Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 04
PERTANDINGAN
antara Kui-kok Lo-mo dan Tho-tee-kwi berjalan seru, lebih ramai dari pada
ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi sesudah lewat
seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimana pun juga, gerakan yang cepat dari
Lo-mo tidak bisa diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh
itu pun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apa bila terlanda
anginnya.
Akan tetapi,
seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apa
lagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada waktu itu
rekan-rekan mereka dari dunia hitam akan bermunculan.
Memang, pada
tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti
setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka lalu menonton pertandingan itu
tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka amat menikmati pertandingan itu,
apa lagi setelah melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main,
melainkan berkelahi mati-matian.
Kiu-bwee
Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul. Nenek ini terkekeh
girang menyaksikan pertandingan itu. Sebagai seorang tokoh besar yang mempunyai
ilmu tinggi, diam-diam dia menikmati perkelahian ini karena dia dapat
mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu kedua
orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing sedang
mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.
Dua orang
kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa
Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga telah hadir pula.
Keduanya juga turut menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan
ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi
itu.
Tiba-tiba
terdengar suara mengomel, "Hmm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam
keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... dasar tua bangka-tua
bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"
Suara itu
sangat lirih tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang
sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga
terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul.
Suara itu
memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim
suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan
seorang kakek telah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai
tak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya cahaya mencuat dua kali ke arah
Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,
"Kalian
masih nekat dan tidak mau berhenti?!"
Dua orang
yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian keduanya
meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata dalam
segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah
mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan,
tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka.
Memang
mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andai kata tidak
demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam satu
gebrakan saja. Biar pun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara
demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata
lebih tinggi dari pada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu!
Dan semua
orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang
kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah
cahaya bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan
dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapa pun yang memandangnya.
Tubuhnya
jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo. Usianya juga sudah tujuh puluh
tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani
biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak
jelas sekali, juga sepasang matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa
manik dan mata itu jarang sekali bergerak!
Kiranya
kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi
mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum
sesat yang berilmu tinggi dan tidak mengenal takut, kini kelihatan gentar
menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)!
Dia tidak
mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walau pun
sepasang matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi
ditarik masuk menjadi anggota Cap-sha-kui sebab dia merasa lebih tinggi.
Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang mempunyai
pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka
kepadanya!
Hal ini
disebabkan kepandaiannya amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya.
Sekali orang dianggap bersalah padanya, maka ke mana pun orang itu lari
bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam
keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup untuk membuat seorang
penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.
Siangkoan-lojin
adalah seorang berwatak aneh yang selama ini menyembunyikan dirinya di
Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung itu.
Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang
amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan sedikit petunjuknya saja. Baru
selama setengah tahun ini dia turun gunung dan tinggal di kota Pao-chi di
Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walau pun pakaiannya
sebagai seorang petani sederhana.
Di dalam
sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya
dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga
sebagai selir-selirnya. Isterinya telah lama meninggal ketika putera tunggalnya
masih kecil. Kakek ini memiliki beberapa orang murid yang cukup lihai, akan
tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang
tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada
waktu itu berusia delapan belas tahun.
Demikian
sedikit keadaan Siangkoan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek
buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sebenarnya, pertemuan
rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin
akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.
Setelah
pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, Siangkoan-lojin sendiri hidup dalam
dua dunia. Yang pertama di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan
ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan
tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal
dermawan, sangat royal mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan
bantuan.
Pendeknya,
di dalam pergaulan umum dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya
dan dermawan, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengira bahwa dia adalah
raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar juga telah mendengar berita angin
tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar
muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para
pendekar pernah melihatnya.
"Maafkan
kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat
dan suara merendah.
"Benar,
lojin, kami hanya main-main, aku sedang minta petunjuk dari Lo-mo,"
sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.
"Diam!"
bentak kakek buta itu. Suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran
yang menusuk jantung hingga membuat wajah kakek raksasa yang tadinya
menyeringai tiba-tiba saja berubah menjadi pucat. "Kalian sedang berusaha
mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beri
tahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"
Sungguh
pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan
alis berkerut, akan tetapi mereka tak berani berkutik. "Keadaan kita
sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa
menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Bagai lagak seorang guru memanggil
berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah
tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak
seperti patung batu.
Sekarang
kakek ini kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu
berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu
kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak
berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.
Kini
bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana mereka tadi setengah sembunyi
begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu
dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka
kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa dengan
bengis kakek buta itu memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu.
Ada dua
puluh dua orang yang hadir, termasuk Siangkoan-lojin. Mereka masing-masing
memiliki anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tak
diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan.
Di samping tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang
pandai untuk bisa mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu.
Tempat itu
dikelilingi oleh jurang yang curam, ada pun di sebelah utara terdapat sebatang
sungai yang arusnya liar dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya
apa bila naik perahu melewatinya. Lagi pula dari sungai yang agak ke bawah itu,
tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing biar pun sungai itu dan dataran
ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang
itu dapat terdengar jelas dari tempat pertemuan rahasia itu. Dilihat dari atas,
sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang
berkilauan.
"Semuanya
hanya ada dua puluh dua orang?" Tiba-tiba saja Siangkoan-lojin bertanya
dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mereka pun
tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh
dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan
tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan
cepat dan mudah!
Tentu saja
tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apa lagi ketiga orang
tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga
Tho-tee-kwi, tak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini
mempunyai perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi
seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia
sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik
mereka melalui telinganya serta mencium bau yang berlainan dengan hidungnya.
Bahkan di
dalam perkelahian kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan
ketajaman pendengarannya pula sehingga setiap gerakan lawan bisa diketahuinya
dengan seksama, malah jauh lebih cepat dari pada daya tangkap penglihatan mata
yang kadang-kadang kabur.
"Benar,
lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.
"Hemm,
dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"
"Ada
tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena ia pun
hendak memberi tahukan raja datuk itu bahwa dia pun sudah hadir.
"Tujuh
orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.
"Koai-pian
Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku
sendiri dan lojin..."
Terdengar
kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut.
Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, tetapi terlambat karena
tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan
Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat telah menempel di
lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan
menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu!
"Mulut
lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"
Kui-kok
Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat
sekali itu berubah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku...," dia
meratap.
"Lojin,
harap maafkan dia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat
nyawa isterinya terancam maut tanpa dia mampu menolongnya itu.
Iblis buta
itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau tadi aku tidak mengampuninya,
apakah sekarang dia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal
sudah bersalah kepadaku?"
"Aku
menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.
"Nyatakan
penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta.
Semua orang
terkejut sekali lalu memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah
penghinaan yang sangat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan
pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya
amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis
Buta!
"Sekali
lagi!" iblis itu membentak dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi,
membuat semua orang menahan napas saking herannya.
"Sudah,
mundurlah dan mari kita melanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu
dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Sekarang
kita berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang
menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para
pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok
akan menentang dan berusaha menumpas kita semua."
Hening
sejenak sesudah Iblis Buta berhenti berbicara, kemudian, bagaikan bendungan air
yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan
manusia-manusia sombong itu!"
"Bunuh
semua pendekar!"
"Serang
mereka pada pertemuan itu!"
Si kakek
buta mengangkat tongkatnya ke atas hingga suara gaduh itu berhenti.
"Memang kita harus mengadakan perlawanan, akan tetapi kita harus
berhati-hati dalam menghadapi para pendekar karena di antara mereka terdapat
orang-orang yang sakti. Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan, karena itu
harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih
lanjut, aku ingin mendengarkan laporan kalian masing-masing tentang keadaan di
daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."
Dengan suara
yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu,
didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari
daerah kota raja melapor, "Lojin, kini anak buah kami membayangi kaisar
yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar
sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira
istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun
tangan. Harap lojin memberi petunjuk."
"Jangan
ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya juga. Aku sendiri akan
membunuh siapa pun yang berani mengganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu
berseru.
Para tokoh
Cap-sha-kui yang sudah mengerti tentu tidak merasa heran, akan tetapi tidak
demikian dengan para tokoh lainnya. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala
botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.
"Maaf,
lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah sekarang kita
semua harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita
semua selalu bertentangan dengan pemerintah?"
"Dasar
bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti
sekarang ini, kita akan dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para
pejabat di mana pun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan
selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat
menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam
juga sehingga kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak
mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita pun menjadi orang yang
selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi
kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kita pun tak akan dimusuhi
pemerintah, mengerti?"
Semua orang
mengangguk. "Aihhh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada
saat ini ada pihak lain yang memiliki niat buruk, menculik kaisar dalam
penyamarannya."
Iblis Buta
mengerutkan alianya. "Bukankah kau katakan bahwa ada dua pengawal rahasia
yang melindungi kaisar?"
"Akan
tetapi, lojin. Kali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang
dari Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol
berkepala botak.
Iblis Buta
mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tak mau bergabung dengan kita!
Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian berdua mengerahkan
kawan-kawan ke muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan sekalian mengenyahkan
Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"
Koai-pian
Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu,
dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para
tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.
"Bagus,
sesudah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan
tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek
buta.
Memang
keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting bagi kakek ini. Dia mengenal Liu
Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama di antara
mereka. Telah beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk
mengenyahkan para musuh rahasianya, yaitu pembesar-pembesar yang menentangnya
dan menghendaki agar kaisar terbebas dari kekuasaannya.
Tugas itu
dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin dengan mudah dan baik, biar pun dia hanya
menyuruh anak-anak buahnya. Beberapa orang musuh itu kemudian lenyap secara
aneh dan mayat-mayat mereka tak ditemukan. Tentu saja Iblis Buta memperoleh
kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh
restu berupa surat-surat ijin dari Liu-thaikam itu untuk membuka bermacam usaha
seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.
"Ada
dua tugas yang agak berat tetapi penting sekali dilakukan," sambungnya
lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus
dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang
istananya berada di kota raja. Hal ini kuserahkan kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu
saja kalau nenek itu berani!"
Mendengar demikian,
Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..!"
"Lojin
anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku
harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"
"Hemm,
nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau
gagal, aku pasti akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang
lemah itu terdapat seorang selirnya serta seorang anak perempuannya yang cukup
lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."
"He-he-heh,
lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga semua hadir, aku
tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu
tertawa.
"Baik,
akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai lebih dulu, baru kau boleh
berangkat melaksanakan tugasmu. Pembesar kedua yang harus dienyahkan adalah
Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani
memegang tugas ini?"
Semua orang
melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor
dua, dia memimpin laksaan orang pasukan!
"Akan
tetapi... mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu
tentara pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini
tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Sedangkan mengerahkan pasukan besar
berarti suatu pemberontakan dan perang..."
Pertanyaan
ini keluar dari bibir seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampak
gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang
bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya amat lebar dan gerak-geriknya kasar
akan tetapi pada mulutnya membayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan
kekerasan.
Agaknya
pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar
bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya
ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.
"Kalian
semua bodoh bila berpendirian demikian. Memang Ciang-goanswe adalah seorang
panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi ia pun seorang
manusia biasa dan tidak mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan
ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, hanya dengan
keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tak akan sekuat penjagaan di
istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu
akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena
pentingnya tugas ini, maka kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan
Lo-bo. Sanggupkah kalian?"
Suami isteri
tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo
berkata.
"Bagus!
Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Sesudah urusan kita di sini beres,
kalian lakukan tugas-tugas itu kemudian laporkan hasilnya kepadaku. Sekarang,
setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang punya
laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk
memandang melainkan untuk mendengarkan, lalu dia menyambung, "Bukankah
sebelum berkumpul di sini kalian sudah menyelidiki tentang pertemuan para
pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan
beberapa orang di antara mereka?"
Tiba-tiba
kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri.
"Blarrrrrrr...!"
Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah
berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang
di antara mereka.
Api unggun
itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang terkena
kayu yang membara atau pun pecahan batu karang. Akan tetapi karena mereka semua
adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua
orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat bukan main,
dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar
biasa.
"Bodoh!
Apa artinya pertemuan rahasia jika kau malah menyalakan api unggun yang akan
menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium
dari tempat jauh?" bentaknya.
"Ampun,
lojin, maksudku hanya untuk mengusir nyamuk..."
"Kalau
aku tidak tahu begitu, tentu batu itu sudah menghancurkan benakmu dan bukan
memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa mau membuat
laporan?"
"Aku
sudah bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai.
Bahkan aku telah kehilangan banyak ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh,
belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu
akan tetapi selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan
mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, tetapi menghadapi
pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak
sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak
menghadiri rapat pertemuan para pendekar."
Berita ini
amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa
gelisah. Jika dua orang muda saja sanggup menandingi Kiu-bwee Coa-li itu
berarti bahwa pada pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali,
padahal mereka masih begitu muda!
"Aku
sempat bertemu dengan suami-isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai,
akan tetapi aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan
para pendekar," kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi
tikus mencicit.
Ada pula
yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar,
ada lagi yang melaporkan sudah membunuh beberapa orang calon peserta dengan
cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu sangat menyenangkan si
Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang
hatinya.
"Bagus,
bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah
golongan orang-orang lemah!"
Si cebol
botak yang tadi pernah bicara tiba-tiba maju ke depan sambil menyeret sebuah
buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan oleh kawan-kawan itu masih tidak
ada artinya jika dibandingkan dengan yang kuhasilkan!" katanya menyombong
dan dengan sikap menjilat.
Iblis Buta
mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar dari pada telinga biasa itu
nampak memperhatikan sekali. Jika orang mau memperhatikan daun telinganya di
waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, maka akan melihat betapa daun
telinganya sedikit bergerak-gerak.
"Jangan
banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.
"Lojin,
di dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah
ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan.
Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai.
Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang
dan menawan yang seorang lagi."
"Kenapa
ditawan?"
"Ha-ha,
dia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin.
Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."
"Mana
tawanan itu?"
Si cebol
botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis
yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Dara muda ini
berpakaian pendekar. Dia segera menggulingkan tubuhnya dan biar pun kaki
tangannya terbelenggu, namun dia berusaha untuk memberontak.
"Hemm,
kiranya para iblis kaum sesat sedang berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian
akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan
tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta
menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya.
Tidak ada
yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu
orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat
melihat seberkas sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari
ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang tadi
menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak
nampak.
Si cebol
botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang baru
saja dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya
gagap.
"Manusia
tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan akan membiarkan pihak musuh
mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan
kita! Dan siapa tahu ada temannya yang telah membayangimu sampai ke sini.
Bukankah yang seorang kau biarkan lolos?"
"Tapi
dia terluka..."
"Apa
kau kira tak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau
malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi.
Ternyata Si
cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis
Buta hendak membunuhnya seperti yang sudah dilakukannya terhadap gadis tadi,
maka dia cepat meloncat ke belakang, lantas bersembunyi di belakang tubuh
Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.
Dan memang
benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum-jarum halus. Akan tetapi si
cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah.
Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di
tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya,
tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.
"Brukkkk!"
Si cebol
terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis
Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara berdetak perlahan saat
ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat
sekali.
Tubuh si
cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih,
kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung serta telinganya keluar
darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di
situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka itu sedang menonton
pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang
sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan
mereka sendiri!
Kita dapat
dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi jika kita mau
bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, maka sekali waktu kita akan
terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kita pun bisa
terdapat kekejaman seperti itu.
Alangkah
mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli ketika melihat orang
yang sedang disiksa oleh kenyerian, malah sekali waktu kita seperti merasa
terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga
menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita
tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tidak ada
bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu!
Tanpa
melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat
kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan
mungkin kita dapat merubahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas dari pada
kekotoran itu.
Bahkan
percakapan tetap saja mereka teruskan ketika si cebol botak sedang berkelojotan
dalam sekarat, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan
tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.
"Kini
kita harus segera melakukan persiapan. Kita akan mendekati Puncak Bukit Perahu
dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak seberapa
besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan agar
mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing
yang telah disiapkan untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula Iblis
Buta.
Mereka semua
menyebutkan jumlah pengikut yang telah siap dan ternyata jumlahnya tak kurang
dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup,
sudah lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan
saja, tapi kitalah yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi
kita harus sudah siap dan bersembunyi di dalam hutan di sebelah selatan puncak,
membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang,
tinggal membasmi saja!"
Mendadak
Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam.
Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan
sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai
itu.
Semua orang
turut memandang namun tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanyalah
gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu
yang tidak terdengar oleh orang lain. Kemudian semua orang saling pandang
dengan hati gelisah dan jantung berdebar kencang karena memang benar,
lapat-lapat kini mereka pun mulai dapat mendengar suara yang-kim.
Yang-kim
adalah alat musik sejenis siter yang menggunakan senar-senar kawat berbunyi
nyaring melengking. Sekarang. di antara gemercik suara air itu terdengar suara
yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu!
Di bawah
cahaya bulan purnama yang seperti perak, nampaklah sebuah perahu meluncur
perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang
bisa naik perahu sambil enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian
liarnya dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.
Dan pemain
yang-kim itu adalah seorang kakek. Bentuk mukanya tak nampak jelas, akan tetapi
dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan
suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasanya sehingga
suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan
mendengarkan dari atas tebing.
Mula-mula
yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu dan
demikian nyaringnya memasuki telinga sehingga lama-lama menjadi tajam menusuk.
Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke
dalam telinga seperti badai mengamuk.
Beberapa
orang tokoh sesat yang kurang kuat sinkang-nya sudah menjadi lemas. Mereka
mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seakan-akan mampu
menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui
seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila dan melakukan
siulian (semedhi) untuk memperkuat sinkang-nya menahan daya serangan suara
yang-kim itu.
Tokoh-tokoh
seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau
yang telah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sinkang amat tinggi, tidak
terpengaruh oleh suara itu. Apa lagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak
terpengaruh dan tentu saja dia amat marah melihat betapa suara yang-kim itu
telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa pemain
yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga dia pun tidak dapat
mendekatinya.
Akan tetapi,
kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat
menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba
saja dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.
"Krakkkk...!"
Ujung
sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung
tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke
bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang
masih terus bermain yang-kim!
Memang
Siangkoan-lojin ini hebat bukan main. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tak
kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak
kalah 'awas' dibandingkan orang yang tidak buta.
Semua tokoh
Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak serta wajah
berseri-seri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan
cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menyangka bahwa perahu itu
bersama dengan penghuninya tentu akan hancur lebur tertimpa batu yang
sedemikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.
Akan tetapi
kakek berjenggot panjang itu agaknya sama sekali tak menjadi gugup melihat
datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu.
Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan
kanannya masih tetap memainkan yang-kim!
"Blarrrrrr...!"
Nampak debu
mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh,
menimpa air sehingga mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan
suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah
terganggu.
Iblis Buta
yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, lalu menarik napas
panjang. "Hemmm, gara-gara si tolol ini!" katanya sambil menggerakkan
kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tidak bergerak lagi itu
pun kena ditendangnya sehingga melayang menuruni tebing yang curam!
"Dia
yang memancing kedatangan orang pandai memata-matai tempat ini. Kini kita harus
segera bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan ada
yang sembarangan bergerak. Bila mana aku telah turun tangan, barulah kalian
boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku.
Mengerti?"
Bagaimana
pun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu telah mengecutkan hati para
tokoh hitam karena mereka pun maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu
benar-benar lihai. Apa bila banyak yang seperti itu di antara para tokoh
pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh.
Bagaimana
pun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang telah terbiasa mengandalkan
kekuatan sendiri. Apa lagi mereka mempunyai banyak anak buah dan di tengah
mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka biar pun peristiwa
tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.
Pada
keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu sudah dikurung oleh kurang lebih dua
ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang
tadi malam sudah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua sudah mengurung
dan masih bersembunyi, namun siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan
mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun
tangan paling dulu.
Akan tetapi,
Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik
tinggi dan keadaan puncak itu pun sunyi-sunyi saja. Akhirnya mereka melihat
bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu
menyumpah-nyumpah!
Karena
melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin
oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi setelah
mereka tiba di atas puncak, mereka segera termangu-mangu melihat kakek buta itu
marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pepohonan dan
meremukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorang pun
pendekar di situ!
Tahulah
Iblis Buta Siangkoan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para
pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka sengaja
menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Teringatlah dia
akan kakek berjenggot paniang bermain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan
si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.
Kini para
tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, sesudah kita gagal di sini
karena rahasia sudah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal lagi dalam tugas
lain yang malam tadi telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini,
lantas berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas
khusus agar waspada di tempat masing-masing dan agar dapat bersatu-padu menghadapi
para pendekar jika ada gangguan dari mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri
seperti yang sudah-sudah. Bila mana terjadi peristiwa penting, cepat laporkan
kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan jika bertemu dengan para
pendekar, hajar dan hadang mereka!"
Setelah
menerima perintah ini, mereka pun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu.
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas
mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai
niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri.
Kiu-bwee
Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu
pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Juga
sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-san-kok itu pun berangkat bersama
untuk menjalankan tugas yang paling berat, yaitu membunuh Jenderal Ciang.
Tokoh-tokoh yang lain juga ikut bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi
sunyi kembali.
Memang tidak
mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi
marah-marah. Sebelumnya mereka telah mendapat keterangan jelas bahwa pada hari
itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi
kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorang
pun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang
anggota gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar
naik ke puncak.
Memang
dugaan Iblis Buta itu tak keliru sama sekali. Para pendekar yang tadinya hendak
menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi sudah mendengar
bahwa pertemuan itu dibatalkan. Semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam,
dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama Iblis Buta, nama yang langsung
menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan
bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.
"Kita
tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberi tahuan itu
melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para
anggotanya terdiri dari murid-murid Siauw-lim-pai. "Apa lagi jumlah mereka
sangat banyak, sedangkan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk
melakukan pertempuran massal. Sebab itu pertemuan sekali ini terpaksa dibatalkan
dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing tetap mengadakan
usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya
pengaruh mereka."
Pek-ho-pai
ialah sebuah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang
mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati
para pendekar, maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan.
Kini
Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari
Siauw-lim-pai. Karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Silat
Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka dia pun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai
itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke
dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan.
Perkumpulan
ini berada di kota Pao-ting. Karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua,
usianya sudah mendekati sembilan puluh tahun, maka kepengurusan perkumpulan itu
diserahkan kepada murid-murid kepala. Namun ketika Hwa Siong Hwesio mendengar
tentang kekacauan yang terjadi di mana-mana, apa lagi mendengar bahwa
Cap-sha-kui sudah gentayangan laksana iblis-iblis keluar dari neraka, dia
merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar
untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.
Akan tetapi
pada malam hari itu perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, yaitu
seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim pada punggungnya. Kakek
inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan
pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu
pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini pula yang
memberi tahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain
Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka,
juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu.
Mendengar
berita yang mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai segera menyebar
murid-murid mereka untuk menghadang lantas memberi tahu para pendekar yang
hendak berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan
membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha inilah maka
ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka hanya mendapatkan tempat
kosong!
Siapakah
kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari
atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya
dan yang diserang oleh Iblis Buta dari puncak tebing. Dia adalah seorang
pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, dan di antara para pendekar dia
disebut Shan-tung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shan-tung).
Dia orang
termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung). Dua orang
suheng-nya telah meninggal dunia dan dia sendiri kini telah berusia delapan
puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri dia suka berkelana, dan telah
bertahun-tahun tak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan sudah
menanggalkan pedangnya dan menggantinya dengan yang-kim karena sejak dahulu,
Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai
sasterawan-sasterawan.
Akan tetapi,
pada waktu melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu
bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shan-tung Lo-kiam terpaksa
keluar juga. Dan meski pun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya
digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para
penjahat sehingga secara kebetulan dia bisa mengetahui tentang pertemuan
rahasia para penjahat itu. Dia pun telah mendengar tentang undangan pertemuan
para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat
dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio,
adalah seorang sahabat baiknya.
Demikianlah,
pertemuan para pendekar lalu dibatalkan demi keamanan. Akan tetapi para
pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui telah bergerak, bahkan
Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, sekarang kabarnya turun
tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!
***************
Seperti juga
pendekar-pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk
menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia
Sun, ketika malam itu berada di lereng bawah puncak, berjumpa pula dengan
seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti
datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk
yang mengganggunya.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang tapi pendekar wanita ini tetap tenang saja. Dia tahu
bahwa ada orang datang, akan tetapi karena dia tidak tahu siapakah orang itu
dan entah kawan atau lawan, maka dia bersikap tenang saja tetapi diam-diam
mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.
"Nona,
apakah nona juga seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit
Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang, lalu muncullah orang yang tadi
bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang
laki-laki setengah tua yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah,
pakaiannya serba putih.
Pertanyaan
tadi diajukan dengan suara sopan, akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia
masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi
pertemuan para pendekar. Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja
kepada orang yang belum dikenalnya. Dia harus berlaku hati-hati karena siapa
tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.
"Apakah
hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" Sui Cin balas bertanya, pandang
matanya penuh selidik dan penuh tantangan.
Laki-laki
itu menjura. "Kalau nona termasuk salah seorang calon pengunjung, kami
datang membawa berita penting. Saya adalah anggota Pek-ho-pai dan menerima
perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."
"Berita
apakah itu?" Sui Cin tertarik.
"Maaf,
harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dahulu agar jangan sampai saya keliru
melaksanakan tugas."
Sui Cin
tersenyum. Dia segera memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Dia
sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang mempelopori pertemuan
itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang
merupakan cabang dari Siauw-lim-pai.
"Aku
pun boleh meragukan dirimu!" katanya, lantas tiba-tiba saja gadis ini
telah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan
kilat kepada orang itu!
Orang
berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan
Sui Cin. Maka dia pun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk
mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia
dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini.
Akan tetapi
tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, dia hanya memancing saja.
Jika dia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah dia akan dapat segera
merobohkan lawannya. Sesudah dia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk
kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan lima ujung
jari untuk mematuk atau menotok, baru dia percaya dan dia pun cepat melompat ke
belakang.
"Engkau
benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat di
sini. Mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton.
Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa
saja."
Tentu saja
omongan ini tidak dipedulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa
jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang
hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Dia pun tidak mengenal nama
itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis ini pun perlu diberi tahu.
"Maaf,
nona. Saya diberi tugas untuk memberi tahukan kepada semua pengunjung bahwa
pertemuan para pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan
tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui serta gerombolannya yang berjumlah
besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan
menyerbu tempat ini."
Tentu saja
Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apa lagi mendengar disebutnya nama Si
Iblis Buta.
"Ahh,
kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul
adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh
golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?
"Saya
tidak bisa menerangkan lebih banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah
suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah
lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah,
selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu kepada para calon pengunjung
yang lain." Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap.
Untuk
beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali lantas termenung. Dia tidak tahu duduk
persoalannya dan dia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga
sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan
melibatkan diri ke dalam keributan.
Kini,
mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja dia
pun tidak boleh mencampuri. Apa lagi dia sendiri belum tahu tindakan yang akan
diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa dia sudah berpisah dari Cia Sun
sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.....
Selagi dia
sedang termenung, mendadak berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya
membayangkan betapa tempat itu akan diserbu oleh musuh, maka kali ini
berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan dia pun otomatis
meloncat berdiri lalu siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.
Akan tetapi
orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku sudah membuatmu
terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."
Ceng Sui Cin
memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah
sekali. Ia pun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini
kembali mengendur dan hatinya lega.
"Aih,
kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu dia pun teringat akan berita
dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan
berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"
Pemuda yang
baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri
itu nampak terheran ketika mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai?
Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."
"Baru
saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar-benar
murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Tadi dia membawa
berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."
"Dibatalkan?"
Sim Thian Bu tampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk
menghadiri pertemuan sambil belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona,
mengapa dibatalkan?"
"Karena
besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."
"Hemmm..."
"Kaum
sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."
"Benarkah...?"
"Bukan
itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."
"Hebat!
Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"
"Tidak,
hanya namanya saja yang kukenal."
"Kalau
begitu, nona juga akan pergi dari tempat ini, tidak jadi menghadiri pertemuan
para pendekar?"
"Ya,
pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"
"Memang
sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini,
nona."
"Kita...?"
"Ya,
kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling
berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"
Sui Cin
tersenyum. "Hemm, kenalan tidak selalu berarti sahabat."
Sim Thian Bu
juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."
"Kenapa?"
"Karena
engkau lihai..."
"Hemm,
bagaimana engkau tahu aku lihai?"
"Mana
mungkin engkau tidak lihai kalau engkau adalah puteri Pendekar Sadis?"
Sui Cin diam
sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap
dengan pakaian yang bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang sasterawan muda
yang kaya.
Untuk
bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik dari pada Cia Sun walau pun tentu saja
terhadap Cia Sun dia telah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh
oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat
atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian
Bu ini baru saja dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya sungguh pun
kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.
"Hati-hati
bila berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu
kandungnya sering memberi nasehat. "Di dunia ini penuh dengan manusia
palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi
sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng
domba."
Dia tidak
akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan meski pun dia merasa suka bergaul
dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun dia
belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.
"Kalau
kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Dia bertanya sambil mengemasi
selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu kemudian
membuntal semua pakaiannya.
"Ke
mana? Ha-ha, nona, sudah kuberi tahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang
tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal bisa
meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan,
hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang sangat indah. Bagaimana
kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka."
Pemuda itu
memang pandai mengatur kata-katanya sehingga sangat menyenangkan hati Sui Cin.
Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan
menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.
"Baik,
kita pergi ke sana," kata Sui Cin.
Dara ini
mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau
Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.
***************
Cin-an
adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung.
Daerah ini memiliki beberapa tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang
indah-indah karena tanahnya memang subur.
Di luar kota
Cin-an, di tepi pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat
sebuah kebun yang luas. Selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam
dan warna, di sini juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang
kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan,
berenang-renang dan sebagainya.
Setiap hari
ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan
orang kaya mempergunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas
perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton
tarian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk
bersenang-senang.
Akan tetapi
pada hari itu di kebun itu agak sepi. Di samping hanya terlihat beberapa orang
yang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya
memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa
buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan
air sambil bercakap-cakap dan minum arak.
Di atas
gunung-gunungan ada seorang pelukis tua sedang asyik melukis telaga dengan
perahu-perahunya. Nampak pula seorang penyair sedang corat-coret dengan alis
berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun
indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang
memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan
akhirnya dia pun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang
dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis
tengah melukis dengan asyiknya.
Tak lama
kemudian penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan
suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang
mulai berbentuk itu. Mendadak wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya
dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.
"...gerakan
air dan awan berubah setiap saat tanpa bekas, tanpa tujuan..."
Penyair itu
bertepuk tangan dengan hati girang sekali. "Ah, benar sekali. Di dalam
lukisan terkandung sajak dan di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak
dapat dipisahkan!" Akan tetapi sesudah mengeluarkan ucapan yang nadanya
gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang
memancing ikan, itulah mereka."
Si pelukis
memandang ke arah pemukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua
sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka dan
dari bawah caping itu, mata mereka kadang kala ditujukan ke arah seorang pemuda
yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang
bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka
tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.
Kini pelukis
itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair
lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan
sambil bercakap-cakap. Keduanya terlihat akrab sekali, mungkin karena keduanya
adalah seniman. Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka
mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana.
Orang-orang
tak akan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa
dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang
kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka,
maka orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan
mereka.
Tangan
seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua
ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi
ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kedua kakek seniman ini pernah
mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!
Memang
demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan, akan tetapi
tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)
didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan
itu berpusat di Cin-an.
Song Pak Lun
adalah bekas perwira tinggi yang sudah didepak keluar karena menentang
kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan
sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat
betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang
dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka dia pun selalu
bersikap menentang.
Dalam
usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia
memiliki banyak murid yang menjadi anggota Kang-jiu-pang. Pada waktu dia
mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana
dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia cepat
mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak. Kaisar harus ditawan, diculik,
demikian keputusannya.
Sebagai
seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara
militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu
dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka
menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik
baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan
perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!
Dua orang
pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan mendapat
kepercayaan Liu-thaikam yang secara diam-diam mengutus dua orang pengawal itu
untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepada
kaisar!
Memang,
merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan
hidup betapa yang disebut kesetiaan itu sesungguhnya menyembunyikan sesuatu
yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri
sendiri!
Siapakah
yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan
yang dapat menerima keuntungan serta kebaikan, pendek kata menerima sesuatu
yang menyenangkan dirinya dan kesetiaan itu ditujukan pada orang atau golongan
yang akan mendatangkan kesenangan itu!
Karena sebab
yang gamblang inilah maka di dunia ini sering kali terjadi kesetiaan yang
kemudian berubah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya
lagi, maka kesetiaan pun akan mengalami perubahan.
Liu-thaikam
setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang telah
diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri pun
celaka! Dan bentuk kesenangan yang didapatkan seseorang bukan hanya terbatas
pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan,
melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan
sebagainya.
Kita kembali
kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri di dalam perahunya sambil minum
arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di
pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sasterawan, berwajah
tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya
itu. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!
Sejak
diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, yaitu empat tahun yang
lalu, kaisar muda ini tak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap
pemerintahan. Dia lebih suka menghibur diri dengan permainan silat atau membaca
kitab-kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan sesudah usianya semakin
dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.
Dalam
usahanya untuk menguasai hati kaisar, Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini
tentu saja selalu menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar.
Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin
tenggelam dalam kesenangan tanpa mempedulikan urusan pemerintah.
Satu di
antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda
biasa, menanggalkan pakaian kebesaran serta mahkotanya yang berat itu,
meninggalkan segala upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan
urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus
oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas seperti burung di udara,
terbang melayang sesuka hatinya! Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian
karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya.
Betapa
banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan
karena mencintai pekerjaannya, tapi karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan,
terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat
dan sebagainya.
Banyak orang
tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong oleh
cita-cita muluk dan nanti setelah si anak berhasil lulus, ia terpaksa melakukan
pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu
sehingga batinnya terasa tersiksa selama hidup!
Banyak pula
orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang
didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat pada waktu dia
bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disenangi mendatangkan rasa jemu dan
kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa.
Kita hanya
tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja
seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiraan karena memang pada hakekatnya dia
tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci
pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!
Sebagai
seorang yang paling berkuasa, Kaisar Ceng Tek tentu bisa melepaskan diri atau
mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa
yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu
pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih menggunakan haknya
sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan
akibat dari pelarian ini adalah kekacauan, karena roda pemerintahan
dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi
penumpukan harta benda.
Pada pagi
hari itu Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum
gembira, menyangka bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui keadaan dirinya.
Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah
tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak
tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan
gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia telah menjadi pusat perhatian banyak
orang dan berada dalam keadaan terancam.
Saat itu, si
penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang
yang lihai dan merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang, dan
yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil,
mendayung perahu kecil itu sambil minum arak, malah si penyair bernyanyi-nyanyi
kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang
memancing ikan itu, lantas tiba-tiba saja perahu mereka itu menabrak perahu dua
orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.
"Heiiiii...!"
Seorang di antara mereka berteriak.
Akan tetapi
tiba-tiba saja sikap kedua orang kakek seniman itu berubah. Mereka sudah
meloncat lantas mempergunakan dayung mereka menghantam ke arah dua orang kakek
bercaping.
"Heiiiittt!"
"Hyaaattt...!"
Dua orang
bercaping itu lantas meloncat, cepat mengelak sambil mencabut pedang yang
tersembunyi pada balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk
mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng, lalu mereka berempat
mulai berkelahi dengan serunya.
Dua orang
seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan
ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu
menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya
itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja
terguling.
Kaisar Ceng
Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, menjadi terkejut mendengar suara
gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang
dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak
tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya
dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan
gembira!
Satu di
antara kesukaannya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi
pertandingan yang seru dan menarik, dilakukan di atas dua buah perahu yang
digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu
silat yang hebat.
"Ceppp...!"
Perahu kecil
itu terguncang hingga sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk
lantas berpegangan pada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar
perahunya tidak terguling. Kiranya sesudah dia duduk, dia melihat betapa
sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang
anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh
sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh
tegap!
"Heiii,
apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.
"Tenanglah
saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya.
Kaisar Ceng
Tek cepat menengok. Ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah
perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan
terlihat gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan
delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan
dua orang bercaping itu.
Kaisar Ceng
Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya kini sudah berada di
dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka
itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, di samping belum tentu
akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu
untuk membunuhnya jika mereka kehendaki. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah
saja sambil melihat bagai mana perkembangannya.
Dia juga
tahu bahwa mereka tentu tak bermaksud membunuhnya, karena kalau demikian
halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tak nampak
adanya petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk
dapat menolongnya dari orang-orang ini.
Kini perahu
sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam
perahu kecil itu.
"Harap
paduka suka menyerah saja dan menurut kehendak kami dari pada paduka harus
dipaksa dengan kekerasan," berkata salah seorang di antara mereka yang
tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita
mendarat."
Kaisar Ceng
Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh
ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh
sangat menarik, lalu dia pun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan
tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara
bentakan nyaring.
"Tikus-tikus
yang bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita
yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya sehingga yang
tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil serta mulut lebar yang
giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan
sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.
"Awas
senjata rahasia!" teriak orang tertua.
Para anggota
Kang-jiu-pang yang rata-rata mempunyai kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan
mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.
"Ha-ha-ha,
orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula seorang kakek
tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok.
Kakek ini
memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku
besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya
jorok dan kotor.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment