Thursday, September 20, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 05



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 05


Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.

"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini.

Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan manapun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.

"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"

Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!

Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.

Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.

Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang diantara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.

Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa heran mengapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.



                 ***************


 Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sutenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.

"Berhenti, atau kubunuh kaisar...!"

Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelalak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan kemarahan Iblis Buta.

Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,

"Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."

Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.

Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku.

Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!

Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang telah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.

Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gembira.

Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira.

Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.

Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, datang berlarian dengan pakaian basah kuyup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang diantara mereka.

Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun mengerutkan alisnya bertanya,

"Kalian siapa?"

"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."

"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.

"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."

Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja.

"Siapakah kalian?" tanyanya singkat.

Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar.

Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi nenek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.

"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggautanya!"

Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.

"Dan engkau siapa?"

Pemuda itu menjura dengan sikap hormat.
"Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."

Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaling kepada dua orang perwira pengawal,

"Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!"

Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.

Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh.
"Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"

"Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"

"Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.

"Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.

Pemuda itu tersenyum.
"Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"

"Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.

"Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kau minta tentu terlaksana."

"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.

"Bagus!"

Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya!

Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu.

Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi disitu, telah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!


                  ***************


 "Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.

"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya?"

"Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas penting kita!"

"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.

"Akupun belum!"

"Mari kita lanjutkan!"

"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"

"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.

Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.

Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh beberapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang.

Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba disitu, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai sekali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna itu.

Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka karena bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin.

Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan angker.

Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang!

Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.

Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memperlihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.

"Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.

Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.

Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata,

"Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"

"Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.

"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.

Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut mendengar disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.

"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagahan. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walaupun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu lawan satu, kalau aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."

Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru,

"Kami datang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"

Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Kalau mereka berdua maju bersama, tentu terpaksa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!

Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukan tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata,

"Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."

Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi diantara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang diantara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja.

Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.

"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.

"Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!"

Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!

Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri disitu sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.

"Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"

Pemuda itu tertawa.
"Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."

Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.

"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.

Sementara itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa pemuda inilah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan.

Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-jiu-pang menghadapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.

"Kang-jiu-pang tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentaknya.

Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura.
"Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bahwa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."

"Hemm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!"

Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara tidak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga berwatak baja yang keras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.

"Terserah, kalau tidak boleh membantu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempunyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"

Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina.

Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik.

Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.

"Eh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.

"Wuuuuttt... singgg...!"

Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.

"Tar-tar-tar-tarrr...!"

Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.

"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.

Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang.

Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.


               ***************


 "Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya.

Kedua tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo.

Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.

"Tranggg...!"

Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat!

Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian diantara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.

Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan perkelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping mereka menjadi terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong.

Pemuda itu benar-benar memiliki gerakan yang amat lincah. Dia tidak mengandalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandalkan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia mentertawakan lawannya.

"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."

"Sing...! Wirrr... singgg...!"

"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"

"Wuuuuttt... sing...!"

"Apa kubilang, luput lagi...!"

"Keparat!"

Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.

"Perlahan dulu!"

Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya!

Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba

"Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya!

Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.

"Uhhh...!"

Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.

"Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.

Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali.

"Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"

Pemuda itu tersenyum.
"Eh, kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!"

"Dari perguruan mana?"

"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.

"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.

Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.

"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!

Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.

Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!

Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak,

"Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang.

Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.

Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura.
"Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."

Song Pak Lun menarik napas panjang.
"Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"


cerita silat online karya kho ping hoo


Kui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah.

"Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."

"Ahh...!"

Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!

"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.

"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"

Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga mereka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah kemana.

Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.

Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih.

Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat.

Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun.

Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga diantara murid-muridnya banyak yang jadi.

Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas.

Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mudanya berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati.

Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga seringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya.

Akan tetapi dia tidak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri dan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.

 Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an dimana secara kebetulan dia dapat menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.

Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi dari kota itu. Diapun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula!

Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya?

Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.

Pada keesokan harinya, Hui Song telah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an.

Sebelum dia turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia telah melakukan penyelidikan kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.

Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh.

Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur setelah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya?

Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya.

Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.

Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA.

Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.

Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

"Brakkkkk...!"

Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat disitu telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa.

Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.

"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"

Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.
"Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

"Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.

"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!"

Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya.

Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!"

Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

"Plakk! Plakk...! Ihhh...!"

Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.

Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali diantara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang.

Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga.

Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mata. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam!

Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,

"Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"

Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang lucu diantara mereka, maka diapun tersenyum lebar.

"Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!"

Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.

Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!

"Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!"

Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.

"Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.

Kini terpaksa Hui Song berterus terang.
"Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."

"Engkau laki-laki... cabul...!"

 Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!

"Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!"

Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.

"Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"

"Manusia ceriwis, cabul, sialan!"

Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai.

Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat dan berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin.

Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.

"Tahan dulu...!"

Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.

"Belum ada yang kalah kenapa berhenti?" bentak Sui Cin penasaran.

Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh.
"Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tangguh lagi daripada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."

"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" bentak Sui Cin. "Apa kau kira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"

Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.

"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi menikah!"

Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.

"Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.

Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut.
"Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."

Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin-kangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga.

Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang!

Sui Cin mulai merasa lelah den iapun cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat dimana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu mencengklaknya dan membalapkan kudanya!

"Heiii, tunggu...!"

Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya.

Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12