Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Harta Karun Jenghis Khan
Jilid 02
ORANG yang
mereka cari itu, Su Tong Hak, yaitu adik ipar dari mendiang petani Ciang Gun,
ternyata sudah berhasil dalam usahanya dan kini menjadi seorang saudagar hasil
bumi yang cukup kaya di kota raja. Tokonya cukup besar dan ketika pegawai toko
melihat tamu suami isteri yang tampan dan cantik jelita, juga yang berpakaian
rapi dan mewah, dengan mudahnya tamu yang dianggap penting dan hendak berdagang
ini dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu kemudian diterima sendiri oleh
majikan toko.
Laki-laki
itu berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi tegap dan walau pun pada
wajahnya masih terbayang bekas kekerasan yang berupa garis-garis mendalam
seorang petani yang biasa hidup sukar, namun pakaian serta sikapnya menyelimuti
bekas ini dan dia lebih patut menjadi tuan Su Tong Hak saudagar yang cukup
berhasil di kota raja. Di wajahnya masih nampak keterbukaan seorang petani,
akan tetapi cahaya matanya sudah penuh kecerdikan seperti sinar mata para
pedagang yang pandai bersandiwara.
Setelah
saling memberi hormat, pedagang itu berkata, "Saya Su Tong Hak, dan
siapakah ji-wi serta datang dari mana? Kabar baik apakah yang ji-wi bawa untuk
kami?" Sikapnya ramah seperti biasa seorang pedagang.
"Paman
Su Tong Hak, kami datang untuk mencari seorang bernama Ciang Kim Su dari dusun
Ciu-bun-tang yang setahun yang lalu datang ke sini mencari paman. Di manakah
adanya Ciang Kim Su sekarang?" Pertanyaan ini diajukan oleh Thian Sin
dengan tiba-tiba dan dia bersama Kim Hong lantas menatap wajah tuan rumah
dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Akan tetapi
pedagang itu ternyata adalah seorang yang mampu menguasai perasaannya.
Kekagetan hatinya mendengar kata-kata tamunya itu hanya nampak pada sinar
matanya yang agak terbelalak, akan tetapi sikapnya tetap tenang, bahkan kini
dia pun memandang tamunya dengan alis berkerut dan pandang mata curiga.
"Hemm,
siapakah ji-wi sebetulnya? Ciang Kim Su adalah keponakanku, anak dari kakak
perempuanku. Memang dia pernah datang ke sini, akan tetapi... sebelum aku
ceritakan tentang dia, harap ji-wi suka memberi tahu apa keperluan ji-wi
mencari keponakanku itu?"
"Kami
berdua adalah utusan dari Ciang Gun, ayah Ciang Kim Su, untuk mencari dia di
sini."
Pedagang itu
masih mengerutkan alisnya. "Nama ji-wi?"
"Aku
Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong."
"Hemm,
aku tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mengenal ji-wi. Mustahil
bila kakak iparku Ciang Gun menyuruh ji-wi, karena ji-wi jelas bukanlah
orang-orang dusun sedangkan kakakku..."
"Masih
tidak percayakah paman jika melihat ini?" Thian Sin sengaja mengeluarkan
kunci emasnya, tentu saja yang palsu.
"Apa...
apa itu...?" Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut
sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berubah
ketika dia melihat kunci emas itu.
"Tentu
paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta
yang dibawa Ciang Kim Su itu. Nah, percayakah paman sekarang bahwa kami diutus
oleh paman Ciang Gun? Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su."
"Baik,
baik... akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan
dari awal, setahun yang lalu..."
Sesudah
melihat kunci emas, lenyap keangkuhan pedagang ini dan agaknya ingin sekali
bekerja sama, maka dia pun langsung menceritakan penuturannya yang lain lagi
dengan penuturan yang pernah didengar oleh kedua orang pendekar itu dari
mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap.
Menurut
cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan
berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang sudah menjadi seorang
saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan kepada
pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan hendak mencari
orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak menjadi tertarik
sekali.
"Untuk
dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus mendapat bantuan dari seorang
sasterawan yang pandai," kata Su Tong Hak. "Kebetulan sekali aku tahu
akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari
kita mengunjungi Louw Siucai."
Louw Siucai
adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya
telah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi,
tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat
sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, membaca kitab, menulis sajak dan
mabuk-mabukan.
Ketika Su
Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil
memohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti
peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya
bersinar-sinar.
"Ya
Tuhan...!" Dia berseru. "Kalian sudah menemukan sebuah benda yang
harganya tak ternilai! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini
terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!"
Bagi
sasterawan tua itu, yang dianggap tidak ternilai harganya adalah kekunoan peta
dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri
dari dinasti Goan-tiauw.
Akan tetapi
Su Tong Hak tidak tertarik akan kekunoan benda itu. "Apa isinya? Bagaimana
bunyinya dan apa artinya peta ini?"
Mendengar
pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, maka si
sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam dan menarik napas panjang,
kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula,
"Dari
manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?"
"Louw
siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan
untuk itu kami sanggup membayarmu. Tak perlu kau hiraukan dari mana kami
mendapat peta ini, yang penting bacalah dan apa isinya?" Suara saudagar
itu terdengar tidak sabar dan marah.
Kembali
sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian baru menjawab dengan suara
perlahan, didengarkan dengan penuh perhatian oleh paman dan keponakan itu.
"Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya
begini: Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu
Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat
membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari
semalam."
Su Tong Hak
sudah kegirangan luar biasa mendengar kata harta karun tadi, maka dia meragu
untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun
sehingga kepercayaannya kepada sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang
kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata,
"Kalau
memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari
semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya."
"Tapi...,"
pamannya mencela.
"Biarlah,
paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?"
Akhirnya Su
Tong Hak mengalah dan sambil menatap tajam kepada sasterawan itu dia berkata,
"Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami
menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kau terjemahkan. Akan
kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat
atau terdengar oleh orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu
gantinya!"
Sasterawan
tua itu mengangguk-angguk sambil memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata
lirih seperti kepada diri sendiri, "Orang muda dari dusun membawa benda
seperti ini, betapa bahayanya..."
Diam-diam
sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, jelas
nampak dari sikap paman dan keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh
mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam.
***************
Pada
keesokan harinya, paman dan keponakan itu datang lagi ke rumah Louw siucai dan
dengan girang mereka menerima kembali peta bersama terjemahannya. Dan
ternyatalah bahwa peta itu adalah peta yang menunjukkan tempat disimpannya
harta karun Jenghis Khan atau harta karun kuno yang umurnya telah seribu tahun
lebih dan yang oleh Jenghis Khan ditemukan petanya. Kemudian kaisar itu
mengutus seorang pembantunya bernama Yelu Kim untuk menyelidiki tempat rahasia
itu.
"Agaknya,
Yelu Kim itu gagal dalam usahanya dan mungkin peta itu terampas orang lain,
kemudian lenyap dan sekarang tahu-tahu ditemukan oleh ji-wi." kata si sasterawan.
"Akan tetapi peta ini tidak lengkap kalau tidak ada kuncinya."
"Kuncinya?
Apa maksudmu?" Su Tong Hak bertanya.
"Kunci
emas. Ada disebutkan di situ dan sudah kuterjemahkan, bahwa untuk menemukan
tempat rahasia itu harus dengan bantuan peta ini, akan tetapi untuk dapat
masuk, harus menggunakan kunci emas. Tidak tahu apakah kunci emas itu juga
ji-wi temukan?"
Su Tong Hak
menoleh dan memandang kepada keponakannya. Tentu saja Ciang Kim Su mengerti apa
yang dimaksudkan dengan kunci emas itu, yaitu benda yang ditemukannya bersama
dengan peta ini dan yang kini disimpan oleh ayahnya. Akan tetapi pemuda ini
menggelengkan kepala, tanda bahwa dia pun tidak tahu.
Su Tong Hak
kemudian meninggalkan uang yang cukup sebagai pembayaran jerih payah sasterawan
Louw dan mengajak keponakannya pulang. Sampai di rumah, mereka berdua segera
memeriksa terjemahan peta itu dan keduanya merasa girang sekali.
Dengan jelas
ditunjukkan pada peta itu bahwa tempat harta karun itu berada pada suatu
tempat, di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san. Memang
sangat sukar didatangi dan kiranya tidak akan mungkin dapat ditemukan tanpa
bantuan peta itu!
"Kim
Su, apakah benar engkau dan ayahmu tidak menemukan kunci emasnya?" paman
itu bertanya sambil memandang tajam kepada wajah keponakannya.
"Setahuku
tidak, paman. Akan tetapi aku akan bertanya kepada ayah tentang itu."
"Baiklah,
sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke dusun dan membuat laporan kepada
ayahmu tentang peta ini, dan sekalian kalian mencari kunci emas itu. Kalau
belum kalian temukan, mungkin masih terpendam di tempat di mana kalian
menemukan peta."
"Akan
tetapi peta itu..."
"Sebaiknya
kita bagi dua saja, Kim Su. Ingat, benda ini amat berharga sehingga jika kau
bawa semua, sungguh amat berbahaya bagimu. Biarlah kita potong menjadi dua
bagian, dan masing-masing kita membawa sepotong. Kau bawa yang sepotong pulang
ke dusun, kemudian bersama ayahmu mencari kunci emas itu. Kalau sudah ketemu,
engkau, ayah dan ibumu datanglah ke sini dan kita bersama akan pergi mencari
harta karun itu. Semua biaya perjalanan mencarinya akan kutanggung."
Ciang Kim Su
menyetujui pendapat ini. Maka demikianlah, peta itu dipotong menjadi dua dan
mereka masing-masing menyimpan sepotong. Kemudian, pemuda dusun itu pulang ke
dusun naik kuda pemberian pamannya dan membawa bekal secukupnya, jauh berbeda
dengan keadaannya pada waktu dia datang ke kota raja.
***************
"Demikianlah
apa yang sudah terjadi," Su Tong Hak mengakhiri ceritanya yang sejak tadi
terus didengarkan dengan penuh perhatian oleh Thian Sin dan Kim Hong.
"Lalu
ke manakah perginya Ciang Kim Su?" tanya Kini Hung. "Kenapa dia tidak
pernah pulang ke dusun sehingga ayahnya mencarinya?"
Pedagang itu
menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu. Aku sendiri pun menanti-nantinya
dan tidak pernah ada berita darinya."
"Hemm,
sungguh aneh sekali." kata Thian Sin sambil mengerutkan alisnya.
Diam-diam dia
mengkhawatirkan nasib pemuda dusun itu. Paman pemuda itu, yang kini duduk di
hadapannya, mempunyai sikap yang palsu dan patut dicurigai, maka di dalam
hatinya, dia tidak mau percaya begitu saja akan apa yang diceritakan oleh
pedagang itu.
"Dan
paman masih memegang sepotong dari peta yang dibagi dua itu?" tanyanya.
Pedagang itu
memandang tajam, alisnya berkerut. Lalu dia menggelengkan kepala keras-keras.
"Tidak lagi! Peta harta karun itu membawa mala petaka! Baru sebulan
setelah Kim Su pergi, rumahku kemalingan dan selain uang dan barang berharga,
juga potongan peta itu dicurinya."
"Bohong...!"
Kim Hong berseru dengan marah. "Mungkin kau bunuh keponakanmu itu dan kau
rampas potongan peta yang ada padanya!"
Thian Sin
hendak mencegah namun sudah tidak keburu dan anehnya, pedagang itu tidak merasa
takut, bahkan tampak marah dan bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang.
"Apa kau bilang?! Kalian datang membawa kunci emas dan mengaku utusan dari
kakak iparku, datang-datang berani engkau menuduhku yang bukan-bukan? Ahh,
jangan-jangan kalian inilah penjahat-penjahat yang telah membunuh keponakanku
dan selain merampas kunci emas dari ayahnya, juga sudah merampas sebagian peta
itu dan kini datang untuk mendapatkan potongan lainnya dariku!"
Thian Sin
bangkit menyabarkan kekasihnya, lalu berkata kepada pedagang itu, "Paman
Su, kami sungguh diutus oleh mendiang paman Ciang Gun..."
"Mendiang?"
"Ya,
dia terbunuh oleh Liong-kut-pian Ban Lok dan kaki tangannya..."
"Ban
Lok? Si keparat! Berani dia...!" Saudagar itu segera menahan kata-katanya
seperti baru sadar bahwa sikapnya itu menunjukkan bahwa dia mengenal baik
kepala penjahat itu. "Lalu... apa yang terjadi?" tanyanya, menahan
rasa kagetnya.
"Sebelum
meninggal, paman Ciang Gun menyerahkan kunci emas ini kepada kami dan memesan
agar kami mencari puteranya di sini."
"Tapi
peta itu..."
"Kami
akan cari sampai dapat."
"Kalau
sudah dapat?"
"Akan
kami cari harta karun itu untuk kami serahkan kepada yang berhak."
"Akulah
yang berhak. Akulah keluarga terdekat dari keluarga Ciang."
"Bukan
engkau, akan tetapi Ciang Kim Su," kata Kim Hong yang masih marah.
"Akan
tetapi dia... dia telah mati!"
Mendadak
Thian Sin memegang lengan tangan pedagang itu. Pedagang itu meronta dan agaknya
dia juga cukup kuat dan menguasai ilmu silat sehingga dia berhasil melepaskan
pegangan itu karena Thian Sin juga memegang secara biasa saja.
"Bagaimana
kau bisa tahu bahwa Kim Su telah mati?" bentak Thian Sin yang belum mau
memperlihatkan kepandaiannya.
"Ku...
kurasa memang demikian, karena kalau dia masih hidup, di mana dia? Mengapa
tidak memberi kabar kepadaku? Orang muda, marilah kita bekerja sama. Serahkan
kunci emas itu kepadaku dan aku akan mengusahakan kembalinya peta dan..."
"Tidak!
Kami akan mencari sendiri dan memenuhi pesan mendiang Ciang Gun yang telah
menjadi korban, bersama isterinya pula, sementara putera tunggalnya juga masih
belum ketahuan bagaimana nasibnya."
"Tapi...
tanpa peta, apa gunanya kunci emas itu?"
"Kami
akan mencarinya."
"Ke
mana? Peta itu telah hilang."
"Bagaimana
nanti sajalah. Akan tetapi, mungkin saja kita masih akan saling berjumpa!"
Setelah berkata denlikian, Thian Sin dan Kim Hong lalu meninggalkan pedagang
itu yang masih memandang dengan bengong.
Setelah tiba
di luar gedung itu, Thian Sin dan Kim Hong tentu saja tahu bahwa tak lama
kemudian, ada tiga bayangan orang yang mengikuti mereka dari jauh. Mereka tak
merasa heran karena memang mereka sudah menyangka bahwa Su Tong Hak bukanlah
orang baik-baik, dan ketiga bayangan orang itu tentulah kaki tangan pedagang
itu yang hendak memata-matai mereka. Mereka berpura-pura tidak tahu dan
langsung kembali ke rumah penginapan mereka.
Memang
kunjungan mereka kepada Su Tong Hak itu pun sebenarnya hanya merupakan gerakan
pancingan belaka untuk memancing keluar kakap-kakap yang ada hubungannya dengan
rahasia peta harta karun. Bagaimana pun juga, dua orang pendekar ini masih
merasa ragu-ragu di mana adanya peta itu sekarang. Benarkah yang sepotong masih
berada di tangan Kim Su yang lenyap tanpa meninggalkan jejak itu? Dan di mana
adanya yang sepotong lagi?
Mereka tahu
bahwa tanpa peta itu, memang kunci emas tidak ada gunanya, sebaliknya, si
pemegang peta pun tidak akan berhasil tanpa mempunyai kunci emas. Inilah
sebabnya mengapa mereka menanti. Mereka merasa yakin bahwa dengan memegang
kunci emas, akhirnya mereka pasti akan dicari oleh pemilik peta!
***************
Mereka tidak
usah menanti terlalu lama. Malam itu juga para penjahat telah mulai beraksi.
Pada malam hari itu, oleh karena maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar
dan ancaman bahaya, Thian Sin dengan Kim Hong tidak tidur seranjang seperti
biasanya. Di dalam kamar itu terdapat dua buah tempat tidur berdampingan, hanya
terhalang sebuah meja kecil dan keduanya duduk bersila di atas pembaringan
masing-masing. Menjelang tengah malam, tanpa mengeluarkan suara, Kim Hong
meniup padam lampu penerangan yang terletak di atas meja dan kamar itu pun
menjadi gelap.
Lima
bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan itu. Gerakan mereka
amat gesit, tanda bahwa mereka berlima telah memiliki ginkang yang cukup
tinggi. Bagai lima ekor kucing saja, mereka bergerak di atas genteng dan
kemudian satu demi satu mereka melayang turun dari atas genteng. Tidak
terdengar suara sedikit pun pada waktu kaki mereka menginjak tanah,.
Mereka
adalah lima orang lelaki bertubuh kuat yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya
jangkung. Pada punggung mereka kelihatan terselip sepasang golok tipis yang
kadang-kadang mengeluarkan cahaya berkilauan kalau tertimpa sinar lampu. Mereka
tidak pernah mengeluarkan suara, karena Si Jangkung hanya memberi aba-aba
dengan isyarat tangan saja. Tak lama kemudian mereka telah berada di luar
jendela dan pintu kamar yang dihuni oleh Thian Sin dan Kim Hong.
Tanpa
mengeluarkan suara, mereka berlima lantas mengeluarkan sapu tangan hitam dan
memasang sapu tangan itu di depan hidung dan mulut sebagai kedok. Kemudian
mereka menyalakan hio dan bau harum yang aneh langsung berhamburan dari asap
hio. Melalui celah-celah daun pintu di bawah, juga dari celah-celah jendela,
mereka lalu memasukkan hio-hio yang terbakar itu ke dalam kamar sehingga
mulailah asap-asap harum memenuhi kamar.
Beberapa
menit kemudian, terdengarlah gerakan di dalam kamar itu disertai suara orang
terbatuk-batuk kecil kemudian disusul suara orang menguap. Suara itu jelas
menunjukkan bahwa yang berada di dalam kamar adalah seorang pria dan seorang
wanita.
Tentu saja
lima orang berkedok sapu tangan hitam itu menjadi girang dan mereka saling
pandang dengan sinar mata berkilat dan berseri. Batuk-batuk dan menguap?
Tanda-tanda itu membuktikan bahwa asap hio mereka yang mengandung obat bius
kuat itu sudah mengenai sasaran dan berhasil. Memang orang akan lebih dulu
terbatuk-batuk, kemudian setelah menguap tak akan dapat tertahan lagi, pasti
jatuh pulas seperti pingsan saja!
Mereka
menanti hingga kurang lebih sepuluh menit dan pada saat itu, kamar telah penuh
dengan asap hio. Mereka juga mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa
agak kecewa akibat tak mendengar suara orang mendengkur yang menjadi tanda
mutlak bahwa orang-orang di dalam kamar itu telah tidur pulas. Akan tetapi,
tidak semua orang tidur mendengkur. Biasanya, hanya orang-orang yang gendut
sajalah yang tidur mendengkur dan mereka tahu bahwa pria dan wanita yang berada
di dalam kamar itu sama sekali tidak gendut.
Setelah
hio-hio itu terbakar habis dan padam, dan asap harum mulai melayang keluar dari
celah-celah jendela, si jangkung memberi isarat dengan tangan. Mereka lalu
membongkar daun jendela dengan amat mudahnya karena mereka memiliki tenaga yang
kuat.
Nampak
sinar-sinar berkilau ketika lima orang itu menghunus golok-golok mereka dengan
kedua tangan dan dengan sepasang golok di tangan mereka pun berloncatan
memasuki kamar melalui jendela, muka mereka terlindung oleh sapu tangan hitam
yang sudah diberi penawar obat bius.
Melihat ada
tubuh terselimut yang membujur di atas dua buah pembaringan itu, lima orang
pendatang ini menjadi ganas. Dengan isyarat si jangkung, mereka lalu menyerbu
dengan golok terangkat dan dalam sekejap mata saja sepuluh batang golok di
tangan mereka itu sudah membacok dan menusuk ke arah dua batang tubuh
terseilmut yang nampak agak remang-remang di atas dua buah pembaringan.
Terdengar
suara crak-crok-crak-crok disusul seruan-seruan kaget dan heran ketika lima
orang itu merasa betapa golok-golok mereka bertemu dengan tubuh yang lunak,
yaitu guling dan bantal yang ditutupi seilmut!
"Celaka,
kita terjebak. Cepat keluar!" kata Si Jangkung dengan suara mendesis karena
marah. Dan pada saat itu pula terdengarlah suara ketawa dari atas genteng,
suara ketawa yang merdu dari seorang wanita dan suara ketawa mengejek seorang
pria!
Lima orang
itu menjadi marah dan dengan gerakan cepat mereka berlima sudah meloncat keluar
dari dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu, kemudian mereka langsung
berloncatan ke atas wuwungan rumah dengan sepasang golok masih berada di tangan
masing-masing.
Dan di situ,
di atas wuwungan itu, diterangi oleh bulan muda dan bintang-bintang, nampak
seorang pemuda dan seorang gadis berdiri dengan dua kaki terpentang lebar dan
kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum-senyum mentertawakan mereka. Si
Jangkung merenggut sapu tangan hitam dari mukanya, diturut oleh keempat orang
kawannya ketika mereka mengejar ke depan.
Melihat
gerakan kelima orang itu yang cukup gesit, menandakan bahwa mereka itu bukan
penjahat-penjahat sembarangan melainkan orang-orang yang sudah memiliki
kepandaian tinggi, Thian Sin lalu mengacungkan sebuah kunci emas ke atas kepala
sambil berkata,
"Kalau
kalian datang untuk mencari ini, ikutilah kami!"
Dan dia pun
meloncat turun bersama Kim Hong, lalu melarikan diri menjauhi tempat ramai itu
menuju ke pinggir kota yang sunyi, di bagian yang dipergunakan orang untuk bercocok
tanam. Di sana sunyi sekali dan cuaca hanya remang-remang diterangi bulan muda
dan bintang-bintang.
Tentu saja
lima orang itu menjadi penasaran dan agaknya melihat berkilaunya kunci emas
tadi, semangat mereka menjadi bertambah dan mereka pun melakukan pengejaran.
Kejar mengejar ini digunakan oleh Thian Sin dan Kim Hong untuk mengukur ilmu
berlari cepat lima orang itu dan mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang
itu betul-betul cukup lihai. Mereka menjadi girang karena semakin lihainya
lawan yang datang mencari mereka, hal itu dapat diartikan bahwa makin dekatlah
mereka dengan orang yang menguasai peta yang mereka cari!
Thian Sin
dan Kim Hong berdiri tegak menanti lima orang calon lawan yang kini pun mulai
mengerti bahwa dua orang muda mudi yang dikejarnya itu bukanlah orang
sembarangan. Dan melihat cara mereka menipu di dalam kamar, kemudian melihat
cara mereka berdua lari, lima orang ini maklum bahwa ternyata pemilik kunci
emas itu adalah dua orang muda yang lihai. Maka, sambil mengejar tadi, si
jangkung memberi peringatan kepada kawan-kawannya agar berhati-hati.
Setelah
saling berhadapan, Thian Sin dan Kim Hong sekarang bisa melihat wajah mereka
dengan jelas, walau pun di dalam cuaca remang-remang. Dan mereka berdua itu
merasa heran karena wajah mereka itu bukanlah wajah penjahat yang kasar. Wajah
orang-orang yang bersikap tenang, pantasnya wajah para jagoan yang merasa yakin
akan kepandaian sendiri. Akan tetapi melihat sepak terjang mereka saat
menyebarkan obat asap bius dan saat mereka menyerang guling dan bantal yang
diseilmuti, sungguh-sungguh merupakan perbuatan kejam sekali.
"Hemm,
kalian lima orang maling kecil ini, tentunya hendak merampas kunci emasku ini,
bukan?" Thian Sin kembali mengacungkan kunci emas itu di tangan kanannya.
Si Jangkung
menghardik, suaranya nyaring dan penuh kepercayaan terhadap diri sendiri,
"Jika sudah tahu begitu, orang muda, lebih baik kau serahkan kunci itu
kepada kami dan kalian boleh pergi dengan selamat."
"Wah,
wah, lima ekor tikus sawah yang hanya merupakan maling-maling kecil ini
ternyata sombong sekali!" kata Kim Hong.
"Kalian
hanyalah pesuruh-pesuruh rendah," kata Thian Sin. "Kalau memang
menghendaki kunci, suruhlah kepala kalian, atau orang yang memegang peta
rahasia itu agar menemui kami. Kami sudah bosan berurusan dengan anak buah
rendahan!"
Lima orang
itu jelas kelihatan marah sekali dan golok-golok di tangan mereka itu tergetar.
"Orang muda yang sombong!" bentak si jangkung, "Kalian berdua
tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Kami adalah Siang-to Ngo-houw (Lima
Harimau Bergolok Pasangan) dan bukan sekedar golongan rendahan!"
Thian Sin
dan Kim Hong belum pernah mendengar nama julukan Siang-to Ngo-houw ini karena
memang sudah bertahun-tahun mereka tak lagi berkecimpung di dalam kalangan
kang-ouw. Tentu saja nama ini tidak berarti apa-apa bagi mereka.
"Siang-to
Ngo-houw, kami hanya mau berbicara tentang kunci emas kepada orang yang
memiliki peta rahasia itu. Apakah kalian menguasai peta itu? Kalau benar,
keluarkanlah dan mari kita bicara!" kata pula Thian Sin.
"Tidak
perlu banyak cakap lagi. Lekas serahkan kunci emas itu atau terpaksa kita harus
menggunakan kekerasan untuk merampasnya!" teriak pula Si Jangkung.
"Hi-hik-hik,
masih mengancam lagi. Padahal, bisanya hanya menggunakan asap bius dan
membacoki bantal guling seperti maling-maling kecil." Kim Hong berkata
mengejek lantas berpaling kepada kekasihnya. "Perlu apa melayani segala
maling-maling kecil? Mereka ini tentu hanya kaum rendahan saja!"
"Serbu!"
Si Jangkung sudah memberi komando karena tidak sabar lagi melihat sikap dua
orang yang jelas memandang rendah kepada mereka itu.
Thian Sin
menyimpan kunci emasnya dan hendak bergerak, akan tetapi Kim Hong sudah berkata
kepadanya, "Biarkan aku menghadapi mereka sendiri!"
"Ahh,
bukan waktunya untuk main-main, Kim Hong!" Thian Sin membantah.
Dia melihat
bahwa lima orang ini tidak boleh dipandang ringan dan sungguh pun dia tahu
betapa lihainya kekasihnya itu, dan kalau menghadapi mereka ini satu lawan satu
tentu tidak sukar bagi Kim Hong untuk merobohkan mereka semua, akan tetapi bila
mereka itu maju berlima, kiranya bukan tidak berbahaya bagi kekasihnya.
"Siapa
yang main-main? Justru sudah lama aku tidak latihan menghadapi lawan tangguh.
Biarkan aku, Thian Sin, sekali ini saja ya...?" Kalimat terakhir ini
terdengar begitu manja dan penuh keinginan sehingga Thian Sin terpaksa
tersenyum sambil melangkah mundur.
"Bandel!
Sesukamulah, namun jangan salahkan aku kalau kau tergores golok!" Meski
pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tentu saja dia pun siap waspada, tak
mungkin dia membiarkan kulit halus kekasihnya itu tergores golok orang.
Kim Hong
tersenyum manis. Kalau saja gadis itu tidak sedang menghadapi perkelahian,
tentu Thian Sin akan merangkul dan menciumnya karena senyuman itu adalah
senyuman khas dari kekasihnya kalau hatinya lagi senang dan sedang mencumbu.
Tentu senyum itu sebagai tanda terima kasih yang akan dibayar kalau kesempatan
memungkinkan nanti.
Gadis itu
melompat ke depan, dengan gaya yang menantang sekali dia lalu menggulung kedua
lengan bajunya sehingga nampaklah lengannya yang bulat dan berkulit putih
halus. Demikian tipis serta halusnya kulit lengan Kim Hong ini sehingga kalau
saja cuaca tidak segelap itu maka akan nampak urat-urat halus membayang di
balik kulitnya. Nampaknya demikian halus dan lunak, akan tetapi jangan
sekali-kali mengira demikian karena kedua lengan itu dapat terisi tenaga yang
amat hebat dan sedemikian kuatnya sehingga mampu menangkis senjata tajam tanpa
terluka!
"Tahan...!"
Tiba-tiba Si Jangkung berseru kepada teman-temannya.
Bagaimana
pun juga, julukan Siang-to Ngo-houw terlampau besar untuk dikotori dengan
pengeroyokan terhadap seorang gadis muda yang bertangan kosong. Di kota raja,
nama Siang-to Ngo-houw sudah terkenal sekali.
Mereka ini
adalah bekas tokoh-tokoh besar di perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang bertugas di
luar kota raja. Baru sesudah Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang)
mengalami musibah, yaitu sesudah terbunuhnya kedua orang pimpinannya, yaitu
Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai sehingga perkumpulan itu menjadi berantakan,
maka kelima orang ini datang ke kota raja.
Dua orang
pemimpin Hwa-i Kai-pang ini terbunuh oleh Pendekar Sadis dan hanya itulah yang
diketahui oleh Siang-to Ngo-houw. Mereka sama sekali tidak pernah mengira bahwa
Pendekar Sadis pembunuh dua orang suheng mereka itu adalah pemuda yang sekarang
berhadapan dengan mereka inilah!
Seperti yang
telah diceritakan di dalam cerita Pendekar Sadis, dua orang pimpinan Hwa-i
Kai-pang itu dibunuh oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin karena mereka berdua
pernah membantu pengeroyokan sehingga akhirnya menewaskan ayah bunda pendekar
itu. Dan karena hanya sedikit saja orang yang mengenal muka Pendekar Sadis,
maka lima orang jagoan ini pun hanya mendengar namanya saja akan tetapi tidak
mengenal Thian Sin.
Siang-to
Ngo-houw adalah sute dari Lo-thian Sin-kai, dan mempunyai tingkat kepandaian
yang tidak banyak selisihnya dengan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Tentu saja
mereka itu lihai bukan main, apa lagi jika mereka maju berlima karena mereka
telah menciptakan bersama suatu ilmu silat gabungan yang amat dahsyat.
Mereka
kembali ke kota raja sesudah dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang tewas. Melihat
bahwa perkumpulan itu sudah tidak begitu baik lagi namanya, maka kelima orang
ini pun tak mau membangunnya kembali, bahkan mereka lalu membantu tokoh sesat
yang pada waktu itu paling terkenal di kota raja, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim
Seng.
Inilah
sebabnya, maka sebagai tokoh-tokoh besar yang terkenal serta memiliki ilmu
tinggi yang mereka andalkan, si jangkung yang memimpin adik-adiknya itu merasa
malu untuk mengeroyok seorang gadis yang bertangan kosong, sehingga dia
berteriak dan menahan adik-adiknya sebelum mereka itu sempat menggerakkan golok
mereka.
Empat orang
adiknya menatap pada Si Jangkung dengan sinar mata penuh pertanyaan. Akan
tetapi Si Jangkung telah menghadapi Kim Hong kemudian mengangkat dada untuk
menunjukkan kegagahan.
"Nona,
Siang-to Ngo-houw memang sudah biasa maju bersama, akan tetapi belum pernah
mengganggu wanita yang bertangan kosong. Karena itu kami minta supaya kalian
berdua menyerahkan kunci atau maju bersama dengan menggunakan senjata."
Melihat
sikap ini, Kim Hong malah mentertawakan. "Hik-hik-hik, lagaknya! Apa sudah
lupa betapa tadi yang berjuluk Siang-to Ngo-houw tidak bersikap jantan, sama
sekali tak mirip seperti Lima Ekor Harimau akan tetapi lebih pantas menjadi
Lima Ekor Tikus yang curang dan pengecut, mempergunakan obat bius dan menyerang
orang-orang yang sedang tidur pulas? Hi-hik, kini berlagak lagi! Sungguh tidak
lucu, malah menjemukan. Hayo tidak perlu cerewet lagi, ingin kulihat apakah
ilmu kalian juga sebesar kecurangan kalian!"
"Perempuan
sombong!" Teriakan ini dilakukan oleh dua orang di antara lima tokoh sesat
itu dan mereka pun sudah menerjang maju dengan sambaran sepasang golok mereka.
Terdengar
bunyi berdesingan ketika empat batang golok itu menyambar dengan dahsyat dan
menghujankan serangan maut ke arah tubuh Kim Hong. Akan tetapi, hanya dengan
sedikit gerakan tubuh saja, sambaran golok-golok itu dapat dielakkan dengan
mudah oleh Kim Hong dan hanya mengenai tempat kosong saja.
Sekarang
tiga orang lainnya tidak ragu-ragu lagi, apa lagi mereka juga sangat marah dan
merasa terhina oleh ejekan Kim Hong tadi. Mereka lantas mengeluarkan suara
bentakan dan mulailah lima orang itu mengurung Kim Hong sambil membuat
langkah-langkah lebar memutari gadis itu.
Mereka yang
sudah dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang demikian tabahnya menantang
mereka pasti memiliki kelihaian, kini segera menggerakkan ilmu yang mereka
andalkan, yaitu Ngo-lian To-tin (Barisan Golok Lima Teratai). Langkah-langkah
mereka sangat teratur dan mereka itu merupakan rangkaian yang bekerja sama
secara otomatis. Kadang kala sambil melangkah mengitari lawan, terdengar suara
golok mereka bersiutan, digerakkan menembus udara, kadang-kadang berdencing
karena saling sentuh sehingga suasana menjadi menegangkan.
Akan tetapi
Kim Hong berdiri dengan tenang saja, sama sekali tidak bergerak dan hanya
sepasang matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan lima orang pengepungnya
dan tentu saja pendengarannya juga mengikuti setiap gerakan orang yang berada
di sebelah belakangnya. Seluruh urat syarafnya telah siap siaga dan menegang,
meski pun tubuhnya nampak tenang-tenang seenaknya saja.
Gadis ini
maklum bahwa kelima orang pengepungnya itu bukanlah lawan yang ringan dan sama
sekali tak boleh dipandang rendah. Akan tetapi dia masih belum merasa perlu
untuk menghunus sepasang pedangnya, yakni Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang
Penaluk Iblis) yang berwarna hitam dan yang selalu disimpannya di balik baju
itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, kalau tidak amat terpaksa, Kim Hong
tidak akan mau menggunakan pedang.
"Hiaaattt...!"
Tiba-tiba
saja Si Jangkung mengeluarkan teriakan nyaring dan sepasang goloknya sudah
cepat menyambar dengan gerak tipu Hong-cui Pai-hio (Angin Meniup Runtuh
Dedaunan), sepasang golok itu berkelebat saling susul, yang kiri menyambar ke
leher dan yang kanan menusuk lambung. Serangan ini dilakukan ketika dia berada
di sebelah kanan dari tubuh Kim Hong.
"Hemmm...!"
Kim Hong menggeser kaki mengelak. Cara mengelaknya memang istimewa sekali,
kakinya tidak diangkat, melainkan menggeser atau meluncur seolah-olah di bawah
sepatunya terdapat roda yang membuat tubuhnya dapat meluncur, akan tetapi
cepatnya bukan main sehingga serangan sepasang golok itu gagal total.
Akan tetapi,
kiranya serangan pertama dari Si Jangkung ini merupakan pembukaan atau aba-aba,
sebab mereka berlima kini seluruhnya mulai menggerakkan Ngo-lian To-tin atau
Barisan Golok Lima Teratai itu dan memang hebat bukan main gerakan mereka.
Sepuluh batang golok itu bekerja sama dengan demikian rapi dan cekatan, susul
menyusul serta bertubi-tubi, seolah-olah digerakkan oleh satu otak saja, saling
bantu hingga ke mana pun tubuh Kim Hong mengelak, tentu dia langsung dipapaki
oleh golok lainnya. Dan susunan serangan mereka itu pun makin lama semakin kuat
dan berbahaya!
"Ciaaattt...!"
Seorang di
antara mereka yang berada di depan Kim Hong, menggunakan jurus Sin-eng Hoan-sin
(Garuda Sakti Memutar Tubuh), sepasang goloknya itu tiba-tiba saja meluncur
dengan gerakan membalik, amat berbahaya sekali dan saking cepatnya, sepasang
golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi dua berkas sinar yang menyilaukan
mata.
Kim Hong
cepat mengelak dan kali ini dengan loncatan ringan ke kiri, di mana dia segera
disambut oleh sepasang golok yang dimainkan dengan jurus Kim-liong Hian-jiauw
(Naga Emas Mengulurkan Cakar) dengan sepasang golok itu menusuk secara
berantai. Kembali Kim Hong mengelak ke belakang di mana dia disambut pula
dengan serangan golok yang lebih berbahaya karena penyerangnya telah
menggunakan jurus Giok-tai Wi-yauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang), sebuah
gerakan yang indah sekali hingga golok itu seolah-olah melengkung melalui
belakang pinggang dan langsung menuju ke pinggang lawan.
Untuk
kesekian kalinya Kim Hong mengelak dan lawan ke lima yang berada di belakang
tubuhnya sudah menyambut dengan sebuah tendangan kilat yang disusul oleh
sambaran golok ke leher. Sepasang golok itu sekaligus membuat gerakan
menggunting dari kanan dan kiri. Itulah jurus yang dinamakan Ji-liong Jio-cu
(Sepasang Naga Berebut Mustika).
Menghadapi
serangan bertubi-tubi yang dilancarkan secara gencar, cepat dan kuat, serta
saling membantu ini, yang maksudnya untuk menutup jalan keluarnya dan tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang melainkan dipaksa agar
mengelak terus, Kim Hong lantas mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia
pun sudah memainkan ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Kong-jiu Jip-pek-to
(Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) dan tubuhnya berkelebatan secara cepat
bukan main!
Lima orang
jagoan itu terkejut sekali melihat betapa tubuh lawan mereka itu kadang kala
lenyap dan demikian cepatnya gerakan gadis itu hingga membuat mata mereka
menjadi silau dan kabur pandangannya. Hebatnya lagi, gadis itu kadang kala
berani menyampok golok dengan tangan kosong dan tangan itu terasa demikian
lunak bagai kapas sehingga tidak terluka oleh golok, namun di bawah kelunakan
itu terkandung tenaga yang luar biasa kuatnya!
Kini
maklumlah Siang-to Ngo-houw bahwa mereka ini sedang menghadapi seorang gadis
yang benar-benar lihai sekali, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali.
Kerja sama mereka yang amat rapi itu tetap saja bisa mengimbangi ilmu silat
istimewa dari Kim Hong sehingga membuat gadis itu masih sulit untuk dapat
merobohkan salah seorang di antara mereka karena mereka itu selalu dalam posisi
saling bantu dan saling melindungi.
Memang
kelima orang itu sudah mempunyai ilmu silat yang sangat kuat. Seperti juga ilmu
kepandaian mendiang suheng mereka, yaitu Lo-thian Sin-kai tokoh nomor satu dari
Hwa-i Kai-pang, mereka memiliki dua macam ilmu silat yang menjadi andalan
mereka.
Pertama
adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Ta-houw Sin-ciang-hoat (Ilmu Silat
Sakti Pemukul Harimau) yang dapat membuat tangan mereka menjadi demikian
kerasnya hingga kepalan tangan mereka itu dapat mengalahkan harimau dan
memecahkan kepala binatang itu. Dan yang ke dua adalah ilmu yang berdasarkan
ilmu silat tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Silat Tongkat Lima Teratai). Ilmu ini
mereka rubah menjadi Ngo-lian To-hoat (Silat Golok Lima Teratai) dan dengan
ilmu golok ini, mereka berlima sudah menciptakan Ngo-lian To-tin (Barisan Go.
lok Lima Teratai) yang amat tangguh itu.
Kalau
dibandingkan satu lawan satu, tentu saja tingkat kepandaian Kim Hong masih jauh
lebih tinggi, baik dalam hal ilmu silat mau pun tenaga sinkang, terutama sekali
dalam hal ginkang karena memang gadis ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sukar dicari bandingannya. Akan tetapi karena mereka itu maju berlima dan
membentuk barisan golok yang amat tangguh itu, Kim Hong yang bertangan kosong
mengalami kesulitan juga untuk menundukkan mereka. Kim Hong tetap tak mau
mengeluarkan pedangnya, sebab merasa bahwa dia belum terdesak, hanya belum
mampu merobohkan mereka.
"Heh,
bandel, kenapa tidak menggunakan siang-kiammu itu?" sudah berkali-kali
Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong hanya tersenyum saja.
"Darah
lima ekor tikus ini terlalu busuk untuk mengotori pedang-pedangku!"
akhirnya dia menjawab dan jawaban ini membuat Siang-to Ngo-houw menjadi semakin
marah.
"Perempuan
sombong!" Si Jangkung berteriak marah sekali, kemudian kembali memimpin
adik-adik seperguruannya untuk mendesak semakin ganas.
Akan tetapi
tiba-tiba teriakannya itu yang disusul dengan tusukan golok ke arah dada Kim
Hong, berubah menjadi teriakan kesakitan ketika tiba-tiba ada sinar hitam
berkelebat dan terdengar bunyi meledak kecil yang disebabkan oleh lecutan ujung
rambut Kim Hong yang menotok pergelangan tangan yang memegang golok.
"Aduhhh...!"
Golok itu segera terlepas dari pegangan tangan yang tiba-tiba terasa lumpuh dan
sebelum Si Jangkung dapat memperbaiki posisinya, sebuah tendangan kaki kiri Kim
Hong mengenai pahanya.
"Dessss...!"
Si Jangkung
terlempar sambil menyeringai kesakitan, berusaha bangkit, akan tetapi jatuh
terduduk lagi karena bekas tendangan pada pahanya itu telah membuat pahanya
memar, matang biru dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Empat orang
yang lain menjadi terkejut dan marah. Mereka bergerak cepat dan memang ilmu
barisan Lima Teratai mereka itu telah terlatih amat baik, bahkan sudah terlatih
kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka. Barisan itu memang berlima, akan
tetapi mereka telah melatihnya sedemikian rupa sehingga bisa juga mereka
mainkan berempat, bertiga, atau bahkan berdua saja tanpa menjadi kaku dan
canggung. Sekarang empat orang itu berkelebatan dan gerakan mereka berbeda dari
gerakan ketika mereka berlima tadi, akan tetapi tidak mengurangi ketangguhan
mereka.
Bagaimana
pun juga, kini Kim Hong tidak hanya menghadapi mereka dengan kaki tangan
kosong, melainkan dia sudah mempergunakan senjatanya yang ampuh, yaitu
rambutnya! Senjata ini bahkan lebih ampuh dari pada senjata lainnya, karena
selain tak terduga-duga datangnya, digerakkan oleh kepala, juga senjata ini
dapat dijadikan kaku mau pun lemas tergantung penggunaan tenaga sinkang yang
dikerahkan oleh gadis perkasa itu.
Empat orang
itu biar pun telah lama berkecimpung di dunia persilatan dan sudah banyak
menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekaranglah mereka bertemu lawan
seperti itu, dan melihat betapa suheng mereka telah roboh, maka mereka pun
menjadi panik. Hal ini dapat terasa oleh Kim Hong, terasa dalam gerakan kerja
sama yang tidak serapi tadi. Sekarang banyak terdapat lowongan-lowongan dan
gadis perkasa itu pun segera hendak mempergunakannya.
"Hiaaaaattt...!"
Dia
melengking lantas tubuhnya menerjang ke depan, melompat ke atas dan kaki
kirinya menendang ke arah sepasang golok yang menyambutnya. Pemegang golok itu
berteriak kesakitan dan sepasang goloknya terlempar, akan tetapi kaki kanan Kim
Hong sudah tiba sebelum dia dapat mengelak.
"Bukkk!"
Orang itu
terlempar ke belakang dan terbanting keras, terjengkang dan napasnya terasa
sesak, dadanya terasa jebol. Sampai cukup lama dia hanya dapat terengah-engah
sambil menekan dadanya.
"Haiiitttt...!"
Kim Hong
kembali melengking, rambutnya menyambar bagaikan seekor ular hitam, tepat
menotok pundak salah seorang pengeroyok yang tiba-tiba saja berubah menjadi
patung, tak mampu bergerak dengan tangan kanan mengacungkan golok ke atas dan
tangan kiri menusukkan golok ke depan. Kim Hong yang sudah berhasil menotoknya
dengan ujung rambutnya, segera menggerakkan tangan kiri menampar.
"Plakkk!"
Tubuh orang
ke tiga ini langsung terpelanting dan sepasang goloknya terlempar, matanya
menjadi juling dan dia cepat-cepat duduk dengan kepala bergoyang-goyang karena
bumi terasa berpusing di depannya.
"Hyaaaaattt...!"
Kembali Kim Hong mengeluarkan suara lengkingan panjang, tubuhnya telah melayang
ke atas. Dua orang sisa lawannya yang telah menjadi gentar sekali itu menyambut
tubuhnya dengan tusukan dan bacokan golok.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu membuat gerakan salto di angkasa dan
tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawan mereka! Sebelum mereka sadar bahwa
lawan yang amat lincah bagaikan burung walet itu berada di belakang mereka,
tahu-tahu rambut kepala mereka sudah dijambak oleh sepasang lengan yang kecil
halus namun kuat.
"Dukkkk...!"
Keduanya mengeluh dan roboh, di kepala mereka tumbuh sebutir telur angsa dan
kepala mereka terasa nanar dan pandang mata terasa berkunang!
Terdengar
suara tepuk tangan. Kim Hong menoleh sambil tersenyum memandang kepada
kekasihnya yang bertepuk tangan memujinya. Bulan telah naik tinggi dan sinarnya
makin cerah. Langit bersih sekali sehingga cuaca menjadi semakin terang.
"Bagus
sekali cara engkau menjatuhkan mereka, Kim Hong," kata Thian Sin memuji.
Yang dipuji
amat girang dan bangga sekali. "Ahh, latihan yang menyenangkan. Kini tubuh
terasa enak sekali!" kata Kim Hong sambil menggeliat seperti seekor kucing
malas, muka diangkat seperti memandangi bulan, dada yang telah membusung itu
makin dibusungkan, pinggang ditekuk, sepasang lengan yang masih tersingsing
lengan bajunya itu diangkat ke atas dan ke belakang, menyanggul rambut yang
tadi terlepas.
Di antara
semua keindahan dalam gerakan wanita, salah satu di antaranya yang paling
mempesonakan hati pria adalah kalau wanita itu membereskan rambut kepalanya
dengan mengangkat dua lengan ke atas dan ke belakang! Gerakan ini mengandung
kelembutan, keindahan dan kehalusan wanita sepenuhnya, bahkan di saat itu
tampak seperti gerakan yang penuh gairah yang menantang. Hemmm...
Thian Sin
merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan ini tandanya bahwa dia telah
terangsang memandang kekasihnya seperti itu. Dia pun melangkah maju dan
dipeluknya pinggang yang ramping dan sedang meliuk itu, ditariknya tubuh itu
kemudian didekapnya kuat-kuat, lalu diciumnya mulut yang agak terbuka itu.
Terdengar
Kim Hong mengeluarkan suara seperti seekor kucing dan kedua lengan yang sedang
menyanggul rambut itu pun melingkar di leher Thian Sin, membuat rambut yang
belum selesai disanggul itu terlepas dan terurai lagi.
Mereka
berdua tak mempedulikan lagi lima orang yang telah dirobohkan tadi, tenggelam
dalam buaian asmara, saling berangkulan, saling berciuman. Bahkan kesempatan
itu lalu dipergunakan oleh lima orang Siang-to Ngo-houw untuk bangkit
perlahan-lahan, menahan keluhan sambil menyeringai, kemudian perlahan-lahan
mereka pun segera melarikan diri dari tempat itu.
"Ehh,
kita harus menangkap seorang!" Tiba-tiba Thian Sin melepaskan ciumannya.
Akan tetapi Kim Hong menahan dengan rangkulannya, lalu gadis itu menggunakan
tangan kiri melepas sebuah tusuk konde di atas telinga, kemudian mengayunkan
tangannya.
Terdengar
jerit kesakitan dan seorang di antara Siang-to Ngo-houw terjungkal roboh dan
tidak mampu bangkit lagi. Empat orang temannya melarikan diri dan agaknya
melupakan seorang kawan mereka yang roboh. Sedangkan Kim Hong telah menarik
muka Thian Sin lagi, melanjutkan permainan mereka yang tertunda tadi, tenggelam
dalam kemesraan dan pencurahan kasih sayang.
Bagi yang
belum mengenal pasangan muda-mudi ini pastilah akan merasa heran melihat
keadaan mereka. Akan tetapi bagi pembaca yang sudah mengikuti perjalanan hidup
dua orang ini dalam cerita Pendekar Sadis, tentu tidak akan merasa heran lagi.
Latar belakang kehidupan mereka begitu suram dan gelapnya,
pengalaman-pengalaman pahit getir telah membuat hati kedua orang muda ini
terasa hambar dengan segala peraturan yang dibuat oleh manusia, termasuk
pernikahan.
Mereka
berdua saling mencinta, cinta yang tidak dibuat-buat, cinta yang memang timbul
dari dalam hati mereka, bebas dari ikatan peraturan-peraturan umum. Mereka
mengenal sifat dan cacat pasangan masing-masing. Mereka saling mencinta dengan
mata terbuka. Mereka tidak mau mengikatkan diri dengan pernikahan, walau pun di
dalam hati mereka terdapat kasih sayang mendalam yang agaknya tak memungkinkan
mereka tertarik pada orang lain.
Kemesraan
bisa saja timbul di antara mereka, di mana pun juga, di saat apa pun juga dan
mereka tidak akan menyembunyikan perasaan mesra itu. Mereka berani bermesraan
di mana pun karena mereka berdua sudah tidak begitu mau mempedulikan lagi
soal-soal peraturan dan hukum yang mereka anggap palsu dan pura-pura. Apa bila
mereka saling menyayang lantas timbul gairah untuk saling memperlihatkan kasih
sayang, untuk saling meraba memeluk dan mencium, mengapa harus
disembunyi-sembunyikan?
Mereka
menganggap hal itu wajar dan tidak merugikan orang lain! Inilah sebabnya, maka
sungguh pun sudah beberapa tahun hidup bersama di pulau kosong, sebagai suami
isteri, mereka belum pernah menikah dalam arti kata disaksikan upacaranya oleh
orang-orang lain, baik berdasarkan hukum agama, tradisi atau umum.
Tentu banyak
pula orang yang akan mengernyitkan hidung dan mencibirkan bibir melihat keadaan
mereka itu. Tentu banyak yang memberi komentar: tak tahu malu, tidak sopan,
jorok dan cabul, kotor dan sebagainya. Namun sebaliknya, di samping itu,
mungkin ada pula yang membenarkan.
Akan tetapi,
bukan di situlah letaknya kebenaran. Bukan di dalam sehelai surat nikah, di
dalam upacara agama, di dalam upacara tradisi, atau pun di dalam kesaksian para
handai taulan letaknya kebahagiaan perjodohan. Melainkan di dalam cinta kasih!
Apa artinya
memiliki surat-surat lengkap, dengan upacara yang megah, dengan perayaan yang
meriah, dengan penghormatan yang berlebihan, kalau di dalam sebuah pernikahan
tidak terdapat cinta kasih? Bahkan banyak sekali suami isteri yang saling tidak
merasa cocok, namun memaksa diri untuk hidup bersama karena adanya ikatan
berupa surat atau upacara atau hukum-hukum itu. Akibatnya, biar pun pada
lahirnya, oleh orang-orang lain, mereka nampak sebagai suami isteri yang hidup
serumah dan rukun sampai kakek nenek, tapi pada hakekatnya batin keduanya
menderita hebat! Mau terbang menghindar, kaki sudah terikat oleh segala hukum
dan pendapat umum.
Karena itu,
tidak begitu penting mempertimbangkan benar tidaknya orang menjadi suami isteri
dengan surat, dengan upacara, dan sebagainya. Yang paling penting adalah bahwa
suatu perjodohan merupakan pendekatan antara dua orang, pria dan wanita, untuk
hidup bersama dan hal ini baru benar kalau dilakukan dengan dasar saling
mencinta! Hanya ini syarat utamanya, yang lain-lain itu hanyalah embel-embel
yang tidak begitu penting bagi kebahagiaan bersuami-isteri. Syarat paling utama
itu, yaitu cinta kasih dua fihak, harus dipenuhi lebih dahulu, baru orang boleh
memikirkan syarat-syarat lain yang umum.
***************
Antara Thian
Sin dan Kim Hong kadang-kadang terdapat ketidak cocokan sebab memang keduanya
memiliki kekerasan hati yang membuat mereka kadang-kadang tak mau saling
mengalah sehingga terjadi bentrokan. Namun, pada hakekatnya, di dasar atau
lubuk hati mereka, kedua orang ini saling mencinta dengan amat mendalam
sehingga pertentangan-pertentangan yang ada selalu dapat dikalahkan oleh
perasaan saling menyayang itu. Dan selain cinta kasih kedua pihak, juga di
antara keduanya sudah terdapat suatu kepekaan bersama sehingga hanya dengan
saling pandang saja mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing.
Setelah
mencurahkan kasih sayang yang tiba-tiba timbul pada saat itu, keduanya menjadi
lebih tenang. Kim Hong segera melepaskan diri dari pelukan kekasihnya lalu
menengok, memandang ke arah salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw yang tadi
dirobohkannya dengan tusuk konde tadi.
"Akan
kita apakan dia itu?"
"Dia
penting sekali untuk membawa kita kepada pimpinannya, kepada yang mengutusnya
atau kepada pemegang peta itu," kata Thian Sin dan keduanya lalu
menghampiri orang itu.
Sambitan
tusuk konde tadi menembus paha hingga orang itu tidak mampu bangkit berdiri,
hanya duduk sambil memijit-mijit pahanya, menggigit bibir menahan rasa nyeri.
Berulang kali dia menyumpah-nyumpahi keempat orang saudaranya yang
meninggalkannya begitu saja.
"Bedebah!
Pengkhianat mereka itu! Tidak mempunyai setia kawan sama sekali, keparat!"
demikian dia menyumpah-nyumpah akan tetapi dia memandang dengan cemas pada saat
melihat Thian Sin dan Kim Hong menghampirinya.
Baru
sekarang dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang yang mempunyai
kepandaian hebat sekali. Baru gadis itu saja sudah mampu merobohkan mereka
berlima, belum lagi pemuda itu! Mulailah dia menduga-duga siapa gerangan
pasangan muda mudi yang demikian lihainya ini.
"Nah,
engkau sudah membuktikan kelihaian kami?" Kim Hong mengejek.
"Sekarang lebih baik engkau mengaku terus terang!"
"Aku
telah kalah dan telah ditinggalkan teman-temanku, kalian mau bunuh, terserah.
Aku harus mengaku apa lagi?" Orang itu mencoba untuk menutupi rasa
takutnya dengan sikap gagah. Siang-to Ngo-houw terkenal sebagai orang-orang
gagah, karena itu dia pun harus bersikap gagah.
"Sobat,
kalian Siang-to Ngo-houw datang dan berusaha membunuh kami, juga berusaha
merampas kunci emas yang ada padaku," kata Thian Sin. "Namun kami
masih menaruh kasihan, tak mau membunuh kalian. Maka ceritakanlah, siapakah
yang mengutus kalian? Siapa yang telah menguasai peta rahasia itu? Katakan dan
kami akan membebaskanmu."
Wajah yang
sudah pucat itu nampak semakin ketakutan. Orang itu menoleh ke kanan kiri,
sikapnya ngeri dan ketakutan, lalu dia menggelengkan kepala keras-keras.
"Tidak! Tidak ada yang mengutus kami. Aku tidak tahu!"
Thian Sin
dan Kim Hong sudah cukup berpengalaman untuk dapat mengerti bahwa orang ini
amat takut pada yang mengutusnya. Lalu Thian Sin berkata kembali, "Sobat,
engkau tentu tidak asing dengan Hwa-i Kai-pang, bukan?"
Orang itu
nampak terkejut dan memandang kepada wajah Thian Sin dengan kedua mata
terbelalak. "Bagaimana engkau tahu?" dia balas bertanya.
"Aku
mengenal dasar-dasar gerakan Ngo-lian Pang-hoat dalam ilmu golok kalian. Tentu
kalian masih mempunyai hubungan dengan Hwa-i Kai-pang, atau lebih tepat lagi
dengan Lo-thian Sin-kai tokoh utama Hwa-i Kai-pang itu."
"Dia
adalah mendiang suheng kami! Siapa... siapakah engkau?"
Thian Sin
maklum bahwa orang yang amat takut kepada kepalanya ini perlu dibuat gentar agar
suka mengaku. "Aku adalah kenalan lama Hwa-i Kai-pang, dulu aku dikenal
sebagai Pendekar Sadis..."
"Ahhhh...!"
Orang itu terbelalak dan berusaha menjauh seperti mendadak melihat seekor ular
yang amat berbabaya. "Pendekar... Sadis...?"
Diam-diam
Thian Sin merasa girang melihat ketakutan terbayang di wajah itu. "Benar,
dan engkau mengerti bahwa sebaiknya mengaku dari pada harus merasakan
tanganku!" Dia sengaja mengancam.
"Tapi...
tapi... aku takut..."
"Dan
tidak takut kepada Pendekar Sadis?" kembali Thian Sin menghardik.
"Ahh...
ampunkan nyawaku... kami... kami disuruh..." Tiba-tiba terdengar suara
berdesing-desing.
Dua orang
pendekar itu langsung meloncat untuk menghindarkan diri dari sambaran anak
panah kecil yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada mereka tadi.
Namun, pada saat itu terdengar pekik mengerikan dan orang yang mereka tanyai
tadi terjengkang, berkelojotan dengan anak panah menembus dadanya!
"Setan...!"
Kim Hong yang memiliki gerakan cepat itu sudah melayang ke arah dari mana
datangnya anak panah tadi, akan tetapi ia tidak dapat menemukan orang. Selain
cuaca remang-remang yang menjadi penghalang, juga agaknya pelepas anak panah
itu memiliki kecepatan yang hebat pula, maka secepat itu telah menghilang.
Ketika Kim Hong kembali lagi, dia melihat Thian Sin melepaskan tubuh yang tadi
diperiksanya itu. Tubuh itu terkulai lemas tanda tidak bernyawa lagi.
"Orangnya
telah pergi, terlampau gelap untuk dapat mengejarnya. Kau kira siapakah yang
melakukannya? Teman-temannya tadi?"
Thian Sin
menggelengkan kepala. "Tentu orang lain. Anak panah itu menembus jantung,
bahkan mematahkan tulang iga. Jelas bahwa tenaga orang yang melepaskannya
sangat kuat, lebih kuat dari pada tenaga bekas-bekas lawanmu tadi. Dan ini
membuktikan bahwa orang yang mengutus Siang-to Ngo-houw tadi, atau orang yang
menguasai peta rahasia itu, bukanlah orang sembarangan. Kita berhadapan dengan
penjahat besar yang memiliki banyak pembantu lihai, maka kita harus
berhati-hati."
Kim Hong
menarik napas panjang, menyesal. "Akan tetapi ke mana kita harus mencari
dia? Satu-satunya orang yang dapat menghubungkan kita kepadanya telah
dibunuh."
"Tak
ada jalan lain kecuali menunggu. Dia telah mengirim Siang-to Ngo-houw dan
gagal, kurasa seorang penjahat besar seperti dia tentu tak mudah putus asa dan
akan mengutus pembantu lain yang lebih cakap dan lebih kuat. Kita menunggu
saja. Umpan kunci emas masih ada pada kita dan tentu kakap-kakap besar akan
berdatangan. Kita hanya tinggal waspada saja melihat ikan macam apa yang akan
menyambar umpan."
Thian Sin
dan Kim Hong meninggalkan mayat itu, segera kembali ke rumah penginapan mereka.
Karena tahu akan lihai dan berbahayanya musuh, ada sedikit ketegangan dalam
hati mereka. Akan tetapi ketegangan ini membuat mereka menjadi makin akrab,
merasa semakin dekat dan harus saling melindungi.
Semuanya ini
membuat mereka akhirnya menumpahkan perasaan masing-masing dalam keadaan amat
mesra, sehingga malam itu mereka sama sekali sudah melupakan seluruh ketegangan
dan ancaman bahaya, hanyut dalam kemesraan.
***************
Selama dua
hari berikutnya tidak terjadi sesuatu dan hal ini membuat Thian Sin dan Kim
Hong merasa kecewa dan tidak sabar. Ikan yang dinanti-nanti tak kunjung muncul!
Thian Sin tidak percaya bahwa kepala penjahat itu menjadi jeri. Perbuatannya
membunuh salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw itu saja sudah membuktikan
bahwa kepala penjahat itu tidak menjadi jera dan jeri. Pasti akan muncul,
pikirnya penuh keyakinan.
Malam itu
mereka berdua pergi ke rumah makan terbesar di kota raja. Rumah makan ini
terkenal sekali dengan masakan ikan-ikan laut. Rumah makan besar itu sudah
setengah penuh pada saat Thian Sin dan Kim Hong memasukinya, disambut oleh
seorang pelayan dengan ramahnya dan pelayan itu segera menyodorkan daftar
masakan.
Thian Sin
dan Kim Hong tersenyum-senyum gembira membaca daftar masakan itu. Daftar yang
sungguh luar biasa dan sangat berbeda dengan yang terdapat di restoran-restoran
lainnya. Selain terbuat dari kain yang indah, juga tulisannya amat indah,
daftar itu memuat nama-nama masakan yang aneh-aneh.
"Jantung
ular laut?" Kim Hong membaca sambil terbelalak. "Benarkah itu?"
"Ahh,
paling-paling itu hanya daging belut laut. Coba lihat ini. Masak Burung Hong
Merah! Bukan main! Aku berani bertaruh bahwa ini tentu hanya masak ayam saus
tomat, tentu saja kemerahan."
"Wah,
ini ada Ca Kaki Biruang, ada Otak Ki-lin goreng, Sup Naga Hitam, dan Panggang
Daging Srigala!" teriak Kim Hong.
"Ha-ha,
biruangnya tentu hanya babi, ki-lin itu tak salah lagi tentu babi hutan, naga
hitam itu boleh jadi hanya daging ular hitam saja, dan srigala itu, apa lagi
kalau bukan anjing?"
Mereka
tertawa-tawa dan ketika pelayan datang, mereka bertanya dan memang sebagian
besar dugaan Thian Sin tadi benar adanya.
"Di
samping sebagai penambah selera, juga untuk menguji kecerdasan tamu yang suka
menduga-duga." kata si pelayan sambil tersenyum ramah.
Maka
sibuklah Kim Hong memillh masakan yang namanya seram-seram dan aneh-aneh itu.
Ada yang disebut siluman laut bongkok yang ternyata hanyalah udang besar saja!
Rajawali leher panjang ternyata hanya bebek! Betapa pun juga, sesudah semua
hidangan dikeluarkan, sepasang muda mudi ini harus mengakui bahwa masakan di
rumah makan itu memang istimewa lezatnya.
Ketika
mereka berkelakar tentang nama-nama hebat dari masakan-masakan itu, seorang
pemuda yang telah lebih dahulu duduk tidak jauh dari meja mereka, memandang
kepada mereka dengan wajah ramah. Thian Sin melihat ini dan diam-diam dia
memuji wajah yang tampan dan sepasang mata yang kelihatan cerdas itu.
Akan tetapi,
ketika pernah satu kali Kim Hong bertemu pandang mata dengan pemuda itu, dia
tersenyum dan kedua pipinya menjadi agak merah. Sebagai wanita, ia segera
merasa betapa sinar mata yang ditujukan padanya itu penuh dengan kekaguman dan
kegairahan yang tidak disembunyikan.
Kalau saja
si pemandang tidak berkenan di hatinya, tentu Kim Hong sudah marah. Akan tetapi
ada sesuatu di wajah pemuda itu yang menarik hatinya, wajah tampan dan halus,
sinar mata tajam dan dagu yang membayangkan kegagahan. Seorang pemuda yang
tentu bukan orang sembarangan, pikirnya.
Pula,
melihat betapa pemuda itu diam-diam memperhatikan mereka dan tersenyum serta
bersikap ramah bersahabat terhadap mereka, diam-diam di dalam hati Thian Sin
dan Kim Hong sudah timbul kecurigaan. Mereka saling pandang dan tahu akan isi
hati masing-masing yang menaruh curiga terhadap pemuda tampan itu. Siapa tahu,
dialah ikan kakap yang mereka nanti-nanti selama dua hari ini!
Secara
sambil lalu, mereka mulai memperhatikan pemuda itu. Dan seperti juga mereka,
pemuda itu memesan beberapa macam masakan dan kelihatannya cukup royal, sungguh
pun tidak sangat gembul karena masakan-masakan itu hanya dicicipi
sedikit-sedikit saja.
Akan tetapi
pemuda itu sungguh kuat sekali minum arak. Sudah ada sepuluh cawan yang
diminumnya, tetapi mukanya masih nampak berseri, sama sekali tidak menjadi
pucat atau merah seperti biasanya kalau orang mulai terpengaruh arak.
Usia pemuda
itu kurang lebih dua puluh tiga tahun, pakaiannya seperti pelajar, sederhana
biar pun terbuat dari sutera yang cukup halus. Ketika itu, guci kecil araknya
telah kosong dan dia pun menggapai kepada seorang pelayan yang lewat
didekatnya. Setelah pelayan mendekat, dengan suara yang cukup lantang sehingga
bisa terdengar oleh Thian Sin dan Kim Hong, pemuda itu bertanya, sambil
memandang catatan pada daftar makanan,
"Bung,
selain Arak Bunga Surga seperti yang kau suguhkan tadi, apakah ada juga Arak
Dewa Panjang Usia yang disimpan dalam kamar pusaka dengan kunci emas?"
Suaranya berlagu, terdengar lucu bagai orang membaca sajak sehingga beberapa
orang menengok dan tersenyum. Pelayan itu sendiri tertawa.
"Ha-ha-ha,
kongcu pandai sekali membuat nama yang bagus. Biar saya usulkan kepada majikan
supaya menambahkan nama itu. Arak Dewa Panjang Usia! Bagus sekali!" kata
si pelayan. "Akan tetapi sayang, arak yang ada di sini, yang terbaik
hanyalah Arak Bunga Sorga tadi."
"Baiklah,
tambah satu guci lagi." kata si pemuda yang wajahnya bulat itu. Alisnya
yang hitam tebal itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan senyumnya berseri.
"Awas, jangan keliru mengambilkan Arak Bunga Neraka, ya?"
Beberapa
orang tertawa keras atas kelakar pemuda ini. Thian Sin dan Kim Hong saling
pandang. Bagi mereka, yang paling penting adalah disebutnya kunci emas tadi
oleh si pemuda. Tidak salah lagi, tentu pemuda ini mempunyai hubungan dengan
urusan yang sedang mereka selidiki.
Seorang
utusan lainkah? Apa bila memang demikian, sungguh luar biasa sekali kepala
penjahat itu. Bermacam-macam saja pembantunya. Ataukah pemuda ini tak sengaja
dan hanya kebetulan saja menyebut kunci emas tadi? Kelihatannya begitu tenang
saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak menghubungi mereka.
Pemuda itu
minum lagi sambil menyumpit hidangan di depannya, kemudian dengan lagak orang
mabok, menggoyang-goyangkan kepala sedikit padahal matanya masih bening, dia
pun bernyanyi.
Mengganyang
kaki biruang melahap sup naga mengunyah daging srigala minum arak bunga sorga!
betapa enak tak terkira akan tetapi biruang naga dan srigala mengepung diri
kita! betapa mengerikan jadinya! Hiiiiiihh!
Kembali
terdengar orang tertawa di sana sini mendengar sajak yang lucu ini. Kim Hong
juga memandang dan memang pemuda tampan itu nampak lucu pada saat
menggoyang-goyangkan kepala sambil membaca sajak itu. Apa lagi kata terakhir
yang membayangkan ketakutan itu, diucapkan dengan mata terbelalak dan muka
membayangkan kengerian.
Thian Sin
berbisik, "Dia inikah...?"
Kim Hong
menggeleng. "Entah, tapi dia lucu."
Pada saat
itu nampak seorang gadis muda memasuki rumah makan, langsung disambut dengan
penuh kehormatan oleh kepala pelayan sendiri. "Selamat sore, nona. Silakan
duduk. Apakah nona sudah pesan seperti biasa? Untuk beberapa orangkah?"
Gadis itu
tersenyum dan jantung Thian Sin berdebar. Gadis yang manis dan mempunyai daya
pesona yang kuat! Terutama sekali lesung pipit pada pipi kiri dan tahi lalat
kecil di bawah mata kanan itu. Sungguh menyegarkan mata!
Usia gadis
itu kurang lebih dua puluh satu tahun dan melihat dandanannya, tentu seorang
nona yang kaya raya. Pinggangnya tak seramping pinggang Kim Hong, akan tetapi
dada dan pinggul yang membusung itu mendatangkan gairah.
"Kali
ini aku sendirian saja, Kwa-lopek. Sediakan masakan kesukaanku, cepatan sedikit
karena aku tidak akan lama di sini." jawab gadis itu dan dari percakapan
antara gadis itu dan si kepala pelayan, mudah diduga bahwa tentu gadis ini amat
dikenal dan merupakan seorang langganan yang amat baik dari restoran besar ini.
Thian Sin juga melihat betapa beberapa orang yang berada di situ, mengangguk
dengan hormat kepada si nona manis.
"Lopek,
aku ingin duduk di meja ini, tidak begitu panas di sini, memperoleh angin dari
luar. Malam ini panas sekali!" katanya sambil mengipasi leher dengan
kipasnya. Wangi harum menyambar ke arah meja Thian Sin dari gerakan kipas itu.
Meja yang
dipilih adalah meja yang berdekatan dengan meja Thian Sin, di antara meja
pendekar itu dan meja pemuda yang bersajak tadi. Akan tetapi meja itu dipakai
oleh dua orang laki-laki bersama isteri mereka. Sesudah mendengar bahwa nona
itu memilih meja mereka, empat orang itu cepat-cepat bangkit berdiri dan
berkata kepada kepala pelayan,
"Biarlah
hidangan kami dipindahkan ke meja lain agar meja ini dapat dipakai oleh
nona..."
Gadis manis
itu hanya memandang pada mereka dengan sedikit menganggukkan kepala sebagai
pernyataan terima kasih. Mendongkol juga rasa hati Kim Hong melihat ini.
"Ini
namanya tak mengenal budi!" katanya agak keras sehingga tentu saja
terdengar oleh nona itu, akan tetapi karena dia bicara bukan sebagai penyerang
langsung, nona itu pun hanya melirik saja.
Setelah dua
pasangan itu pindah dan meja dibersihkan, nona itu kemudian duduk sambil
mengipasi lehernya. Dia mengambil sebuah tas kecil yang lalu dibukanya, dan
dibereskan rambutnya sambil memandang sebuah cermin kecil yang berada di dalam
tas.
Akan tetapi,
Thian Sin yang berada di belakang gadis itu tetapi agak ke samping, sempat
melihat cermin itu dan melihat sepasang mata jeli yang memandang langsung
kepadanya, kemudian sebuah di antara dua mata jeli itu berkedip kepadanya!
Kedipan yang memang disengaja, kedipan yang ada maksudnya! Dan sekarang nampak
sepasang bibir merah di cermin itu tersenyum kepadanya, memperlihatkan deretan
gigi putih mengintai dari balik daging merah mulut itu! Sebuah tantangan yang
manis!
Akan tetapi,
kalau Thian Sin tertarik memandang kepada gadis manis itu melalui cermin di
dalam tas yang sengaja diarahkan kepadanya, sebaliknya dengan diam-diam Kim
Hong memperhatikan pemuda yang bersajak tadi. Pemuda itu pun jelas kelihatan
tertarik sekali kepada gadis ini, dan wajah yang tadinya mengandung seri jenaka
itu kini berubah serius, akan tetapi tetap saja kekaguman terbuka terpancar
dari matanya pada saat memandang gadis itu, seperti ketika memandang kepadanya.
Diam-diam
ada rasa tidak enak di hati Kim Hong, seolah-olah dia merasa bahwa dia telah
memperoleh seorang saingan yang cukup berat! Maka dia mengerling ke arah gadis
itu dan matanya yang tajam sempat melihat wanita itu mempermainkan cermin kecil
di dalam tasnya. Akan tetapi, biar pun ia tahu bahwa melalui cemin itu si gadis
manis tentu sedang menyelidiki sesuatu, Kim Hong tidak tahu bahwa wajah Thian
Sin-lah yang terpantul di dalam cermin yang dipermainkan oleh jari-jari tangan
gadis itu.
Sebagai
seorang langganan yang baik, tentu saja pesanan nona itu mendapat pelayanan
yang cepat sekali. Sebentar saja, semua hidangan yang dipesannya sudah datang,
diatur di atas meja depan nona itu, mengepulkan uap panas. Karena ia hanya
seorang diri saja, maka yang dipesannya hanya empat macam masakan sehingga meja
itu terlampau besar baginya, sebab sebagian besar meja itu masih kosong.
Nona itu pun
mulai makan dengan sikap tenang, sedikit pun tidak merasa canggung biar pun dia
tahu bahwa banyak pasang mata lelaki memandang kepadanya, sebagian besar secara
melirik sembunyi-sembunyi, kecuali mata beberapa orang laki-laki, termasuk mata
pemuda sastrawan tadi yang duduk berhadapan dengannya, serta mata Thian Sin
yang duduk di arah belakangnya.
Thian Sin
melihat pula betapa pemuda sastrawan itu menatap wajah orang yang sedang makan
dengan asyik sekali. Hemm, agaknya dia akan membuat sajak dari gerakan mulut
gadis yang tengah makan itu, pikirnya mendongkol karena tempat duduk pemuda itu
lebih trategis apa bila dibandingkan dengan tempat duduknya yang hanya
memungkinkan dia memandang wajah itu dari samping agak belakang saja.
"Huh,
jalangmu kumat pula!" Mendadak terdengar bisikan Kim Hong dan sebuah
cubitan pada pahanya hampir membuat Thian Sin menjerit.
"Hushhh..."
Bisiknya membalas. "Siapa tahu dia adalah kakap pula..."
"Memang
kakap untuk kejalanganmu!" hati Kim Hong masih panas akibat melihat pemuda
sastrawan itu agaknya mengalihkan perhatian, tertarik kepada si gadis yang baru
datang saja sudah membuat hatinya panas, merasa tersaing. Apa lagi dia melihat
Thian Sin juga longak longok!
Dia mengenal
watak Thian Sin yang romantis, yang senang akan kecantikan wanita dan hatinya
mudah jatuh pada wajah cantik, akan tetapi dia pun tahu bahwa di lubuk hatinya,
Thian Sin hanya mencinta dia seorang. Dan ia pun tahu bahwa ia tak dapat
menyalahkan Thian Sin, karena dia sendiri selalu tertarik dan kagum apa bila
melihat pria tampan dan gagah, walau pun cintanya hanya untuk Thian Sin
seorang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment