Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 38
PERLAHAN-LAHAN
Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah
‘suaminya’ yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu
tertidur dengan tubuh setengah telanjang, dan dia harus mengakui bahwa tubuh
Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andai kata wataknya tidak gila seperti itu,
melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar
baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini.
Akan tetapi
lelaki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam
bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia
diperlakukan bagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar
kehendaknya, kemarahannya lantas meluap.
"Wuuuuuttt…!"
Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan
maut ke arah dada dari suaminya.
"Plakkk...!
Haiiiii, kau kenapa...?" Sungguh pun kelihatannya tadi memejamkan matanya,
namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.
Lauw Kim In
juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak
menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol.
"Aku
mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?" jawab Lauw
Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia lancarkan pukulan bertubi-tubi,
mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Sambil
meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang masih kedodoran,
Ouwyang Bouw tertawa, "Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah
mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!"
Bertandinglah
kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak
tahu bahwa ‘isterinya’ itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Sesudah lewat
lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat
mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.
"Sratttt!"
Dia mencabut pedangnya.
"Lihat
pedang!" bentaknya karena biar pun di lubuk hatinya dia ingin membunuh
orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga
dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang.
"Bagus!
Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan dari
pada bertangan kosong, isteriku manis!" Ouwyang Bouw juga mencabut
pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.
"Wah-wah,
apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin
mengaso!" Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima
puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu.
Diam-diam
Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Dengan tangan kosong dia tidak
mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, meski
pun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia segera menyarungkan pedangnya,
lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut.
Ouwyang Bouw
merangkulnya lalu mengusap keringat dari lehernya, dan tangannya terus membelai
ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.
"Aihh,
Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?" Ouwyang Bouw malah menggoda dan
merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.
"Engkau
menipuku!" Lauw Kim In berkata.
"Heh?
Aku...? Menipumu...?"
"Dulu
kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya
menipuku saja."
"Bukankah
setiap kali kau minta, aku selalu melatihmu?"
“Huh! Selama
ini kau hanya mengajarkan jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya sampai
sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!"
"Ha-ha-ha-ha!
Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih
matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, tapi kalau
dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin walau pun aku mengajarkan seluruh
ilmuku kepadamu."
Lauw Kim In
termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan,
juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan
dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini? Dia harus bersabar
dan menunggu datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja
ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw.
Akan tetapi
watak Ouwyang Bouw memang aneh sekali. Dia tidak langsung mengajaknya kembali
ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap
tempat yang indah dia merayu isterinya, juga mengajarkan jurus-jurus baru,
sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan
cinta kasih yang luar biasa ini bahkan semakin memuakkan hati Lauw Kim In.
Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam
hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa
seperti dijadikan boneka hidup!
Pada hari ke
tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya penyakit Ouwyang
Bouw sudah lewat pula kumatnya. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru
selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw
Kim In sampai berpekan-pekan!
Ketika
mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Ouwyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In
dan menyeretnya ke dalam semak-semak.
"Aku
sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja..." Kim In menolak karena
menduga bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw cepat mendekap
mulutnya dan menuding ke depan.
Lauw Kim In
memandang dan dia terkejut sekali ketika melihat seorang gadis cantik dan
seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, oleh karena gadis itu bukan lain
adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang
kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak
mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis
itu.
Siapakah
pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek!
Seperti sudah kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia
Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya
menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu, lalu memaksakan
perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san.
Demikianlah,
Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu
ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh
Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong.
Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran
di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil.
Baru pagi
tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok
Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan
dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
"Cia-siocia
(Nona Cia)...!" Dia memanggil sambil berlari mengejar.
Mendengar
suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal orang
itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di hadapan ayahnya,
seketika Giok Keng cemberut. Hemmm, kembali dia berhadapan dengan seorang
penjilat, pikirnya!
Alangkah
banyaknya dia bertemu dengan pria-pria seperti itu! Pria yang memperlihatkan
‘kebaikan’, bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang gadis
cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria semacam
itu. Tentu sikapnya membela dirinya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah
perkasa dan penuh kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan
mengorbankan dirinya, hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya!
Dia sudah
muak dengan semua itu, apa lagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong
Bu Kong si tukang bujuk rayu! Kini teringat olehnya betapa hampir semua
laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang berhati palsu, kecuali... Kun Liong
agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan mengatakan tidak cinta kepadanya!
Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini, dari pandang matanya saja
seolah sudah menjeritkan ‘cinta’ yang memuakkan.
Betapa pun
juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan
hampir saja tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu,
dia akan menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang sudah
jatuh hati kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan.
Mulai
sekarang, dia akan membalas semua pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dulu
adalah para suheng-nya di Cin-ling-pai, terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci
yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta kepadanya, lalu disusul belasan orang
suheng-nya yang lain. Sesudah itu, entah berapa banyaknya lirikan-lirikan cinta
yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang pria, tua muda yang
bertemu dengannya.
"Cia-siocia...!"
Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira
karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap
telah hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu?
"Siapakah
engkau dan ada keperluan apa memanggil-manggil aku?" Giok Keng bertanya
dengan sikap galak dan berpura-pura tidak mengenal karena dia hendak
mempermainkan pemuda tinggi besar ini.
Lie Kong Tek
memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan yang tidak
dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak
mempunyai keinginan dibalas.
"Cia-siocia,
tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi dua hari yang lalu kita bersama
ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-kauw sudah melawan
orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek."
"Ahhh,
sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris tewas
di tangan ayahku!" Giok Keng sengaja mengemukakan hal itu karena dia
menduga bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan
jasa-jasanya ketika menolong dan membelanya.
Akan tetapi
dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan dia
menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius, "Salahku sendiri,
Nona. Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri
urusan orang lain."
"Tapi...
engkau sudah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan
padaku!" Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda
itu yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya
untuk membela sampai mati!
Lie Kong Tek
menggelengkan kepala. "Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang
kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu
peristiwa yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang
melihatnya, pasti akan turun tangan."
Hati Giok
Keng menjadi penasaran. "Apa?! Kau maksudkan... andai kata yang terancam
oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain..."
"Tentu
saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana
memukul anaknya sendiri."
Hati Giok
Keng kecewa. "Ahh…, kukira tadinya...," kekecewaan hatinya karena
jawaban pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya.
"Kau
kira bagaimana, Nona?"
"Kukira
kau menolongku karena... karena kau suka padaku." Terus terang saja Giok
Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang
mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat
alasan untuk bisa mempermainkan dan menghina laki-laki yang tinggi besar dan
tampan gagah ini.
Wajah Lie
Kong Tek berubah merah seketika. "Nona, melakukan suatu perbuatan yang
oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau
berdasarkan rasa suka atau tidak suka!"
Giok Keng
makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan seorang
laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis apa lagi menjilat
kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar
kasar dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah
membuat dia menjadi penasaran.
Kalau
melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya, mengaku cinta, dia
merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama setelah
pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini berbeda lagi, bahkan
sebaliknya dari pada sikap pemuda pada umumnya. Dia akan merasa amat penasaran
dan ‘turun nilai’ kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan
cinta kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,
"Aihh…,
kalau tidak salah, gadis yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu
adalah tunanganmu, Saudara Lie Kong Tek?"
Lie Kong Tek
mengangguk. "Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu ke
Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun,
tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang
terlambat..."
"Kau
dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat menolong
aku dan ayahku. Bu Li Cun itu amat cantik, engkau tentu berduka dan kehilangan
sekali, Saudara Lie."
"Tentu
saja, aku merasa sangat kasihan kepada Nona itu. Akan tetapi terus terang saja,
tidak ada perasaan kehilangan di dalam hatiku karena selamanya pun baru satu
kali aku bertemu dengan tunanganku. Andai kata yang mengalami nasib buruk
seperti dia adalah seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan
sekali."
Giok Keng
termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya. Berbeda dengan pemuda lain, bahkan
sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak mengandung api
gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain. Bahkan di dalam pandang
mata Kun Liong yang terang-terangan tidak mencintanya itu pun terdapat sinar
kagum kalau memandang kepadanya.
Kenyataan
ini membuat hatinya panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kau anggap aku
bukan apa-apa, ya? Tunggu saja kau, hatiku belum merasa puas kalau tidak dapat
melihat engkau bertekuk lutut dan merengek mengaku cinta! Gadis ini tidak sadar
betapa sesungguhnya dialah yang sombong!
Demikianlah
keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri,
sehingga dia seakan-akan buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan
watak-wataknya sendiri. Karena sifat tidak mengenal diri sendiri inilah yang
dapat menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri,
perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat yang
disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal dirinya
sendiri, semua perbuatannya itu, apa pun juga penilaian umum, tentu dianggapnya
benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja berdasarkan
kepentingan diri pribadi.
Orang yang
tidak mengenal diri sendiri sepenuhnya akan berada dalam cengkeraman si aku
yang selalu mengejar kesenangan, kemudian tanpa disadarinya dikuasai oleh si
aku. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerak-gerik dan
segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak
sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya.
Demikian
pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak jujur,
polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung maksud lain. Tidak
demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik,
lihai, apa lagi puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah
timbullah rasa tinggi hati dan keyakinan bahwa semua laki-laki pasti akan
bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya!
"Nona
Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!"
Timbul
harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh selidik.
"Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?"
"Hanya
untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat dan baik-baik saja,
Nona. Ayahmu juga mencari-carimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu
mencarimu. Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?"
"Hendak
kembali ke Pek-lian-kauw, aku hendak memberi hajaran kepada para penjahat
Pek-lian-kauw."
"Aih!
Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi di situ. Bahkan Suhu dan ayahmu
sendiri terpaksa harus melarikan diri. Pek-lian-kauw amat kuat, selain ketuanya
memiliki keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga
mereka berjumlah banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai."
Giok Keng
terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri?
"Di
manakah Ayah sekarang?"
"Beliau
juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu,
Nona."
"Kalau
begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san. Sudah terlampau lama aku pergi
meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali." Teringat akan
ibunya, hati Giok Keng berduka bukan main karena terbayang ketika dulu dia
cekcok dengan ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa
ayahnyalah yang benar mengenai pribadi Liong Bu Kong.
Teringat
betapa demi Liong Bu Kong dia sampai minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati
ayah bundanya, dia menjadi makin gemas kepada Liong Bu Kong dan andai kata dia
tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di tangan Yo Bi Kiok, tentu dia
akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong bukan di tangannya membuat
hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk mempermainkan hati dan
cinta kasih kaum pria! Ada pun yang dianggapnya sebagai calon korban pertama
adalah Lie Kong Tek inilah.
"Kalau
Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama,"
tiba-tiba Kong Tek berkata.
Bagi pemuda
ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan
menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan
hati itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia
mencinta gadis ini? Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu,
apa lagi karena dia pun maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh
dengan seorang dara seperti puteri Ketua Cin-ling-pai ini.
Mulut yang
bentuknya amat manis itu terhias senyum mengejek. Hemm, pikir Giok Keng, betapa
pun angkuh hatimu, tetapi belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam
perjalanan.
"Ehh?
Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie? Mengapakah?"
Lie Kong Tek
agak sulit menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan kedua lengannya.
"Mengapa? Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku sudah berpisah dari
Suhu dan hidup sebatang kara, tidak memiliki tujuan tetap, sedangkan kau pun
sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan
perjalanan bersama? Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan
ayahmu yang amat bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu."
Senyum di
bibir Giok Keng semakin melebar. Hemmm, alasan yang dicari-cari, pikirnya.
"Baiklah," katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin
sekali melihat laki-laki ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia
patahkan hati dan kasihnya seperti yang ingin dia lakukan terhadap semua
laki-laki sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu Kong!
Demikianlah,
kedua orang muda itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama
kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak lantas
berdiri di hadapan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai
dan seorang wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian.
Melihat dua
orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua
orang itu pada saat datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi
lari berkejar-kejaran.
Akan tetapi
Giok Keng tidak mengenal mereka. Biar pun Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In pernah
datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada waktu itu ingatan Giok Keng
hilang akibat obat perampas ingatan, maka dia tidak mengenal dua orang ini.
Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis cantik ini yang tadinya
hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw.
"He-he-heh,
inilah pengantin wanita yang kabur!" Ouwyang Bouw berkata sambil tertawa.
Muka Giok
Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw dia tampak
makin cantik. "Siapakah kalian? Perlu apa menghadang di jalan?" Giok
Keng membentak.
"Ha-ha-ha,
puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan dia ini
isteriku."
Mendengar
nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ouwyang
Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah bahwa
dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan
ayahnya!
"Bagus,
manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?!" Bentaknya
sambil menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah
mendengar betapa lihainya pemuda ini.
"Ho-ho-ha-ha!
Biar pun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon isteri
Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan satu golongan. Jangan galak-galak, Nona
manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?"
"Dia
sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!" Giok
Keng membentak.
"Wah-wah...
sudah mampus? Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai pacar lain lagi
yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar juga,
ya? Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng sekali!
Bagaimana jika kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?"
Lauw Kim In
hanya cemberut saja, tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena
tingkah laku dan ucapan suaminya itu merupakan pisau beracun yang
menyayat-nyayat hatinya.
"Ouwyang
Bouw, bersiaplah untuk mampus!" kembali Giok Keng membentak. Sebagai
seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali.
"He-heh-heh,
makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding? Lebih baik
bercinta! Mari kita bertukar pasangan!"
Giok Keng
benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari
lagi dia bertanya, "Apa... maksudmu...?"
"Ha-ha-ha,
baru pengantin baru, masa tidak tahu? Kita bertukar pasangan, bertukar pacar
untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri
isteriku!"
"Iblis
laknat bermulut busuk!" sekarang Giok Keng tahu akan maksud yang kotor
itu, maka kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan
hatinya lagi dan serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw.
"Heiiitttt...
ahhh...!" Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang dan
bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena
dara ini mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng
tadi.
Biar pun
otaknya miring, akan tetapi Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian
tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan
gadis itu dengan sungguh-sungguh, bahkan langsung membalas dengan serangan
pedang ularnya yang amat dahsyat.
Sementara
itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan Ouwyang
Bouw, juga langsung mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman Ouwyang
Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah
dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun segera menerjang dan membantu Giok
Keng mengeroyok Ouwyang Bouw.
Sesudah
melihat gerakan pemuda tinggi besar ini, tahulah Ouwyang Bouw bahwa tingkat
kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau Giok Keng,
maka ketika dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok Keng, kakinya
yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek dan kaki
kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama sekali tidak
menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu.
"Desss...!"
Tubuh tinggi
besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit kembali,
menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir kepeningan, kemudian
dia maju lagi dengan penuh semangat.
"Isteriku,
cepat kau tundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat
pula sepak terjangnya dalam bercinta. Kau tangkap dia, biar kutangkap yang
perempuan!" Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In
diam saja seperti arca menonton pertandingan yang amat hebat itu.
"Kalau
begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini dahulu!" Ouwyang
Bouw bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu.
"Lie-twako,
awas...!" Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah yang
lembut.
Tapi
terlambat. Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu menyambar cepat
sekali, tepat mengenai paha Kong Tek hingga pemuda itu mengeluarkan suara
gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi, akan
tetapi dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu
sudah bekerja.
Kini
teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan
Kun Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa berbahayanya jarum
merah beracun itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik
untuk melihat Kong Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga
dia jatuh terguling.
"Brettt...!"
sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw.
"Ha-ha-ha-ha,
pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-ha,
untungku!" Dan dia maju menubruk.
"Mampuslah!"
Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya.
Akan tetapi
betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang pedang
telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah bersiap menghadapi
serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya!
Dengan mata
terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mulai
menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata pada wanita yang diaku sebagai
isterinya tadi. "Isteriku, lekas kau ajak pemuda itu, walau pun dia
terluka pahanya akan tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton
aku main-main dengan puteri Cin-ling-pai ini? Ha-ha-ha!"
Giok Keng
hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya. Dia
cepat memejamkan matanya sambil mengerahkan seluruh sinkang. Dia pernah diajari
oleh ayahnya suatu cara untuk menggunakan tenaga mukjijat dari sinkang istimewa
yang menurut ayahnya merupakan ciptaan mendiang Tiong Pek Hosiang untuk
membebaskan totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
"Manusia
iblis!" Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin
dan tahulah dia bahwa walau pun pahanya terluka, Kong Tek sudah memaksa diri
menubruk maju menyerang Ouwyang Bouw.
Akan tetapi
dia tidak membuka matanya dan tetap mengerahkan sinkang seperti yang diajarkan
oleh ayahnya. Menurut ayahnya, dia kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi
I-beng dan sebagai gantinya, ayahnya lalu menurunkan ilmu membebaskan totokan
jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya dapat digunakan untuk membebaskan
totokan jalan darah yang tidak berbahaya. Untung baginya, Ouwyang Bouw yang
tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya, hanya menotok jalan darah biasa
sehingga, biar pun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, namun tidak
seluruh tubuhnya lumpuh.
"Dessss...!
Brukkk...!" Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras.
"Ha-ha-ha,
aku tak akan membunuhmu agar jika isteriku mau, dia bisa menggunakanmu. Kalau
dia tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku meniduri kekasihmu
yang cantik ini, ha-ha-ha!"
"Manusia
iblis! Terkutuk kau...!" Kong Tek memaki-maki akan tetapi tak mampu
bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya
lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya.
"Ha-ha-ha,
kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan
tertawa bahagia menyaksikan betapa anaknya dapat menggagahi puteri musuh
besarnya. Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!"
Giok Keng
tetap memejamkan matanya dan mematikan rasa pada waktu Ouwyang Bouw menciuminya
dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai membuka
pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun sudah dapat dia
punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi!
"Hyaaattttt...!"
"Croottttt...!
Aduuuhhh...!"
Tubuh
Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya yang
berlumuran darah. Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi,
walau pun sudah dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya
yang hancur bola matanya, seketika membuatnya buta sebelah dan rasa nyeri
membuat dia menggerung-gerung.
Mendadak
terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak. Lauw
Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba sudah
mencabut pedangnya dan sekarang dari samping dia menghampiri suaminya, lengan
kiri memeluk suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya
lantas menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung.
"Crepppp...!"
Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri.
Tubuh
Ouwyang Bouw seperti menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu,
terbelalak memandang isterinya, mulutnya berteriak, "Kau...?!
Kau...?!"
Kemudian
terdengar suara gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan
Ouwyang Bouw sudah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In
yang tidak dapat mengelak lagi karena wanita itu langsung tersenyum lebar dan
wajahnya berseri-seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung
orang yang amat dibencinya itu.
"Auuggghhhh...!"
Lauw Kim In menjerit mengerikan karena sepasang buah dadanya telah dicengkeram
sedemikian rupa sampai hancur dan darahnya muncrat keluar, berbarengan dengan
darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw.
Giok Keng
terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw
terpelanting, tubuh yang tidak memiliki lengan lagi karena kedua lengannya
telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini
bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada!
Lauw Kim In
juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya
memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri lantas berjongkok,
mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.
"Katakan...
kepada Yap Kun Liong... Mawar Go-bi... di saat terakhir... mempertahankan
nilainya...!" Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan
sebab kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya,
sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung.
Giok Keng
mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia
membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan
amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua
tangannya dari depan mukanya.
Dia bangkit
berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak
mampu bergerak karena di samping luka pada pahanya, juga punggungnya tertotok.
Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata
sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya.
"Aku
girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona," kata Kong Tek.
"Kau
merasa telah menolongku lagi?"
Giok Keng
bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat
pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.
Kong Tek
menarik napas panjang. "Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam
bahaya, namun kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, karena
kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau
selamat."
Sesudah
kembali dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek
menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu berjalan menghampiri mayat Lauw Kim
In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.
"Ehh,
apa yang kau lakukan itu?" Giok Keng bertanya.
Tanpa
menghentikan pekerjaannya dia menjawab, "Menggali lubang untuk mengubur
dua mayat ini..."
Giok Keng
cemberut. "Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang
berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!"
"Mungkin,
akan tetapi kini aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin
kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona."
Giok Keng
diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah
payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia juga mengerti akan kebenaran
pendapat pemuda itu.
Tidak
percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak
budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan
Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka
dia diam saja tidak membantu. Betapa pun juga, melihat pemuda itu bekerja
dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik
ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya.
Benarkah
pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatian
dirinya? Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya,
tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji.
Akhirnya
Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang
yang susah payah bekerja. Bagaimana pun juga, pemuda itu tadi telah bersusah
payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang sangat berbahaya. Dan dia
teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun sudah membantunya, karena meski
pun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah
merobohkan manusia iblis itu.
Tanpa
berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri
Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa
dan keduanya lalu bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang
cukup lebar dan dalam.
"Biarlah
aku yang mengubur mereka, Nona," kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang
dia lalu menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan
tanah kembali.
Setelah
selesai, keduanya menyeka peluh dengan sapu tangan, dan Giok Keng berkata,
"Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan."
Kong Tek
mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa
tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Pada saat dia
siuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka
matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka pada pahanya dengan
merobek sedikit celananya di bagian yang terluka itu, di atas lutut kiri. Luka
itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar.
"Ahhh,
engkau telah terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun
pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak
ada pertolongan Kun Liong, tentulah aku sudah mati. Engkau terluka dan masih
mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu
menjadi semakin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas."
Kong Tek
menarik napas panjang.
"Nona,
aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku sudah terluka dan tidak mampu
berjalan, maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang,
kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai."
Giok Keng
bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka,
mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini
termasuk aksinya supaya dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri dan
meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya supaya dianggap
sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya!
"Begitukah
kehendakmu, Toako? Aku melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau
di sini?"
Kong Tek
mengangguk. "Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya."
"Kalau
tidak berhasil?"
Kong Tek
tersenyum. "Paling hebat mati!"
"Dan
kau tidak ingin aku membantumu?"
"Apakah
yang dapat engkau lakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara,
dan... dan andai kata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau
berada di sini."
"Ehh!
Mengapa?"
Kong Tek tak
dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab, "Tidak apa-apa…"
"Hemm,
kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako."
"Selamat
jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan."
Giok Keng
berjalan pergi dengan amat cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia
melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, hanya
memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah
tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu,
mengintai dari balik pohon.
Penasaran
juga hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak
pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kali pun tidak pernah! Benar-benar
tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila padanya pemuda ini melirik pun
tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda
ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin
kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku!
Giok Keng
kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih.
"Mari kurawat lukamu itu…"
Kong Tek
mengangkat mukanya. "Ahh... kau belum pergi, Nona?"
Giok Keng
tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain
celana pada luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk
mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum
merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit.
Giok Keng
melihat tarikan pada dagu pemuda itu. "Sakitkah?"
"Tidak
seberapa, Nona," jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga.
Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak
memiliki sifat cengeng.
"Aku
pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika
aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dahulu, kemudian
semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat
berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat
disembuhkan lagi."
"Memang
pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji
itu!" hanya ini saja komentar Kong Tek.
"Aku
harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suheng-ku itu
mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sinkang yang amat kuat,
menyedot jarum-jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sinkang dari telapak
tangannya saja. Akan tetapi tidak mungkin aku dapat melakukan itu. Aku akan
menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan
jarumnya. Akan tetapi tentu amat nyeri..."
"Nyeri
dapat kupertahankan, akan tetapi apakah engkau tak merasa ngeri, Nona? Biarlah
aku yang membedahnya sendiri."
"Pertahankanlah!"
Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek
kulit di luka itu, terus hingga ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya
menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar
jarum merah dan darah kehitaman langsung keluar dari luka yang agak lebar itu.
"Darah
itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus
disedot..."
Giok Keng
maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan
tertolong lagi. Biar pun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun
itu sudah menjalar lebih dari sejengkal di seputar luka! Pemuda ini sudah
berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela
dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya bila sampai
dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya.
Dengan
mengeraskan hatinya dia berkata, "Aku akan menyedotnya bersih seperti yang
dilakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu."
"Jangan,
Nona...!" Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu
yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka itu dengan mulutnya.
"Jangan! Lebih baik aku mati saja dari pada membiarkan engkau melakukan
hal itu! Harap engkau jangan merendahkan diri seperti itu. Aku dapat
menyedotnya sendiri. Lihat!"
Meski pun
dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang luka dan menundukkan
kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek berhasil juga mencapai
luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi
sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah.
GIOK KENG
memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha supaya darahnya terkumpul
di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia pun berseru
girang, "Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!"
Kong Tek yang
kehabisan tenaga langsung menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah.
"Berkat pertolonganmu, Nona," katanya terengah.
Giok Keng
tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu
dengan sapu tangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, sungguh pun agak
terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.
Diam-diam
hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat
daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin
membuat dia penasaran karena biar pun dia sudah memperlihatkan sikap menolong,
bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tak
memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seakan-akan pemuda itu bukan melakukan
perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang sudah banyak
membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti
melakukan perjalanan dengan seorang teman biasa saja yang tak ada
keistimewaannya apa pun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru
satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria.
***************
Wajah
pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya.
"Aku akan segera mengejar ke sana!"
"Tenanglah
dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu sangat
lihai, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga
mereka tak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki
adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita
langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan
Houw-ji? Pada waktu aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada di dalam
kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di
sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan?
Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dahulu dan menanyakan urusan apa yang
terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong
anak kita dan suka bersama kita ke Tibet."
Dengan
panjang lebar Biauw Eng kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi
sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh
Keng Hong dengan muka keruh dan sering kali menggeleng kepala dan mengepal
tinju.
Sesudah
cerita isterinya mengenai diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di
depannya. "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu
aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."
"Giok
Keng? Bagaimana dengan anakku itu?" Biauw Eng bertanya.
Wajah ibu
ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat
akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua, kini ditambah pula dengan
peristiwa diculiknya Bun Houw.
"Hehhhh..."
Keng Hong menghela napas. "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat
terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat
Liong Bu Kong itu!"
"Apa?
Giok Keng... menikah?"
"Hampir
saja!" Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi
atas puteri mereka itu.
Berkali-kali
Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan
bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya
lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya kini telah ‘berbaik
kembali’ dengan puteri mereka.
"Sekarang,
di mana dia?"
"Dia
mengejar-ngejar Liong Bu Kong."
"Aihh,
berbahaya kalau begitu."
"Tidak,
Kun Liong sudah menyusulnya."
"Aahhh,
kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong
agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu
berjodoh dengan Kun Liong..."
Kembali Keng
Hong menghela napas. "Sebaiknya kita tak mencampuri urusan jodoh anak
kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak
urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling
mencinta, bahkan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi
pinangan orang lain."
"Siapa?"
"Dari
Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie
Kong Tek, seorang pemuda yang hampir saja kubunuh." Dia lalu menceritakan
betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.
Biauw Eng
menggeleng-geleng kepalanya. "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta
orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu
terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di
pihak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk
rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan pada ketampanan wajah dan
kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dulu
Keng-ji telah kunasehati agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon
suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang
kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan
penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu
dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk
melakukan perjinahan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta birahi belaka,
dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret
calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinahan yang
akibatnya mesti ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun... betapa banyak
gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru
menyesal, penyesalan yang tak ada gunanya sama sekali!"
Melihat
isterinya bicara secara amat bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan
mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya
memikirkan dua orang anak mereka.
"Memang
kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya
tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak
kita itu."
Pada saat
itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subo-nya (Ibu Gurunya),
melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhu-nya.
"Dari
kota raja?" Keng Hong berseru dengan kaget.
"Mereka
dipimpin oleh Tio-ciangkun."
"Aih,
tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!"
Keng Hong
dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan
gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo
yang sudah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus
yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati),
bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu
Kui Siang Han dan Song Kin.
"Ahh,
kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!"
Tio Hok Gwan
memberi hormat, dibalas oleh Keng Hong dan isterinya. "Mudah-mudahan saja
keadaan Taihiap dan Lihiap selama ini baik-baik saia," katanya.
Suami isteri
itu merasa tertusuk batinnya, tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan
mempersilakan ketiga orang tamunya duduk di ruangan dalam, lalu para pelayan
dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.
"Kunjungan
kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada
Taihiap. Silakan Taihiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan
perundingan." Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat
dengan sikap hormat.
Karena surat
itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut baru menerima surat itu
dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul
surat, lalu membaca isi surat yang singkat itu.
"Ke
Tibet...?!" Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.

Mendengar
seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya lantas
membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng
Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di
Tibet.
"Sungguh
kebetulan!" Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. "Kami
berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!"
"Ahhh!
Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke
barat." Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga sebab keperluan apakah yang
memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu?
Suami isteri
itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada
Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang
menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu.
"Di
antara sahabat baik tidak ada rahasia," kata Keng Hong, "karena yakin
bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan
yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik
dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!"
Kini tiga
orang pengawal itulah yang terkejut sekali. "Lama Jubah Merah? Sungguh
aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan
perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!"
Cia Keng
Hong dan isterinya menjadi sangat terheran-heran dan ingin sekali mendengar
penuturan Tio Hok Gwan. "Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan
yang akan menjadi tugas kita di Tibet."
Tio Hok Gwan
segera bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan
negara-negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah
Kerajaan Tibet yang sebenarnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya
boneka saja.
Untuk
mempererat hubungan baik ini, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri
Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri salah seorang pangeran putera Kaisar.
Selain urusan keluarga yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa
surat dan hadiah ke Tibet ini, masih ada urusan yang lebih penting lagi, yaitu
Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena
mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan
yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan
perkumpulan Pek-lian-kauw.
Mereka ini
merencanakan persekutuan untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang
kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai
imbalannya, kelak kerajaan Tibet akan mengerahkan pasukan membantu
Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.
"Sebenarnya,
urusan pemberontakan inilah yang lebih penting," Tio Hok Gwan menutup
ceritanya.
"Akan
tetapi, kenapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Kenapa The-taijin
tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak
itu?"
"Tidak
semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat
Tibet dengan kita. Rakyat Tibet sangat peka terhadap penyerbuan tentara asing
sehingga kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biar pun pasukan itu akan
membantu Pemerintah Tibet yang syah untuk menumpas gerombolan pemberontak,
namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itulah
penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah
Tibet sendiri yang cukup kuat. Tapi atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin
mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk
menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu."
"Memang
mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!" kata
Biauw Eng. "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"
"Hemm..."
Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. "Kalau aku tak salah mereka merupakan
tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang bernama Sin Beng Lama.
Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk
ditukar dengan Yap Kun Liong?"
"Benar
demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan
Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas
kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu
sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah
Merah."
"Sebaiknya
demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?"
"Justru
ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan
tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini," kata Keng
Hong.
"Biarlah
kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu,
Taihiap."
"Bila
kita berangkat ke Tibet?"
"Menurut
perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke
kota raja dan kita berangkat bersama."
Setelah
mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya ketiga orang tamu
itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong serta
isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki
oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan
adanya peristiwa yang kebetulan itu, andai kata tidak dapat mengajak Kun Liong
pun, mereka telah memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga
orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah
Tibet yang hendak membasmi para Lama Jubah Merah yang hendak memberontak.
***************
Bermacam
perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik
kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa amat berduka dan kecewa, bahwa
adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya.
Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan
gembira karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya
ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang
sudah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya
tersimpan di dalam bokor emas.
Dalam
perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentosa dan bahkan memperoleh
pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andai kata adiknya itu memilih dia dan ikut
bersama dengannya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andai
kata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang
lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak
mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh
perjalanan yang penuh bahaya.
Di sepanjang
perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanya wajah Hong Ing dan
adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya,
yang memberi dorongan semangat kepadanya.
"Hong
Ing... semoga Tuhan melindungimu..." Ia menghela napas pada saat teringat
akan kekasihnya itu kemudian dia mempercepat langkahnya.
Kini baru
terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru
terbayang seluruh pengalamannya pada waktu dulu, ketika dia memandang rendah
cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang
mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya.
Teringat
akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang
wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya
dengan gadis itu, perjinahan mereka di dalam sebuah kuil tua, dia merasa malu
dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian,
betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas
dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta
kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!
"Hwi
Sian... kau maafkanlah aku..." Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya
setiap kali dia teringat akan itu semua.
Dan Bi Kiok,
gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sulit mengukur isi hati Bi
Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya.
Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman hendak membunuh setiap wanita yang
mencintanya, wanita yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak
hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.
Kemudian Pek
Hong Ing! Wajahnya segera berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali
dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram apa bila dia teringat
akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang
halus budi itu.
Terbayang
kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan
‘nikouw’ itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak
jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan
dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan
segala ketololannya, dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya!
Bahkan dalam
saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati
kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang sangat menyakitkan hati, yang
berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala
yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan
semua itu.
Bagaimanakah
nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul
apakah dua orang pendeta Lama itu memiliki maksud buruk terhadap kekasihnya
ataukah tidak. Betapa pun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat
buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat.
Dua orang pendeta
Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok
Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun
yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan matanya
sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat.
Hatinya agak
lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak
ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, kenapa harus susah payah
mengajak dara itu pergi? Apa bila mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing,
siapa yang akan dapat mencegah mereka ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu
itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tak
akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.
Kelegaan
hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri, karena kembali dia
teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia
singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu dan dua orang suheng-nya
tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan.
Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis
itu baik-baik saja, kemudian mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa
kesalahannya sudah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan
hatinya di masa depan.
Karena kini
merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama
yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan,
karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan
waktu yang terlalu banyak.
Memang benar
seperti dugaannya bahwa tidaklah sulit mencari tempat tinggal Gak Liong di
Secuan karena hampir semua orang mengenal siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar
Gak) yang sudah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya,
yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat hingga
daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur.
Dia
memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak
sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali.
Memang sekarang setelah tua Gak Liong tak lagi mencampuri urusan dunia ramai
sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan
jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai
itu hanya berupa sebuah bangunan kayu yang sederhana, namun suasana di situ
hening dan menyenangkan.
Sesudah
memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat
yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di pinggir sungai
dan sudah tampak pula bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang sangat
sunyi namun tampak menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai
dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai.
Berdebar
juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian
yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suheng-nya, Tan
Swi Bu? Apakah bersama suheng yang sekarang menjadi suaminya itu tetap tinggal
di situ? Ataukah sudah pindah?
Dia hanya
ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadaan dara itu selamat dan
baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang sudah memaafkannya. Barulah hatinya
akan lega dan dia segera dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong
Ing dengan hati tenang.
Akan tetapi
sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai
melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari pada bambu di sambung-sambung.
Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali
terpeleset, maka akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya sangat
dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam
mengerikan. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong segera melintasi jembatan
penyeberangan itu dengan langkah ringan, tanpa berpegang kepada bambu melintang
di atas jembatan itu.
Begitu dia
tiba di seberang, tepat di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu,
tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang
yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!
"Singggg...
ehhhh...!"
Kun Liong
cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang pada penyerangnya yang
memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah
seorang lelaki yang usianya telah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah,
tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.
"Iblis
dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo
keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku..."
"Heiii,
bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?" Tiba-tiba Kun
Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.
Orang itu
memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia
menjawab dengan suara kaku, "Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk
menghadapi manusia-manusia jahat macam..."
"Nanti
dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukanlah iblis Pek-lian-kauw, apa lagi
temannya Tok-jiauw Lo-mo!"
Orang itu
menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong,
melangkah mundur tiga tindak kemudian memandang penuh perhatian, matanya masih
menyorotkan keraguan serta kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti
seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, "Siapakah engkau...?"
Kun Liong
mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. "Poa-toako, beberapa
tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toako, sute-mu
Tan Swi Bu dan sumoi-mu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong."
"Aihhh...!"
Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan kembali
pedangnya, lalu menjura, "Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)!
Biar pun baru satu kali berjumpa, aku sudah banyak mendengar tentang engkau
dari kedua adik seperguruanku."
"Tidak
mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi,
mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menunggu kedatangan
musuh?"
Orang tinggi
kurus itu kembali menarik napas panjang, "Mari kita masuk ke dalam dulu,
Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi."
Karena
memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk lantas mengikuti
twa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang
terlihat amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu
bercerita,
"Memang
tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku mengira engkau adalah seorang di
antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari
yang lalu, selagi Suhu bersemedhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar
suara orang yang diteriakkan dari jauh menggunakan tenaga khikang sehingga
terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang
mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika
engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu."
"Dan
bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?"
Poa Su It
menghela napas panjang, "Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan
sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku supaya aku
menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang.
Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam
nyawa Suhu."
"Hemmm,
Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik," kata Kun Liong.
"Yap-enghiong
pernah bertemu dengan dia?"
Kun Liong
mengangguk dan berkata lagi, "Apa bila dia datang bersama kawan-kawannya,
tentu berniat buruk sekali. Karena itu, sesudah mendengar ini, aku akan
membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi
mereka."
Wajah Poa Su
It yang tadinya muram itu kini berseri-seri dan dia memegang lengan Kun Liong.
"Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!"
Kun Liong
menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi,
dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.
"Kenapa
Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoi-mu?"
"Suami
istri itu sedang pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka
lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan pada saat
Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi
pemberontak dan para penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu
sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang
minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute
dan Sumoi"
Hati Kun
Liong terasa lega. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian sudah
menikah dengan ji-suheng-nya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti
yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian
baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang dulu sudah menyerahkan tubuhnya
kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayang dia tidak dapat bertemu sendiri
dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.
"Kalau
boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?"
"Menyelidiki
ke Tibet."
Jawaban ini
amat mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. "Ada
terjadi apakah di Tibet?"
"Panglima
The menugaskan Suhu supaya menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang
kabarnya sudah mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua
perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga
Kerajaan Beng."
Kun Liong
mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Bila mana
terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing.
Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?
"Memang
Tok-jiauw Lo-mo adalah seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali
dapat berhadapan dengan dia, karena dulu aku pernah ditangkap oleh kakek itu
bersama teman-temannya."
Poa Su It
menghela napas. "Itulah yang sangat menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong.
Suhu sudah berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang
hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian
kata Suhu."
"Urusan
pribadi?"
"Ya,
akan tetapi aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya
boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu
sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang
baik, karena itu aku khawatir sekali."
"Hemm,
seorang gagah perkasa seperti suhu-mu itu tidak perlu dikhawatirkan karena apa
pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan
tampaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apa
lagi menghadapi lawan berat seperti suhu-mu, tentu tidak akan datang sendiri
dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau
dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi
kaki tangannya, Toako."
"Benar,
dan sungguh beruntung bagiku bahwa engkau datang berkunjung, Yap-enghiong,
karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan
tenteram."
Mereka
bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar juga rasa
kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan
itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang selamanya tidak pernah
menikah ini mempunyai dasar watak pendekar tulen.
Oleh karena
itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang
menceritakan niat perjalanannya, yaitu sedang menuju ke Tibet karena kekasihnya
diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut
sekali.
"Kalau
tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kau ceritakan itu adalah
pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya
sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis,
amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang
menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, juga menyamar
sebagai penduduk biasa yang hendak bersembahyang dan minta berkah."
Hari
berganti malam dan datanglah mereka yang ditunggu-tunggu! Mula-mula terdengar
teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena
pengerahan khikang yang cukup kuat,
"Tua
bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!"
Mendengar
suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar
pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Semenjak tadi Poa Su It
memang sudah siap dan menggantung lampu-lampu sehingga di depan pondok pun
cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak
Liong ini.
Bagaikan
segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat
makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan
pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun
Liong.
Walau pun
kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus,
kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek
yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya
dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat
tajam. Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak
pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal
kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang mempunyai
rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum.
Terkejut dan
ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi hati pendekar ini sama
sekali tidak merasa takut. Dia segera memandang lagi dengan penuh perhatian
kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu.
Ada sepuluh
orang banyaknya, dan melihat mereka berpakaian berwarna kuning seperti pendeta
dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan
mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Pendekar
yang telah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan
Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia
adalah musuh gurunya, akan tetapi tentu ada hubungannya dengan persekutuan
Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah
susiok-kongnya, Panglima The Hoo.
Tentu
Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo
dan seorang pembantu yang aktif dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal
di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara
Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya.
Dugaan Poa
Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat
permusuhan pribadi yang dimulai pada waktu mereka masih muda dahulu. Pada waktu
muda Tok-jiauw Lo-mo adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya
di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar.
Pada suatu
hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang
menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong,
akan tetapi beberapa bulan kemudian, pada saat Gak Liong tidak berada di rumah,
Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu!
Gak Liong
menjadi sangat marah dan sakit hati, lalu mencarinya dan kembali menghajar
Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tidak berambut,
punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah,
antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali
mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang
kalah dan selalu dapat melarikan diri.
Tok-jiauw
Lo-mo terus menggembleng diri dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi
murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan
diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo
mencarinya.
Pada saat
Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo
telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi
kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan
dulu, apa lagi mengingat bahwa pendekar itu merupakan pembantu The Hoo, serta
merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi
pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu
oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.
"Manusia
she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!" Tok-jiauw
Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat
mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang
Pek-lian-kauw yang tangguh.
Poa Su It
hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah
meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, "Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu
kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!"
Melihat
seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu
menjadi marah sekali. "Kau mampuslah!"
Tongkatnya
lantas menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu
menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan
hanya menggertak sambal belaka. Baginya, sikap serta teguran Kun Liong tadi
sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!
"Plak!
Plak!"
"Uughhhh...!"
Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang
pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu.
Hampir dia
tak dapat mempercayai bila tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja
itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua
kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik sesudah
bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!
"Kau...
kau siapakah?" bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda
ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.
"Hemmm,
Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kau
bohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!"
Kakek itu
melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.
"Ketika
itu kepalaku tidak berambut..."
"Ahaiiii!
Kau Si Gundul keparat itu!" Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya
sudah diangkat.
"Tahan...!"
Tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah muncul
seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti seorang petani, tubuhnya
kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.
"Suhu...!"
Poa Su It berkata. "Biarlah teecu dan Yap-enghiong saja yang menghadapi
penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!"
Gak Liong,
kakek itu, menoleh kepada muridnya. "Su It, kau mundurlah." Kemudian
dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, "Yap-sicu, namamu sudah
banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan
tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang
menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang
tidak boleh dicampuri orang lain."
Kun Liong
membungkuk dan berkata hormat, "Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak
akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako apa bila iblis
tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok."
"He-he-heh-heh,
Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong."
"Lo-mo,
kita sudah sama-sama tua, maka marilah kila selesaikan urusan lama tanpa perlu
membawa-bawa yang muda. Kalau ternyata para anggota Pek-lian-kauw di belakangmu
itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk
turun tangan pula."
"Heh-heh-heh,
siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai
seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang
terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku
orang tua!" Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong.
Kakek ini
memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu
merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata
ini.
"Aku
bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Marilah kita
selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa
kita."
"Bagus!
Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!" Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia
sudah menyerang ke depan.
"Tranggg!
Trakkk!"
Pendekar
dari Secuan itu sudah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Maka
terjadilah pertandingan yang sangat seru dan mati-matian.
Kun Liong
menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan
itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan
mengandung banyak gerak tipuan. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang
dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek
itu sudah lemah sehingga tiap tangkisan atau serangannya tidak dapat
menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, meski pun
setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat.
Poa Su It
yang sudah mencabut pedangnya kemudian berdiri di dekat Kun Liong, juga
menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya
yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya.
Namun dia juga tak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa
kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak langsung bergerak sehingga dia mendapatkan
kesempatan untuk mengamuk!
Andai kata
tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah
mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian
pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya
agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri.
Dia tahu
bahwa Gak Liong sangat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini
sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Maka, dengan
penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu
secepatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya pula.
Namun Gak
Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun
dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal
sifat ilmu silat lawan. Maka biar pun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya
yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak
lawannya.
"Eeaaaghhh...!"
Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan
kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka. Itulah pukulan baru yang sudah
dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh
besar ini.
Gak Liong
agak terkejut, tidak menduga bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang
dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena
pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada
dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik,
tongkatnya lantas meluncur ke depan.
"Plakk!
Crokkkk... Aughhhh...!"
Tubuh
Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, ada pun
pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena
pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan dengan sinkang yang mengandung
racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu.
Sejenak
tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan, kemudian dari mulutnya terdengar kata-kata
terputus-putus, "Aku... aku cinta padanya... kau sudah merampasnya... maka
kubunuh... dia... hanya kalungnya... yang jadi penggantinya... ini... ini...
kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong..."
Melihat
seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, terbayang keharuan pada
wajah Gak Liong. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang
kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu
berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan
membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu
dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.
"Gak-locianpwe,
awas...!" Kun Liong berteriak namun terlambat.
Ketika Gak
Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas
musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang
cepat sehingga pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh
terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw
Lo-mo tertawa-tawa lalu berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya
Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi.
"Suhu...!"
Poa Su It berteriak.
Akan tetapi
pada saat itu sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka
menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun,
orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukanlah orang-orang sembarangan dan
sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang
Pek-lian-kauw.
Kun Liong
juga dikeroyok. Karena orang-orang Pek-lian-kauw itu tadi sudah menyaksikan
betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan
kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw
mengepungnya. Akan tetapi, dengan tenang Kun Liong menghadapi mereka, mengelak
dan menangkis dengan sangat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah
tubuhnya.
Semenjak dia
masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam
kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan
Khi Tosu sudah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia
sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya
tidak muncul menyelamatkannya.
Kemudian, di
dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan tokoh
Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia kini bahwa Pek-lian-kauw adalah
sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan
dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat
untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal
mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak.
Demikianlah
memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan
digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina dengan cara pendidikan yang
telah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk memiliki cita-cita, untuk
mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk
menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh
kita.
Hal ini
sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, semenjak kecil bergulat dan
berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing hingga terjadilah saling
dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, sebab cita-cita semua
manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri
pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih,
bahkan yang megah-megah, akan tetapi semua itu hanya sekedar kulit yang
membungkus isi yang sama, yaitu: mengejar sesuatu yang menyenangkan diri
sendiri, baik lahir mau pun batin!
Kalau saja
kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa
cita-cita atau keinginan untuk mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan,
pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia.
Sekelompok
anak-anak pun, kalau sedang melakukan suatu permainan di mana terdapat
kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan
terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan
pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar,
mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang paling penting!
Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak
terasa lagi sebab seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam
permainan itu, ialah kemenangan.
Karena kita
mementingkan cita-cita yang berupa khayalan karena belum ada, maka kita tak
mengacuhkan caranya, tak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita
memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan waktu
sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan
cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita.
Bahkan ada
pendapat yang sangat menyesatkan bahwa ‘cita-cita menghalalkan segala cara’.
Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita
tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya
baik?
Demikian
halnya dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka,
cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan
sebagainya, maka terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut,
nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan
orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya.
Tentu ada
yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak pula terdapat
cita-cita yang baik. Baik mau pun buruk tetap saja cita-cita, tetap berupa
keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah
terjadi penyelewengan dan kekerasan hingga terjadilah bentrokan dan
pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si ‘aku’ dan
penonjolan si ‘aku’ dan si ‘kamu’ tentu saja memperbesar pula
bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan
demikian sebaliknya.
Mengapa pula
kita dibius oleh cita-cita dan keinginan mendapatkan sesuatu yang belum ada?
Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak?
Mengapa kita tidak menghayati hidup pada saat ini?
Hidup pada
saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat
tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan. Apa bila kita
melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita
bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita,
segala akan tampak oleh kita, sebaliknya jika mata kita ditujukan jauh ke
depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita
memandang ‘sana’ yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari ‘sini’? Mengapa kita
menginginkan yang ‘begitu’ dan tidak menghayati yang ‘begini’? Yang ‘begitu’
adalah khayal, sedangkan yang ‘begini’, saat ini, barulah nyata dan hidup!
Karena sudah
begitu sering bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak
kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang menggunakan
kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi
hati lagi.
"Kalian
orang-orang jahat!" bentaknya.
Bentakan ini
disusul dengan berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar
seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi amat
terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat
jelas karena tubuh pemuda itu seakan-akan sudah berubah menjadi banyak, tahu-tahu
senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh.
Mereka
berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi. Akan tetapi Kun Liong
sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan
kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, patah tulang
pundaknya, dan ada pula yang benjol-benjol kepalanya.
Dapat
dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk
dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru
berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang
lagi. Akan tetapi, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh
orang pengeroyoknya dalam waktu singkat!
"Pergilah...!"
Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah
menangkap tongkat seorang lawan, sedangkan tangan kanan menampar pangkal lengan
kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya
menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar
jauh.
Habis sudah
semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu,
bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian pergi
meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah
merangkak.
"Biarkan
mereka pergi," kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar.
Pendekar
Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong lalu
berlari menghampiri mayat suhu-nya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi
mukanya dengan penuh duka. Sudah puluhan tahun orang tua itu menjadi gurunya
dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapatlah dimengerti betapa sedih
hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu.
Penduduk
kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu,
maka berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It
mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian barulah dia berpamit
untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan
keterangan dari Poa Su It mengenai perjalanan menuju ke sarang perkumpulan
Agama Lama Jubah Merah...
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment