Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 05
Melihat
munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main.
Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua
orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena
tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.
"Ji-wi
locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak
ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang
tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan
dengan dua orang datuk kaum sesat ini.
Dan memang,
mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan
manapun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan
menghalangi pekerjaan mereka.
"Ha-ha-ha!"
Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor.
"Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami
memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan
begitu saja!"
Mendengar
ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam
sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk
kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil
mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju,
menyerang kakek dan nenek iblis itu!
Dua orang
kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang
itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua tangan mereka yang
berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.
Melihat ini,
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai
datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut
pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka
menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.
Para murid
Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan
mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki
tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua
orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang
diantara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau
kaki dua orang iblis itu.
Adapun murid
tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, melainkan
dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan
kagum. Dia merasa heran mengapa orang-orang yang kelihatannya seperti
pendekar-pendekar gagah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis
jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.
"Berhenti,
atau kubunuh kaisar...!"
Tiba-tiba
dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda
itu. Sang kaisar hanya terbelalak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya
sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya
ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman
tangan kiri yang amat kuat itu.
Koai-pian
Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan
dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah
ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan
nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan
kemarahan Iblis Buta.
Akan tetapi
pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan
terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil
yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan
itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan
berkata lembut,
"Harap
paduka jangan khawatir, sri baginda."
Melihat
betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa
Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid
Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya
lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.
Kasihan para
murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan
kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang
menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk
bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang
pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku.
Juga Hwa-hwa
Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan
tusukan pedangnya. Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini,
korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya bergerak dan
belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan dada murid
Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan
dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, mereka berdua telah
membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!
Kini dua
orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang telah
menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan
dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka
kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu
tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deretan gigi putih
yang besar-besar.
Pemuda itu
memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan
pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajahnya yang tampan
itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus
dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun
selalu berseri gembira.
Akan tetapi
pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh daripada
pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat
menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pemuda berusia dua puluh
satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang
agaknya selalu bergembira.
Ketika tadi
dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi
delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa
menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban menyelamatkan kaisar, dan
urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia
tidak ingin mencampuri.
Pada saat
itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi
menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang
tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, datang berlarian
dengan pakaian basah kuyup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar
dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki kaisar.
"Hamba
berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman
bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang diantara
mereka.
Kaisar Ceng
Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah
terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun mengerutkan
alisnya bertanya,
"Kalian
siapa?"
"Hamba
berdua adalah perwira pengawal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi
paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."
"Sudahlah,
ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.
"Hamba
berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada
dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada
perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya
menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka
menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian
sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang
ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat
menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."
Kaisar ini
menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini
seperti iblis saja.
"Siapakah
kalian?" tanyanya singkat.
Biarpun dua
orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan
tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka
berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar.
Mereka
saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka
yang menyeramkan. Apaiagi nenek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan
dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawabannya kepada
rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan
tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.
"Kami
berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka dan
mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua
sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai
habis semua anggautanya!"
Kaisar
mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadipun
melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan
orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Maka tanpa mengeluarkan komentar
diapun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.
"Dan
engkau siapa?"
Pemuda itu
menjura dengan sikap hormat.
"Hamba
adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak
hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan
percekcokan mereka, terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk
menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."
Kaisar
semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu
berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar
itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam
ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun
agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan
segala macam petualang itu. Maka diapun berpaling kepada dua orang perwira
pengawal,
"Mari,
antar aku pulang, aku lelah sekali!"
Tanpa banyak
cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda
tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang
pengawalnya.
Setelah
kaisar pergi, nenek itu terkekeh.
"Huh-huh,
begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah
membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"
"Kaisar
tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela
nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah,
siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat
denganmu!"
"Jangan
percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman tidurnya!"
Hwa-hwa Kui-bo mengejek.
"Wah,
masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka
ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan
sikap beringas.
Pemuda itu
tersenyum.
"Ha-ha,
sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah
Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho
yang terkenal itu, bukan?"
"Bagus
engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi
muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang
tampan itu.
"Engkau
menjadi muridku saja, dan apapun yang kau minta tentu terlaksana."
"Wah,
bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih
yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau
kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi
guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.
"Bagus!"
Hwa-hwa
Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki
pemuda yang menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang
Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya!
Kakek itupun
menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang.
Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian
untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih
dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu.
Ada dua
puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda
yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi disitu,
telah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena mereka hanya
mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!
"Engkau
tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa
namanya dan dimana tempat tinggalnya?"
"Bagaimanapun
juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan
kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas penting
kita!"
"Tapi
aku belum kalah!" tantang si nenek.
"Akupun
belum!"
"Mari
kita lanjutkan!"
"Hushhh!
Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"
"Sialan!
Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.
Paling ngeri
kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap.
Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi
sarang Kang-jiu-pang.
Menjelang
senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang
Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi
tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga
oleh beberapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang.
Ketika dua
orang datuk kaum sesat itu tiba disitu, mereka tidak berani sembarangan
bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa
perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai sekali, terutama sekali
kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna itu.
Juga mereka
tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang
jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil
tindakan secara terbuka karena bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak
pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa
mendapat angin.
Ternyata
bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika
mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki
tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh
kuat dan sikapnya tenang dan angker.
Inilah Song
Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu
yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan
hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang!
Di
sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan
penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit
itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar
itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara
mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.
Sejenak
kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memperlihatkan
kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan
usahanya.
"Sejak
kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim
Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu
nampaknya tidak sabar lagi.
Kakek dan
nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu
diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak
kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu
kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.
Dengan sikap
tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar
senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata,
"Dan
sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"
"Hemm,
sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?"
Kembali Song Pak Lun bertanya.
"Orang
she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa
Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau
tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari
Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah,
sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah
kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu
mencabut pedangnya.
Wajah Song
Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, sepasang matanya
lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut mendengar
disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah
keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mendengar kesombongan
nenek itu.
"Kami
adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagahan. Kalau
kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu
walaupun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu
lawan satu, kalau aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan
Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala
kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."
Koai-pian
Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah
tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru,
"Kami
datang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu,
kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi
dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"
Diam-diam
Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka
di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua
itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Kalau mereka berdua maju bersama,
tentu terpaksa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan
kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Kalau pembantu
itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu
mereka akan dapat menang!
Song Pak Lun
juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukan tidak masuk akal
ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata,
"Pangcu,
biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."
Akan tetapi
Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid
pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi diantara murid-muridnya.
Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa
kalau dia membiarkan seorang diantara mereka maju, hal itu hanya berarti
membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja.
Tidak,
usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau
perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid
lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.
"Aku
akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.
"Tidak
adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua
Kang-jiu-pang!"
Tiba-tiba
terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis
itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah
mereka perebutkan!
Pemuda itu
dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan
senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri
disitu sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.
"Kau...
ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?"
Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk
dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih
dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"
Pemuda itu
tertawa.
"Sayang
seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu
kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."
Pemuda itu
agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena
tidak ada yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara
tentang mukanya dan kedoknya.
"Bocah
keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.
Sementara
itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika
murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa pemuda inilah yang pernah
membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid
Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan.
Tidak
mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu
Kang-jiu-pang menghadapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan.
Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.
"Kang-jiu-pang
tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih
ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentaknya.
Pemuda itu
menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura.
"Maaf,
pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak
mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa
dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru
kuketahui bahwa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus
kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."
"Hemm!"
Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu
usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak
dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!"
Pemuda itu
agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara tidak ada gunanya.
Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga
berwatak baja yang keras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserah,
kalau tidak boleh membantu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku
sendiri masih mempunyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan
sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk
maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau
kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya
kepadaku!"
Mendengar
ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua
anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak,
lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti
itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina.
Pemuda itu
memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk
memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara
mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil
baik.
Dua orang
datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara
menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak
nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah
kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan
kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan
bermulut besar.
"Eh,
luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.
"Wuuuuttt...
singgg...!"
Paku di
ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang
kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil
tersenyum-senyum.
"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Pecut itu
meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja,
menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin
dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung
pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.
"Wah,
tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.
Song Pak Lun
bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri
yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu,
dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah
urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang.
Akan tetapi
tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo
dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup
hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi
tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat
itu bersama.
Kedua tangan
ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi
persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar,
bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo.
Nenek ini
maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat
mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.
"Tranggg...!"
Nenek
berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani
menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan
tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya
bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan
yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat!
Barulah ia
tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja
sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan
mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi
perkelahian yang amat seru dan mati-matian diantara mereka, ditonton oleh para
anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.
Akan tetapi,
ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo
mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan perkelahian antara Koai-pian
Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta
Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat
kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping mereka menjadi
terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong.
Pemuda itu
benar-benar memiliki gerakan yang amat lincah. Dia tidak mengandalkan kecepatan
ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandalkan gerak kaki yang
demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan
kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar
dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia mentertawakan lawannya.
"Wah,
luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."
"Sing...!
Wirrr... singgg...!"
"Nah,
tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar
jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"
"Wuuuuttt...
sing...!"
"Apa
kubilang, luput lagi...!"
"Keparat!"
Kakek itu
memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap
bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian
keras mengejutkan.
"Perlahan
dulu!"
Kakek itupun
terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung
cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari
tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya!
Semua orang
memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung
cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo
sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda,
lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Dia
mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan
tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan!
Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani
mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini
"berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba
"Singggg...!"
pemuda itu melepaskan jepitan jarinya!
Tentu saja
paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.
"Uhhh...!"
Hampir saja
muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat
mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak
pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.
"Nah,
apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya,
salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa
orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.
Kini wajah
Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya
menjadi penasaran sekali.
"Orang
muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"
Pemuda itu
tersenyum.
"Eh,
kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu?
Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar
engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia
bernama Hui Song!"
"Dari
perguruan mana?"
"Cerewet!
Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan
permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song
itu mengejek.
"Bocah
sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya.
"Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun
kepala Cia Hui Song.
Akan tetapi,
sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke
atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan
jari tangannya untuk menjentik.
"Tringgg...!"
Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!
Tentu saja
Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi
terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu
dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan
tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja
membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan
saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.
Kini baru
benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan
celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat
penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk
menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian
hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!
Sementara
itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi
sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan
kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali
bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar.
Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak,
"Kui-bo,
mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali.
Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah
melawan ketua Kang-jiu-pang.
Cepat tangan
kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum
akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil
menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki
jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah.
Kesempatan
itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar
Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui
Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya
mengambil langkah seribu.
Pemuda itu
lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura.
"Song-pangcu,
sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu
karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh
muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta
Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang
dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi
datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."
Song Pak Lun
menarik napas panjang.
"Kami
mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau
she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua
Cin-ling-pai?"
Kui Song
tersenyum dan mukanya menjadi merah.
"Aku
tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah
kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."
"Ahh...!"
Para
anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua
Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!
"Aku
mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan
kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.
"Terima
kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret,
hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah,
selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat
meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"
Cia Hui Song
lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama
kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan
Cin-an berikut keluarga mereka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu,
mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang
pergi entah kemana.
Cia Hui Song
adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua
Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang
telah berusia lima puluh tahun.
Para pembaca
kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini
menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang
sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih.
Ayah
mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi
Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa
Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto.
Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan
tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat.
Puterinya
ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong
Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang
hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang
anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh
satu tahun.
Setelah
ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai
ketuanya dan semenjak itu di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya,
Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih
murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga diantara murid-muridnya
banyak yang jadi.
Tentu saja
puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah
mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu
dari ibunya yang memiliki ciri khas.
Pemuda ini
sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san,
dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang
sejak mudanya berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi
hati.
Agaknya Hui
Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang
karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan
berbahaya sehingga seringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya.
Akan tetapi
dia tidak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga
akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri dan membiarkan puteranya tumbuh menjadi
seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan
pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.
Kehadirannya
di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan
tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid
Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan
sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an dimana
secara kebetulan dia dapat menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu
Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.
Setelah
memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui
Song sendiri segera pergi dari kota itu. Diapun merasa khawatir kalau-kalau
pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya
terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu
ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula!
Dia sendiri
masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik
oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo
dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik?
Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya?
Memang
pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak
tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu
sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang
memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.
Pada
keesokan harinya, Hui Song telah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia
harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan
atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang
dialaminya di Cin-an.
Sebelum dia
turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia telah melakukan penyelidikan kilat di
Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang
adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah
mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat
perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.
Siang hari
itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa
berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah
hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk
kecil itu untuk berteduh.
Di bawah
naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang menciptakan tempat teduh
dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui
Song segera tertidur setelah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman
bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.
Kita condong
beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini
haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak
haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak
haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan
mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah
adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan
tetapi, benarkah demikian adanya?
Kita melihat
petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati
makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa
demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir
batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia
kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja
menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan
dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal
ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya.
Sebaliknya,
kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas,
makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak
macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya
yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar
dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.
Jelaslah
bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin.
Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat
berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan
pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan
lahir batin itu daripada MENJAGANYA.
Kita hidup
tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan
kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita
membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula
dengan hiburan-hiburan!
Biarpun
hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah
hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar
nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja
rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih
dan kantuk.
Tiba-tiba
ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda
kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari
tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah
waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti
badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada
biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu
cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.
"Brakkkkk...!"
Gubuk itu
jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil
melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih.
Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat disitu
telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa.
Mereka ini
bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang
tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan
melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui
Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera
dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka,
diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke
arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.
"Wah,
kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat
hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"
Mendengar
ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.
"Bocah
sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo
sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala
Hui Song.
"Plakk!"
Hui Song menangkis sambil tertawa.
"Tak
tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!"
Tangkisan
itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek
bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo
sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya.
Agaknya
mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena
pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok
pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran
kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan
keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.
"Memang
sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut!
Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah,
terimalah ini untuk penyegar!"
Berkata
demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua
lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras
dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke
arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!
"Plakk!
Plakk...! Ihhh...!"
Kakek dan
nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini
dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati
mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak
mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan
kepandaian mereka.
Sui Cin juga
tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik
sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu
silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman
gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda
ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah,
tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara
seperguruan Cia Sun!
Di lain
fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi
melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya.
Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi
dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo
dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari
Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali diantara
murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga.
Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah
dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada
murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat
memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan gadis
remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis
ini?
Mereka
berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa
malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama.
Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling
pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari
ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut
pandang.
Pandang mata
pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya,
seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu
sebentarpun juga.
Sui Cin cemberut,
menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka
iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang
ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk
mempertajam panca inderanya, terutama sekali mata. Dengan air garam yang
dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka
tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam.
Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip
sampai berjam-jam!
Akan tetapi,
pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti
menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa
pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari
tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,
"Kau
melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"
Dibentak
demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong.
Dia dapat merasakan keadaan yang lucu diantara mereka, maka diapun tersenyum
lebar.
"Masih
cengar-cengir lagi, seperti monyet!"
Sui Cin
makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah
memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara
disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa
dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.
Akan tetapi,
karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis
dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara
itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!
"Ha-ha-ha,
sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat?
Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!"
Dia tidak
mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya,
takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya
ceriwis.
"Apa
hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi
suaranya masih marah.
Kini
terpaksa Hui Song berterus terang.
"Engkau
hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan
aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan
tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."
"Engkau
laki-laki... cabul...!"
Sui Cin
membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!
"Wuuutt...
singgg...! Heeiiittt...!"
Hui Song
cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri
kembali dan matanya semakin terbelalak.
"Wah,
tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi
iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku,
akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate,
kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"
"Manusia
ceriwis, cabul, sialan!"
Sui Cin
menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia
memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang
juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai
jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
karena dia tahu benar betapa hebat dan berbahayanya ilmu silat dara itu, dan
bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi,
diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin.
Dengan hati
penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu
sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas
menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek
Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan
tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.
Di lain
plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam
dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia
sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung
payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.
"Tahan
dulu...!"
Tiba-tiba
Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya,
akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi.
Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya
bersinar-sinar.
"Belum
ada yang kalah kenapa berhenti?" bentak Sui Cin penasaran.
Hui Song
tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh.
"Terus
terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika
iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan
lawan yang lebih tangguh lagi daripada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui
bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid
Cin-ling-pai..."
"Aku
bukan murid Cin-ling-pai!" bentak Sui Cin. "Apa kau kira hanya putera
ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"
Sepasang
mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali
membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui
Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah
terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.
"Wah,
aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua
Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya
dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai
hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua
Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum
bertunangan, apalagi menikah!"
Geli juga
hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini
membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.
"Siapa
perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua
puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggalkan
pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Melihat dara
yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut.
"Eh,
nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."
Akan tetapi
Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin-kangnya berlari
cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan diapun mengerahkan
tenaga dan kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga.
Dua orang
muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum
karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat merekapun memiliki tingkat yang
seimbang!
Sui Cin
mulai merasa lelah den iapun cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat
dimana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih
enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu mencengklaknya dan membalapkan
kudanya!
"Heiii,
tunggu...!"
Hui Song
penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika
melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil
itu, mana mampu lari cepat, pikirnya.
Akan tetapi
dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu
ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang
larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya
sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song
terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia
berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin
menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment