Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Harta Karun Jenghis Khan
Jilid 01
KOTA An-keng
terletak di tepi Sungai Yang-ce, sebuah kota besar di utara Sungai itu dari
Propinsi An-hwi. Karena letaknya yang sangat strategis, yaitu dekat dengan
Sungai besar Yang-ce yang datang dari kota besar Wu-han dan menuju ke kota
Nan-king, maka kota An-keng ini amat ramai dan menjadi pusat perdagangan yang
diangkut melalui sungai itu.
Perdagangan
yang amat ramai di kota itu membuat An-keng menjadi tempat yang banyak
dikunjungi oleh para pedagang sehingga bukan hanya toko-toko besar, akan tetapi
juga restoran-restoran dan hotel-hotel tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.
Di samping
terkenal sebagai kota dagang yang ramai, juga An-keng mempunyai tempat plesiran
di tepi Sungai Yang-ce yang sengaja dibuat oleh pemerintah daerah. Tempat ini
adalah sebuah telaga buatan yang memperoleh airnya dari sungai itu dan di
sekitar telaga ini ditanami bunga-bunga yang indah. Juga telaga itu sendiri
merupakan tempat bersantai yang menarik.
Pada satu
bagian terdapat tanaman bunga teratai merah putih yang melatar belakangi
angsa-angsa putih berleher panjang yang berenang-renang dengan cantiknya di
sekitar bunga-bunga teratai itu. Ada bagian di mana orang dapat memancing ikan,
berperahu, atau duduk dengan santai di restoran-restoran di tepi danau buatan,
minum arak sambil menikmati pemandangan indah, melihat perahu-perahu berlalu
lalang ditumpangi muda mudi yang asik berpacaran.
Angin yang
sejuk membuat orang semakin betah dan suasana yang nyaman itu membuat orang
lupa bahwa dia telah menghabiskan seekor bebek panggang yang amat terkenal di
tempat itu, ditemani arak seguci kecil! Makin mabok, maka makin menarik dan
indahlah suasana di sekitar Telaga Teratai Merah Putih di kota An-keng itu. Di
sana sini terdengar sasterawan-sasterawan yang sedang mabok bernyanyi, atau
membaca sajak-sajak yang indah.
Makin siang,
suasana menjadi semakin meriah, apa lagi karena beberapa orang hartawan sudah
menyewa sekelompok wanita pemain musik dan penyanyi, membawa mereka ke dalam
perahu dan suara nyanyian dan yang-kim mengalun bersama-sama permukaan air
danau yang diguncang oleh perahu-perahu itu.
Di dalam
sebuah di antara restoran-restoran yang dibangun di tepi pantai, bangunannya
merupakan panggung agak tinggi yang menjulur ke air sehingga para tamu yang
duduk makan minum seolah-olah merasa tengah berada di atas perahu besar yang
tak bergerak, nampaklah sepasang orang muda duduk sambil menghadapi bebek
panggang dan arak. Mereka berdua merupakan pasangan yang amat cocok dan sedap
dipandang mata.
Yang pria
berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, berkulit muka putih dengan sepasang
alis hitam berbentuk golok, wajahnya tampan sekali dan gerak-geriknya juga amat
halus. Pakaiannya mirip seperti pakaian seorang pemuda pelajar, akan tetapi
jika biasanya para pelajar itu berpakaian dan bersikap sederhana, sebaliknya
pakaian pemuda itu rapi sekali, bahkan mendekati pesolek walau pun sikapnya
tidak berlebih-lebihan seperti biasa sikap pemuda-pemuda bangsawan yang
kerjanya hanya menjual tampang sambil memamerkan kekayaan padahal batinnya kosong.
Pemuda ini
berpakaian rapi, bersikap halus dengan senyum manis selalu tersungging di
bibirnya. Akan tetapi, kalau ada orang yang sudah biasa berkecimpung di dunia
persilatan dan mempunyai pandang mata seorang ahli, tentu dia akan curiga
kepada pemuda halus tampan ini. Kedua matanya mencorong penuh kekuatan, tajam
menusuk seperti hendak menembus dada orang lain untuk menjenguk isi hatinya.
Selain itu,
juga ada sesuatu yang tersembunyi di dalam gerakan halus itu, sesuatu yang
membayangkan kekuatan yang sangat hebat. Regangan-regangan jemari tangannya
jika bergerak, atau kedudukan tubuh dan kedua lengannya, bagi orang yang
berpemandangan tajam tentu akan mengenal gerakan otomatis seorang ahli silat!
Temannya
juga sangat menarik perhatian. Seorang wanita muda yang usianya sebaya, atau
andai kata lebih tua sedikit pun tidak akan ketahuan sebab wanita itu memang
cantik sekali dan ada kelembutan yang membuat dia nampak lebih muda dari pada
temannya.
Wanita muda
itu sungguh cantik jelita dan manis, kulitnya putih kemerahan dan seperti juga
temannya itu, dia pun mengenakan pakaian indah. Wajahnya yang cantik manis itu
tidak memakai hiasan terlalu tebal, dan memang hal itu tidak perlu, bahkan
mungkin akan merusak kecantikannya yang asli. Bibir yang tipis penuh itu memang
tidak membutuhkan pemerah lagi karena sudah merekah merah dan selalu seperti
basah. Alisnya yang kecil panjang itu memang sudah hitam sekali, tidak perlu
ditambah penghitam alis lagi.
Ketawanya
cerah dan suaranya merdu. Sepasang matanya juga akan membuat ahli silat yang
berpandangan tajam terkejut karena mata itu kadang-kadang mencorong,
kadang-kadang mengeluarkan sinar yang demikian dingin dan menyeramkan, akan
tetapi kadang-kadang juga penuh gairah yang hangat dan hidup.
Sejak tadi
keduanya duduk di restoran itu, makan minum, bercakap-cakap, kadang kala
berbisik-bisik dan nampak nyata kasih sayang terpancar pada pandang mata mereka
saat mereka sudah berbisik-bisik dan saling pandang seperti itu. Ada kalanya
mereka nampak seperti sepasang muda mudi yang asik berpacaran, akan tetapi
kadang-kadang mereka bicara serius.
Pada waktu
terdengar suara nyanyian dan suara sasterawan-sasterawan tua yang mabok
bersajak di atas perahunya yang meluncur tanpa tujuan di permukaan air,
terdengar gadis muda itu tertawa merdu dan tangan kirinya menutupi mulut dengan
gaya yang menarik.
"Apa
yang kau tertawakan?" tanya pemuda itu sambil menatap wajah temannya
dengan penuh kagum.
Sudah tiga
tahun dia hidup di samping wanita ini namun setiap kali dia masih terpesona
mengagumi kecantikannya. Apa bila gadis itu sudah tertawa, dengan sepasang
matanya ikut tertawa, dan hidungnya yang kecil itu agak dikernyitkan seperti
itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa terharu, keharuan yang muncul karena
rasa sayang yang demikian besar yang seolah-olah menembus jantungnya dan
membuat dia yakin betapa besar rasa cintanya kepada gadis ini. Rasa cinta
inilah yang mendatangkan semua keindahan dan kecantikan itu.
Bagi pandang
mata orang lain, belum tentu gadis itu akan nampak sedemikian cantik dan
indahnya di waktu tertawa seperti itu, akan tetapi bagi dia, dunia seolah-olah
ikut tertawa bersama mata yang bersinar-sinar, hidung yang tertarik ke atas dan
gigi yang mengintai sekilas di balik sepasang bibir merah basah yang terbuka
itu.
"Kau
tidak dengarkan sajak sasterawan tua yang berdiri bergoyang-goyang mabok di
atas perahunya yang lewat tadi?"
"Tentu
saja. Sajaknya indah dan dia mengeluh tentang hari tuanya. Dia ingin selamanya
tinggal muda untuk menikmati keindahan Danau Teratai Merah Putih." jawab
si pemuda. "Sajak itu menyedihkan, kenapa kau tertawa mendengarnya? Kurasa
tidak ada lucunya di situ."
"Hi-hik,
itulah karena engkau pun sama dengan dia. Beberapa tahun lagi dan engkau pun
akan menangisi usia tuamu seperti dia, hidup sebatang kara dan kesepian,
hi-hik!"
"Ihh,
mana mungkin? Kan ada engkau di sisiku?"
"Aku
pun akan tua dan meratapi nasibku kalau aku bersikap sepertimu. Itulah yang
lucu. Mengapa dia menyesali hari tuanya? Lihat, bukankah danau ini, Sungai
Yance itu, jauh lebih tua dari pada kita, dari pada sasterawan cengeng tadi?
Namun lihat, berkurangkah keindahannya? Nampakkah tuanya? Adakah penyesalan
pada danau dan sungai, juga pohon-pohon tua di seberang itu, akan ketuaannya?
Sama sekali tidak, mereka semua itu masih tetap muda, cantik menarik bahkan
dalam ketuaan mereka sekali pun."
Pemuda itu
memandang serius dan mengangguk-angguk. "Ada isinya dalam ucapanmu itu,
sayang. Memang. keindahan dan kebahagiaan terdapat di mana-mana dan pada saat
apa pun. Seorang muda pun tak akan bisa melihat keindahan dan menikmati
kebahagiaan kalau dia tidak mengenal indahnya saat ini. Dia, seperti juga
sasterawan itu, hanya akan menyesali diri, menyalahkan nasib, menginginkan
hal-hal yang tidak ada, maka datanglah kekecewaan, penyesalan dan duka cita.
Wah, wah, masih sepagi ini engkau sudah mulai berfilsafat!"
Gadis itu
tertawa. "Alam seindah ini, cuaca senyaman ini, dan hawa sesejuk ini,
siapa orangnya yang tidak berubah menjadi penyair dan ahli filsafat?"
Tiba-tiba
pemuda itu menyentuh tangan si gadis yang tergeletak di atas meja. Gadis itu
terkejut sebab sentuhan itu bukan sentuhan biasa, melainkan sentuhan yang
menyatakan guncangan perasaan. Maka dia pun menengok dan ikut memandang ke arah
pemuda itu memandang ke luar jendela dan dia pun melihat seorang laki-laki
mendayung perahunya lewat di bawah tempat itu dengan tergesa-gesa.
Laki-laki
itu sudah setengah tua dan dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah
seorang dusun sederhana. Akan tetapi wajahnya pucat dan matanya terbelalak
ketakutan. Dan agak jauh di belakangnya, sebuah perahu lain meluncur dengan
cepatnya.
Perahu ini
ditumpangi oleh dua orang laki-laki yang kelihatan kokoh kuat dan kasar, yang
mendayung perahu itu dengan sangat cepatnya, mengejar perahu pertama itu dan
pada wajah mereka terbayang kemarahan dan keganasan. Karena banyak perahu yang
berlalu lalang di situ, orang tidak akan tahu bahwa perahu yang ditumpangi oleh
kakek dusun itu sedang dikejar oleh dua orang dalam perahu yang lebih besar
itu.
Hanya karena
pemuda dan gadis itu duduk di atas dan kebetulan memandang ke telaga dan melihat
wajah orang di perahu pertama, mereka melihat hal yang tidak wajar ini. Apa
lagi karena memang keduanya mempunyai pandang mata yang amat tajam, berbeda
dari kebanyakan orang lain.
"Lihat,
dia terluka...," bisik gadis itu.
Pemuda itu
mengangguk. Dia pun sudah tahu bahwa kakek petani yang dikejar-kejar itu telah
mengalami beberapa luka pada tubuhnya. Luka memar dan gosong akibat
pukulan-pukulan berat di leher dan tengkuknya yang coba ditutupinya dengan
leher baju dan juga lengan bajunya yang kanan berlepotan darah yang sudah mulai
mengering.
Dan semua
ini dapat terlihat oleh pemuda dan gadis itu dari jarak jauh! Hal ini saja
sudah membuktikan bahwa sepasang muda mudi ini memiliki ketajaman mata yang
lain dan jauh lebih dari pada mata orang biasa. Kini perahu petani itu sudah
tiba di darat dan petani itu naik ke darat, lalu tergesa-gesa meninggalkan
perahunya.
"Mari
kita lihat!" kata pemuda itu dengan tenang. Dia pun memanggil pelayan,
membayar harga makanan minuman, lantas bersama gadis itu mereka keluar dari
restoran, agaknya tidak tergesa-gesa akan tetapi langsung mereka menuju ke arah
larinya petani yang kini dikejar-kejar oleh dua orang itu.
Petani itu
bukan lari ke arah kota An-keng, melainkan keluar kota, ke tempat yang sunyi,
agaknya memang ingin melarikan diri dari kejaran dua orang itu. Dia seorang
petani biasa agaknya, usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus dan
kasar, kulitnya agak kehitaman karena terlalu sering tertimpa terik matahari.
Jelas
merupakan seorang miskin yang biasa bekerja keras dan kasar. Sepasang matanya
yang kadang-kadang digunakan untuk memandang ke belakang dengan ketakutan itu
kini terbelalak. Mukanya pucat dan jalannya terpincang-pincang, tanda bahwa di
bagian kakinya pun sudah menderita luka.
Dari
belakangnya, dua orang yang tadi mengejarnya dengan perahu, sudah hampir dapat
menyusulnya. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, mulutnya yang
terlampau lebar itu menyeringai dan selalu seperti mengejek, matanya yang
sangat sipit itu seperti terpejam dan lehernya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh
laksana orang yang berpenyakit batuk kering.
Orang yang
ke dua bertubuh gemuk pendek, dengan mata lebar yang mengeluarkan sinar kejam,
mukanya seperti muka babi dengan kulit bertotol-totol merah. Di kedua punggung
mereka nampak tergantung sebatang golok besar.
"Petani
busuk, kau hendak lari ke mana? Ha-ha-ha-ha!" Si gendut berteriak
mengejar.
Tentu saja
petani yang berlari menggunakan kekuatan biasa, apa lagi dengan kaki yang
terpincang-pincang itu, bukanlah lawan dua orang yang agaknya memiliki
kepandaian ilmu silat dan pandai berlari cepat itu. Tahu-tahu dua orang itu
telah menghadang dari depan dan melihat ini, kakek petani itu dengan mata
terbelalak lalu membalik ke kanan dan lari sekuatnya, kembali ke arah danau!
Akan tetapi
sekali ini dia tiba di bagian pinggir danau yang sunyi dan tidak ada orangnya.
Sambil tertawa mengejek, dua orang itu mengejar, mempermainkannya laksana dua
ekor kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus yang sudah tersudut, tidak
mau segera menerkamnya, seolah-olah hendak menikmati lebih dulu pemandangan
tikus itu ketakutan setengah mati.
"He-he-heh,
petani tua bangka, lebih baik lekas berikan benda itu kepada kami dan kami akan
membunuhmu dengan cara lunak."
"Tidak,
tidak! Sampai mati tidak!" Petani itu berteriak dan tiba-tiba dia menubruk
seorang di antara mereka yang menghadang di depannya.
Tubrukan
petani ini sama sekali tidak memakai perhitungan, tidak menggunakan teori ilmu
berkelahi, namun tubrukan yang dilakukan karena terjepit dan terpaksa. Akan
tetapi justru serangan seperti inilah yang kadang-kadang membingungkan ahli
silat yang tingkatannya masih rendah dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek
itu menabrak dada orang tinggi kurus itu sampai terjengkang!
"Keparat!
Kau berani melawan?!" bentak si gendut itu, lalu nampak sinar golok
berkelebat ketika goloknya membacok.
Kakek petani
yang telah nekat itu tak mau mengelak, melainkan terus saja menubruknya.
Mengelak pun akan sia-sia belaka karena memang dia tak biasa berkelahi, dan
tidak tahu bagaimana caranya mengelakkan diri dari sambaran golok itu.
"Crakkk...!"
Tubuh kakek
itu lalu terguling, pundaknya terluka parah oleh bacokan golok serta sebuah
tendangan yang mengenai lambungnya membuat dia terguling-guling. Kini kembali
golok itu menyambar ke arah leher kakek petani.
"Desss...!"
"Uughhhh...!"
Si gendut berteriak mengaduh saat pergelangan tangannya bertemu dengan sepatu
yang menendangnya dari samping.
Demikian
kerasnya tendangan pemuda tampan itu, sehingga bukan hanya goloknya yang
terlempar, akan tetapi tulang pergelangan tangan itu juga menjadi patah. Si
tinggi kurus menjadi marah. Goloknya menyambar, akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara.
"Ngekkk...!"
dan dia pun roboh terguling karena tengkuknya disambar tangan halus gadis teman
pemuda itu.
Pasangan
muda mudi itu ternyata telah tiba di situ, agak terlambat sehingga kakek petani
itu sempat menerima bacokan serta tendangan, akan tetapi masih belum terlambat
untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Mereka menggerakkan kaki menendang, maka
tubuh dua orang penjahat itu terlempar ke arah danau.
"Byurrrrrr...!"
Dua orang
itu gelagapan dan berdaya upaya sekuatnya agar jangan sampai tenggelam. Mereka
telah terluka, akan tetapi karena terancam bahaya mati tenggelam, mereka bagai
memperoleh tenaga baru dan berenang ke darat, menjauhi pemuda dan gadis yang
amat lihai itu. Sepasang muda mudi yang lihai ini tidak lagi memperdulikan
mereka, melainkan cepat menolong petani tua yang menggeletak dengan napas
empas-empis.
"Bagaimana
keadaanmu, lopek?" tanya si pemuda tampan sambil memeriksa semua luka yang
diderita oleh kakek itu.
"Lekas...
lekaslah bawa aku pergi... tolonglah... auhhh... jumlah para penjahat itu
banyak sekali... lekas sembunyikan aku... ahhhh!" Dan kakek itu tak
sadarkan diri.
Pemuda dan
gadis itu saling pandang dan mereka melihat dua orang penjahat tadi telah
berhasil mendarat dan melarikan diri.
"Bagaimana?"
tanya si gadis tenang. "Kita menanti di sini kemudian menghajar mereka
semua?"
Pemuda itu
menggeleng. "Lebih baik kita sembunyikan dia dan merawatnya. Kurasa ada
tersembunyi rahasia yang menarik di balik peristiwa ini. Aneh kalau
penjahat-penjahat itu mengejar-ngejar dan mendesak seorang kakek petani miskin
seperti ini. Dan tadi agaknya mereka menghendaki suatu benda..."
"Baik,"
jawab gadis itu.
Pemuda itu
memondong tubuh si kakek petani dan sebentar saja dia bersama temannya sudah
berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Cara mereka berjalan cepat tentu
akan mengejutkan hati seorang ahli silat kelas tinggi sekali pun karena mereka
itu sudah mempergunakan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat luar
biasa!
Siapakah
gerangan pemuda dan gadis yang luar biasa ini? Orang yang mengenal mereka tentu
tidak akan heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian mereka karena pemuda itu
bukan lain adalah tokoh dunia persilatan yang pernah menggegerkan dunia
persilatan dengan julukannya yang amat menyeramkan, yaitu Pendekar Sadis! Dan
temannya, gadis cantik jelita itu pun pernah menjadi datuk kaum sesat yang
berjuluk Lam-sin atau Malaikat Selatan!
Pendekar
Sadis itu bernama Ceng Thian Sin. Di dalam usianya yang baru dua puluh tiga
tahun, pemuda ini telah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan yang
pada saat itu jarang bisa dicari bandingannya. Dia bukanlah keturunan
sembarangan orang, karena mendiang ayah kandungnya adalah Pangeran Ceng Han
Houw atau Pangeran Oguthai, yaitu seorang pangeran yang dulu pernah berambisi
untuk menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia, sedangkan mendiang ibunya adalah Lie
Ciauw Si, cucu dari ketua Cin-ling-pai!
Pendekar
Sadis ini bukan hanya sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, bahkan telah
menerima gemblengan dari banyak orang sakti, dan terutama sekali dia sudah
mewarisi peninggalan ilmu yang mujijat dari mendiang ayah kandungnya.
Sedangkan
temannya itu, yang dahulu pernah menyamar sebagai seorang nenek dengan julukan
Lam-sin sebagai datuk selatan, bernama Toan Kim Hong, juga bukanlah seorang
wanita sembarangan. Seperti juga Ceng Thian Sin, nona cantik jelita ini adalah
keturunan bangsawan karena dia adalah puteri seorang pangeran bernama Toan Su
Ong yang sakti.
Ibu
kandungnya adalah seorang wanita sakti pula bernama Ouwyang Ci yang mewarisi
ilmu rahasia dari Perdana Menteri The Hoo yang sangat terkenal itu. Seperti
juga Thian Sin, orang tua Kim Hong telah tiada dan dia hidup seorang diri,
mewarisi ilmu-ilmu yang sangat hebat.
Dalam
petualangan mereka, kedua orang muda yang sama-sama keturunan bangsawan tinggi
ini berjumpa, lantas saling tertarik, dan akhirnya saling mencinta. Sudah tiga
tahun mereka hidup bersama, hidup sebagai sepasang kekasih, sebagai suami
isteri walau pun mereka berdua tak pernah menikah secara sah. Hal ini sudah
mereka kehendaki berdua, dan walau pun mereka tidak disahkan dengan upacara
pernikahan, namun mereka saling mencinta, melebihi suami isteri yang menikah
dengan sah.
Thian Sin
dan Kim Hong hidup berdua di sebuah pulau kosong yang disebut Pulau Teratai
Merah, yang jauh dari daratan Tiongkok. Mereka hidup di pulau kosong itu dengan
penuh kebahagiaan, tetangga mereka hanya penghuni pulau-pulau lainnya yang
berdekatan dan kadang-kadang mereka naik perahu mendarat.
Sudah tiga
tahun lamanya mereka bertualang berdua, penuh kebahagiaan, penuh kasih sayang.
Dalam menghadapi apa pun mereka bersatu padu, saling mencinta, saling setia,
biar pun kekerasan hati masing-masing membuat mereka kadang-kadang bercekcok
juga! Akan tetapi, setiap percekcokan mereka seakan-akan merupakan pupuk bagi
cinta kasih mereka karena setiap kali habis bercekcok, mereka menjadi lebih
mesra lagi!
Demikianlah
riwayat singkat tentang Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, dua sejoli yang sama
cantik sama tampan, juga sama lihai ini. Sudah lama Ceng Thian Sin tidak lagi
mau menggunakan nama julukan Pendekar Sadis, juga Toan Kim Hong tak lagi
menggunakan nama julukan Lam-sin. Betapa pun juga, para tokoh kaum sesat masih
ngeri mendengar kedua nama julukan ini. Sesudah berkenalan sejenak dengan Thian
Sin dan Kim Hong, mari kita lanjutkan dengan mengikuti perjalanan mereka yang
penuh dengan petualangan itu.
***************
Luka-luka
yang diderita oleh petani tua itu amat parah, Thian Sin dan Kim Hong melihat
kenyataan ini dan mereka berdua hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa
nyeri saja, akan tetapi mereka maklum bahwa nyawa petani itu tidak mungkin
dapat ditolong lagi. Petani itu agaknya juga merasa bahwa keadaannya amat parah
dan bahwa dia harus meninggalkan rahasianya kepada dua orang yang telah
menolongnya itu, maka dengan suara tersendat-sendat dan napas terengah-engah
dia lalu menceritakan keadaannya.
Petani itu
bernama Ciang Gun, hidup di dusun Cin-bun-tang bersama dengan isterinya dan
seorang puteranya yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun. Keadaan mereka
sedemikian sederhana dan miskinnya sehingga untuk menikahkan putera tunggal
mereka yang bernama Ciang Kim Su saja, mereka tidak punya biaya.
Sebidang
tanah yang tak begitu subur menjadi sumber nafkah mereka, tapi hanya cukup
untuk mencegah mereka mati kelaparan saja. Untuk itu pun mereka bertiga, Ciang
Gun, isterinya dan Ciang Kim Su, harus mengerahkan tenaga bekerja di ladang
mereka.
Pada suatu
hari, kurang lebih satu tahun yang lalu, karena membutuhkan air yang mahal
karena musim kering yang terlampau lama, keluarga ini menggali sumur di tengah
ladang mereka. Ketika mereka sudah menggali tanah sedalam kurang lebih dua
meter, cangkul mereka bertemu dengan sebuah peti hitam kecil. Dengan hati penuh
ketegangan mereka mengeluarkan peti itu, membukanya dan di dalam peti itu
mereka menemukan sebuah peta dengan catatan huruf-huruf kuno, dan sebuah kunci
yang terbuat dari pada emas.
"Kunci
ini terbuat dari emas!" kata isteri Ciang Gun. "Cukup untuk dapat
ditukar dengan beberapa karung gandum!"
"Dan
sebagian untuk membeli bibit!" kata Ciang Gun girang.
Akan tetapi
Kim Su, putera mereka yang pernah duduk di bangku sekolah sungguh pun hanya
untuk dua tahun, menggeleng kepala. "Ayah dan ibu, kurasa kita telah
menemukan sesuatu yang amat berharga, yang jauh lebih berharga dari pada kunci
emas ini."
Ayah itu
memandang wajah puteranya dengan heran. "Maksudmu, gambaran corat-coret
ini?"
Kim Su
mengangguk. "Ini adalah sebuah peta dan kurasa peta ini menunjukkan tempat
penyimpanan sesuatu yang amat berharga dan kunci ini untuk membukanya.
Bayangkan saja. Baru kuncinya saja sudah terbuat dari emas, apa lagi
barang-barang yang disimpan di dalam tempat terkunci itu!"
"Harta
karun...?" Ayahnya bertanya dan ibunya terbelalak.
"Aku
belum tahu benar, ayah. Itu hanya dugaanku. Sayang bahwa huruf-huruf ini sangat
kuno dan aku tidak dapat membacanya. Akan tetapi, bukankah paman Su yang
tinggal di kota raja mengenal banyak sasterawan pandai?"
"Kau
benar, Kim Su!" kata ibunya yang merasa bangga akan adiknya yang tinggal
di kota raja dan yang dianggapnya mempunyai pengetahuan banyak dan
kenalan-kenalan orang besar. "Dia tentu dapat membantumu membaca
huruf-huruf itu."
"Sebaiknya,
sekarang juga aku berangkat ke kota raja membawa peta ini, ayah. Ada pun
kuncinya ayah simpan saja baik-baik, jangan sampai hilang sambil menunggu
sampai aku pulang dari kota raja dan mengetahui rahasia peta ini."
Berangkatlah
Kim Su ke kota raja dan ayah ibunya menanti dengan penuh harapan. Akan tetapi,
bulan berganti bulan dan sampai setahun lamanya Kim Su tidak pulang, juga tidak
pernah ada beritanya ke rumah. Setelah lewat setahun lebih, pada suatu siang
muncullah empat orang laki-laki yang sikapnya amat kasar. Kakek Ciang Gun
menerima kedatangan mereka dengan heran dan menanyakan maksud kedatangan
mereka.
Salah
seorang di antara mereka yang bercodet di pipi kirinya, dengan suara lantang
lalu menerangkan maksud kedatangan mereka. "Kami disuruh oleh Ciang Kim
Su..."
Baru sampai
di sini, kakek dan isterinya itu girang bukan kepalang. "Bagaimana
kabarnya dengan Kim Su? Di mana dia sekarang dan mengapa sampai sekarang dia
tidak pulang dan tidak memberi kabar? Apakah dia sudah berjumpa dengan
pamannya?" Pertanyaan bertubi-tubi diajukan oleh suami isteri itu kepada
empat orang pengunjung ini.
"Dia
baik-baik saja dan menyuruh kami untuk datang mengabarkan kepada lopek berdua
bahwa semua urusan berjalan beres. Dia menyuruh kami datang untuk menerima
sebuah kunci dari lopek." Sambil berkata demikian, Si Codet ini memandang
tajam kepada petani tua itu.
Ciang Gun
mengerutkan alisnya. "Kunci? Kunci apa?"
Biar pun dia
hanya seorang petani dusun, namun dia telah hidup cukup lama untuk dapat mengenal
ciri-ciri orang yang tidak dapat dipercaya dan dia tidak percaya kepada empat
orang ini. Selain itu, ketika hendak pergi dahulu puteranya pernah berpesan
bahwa kunci emas itu tidak boleh diberikan kepada siapa pun juga selain
kepadanya sendiri. Bahkan membicarakan soal kunci emas itu pun dilarang.
"Sebuah
kunci emas!" Si Codet mendesak.
"Kunci
emas...? Aku tidak mengerti." Ciang Gun menjawab.
Tiga orang
tamu yang lain mengerutkan alis dan kelihatan marah, akan tetapi Si Codet cepat
memberi isyarat dengan tangannya supaya mereka bersabar.
"Kami
pun tidak tahu. Puteramu itu, Ciang Kim Su, hanya menyuruh demikian saja dan
katanya engkau akan mengerti sendiri, lopek."
"Tapi...
tapi..."
"Jangan
ragu-ragu, lopek. Kami berempat adalah sahabat-sahabat baik puteramu dan Kim Su
sendiri yang mengutus kami. Serahkan saja kunci emas itu kepadaku, lopek."
"Tidak
mungkin!" Tiba-tiba isteri petani itu berteriak. "Tidak mungkin Kim
Su bersahabat dengan kalian!"
Empat orang
itu kini menjadi marah dan mereka mengurung suami isteri itu. Si Codet kini
menanggalkan kedok matanya, lantas dengan suara geram dia mendekati petani itu
dan menghardik,
"Tidak
perlu banyak cerewet lagi. Serahkan kunci emas itu kalau engkau ingin
selamat!"
Ciang Gun
terkejut sekali dan mukanya pucat, matanya terbelalak dan dia cepat
mundur-mundur sambil menggelengkan kepala. Isterinya, seorang wanita yang
berani sebab sejak kecil sudah terlampau kenyang menghadapi hidup sulit, kini
melangkah ke depan, seperti hendak melindungi suaminya dan membentak dengan
suara marah,
"Kalian
ini orang-orang jahat! Sejak tadi aku tidak percaya bahwa anak kami bersahabat
dengan orang-orang seperti kalian. Hayo kalian pergi dari sini! Kami
orang-orang miskin tidak mempunyai apa-apa..."
"Plakkk!"
Sebuah
tamparan yang keras membuat tubuh wanita itu terpelanting lantas roboh di atas
tanah. Suaminya berteriak kaget, akan tetapi hanya dapat memandang dengan dua
mata terbelalak saja pada waktu melihat Si Codet itu menubruk ke depan,
menginjak punggung isterinya dengan lutut dan mencengkeram rambut wanita itu
untuk ditarik keras-keras ke belakang.
"Petani
busuk! Serahkan kunci emas atau leher istrimu akan kupatahkan!"
"Tidak...
tidak... jangan kau lakukan itu. Lepaskan isteriku... harap kalian jangan
sekejam itu..." Petani itu meratap.
"Serahkan
kunci emas dan kalian akan selamat!" Si Codet menghardik lagi.
"Jangan
berikan!" Mendadak isteri petani itu berteriak lantang kepada suaminya.
"Jangan berikan. Ingat, mungkin anak kita telah mereka bunuh pula!"
Teriakan
isterinya ini mengingatkan si petani dan wajahnya menjadi pucat sekali, matanya
terbelalak memandang kepada Si Codet yang masih membekuk isterinya itu dan
petani ini lalu menggelengkan kepala keras-keras.
"Ciang
Gun, lekas berikan kunci emas itu kepada kami, atau engkau akan melihat
isterimu kami siksa sampai mati, kemudian engkau sendiri pun akan kami siksa
sampai mati dan akhimya kunci itu pun akan dapat kami rampas!"
"Jangan
percaya! Mereka ini penjahat-penjahat kejam, pembohong dan penipu semua!"
isterinya menjerit lagi memperingatkan suaminya.
"Tangkap
dia, geledah seluruh rumah!" bentak Si Codet kepada teman-temannya.
Seorang di
antara mereka menubruk kakek Ciang Gun, lalu merobohkannya dan mengikat kaki
tangannya. Isteri petani itu juga diikat kaki tangannya dan empat orang itu
kemudian menggeledah-geledah pakaian yang mereka pakai sampai hampir
menelanjangi mereka.
Sesudah
tidak berhasil menemukan kunci emas pada tubuh mereka, empat orang itu lalu
menggeledah seluruh tempat di dalam rumah itu, mengobrak-abrik semua barang.
Akan tetapi tetap saja kunci itu tidak dapat mereka temukan. Mengertilah Si
Codet bahwa kunci emas itu tentu disembunyikan oleh suami isteri itu di suatu
tempat yang sukar untuk dapat dia temukan tanpa pemberi tahuan dari mereka
berdua.
"Hayo
katakan, di mana kunci emas itu!" Si Codet menghardik sambil menjambak
rambut isteri petani itu.
Akan tetapi
wanita tua yang sudah nekat ini memandang dengan penuh kebencian dan dia pun
meludah. "Cuhh! Engkau boleh membunuh kami, akan tetapi jangan harap dapat
menemukan kunci itu!"
"Plak!
Plakk!"
Dua kali Si
Codet menampar lalu meninggalkan wanita itu yang berdarah pada mulutnya akan
tetapi yang sedikit pun tidak mengeluh. Kini codet kejam itu berjalan
menghampiri Ciang Gun.
"Hayo
katakan, di mana kunci itu? Atau engkau lebih senang melihat isterimu
kusembelih di depan matamu?"
"Suamiku,
jangan katakan! Jangan kira dia akan melepaskanmu jika kunci kau serahkan. Kita
serahkan, tetap saja kita akan mereka bunuh. Biarlah kita mati, berkorban demi
anak kita. Jangan beri tahukan, jangan serahkan kunci!"
"Perempuan
keparat!" Si Codet meninggalkan petani itu, melompat ke dekat si wanita
dan menendang tubuh yang terbelenggu itu sampai bergulingan dekat suaminya.
Kakek Ciang Gun memejamkan matanya dan menangis.
"Kuatkanlah
hatimu, suamiku. Paling-paling kita mati, akan tetapi mereka ini,
binatang-binatang buas ini takkan dapat merampas kunci kita, demi untuk Kim
Su... aughhh..."
Sebuah
tendangan mengenai dadanya dan wanita itu tak mampu berbicara lagi. Si Codet
mencabut goloknya dan memodongkan goloknya pada leher wanita yang sudah
setengah pingsan itu.
"Petani
busuk, engkau lebih memberatkan kunci keparat itu dari pada nyawa isterimu?
Lihat ini!"
Ujung golok
itu menggores sedikit kulit leher. Darah muncrat membasahi leher dan baju.
Melihat ini, kakek Ciang Gun kembali memejamkan kedua matanya dan dia tidak
mampu bersuara lagi, hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras sambil
menangis.
"Hi-hi-hik!
Kalian anjing-anjing busuk, tidak mungkin dapat memaksa suamiku. Dia adalah
seorang gagah, benar, suamiku seorang gagah perkasa yang tak takut mati!"
Ujung golok
itu menusuk dada dan kembali darah muncrat.
"Petani
Ciang, sekali lagi, kunci emas itu atau nyawa isterimu?"
"Suamiku,
kutunggu engkau di akhirat..." Isterinya masih sempat menjerit sebelum
golok itu membacok lehernya dan dia pun tewas seketika.
Biar pun dia
memejamkan kedua matanya, petani itu masih dapat mengikuti penderitaan
isterinya melalui pendengarannya dan telinga pulalah yang memberi tahu padanya
akan keadaan isterinya. Dia lalu membuka matanya dan melihat isterinya
menggeletak dengan bermandikan darah dan tak bergerak-gerak lagi. Dia hanya
dapat merintih dan memanggil nama isterinya sambil menangis.
"Lihat,
isterimu mati karena membandel. Hayo kau katakan, di mana kunci itu!" Si
Codet membentak.
"Kalian
bunuhlah aku! Bunuhlah aku...!" Kakek Ciang Gun berteriak-teriak dan
menangis.
Si Codet
menendang dan memukulinya, akan tetapi tidak sampai membunuhnya karena para
penjahat ini maklum bahwa mayat tidak mungkin dapat memberi tahukan di mana
adanya kunci emas yang mereka cari-cari itu. Bahkan atas isyarat Si Codet,
mereka lalu meninggalkan kakek Ciang Gun sesudah membebaskannya dari belenggu,
membiarkan kakek itu menangisi isterinya.
Kakek itu,
dibantu oleh para tetangganya yang tidak ada yang berani mencampuri urusan itu,
lalu mengubur jenazah isterinya dan berkabung dengan penuh kedukaan. Empat
orang penjahat itu tidak muncul lagi.
Akan tetapi
kakek Ciang teringat akan nasehat dan kata-kata isterinya yang diucapkan di
waktu mereka menghadapi penjahat-penjahat itu, maka dia pun dapat menduga bahwa
tentu para penjahat itu tidak mau melepaskan dia begitu saja. Dia menduga bahwa
para penjahat itu tentu diam-diam membayanginya.
Untuk
meyakinkan dugaan hatinya, beberapa hari kemudian, pada tengah malam, kakek
Ciang diam-diam meninggalkan rumahnya lalu pergi ke sudut ladangnya,
berindap-indap. Kemudian, seolah-olah baru mengambil sesuatu, dia kembali ke
rumahnya dan benar saja seperti yang telah disangkanya, begitu memasuki
rumahnya, di situ sudah menanti empat orang penjahat itu!
"Ha-ha-ha,
bagus sekali. Engkau telah mengambilkan kunci itu untuk kami, ya? Serahkan
kepadaku!" kata Si Codet.
Kakek Ciang
menggeleng kepala. "Tidak ada kunci!"
Si Codet
marah sekali dan menubruk maju. Kakek itu dipegangi dan digerayangi seluruh
tubuhnya, akan tetapi memang benar tak ada ditemukan kunci padanya. Kembali,
seperti tempo hari, rumah itu diobrak-abrik, akan tetapi semua usaha itu
sia-sia belaka, mereka tidak temukan kunci yang dicari-cari.
Setelah
memukuli kakek itu tanpa membunuhnya untuk melampiaskan kedongkolan hati,
mereka kemudian meninggalkan Ciang Gun yang hanya dapat mengeluh sambil
meratapi nasibnya yang buruk. Semenjak ditemukan benda aneh dari dalam tanah
itu, keluarganya tertimpa mala petaka hebat. Isterinya mati dibunuh penjahat,
nasib anaknya masih belum diketahui dan dia sendiri kini berada dalam ancaman
penjahat-penjahat kejam.
Kakek Ciang
tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Pertama-tama, dia harus dapat
melepaskan diri dari pengamatan para penjahat itu, kemudian mengambil kunci
emas yang disimpannya di suatu tempat tersembunyi. Setelah itu, dia harus cepat
pergi ke kota raja menyusul anaknya. Hanya itulah satu-satunya jalan. Dia
pernah pergi ke kota raja menengok adik laki-laki isterinya, yaitu alamat yang
hendak dikunjungi oleh Kim Su ketika pemuda itu meninggalkan dusun menuju ke
kota raja.
Kakek Ciang
lalu mencari kesempatan dan kesempatan itu terbuka baginya pada waktu dia
mengadakan sembahyangan bagi arwah isterinya. Pada malam hari itu para tetangga
berdatangan dan seperti yang telah diduganya, dalam keadaan menerima tamu-tamu
para tetangga, para penjahat menjadi agak lengah. Para penjahat yang terus
mengamati dan membayanginya tentu sama sekali tak pernah menduga bahwa kakek
itu akan melarikan diri justru pada malam hari ketika para tetangga menjadi
tamunya itu.
Malam itu
Petani Ciang Gun berhasil menyelinap pergi. Bahkan para tetangganya yang
menjadi tamunya pada malam itu pun tidak tahu akan kepergiannya. Mereka
menyangka bahwa tuan rumah itu pergi ke belakang, ke kamar mandi untuk buang
air atau lainnya. Sesudah lama dia tidak muncul, barulah para tamu menjadi
heran lantas mencari-carinya tanpa hasil.
Kakek Ciang
sudah pergi dan tak seorang pun tahu ke mana perginya! Tentu saja empat orang
penjahat yang mengamati tempat itu dari jauh menjadi bingung dan marah-marah.
Mereka mencari ke sana sini tanpa hasil pula. Sambil menyumpah-nyumpah mereka
lalu berpencaran dan mencari terus.
Ciang Gun
berhasil menyelinap pergi dan mengambil kunci emas yang disembunyikan di antara
akar pohon besar. Kemudian dia membawa kunci itu, diikatkannya di pinggang dan
larilah petani ini pada malam hari itu juga meninggalkan dusunnya, menuju ke
kota raja. Karena para penjahat yang mengamatinya tak mengira bahwa kakek ini
berani melarikan diri ke kota raja, maka mereka mencari di sekitar dusun saja
dan karena ini, petani Ciang memperoleh banyak waktu untuk melarikan diri
dengan aman.
Akan tetapi,
bagaimana pun juga, dia hanyalah seorang petani lemah biasa saja, ada pun para
pengejarnya adalah penjahat-penjahat yang ulung. Empat orang penjahat itu
segera berpencar, bahkan mereka sudah menghubungi kawan-kawan mereka yang
mencari ke berbagai jurusan.
Oleh karena
itu, tidaklah aneh begitu tiba di daerah An-keng, jejak petani Ciang itu dapat
ditemukan sehingga dia pun dikejar-kejar oleh dua orang penjahat. Dan seperti
yang telah kita ketahui, secara sangat kebetulan dia tertolong oleh sepasang
pendekar yang sakti, yaitu Pendekar Sadis dan kekasihnya, yang berhasil
menyelamatkannya setelah petani itu menderita luka-luka berat.
***************
Setelah
selesai menceritakan riwayatnya, kakek petani itu memandang kepada Thian Sin
dan Kim Hong dengan napas empas-empis, tinggal satu-satu. Dia pun tahu bahwa
tiada harapan baginya untuk hidup lebih lama lagi, maka satu-satunya harapannya
untuk dapat menyampaikan kunci emas kepada puteranya hanyalah muda mudi yang
gagah perkasa ini.
"Ji-wi
(anda berdua)... sudah menolongku... ji-wi terimalah ini..." Dia
mengeluarkan kunci emas yang digantungkan pada lehernya itu. "Carilah Kim
Su di kota raja... petanya ada padanya... ji-wi adalah orang-orang gagah yang
baik... harap bantu dia membuka rahasia harta karun itu... bagi-bagilah di
antara kalian... dan..." Kakek itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya,
terkulai dan tewas.
Thian Sin
cepat memeriksa lantas saling pandang dengan Kim Hong. Kemudian dengan
sederhana mereka berdua lalu mengubur jenazah kakek itu di tepi telaga. Karena
adanya rahasia kunci emas di tangan mereka, kedua orang ini merasa tidak perlu
untuk memberi tahu orang lain atau melaporkan kepada petugas keamanan tentang
adanya peristiwa itu.
Setelah
mereka selesai mengubur jenazah petani itu, Kim Hong bertanya, "Apa yang
akan kita lakukan sekarang dengan kunci emas ini? Mencari orang bernama Ciang
Kim Su itu?"
"Kau tertarik?"
balas tanya Thian Sin.
Yang ditanya
tersenyum, semacam senyuman yang tidak pernah gagal mengguncangkan hati pemuda
yang jatuh cinta itu. Diciumnya Kim Hong karena Thian Sin tak pernah dapat
menahan hatinya untuk tidak mencium setiap kali melihat senyum khas ini,
sehingga bagi keduanya, senyuman khas itu seperti menjadi tanda agar Thian Sin
mencium Kim Hong! Cinta kasih antara pria dan wanita memang bisa melahirkan
atau menciptakan bahasanya sendiri tanpa perlu sepatah kata!
"Kau
tahu, aku bukan gila harta. Akan tetapi aku kasihan kepada petani itu yang
sudah menjadi korban kejahatan dan ingin tahu apakah anaknya itu masih hidup.
Selain itu, biar pun kita tidak gila harta, kalau benar ada harta karun sampai
terjatuh ke tangan penjahat, kan sayang?"
Thian Sin
mengangguk. "Bagaimana pun juga, kakek petani itu telah percaya kepada
kita dan pesan terakhir seorang yang mati sungguh tak baik untuk diabaikan
begitu saja."
"Jadi
kita ke kota raja?"
"Bagaimana
kau pikir sebaiknya?" Thian Sin balas bertanya sambil memandang dengan
sikap bertanya dan menguji.
Kim Hong
memang tidak perlu banyak bicara dengan kekasihnya ini. Dari pandang mata saja
mereka sudah dapat saling mengutarakan isi hati masing-masing. Wanita cantik
itu tersenyum manis, namun kali ini bukan senyuman khas minta dicium.
"Mari
kita tulis pendapat kita masing-masing," katanya sambil membalikkan
tubuhnya dan berjongkok, membuat corat-coret di atas tanah.
Thian Sin
tersenyum, kemudian juga membalikkan tubuhnya. Seperti yang juga dilakukan oleh
kekasihnya itu, dia mencorat-coret di atas tanah. Hampir berbareng mereka
selesai dan tanpa bicara, keduanya membaca tulisan masing-masing.
Mereka lalu
tertawa dan saling rangkul. Tulisan mereka, walau pun dengan kalimat yang
berbeda, isinya sama! Mereka berdua berpendapat bahwa mereka akan mempergunakan
kunci itu untuk memancing datangnya para penjahat sebagai pintu atau jembatan
pertama ke arah perkara kakek petani itu!
Mereka masih
tertawa-tawa geli dan juga gembira sekali ketika mereka kembali ke rumah
penginapan mereka di kota An-keng, berjalan bergandeng tangan dan tidak
tergesa-gesa karena mereka sengaja ingin meninggalkan jejak atau memberi
kesempatan kepada para penjahat untuk membayangi mereka dan mengetahui di mana
mereka tinggal.
Akan tetapi,
begitu mereka masuk ke dalam kamar rumah penginapan, diam-diam Thian Sin
mempergunakan kepandaiannya untuk lolos dari dalam kamar, membawa kunci emas
itu dan pergilah dia ke tukang pembuat perhiasan emas untuk meminta kepada
tukang itu agar membuatkan sebuah kunci emas untuknya. Tentu saja hanya
bentuknya yang mirip, akan tetapi dengan mata kunci yang jauh berbeda.
Setelah
selesai, kunci emas palsu itu dibawanya kembali ke hotel lantas dia memberikan
kunci emas yang asli kepada Kim Hong, sedangkan yang palsu dia simpan di dalam
saku bajunya. Sesudah membuat persiapan ini mereka pun hanya tinggal menanti.
Dan mereka
tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga, selagi keduanya duduk di serambi
samping rumah penginapan, menghadapi taman bunga yang diatur cukup nyeni,
bercakap-cakap menikmati malam cerah penuh bintang dan merasakan nyamannya
angin malam bersilir sepi, tiba-tiba nampak cahaya berkelebat karena adanya
benda meluncur tertimpa sinar lampu. Akan tetapi, dua orang muda perkasa itu
dapat mengikuti luncuran benda ini dengan pandang mata mereka dan maklum bahwa
benda itu masih jauh dari tubuh mereka.
"Ceppp....!"
Sebatang
pisau runcing menancap di daun jendela di belakang mereka, hanya beberapa belas
sentimeter lewat di atas kepala mereka. Bila bukan seorang ahli yang telah
memiliki kematangan dalam ilmu silat sehingga ilmu itu seakan-akan sudah
mendarah daging di tubuh mereka, tentu keduanya tadi sudah kaget dan mengelak.
Kim Hong
hendak meloncat ke arah datangnya pisau, akan tetapi sentuhan halus tangan
Thian Sin menahannya sehingga dia hanya melirik ke arah jendela, melihat bahwa
pisau itu membawa sesampul surat yang kini tertancap di daun jendela. Maka
mengertilah dia akan maksud kekasihnya.
Pihak lawan
sudah mulai mengadakan hubungan dan karena lawan mengirim surat, maka tidak
baik kalau mempergunakan kekerasan. Lagi pula, yang melemparkan pisau secara
ahli itu pun tentu hanya merupakan anak buah belaka dan tidak ada artinya kalau
hanya berurusan dengan anak buah.
Isi surat
itu singkat saja, ditulis oleh orang yang agaknya lebih biasa memegang pedang
dan golok dari pada pena. Akan tetapi sudah cukup jelas bagi Thian Sin dan Kim
Hong yang membaca bersama.
Kalian
mengetahui rahasia Ciang Gun dan kami mengetahui rahasia Ciang Kim Su. Kita
dapat saling menukar pengetahuan itu besok pagi di hutan cemara sebelah utara
telaga.
Surat itu
tidak ditanda tangani, tetapi isinya sudah sangat jelas. Pihak penjahat,
agaknya teman-teman dari dua orang penjahat yang menyerang mendiang Ciang Gun,
menawarkan semacam kerja sama atau saling menukar rahasia. Tentu maksud mereka
adalah untuk mengetahui sebagian dari rahasia yang ditemukan keluarga petani
Ciang.
"Hemm,
umpan mulai didekati ikan," kata Thian Sin sambil merobek-robek surat itu.
"Baik
kalau yang mendekati itu ikan kakap, bagaimana kalau hanya teri?" kata Kim
Hong.
"Kakap
atau teri, setidaknya lebih mendekatkan kita pada rahasia Ciang Kim Su. Melalui
mereka kita dapat mengetahui tentang putera petani itu dan ke mana harus
mencarinya, atau apa yang telah terjadi dengan dirinya. Nah, kita boleh
bersabar sampai besok pagi."
Pada
keesokan harinya, setelah semalaman tidak terjadi sesuatu yang mengganggu tidur
mereka, pergilah Thian Sin dan Kim Hong menuju ke luar kota An-keng, ke hutan
cemara yang berada di sebelah utara telaga. Sunyi sekali tempat di hutan itu,
bukan hanya karena hari masih terlalu pagi, melainkan karena memang tempat ini
jarang didatangi pelancong.
Tempat ini
agak liar, ada pun pemandangannya juga tidak indah, di antara pohon-pohon
cemara terdapat banyak semak-semak belukar yang berduri dan jalannya pun tidak
rata. Karena sunyinya, jarang ada yang tertarik untuk mendatangi tempat ini,
apa lagi tempat-tempat yang sunyi biasanya merupakan daerah rawan.
Dengan sikap
tenang, seperti sepasang suami isteri muda pelancong saja, Thian Sin dan Kim
Hong memasuki hutan ini. Biar pun berupa sebuah hutan, akan tetapi karena
pohon-pohonnya adalah pohon cemara, maka tidaklah begitu rimbun dan gelap.
Cahaya
matahari pagi mulai menerobos di antara celah-celah batang dan daun pohon,
menciptakan berkas-berkas cahaya yang putih kekuningan dan sangat indahnya.
Burung-burung pagi berkicau di antara pohon-pohon cemara, menambah indahnya
suasana dan kegembiraan yang mendalam terasa sekali dalam hati muda mudi itu.
Mereka
adalah dua orang pendekar yang telah terlalu sering menghadapi bahaya-bahaya
besar, maka urusan yang sedang mereka hadapi sekarang ini merupakan persoalan
kecil saja yang sama sekali tidak mengganggu ketenangan batin mereka, malah
ketika mereka berdua menikmati suasana hening pada pagi hari itu, urusan kunci
emas sudah mereka lupakan!
Akan tetapi,
panca indera mereka yang terlatih dan sangat tajam langsung membuyarkan
keheningan itu. Mereka pun maklum bahwa terdapat banyak sekali orang, ada dua
puluh orang lebih yang diam-diam berada di sekitar tempat itu dan diam-diam
telah mengurung mereka dari jarak jauh. Akan tetapi dua muda-mudi itu hanya
saling pandang saja sambil tersenyum-senyum, seperti dua orang dewasa yang
melihat tingkah anak-anak kecil yang nakal.
Kemudian,
muncullah dua orang laki-laki dari balik semak-semak. Salah seorang di antara
mereka adalah seorang kakek yang pendek, gendut berkepala botak bermata lebar.
Di punggungnya tergantung sebatang ruyung yang besar dan berat dan kakek yang
usianya sudah lima puluh lebih ini nampak kuat sekali. Orang ke dua adalah
seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya mirip tikus,
membayangkan kelicikan dan kecerdikan, dan tubuhnya kurus kering.
Melihat dua
orang ini menghadang di depan dan bersikap seolah-olah mereka itu hanya berdua
saja, Thian Sin dan Kim Hong kembali saling pandang sambil mengulum senyum.
Mereka segera maju menghampiri dan Thian Sin lalu bertanya dengan suara ramah.
"Maaf,
kami mencari orang yang mengenal Ciang Kim Su. Dapatkah ji-wi
menunjukkan?"
Si pendek
gendut tertawa bergelak, suara ketawa yang kasar dan walau pun dia sudah
mendengar bahwa sepasang orang muda ini telah mengalahkan dua orang pembantunya
yang paling lihai, yaitu Si Codet dan temannya, akan tetapi melihat keadaan
pemuda dan gadis itu, si gendut ini memandang rendah. Betapa pun juga, karena
dia membutuhkan kunci emas yang diduganya tentu berada pada muda mudi ini, dia
memaksa diri bersikap ramah. Setelah tertawa, dia berkata,
"Kamilah
orangnya yang mengenal Ciang Kim Su. Kalian berdua mengenal Ciang Gun. Nah,
mari kita saling menukar pengetahuan kita."
Thian Sin
mengangguk-angguk, nampak amat girang seperti sikap seorang pemuda yang masih
hijau dan bodoh, mudah untuk ditipu orang. "Bagus sekali. Nah, harap
engkau suka memberi tahu kepada kami tentang Ciang Kim Su, dan kami akan
memberi tahu tentang rahasia Ciang Gun."
"Tentang
kunci emas?" tanya si gendut sambil memandang tajam.
Dia masih
meragukan dan tidak mau lancang turun tangan sebelum dia tahu pasti apakah muda
mudi ini sudah menguasai kunci emas. Kalau ternyata belum, dia tidak akan turun
tangan, karena kini setelah kakek Ciang Gun meninggal dunia, kiranya
orang-orang yang tahu akan kunci emas itu hanyalah muda-mudi ini.
"Benar,
tentang kunci emas. Nah, ceritakan dulu tentang pemuda putera petani itu."
"Dan
engkau akan menunjukkan kepada kami di mana adanya kunci emas?"
"Benar
sekali." jawab Thian Sin.
Tentu saja
kakek gendut yang merupakan kepala gerombolan penjahat itu menjadi girang
sekali. Kegirangan ini coba untuk ditutupinya, akan tetapi masih nampak jelas
oleh Thian Sin dan Kim Hong.
"Baik,
dengarlah ceritaku. Setahun yang lalu, pemuda petani tolol Ciang Kim Su itu
telah tiba di kota raja. Dia juga berhasil menemui pamannya, yaitu Su Tong Hak
yang menjadi pedagang rempah-rempah di kota raja. Mereka berdua membagi peta
rahasia harta karun yang dibawa pemuda dari dusun itu menjadi dua dan
masing-masing menyimpan sebuah potongan peta. Akan tetapi, secara tiba-tiba
pemuda itu menghilang dan karena mereka berdua itu ceroboh, rahasia mereka
lantas ketahuan oleh Mo-ko." Si gendut itu berhenti dan menarik napas
panjang.
"Mo-ko?
Siapakah itu?"
"Ahh,
engkau tidak mengenal Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang menjadi raja dunia hitam
di kota raja?" si gendut itu bertanya dengan heran. Hampir semua orang
kang-ouw tentu mengenal Mo-ko, kenapa muda mudi ini tidak mengenalnya?
"Kami
tak mengenalnya, akan tetapi... kau lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana engkau
sendiri sampai mengetahui rahasia itu?" kata Thian Sin.
Si gendut
pendek itu tertawa, "Pat-pi Mo-ko boleh jadi lihai dan menjadi raja dunia
hitam di kota raja, akan tetapi aku Liong-tut-pian Ban Lok, tidak ada keduanya
di kota raja dalam urusan membongkar rahasia orang! Sebelum diketahui oleh
Mo-ko, aku telah mengetahui lebih dahulu rahasia besar yang dibawa dari dusun
oleh pemuda she Ciang itu, bahkan aku tahu bahwa selain peta rahasia itu,
terdapat pula kunci emasnya yang dipegang oleh ayah pemuda itu. Tanpa adanya
kunci emas ini, peta itu pun tidak akan ada gunanya."
"Jadi
peta itu dibagi menjadi dua, masing-masing bagiannya disimpan oleh Su Tong Hak
dan Ciang Kim Su yang lenyap secara tiba-tiba?" tanya pula Thian Sin.
Si gendut
mengangguk. "Benar dan apa yang kuceritakan ini adalah yang sesungguhnya.
Nah, aku sudah menceritakan tentang peta dan Ciang Kim Su, sekarang giliranmu
untuk menukarnya dengan penjelasanmu tentang kunci emas..."
Thian Sin
menepuk kantung di bajunya. "Kunci emas itu sudah berada di sini, oleh
kakek Ciang Gun diberikan kepadaku sebelum dia tewas akibat luka-luka pada
tubuhnya yang dilakukan oleh anak buahmu."
Mendengar
ini, segera terpancar sinar aneh dari sepasang mata kakek gendut itu saat dia
memandang ke arah baju Thian Sin. Akan tetapi, si gendut yang mengaku bernama
Ban Lok dan berjuluk Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga) itu agaknya masih saja
menahan keinginan hatinya untuk dapat segera merampas kunci yang diinginkannya
itu.
"Kalau
aku tidak melihat sendiri, bagaimana aku dapat percaya omonganmu? Siapa tahu
engkau membohong atau kunci itu hanya kunci palsu belaka?"
"Kalau
orang tidak percaya kepada kita, perlu apa kita melayaninya?" Tiba-tiba
Kim Hong berkata dengan sikap mendongkol. "Mari kita pergi saja untuk
mencari kerja sama dengan orang lain yang akan lebih dapat menghargai dan
percaya kepada kita!"
Melihat
Thian Sin dan Kim Hong hendak pergi, Ban Lok cepat berkata, "Eiitttt,
nanti dulu. Aku sudah memberi keterangan tentang rahasia pemuda she Ciang itu,
dan kalian belum memberi penukarnya. Bukan aku tidak percaya, hanya aku harus
berhati-hati karena aku belum mengenal kalian. Nah, biarkan aku melihat kunci
itu."
Thian Sin
memperlihatkan sikap ragu-ragu dan khawatir, mirip sikap orang yang merasa
enggan berpisah dari sebuah benda yang amat berharga, lalu mengeluarkan kunci
emas dari saku bajunya sebelah dalam. Sesudah mengirim pandang mata curiga, dia
kemudian mengacungkan kunci emas itu ke atas dan berkata,
"Nih,
lihatlah. Kunci emas yang tulen!"
Sinar
matahari pagi menimpa kunci emas itu dan nampaklah sinar mencorong membuat Ban
Lok menelan ludahnya dan matanya bersinar-sinar. Memang itu adalah sebuah kunci
emas tulen! Dia mengulur tangan hendak meraih, akan tetapi Thian Sin cepat
menariknya kembali.
"Lihat
saja pun cukuplah...!" katanya.
Si gendut
itu mendelik. "Kau tidak percaya padaku? Bagaimana hatiku dapat yakin
kalau hanya melihat? Tentu aku harus memegangnya dan memeriksanya dulu secara
teliti." Dia menghardik disertai sikap mengancam.
"Berikanlah,
dari pada ribut-ribut!" terdengar Kim Hong berkata, sikapnya agak
takut-takut membuat kepala penjahat itu tersenyum mengejek.
Thian Sin
menyerahkan kunci emas itu dan Ban Lok yang gendut cepat menyambarnya lantas
memeriksanya dengan jantung berdebar penuh rasa tegang dan gembira. Sebuah
kunci yang benar-benar terbuat dari pada emas dan bentuknya aneh dan kuno. Emas
itu saja sudah menjanjikan harta karun yang tentu luar biasa besarnya.
Tiba-tiba saja, sambil menyimpan kunci emas itu ke dalam saku bajunya sebelah
dalam, Ban Lok meloncat ke belakang dan berteriak kepada anak buahnya yang
masih bersembunyi di belakangnya.
"Serbu
dan bunuh mereka!"
Thian Sin
dan Kim Hong sama sekali tidak merasa kaget ketika melihat betapa dari balik
semak-semak dan pohon-pohon besar itu muncul berlompatan banyak sekali
orang-orang kasar. Jumlah mereka kurang lebih ada tiga puluh orang dan mereka
semua membawa senjata tajam dan kini mereka telah bergerak mengurung. Akan
tetapi, Thian Sin bersikap kaget dan penasaran.
"Ehh,
apa artinya ini? Kembalikan kunci emas itu kepadaku!"
Kepala
penjahat yang gendut itu pun membuang sikap palsunya dan dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah mendengar rahasia peta yang kuceritakan tadi,
berarti kalian tidak boleh hidup lebih lama lagi. Sudah berbulan-bulan aku
mencari kunci ini dan setelah sekarang kudapatkan, mana mungkin kulepas
lagi?"
"Curang!
Engkau sudah berjanji saling menukar keterangan!" Kim Hong berteriak.
Kembali
kepala penjahat itu tertawa bergelak. "Engkau seorang wanita yang cantik
sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Coba
kalau engkau berjumpa dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu,
tentu engkau akan dipermainkannya hingga rusak binasa. Ha-ha-ha-ha! Hayo
serbu...!" Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu lantas memperketat
kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan.
Tentu saja ancaman
maut yang bagi orang lain pasti akan menimbulkan kengerian hebat itu, malah
nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi
itu. Thian Sin membuang sikapnya yang berpura-pura takut tadi, kemudian dia pun
tersenyum.
"Baiklah,
kalian mencari penyakit sendiri!"
Thian Sin
dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak
memasang kuda-kuda seperti biasanya para ahli silat kalau menghadapi ancaman
lawan, menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan
keduanya langsung mengerti apa yang harus mereka lakukan, yaitu menghajar para
pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan.
Beberapa
tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari
julukannya ini saja mudah diduga bahwa dia mempunya hati yang sangat kejam
terhadap para penjahat. Dia sangat membenci para penjahat sehingga setiap kali
bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti
membunuhnya, namun menyiksanya terlebih dulu dengan cara-cara yang amat sadis.
Dia
mendapatkan kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu
sebagai peluapan rasa dendamnya yang sangat besar terhadap para penjahat.
Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat
dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat.
Ada pun Toan
Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai
seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), yang merupakan salah
seorang di antara empat datuk kaum sesat. Dia pun amat ganas dan kejam,
membunuh lawan dengan tangan dingin.
Akan tetapi
sejak keduanya saling bertemu, saling jatuh cinta, kemudian bersama-sama
menghadapi para tokoh golongan hitam yang sakti, sampai akhirnya mereka
berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta,
puja dan takuti, keduanya telah berubah.
Mereka
berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang
ingin membasmi para penjahat. Bahkan keduanya juga telah berjanji bahwa mereka
akan selalu menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan
kekejaman.
Karena
inilah maka sekarang, walau pun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan
dicurangi, mereka yang saling pandang itu langsung maklum akan isi hati
masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walau
pun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu.
Karena
jumlah mereka yang terlalu banyak sehingga tidak mungkin ketiga puluh orang itu
maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak,
hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang
Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih tetap bersikap enak-enakan sehingga
bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak.
Akan tetapi,
begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan
dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu
sendiri tidak tahu apa yang sudah terjadi dan selamanya mereka itu tidak akan
sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas
menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang
muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat
dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka!
Pada waktu
mereka siuman kembali, mereka sudah mendapatkan tubuh mereka malang melintang,
senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka, ada yang
benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang
memar-memar badannya, ada yang pingsan, ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya,
secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar
ke sana sini lantas terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara
mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar.
Melihat ini,
kawanan penjahat itu menjadi terkejut dan marah. Mereka berebut maju dan
mengeroyok dengan buas. Akan tetapi, mereka itu seperti sekumpulan nyamuk
menyerbu api lilin saja, sebab siapa yang maju lebih dahulu tentu terkapar atau
terlempar, terbanting keras, berteriak kesakitan kemudian berobohanlah para
pengeroyok itu malang melintang. Senjata mereka terlempar ke empat penjuru,
bahkan ada yang patah-patah pada waktu bertemu dengan lengan dua orang pendekar
muda itu.
Menyaksikan
kehebatan dua orang muda itu, tentu saja si gendut Ban Lok merasa amat terkejut
dan gentar. Boleh jadi dia memperoleh nama besar dari kepandaiannya atau juga
dari kekejamannya, dan julukannya adalah Liong-kut-pian karena senjata
ruyungnya itu memang hebat. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia hanyalah
seorang yang kejam dan orang kejam itu biasanya berwatak pengecut dan penakut.
Hanya
penakut sajalah yang mampu bersikap kejam, karena seorang penakut itu selalu
khawatir akan keselamatan dirinya maka dia condong untuk meniadakan ancaman
bagi dirinya. Sungguh pun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa di
sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang hebat.
Begitu pula
halnya dengan Liong-kut-pian Ban Lok ini. Ketika melihat bahwa keadaannya tidak
aman baginya, hatinya merasa gentar dan lupalah dia akan kedudukannya sebagai
seorang kepala atau pemimpin. Kiranya keganasan dan kekejamannya itu hanya
menjadi selimut dari kepengecutannya, dan semua keberaniannya hanya timbul
akibat dia merasa ada banyak anak buah di belakangnya.
Biasanya
memang demikian. Segerombolan orang akan menjadi nekat dan berani, akan tetapi
kalau seseorang terpisah dari kelompoknya, maka keberaniannyapun akan lenyap.
Ban Lok yang
sudah merasa berhasil mengantongi kunci emas, sesudah melihat betapa mudahnya
sepasang pendekar muda itu merobohkan para anak buahnya, lalu mengambil langkah
seribu, melarikan diri dari situ untuk menyelamatkan diri dan kunci emas.
Melihat ini,
Kim Hong berkata kepada kekasihnya. "Thian Sin, kau hajar semua anjing ini
dan aku akan mencegah anjing besar melarikan diri!"
Tanpa
menunggu jawaban karena dia sudah tahu bahwa kekasihnya pasti menyetujuinya,
sekali menggerakkan tubuh, Kim Hong sudah meloncat dan melayang dengan
kecepatan seekor burung walet terbang, mengejar Ban Lok.
"Ehh...?"
Kepala penjahat yang gendut ini terbelalak saat melihat berkelebatnya bayangan
orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang gadis cantik jelita,
berdiri dengan santainya, bertolak pinggang sambil tersenyum bagai seorang guru
menghadapi seorang murid taman kanak-kanak yang bandel! Lebih terkejut lagi
hati kepala garong ini sesudah mengenal bahwa gadis ini bukan lain adalah gadis
yang dikeroyok tadi.
Dia menoleh
dan melihat betapa sisa anak buahnya masih terus mengeroyok si pemuda.
Maklumlah dia bahwa dia harus berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kunci
emas itu. Maka tangan kanannya meraba ke belakang dan ruyung itu telah berada
di tangannya.
Ruyung yang
mengangkat namanya tinggi-tinggi itu dilintangkan di depan dada. Ruyung itu
terbuat dari pada baja dan kelihatan sangat berat. Agaknya bentuk ruyung yang
diukir mirip seperti seekor ular itulah yang membuat ruyung itu lantas
dinamakan Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga), jadi bukanlah tulang naga atau
ular sungguh-sungguh.
"Minggir
kalau tidak ingin hancur kepalamu itu!" bentaknya sambil
mengamang-amangkan ruyung yang berat itu.
Kim Hong
tersenyum mengejek, senyum yang manis sekali akan tetapi kalau orang sudah lama
mengenal wanita jelita ini, tentu akan bergidik karena senyum mengejek itu
adalah senyuman khas yang menyembunyikan ancaman hebat!
"Hati-hatilah
bermain-main dengan ruyung berat itu. Jangan-jangan kepalamu sendiri yang akan
terpukul dan pecah. Lebih baik kembalikan kunci emas tadi dan engkau boleh
pergi sebagai anak yang baik." Ucapannya sungguh seperti ucapan seorang
guru menasehati seorang anak kecil yang nakal.
Tentu saja
Liong-kut-pian Ban Lok menjadi marah bukan main. Dia adalah seorang kepala
penjahat yang sudah biasa merampok dan menodong selama puluhan tahun. Kini
usianya sudah lima puluh tahun lebih dan dia diperlakukan sebagai anak kecil
oleh seorang gadis yang masih begitu muda.
"Bocah
lancang yang bosan hidup!" Bentaknya dan ruyungnya sudah menyambar dengan
dahsyat.
Melihat
gerakan ini, Kim Hong pun maklum bahwa si gundul ini memang memiliki tenaga
yang besar. Akan tetapi hanya tenaga besar itu sajalah modalnya, di samping
kenekatan karena gerakannya tidak menunjukkan ilmu silat yang tinggi. Maka
dengan mudahnya dia mengelak hanya dengan menarik kepala ke belakang saja.
Ruyung itu lewat saja di atas kepalanya, membawa suara berdesir dan menimbulkan
angin yang kuat sehingga rambut di kepala Kim Hong berkibar dibuatnya.
Ban Lok
menjadi semakin penasaran. Dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring dan
mempergunakan jurus Hun-in Toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung). Jurus
ini dilakukan dengan gerakan ruyung dari atas menyambar dengan gerakan agak
menyerong ke arah leher lawan. Ketika lawan mengelak, ruyung itu lantas
membalik dan menyambar pula ke arah dada, dilanjutkan sambaran ke arah perut.
Serangan beruntun ini merupakan perkembangan jurus Hun-in Toan-san.
Akan tetapi,
dengan mudah dan indah, bagai gerakan seorang anak manis bermain loncat tali,
dengan lincah dan cekatan Kim Hong dapat menghindarkan diri dari sambaran
ruyung yang bertubi-tubi itu. Ban Lok melanjutkan jurus Hun-in Toan-san yang gagal
itu dengan jurus Sin-liong Tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), tubuhnya
segera memutar dan membalik, ruyungnya mendahului gerakannya sehingga ruyung
itu seperti ekor naga yang membalik dan menyambar amat ganasnya.
Melihat
jurus yang selain cepat kuat juga mematikan ini, Kim Hong mengerutkan alisnya.
Kepala penjahat ini terlalu kejam, pikirnya lantas dia membayangkan, entah
sudah berapa ratus nyawa orang yang tak berdosa melayang oleh ruyung ini.
Melihat
sambaran ruyung yang diayun dari belakang dengan gerakan tubuh memutar itu ke
arah pinggangnya, Kim Hong lalu mengangkat kaki kirinya dan menotol dengan
ujung kakinya ke arah ujung ruyung! Sungguh merupakan perbuatan yang amat
berani karena meleset sedikit saja, tentu tulang kakinya akan dihajar ruyung
sampai remuk-remuk!
Akan tetapi,
ternyata ujung sepatunya dapat mendorong dengan tepat sehingga luncuran gerakan
ruyung itu menyeleweng dan membuat pemegangnya kehilangan keseimbangan dirinya.
Ban Lok terkejut dan marah. Tubuhnya terbawa oleh luncuran ruyung sehingga dia
terhuyung.
Akan tetapi,
kepala penjahat ini sengaja membuang diri ke bawah dan menggelundung. Tubuhnya
yang gendut itu menggelinding laksana bola dan ternyata kepala penjahat ini
sudah melanjutkan dengai jurus yang dinamakan Thi-gu Keng-te (Kerbau Besi
Membajak Tanah). Tubuhnya yang menggelinding ini menyerbu ke arah lawan dan
tiba-tiba saja dia meloncat dan menyeruduk dengan ruyungnya ke arat perut Kim
Hong.
Gerakan ini
dahsyat dan berbahaya bukan main. Akan tetapi sekarang Kim Hong sudah mengambil
keputusan untuk merobohkan Ban Lok. Dia berdiri tegak dan seolah-olah tidak
dapat mengelak lagi, akan tetapi diam-diam dia menanamkan tenaga sinkang pada
kedua kakinya. Kemudian tangan kirinya membuat gerakan dari samping, menangkis ruyung
dan melanjutkan dengan dorongan tangan kanan ke arah ruyung.
Sebetulnya
gadis sakti itu tidak menangkis, melainkan memapaki ruyung dengan telapak
tangannya, seperti menempel atau menangkap, lalu melanjutkannya dengan
mengalihkan tenaga luncuran ruyung itu membuat gerakan menyerong dan membalik.
Tenaga luncuran oleh tangan Ban Lok itu masih kuat, kini ditambah tenaga
dorongan tangan kanan Kim Hong, melayang ke arah kepala Ban Lok sendiri.
"Prakkk...!"
Ban Lok
mengeluarkan suara mengorok dari lehernya, kemudian tubuhnya terpelanting ke
kanan, roboh dengan kepala penuh berlumuran darah, kepala yang telah
retak-retak oleh hantaman ruyungnya sendiri! Kim Hong berdiri sambil bertolak
pinggang, memandang ke arah korbannya, lalu menarik napas panjang.
"Hemm,
kau membunuhnya juga?" terdengar suara orang bertanya.
Kim Hong
menoleh dan melihat bahwa kekasihnya juga telah selesai merobohkan semua orang
yang mengeroyoknya tanpa membunuh seorang pun di antara mereka. Tiga puluh
lebih anak buah penjahat yang sekarang menggeletak malang melintang itu hanya
dapat memandang kepada sepasang pendekar itu dengan mata terbelalak penuh
ketakjuban. Tidak mereka sangka sama sekali bahwa mereka semua roboh seperti
itu, bahkan kepala mereka telah tewas! Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa
mereka telah kecelik, menabrak batu karang.
"Aku
tidak membunuhnya, melainkan dia yang hendak membunuhku namun salah pukul
sehingga ruyungnya memukul kepalanya sendiri!" jawab Kim Hong setengah
berkelakar. Thian Sin mengerti akan isi hati kekasihnya. Dia menarik napas
panjang.
"Dia
adalah manusia licik dan jahat. Entah sudah berapa banyak orang dibunuhnya dan
membiarkan orang macam dia tinggal hidup, berarti memperbanyak jumlah calon korban
saja. Engkau benar Kim Hong, sudah sepatutnya kalau dia dibunuh dan anak
buahnya diberi hajaran seperti ini."
Thian Sin
cepat menghampiri tubuh si gendut yang telah menjadi mayat itu, membalikkan
tubuh menelungkup itu dengan kakinya, lalu mencari dan mengambil kembali kunci
emas dari saku baju kepala penjahat itu. Dia sengaja mengangkat kunci emas itu
tinggi-tinggi supaya nampak oleh para anak buah penjahat yang rebah malang
melintang karena dia ingin mempergunakan kunci itu untuk memancing semua pihak
yang tersangkut di dalam perkara harta karun yang peta dan kuncinya ditemukan
oleh keluarga petani Ciang yang sial itu.
***************
Kota raja
Peking nampak tenang-tenang saja, penduduknya nampak hidup makmur dan
perdagangan berjalan dengan lancar dan ramai. Akan tetapi, sebenarnya keadaan
di kota raja ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran keadaan negara pada waktu
itu. Walau pun di bawah pimpinan Kaisar Hung Chih, yakni kaisar yang
menggantikan Kaisar Ceng Hwa, kerajaan masih cukup kuat dan tidak lagi terjadi
pemberontakan-pemberontakan, namun kejahatan-kejahatan merajalela dan agaknya
pemerintah tidak cukup tangguh untuk dapat mengatasi kekacauan-kekacauan kecil
yang cukup membuat rakyat menderita ini.
Tentu saja
semua kekacauan itu terjadi di luar kota raja, karena kota raja sendiri di mana
kaisar dan para pembesar tinggi berada, selalu dijaga dengan kuat dan
dibersihkan dari pengacauan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa tidak ada
kejahatan terjadi di kota raja. Banyak masih. Bahkan penjahat-penjahat
berkaliber besar juga berpusat di kota raja. Hanya saja, para tokoh penjahat
itu tidak berani melakukan kejahatan di kota raja secara menyolok dan mereka
itu lebih banyak beroperasi di luar kota raja.
Kota raja
yang ramai ini menyimpan banyak rahasia-rahasia besar. Pernah menyaksikan jatuh
bangunnya para kaisar, dan juga dinasti yang berganti-ganti saling
memperebutkan kekuasaan. Menjadi saksi bisu pula dari banyak peristiwa
kejahatan yang menjadi rahasia selamanya bagi penduduknya.
Dan di kota
raja ini pula tersimpan rahasia hilangnya pemuda dusun Ciang Kim Su yang datang
ke kota raja sambil membawa peta rahasia yang ditemukannya bersama ayahnya di
ladang mereka. Apakah yang sudah terjadi setahun yang lalu ketika pemuda itu
datang berkunjung ke kota raja? Benarkah seperti yang diceritakan oleh
Liong-kut-pian Ban Lok kepada Pendekar Sadis dan Lam-sin itu?
Pertanyaan-pertanyaan
itu mengaduk di dalam otak Thian Sin dan Kim Hong ketika pada suatu pagi mereka
memasuki kota raja yang ramai. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Pendekar
Sadis, Thian Sin pernah menggegerkan kota raja. Akan tetapi ketika itu, hanya
namanya saja dikenal orang sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi jarang ada orang
yang pernah melihatnya. Maka sekarang dengan tenang dia memasuki kota raja
tanpa khawatir akan dikenal orang sebagai Pendekar Sadis.
Betapa pun
juga, pada saat dia bersama Kim Hong melewati pintu gerbang istana yang megah,
dari jauh jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan mendiang ayahnya, yaitu
Ceng Han Houw, yang masih keturunan kaisar yang menempati istana itu. Bahkan
darah yang mengalir di tubuhnya sendiri pun masih darah keluarga istana ini!
Agaknya Kim
Hong dapat pula membaca isi hati kekasihnya sesudah melihat sinar mata
kekasihnya memandang dengan termenung ke arah istana ketika mereka lewat
perlahan.
"Ingin
menjenguk keluarga di dalam?"
Thian Sin
terkejut, menengok, saling pandang, lalu tersenyum pahit dan balas bertanya.
"Kau kira aku haus akan kedudukan dan kehormatan kosong itu?"
Kim Hong
sadar bahwa pertanyaannya tadi telah menyinggung hati kekasihnya, maka dia pun
cepat berkata menutupi rasa sesalnya. "Maksudku, kalau engkau ingin
melihat-lihat ke dalam istana, apa salahnya kalau malam nanti kita masuk? Sudah
sampai di kota raja, rugi kalau tidak melihat-lihat dalam istana. Kau kan tidak
takut?"
"Hush,
siapa takut? Hanya kau lupa bahwa yang membawa kita ke kota raja bukan untuk
pelesir. Sebelum urusan ini selesai, kita main-main di istana dan ketahuan,
bukankah itu akan menggagalkan usaha kita?"
Kim Hong
mengangguk-angguk, menyadari kesalahannya. "Mari kita cari orang bernama
Su Tong Hak itu."
"Mudah-mudahan
dia masih hidup," kata Thian Sin. "Dialah satu-satunya orang yang
bisa kita harapkan untuk menemukan peta."
"Kau
pikir dia..."
"Belum
tentu. Akan tetapi kita sama tahu bahwa urusan ini telah tercium oleh
gerombolan penjahat. Siapa tahu dia pun sudah dibereskan dan petanya
dirampas."
"Kalau
memang demikian, masih ada jalan. Kita datangi Pat-pi Mo-ko Bouw Kim
Seng!" kata Kim Hong penasaran.
"Sstttt,
jangan keras-keras. Nama itu amat terkenal di sini. Sebaiknya kita mencari
kamar rumah penginapan lebih dulu untuk menaruh pakaian dan menjadi tempat
peristirahatan kita."
Keduanya
lalu memilih dan mendapatkan sebuah kamar yang cukup bersih dan besar di rumah
penginapan Hi-lok Li-koan. Setelah menaruh buntalan pakaian di kamar itu,
mereka lalu keluar dari rumah penginapan dan mencari Su Tong Hak yang telah
mereka ketahui nama dan alamatnya dari seorang anak buah mendiang Ban Lok....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment