Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 01
KOTA CENG
TAO terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang cukup besar di
Propinsi Shan-tung. Setiap hari perahu-perahu dagang yang besar berlabuh di
situ, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan
dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam
keluar.
Bukan hanya
usaha perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao. Akan tetapi juga hasil
penangkapan ikan laut di daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu
penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di
tepi pantai.
Biasanya,
semenjak pagi-pagi sekali pantai itu sudah sibuk, terutama sibuk dengan para
nelayan yang baru pulang dari tengah lautan di mana mereka bekerja, semalam
suntuk menangkap ikan, lalu membawa pulang hasil penangkapan ikan mereka yang
memenuhi perahu. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan
hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang
berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar lantas
memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar dari pada para nelayan itu
sendiri.
Kadang
terlihat pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa
penasaran di dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka
dari para juragan yang melepas uang dan meminjamkan perahu-perahu, jala-jala
dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Mereka inilah yang
nantinya menentukan harga ketika para nelayan sudah kembali dari tengah laut.
Harga
ditekan sedemikian rupa, tetapi para nelayan tidak berani melawan karena mereka
telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu
membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi
pemukulan-pemukulan di pinggir pantai itu oleh para tukang pukul terhadap
nelayan yang berani membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang menangis sebab
hasilnya terlalu sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apa lagi kalau
ada anggota keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya
pengobatan.
Akan tetapi,
pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan sudah turun sejak
malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, malam tadi para nelayan
banyak yang terpaksa pulang tanpa memperoleh hasil.
Setelah
matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih
juga turun rintik-rintik. Di kota Ceng-tao sendiri, sungguh pun pagi itu masih
hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga dengan orang berlalu-lalang memakai
payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut
yang dingin.
Nampak pula
gerobak-gerobak yang mengangkut barang-barang dagangan seperti sayur-mayur,
ikan dan sebagainya. Mereka berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di
tengah kota. Ada pula tukang-tukang panggul yang membantu memikul barang-barang
berat menuju pasar. Mereka ini tidak berbaju hingga tubuh yang bagian atasnya
telanjang itu tertimpa air hujan.
Tubuh yang
berpeluh itu menjadi makin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat
tubuh itu mengkilap, kelihatan kuat dengan otot-otot menjendol. Akan tetapi
mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin, malah bagi mereka terasa
enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.
Berbagai
macam orang yang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan
pakaian mereka dapatlah diketahui siapa di antara mereka yang pedagang beruang
dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan
itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka.
Sebagian
besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang
kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa
lebih dari pada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin,
bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.
Akan tetapi
pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh
semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa
oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan
udara.
Setelah
hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, semuanya terlihat
bersih tercuci oleh air hujan. Walau pun hujan masih gerimis dan matahari masih
tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih.
Suara air
selokan yang menampung air hujan serta segala kotoran yang disapu olehnya,
laksana dendang pagi yang sangat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri
karena mereka pun sudah dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua
dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan
suatu rasa gembira yang ajaib.
Di pintu
gerbang kota pun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari
dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi, namun hujan
masih turun rintik-rintik, walau pun sudah mulai jarang.
Pada saat
itu pintu gerbang sudah sunyi, sudah tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya
orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang
semenjak pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan
mereka jatuh harga atau tidak laku.
Para penjaga
pintu gerbang duduk santai di dalam gardu. Tentu saja mereka itu merasa enggan
untuk berjaga di luar sehingga tertimpa air hujan. Lagi pula, dalam keadaan
aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu
gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar
kota.
Suasana di
sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu
mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan
terdengar lucu, nada-nadanya juga seenaknya saja.
Mau tak mau
para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, mereka
pun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diselingi suara ringkik
kuda dan semakin didengarkan, semakin tertarik pula hati para penjaga karena
memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apa lagi diselingi
ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.
Tok-tak-tok-tak
hujan turun bertitik Top-tap-top-tap langkah kudaku cantik! Hiiii...
yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Biar hujan biar panas, manusia tetap mengeluh
biar panas biar hujan, kuda takkan mengaduh! Hiii... yeeehhhh...! (suara
ringkik kuda) Manusia memang pintar, pandai berkeluh-kesah kudaku memang tolol,
tak kenal hati susah! Hiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda)
Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!
Para penjaga
dalam gardu itu kini menghentikan permainan kartu mereka, lalu beberapa orang
di antara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orang
yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu.
Tak lama
kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan
pendek sehingga lebih mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah
seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik apa bila lehernya ditepuk
oleh penunggangnya. Tidak mengherankan jika tadi dia dapat ikut bernyanyi
menyelingi suara nyanyian majikannya.
Kuda kecil
mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak bila
meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia terlihat girang dan lega
sekali karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan
perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air
hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan
oleh para tukang pikul tadi.
Penunggang
kuda itu tidak kalah anehnya jika dibandingkan dengan kudanya sendiri. Dia
adalah seorang wanita muda, seorang dara remaja yang pakaiannya aneh dan tak
karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, agaknya dijahit seenaknya
saja sehingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan
terlalu panjang, malah ada bagian pundak yang robek.
Mukanya
kotor berdebu, muka yang sangat lincah gembira penuh senyum, dan matanya juga
bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan
subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai
di depan dada.
Lucunya,
dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di
sana-sini. Naik kuda pakai payung butut sambil bernyanyi-nyanyi! Belum pernah
para penjaga itu melihat hal yang selucu ini sehingga mereka pun tertawa.
Mungkin perempuan gila, pikir mereka.
Akan tetapi
setelah dara beserta kudanya datang semakin dekat, tampaklah oleh mereka bahwa
di balik kelucuan dan kesederhanaan yang terasa ugal-ugalan itu masih bisa
dilihat bentuk wajah yang manis serta bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai
mekar, mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai
bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih
lima belas tahun.
Enam orang
penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda
menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itu pun tersenyum dan melihat
mereka kini melambaikan tangan, ia pun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat
para penjaga menjadi makin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang amat dingin,
dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang di antara mereka,
yaitu kepala penjaga dan pembantunya, cepat bangkit dan keluar dari gardu
sambil berseru,
"Heii,
nona manis, tunggu dulu!"
Empat orang
teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, tetapi karena mereka itu adalah
kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.
"Hemmm,
kalian tahu bahwa aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku
hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya akan menciumnya. Apa
bila dia mau, boleh kita bawa ke sini dan kita ajak main-main, kalau dia tidak
mau pun aku tidak akan memaksa."
Dengan
kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimana pun juga,
mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan
senang main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya.
Kepala jaga
itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek
dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala pada bagian ubun-ubun botak
dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan
kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu
rokok.
Pembantunya
juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit
mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar
dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang tepat di tengah-tengah pintu
gerbang, sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar.
Mereka memandang ke depan, ke arah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai.
Dara itu
agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda
atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang,
maka terpaksa dia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan
senyum lebar dia pun berkata,
"Heii,
dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!"
Setelah kini
berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali
mendapat kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biar pun kulit
mukanya kotor penuh debu, akan tetapi sebenarnya wajah itu amat manis dan
sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu itu
terlihat mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apa lagi,
ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya
nampak putih dan rata.
"Ha-ha-ha-ha,
nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih
dahulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut
gendutnya itu bergerak-gerak.
Nona muda
itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Eh, eh, mana ada aturan
begitu? Sudah sering kali aku keluar masuk pintu gerbang, dan pintu gerbang
yang ini pun setiap hari sudah banyak dilewati orang, akan tetapi belum pernah
ada orang lewat yang diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah tidak pernah
mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!"
"Ha-ha-ha,
engkau ini nona manis akan tetapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki,
jangankan untuk lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentut pun bisa saja
diharuskan membayar pajak. Dan sekarang yang berkuasa di pintu gerbang ini
sudah mengharuskan agar engkau membayar pajak. Karena itu engkau tidak boleh
membangkang, nona, sebab pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa
ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara!"
"Hemm,
dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?"
"Siapa
lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut berkata sambil menunjuk
perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.
"Wah,
ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!" Dara remaja itu berteriak.
Sebetulnya
sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu.
Kalau nona itu seorang gadis biasa, tidak mungkin sikapnya seberani dan
secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apa lagi dari dusun, baru
bertemu dengan penjaga dan dihardik sedikit saja tentu sudah akan bersikap
ketakutan.
"Jangan
banyak cerewet!" Si kurus sipit membentak. "Taati perintah kepala
jaga kami bila engkau tidak ingin celaka!"
"Hemm,
jadi pajak ini bukan peraturan pemerintah melainkan peraturan kalian
sendiri?"
"Benar,
kami yang berkuasa di sini!" kata si gendut.
"Dan
hasil pungutan pajak liar ini kalian nikmati sendiri, bukan untuk
pemerintah?"
"Tentu
saja!"
"Wah,
kalau demikian kalian adalah para perampok berseragam yang menyamar sebagai
pejabat pemerintah!"
"Hush,
tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penjara!"
"Huh,
pantasnya orang-orang semacam kalian ini yang harus ditangkap dan dipenjarakan.
Kalian sudah merongrong kewibawaan pemerintah dengan tingkah laku kalian,
kalian juga mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan
perut dan kantong sendiri, dan kalian inilah pengkhianat-pengkhianat dan
musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!"
"Hei,
perempuan gila, tutup mulutmu itu!" Si tinggi kurus membentak, akan tetapi
si gendut menyeringai.
"Gadis
liar, tentu makin menyenangkan jika nanti telah dapat kutundukkan! Hayo, engkau
harus mentaati peraturan dan membayar pajak, nona manis."
"Berapa
pajaknya?" Gadis itu bertanya sambil bersungut-sungut.
"Ha-ha-ha,
itulah anehnya. Pajak yang harus kau bayar adalah... dua kali ciuman kepada
kami!"
Sepasang
mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau
tadinya dia merasa marah karena peraturan pajak yang dianggapnya pemerasan itu,
kini kemarahannya lenyap karena dia merasa betapa permintaan pajak cium itu
sangat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan serta kelincahan gadis itu.
Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika dia sedang berbantahan tentang
pajak dan pemerasan.
"Bagus,
ternyata kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman!
Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?"
Mendengar
ucapan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu, karena tadinya si
gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira.
Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan
sekarang bahkan menantang ciuman!
"Ha-ha-ha,
coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!"
"Engkau
mana mampu bertahan dua kali? Satu kali pun cukup. Dan engkau, sobat kurus,
engkau minta ciuman kanan atau kiri?"
Si tinggi
kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah
menawarkan ciuman kepadanya. "Ehh, aku... hemm, yang kiri pun
bolehlah!"
Kembali para
penjaga tertawa riuh-rendah. Mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena
sekarang mereka semua juga hendak minta ciuman dari gadis yang agaknya suka
membagi-bagi ciuman itu. Dara itu turun dari atas punggung kudanya lantas
memandang kepada mereka dengan senyum-simpul, matanya bersinar-sinar penuh
kegembiraan.
Mata si
gendut berminyak saat dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis
itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya
bagaikan batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda dan
menghampirinya.
"Sobat
gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah,
akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah
lagi!"
Mendengar
ucapan ini, dengan lagak lucu si gendut menggosok-gosok pipi kanannya agar
bersih, siap-siap menerima ciuman, sedangkan si kurus juga berseri-seri
wajahnya. Akan tetapi, mendadak tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya
sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.
"Plakk!
Plakkk!"
Tubuh si
gendut dan si kurus itu terpelanting lantas terbanting jatuh bergulingan.
Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing-masing. Setelah mereka
merangkak dan bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut sudah bengkak dan
biru, sedangkan bibirnya mengalir darah akibat empat buah gigi pada ujung kanan
patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan
bibirnya berdarah.
Ternyata,
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, gadis itu tadi sudah menendang pipi
kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si
kurus. Selain cepat tendangan itu juga mengandung tenaga besar sekali hingga
membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.
"Heiii,
mengapa engkau menendang orang?" Empat orang penjaga yang melihat kejadian
itu menjadi terkejut dan marah, cepat berlari mendatangi dan mengurung gadis
itu sambil mencabut golok.
"Bukankah
mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?" Gadis itu balas
bertanya dengan sikap mengejek.
"Itu
bukan ciuman!" bentak seorang di antara para penjaga.
"Aku
tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium
pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aihh, tak usah, ya? Aku sudah memberi
ciuman dengan ujung sepatu, masing-masing satu kali, kalau kurang boleh
ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?"
Pada saat
itu si gendut bersama pembantunya telah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin
besar bengkaknya, dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis
itu. Hatinya lebih nyeri dari pada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyerinya
sehingga lebih mendatangkan dendam dari pada kewaspadaan.
Sebenarnya,
gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan
pembantunya, telah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis
yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.
"Tangkap
perempuan iblis ini! Bunuh...!" Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya
dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu
dengan amat ganasnya.
Gerakan
golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh. Cahaya golok
mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang kini mulai menebarkan cahayanya
setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik.
Akan tetapi
pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa
nona di hadapan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang
mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan
bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada waktu golok terayun,
bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain.
Saat si
gendut tiba-tiba melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil tersenyum
mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring lantas goloknya menyambar ke arah
leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya. Akibat
didorong oleh kemarahan serta nafsu membunuh yang berkobar-kobar, kepala jaga
gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah
menggunakan seluruh tenaga dalam serangan.
Seharusnya,
dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih
ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan menjaga
diri. Namun si gendut ini melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Maka, pada
saat gadis itu dengan amat lincahnya bergerak mengelak, si gendut tak dapat
mengendalikan dirinya lagi sehingga dia pun terdorong oleh tenaganya sendiri,
dan tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya lantas tersungkur
ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium
dada sebelah kiri.
"Ngekkk...!"
Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu.
Sambil
tersenyum nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah muka si gendut yang
memandang terbelalak sehingga wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut
telah menerkamnya. Tiba-tiba saja golok itu dilepas oleh si nona sehingga
meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.
"Krekkkk...!"
Si gendut
mengeluh, akan tetapi sulit mengeluarkan suara karena mulutnya telah dipenuhi
oleh gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada
beberapa buah gigi yang tertelan dan sekarang dia mendelik, menggunakan kedua
tangannya untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam di dalam
mulutnya.
Setelah
merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima
orang penjaga mengejarnya dengan golok, akan tetapi mendadak nona itu
mengeluarkan pekik melengking lantas kedua tangannya bergerak ke kanan kiri.
Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh kelima orang penjaga itu terpelanting
semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang sangat kuat. Dan ketika
mereka bangkit berdiri, kuda itu sudah lari memasuki kota.
"Kejar...!"
teriak si mata sipit.
Mereka
berlima segera melakukan pengejaran, meninggalkan si gendut yang masih terus
mengeluh dan meratapi giginya itu. Akan tetapi nona dan kudanya sudah lenyap.
Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tak dapat
menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap
ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah
percakapan para penduduk Ceng-tao.
Berita
tentang munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh
pula, yang setelah dengan mudahnya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap
begitu saja, membuat semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan
mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. Mana mungkin seorang gadis
muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai
menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau dia
bukan Dewi Laut?
Di dalam
kota itu ada sebuah kuil, yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun temurun
di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dulunya adalah para nelayan, Dewi
Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung
kaum nelayan. Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja
dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya.
Bahkan ada
dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu turun ke bumi
dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang
dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya.
Betapa pun
juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini
kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang
dewi menjadi marah lalu menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang
ganas. Bila mana sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah
karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu
bersumber dari kuil itu sendiri.
Tentu saja
para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat
penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan
serta rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Bila sudah begitu maka
berbondonglah orang-orang datang bersembahyang sambil memberi sedekah! Dan hal
ini amat perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan
dan biaya menjaga dan merawat kuil.
Mungkin
sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im
Posat. Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas
Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya
adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu
menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Sesudah turun temurun, maka
hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka.
Ketua nikouw
yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun
berjuluk Hai Cu Nikouw. Dia sengaja memakai julukan Hai Cu yang berarti Mustika
Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja.
Hai Cu
Nikouw ini bukanlah nikouw biasa yang lemah. Tidak, dia adalah seorang ahli
silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti
orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan
tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut.
Hai Cu
Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada
di luar kota. Suheng-nya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh
tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih lihai dari pada sumoi-nya.
Ketika
penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang
melakukan kegemparan dan para penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan
Dewi Laut, Hai Cu Nikouw juga mendengar cerita itu. Nikouw tua ini tersenyum
saja. Di dalam hatinya dia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu
hanyalah bohong belaka, walau pun dia sendiri adalah pemuja Dewi Laut. Dan kini
dia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan
Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw.
Ia pun tahu
bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga
bahwa tentu gadis kang-ouw itu telah diganggu sehingga mengamuk kemudian
menghajar mereka. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar
itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.
Pada
keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan tambah
menggemparkan. Apa lagi saat para penduduk menerima kabar dari para nikouw
penjaga kuil itu bahwa tadi malam patung Dewi Laut telah lenyap tanpa
meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itu pun tidak tahu kapan dan
ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat
pemujaannya.
Jangankan
penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri merasa amat terkejut dan heran saat
menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut sudah lenyap! Siapa
orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya
tak mungkin ada pencuri yang berani melakukan hal itu. Akan tetapi...
kenyataannya, patung itu memang lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut
telah menjelma menjadi gadis aneh? Ahh, tak mungkin!
Nikouw tua
itu segera menghubungi suheng-nya lantas mereka pun berunding. Hilangnya patung
Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan rasa penasaran dan marah.
Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata terhadap mereka,
atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw sehingga pencurian patung itu dapat
dianggap sebagai suatu tantangan.
"Tidak
mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias
patung itu. Maka jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku,
untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa
penasaran hatinya di depan suheng-nya.
Dia adalah
seorang wanita yang biar pun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak
segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang sangat cantik.
Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerutan, kedua
matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing,
agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin dengan kemampuan dirinya.
Tubuhnya
kecil namun agak tinggi, dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung
di punggungnya dan baru semenjak hari itulah dia selalu membawa sepasang pedang
itu, karena merasa bahwa dia ditantang orang.
Suheng-nya
menarik napas panjang. "Tenanglah, sumoi. Jika pencuri patung itu memang
benar menantangmu, kenapa hingga sekarang dia masih belum muncul? Apa maksudnya
mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan dia yang
mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah
gadis-gadis muda kang-ouw yang seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran
nama belaka."
Hwesio itu
telah berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia
memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai
tasbeh panjang tergantung pada lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di
meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat
dari baja disepuh emas. Di samping menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua
kuil, tongkat ini juga merupakan senjatanya yang ampuh.
Mereka
bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut. Hwesio tua itu mengunjungi
sumoi-nya, sesudah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu kemudian dihubungi
oleh sumoi-nya.
Keadaan di
kuil itu amat sunyi. Para nikouw sibuk berjaga-jaga karena patung itu lenyap
malam kemarin. Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi
murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur. Maka, malam ini mereka
tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran.
Tiba-tiba
keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih yang datangnya dari
arah atas, disusul suara orang mendengus serta mengejek. Thian Kong Hwesio dan
Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu sudah
meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan
sumoi-nya juga sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya cepat melayang
naik ke atas genteng dari luar ruangan.
Tampak
bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing
kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar
bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita,
dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat.
"Iblis
betina, engkau hendak lari ke mana?!" Hai Cu Nikouw membentak sambil
meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suheng-nya.
Akan tetapi
bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng
rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang
wanita.
Thian Kong
Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan
mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun
harus mereka akui bahwa ginkang dari bayangan di depan itu begitu hebatnya.
Kadang-kadang meloncat turun jika dikejar ke bawah, dan tahu-tahu dengan sekali
melesat sudah berada di atas genteng rumah lain.
Kejar-mengejar
terjadi beberapa lamanya. Dua orang pendeta itu merasa kaget dan heran bukan
main sebab setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa
mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Tiba-tiba bayangan itu meloncat
tinggi sekali lalu kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka
memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul
wanita aneh itu.
"Hemm,
hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian berdua benar-benar hendak menentang dan
melawan Dewi Laut?"
Hai Cu
Nikouw dan suheng-nya terkejut dan menjadi bimbang mendengar suara bentakan
yang mengandung wibawa itu,. Benarkah bayangan ini adalah bayangannya Dewi
Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, tetapi mereka bukan orang-orang
yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai
manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.
"Hemm,
kalian masih ragu-ragu? Apakah menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini?
Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?"
Hai Cu
Nikouw terkejut sekali sehingga dia langsung menjatuhkan diri berlutut. Dewi
Laut yang sejati atau pun bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian
yang hebat dan bagaimana pun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang
merugikan.
Melihat
sumoi-nya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru,
"Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan
Sian-li."
Bayangan itu
tertawa, suara ketawanya halus namun mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya
karena selain bulan sepotong kurang terang sinarnya, juga bulan itu berada di
belakang kepala bayangan itu sehingga wajahnya tertutup oleh kegelapan.
"Ha-ha-hi-hi-hi,
sekarang baru kalian menyembahku. Dengarkan baik-baik. Kepercayaan para
penghuni kota Ceng-tao kepadaku mulai berkurang, padahal akulah yang melindungi
mereka. Katakan pada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan
malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail,
berikut hidangan yang paling lezat dan semuanya masih panas untuk lima orang.
Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka
serta berwajah tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan
kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tadi tidak ditaati, bukan hanya
kuil ini yang kubakar, namun aku juga akan mendatangkan badai besar, agar ombak
menggulung habis kota Ceng-tao!"
Dua orang
pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka. Hati mereka memang merasa
gentar juga, walau pun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi
yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Sesudah suara itu
lenyap, mereka baru mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah
lenyap dari puncak menara!
Mereka
berdua memandang ke kanan kiri, tapi tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun
pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin
sehingga dua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka
menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang
begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui.
Mereka
berdua kemudian meloncat turun. Ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua
orang nikouw menyambut mereka dan salah seorang di antara mereka berkata,
"Subo...
patung... patung itu..."
"Ada
apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw.
"Patung
itu sudah kembali...!"
Mendengar
ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, ke ruangan pemujaan dan ia berdiri
terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu
sudah kembali di tempatnya!
Mereka
berdua, suheng dan sumoi itu, segera berunding di dalam ruangan.
"Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang
kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?"
Suheng-nya
menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Omitohud... semoga Thian
melindungi kita semua. Kita semua telah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang
Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi permintaan tadi
sungguh-sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat
yang diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan
kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi."
"Akan
tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..."
Suheng-nya
mengangguk-angguk. "Engkau tentu tahu alangkah banyaknya orang berilmu
tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang
sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa
curiga sekali, dan tak sepatutnya jika kita mentaati perintah yang begitu
keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan."
"Habis,
bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?"
"Kita
harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan
para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi
tantangan ini."
Pada
keesokan harinya, suheng dan sumoi itu pun pergilah ke kantor kepala daerah dan
melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan
alisnya. Bagaimana pun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya
diganggu penjahat. Maka dia pun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga
keamanan dan mereka segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk
menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu.
Atas usul
Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar
barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja mereka bukan pemuda biasa, namun
dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga
gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi.
Kamar di
menara itu adalah sebuah ruangan atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih
semedhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya
jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan
yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja.
Bersama
kepala daerah dan para perwira, suheng dan sumoi itu lalu memasang jebakan dan
mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga,
dan di sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian
Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara,
bersiap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara.
Dua orang
pemuda murid Thian Kong Hwesio yang nanti akan membawa barang-barang pesanan
penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya
dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar.
Malam itu
bulan lebih terang dari pada malam kemarin. Langit sangat cerah, akan tetapi
tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang sedang
bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang.
Walau pun
mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh
para perwira yang pandai, bahkan di dalam menara sudah terdapat pasukan pilihan
yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang sangat
lihai. Di samping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu
kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri dia
memikirkan kemungkinan ini, walau pun suheng-nya sudah menyatakan keyakinannya
bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut.
Setelah
malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana menjadi amat sunyi dan makin
menyeramkan. Suara seekor burung malam yang terbang di atas kepala mereka
sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang memiliki ilmu tinggi itu. Dalam
keadaan tegang, memang orang menjadi mudah sekali kaget.
Dua orang
pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke atas menara melalui anak tangga.
Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan
bersikap gagah, juga mengenakan pakaian indah. Dengan langkah tegap mereka
menaiki anak tangga.
Salah
seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidangan-hidangan yang masih
mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan
di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas.
Mereka sudah
mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang kini mereka
sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka
berjaga di atas genteng menara, dan bahwa di situ juga banyak terdapat
penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja
mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa
yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.
Jantung
mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan
hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang dengan mudah
terbuka karena memang tak terkunci. Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih
berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis.
Mereka
berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada
di sana. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu,
meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala
di sudut ruangan itu hampir padam, seorang di antara mereka lalu menyalakan
sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang.
Agaknya
sinar terang di kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak
datang. Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan
Hai Cu Nikouw yang sedang berjaga di atas genteng hanya melihat berkelebatnya
bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung
yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil
menanti dengan waspada.
Akan tetapi
bayangan yang berkelebat amat cepat tadi ternyata bukan burung, melainkan bayangan
dari sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat
dengan cepatnya lantas bersembunyi di balik wuwungan menara. Cahaya lilin besar
yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan
karena memakai topeng hitam yang memiliki lubang-lubang kecil memperlihatkan
sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil serta mulut yang bibirnya
lebar dan amat merah. Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya atau pun berapa
usianya.
Agaknya dia
tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi
banyak penjaga yang terus mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang
tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak
tangga. Akan tetapi baru saja dia meletakkan kakinya pada anak tangga pertama,
tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga sudah
bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka.
Melihat
senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara
mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak kaget sama sekali dan bibir yang
merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan
besar-besar.
Tiba-tiba
kedua tangannya bergerak, maka benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah
enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit lalu seorang
demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan
berkelojotan dalam sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh
sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya.
Jeritan-jeritan
ini tentu saja menarik perhatian, lantas nampaklah bayangan banyak orang
berlari-larian dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa ada
seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga
yang bertugas menjaga di sana telah roboh berkelojotan semua, Hai Cu Nikouw dan
suheng-nya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk ke situ tanpa
mereka ketahui?
"Iblis
jahat, terimalah hukumanmu!" bentak Hai Cu Nikouw.
Sambil
membentak dia menerjang ke depan, mempergunakan sepasang pedangnya yang jarang
sekali keluar dari sarungnya itu. Dua cahaya putih berkelebat menyilang dan
titik pertemuan silangan ini adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan
kepalang serangan nenek pendeta ini.
"Cringgg...!"
Sepasang
pedang itu saling serempet sendiri, namun leher yang menjadi sasaran sudah
tidak berada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih
cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di
balik kedoknya.
"Hemm,
kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar
habis!"
Thian Kong
Hwesio sudah ikut menerjang pula dengan mempergunakan tongkat bajanya. Wanita
berkedok itu pun cepat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala,
kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan
untuk merobohkan enam orang penjaga.
"Wuuuttt...!"
Tiga batang
jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah
Hai Cu Nikouw. Akan tetapi kedua orang pendeta ini tidaklah selemah para
penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan
lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangannya dan melihat
berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping sehingga terhindar
dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari
kanan kiri.
"Singgg...!"
Wanita itu
menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya, lantas nampaklah sebatang pedang
berkilauan di tangannya. Begitu dia menggerakkan pedang menangkis, serangan
kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua cepat melangkah
mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka
merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata
masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata
pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu.
Kembali
mereka menerjang, tetapi sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan
menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya sangat
ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu telah
terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya sangat aneh
dan ganas itu. Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu langsung merasa lega
ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan
mengeroyok si wanita iblis.
Wanita
berkedok itu kini terdesak dan dia pun mulai memaki-maki dengan kata-kata
kotor. Hal ini semakin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoi-nya bahwa
tidak mungkin jika wanita berkedok ini merupakan penjelmaan Dewi Laut yang
berbudi mulia itu. Mereka pun menyerang dan mendesak dengan sengit.
Karena
sekarang dikeroyok oleh banyak orang, wanita berkedok yang sedang terdesak itu
meninggalkan bawah anak tangga lalu menuju ke ruangan yang tak jauh dari situ,
sebuah ruangan yang luas di mana dia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa.
Wanita itu
memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau tidak
dikeroyok sampai delapan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan,
karena mereka yang membantu kedua orang pendeta itu adalah para perwira, maka
belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Dia telah berusaha untuk menyebar
jarum-jarumnya, akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat
dirobohkan dengan senjata rahasia.
Baiknya para
prajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya, sesudah
empat prajurit yang ikut-ikutan maju akhirnya roboh dan tewas oleh pedangnya.
Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak
berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira.
Kini wanita
berkedok itu mulai merasa kerepotan dan mencari-cari jalan keluar yang telah
tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi dia kerepotan itu, mendadak
terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.
"Ha-ha-ha,
sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"
Terjadi
kekacauan di dekat pintu dan nampak enam orang anggota pasukan roboh mandi
darah, disusul kemunculan seorang kakek yang usianya sudah hampir enam puluh
tahun. Kakek ini bertubuh tinggi besar, mukanya membayangkan kekasaran. Matanya
lebar dan bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak terlihat akibat
tertutup kumis dan jenggot. Pakaiannya juga terbuat dari kain kasar sederhana,
dan sepatunya butut.
Kakek ini
membawa sebatang pecut panjang, tetapi ketika membobol kepungan pasukan dari
belakang tadi, dia merobohkan enam orang prajurit itu hanya dengan
cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang bagaikan tangan baja itu. Sekali
cengkeram saja, maka pecahlah kepala orang-orang itu dan mereka pun roboh
berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan!
Meski pun
kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, akan tetapi melihat betapa dia
membunuh enam orang prajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek
ini pun bukan orang baik-baik dan bukan pihak kawan. Maka mereka pun
menyambutnya dengan serangan senjata mereka.
Terdengar
bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya, dan
robohlah salah seorang di antara enam orang perwira itu. Dahinya, di antara
kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan dia pun tewas seketika. Kiranya
pada ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda seperti paku yang terbuat
dari baja dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu.
Tentu saja
keadaan menjadi geger dan kini perkelahian menjadi semakin sengit di mana nenek
berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena
ditinggalkan oleh enam orang perwira tapi kini tinggal lima orang, karena
hendak mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa
menghadapi nenek iblis itu berdua saja sehingga mereka segera terdesak hebat.
"Kakek
hina-dina, aku tak butuh bantuanmu!" Sambil terus menyerang, berkali-kali
nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.
"Nenek
cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka
ini!" kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula.
Karena
saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya
mengamuk semakin hebat. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, akhirnya lima
orang perwira itu pun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong
Hwesio dan Hai Cu Nikouw pun terdesak, bahkan sudah menderita luka-luka yang
cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis!
Pasukan yang
mengepung melihat atasan mereka sudah roboh semua. Mereka berusaha untuk
mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan
nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio serta
sumoi-nya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa
pasukan itu pun segera lari cerai-berai!
Kini tinggal
si nenek iblis dan kakek lihai itu yang berdiri saling berhadapan, dan dengan
senjata di tangan, wajah mereka masih nampak beringas. Belasan mayat bergelimpangan
di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.
"Koai-pian
Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak
membutuhkan bantuanmu!" Nenek iblis itu membentak.
Dengan
tangan kiri kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang
kasar dan hitam, mengusap keringatnya. "Hwa-hwa Kui-bo, dalam keadaan kita
ditentang oleh golongan putih, engkau masih begini congkak terhadap orang
segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"
"Tua
bangka hina, mampuslah kau!" Nenek berkedok itu pun segera menyerang
dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.
"Cringgg....!
Tranggg...!"
Cambuk itu
bergerak lantas gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan
amat kerasnya sehingga keduanya bertindak mundur tiga langkah.
"Kui-bo,
musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu padu untuk
menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau memang perlu lain
kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di
menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tak boleh terlampau
menghamburkan tenaga, ada pun dua orang pemuda sekaligus tentu dapat
menghabiskan tenagamu, padahal kita akan memerlukannya dalam hari-hari mendatang
ini. Bagaimana? Apakah kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan
musuh-musuh kita mentertawakan kita?"
Nenek itu
nampak bimbang dan akhirnya ia mendengus. "Huh, enak saja, aku yang susah
payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!" Akan tetapi sambil
berkata demikian, dia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan
menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
tadi aku pun sudah turut bersusah payah, maka sudah sepatutnya kalau aku
mendapatkan bagianku pula." Kemudian dia pun melangkah lebar menyusul
nenek iblis itu menaiki anak tangga.
Dapat
dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di
dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat
hebat itu dan melihat alangkah lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka
melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri.
Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tak mampu mengalahkan
nenek iblis itu, apa lagi mereka! Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek
yang demikian lihainya.
Biar pun
demikian, sebagai pemuda-pemuda yang semenjak kecil digembleng kegagahan oleh
guru mereka, dua orang muda itu menanti kedatangan kakek dan nenek iblis dengan
pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan
kiri. Begitu Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka
melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan
sambitan piauw mereka!
Akan tetapi
sedikit pun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kagetnya. Hanya
dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya sudah mampu menyampok runtuh
dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah lantas menancap ke atas lantai
kamar menara yang berbuat dari papan tebal. Kini kedua orang pemuda itu
menyerang dengan pedang mereka secara nekat.
"Ha-ha-ha-ha,
kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat sekali!" Koai-pian Hek-mo
tertawa dan dia pun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa
gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda
yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar ke dalam rangkulannya.
Pemuda kedua
yang menyerang Hwa-hwa Kui-bo juga mengalami nasib yang sama pula. Pedangnya
terpukul jatuh dan dia pun ditotok kemudian dirangkul dan dipondong. Sambil
tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo telah memondong pemuda tawanannya menuju ke
dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kui-bo juga
membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke
arah lilin besar yang seketika menjadi padam.
"Ha-ha-ha,
Kui-bo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!" kakek iblis itu
mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari
luar tak terdengar apa-apa lagi.
***************
Sementara
itu, kepala daerah menjadi terkejut dan marah sekali saat mendengar laporan
tentang kegagalan pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil
Dewi Laut. Dia segera memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim
pasukan baru dan membantu kawan-kawan mereka.
Sesudah
mengobati luka-luka mereka, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw juga turut
membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara
itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah
dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apa pun dari luar.
Pada saat
para perwira membuat gerakan yang memerintahkan anak buahnya menyerbu menara,
Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Jangan
sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar dan mereka itu
lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar
nyawa saja. Biar kita kepung saja dan menanti sampai mereka keluar, baru kita
serbu dan keroyok."
Karena sudah
melihat bekas tangan dua orang iblis yang sangat lihai itu, para perwira lalu
mentaati nasehat Thian Kong Hwesio sehingga mereka kini hanya mengepung menara
itu dengan penjagaan yang ketat sekali. Pasukan anak panah dipasang di sayap
kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dan dari depan berjaga pasukan
sepasang golok, lalu dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semuanya telah
diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penjahat itu hendak keluar, maka mereka
harus menghadapi pengepungan rapat yang pasti akan amat sukar mereka lalui.
Thian Kong
Hwesio sendiri berulang-ulang menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan
keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong
mereka, pihak musuh terlalu lihai, Maka diam-diam dia pun mengerutkan alisnya,
mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan
sekarang dengan beraninya menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan
saja di dalam tanpa peduli akan kepungan pasukan penjaga keamanan.
Di dunia
kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah sangat terkenal. Tiga belas
orang manusia dari golongan hitam atau kalangan sesat ini merajalela di seluruh
penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam. Akan tetapi karena
mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri, dan hanya mengandalkan
murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama
mereka saja yang dikenal. Akan tetapi jarang ada orang pernah berjumpa dengan
mereka. Maka tidak mengherankan jika Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan
serta pengalamannya di dunia kang-ouw itu pun tidak mengenali dua orang iblis
ini.
Koai-pian
Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kui-bo (Biang Iblis Boneka) adalah
dua orang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo
karena memang mukanya kasar dan hitam, sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa
yang bisa diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang
dia adalah seorang wanita petualang yang suka mempermainkan pemuda-pemuda
tampan, terutama yang masih perjaka. Tentu saja hal ini dilakukannya dengan
paksaan!
Koai-pian
Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat dia
pun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita! Karena
sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi sebuah
persaingan di antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo.
Pernah
beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan, bahkan mereka sempat
pula berkelahi mati-matian. Tapi tingkat kepandaian mereka terlampau seimbang
sehingga di antara mereka belum pernah ada yang kalah mau pun menang. Dan
karena mereka adalah tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara
Sungai Kuning, maka mereka sering berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka
itu merasa masih persaudara dalam kesatuan Cap-sha-kui saja maka sampai
sedemikian jauhnya mereka belum saling membunuh.
Dengan
gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira
terus menjaga dan mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat
tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara.
Menjelang
pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoi-nya dengan kaget melihat berkelebatnya
sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggota
pasukan bersiap.
Dua orang
pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua
orang jahat itu keluar dari menara, tetapi mengapa kini ada bayangan berkelebat
dan agaknya malah menuju ke menara? Dan bagaimanakah bayangan ini bisa melalui
semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan merasa
bingung, juga ngeri karena melihat kemunculan demikian banyak orang yang
memiliki kepandaian begitu hebat.
Tiba-tiba
saja para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang
keluar dari dalam menara, bahkan kini ada cahaya lilin menyala di dalam kamar.
Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan
gerakan yang amat cepatnya!
Apakah yang
sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggota
Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka lantas saling berhantam sendiri?
Sama sekali tidak demikian!
Tadinya
keadaan di dalam kamar masih gelap dan sunyi, seakan-akan orang-orang yang
berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara
perlahan diikuti daun pintu terbuka dari luar, lalu tampak sesosok bayangan
menyelinap masuk dan terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara
mengejek.
"Huhh,
tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian ini sungguh
terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"
Yang
pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo, maka terdengar
suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut sambil menyambar ke arah
datangnya suara wanita yang membentak mereka tadi. Akan tetapi, sebelum
mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja
Koai-pian Hek-mo menjadi terkejut sekali.
"Siapa
kau...?!" bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.
Di dalam
kegelapan itu agaknya Hwa-hwa Kui-bo mampu menangkap gerakan serangan cambuk
tadi dan juga dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal, maka dia pun
menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun segera menyambar ke arah
suara ketawa wanita itu.
Akan tetapi
terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semuanya ke atas
lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah berhasil menangkis semua jarum itu
di dalam gelap! Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat-cepat menyalakan
api dan tidak lama kemudian lilin besar di sudut itu pun sudah bernyala hingga
sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan.
Dua orang
tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri lantas memandang dengan heran ketika
mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah
seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan! Seorang
gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut
dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum
senyum mengejek.
Tentu saja
mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka
berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, namun tidak suka bahkan
membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini mereka pun memandang dengan
sinar mata penuh kemarahan kepada gadis itu.
Melihat
bahwa yang datang hanya seorang gadis remaja yang sempat membuat mereka
terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini
lalu tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap lagi
Hwa-hwa Kui-bo telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu ada
pun tangan kirinya segera membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala lawan!
Sungguh
merupakan serangan gabungan yang hebat bukan main, apa lagi bagi seorang dara
remaja seperti itu. Biar pun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa
cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya dari pada tusukan
pedang.
Akan tetapi,
nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu di antara kedua tangannya yang
melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, langsung berteriak kaget
sesudah melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan
tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu
disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.
"Plakkk!"
Dan tubuh
nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku
seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!
"Ihhh...!"
Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang dia merasakan akibat yang
demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apa lagi
lawannya ini hanyalah seorang bocah!
Maklum bahwa
bagaimana pun juga dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat,
Koai-pian Hek-mo lalu menggerakkan cambuknya yang meledak dan menyambar secara
bertubi-tubi, sekali bergerak langsung mematuk ke arah tiga jalan darah di
bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.
"Ting-ting-cringggg...!"
Tiga kali
ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental, dan yang ketiga kalinya bahkan
terpental keras lalu menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu
saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali sehingga cepat menarik kembali cambuknya
agar paku pada ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri.
Kini dua
orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati mereka pun
menyerang dari kanan kiri. Namun dara itu melayani mereka dengan tangan kosong
saja! Demikian ringan gerakan tubuhnya, laksana sehelai bulu saja yang sukar
sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka
sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi.
Dua orang
tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenali gerakan sang dara. Akan
tetapi, gerakan dara itu aneh bukan main. Mirip-mirip dasar gerakan ilmu silat
dari Siauw-lim-pai, namun ada pula unsur gerakan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan
bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar bagai dicampur aduk
menjadi satu! Selain kecepatan gerak, yang amat hebat adalah tenaga yang
terkandung dalam kedua tangan yang kecil halus itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment