Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 06
Cinta asmara
memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang sangat
kuat antar lawan jenis, antara pria dengan wanita dan daya tarik ini adalah
alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling
berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang membuat segala
sesuatu menjadi hidup berkembang.
Setelah
memasuki masa remaja dan akil balikh, seorang pria akan tertarik jika melihat
seorang wanita, atau sebaliknya. Hal ini sangat wajar. Kelenjar-kelenjar di dalam
tubuh bekerja, otak yang penuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik
itu diperkuat oleh adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut
selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera
kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh banyak pria,
atau juga sebaliknya.
Pertemuan
pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan selera
masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi hal ini tidak atau jarang
sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul
setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal
keadaan satu sama lain.
Betapa pun
juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tak mungkin berlanjut
dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di
sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apa bila sudah memperoleh
bahan bakarnya, maka bunga api yang berpijar itu akan membakar hati.
Dan kalau
dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang
akan mampu mengalahkannya. Badan boleh saja dipisah dengan kekerasan, akan
tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.
Setelah kuda
kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi,
Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan
lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari
muka dan lehernya. Hatinya mendongkol dan kecewa sekali.
Tentu saja
dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka pada dara itu, apa lagi mencinta.
Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Ia hanya merasa amat tertarik sehingga
ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang
usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihai, demikian
manis, dan demikian bengalnya!
Dia merasa
tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun
bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan
senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa?
Dia pernah
mendengar dari ayahnya bahwa cukup banyak pendekar-pendekar sakti yang masih
ada hubungan dengan Cin-ling-pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua
Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang
tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, namun dia tidak
pernah mendengar tentang keadaan mereka, apa lagi tokoh-tokoh lain yang belum
diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di
dunia ini.
Maka
tidaklah mengherankan apa bila ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai. Akan
tetapi kalau yang menguasai ilmu itu adalah seorang dara yang masih demikian
muda namun sudah sedemikian mahirnya sehingga tidak kalah oleh dia sendiri
sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia
penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!
"Bocah
bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!" Dia lalu mengepalkan tinju
dan cemberut, akan tetapi kemudian dia tersenyum lebar.
Kalau
bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya? Dan mana mungkin dia marah-marah
terhadap dara selucu itu? Betapa pun juga, kalau tidak muncul dara itu yang
membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui
tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu?
"Aku
akan mengucapkan rasa terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan
dalam hatinya sendiri.
Hui Song
bangkit berdiri lalu melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh
sekali, dia merasakan sebuah kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa
dengan hati ini, pikirnya.
Dia merasa
kesepian! Dunia tampak begini kosong dan sunyi sekali, tak menggembirakan lagi.
Mengapa begini? Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir
tak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.
Hidup kita
merupakan urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain,
dengan siapa pun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri
yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula
yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini
menjadi sorga atau neraka!
Kita hidup
ini berarti kita sendirian, walau pun secara lahiriah kita saling bergantung
dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah
urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa
kita ini sendirian! Tapi bukan berarti kita kesepian!
Sekali kita
bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu
bila mana kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar!
Dan perpisahan selalu menjadi akhir dari pada pertemuan. Ketergantungan kepada
orang lain ini yang menimbulkan rasa takut dan rasa kesepian, rasa sengsara.
Juga
ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok, dan lain
sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai
manusia yang hidup dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita pun
mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi oleh hukum. Akan tetapi, lahiriah
boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyai isteri dan anak, keluarga,
sahabat, harta benda, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya
secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu
akan mengakar di dalam hati sehingga bila sewaktu-waktu dicabut, maka hati ini
akan terluka dan menderita!
Bukan
berarti bahwa acuh tak acuh kepada segala yang kita punyai termasuk anak isteri
dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati,
namun cinta bukan berarti ikatan batin. Sebaliknya, jika batin terikat, yang
mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin memiliki secara
batiniah, ingin menguasai, maka dari sini timbullah benih-benih penderitaan.
Betapa kita
selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang
menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu
keinginan memiliki inilah yang akan mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan
yang kadang kala menjurus ke arah kejahatan.
Padahal,
apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di dunia ini?
Bahkan tubuh kita sendiri pun tidak bisa kita miliki selamanya! Semuanya akan
musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber
segala derita.
Hati Hui
Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja
tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya makin
penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua
Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, menduga siapa adanya dara itu pun belum
dapat!
Dengan
murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan
menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal
di Puncak Bukit Perahu, tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan
dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga
Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat
menduga siapa adanya gadis manis itu.
Pada
keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini
ramai sekali terutama karena letaknya di pinggir sungai Huang-ho. Dari kota
ini, melalui sungai, orang bisa mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai ke
kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an
sehingga kota ini menjadi makmur dengan toko-toko serba lengkap dan besar.
Tidak ada
orang yang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang
pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran, bahkan ada tambalan di
sana-sini walau pun cukup bersih. Tak ada seorang pun yang menduga bahwa pemuda
tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang
mempunyai ilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah
menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.
Hui Song
adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Walau pun dia putera
ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang
secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan
tidurnya pun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan jika terpaksa
tidur di rumah penginapan, dia pun memilih rumah penginapan yang kecil
sederhana dan tidak banyak tamunya.
Hari sudah
siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah
melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia kemudian mendengar bahwa
pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak,
akan tetapi tidak ada seorang pun anggota Kam-jiu-pang yang tertangkap karena
sarang itu sudah kosong tak tampak seorang pun anggota Kang-jiu-pang.
Mendengar
berita ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan
orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri ingin membersihkan
pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar,
hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka pun gagal dan mereka bahkan
kehilangan beberapa orang anggota yang tewas oleh amukan iblis-iblis
Cap-sha-kui.
Hatinya
gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mau mentaati nasehatnya dan
semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah
ringan dan hati senang dia pun lantas memasuki pasar di kota itu untuk mencari
pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.
Begitu
memasuki pasar, Hui Song tertarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di
luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang
datang untuk berbelanja. Di luar pasar dijual sayur-mayur yang diletakkan dalam
keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang dibentangkan di
atas tanah begitu saja.
Keramaian
yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat
banyak orang berpakaian jembel sedang berlari-larian dengan wajah amat girang.
Hatinya tertarik dan dia pun melangkah mendekat ke tempat di mana para jembel
itu berkerumun merubung sesuatu. Dan dia pun langsung terheran melihat seorang
pemuda remaja yang juga berpakaian tambal-tambalan berdiri di tengah-tengah
rubungan para jembel itu.
Pemuda ini
berwajah kotor penuh debu sehingga wajahnya sukar dikenali, penuh keringat
pula, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Di sebelahnya ada
sebuah karung yang penuh berisi logam! Dan pemuda remaja ini sedang
membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, demikian royalnya dia
menyebar uang bagaikan orang membuang pasir saja!
Tentu saja
hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar
biasa kalau seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian
banyaknya kepada kaum jembel dengan sikap bagai seorang hartawan besar yang
sudah kebanyakan uang rupanya. Dan kini bukan hanya para jembel yang antri
untuk menerima bagian pemberian, bahkan mereka yang miskin dan kebetulan berada
di pasar, baik untuk berjualan mau pun untuk berbelanja, tidak malu-malu untuk
ikut pula antri.
Pemuda
remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan lalu
mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat
meninggalkan tempat itu biar pun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya secara
tiba-tiba saja semua orang merasa ketakutan seperti ada bahaya yang mengancam
keselamatan mereka.
Semenjak
tadi Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam
hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat ada seorang pemuda jembel
membagi-bagikan uang secara demikian royalnya. Sungguh penglihatan itu sangat
tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik.
Orang-orang
kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang
jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja
hal ini pun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel?
Kalau benar demikian, apakah betul uang yang dibagi-bagikan itu adalah uangnya
sendiri ataukah uang curian? Biar bagaimana pun juga, hati Hui Song tertarik
sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel
itu.
Dia pun
melihat betapa semua orang bubaran lantas melarikan diri dengan wajah seperti
dicekam rasa takut. Keramaian di lapangan depan pasar itu jadi berkurang. Hanya
mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di situ, akan
tetapi wajah mereka pun membayangkan rasa takut.
Sebaliknya,
pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam
karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang
antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Dia pun mengangkat muka,
lantas memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari
ini, tiba-tiba saja, tanpa sengaja, sepasang mata jembel muda itu bertemu
dengan pandang mata Hui Song.
Hui Song
terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan
tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, begitu bertemu
pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu!
Dia
mengingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu sedah membuang muka
dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga
cepat memandang ke sana dan tahulah dia sebab dari pada bubarnya semua orang
tadi.
Dua orang
kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas
menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis oleh karena pakaian itu
penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih
baru, malah kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru!
Keduanya
memegang tongkat dan biar pun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi
sikap mereka pada waktu melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu
tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang
berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas
dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar
memegang tongkat komando saja.
Sungguh
aneh, akan tetapi juga amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia pun
tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang
badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi jelas bahwa munculnya
dua orang kakek pengemis inilah yang menjadi penyebab bubarnya semua orang
tadi.
Sekarang pun
mereka berjalan bagaikan orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua
orang di sana yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut,
bagaikan orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di
tempat umum.
Siapakah adanya
dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang
menyingkir ketakutan begitu mereka muncul? Mereka itu adalah dua orang tokoh
perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).
Dahulu,
ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman,
perkumpulan ini dikenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini
hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu
agar mereka itu bisa terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan
kebiasaan mereka mengemis. Mereka memiliki ilmu silat juga bertujuan untuk
membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini,
setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki
tangan Liu-thaikam, mulai berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.
Kini Hwa-i
Kai-pang dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua
Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama
sekali tak dapat disebut bijaksana atau budiman. Apa lagi setelah dia dapat
dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berubah
sama sekali.
Liu Kim atau
Liu-thaikam adalah seorang yang sangat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak
memiliki kekuatan apa pun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal
itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia
adalah orang yang pandai melaksanakan pekerjaan. Segala perintah pekerjaan yang
diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik.
Tetapi dia
pun seorang yang senang sekali menumpuk harta sehingga untuk memuaskan nafsu
yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu
saja menimbulkan tentangan dari banyak pembesar yang setia dan jujur. Dan untuk
melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam lantas menyuruh
kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana.
Dengan
menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai
dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan pada akhir-akhir ini
dia berhasil pula memperalat Cap-sha-kui.
Dan tentu
saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang
menjadi pohon emasnya! Apa bila kaisar muda itu sampai diganti, hal itu berarti
dia akan kehilangan kedudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga
mungkin saja nyawanya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga
keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya
karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai sebuah
kesetiaan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.
Bukan hanya
Cap-sha-kui yang terkena bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi
juga perkumpulan-perkumpulan kuat lainnya. Salah satu di antaranya adalah Hwa-i
Kai-pang yang kini berpusat di kota Cin-an dan sebagian membuka cabang di kota
raja.
Karena
mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini sangat kuat dan memiliki pengaruh yang
luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam cepat menyuruh kaki tangannya untuk
menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng, kemudian dengan pengaruh harta dan
juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh lalu dia membawa
seluruh anggota perkumpulan untuk menjadi kaki tangan yang setia dari
Liu-thaikam.
Kepercayaan
dari orang penting berarti kekuasaan dan kekuasaan merupakan milik yang amat
berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini
bahwa sesudah memiliki kekuasaan, kebanyakan orang menjadi mabok kekuasaan lalu
menyalah gunakan kekuasaannya.
Pada
umumnya, kekuasaan akan membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin
memamerkan kekuasaannya dan apa bila hal ini sudah terjadi, maka timbullah
perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Orang-orang
yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah
batinnya, hilang peri kemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi
melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.
Demikian
pula keadaan para anggota Hwa-i Kai-pang. Sejak mereka menjadi kaki tangan
Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah
mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya
lalu mereka hendak memaksakan segala macam keinginan mereka terhadap rakyat
tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi. Juga
tidak ada pembesar berani menentang mereka sesudah mengetahui bahwa para
pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam!
Mereka ini
semakin besar kepala saja, terutama sekali di kota Cin-an, mereka seolah-olah
lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Manyiksa dan membunuh
orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka
siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap
pemerintah.
Begitulah
keadaan para anggota Hwa-i Kai-pang yang amat mudah dikenali dari pakaian,
tongkat serta gaya mereka. Maka tidaklah mengherankan apa bila orang-orang
melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggota Hwa-i Kai-pang muncul di
pasar itu.
Biasanya
para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak-anak buah mereka yang masih
muda-muda saja. Kalau kini nampak dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan
terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.
Hui Song
belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka dia pun merasa heran dan
tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang
akan dilakukan kakek itu.
Pada saat
itu pula datang seorang pengemis muda, paling banyak baru tiga belas tahun
usianya. Agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk
bisa ikut memperoleh pembagian uang. Dia berlarian menghampiri pemuda jembel
yang membagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat
minta-minta.
Pemuda
remaja itu memandang heran, tersenyum gembira dan memberikan segenggam uang
logam sambil berkata, suaranya lantang gembira. "Bagus, ini kuberi banyak
sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan
penakut."
Mata anak
itu langsung terbelalak begitu melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum
pernah dia memiliki uang sebanyak itu! Dia merasa gembira sekali sehingga lupa
dengan kemunculan dua orang kakek pengemis tadi. Sambil tersenyum lebar dia
segera menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata,
"Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah
berseri.
Akan tetapi
tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di hadapannya. Anak
itu mengangkat mukanya memandang lalu tiba-tiba mukanya berubah menjadi pucat
ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah salah seorang di
antara dua kakek pengemis baju kembang tadi.
"Aku...
aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan apa-apa..." Anak itu
segera membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.
"Plakkk!"
Tangan kakek
itu bergerak dan tubuh anak jembel itu pun lantas terpelanting, uang yang
digenggamnya terlempar ke mana-mana. Dia pun menangis sambil memegangi
kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya membengkak
dan matang biru akibat tamparan yang amat keras tadi.
"Masih
kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak engkau hanya akan menjadi maling atau
perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek
pengemis.
Banyak orang
yang menonton kejadian itu. Kakek pengemis kedua berdiri dengan tongkat melintang
dan pandang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan
berani menghalangi mereka berdua.
"Ampun...
aku tidak berani lagi, ampun...!" Anak itu terus meratap ketakutan ketika
kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju
menghampiri dirinya dengan air muka bengis dan sadis.
"Ulurkan
lenganmu! Cepat!" bentaknya.
"Tidak...
tidak... ampunkan aku..." Anak itu terus saja meratap. Dia telah mendengar
akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini, maka tentu saja anak itu
menjadi amat ketakutan ketika mendengar bahwa kedua lengannya akan dipatahkan.
"Apa?!
Engkau berani membantah? Apakah engkau lebih ingin lehermu yang kupatahkan dari
pada kedua lenganmu?"
"Ohh...
ampunkan aku...!" Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu
menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.
"Berani
engkau melarikan diri? Engkau layak dibunuh!" Kakek itu membentak sehingga
si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat tetapi tiba-tiba saja
dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.
"Aduh,
ampun...!" Anak itu menggigil lantas mengangkat muka memandang. Akan
tetapi yang ditabraknya itu ternyata bukanlah kakek pengemis tadi, melainkan
seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Jangan
takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui
Song!
Semangat
anak jembel itu pulih kembali dan dia pun segera melarikan diri meninggalkan
tempat berbahaya itu, hampir tak percaya bahwa kedua lengannya masih utuh. Dia
dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja
dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada
orang yang berani mencampuri urusan mereka, apa lagi menentang mereka. Pemuda
berbaju kedodoran itu sungguh lancang bukan main. Menyuruh bocah itu pergi sama
saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua segera berloncatan ke depan
pemuda itu dengan tongkat melintang di depan dada dan pandang mata penuh
ancaman.
"Siapakah
engkau, demikian berani mampus menentang kami?" bentak kakek pengemis yang
bertahi lalat di dagunya itu.
Hui Song
tersenyum mengejek. "Siapa adanya aku bukan hal penting, karena aku hanya
orang biasa saja. Akan tetapi kalian inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini
jelas dua orang kakek, akan tetapi memakai pakaian kembang-kembang, begitu
penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, bahkan kalian hendak mematahkan
lengan anak kecil. Sungguh luar biasa sekali, tidak lumrah manusia. Siapakah
kalian?"
Dua orang
kakek itu saling pandang dengan muka merah. Selama ini belum pernah ada manusia
sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam
melotot dan membentak,
"Bocah
kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh
Hwa-i Kai-pang!" Agaknya kakek ini ingin menggertak dengan menggunakan
nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.
Akan tetapi
pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, sedikit pun tidak
nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang. "Hemmm, kalau namanya seperti
perkumpulan pengemis, akan tetapi jika melihat tindakannya, patutnya
perkumpulan para tukang pukul. Apakah kalian ini pengemis merangkap tukang
pukul?"
"Lancang
mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi
lalat.
"Menjaga
keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.
"Anak
itu sudah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu sudah mencuri uang sedemikian
banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti
tukang tadah barang curian."
"Wah,
wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus
hakimnya!" Pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang tiba-tiba berkata
dengan suara nyaring sekali, "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih
seperti tiga nenek-nenek tua yang bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan
habis perkara?"
Ucapan ini
entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau justru
kepada ketiganya. Akan tetapi ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua
orang pengemis itu sudah berteriak marah lantas tongkat di tangan mereka
bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.
"Hemm,
kalau begitu kalian adalah orang-orang jahat, tidak salah lagi!" Hui Song
berkata sambil mengelak dengan sigapnya, lantas balas menyerang dengan
tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat
mereka akan tetapi Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat
itu.
"Plakk!
Plakk!"
Kedua orang
kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat
kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sinkang yang amat besar, jauh
lebih kuat dari pada mereka. Mereka pun segera mendesak lagi dengan permainan
tongkat mereka yang cukup hebat. Akan tetapi kini Hui Song melayani mereka
sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Kalian
berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka sekarang
biarlah aku membalaskan mereka yang pernah kau pukul!" Hui Song berkata
dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.
"Takk!
Takk!"
Tanpa
terhindarkan lagi kepala dua orang pengemis itu terkena jitakan jari-jari
tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang
menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan.
Hui Song
memang mempermainkan mereka. Kalau saja jitakan di kepala tadi dia lakukan
dengan pengerahan sinkang, tentu kepala dua orang itu telah retak dan mereka
pun akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja,
cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.
"Bagus...
bagus... hantam terus...!" terdengar suara orang bersorak.
Ternyata
yang bersorak itu adalah Sui Cin yang sedang menyamar sebagai jembel muda yang
membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau
bukan Ceng Sui Cin? Sungguh pun dia selalu menyamar sebagai jembel muda atau
gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya.
Orang
tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang
memiliki harta benda sangat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi
ahli waris dari Harta Karun Jenghis Khan. Maka sesungguhnya tidaklah terlalu
mengherankan kalau Sui Cin bisa menghambur-hamburkan uang receh itu seperti
orang membuang pasir saja.
Ketika Hui
Song muncul tadi, seketika Sui Cin mengenali pemuda tinggi besar lihai yang
menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama
sekali karena dia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan dia merasa
yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran.
Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu menghadapi dua orang kakek
pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira sehingga dia
pun bersorak.
Orang-orang
di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh
dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi
bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang
Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak melihat dua orang tokoh pengemis itu
terkena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya!
Mendengar
sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia bertemu dengan seorang
pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan saja menghamburkan uang
untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga mempunyai
nyali cukup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek
pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu.
Memperoleh
dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat pula mempermainkan dua orang
kakek pengemis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua pada waktu
tendangannya membuat mereka roboh. Karena yang ditendang itu pinggul mereka,
maka akibatnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa
mereka meringis kesakitan lagi.
Tentu saja
mereka menjadi makin marah karena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat
tinggi mereka mengenal orang pandai, sebab itu mereka juga maklum bahwa mereka
bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk
mundur atau mengaku kalah.
Dengan kemarahan
meluap mereka pun menyerang kembali, kini serangan mereka yang didorong luapan
amarah menjadi membabi-buta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song
untuk melayani sambil mempermainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya
membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh
babak bundas.
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh lalu dari luar masuklah banyak orang ke dalam lapangan
depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani menonton perkelahian itu
dari jarak jauh, kini pergi untuk tidak kembali. Mereka ketakutan melihat
kemunculan belasan orang anggota Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan penjaga
keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini
bersenjata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, dengan
kacau-balau tiga puluh orang lebih itu langsung mengurung, menyerbu dan
menyerang Hui Song!
Tentu saja
Hui Song harus menggunakan semua kelincahannya supaya bisa menghadapi
pengeroyokan orang yang demikian banyaknya. Di dalam hatinya dia merasa
penasaran dan juga heran.
Sudah terang
bahwa kawanan pengemis Hwa-i Kai-pang ini bukanlah golongan baik-baik,
terlampau kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Biasanya orang-orang
seperti ini digolongkan sebagai penjahat-penjahat, akan tetapi kenapa sekarang
pasukan pemerintah justru malah membantu mereka?
Dua kali
sudah dia menemui hal-hal yang aneh. Pertama kali, datuk-datuk sesat macam
Cap-sha-kui ternyata melindungi kaisar, dan yang kedua kalinya, kini pasukan
pemerintah malah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-i Kai-pang dan
menyerang rakyat baik-baik!
Maka dia
merasa penasaran sekali. Meski pun dia tidak ingin membunuh orang, sekarang dia
menambah tenaga dalam tamparan-tamparannya sehingga dalam waktu singkat saja,
dia sudah merobohkan enam orang dengan tulang lengan, kaki atau pundak
patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi.
Betapa pun
juga jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para anggota Hwa-i Kai-pang itu
rata-rata mempunyai ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga.
Bila dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sulit baginya karena sekali
mempergunakan ginkang dan meloncat keluar lalu lari, kiranya mereka itu tidak
akan sanggup menyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari
adalah sorakan dan teriakan pemuda jembel tadi.
"Hayo,
gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu,
baru gagah namanya!"
Teriakan-teriakan
ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda
jembel itu membikin dia menjadi bahan tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya
membuat dia merasa malu apa bila harus melarikan diri, takut dianggap penakut
dan tidak gagah!
Teriakan Sui
Cin itu tak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para
pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat turut mengeroyok pemuda itu
karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin
sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui
Song tertawa.
"Rasakan
kamu sekarang!" teriaknya ke arah pemuda jembel itu, akan tetapi diam-diam
dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda jembel itu
hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga dirinya sendiri
dari serangan banyak orang bersenjata.
Akan tetapi
pemuda ini terbelalak kaget saat melihat si pemuda jembel, sambil tersenyum
mengejek, menggerak-gerakkan dua tangannya lalu uang-uang logam yang
digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur bagaikan peluru-peluru ke arah
orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya.
Terdengar
teriakan-teriakan mengaduh lantas empat orang melemparkan senjata mereka,
terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap dan hampir lenyap
di dalam paha atau betis mereka.
"Aduhh...
aduhhh... kakiku...!" Mereka berteriak-teriak sambil berloncatan. Darah
mengalir membasahi celana mereka.
Segera Sui
Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira. "Ha-ha-hi-hi-hi, kalian
seperti sekumpulan monyet menari-nari... heh-heh!"
Para
prajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan
uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan runcing seperti
senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, lalu
menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran senjata
rahasia yang istimewa itu tak mampu ikut mengeroyok lagi.
Melihat
kelihaian pemuda jembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak diduganya
pemuda jembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang
melihat hasil sambitan-sambitannya.
"Ha-ha-ha-ha,
uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan kepada orang-orang baik untuk
membeli makanan penahan kelaparan, dan dapat pula digunakan untuk menghajar
orang-orang jahat."
Ketika tanpa
sengaja ada sebuah di antara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat
mengenai tulang kering seorang pengeroyok hingga orang itu berjingkrak-jingkrak
saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi girang bukan
kepalang. Maka, sambil masih tertawa-tawa gadis ini pun kini membidikkan
sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu. Makin banyak
yang terkena sambaran uang logam tulang kering kakinya, semakin banyak pula
yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin
terbahaklah Sui Cin.
Akan tetapi
sekarang pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya
pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu karena
diserbu dari belakang. Maka dia pun terpaksa berloncatan dan melakukan
perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong.
Gadis ini
selalu meninggalkan payungnya setiap kali menyamar sebagai pemuda jembel,. Payung
dan kuda cebolnya itu hanya dipergunakan kalau dia berpakaian sebagai wanita
saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu telah dititipkannya di tempat yang
aman.
Hui Song
menjadi semakin kagum melihat betapa di samping pandai menggunakan uang logam
sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda jembel itu pun lihai sekali
ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok
yang mempergunakan senjata tajam. Akan tetapi kekagumannya langsung bercampur
dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat
yang dimainkan pemuda itu.
Lagi-lagi
seorang ahli silat keluarga Cin-ling-pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali,
tetapi tiba-tiba saja dia pun teringat. Pantas dia merasa pernah berjumpa
dengan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat
itu. Sama benar dengan dara remaja nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan
tetapi jembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara
seperguruan?
"Heii,
sobat muda yang baik, tidak benar jika melanjutkan perlawanan terhadap pasukan
pemerintah. Hayo kita pergi!" kata Hui Song sesudah melihat betapa pasukan
pemerintah semakin banyak berdatangan dan melakukan pengeroyokan.
Sui Cin juga
merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu
sudah penuh dengan prajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main
kalau mendengar bahwa dia bermusuhan dengan pasukan pemerintah sebab hal ini
hanya bisa diartikan bahwa dia sudah menjadi pemberontak! Maka, mendengar
ucapan Hui Song, dia pun tertawa lantas meloncat sambil membawa dua genggam
uang logam.
Hui Song
juga meloncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin
cepat melempar-lemparkan dua genggam uang logam itu sehingga para pengeroyok
dan pengejar menjadi jeri. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota
Cin-an dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara. Hui Song lalu mengerahkan
ilmunya berlari cepat. Akan tetapi dengan hati kagum dan heran dia mendapat
kenyataan betapa jembel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya!
Perkelahian
dikeroyok banyak lawan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang
suka sekali bersilat, apa lagi menghadapi pengeroyokan banyak orang di mana
mereka berdua dapat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya.
Dan mengingat akan kelucuan pemuda jembel itu merobohkan lawan dengan
melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa.
Sesudah
mereka tiba di dekat hutan jauh di luar kota dan tidak melihat adanya pengejar,
maka berhentilah mereka sambil terengah-engah akan tetapi masih tertawa-tawa
gembira. Begitu melihat wajah pemuda jembel yang tertawa-tawa itu, hati Hui Song
sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu.
Mereka
berdua merasa amat lelah, bukan hanya disebabkan perkelahian tadi, akan tetapi
juga karena berlari cepat dan ditambah lagi akibat tertawa-tawa, maka mereka
berdua lalu menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin
menurunkan buntalannya dari atas punggungnya dan berkata sambil tersenyum,
"Ahh,
perkelahian yang amat menyenangkan!"
"Dan
engkau hebat sekali, sobat muda!" kata Hui Song dengan wajah
sungguh-sungguh. "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah
memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan,
terutama... ehhh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!"
"Hemm,
kebisaanku apa artinya jika dibandingkan dengan kelihaianmu?" Sui Cin
berkata sejujurnya karena dia pun kagum akan kepandaian pemuda putera ketua
Cin-ling-pai ini.
Dia telah
banyak mendengar tentang ketua Cin-ling-pai dari ayahnya. Menurut penuturan
ayahnya, ketua Cin-ling-pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang sudah
mewarisi ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, seorang yang menurut ayahnya
berwatak keras dan agak tinggi hati.
Dari
penuturan ayahnya, dia dapat menduga bahwa ayahnya tak begitu suka pada ketua
Cin-ling-pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini telah menikah dengan
puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati
Sui Cin masih belum percaya terhadap Hui Song dan sedang meraba-raba apakah
pemuda ini juga tinggi hati seperti ayahnya.
"Sobat
muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi
aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."
"Nanti
saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar sekali, apakah
engkau mau makan bersamaku?"
Hui Song
tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu. "Lapar? Makan? Ah...
tentu saja, aku pun lapar," katanya gembira karena melihat kelucuan ini.
Sui Cin
membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit
saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu cepat menutup
kembali buntalan pakaiannya itu, seolah-olah dia tidak ingin Hui Song melihat
isi buntalannya. Dan memang tentu saja dia tidak menginginkan pemuda itu
melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk
mengalihkan perhatian pemuda itu yang sedang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin
bertanya,
"Sobat,
makanan apakah yang paling kau sukai?"
"Aku...?"
Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri-seri. "Aku suka
makan... kodok!"
"Hah?
Katak? Katak buduk?" Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan
dua matanya. Untuk sejenak Hui Song terpesona. Mata itu begitu lebar dan
indahnya, segera mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.
"Ha-ha-ha-ha,
tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat
di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan
dagingnya lembut itu!"
Sui Cin
tersenyum mengejek. "Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan
di restoran pun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya
hanya nasi cap-jai, bila engkau lapar boleh makan bersama denganku. Tentu boleh
saja kau makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya,
batunya juga boleh, kan?"
"Ha-ha-ha-ha!
Engkau sungguh lucu sekali!" Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka
bungkusan kertas itu. Ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar
yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.
"Nah,
silakan makan," kata Sui Cin.
"Tapi...
tidak ada mangkok dan tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song
bertanya.
"Alaaaa,
aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini? Tidak ada sumpit
katamu? Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit
alam, untuk apa jika tidak digunakan?" Berkata demikian, langsung saja Sui
Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk
menjumput nasi dan sayur lantas dimakannya dengan lahap.
Melihat ini
Hui Song terbelalak, lalu memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa
tangannya harus dicuci dahulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan
genit, dia pun berlaku nekat lantas mempergunakan tangannya itu, tanpa dicuci
atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan sikap kaku kemudian makan.
Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannya pun berada di
atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja.
Diam-diam
Hui Song semakin kagum pada pemuda remaja jembel ini yang agaknya telah
terbiasa hidup serba kekurangan dan bisa menyesuaikan diri dengan kesederhanaan
yang begitu polos dan tak dibuat-buat. Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi
menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir! Padahal, kalau dia mau
mempergunakan uang sekarung itu untuk dirinya sendiri, tentu dia akan dapat
makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekali pun!
Makin kagumlah dia.
Dia sendiri
pun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka
akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah ia makan menggunakan
lima sumpit alamnya, maka makannya pun tidak kelihatan selahap dan seenak
pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti
di tenggorokannya.
"Ada
apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba
berubah itu. "Apakah ada tulang melintang di kerongkonganmu?"
Pertanyaan
itu lucu hingga kembali mengundang kegembiraan hati Hui Song, akan tetapi tidak
mampu mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan
yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya.
"Apakah...
apakah makanan ini sisa makanan yang kau dapatkan dari rumah makan?"
Dugaan itu
timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu adalah seorang pengemis.
Bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari
restoran-restoran? Teringat bahwa yang ditelannya merupakan sisa makanan yang
dapat dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik
tadi.
Mendengar
pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah dia
lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka makan itu sehingga isinya
tumpah berserakan di atas tanah. Hampir saja Sui Cin menangis, akan tetapi ditahannya
karena dia teringat bahwa dia kini sedang menyamar sebagai seorang pemuda
sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.
"Ada
apakah? Mengapa... ahh, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghina,"
katanya gagap sesudah sadar bahwa dia tadi telah salah bicara.
Sungguh
watak yang aneh sekali, pikirnya. Seorang jembel muda membagi-bagikan uang dan
kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari mengemis sisa
makanan. Di mana bisa didapatkan seorang jembel seperti ini? Dan pakaiannya
memang jembel, mukanya penuh debu.
"Aku
bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.
Hui Song
mengangguk-angguk. "Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang.
Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."
"Aku
bukan maling!" Bentakan Sui Cin ini lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui
Song.
Keduanya
terdiam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah.
Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka
masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.
Tiba-tiba
saja, agaknya karena melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal sedemikian
dekatnya, terdengarlah bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat
muka lantas saling pandang, dan seketika kebekuan di antara mereka mencair.
"Perutmu
berkeruyuk!" Hui Song berkata menahan senyum geli.
"Perutmu
juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui
Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang
keji membuat aku marah dan membuang makanan kita. Sekarang kita kelaparan dan
aku hanya tinggal mempunyai roti tawar kering saja."
"Roti
tawar amat enak dimakan ketika perut lapar."
"Memang."
"Dan
dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.
"Memang."
Biar pun
membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar
yang tersimpan dalam buntalannya dan dia nampak termenung.
Hui Song
memandang heran. "Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup
enak..."
Tiba-tiba
Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong. "Engkau suka swike...?"
Tentu saja
Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing
ditusukkan ke jantungnya itu. "Apa...?"
"Engkau
suka swike, terutama kodok batu...?" Kembali Sui Cin bertanya dan dia
menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit di mana nampak beberapa ekor burung
pipit sedang beterbangan.
Hui Song
memandang dengan mata terbelalak pada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya
berkerut, takut kalau-kalau pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi
yang tak menguntungkan, yaitu otaknya miring!
Orang yang
tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tak boleh dibantah,
demikian pikirnya. Maka dia pun mengangguk pasti. "Ya, ya... aku suka
sekali."
"Kalau
begitu tunggu di sini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!"
Dan sebelum
Hui Song sempat menjawab, Sui Cin sudah meloncat dan berkelebat lenyap dari
situ. Seperti terbang cepatnya dia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi
terus dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai
lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.
Tak lama
kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Dua tangannya
memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar-besar dan gemuk-gemuk! Empat
katak itu bergantung tanpa bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala,
panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya
hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.
Sui Cin
melemparkan keempat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui
Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.
"Wah,
engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya
sejujurnya.
"Engkau
tidak tahu katak apa ini? Bukan katak raksasa. Inilah dia katak batu yang
tulen! Kepalanya terpaksa harus kupecahkan dengan batu karena kodok batu ini
liar dan ganas sekali!"
"Tapi
yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."
"Memang
dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantulah aku
membersihkannya. Potong kepalanya dan juga ujung empat kakinya. Akan tetapi
jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya amat tipis dan tidak ulet, enak bila
dimakan bersama dagingnya. Bahkan apa bila kulitnya dilepas, dagingnya yang
terlalu lunak itu akan hancur ketika dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di
sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."
Sui Cin
membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua lantas menuju ke
sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan pekerjaan
ini sambil bercakap-cakap gembira, seakan-akan sejak lama mereka sudah menjadi
sahabat baik, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!
"Kenapa
kodok batu yang dagingnya lunak kau katakan kodok liar dan ganas?" Hui
Song bertanya.
"Kodok
batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Dan engkau tahu apa yang menjadi
makanannya?"
"Tentu
nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."
"Salah
sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu? Nah,
itulah makanannya!"
"Tidak
mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di
atas?"
"Kodok
batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu agar
turun dan menyambar umpannya."
"Apa
umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"
"Umpannya
adalah dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang sedang kelaparan dan ingin makan
burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, bila perlu sampai berjam-jam,
tanpa bergerak sehingga siapa pun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok
itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi
begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail,
kodok batu itu langsung menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki lantas
menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar dan ganas?"
Hui Song
mendengarkan dengan penuh rasa kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali
pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan
bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang amat tipis dan halus.
"Heran,
kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis,"
katanya.
"Ya,
dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut
kulitnya. Meski pun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, kulit katak
hijau lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah
saja mengupas kulit katak. Apa bila kepalanya sudah dipotong, dengan sekali
pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit
katak hijau, sebab kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng
kulit atau usus ayam!"
"Ha-ha-ha,
sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"
"Ahli
makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu.
Sayang kita tidak mempunyai alat-alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu
kecuali garam yang selalu kubawa di dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu
ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe,
hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat
sekali."
Hui Song
makin kagum dan mulutnya langsung menjadi basah karena bangkit seleranya oleh
keterangan tentang masakan-masakan sedap itu. "Dan bagaimana kalau
digoreng?"
"Kurang
tepat. Daging kodok batu terlalu lunak, maka akan hancur kalau digoreng. Untuk
gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Karena itu daging katak ini
terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis kita tidak
mempunyai alat masak dan bumbunya sih."
"Panggang
daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak sekali!" kata
Hui Song.
"Memang!
Akan tetapi daging ini tidak akan matang kalau kita hanya omong-omong saja.
Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok
ini!"
Tidak lama
kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti
tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat sekali sehingga mereka pun
makan lebih lahap dan gembira dari pada tadi....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment