Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 02
DARA itu
jelas jauh lebih lihai dari pada kedua orang lawannya, akan tetapi agaknya dia
memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Dia sengaja mempermainkan
dua orang yang dia tahu sedang menyelidiki gerakan-gerakannya itu, lantas
sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan ketika balas menyerang dia
menggunakan cara memukul seperti anak-anak yang tidak pernah belajar silat
sehingga kelihatan lemah, akan tetapi dengan diam-diam dia mengerahkan
sinkang-nya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya.
Dikatakan
kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi jika dinamakan lemah,
nyatanya pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat
ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya.
Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawannya itu, akan tetapi juga
bingung bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan
balasan itu.
Bagaimana
pun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah
dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang di antara Cap-sha-kui yang memakai
senjata ampuh andalan mereka masing-masing. Karena itu, akhirnya dara ini pun
merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya.
Tiba-tiba
saja dia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek, lalu tahu-tahu
dengan jari telunjuknya dia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah
lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan
serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Nenek yang
mukanya disambar ujung cambuk itu tentu saja menjadi terkejut bukan main.
"Gila
kau...!" bentaknya kepada kawannya karena dia mengira bahwa kawannya itu
salah sasaran. Sebaliknya, kakek itu pun kaget dan cepat menarik cambuknya.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang. Tangannya meluncur ke
arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kui-bo, ada pun kakinya menendang atau menyepak
ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya.
Serangan itu
amat cepat gerakannya dan pada waktu kedua orang iblis itu meloncat untuk
menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di
atas, tangan kirinya menunjang badan. Sekarang tiba-tiba saja dia melanjutkan
serangannya dengan tubuh terbalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala
Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa
Kui-bo! Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan
yang jauh lebih kuat dari pada tadi, sehingga meski pun kedua orang iblis itu
berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang,
terhuyung-huyung dan hampir roboh!
Melihat
kehebatan serangan ini, wajah mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando,
keduanya langsung meloncat keluar dari menara itu, menggunakan ginkang mereka
yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut
itu.
Dara muda
itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda
yang berada di sudut kanan dan kiri, sekilas pandang saja, lalu dia membuang muka
dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut.
Kedua orang
pemuda itu ternyata sudah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya,
keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu
dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Oleh karena dua orang
lawannya sudah melarikan diri, dara itu pun lalu meloncat keluar dari pintu
kamar menara.
"Iblis
betina, hendak lari ke mana kau?" Terdengar bentakan-bentakan dan
serombongan anak panah menyambutnya dari samping!
"Ehh,
gila...!" Dara itu berseru.
Akan tetapi
karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya itu tak
mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa dia melempar diri ke
belakang lantas bergulingan. Dia lupa bahwa dia bukan sedang berada di atas
tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara kuil, maka tentu saja susunan
genteng yang tidak rata itu membuat dia terguling-guling kacau dan
genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah dia moloncat bangun, dia
sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!
"Eh,
eh, bagaimana ini?" teriaknya akan tetapi dia pun harus cepat mengelak ke
sana sini karena para prajurit itu tidak mau banyak cakap lagi.
Semua orang
mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang sudah menyamar sebagai Dewi
Laut. Apa lagi ketika beberapa orang di antara mereka mengenali gadis ini
seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang sudah mengacau
di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis
betina itu.
Repot
jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apa lagi karena dia
tidak ingin melukai mereka, apa lagi membunuhnya. Dengan gerakan amat lincah
dia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan
beberapa orang namun tanpa mendatangkan luka berat.
Kalau
kemarin dulu dia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal
itu adalah karena si gendut bersikap terlalu kurang ajar kepadanya. Kini dia
tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka
itu salah duga dan mengira dialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu.
Pada saat
para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba
masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya
masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan.
Tidak lama
kemudian pintu kamar itu terbuka dari dalam, lalu muncullah seorang pemuda
tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka tidak
jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong
Hwesio, "Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"
Akan tetapi
pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu di antara
dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang
lengah, meloncat lantas melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di
depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti
pagi namun masih amat gelap itu. Barulah Thian Kong Hwesio sadar bahwa yang
disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan
pakaian muridnya itu!
Para perwira
memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran cepat dilakukan akan
tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana
gadis itu menghilang.
Sementara
itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara. Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang sudah
menjadi mayat itu. Semua hidangan yang dibawa oleh dua orang pemuda itu telah
habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat
dibawa pergi penjahat.
***************
Sementara
itu, dalam sebuah hutan yang terdapat di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan
Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.
"Dasar
engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu mengomel.
"Kalau memang engkau ketagihan pemuda, mengapa tidak menangkap saja
beberapa orang lalu membawa mereka ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa
harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"
Wanita itu
kini sudah menanggalkan kedoknya dan jika orang melihat mukanya pada saat itu
baru mereka akan tahu kenapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi
kanannya terdapat codet atau luka bekas guratan yang dalam dan panjang hingga
membuat muka itu tampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa
Kui-bo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.
"Cih,
tak tahu malu! Engkau sendiri juga ikut menikmatinya, sekarang ingin
menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"
Kakek itu
menghela napas panjang kemudian melambaikan tangannya dengan hati kesal.
"Sudahlah, jangan bicara lagi mengenai kepandaian. Kau kira kita ini
memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja
tak becus mengalahkan dia!"
Ucapan ini
membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya
tetapi nampak termangu-mangu. "Aku masih heran, siapakah gerangan bocah
setan yang mempunyai kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku
sama sekali tak dapat mengenali ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."
"Aku
sendiri pun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu
mukjijat dari Pendekar Sadis..."
"Ehhh...!"
Wanita itu hampir menjerit saat mengeluarkan seruan itu. Bagaimana pun juga,
sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.
"Mungkin
juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat
tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh
bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Dia tentu puteri atau murid
seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu
karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita
sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"
Wanita itu
mengangguk-angguk. "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki
kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau benar mereka
mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan
datang?"
"Kurasa
demikian. Bahkan datuk-datuk kita pun kabarnya akan muncul, untuk melakukan
penyelidikan sendiri."
"Benarkah
begitu? Aihh, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu,
semakin congkak dan takabur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu
golongan kita dianggap golongan tahu dan sudah tidak mempunyai jagoan-jagoan
lagi." Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan dua tinjunya, ada pun sepasang matanya
mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.
"Kalau
mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita sedang menjadi
buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil
menunggu kedatangan para sahabat kita. Bagaimana pun juga, tentu akhirnya
mereka semua akan berdatangan ke bukit itu pula."
Wanita itu
mengangguk. Mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke
utara.
***************
Pada
keesokan paginya, di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai
seperti biasa, seakan-akan malam tadi tidak pernah terjadi sesuatu. Akan
tetapi, di sela-sela percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula
orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran
yang menewaskan belasan orang prajurit keamanan.
Maka
bermacam-macamlah pendapat orang tentang peristiwa itu. Yang kepercayaannya
terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semuanya
itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil serta
para prajurit.
"Kalau
bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita yang dapat menghindarkan diri dari
kepungan para prajurit?"
"Dan
kabarnya, wanita itu hanya tertawa saja pada waktu dihujani anak panah!"
Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.
Biar pun
urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar
ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan memperoleh untung
sebanyak-banyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan.
Ada yang
secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, masih di
pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang
telah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang
melekat di badan itulah.
Ada pula
orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat berharga mahal di
restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak peduli akan pandang mata yang
disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ
dengan perut kosong menanggung lapar.
Sekelompok
anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran
ke tempat sampah. Sejenak sang pelayan itu berdiri sambil menonton anak-anak
jembel memperebutkan sisa makanan bagai sekelompok anjing kelaparan berebut
tulang. Tentu saja sisa-sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah
sesudah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada
anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.
Ada jembel
tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua
pengemis yang bekerja bermodalkan suara mengharukan untuk minta dikasihani.
Kadang-kadang tampak ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu,
makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini.
Ia adalah
seorang raja kecil kaum pengemis di pasar itu yang melindungi para pengemis.
Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu
membagi hasil kepadanya. Ada pula yang terlihat bermalas-malasan karena telah
memperoleh hasil mengemis dan perutnya sudah kenyang. Pekerjaan yang sangat
mudah itu benar-benar membuat mereka menjadi malas.
Ada pula
seorang ibu pengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik
perhatian dan belas kasihan dari orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu
sudah mati dan kini dia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis
lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi
kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lainnya.
Akan tetapi,
sebagian besar dari pada mereka yang berada di pasar itu, baik para penjual mau
pun para pembeli, telah terbiasa dengan pemandangan ini dan tidak mempedulikan.
Mereka melihat banyaknya pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pasar, dan andai kata pada suatu hari tidak ada seorang pun
pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin
akan merasa kehilangan.
Di antara
orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda
jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang
ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang sedang menangis sambil
berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.
"Mereka...
mereka memukulku...!" rengek adiknya.
"Sudahlah,
mereka pun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biarlah aku
yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah...," kakaknya menghibur.
Tanpa terasa
lagi, jembel muda yang sedang nongkrong itu mengusap air matanya yang menetes
turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang
kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel
ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya
yang butut, dan dengan sepasang mata masih basah dia berkedip-kedip dan
tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia
menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali
sedang memanaskan bakpaonya.
Aroma sedap
keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul. Pemuda jembel itu
menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke
arah bakpao-bakpao yang bulat putih dan panas beruap itu.
Melihat ada
seorang pemuda jembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut
gendut segera menghardik, "Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!"
"Toapek,
aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia
menyodorkan uang logam kecil yang ada di telapak tangan kanannya. "Aku mau
beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."
Si gendut
cepat memandang, tapi begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia
mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang
sipit coba dibelalakkan.
"Setan
cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima
butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!"
Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah
pemuda jembel itu.
Pemuda
jembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap yang mengejek
sekali. "Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu akibat kebanyakan
untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"
Tentu saja
penjual bakpao itu menjadi marah sekali. "Apa kau bilang? Ke sini kau!
Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"
"Coba
saja kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa
engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau
pakai jadi isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu
rendah!"
Tentu saja
si tukang bakpao menjadi semakin marah. Cepat dia menyambar pisau besar
pencacah daging bakpao, kemudian dia pun keluar dari kedainya melakukan
pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek
memanaskan hati. Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan
setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut
sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan
memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu
dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak jembel yang berada di
dalam pasar.
Ketika si
gendut kembali ke kedainya lantas mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya
hilang, jembel muda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal saat melihat
anak-anak jembel makan bakpao demikian lahapnya sampai leher mereka tercekik.
Ketika tertawa, nampak deretan gigi-gigi putih dan bagi mereka yang pernah
melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah
muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula
sebagai gadis aneh di pintu gerbang!
Melihat
bakpao yang tadi dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu nampak masih
belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan dia
pun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu
dari belakang, lantas mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah
kiri si gendut itu.
Dia tidak
tahu bahwa semenjak tadi gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata tiga orang
lelaki setengah tua. Ketika dia kembali memegang sebuah bakpao yang masih
terlampau panas, dia terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya
karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari
belakang!
Si gendut
tukang bakpao menoleh. Melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada di situ
sedang membawa beberapa buah bakpao dan sekarang kedua lengannya dipegangi oleh
dua orang seperti menangkapnya, dia pun menjadi marah. "Nah, ini dia
maling bakpaoku!" Dan dia pun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda
jembel itu.
"Dukkk!"
Salah
seorang di antara tiga orang laki-laki itu menangkis tamparan si gendut,
membuat si gendut menyeringai kesakitan.
"Jangan
sembarangan memukul!" hardik salah seorang di antara mereka. "Kami
adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi
pembersihan!"
Mendengar
bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak
berani banyak cakap lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang.
Memang bukan hanya dia. Siapa pun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan
dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah.
Petugas
keamanan amat ditakuti rakyat. Mereka dianggap sebagai golongan yang hanya
mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tak dapat
dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari.
Perasaan
seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara mana pun juga
selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaan dari pada
kewajibannya, membuat mereka menjadi para penindas dan pemeras yang bermodalkan
kekuasaan dan kedudukan mereka.
Pemuda
jembel itu pun yang tadinya mengerutkan alis dan bersikap melawan, sekarang
menjadi lunak, apa lagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman
mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah
petugas-petugas keamanan yang menyamar.
Dan dia pun
melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jembel dan gelandangan yang
ditangkapi. Sebab itu dia pun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu,
bersama tangkapan-tangkapan lainnya menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung
seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan.
Tentu saja
pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya
peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan
penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat
dan mendatangkan rasa malu. Karena itu dia pun memerintahkan seluruh anak
buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai
untuk ditanya mengenai penjahat-penjahat malam tadi, terutama tentang gadis
yang pakaiannya seperti orang gelandangan.
Yang
ditangkapi adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga
orang-orang yang patut dicurigai. Akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang
jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar.
Bersama
dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh
orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang
jalan mereka menjadi tontonan orang maka sebentar saja tersiarlah berita bahwa
para petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.
Maka
terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan itu, dilakukan di dalam gedung
yang terletak di dalam daerah markas pasukan keamanan. Komandan keamanan
sendiri yang langsung turun tangan melakukan pemeriksaan dengan keras.
Dia seorang
komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap
galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan
murung, membuatnya menjadi semakin galak laksana harimau haus darah.
Pemeriksaan dilakukan satu demi satu dan dengan kekerasan sehingga banyak di
antara para tawanan harus menderita gebukan atau cambukan yang dilakukan bukan
hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan
hati dendam yang hendak ditumpahkan.
Tukang-tukang
siksa yang sudah siap dan berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah
gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa
sampai mengaku atau mampus! Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali
ada tawanan yang dibawa masuk, segera disusul oleh bentakan-bentakan,
pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat
hati para tawanan lainnya yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan,
sehingga belum juga diperiksa tapi sebagian telah menangis ketakutan.
Diam-diam
pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya menyelinap, dan
tahu-tahu dia telah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir
yang akan diperiksa. Ketika dia dibentak dan tangannya diseret oleh seorang
petugas untuk dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berkelebat
bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan
kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu sudah bergantung
dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung
ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena
jendela ini adalah lubang angin. Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani
bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.
"Siapa
penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya?
Siapa pula teman-temannya dan kenapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh
para petugas keamanan? Hayo ceritakan semuanya kalau engkau tidak mau dirangket
sampai pecah-pecah kulit punggungmu!" Komandan itu menghardik dan matanya
yang besar itu seperti hendak meloncat keluar.
Ia sudah
terlalu lelah dan pemuda jembel ini adalah orang terakhir yang diperiksanya.
Dia telah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya,
tak akan dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal
bukan main dan dia ingin menumpahkan semua kemarahannya pada pemuda jembel
bertubuh kecil yang wajahnya berseri-seri dan cengar-cengir ini.
"Tidak
tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil
menggeleng kepalanya.
Seorang di
antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, lalu berkata kepada sang
komandan, "Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."
Komandan itu
mengerutkan alisnya. Hampir dia membentak marah kepada bawahannya, mengapa
pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan
kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia pun menghardik, "Bagus!
Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"
Pemuda
jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih,
"Nama saya Cin..."
"Hanya
Cin saja?"
"Hanya
Cin saja."
"Apa
she-nya (nama marganya)?"
"Sudah
lupa."
"Brakkk!"
Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang
lupa she-nya sendiri?"
"Tapi
saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."
"Hemm,
baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"
"Jembel?
Apakah itu, tuan besar?"
"Jembel!
Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."
"Sejak
lahir."
Sepasang
mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu
orang yang telah diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan
jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.
"Sejak
lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Hayo mengaku
terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"
"Rumahku?
Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"
Jawaban ini
kembali membuat semua orang tertegun hingga komandan itu sendiri bangkit dari
kursinya sambil mengepal tinju. "Engkau minta dipukul? Jawab yang
benar!"
Wajah pemuda
jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi.
Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa
takut.
"Saya
tidak berbohong. Gedung ini pun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal
di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di
empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat
tinggalku..."
"Setan!
Kau mau main-main?"
"Tidak,
tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah
lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku,
dan..."
"Cukup!"
Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi, lantas
mengusap peluh dari dahinya.
Dia melirik
ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk
ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini
menderita penyakit miring otak.
"Jadi
engkau adalah seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke
mana-mana. Nah, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil
Dewi Laut, bukan? Hayo mengaku!" Komandan itu memberi isyarat dan dua
orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.
"Aku
tahu... aku tahu..." Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang
siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.
"Bagus
sekali!" Wajah komandan itu berseri-seri. Akhirnya berhasil juga
pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo engkau katakan yang jelas siapa mereka
itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian
dan uang."
"Aku
tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, kemudian
membunuh-bunuhi orang-orang yang dosanya terlalu banyak. Jadi yang mengacau
adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah
yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."
"Brakkk...!"
Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya.
"Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"
Dua orang
algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini
berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan
seorang di antara mereka menghardik,
"Buka
bajunya!"
"Jangan...
ahh, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru
dan kini suara aslinya keluar, suara seorang gadis!
Dua orang
algojo itu tertegun, cepat melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga
komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.
"Perempuan...?
Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu...
aughhh...!"
Tiba-tiba
komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas
kursi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa
kepalanya seperti akan meledak dan pening bukan main. Dia memejamkan mata dan
menggerakkan tangan kepada para pembantunya.
"Bawa
dia pergi... tahan dia di dalam sel... dia orang penting, besok pemeriksaan
akan kulanjutkan, kepalaku pusing..."
Para
prajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu
dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang
sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga
ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa
Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu.
Dengan
wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, sekarang dia sengaja membiarkan dirinya
ditawan dan diperiksa, walau pun kalau dia menghendaki maka setiap waktu dapat
saja dia meloloskan dirinya. Kini dia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke
dalam sel yang amat kuat dan dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri.
Semua ini
sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi dia melihat bayangan
pemuda gagah yang bergantung di luar jendela. Dan dia melihat pula ketika
pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat
pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening
yang hebat.
Dia merasa
amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui
apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka dia sengaja
membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Dia pun lantas
menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang
nampaknya lihai itu dan apa pula maunya.
Para pembaca
sendiri tentu sudah bertanya-tanya sambil menduga-duga siapa gerangan dara
remaja yang aneh ini, yang kadang berpakaian laksana seorang gadis ugal-ugalan
atau memang dia berwatak ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai
seorang pemuda jembel.
Siapakah dia
dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda dia, usianya
baru antara lima belas dan enam belas tahun, tetapi sudah demikian lihainya
sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa
Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia
kang-ouw itu?
Kelihaian
dara remaja ini tidaklah mengherankan apa bila kita ketahui siapa sebenarnya
dia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum
pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga.
Pendekar
Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayah
kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis mempunyai ilmu kepandaian
yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan
luar biasa. Bahkan dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu
yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in
Kun-hoat, bahkan Thi-khi I-beng yang sangat mukjijat itu sudah dikuasainya.
Dia mewarisi
pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan
Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi
pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata. Untuk
memperlengkap semua ilmunya, dia sudah pula mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari
kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang hanya
terdiri dari delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga
sakti berjungkir balik.
Sebagai
puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu
dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan
tetapi, dara remaja yang amat berbakat ini menjadi makin lihai karena ibunya
pun seorang yang lihai sekali, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat
dan hanya berselisih sedikit saja kalau dibandingkan dengan ayahnya.
Ibunya
bernama Toan Kim Hong, juga memiliki darah bangsawan karena ayahnya adalah
seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan
bahkan dahulu sudah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan
julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama
sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Ginkang-nya amat
tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, dia masih mengalahkan suaminya.
Ilmu
silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain
ilmu silat tinggi ini, juga dengan sinkang-nya yang kuat, dia pandai bermain
silat Bian-kun dan tangannya dapat berubah lunak seperti kapas, namun
mengandung tenaga mukjijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang tampaknya kuat.
Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, namun lebih berbahaya lagi
adalah rambutnya. Dia bisa mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang
dapat merampas senjata lawan!
Demikianlah
sedikit perkenalan dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin beserta isterinya, Toan
Kim Hong atau dulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya memiliki
seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama
Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekar Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan
isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan sangat cantik seperti
wanita berusia tiga puluhan saja.
Sebagai
puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidak mengherankan
jika dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah
manusia-manusia bebas, maka ia pun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia
diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa
kesadaran tentang hidup yang sudah ditanamkan semenjak kecil kepada puterinya
itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada
akan segala hal yang terjadi, baik di dalam mau pun di luar dirinya.
Akan tetapi
karena pada waktu muda mereka, Ceng Thian Sin mau pun Toan Kim Hong adalah
petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh
Sui Cin. Dia suka bertualang serta menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan
dan tidak peduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, dia tetap
seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang
penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas.
Di dalam
perantuannya yang telah memakan waktu tiga bulan itu, dia tiba di Ceng-tao dan
dia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw
bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang
suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih.
Ayah
bundanya sendiri tak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan
bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia
kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan dia belum pernah berjumpa dengan
para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya. Hal ini
adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh
bersih itu merasa segan mendekatinya.
Biar pun
usianya masih amat muda, Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa
ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi dapat disebut
tokoh hitam pula karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam
secara berterang.
Dan
diam-diam dia pun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri
mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan
kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa
benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri.
Pendekar
Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi
pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka
bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka
yang menjadi pelayan atau anak buah.
Sejak kecil
Sui Cin hidup sebagai anak kaya. Akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu
sehingga di dalam perantauannya dia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Dia
merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai
orang miskin dari pada kalau dia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan
dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal.
Kesukaan
dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu
ingin menyaksikan tempat-tempat lain. Dan tempat sendiri, betapa pun indahnya,
selalu menimbulkan kebosanan apa bila tidak sekali-kali ditinggalkan untuk
menyaksikan tempat lain.
Pulau kosong
yang ditinggali oleh keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya sangat indah,
bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu sudah mengembang biakkan
bunda-bunga teratai merah di situ sehingga pulau itu kini penuh dengan
bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka
buat di seluruh permukaan pulau.
Ceng Sui Cin
yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang
baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, tapi
sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya.
Sepak
terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia
adalah seorang dara yang gagah, ringan tangan tetapi adil dan hatinya tidak
kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh,
ditanamkan oleh ayah bundanya sejak ida kecil.
Ayah
bundanya amat bengis pada waktu muda, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis
karena terlampau suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu kemudian
menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah
membunuh orang.
Demikianlah
sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu.
Kini sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, dia sudah
dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tanpa tahu apa yang akan
terjadi pada dirinya.
Sesudah para
petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu.
Ternyata pintu baja itu amat kuat sehingga tak mungkin membongkarnya dengan
tenaga kasar saja. Akan tetapi, karena dia tidak dibelenggu, dia pun merasa
tenang dan leluasa.
Dicobanya
pula kekuatan jeruji besi yang sebesar-besar lengannya itu. Memang tergetar
sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Dia menghentikan percobaannya dan
menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara
itu di luar mulai gelap sehingga di dalam sel yang tidak diberi penerangan itu
pun menjadi semakin gelap.
"Sialan,
lilin pun tidak diberi!" Sui Cin mengomel akan tetapi dia diam saja,
bahkan segera duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga.
Dia menanti
karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela
sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan dia ingin melihat apa
yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul,
terpaksa besok pagi dia akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.
Akan tetapi
ternyata dia tidak perlu menunggu terlampau lama. Menjelang tengah malam,
tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam bisa menangkap suara angin dari tubuh
orang yang berkelebat dan tidak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di
depan jeruji pintu sel. Penerangan yang ada di luar pun hanya remang-remang
saja sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin
bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah
menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.
"Sssttt...!"
Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut pada saat Sui Cin
bangkit menghampiri daun pintu. "Aku datang untuk membebaskanmu dari
tempat ini..."
Melihat
sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serlus, Sui Cin yang biasanya
menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, secara diam-diam tersenyum
dan merasa geli.
"Bagaimana
aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal
pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau dia menjadi pemuda itu, untuk
membebaskan tawanan dia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya kemudian
membuka pintu tahanan itu dengan kunci.
"Begini..."
kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan dua tangannya, lalu
dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri.
Melihat hal
ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat
betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Dia
sendiri sudah mencobanya tadi dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu.
Akan tetapi pemuda ini bisa menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan
bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.
"Cepat
keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang
jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat
dilalui Sui Cin.
Dara itu
merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Dia
ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka
ia pun lalu berkata dengan suara lantang sekali,
"Anjing-anjing
di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tidak bersalah ditangkapi dan
disiksa..."
"Ssttt...!
Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.
"Mengapa
tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing
itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan
pemeriksaan!"
"Hushhh...!"
Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, akan tetapi terlambat.
Teriakan-teriakan gadis itu sudah terdengar oleh para penjaga lantas dari
segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.
"Tawanan
lolos...!"
"Kepung!
Tangkap...!"
Para penjaga
berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang secara diam-diam
tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu
menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.
Pemuda itu
mengerutkan alisnya dan menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. Kini para
penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu sehingga Sui Cin bisa melihat
wajah pemuda itu dengan lebih jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah
pemuda-pemuda biasa, namun sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh
kegagahan.
Pemuda itu
gagah perkasa, berpakaian rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek,
mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biar pun raut mukanya tak
bisa dinamakan tampan, akan tetapi dia pun tidak buruk sekali dan wajah itu
membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.
"Mari
kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.
"Ke
mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sebenarnya dia belum
ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para
pengeroyok.
Pemuda itu
nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!"
Dan pada
waktu itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang
mereka. Pemuda itu mengayunkan kakinya sehingga empat orang itu terpental dan
roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga
kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu
benar-benar merupakan gerakan kaki seorang ahli.
Akan tetapi
pada saat itu si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu
meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan
tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan
tidak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan
rumah ke wuwungan yang lain.
"Haiii...!
Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak.
Ia sengaja
meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Dia
masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam sebuah perkelahian
yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, dia pun
dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari sambil berloncatan di atas
genteng, dan bahwa tidak akan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka
Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Lepaskan
aku...! Lepaskan aku...!"
Pemuda itu
mengomel, "Aku ingin menolongmu, kenapa engkau malah bertingkah begini?
Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan
ini?"
Akhirnya,
setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu
baru melepaskan kempitannya. Begitu menginjak tanah, Sui Cin membanting-banting
kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang
kepadanya dengan tenang saja.
"Nona,
aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku pun tahu
bahwa engkau adalah seorang yang baik hati dan pemberani. Akan tetapi sunggguh
aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal
budi."
"Tidak
mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau
tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan
kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, juga tidak
minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak
meronta-ronta dan berteriak-teriak seakan-akan aku sedang menculikmu, bukan
sedang menolongmu." Biar pun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya
tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi
Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Dia bertolak pinggang dan
memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kau tolong?
Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau
tolong hanya aku seorang? Mengapa yang lain-lainnya kau diamkan saja?"
Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si
pemuda.
Pemuda itu
kelihatan kewalahan, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, "Karena aku
melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau
engkau akan celaka di tangan mereka."
"Huh,
begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki
biasa, tentu engkau tak akan peduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan
saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu
menjadi marah. Dia mengepal tinjunya, akan tetapi dia tetap dapat menguasai
dirinya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan berkata, "Sesukamulah.
Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat
tinggal!"
Pemuda itu
meloncat, segera lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itu pun tertawa, dengan
suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu
menjadl merah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan
tetapi dia tidak mungkin dapat memperlihatkan kemarahannya dengan bersikap
kasar terhadap seorang wanita, apa lagi seorang gadis muda yang hidupnya
demikian sengsara, sampai-sampai harus menyamar sebagai seorang pemuda untuk
menghindarkan diri dari segala kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai
tempat tinggal, yatim piatu dan miskin.
Dia percaya
dengan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan
tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biar pun hanya
seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri
dara remaja itu yang mengagumkan hatinya.
Dara itu
demikian berani! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang
pendekar. Wanita muda itu sama sekali tidak cengeng, dan sama sekali tidak
kelihatan ketakutan walau pun terancam mala petaka hebat, walau pun bahkan
sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu
lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia
tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti
datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga
hari lagi di Puncak Bukit Perahu.
Ia datang
sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara,
di luar Tembok Besar. Akan tetapi, biar pun dia mewakili ayahnya, dia kini
hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri
atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian
dan permusuhan.
Pemuda ini
bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dengan
isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis telah diceritakan bahwa
Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah
dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar
Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang
putera yang mereka beri nama Cia Sun.
Sebagai
seorang pendekar sakti, tentu saja Cia Han Tiong mewariskan semua ilmunya
kepada puteranya itu sehingga setelah berusia dua puluh dua tahun sekarang ini,
Cia Sun sudah menguasai seluruh ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang,
Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir
pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang.
Cia Sun
berwatak pendiam dan serius, mirip seperti ayahnya. Namun perasaannya halus
seperti ibunya dan walau pun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui
bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan
seriusnya.
Seperti
diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin
Si Pendekar Sadis terdapat hubungan yang sangat erat. Mereka adalah saudara
angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung
saja. Biar pun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang
seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah
sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih
sayang antara saudara itu.
Tentu saja
Cia Sun sama sekali tak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dikiranya yatim
piatu dan miskin itu, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri
tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya
itu dan keluarganya, namun dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari
ayahnya.
Menurut
keterangan ayahnya, pamannya yang berjuluk Pendekar Sadis itu sesungguhnya
adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, juga mempunyai
ilmu kepandaian yang sangat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biar pun
belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat
terhadap pamannya itu.
Pada saat
isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan
isterinya. Mereka hidup di tempat yang sangat sepi, jauh di utara dan tetangga
mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup
berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan
tetapi sesudah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya
kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali
mereka bertiga saja.
Maka Cia Han
Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai
persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Ia mengumpulkan
pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki
tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.
Kini,
sesudah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh
menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggota
sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang telah dianggap lulus
oleh ketuanya kini telah pergi meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan
sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang
sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang
besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara.
Demikianlah
keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang
selalu mentaati pesan ayahnya tak mudah melibatkan diri dengan urusan orang
lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa
ke markas, dia merasa penasaran dan tertarik sekali.
Diam-diam
dia membayangi mereka dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi,
tak sulit baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke
dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan.
Ketika dia
melihat Sui Cin diperiksa dan mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah
seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia pun merasa tidak tega.
Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu. karena dia mengnggap sudah
selayaknya jika komandan itu melakukan penyelidikan karena dia pun sudah
mendengar betapa banyak prajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di
kuil Dewi Laut.
Akan tetapi,
ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak
tega. Dia lantas turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang
tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga
mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan
dalam sel.
Malam
harinya dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Tetapi sungguh di
luar dugaannya bahwa selain tabah, ternyata gadis itu memang amat aneh.
Ditolong tidak bersyukur, ehh, malah marah-marah!
Akan tetapi
sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun
merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya
pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang
lain, apa lagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan
kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohnya, terbayang terus
di depan matanya.
"Ihh,
mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya
bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah.
Dia selalu
menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah
pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang
dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah.
Mengapa
tiba-tiba saja dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah
memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan?
Mukanya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apakah artinya ini? Inikah
yang dinamakan jatuh cinta seperti yang sering kali dibacanya dari buku-buku
namun yang belum pernah dirasakannya itu?
Sesudah dia
termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan
janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada
seorang gadis jembel! Baginya sendiri, seorang pendekar muda yang sejak kecil
digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan, tidak membeda-bedakan
antara kaya miskin.
Akan tetapi
dia juga bisa melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi
oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw,
dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi hingga membuat
keluarga Cia terikat oleh belenggu kehormatan dan kemuliaan sehingga mereka
tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir
kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau
mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!
Salah satu
di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan
kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu
yang sangat menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain
hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walau pun sifatnya lebih dalam dari
pada kesenangan badan.
Pengejaran
akan kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan mau pun
batin. Kita mengejarnya, jika sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di
dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas
terdapat kekerasan. Pada waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk
mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita
menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita.
Betapa pun
menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan mau pun batin, selalu berakhir
dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini
sangat menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri
terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang
dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu
terancam kehancuran setiap detik.
Alangkah
bahagianya batin yang tak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan susah, bagai
sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berubah biar pun ada badai
dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan
meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan masih
dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimana pun juga.
***************
Pada waktu
itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun
1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini
baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di
Tiongkok, yaitu bahwa tak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana
sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam
(pembeser kebiri).
Kaisar Ceng
Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat semua kepalsuan para
thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka
sekali meninggalkan istana secara diam-diam lalu melakukan perjalanan seorang
diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan bersenang-senang. Dia mengabaikan
urusan kerajaan sehingga kesempatan ini tentu saja digunakan sebaik-baiknya
oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.
Liu-thaikam
ini berasal dari utara, dari sebuah keluarga petani miskin. Akan tetapi karena
dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana
semenjak remaja. Liu Kim sangat pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua
kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia sudah
memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela
dikebiri agar dapat mempertahankan kedudukannya.
Pelan-pelan
dia mendapat kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek
diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang pada saat itu telah berhasil
menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lantas diangkat menjadi kepala
thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan
orang-orang kepercayaan kaisar.
Laki-laki
yang dikebiri itu tidak dapat berhubungan dengan wanita lagi, akan tetapi
karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu
yang tidak dapat tersalurkan itu pada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali
kepuasan akan kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena
memiliki banyak harta benda.
Rupanya
inilah yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak
dahulu selalu sangat licin serta pandai menguasai kaisar sehingga mereka
mendapatkan kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan
untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.
Pada waktu
itu Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa
sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun dia menjadi kepala thaikam.
Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya.
Kaisar muda
usia yang lebih suka berkelana serta bersenang-senang itu percaya penuh kepada
Liu-thaikam yang walau pun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai
mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang
kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda ini malah berbalik mendampratnya dan
mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang
dilaporkan itu.
Pemerintahan
kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah
Kerajaan Beng. Kaisar ini sangat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan
negara, walau pun dia bukanlah seorang kaisar yang lalim. Karena sikapnya yang
kurang semangat, maka hal ini lalu menular kepada para pejabat sehingga secara
keseluruhan, pemerintah kelihatan kurang peduli dan lemah.
Hal ini
tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat
sembunyi mereka, kemudian merajalela karena alat-alat negara tak
bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Maka
gangguan-gangguan keamanan mulai berjangkit di mana-mana.
Yang amat
menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga
Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang
kini bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka
merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar.
Mereka sama
sekali tak merasa takut terhadap pemerintah yang lemah. Dan Cap-sha-kui ini
bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, akan tetapi berikut anak
buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara,
sampai wilayah kota raja.
Keadaan
inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit
Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao
juga untuk ikut menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil dari ayahnya yang
menjadi ketua Pek-liong-pang.
Memang sudah
lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak lagi
mencampuri urusan dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan
adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang
tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu
kemudian mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana
dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.
"Kita
masih belum tahu persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu
memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam
bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan, lalu para pendekar berkumpul untuk
merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semuanya ini ada
hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Sebab itu, Sun-ji (anak Sun),
engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana
keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."
Demikianlah,
ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin
tanpa dia mengetahui bahwa dara jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang
sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis.
Sesudah
melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tidak dapat tidur
nyenyak karena selalu membayangkan wajah si gadis jembel, pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu
yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada
di tempat sunyi, Cia Sun lalu menggunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya
meluncur ke depan seperti terbang saja.
Pemuda ini
memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda
yang semenjak kecil berolah raga. Wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya.
Rambutnya digelung ke atas kemudian diikat sutera kuning. Pakaiannya yang
sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam,
demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera.
Ketika
wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biar pun dia
tidak memiliki wajah yang tampan, tetapi penuh kejantanan. Larinya cepat bukan
kepalang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam
membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan
melarikan kudanya itu tidak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula.
Gadis itu adalah Cui Sin dan dia pun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang
semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke
barat.
Karena hari
yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi,
maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar
lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Selama
seharian itu orang-orang yang ditemuinya di jalan hanyalah orang-orang yang
berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.
Ketika dia
melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat
menembus hutan itu sebelum gelap karena kini matahari sudah condong ke barat.
Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan
tetapi sesudah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang
amat besar sehingga nampak menyeramkan dan liar.
Bahkan jalan
raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para
pejalan itu lebih senang mengambil jalan memutar dari pada harus memasuki hutan
yang nampak liar itu. Akan tetapi Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang
menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja
itu.
Di tempat
tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar
lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat,
maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.
Akan tetapi,
pada waktu dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa,
mendadak dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke
bawah. Sebagai seorang pendekar yang sangat lihai, dengan kewaspadaan yang
selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar
tubuhnya ke belakang lalu berjungkir balik.
Betapa
kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular
besar. Badan ular itu melilit pada cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah.
Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini
tentu akan bisa menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orang pun akan
dapat dimasukkan ke dalam perutnya.
Ular besar
itu mengayunkan kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali
ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular
yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Jika dipukulkan seperti itu maka
tangan pendekar muda ini hebatnya melebihi palu godam baja.
"Krekkk!"
Ular itu
terkulai, lantas perlahan-lahan libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan
akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi
kepalanya tak dapat digerakkan lagi karena tengkuknya sudah patah-patah. Dan
pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali.
Cia Sun
memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia
melihat betapa dirinya sudah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan
dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna,
ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang
memuakkan.
"Heh-heh-heh!
Tar-tar-tarrr...! Hi-hik-hik!"
Cia Sun
mengerutkan alisnya dan cepat menengok, sepasang matanya mencorong penuh
kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok
tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan.
Nenek itu
membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan
nampak semacam asap yang mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa
terkekeh menyeramkan.
Dan Cia Sun
melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan
cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular-ular
ini dan sudah mengerahkan peliharaannya yang berupa ternak mengerikan ini untuk
mengepung dirinya....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment