.

"Cia-siocia, tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi dua hari yang lalu kita bersama ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-kauw sudah melawan orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek."

"Ahhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris tewas di tangan ayahku!" Giok Keng sengaja mengemukakan hal itu karena dia menduga bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan jasa-jasanya ketika menolong dan membelanya.

Akan tetapi dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan dia menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius, "Salahku sendiri, Nona. Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri urusan orang lain."

"Tapi... engkau sudah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan padaku!" Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda itu yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya untuk membela sampai mati!

Lie Kong Tek menggelengkan kepala. "Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu peristiwa yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang melihatnya, pasti akan turun tangan."

Hati Giok Keng menjadi penasaran. "Apa?! Kau maksudkan... andai kata yang terancam oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain..."

"Tentu saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana memukul anaknya sendiri."

Hati Giok Keng kecewa. "Ahh…, kukira tadinya...," kekecewaan hatinya karena jawaban pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya.

"Kau kira bagaimana, Nona?"

"Kukira kau menolongku karena... karena kau suka padaku." Terus terang saja Giok Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat alasan untuk bisa mempermainkan dan menghina laki-laki yang tinggi besar dan tampan gagah ini.

Wajah Lie Kong Tek berubah merah seketika. "Nona, melakukan suatu perbuatan yang oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau berdasarkan rasa suka atau tidak suka!"

Giok Keng makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis apa lagi menjilat kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar kasar dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah membuat dia menjadi penasaran.

Kalau melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya, mengaku cinta, dia merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama setelah pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini berbeda lagi, bahkan sebaliknya dari pada sikap pemuda pada umumnya. Dia akan merasa amat penasaran dan ‘turun nilai’ kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan cinta kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,

"Aihh…, kalau tidak salah, gadis yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu adalah tunanganmu, Saudara Lie Kong Tek?"

Lie Kong Tek mengangguk. "Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu ke Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun, tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang terlambat..."

"Kau dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat menolong aku dan ayahku. Bu Li Cun itu amat cantik, engkau tentu berduka dan kehilangan sekali, Saudara Lie."

"Tentu saja, aku merasa sangat kasihan kepada Nona itu. Akan tetapi terus terang saja, tidak ada perasaan kehilangan di dalam hatiku karena selamanya pun baru satu kali aku bertemu dengan tunanganku. Andai kata yang mengalami nasib buruk seperti dia adalah seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan sekali."

Giok Keng termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya. Berbeda dengan pemuda lain, bahkan sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak mengandung api gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain. Bahkan di dalam pandang mata Kun Liong yang terang-terangan tidak mencintanya itu pun terdapat sinar kagum kalau memandang kepadanya.

Kenyataan ini membuat hatinya panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kau anggap aku bukan apa-apa, ya? Tunggu saja kau, hatiku belum merasa puas kalau tidak dapat melihat engkau bertekuk lutut dan merengek mengaku cinta! Gadis ini tidak sadar betapa sesungguhnya dialah yang sombong!

Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri, sehingga dia seakan-akan buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena sifat tidak mengenal diri sendiri inilah yang dapat menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apa pun juga penilaian umum, tentu dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja berdasarkan kepentingan diri pribadi.

Orang yang tidak mengenal diri sendiri sepenuhnya akan berada dalam cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, kemudian tanpa disadarinya dikuasai oleh si aku. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerak-gerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya.

Demikian pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak jujur, polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung maksud lain. Tidak demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik, lihai, apa lagi puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah timbullah rasa tinggi hati dan keyakinan bahwa semua laki-laki pasti akan bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya!

"Nona Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!"

Timbul harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. "Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?"

"Hanya untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, Nona. Ayahmu juga mencari-carimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu mencarimu. Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?"

"Hendak kembali ke Pek-lian-kauw, aku hendak memberi hajaran kepada para penjahat Pek-lian-kauw."

"Aih! Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi di situ. Bahkan Suhu dan ayahmu sendiri terpaksa harus melarikan diri. Pek-lian-kauw amat kuat, selain ketuanya memiliki keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga mereka berjumlah banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai."

Giok Keng terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri?

"Di manakah Ayah sekarang?"

"Beliau juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu, Nona."

"Kalau begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san. Sudah terlampau lama aku pergi meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali." Teringat akan ibunya, hati Giok Keng berduka bukan main karena terbayang ketika dulu dia cekcok dengan ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa ayahnyalah yang benar mengenai pribadi Liong Bu Kong.

Teringat betapa demi Liong Bu Kong dia sampai minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati ayah bundanya, dia menjadi makin gemas kepada Liong Bu Kong dan andai kata dia tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di tangan Yo Bi Kiok, tentu dia akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong bukan di tangannya membuat hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk mempermainkan hati dan cinta kasih kaum pria! Ada pun yang dianggapnya sebagai calon korban pertama adalah Lie Kong Tek inilah.

"Kalau Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama," tiba-tiba Kong Tek berkata.

Bagi pemuda ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan hati itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia mencinta gadis ini? Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu, apa lagi karena dia pun maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh dengan seorang dara seperti puteri Ketua Cin-ling-pai ini.

Mulut yang bentuknya amat manis itu terhias senyum mengejek. Hemm, pikir Giok Keng, betapa pun angkuh hatimu, tetapi belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam perjalanan.

"Ehh? Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie? Mengapakah?"

Lie Kong Tek agak sulit menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan kedua lengannya. "Mengapa? Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku sudah berpisah dari Suhu dan hidup sebatang kara, tidak memiliki tujuan tetap, sedangkan kau pun sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan ayahmu yang amat bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu."

Senyum di bibir Giok Keng semakin melebar. Hemmm, alasan yang dicari-cari, pikirnya. "Baiklah," katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin sekali melihat laki-laki ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia patahkan hati dan kasihnya seperti yang ingin dia lakukan terhadap semua laki-laki sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu Kong!

Demikianlah, kedua orang muda itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak lantas berdiri di hadapan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai dan seorang wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian.

Melihat dua orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua orang itu pada saat datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi lari berkejar-kejaran.

Akan tetapi Giok Keng tidak mengenal mereka. Biar pun Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In pernah datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada waktu itu ingatan Giok Keng hilang akibat obat perampas ingatan, maka dia tidak mengenal dua orang ini. Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis cantik ini yang tadinya hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw.

"He-he-heh, inilah pengantin wanita yang kabur!" Ouwyang Bouw berkata sambil tertawa.

Muka Giok Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw dia tampak makin cantik. "Siapakah kalian? Perlu apa menghadang di jalan?" Giok Keng membentak.

"Ha-ha-ha, puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan dia ini isteriku."

Mendengar nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah bahwa dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan ayahnya!

"Bagus, manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?!" Bentaknya sambil menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah mendengar betapa lihainya pemuda ini.

"Ho-ho-ha-ha! Biar pun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon isteri Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan satu golongan. Jangan galak-galak, Nona manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?"

"Dia sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!" Giok Keng membentak.

"Wah-wah... sudah mampus? Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai pacar lain lagi yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar juga, ya? Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng sekali! Bagaimana jika kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?"

Lauw Kim In hanya cemberut saja, tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena tingkah laku dan ucapan suaminya itu merupakan pisau beracun yang menyayat-nyayat hatinya.

"Ouwyang Bouw, bersiaplah untuk mampus!" kembali Giok Keng membentak. Sebagai seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali.

"He-heh-heh, makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding? Lebih baik bercinta! Mari kita bertukar pasangan!"

Giok Keng benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari lagi dia bertanya, "Apa... maksudmu...?"

"Ha-ha-ha, baru pengantin baru, masa tidak tahu? Kita bertukar pasangan, bertukar pacar untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri isteriku!"

"Iblis laknat bermulut busuk!" sekarang Giok Keng tahu akan maksud yang kotor itu, maka kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan hatinya lagi dan serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw.

"Heiiitttt... ahhh...!" Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang dan bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena dara ini mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng tadi.

Biar pun otaknya miring, akan tetapi Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan gadis itu dengan sungguh-sungguh, bahkan langsung membalas dengan serangan pedang ularnya yang amat dahsyat.

Sementara itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan Ouwyang Bouw, juga langsung mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman Ouwyang Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun segera menerjang dan membantu Giok Keng mengeroyok Ouwyang Bouw.

Sesudah melihat gerakan pemuda tinggi besar ini, tahulah Ouwyang Bouw bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau Giok Keng, maka ketika dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok Keng, kakinya yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek dan kaki kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama sekali tidak menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu.

"Desss...!"

Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit kembali, menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir kepeningan, kemudian dia maju lagi dengan penuh semangat.

"Isteriku, cepat kau tundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat pula sepak terjangnya dalam bercinta. Kau tangkap dia, biar kutangkap yang perempuan!" Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In diam saja seperti arca menonton pertandingan yang amat hebat itu.

"Kalau begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini dahulu!" Ouwyang Bouw bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu.

"Lie-twako, awas...!" Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah yang lembut.

Tapi terlambat. Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu menyambar cepat sekali, tepat mengenai paha Kong Tek hingga pemuda itu mengeluarkan suara gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi, akan tetapi dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu sudah bekerja.

Kini teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan Kun Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa berbahayanya jarum merah beracun itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik untuk melihat Kong Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga dia jatuh terguling.

"Brettt...!" sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw.

"Ha-ha-ha-ha, pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-ha, untungku!" Dan dia maju menubruk.

"Mampuslah!" Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang pedang telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah bersiap menghadapi serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya!

Dengan mata terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mulai menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata pada wanita yang diaku sebagai isterinya tadi. "Isteriku, lekas kau ajak pemuda itu, walau pun dia terluka pahanya akan tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton aku main-main dengan puteri Cin-ling-pai ini? Ha-ha-ha!"

Giok Keng hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya. Dia cepat memejamkan matanya sambil mengerahkan seluruh sinkang. Dia pernah diajari oleh ayahnya suatu cara untuk menggunakan tenaga mukjijat dari sinkang istimewa yang menurut ayahnya merupakan ciptaan mendiang Tiong Pek Hosiang untuk membebaskan totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

"Manusia iblis!" Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin dan tahulah dia bahwa walau pun pahanya terluka, Kong Tek sudah memaksa diri menubruk maju menyerang Ouwyang Bouw.

Akan tetapi dia tidak membuka matanya dan tetap mengerahkan sinkang seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Menurut ayahnya, dia kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi I-beng dan sebagai gantinya, ayahnya lalu menurunkan ilmu membebaskan totokan jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya dapat digunakan untuk membebaskan totokan jalan darah yang tidak berbahaya. Untung baginya, Ouwyang Bouw yang tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya, hanya menotok jalan darah biasa sehingga, biar pun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, namun tidak seluruh tubuhnya lumpuh.

"Dessss...! Brukkk...!" Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras.

"Ha-ha-ha, aku tak akan membunuhmu agar jika isteriku mau, dia bisa menggunakanmu. Kalau dia tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku meniduri kekasihmu yang cantik ini, ha-ha-ha!"

"Manusia iblis! Terkutuk kau...!" Kong Tek memaki-maki akan tetapi tak mampu bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya.

"Ha-ha-ha, kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan tertawa bahagia menyaksikan betapa anaknya dapat menggagahi puteri musuh besarnya. Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!"

Giok Keng tetap memejamkan matanya dan mematikan rasa pada waktu Ouwyang Bouw menciuminya dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai membuka pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun sudah dapat dia punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi!

"Hyaaattttt...!"

"Croottttt...! Aduuuhhh...!"

Tubuh Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya yang berlumuran darah. Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi, walau pun sudah dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya yang hancur bola matanya, seketika membuatnya buta sebelah dan rasa nyeri membuat dia menggerung-gerung.

Mendadak terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak. Lauw Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba sudah mencabut pedangnya dan sekarang dari samping dia menghampiri suaminya, lengan kiri memeluk suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya lantas menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung.

"Crepppp...!" Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri.

Tubuh Ouwyang Bouw seperti menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu, terbelalak memandang isterinya, mulutnya berteriak, "Kau...?! Kau...?!"

Kemudian terdengar suara gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan Ouwyang Bouw sudah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In yang tidak dapat mengelak lagi karena wanita itu langsung tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung orang yang amat dibencinya itu.

"Auuggghhhh...!" Lauw Kim In menjerit mengerikan karena sepasang buah dadanya telah dicengkeram sedemikian rupa sampai hancur dan darahnya muncrat keluar, berbarengan dengan darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw.

Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw terpelanting, tubuh yang tidak memiliki lengan lagi karena kedua lengannya telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada!

Lauw Kim In juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri lantas berjongkok, mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.

"Katakan... kepada Yap Kun Liong... Mawar Go-bi... di saat terakhir... mempertahankan nilainya...!" Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan sebab kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung.

Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya dari depan mukanya.

Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena di samping luka pada pahanya, juga punggungnya tertotok. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya.

"Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona," kata Kong Tek.

"Kau merasa telah menolongku lagi?"

Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.

Kong Tek menarik napas panjang. "Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam bahaya, namun kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau selamat."

Sesudah kembali dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu berjalan menghampiri mayat Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.

"Ehh, apa yang kau lakukan itu?" Giok Keng bertanya.

Tanpa menghentikan pekerjaannya dia menjawab, "Menggali lubang untuk mengubur dua mayat ini..."

Giok Keng cemberut. "Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!"

"Mungkin, akan tetapi kini aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona."

Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia juga mengerti akan kebenaran pendapat pemuda itu.

Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja tidak membantu. Betapa pun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya.

Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatian dirinya? Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji.

Akhirnya Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah payah bekerja. Bagaimana pun juga, pemuda itu tadi telah bersusah payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang sangat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun sudah membantunya, karena meski pun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu.

Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan keduanya lalu bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam.

"Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona," kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang dia lalu menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah kembali.

Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan sapu tangan, dan Giok Keng berkata, "Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan."

Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Pada saat dia siuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka pada pahanya dengan merobek sedikit celananya di bagian yang terluka itu, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar.

"Ahhh, engkau telah terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada pertolongan Kun Liong, tentulah aku sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi semakin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas."

Kong Tek menarik napas panjang.

"Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku sudah terluka dan tidak mampu berjalan, maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai."

Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini termasuk aksinya supaya dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri dan meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya supaya dianggap sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya!

"Begitukah kehendakmu, Toako? Aku melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau di sini?"

Kong Tek mengangguk. "Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya."

"Kalau tidak berhasil?"

Kong Tek tersenyum. "Paling hebat mati!"

"Dan kau tidak ingin aku membantumu?"

"Apakah yang dapat engkau lakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara, dan... dan andai kata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di sini."

"Ehh! Mengapa?"

Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab, "Tidak apa-apa…"

"Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako."

"Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan."

Giok Keng berjalan pergi dengan amat cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, hanya memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu, mengintai dari balik pohon.

Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kali pun tidak pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila padanya pemuda ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku!

Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih. "Mari kurawat lukamu itu…"

Kong Tek mengangkat mukanya. "Ahh... kau belum pergi, Nona?"

Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain celana pada luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit.

Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu. "Sakitkah?"

"Tidak seberapa, Nona," jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga. Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak memiliki sifat cengeng.

"Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dahulu, kemudian semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi."

"Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji itu!" hanya ini saja komentar Kong Tek.

"Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suheng-ku itu mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sinkang yang amat kuat, menyedot jarum-jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sinkang dari telapak tangannya saja. Akan tetapi tidak mungkin aku dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya. Akan tetapi tentu amat nyeri..."

"Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah engkau tak merasa ngeri, Nona? Biarlah aku yang membedahnya sendiri."

"Pertahankanlah!" Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek kulit di luka itu, terus hingga ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum merah dan darah kehitaman langsung keluar dari luka yang agak lebar itu.

"Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus disedot..."

Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan tertolong lagi. Biar pun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun itu sudah menjalar lebih dari sejengkal di seputar luka! Pemuda ini sudah berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya bila sampai dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya.

Dengan mengeraskan hatinya dia berkata, "Aku akan menyedotnya bersih seperti yang dilakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu."

"Jangan, Nona...!" Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka itu dengan mulutnya. "Jangan! Lebih baik aku mati saja dari pada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap engkau jangan merendahkan diri seperti itu. Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!"

Meski pun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang luka dan menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek berhasil juga mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah.

GIOK KENG memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha supaya darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia pun berseru girang, "Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!"

Kong Tek yang kehabisan tenaga langsung menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah. "Berkat pertolonganmu, Nona," katanya terengah.

Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan sapu tangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, sungguh pun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.

Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biar pun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seakan-akan pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang sudah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan dengan seorang teman biasa saja yang tak ada keistimewaannya apa pun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria.


                   ***************


 "Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!" Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat mengenai diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.

Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya. "Aku akan segera mengejar ke sana!"

"Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu sangat lihai, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Pada waktu aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada di dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dahulu dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet."

Dengan panjang lebar Biauw Eng kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan sering kali menggeleng kepala dan mengepal tinju.

Sesudah cerita isterinya mengenai diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya. "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."

"Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?" Biauw Eng bertanya.

Wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua, kini ditambah pula dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

"Hehhhh..." Keng Hong menghela napas. "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!"

"Apa? Giok Keng... menikah?"

"Hampir saja!" Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu.

Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya kini telah ‘berbaik kembali’ dengan puteri mereka.

"Sekarang, di mana dia?"

"Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong."

"Aihh, berbahaya kalau begitu."

"Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya."

"Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong..."

Kembali Keng Hong menghela napas. "Sebaiknya kita tak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, bahkan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain."

"Siapa?"

"Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir saja kubunuh." Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.

Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pihak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan pada ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dulu Keng-ji telah kunasehati agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinahan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta birahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinahan yang akibatnya mesti ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun... betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tak ada gunanya sama sekali!"

Melihat isterinya bicara secara amat bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan dua orang anak mereka.

"Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu."

Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subo-nya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhu-nya.

"Dari kota raja?" Keng Hong berseru dengan kaget.

"Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun."

"Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!"

Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang sudah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

"Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!"

Tio Hok Gwan memberi hormat, dibalas oleh Keng Hong dan isterinya. "Mudah-mudahan saja keadaan Taihiap dan Lihiap selama ini baik-baik saia," katanya.

Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan ketiga orang tamunya duduk di ruangan dalam, lalu para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.

"Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Taihiap. Silakan Taihiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan." Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat.

Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut baru menerima surat itu dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat, lalu membaca isi surat yang singkat itu.

"Ke Tibet...?!" Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.


Cerita Silat Online Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo


Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya lantas membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.


"Sungguh kebetulan!" Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. "Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!"

"Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat." Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga sebab keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu?

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu.

"Di antara sahabat baik tidak ada rahasia," kata Keng Hong, "karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!"

Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. "Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!"

Cia Keng Hong dan isterinya menjadi sangat terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan. "Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet."

Tio Hok Gwan segera bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan negara-negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sebenarnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka saja.

Untuk mempererat hubungan baik ini, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri salah seorang pangeran putera Kaisar. Selain urusan keluarga yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet ini, masih ada urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw.

Mereka ini merencanakan persekutuan untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya, kelak kerajaan Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

"Sebenarnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting," Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

"Akan tetapi, kenapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Kenapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?"

"Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet sangat peka terhadap penyerbuan tentara asing sehingga kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biar pun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang syah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itulah penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Tapi atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu."

"Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!" kata Biauw Eng. "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"

"Hemm..." Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. "Kalau aku tak salah mereka merupakan tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang bernama Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?"

"Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah."

"Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?"

"Justru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini," kata Keng Hong.

"Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap."

"Bila kita berangkat ke Tibet?"

"Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama."

Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya ketiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong serta isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andai kata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka telah memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi para Lama Jubah Merah yang hendak memberontak.


                   ***************

Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa amat berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan gembira karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang sudah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas.

Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentosa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andai kata adiknya itu memilih dia dan ikut bersama dengannya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andai kata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya.

Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanya wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.

"Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu..." Ia menghela napas pada saat teringat akan kekasihnya itu kemudian dia mempercepat langkahnya.

Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya pada waktu dulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya.

Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinahan mereka di dalam sebuah kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!

"Hwi Sian... kau maafkanlah aku..." Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua.

Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sulit mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman hendak membunuh setiap wanita yang mencintanya, wanita yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.

Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya segera berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram apa bila dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu.

Terbayang kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan ‘nikouw’ itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan segala ketololannya, dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya!

Bahkan dalam saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang sangat menyakitkan hati, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu.

Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu memiliki maksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak. Betapa pun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat.

Dua orang pendeta Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan matanya sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat.

Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, kenapa harus susah payah mengajak dara itu pergi? Apa bila mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, siapa yang akan dapat mencegah mereka ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.

Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri, karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu dan dua orang suheng-nya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja, kemudian mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya sudah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan.

Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak.

Memang benar seperti dugaannya bahwa tidaklah sulit mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang sudah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat hingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur.

Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali. Memang sekarang setelah tua Gak Liong tak lagi mencampuri urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya berupa sebuah bangunan kayu yang sederhana, namun suasana di situ hening dan menyenangkan.

Sesudah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di pinggir sungai dan sudah tampak pula bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang sangat sunyi namun tampak menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai.

Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suheng-nya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang sekarang menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah?

Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadaan dara itu selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang sudah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia segera dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.

Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari pada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, maka akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya sangat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan, tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu.

Begitu dia tiba di seberang, tepat di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!

"Singggg... ehhhh...!"

Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang pada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang lelaki yang usianya telah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.

"Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku..."

"Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?" Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.

Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan suara kaku, "Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam..."

"Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukanlah iblis Pek-lian-kauw, apa lagi temannya Tok-jiauw Lo-mo!"

Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga tindak kemudian memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan serta kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, "Siapakah engkau...?"

Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. "Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toako, sute-mu Tan Swi Bu dan sumoi-mu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong."

"Aihhh...!" Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan kembali pedangnya, lalu menjura, "Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)! Biar pun baru satu kali berjumpa, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku."

"Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menunggu kedatangan musuh?"

Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang, "Mari kita masuk ke dalam dulu, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi."

Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk lantas mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang terlihat amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita,

"Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku mengira engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersemedhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh menggunakan tenaga khikang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu."

"Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?"

Poa Su It menghela napas panjang, "Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku supaya aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu."

"Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik," kata Kun Liong.

"Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?"

Kun Liong mengangguk dan berkata lagi, "Apa bila dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Karena itu, sesudah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka."

Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri-seri dan dia memegang lengan Kun Liong. "Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!"

Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.

"Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoi-mu?"

"Suami istri itu sedang pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan pada saat Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi pemberontak dan para penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi"

Hati Kun Liong terasa lega. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian sudah menikah dengan ji-suheng-nya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang dulu sudah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayang dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.

"Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?"

"Menyelidiki ke Tibet."

Jawaban ini amat mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. "Ada terjadi apakah di Tibet?"

"Panglima The menugaskan Suhu supaya menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya sudah mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng."

Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Bila mana terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?

"Memang Tok-jiauw Lo-mo adalah seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dulu aku pernah ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya."

Poa Su It menghela napas. "Itulah yang sangat menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu sudah berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu."

"Urusan pribadi?"

"Ya, akan tetapi aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, karena itu aku khawatir sekali."

"Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhu-mu itu tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan tampaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apa lagi menghadapi lawan berat seperti suhu-mu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako."

"Benar, dan sungguh beruntung bagiku bahwa engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram."

Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar juga rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang selamanya tidak pernah menikah ini mempunyai dasar watak pendekar tulen.

Oleh karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu sedang menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali.

"Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kau ceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, juga menyamar sebagai penduduk biasa yang hendak bersembahyang dan minta berkah."

Hari berganti malam dan datanglah mereka yang ditunggu-tunggu! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khikang yang cukup kuat,

"Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!"

Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Semenjak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-lampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini.

Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong.

Walau pun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam. Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang mempunyai rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum.

Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi hati pendekar ini sama sekali tidak merasa takut. Dia segera memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu.

Ada sepuluh orang banyaknya, dan melihat mereka berpakaian berwarna kuning seperti pendeta dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Pendekar yang telah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, akan tetapi tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo.

Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktif dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya.

Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai pada waktu mereka masih muda dahulu. Pada waktu muda Tok-jiauw Lo-mo adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar.

Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, pada saat Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu!

Gak Liong menjadi sangat marah dan sakit hati, lalu mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tidak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri.

Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng diri dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya.

Pada saat Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apa lagi mengingat bahwa pendekar itu merupakan pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.

"Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!" Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh.

Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, "Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!"

Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali. "Kau mampuslah!"

Tongkatnya lantas menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Baginya, sikap serta teguran Kun Liong tadi sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!

"Plak! Plak!"

"Uughhhh...!" Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu.

Hampir dia tak dapat mempercayai bila tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik sesudah bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!

"Kau... kau siapakah?" bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.

"Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kau bohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!"

Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.

"Ketika itu kepalaku tidak berambut..."

"Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!" Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.

"Tahan...!" Tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti seorang petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.

"Suhu...!" Poa Su It berkata. "Biarlah teecu dan Yap-enghiong saja yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!"

Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya. "Su It, kau mundurlah." Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, "Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain."

Kun Liong membungkuk dan berkata hormat, "Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako apa bila iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok."

"He-he-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong."

"Lo-mo, kita sudah sama-sama tua, maka marilah kila selesaikan urusan lama tanpa perlu membawa-bawa yang muda. Kalau ternyata para anggota Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula."

"Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!" Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong.

Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.

"Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Marilah kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita."

"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!" Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan.

"Tranggg! Trakkk!"

Pendekar dari Secuan itu sudah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Maka terjadilah pertandingan yang sangat seru dan mati-matian.

Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipuan. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga tiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, meski pun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat.

Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya kemudian berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak langsung bergerak sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk mengamuk!

Andai kata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri.

Dia tahu bahwa Gak Liong sangat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Maka, dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya pula.

Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biar pun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.

"Eeaaaghhh...!" Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka. Itulah pukulan baru yang sudah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh besar ini.

Gak Liong agak terkejut, tidak menduga bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya lantas meluncur ke depan.

"Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!"

Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, ada pun pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan dengan sinkang yang mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu.

Sejenak tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan, kemudian dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-putus, "Aku... aku cinta padanya... kau sudah merampasnya... maka kubunuh... dia... hanya kalungnya... yang jadi penggantinya... ini... ini... kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong..."

Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, terbayang keharuan pada wajah Gak Liong. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.

"Gak-locianpwe, awas...!" Kun Liong berteriak namun terlambat.

Ketika Gak Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat sehingga pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa lalu berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi.

"Suhu...!" Poa Su It berteriak.

Akan tetapi pada saat itu sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukanlah orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw.

Kun Liong juga dikeroyok. Karena orang-orang Pek-lian-kauw itu tadi sudah menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw mengepungnya. Akan tetapi, dengan tenang Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis dengan sangat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya.

Semenjak dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi Tosu sudah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul menyelamatkannya.

Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia kini bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak.

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina dengan cara pendidikan yang telah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk memiliki cita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita.

Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, semenjak kecil bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing hingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, sebab cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, akan tetapi semua itu hanya sekedar kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu: mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir mau pun batin!

Kalau saja kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau keinginan untuk mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia.

Sekelompok anak-anak pun, kalau sedang melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang paling penting! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi sebab seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.

Karena kita mementingkan cita-cita yang berupa khayalan karena belum ada, maka kita tak mengacuhkan caranya, tak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan waktu sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita.

Bahkan ada pendapat yang sangat menyesatkan bahwa ‘cita-cita menghalalkan segala cara’. Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?

Demikian halnya dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan sebagainya, maka terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya.

Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak pula terdapat cita-cita yang baik. Baik mau pun buruk tetap saja cita-cita, tetap berupa keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan hingga terjadilah bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si ‘aku’ dan penonjolan si ‘aku’ dan si ‘kamu’ tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya.

Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan mendapatkan sesuatu yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup pada saat ini?

Hidup pada saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan. Apa bila kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya jika mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang ‘sana’ yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari ‘sini’? Mengapa kita menginginkan yang ‘begitu’ dan tidak menghayati yang ‘begini’? Yang ‘begitu’ adalah khayal, sedangkan yang ‘begini’, saat ini, barulah nyata dan hidup!

Karena sudah begitu sering bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang menggunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi hati lagi.

"Kalian orang-orang jahat!" bentaknya.

Bentakan ini disusul dengan berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi amat terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas karena tubuh pemuda itu seakan-akan sudah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh.

Mereka berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi. Akan tetapi Kun Liong sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, patah tulang pundaknya, dan ada pula yang benjol-benjol kepalanya.

Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi. Akan tetapi, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam waktu singkat!

"Pergilah...!" Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah menangkap tongkat seorang lawan, sedangkan tangan kanan menampar pangkal lengan kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh.

Habis sudah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu, bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian pergi meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak.

"Biarkan mereka pergi," kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar.

Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong lalu berlari menghampiri mayat suhu-nya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan penuh duka. Sudah puluhan tahun orang tua itu menjadi gurunya dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapatlah dimengerti betapa sedih hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu.

Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu, maka berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian barulah dia berpamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan keterangan dari Poa Su It mengenai perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama Lama Jubah Merah...


                  ***************
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12