Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Harta Karun Jenghis Khan
Jilid 06
KINI,
melihat In Bwee melawan, cepat dia pun turun tangan dan tentu saja gadis itu
bukan lawannya. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil
merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan
tubuh lemas dan tidak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan
tangan seperti lumpuh rasanya.
"Murid
murtad! Kalau begitu biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan
matanya!"
Tiat-ciang
Lai Cai Ko yang perutnya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera
maju dan menyeringai. "Heh-heh-heh-heh, twako, kalau memang gadis ini
hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Sudah lama aku
tergila-gila padanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak
berani mengganggu. Sekarang dia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau
memang mau diperkosa, biar aku yang..."
"Boleh,
lakukanlah! Akan tetapi harus di sini dan sekarang juga, supaya kekasihnya
dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu.
Tiat-ciang
Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usianya sudah empat puluh lima
tahun, kejam dan sudah terbiasa dengan kekerasan. Perasaannya sudah kebal
sehingga tak mengenal malu lagi. Maka, biar pun di situ terdapat banyak orang
yang menyaksikan, tanpa malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju
menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak di atas lantai dengan lemas itu.
"Mo-ko,
manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok
Siang berteriak-teriak.
"Brettttt...!"
Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai
Ko.
Semua mata
mereka yang hadir, juga para penjaga, langsung terbelalak ada pun jantung
mereka berdebar tegang membayangkan peristiwa yang akan mereka saksikan di
dalam ruangan itu. In Bwee sendiri tidak lagi mampu bergerak, hanya matanya
terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau.
"Ha-ha-ha,
engkau sungguh manis sekali. Aha, malam ini untungku benar-benar besar!"
Tiat-ciang Lui Cai Ko langsung merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu
yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan.
Semua orang
yang hadir terbelalak melihat adegan ini, ada yang menelan ludah, ada yang
membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari
rongga matanya. Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, sama
sekali tidak mengenal malu dan dia beraksi seolah-olah di tempat itu tidak ada
orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee.
"Tahan...!"
Mendadak Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko,
aku mau mengaku...!"
Akan tetapi
Tiat-ciang Lui Cai Ko bagaikan tidak mendengar seruan ini dan hendak terus
melanjutkan perbuatannya. Baru sesudah Mo-ko sendiri melangkah maju lantas
menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani
membantah.
"Tiat-ciang,
kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko.
Tiat-ciang
Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan
kecewa, mendongkol dan sangat marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu,
sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan
terlepas!
Kim Hong
mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sastrawan muda
itu. Habislah harapannya. Dia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang
biasa yang jalan pikiran serta perasaannya sudah tercetak semenjak kecil
sehingga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu.
Wanita
diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan mala petaka
yang tidak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat
dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tak mampu bertahan ketika
melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Alangkah bodohnya. Apakah
kalau pemuda itu telah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman
pemerkosaan atau pembunuhan?
"Mo-ko,
aku mau mengaku tentang peta yang asli, akan tetapi engkau harus berjanji lebih
dulu bahwa engkau tak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang.
Kalau engkau tidak mau berjanji, meski apa pun yang terjadi, maka jangan harap
aku akan mau mengaku," kata Kok Siang dengan suara lantang.
"Baiklah,
aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa," kata Pat-pi Mo-ko
dan wajahnya nampak berseri gembira sekali.
"Ingat,
Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai
seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada
nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu tadi, disaksikan
oleh semua orang yang mendengarnya."
Wajah hitam
itu semakin hitam dan sepasang mata itu mendelik. "Bu-siucai. Kau kira aku
ini orang macam apa maka akan melanggar janji sendiri?"
"Bagus,
kalau begitu aku akan mengaku dengan hati lapang. Engkau dengarlah baik-baik.
Aku adalah keponakan dari mendiang Louw Siucai."
Semua orang
sangat terkejut, terutama sekali Su Tong Hak dan Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi
pelaksana dari pembunuhan terhadap Louw siucai.
"Hemm,
kiranya begitukah?" kata Pat-pi Mo-ko sambil mengangguk-angguk dan dia
dapat menduga apa yang telah terjadi. "Lanjutkan ceritamu."
"Paman
Louw melihat gelagat yang tidak baik ketika Su Tong Hak beserta keponakannya
datang untuk minta peta itu diterjemahkan. Paman sama sekali tidak menginginkan
benda orang lain, akan tetapi dia tahu bahwa Su Tong Hak bukan manusia
baik-baik dan bahwa keponakannya, pemuda dusun itu akan tertipu. Karena itu
diam-diam paman minta waktu satu hari untuk menterjemahkannya lantas menukar
peta yang asli itu dengan peta palsu. Ada pun peta yang asli lalu
disembunyikannya dengan maksud kelak akan dikembalikan kepada yang berhak. Akan
tetapi pemuda dusun itu akhirnya lenyap. Paman lalu menulis surat kepadaku dan
memberi tahu tentang tempat peta asli disembunyikan. Ternyata aku terlambat dan
paman telah terbunuh oleh kaki tanganmu."
"Dan
peta itu? Di mana...?" Pat-pi Mo-ko seakan-akan tidak mendengar cerita itu
karena pikirannya segera terpusat kepada peta yang asli.
"Di
suatu tempat, di kebun rumah mendiang paman Louw."
"Katakan
di mana agar kami dapat membuktikan kebenaran omonganmu! Kalau engkau
membohong, tentu janjiku tak akan berlaku dan aku akan menyuruh dua orang
wanita ini diperkosa di depan matamu sampai keduanya mampus, sebelum engkau
disiksa sampai mati pula!"
"Di
kebun itu ada sebatang pohon tua di dekat rumpun bambu, pada cabang yang ke
tiga dari bawah terdapat lubang. Di situlah disimpannya peta itu, di dalam peti
kecil."
Mendengar
ini, Pat-pi Mo-ko segera memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengajaan
ketat. "Langsung bunuh saja mereka ini kalau ada tanda-tanda mereka hendak
memberontak. Juga kalau Pendekar Sadis berani muncul, bunuh mereka ini dengan
alat rahasia dalam kamar!" Pesannya dengan suara lantang.
Kemudian,
dengan membawa pasukan penjaga yang lima puluh orang banyaknya, Pat-pi Mo-ko
sendiri berangkat menuju ke rumah Louw siucai di pinggir kota raja untuk
mencari peta seperti yang diceritakan oleh Bu Kok Siang itu.
Malam hari
itu juga, Pat-pi Mo-ko datang kembali dengan kegirangan yang meluap-luap. Peta
itu telah ditemukan! Dengan wajah berseri dia pun memasuki ruangan tempat
ketiga orang muda itu ditahan. Dia mengeluarkan peta yang asli itu dan
membebernya di depan Kok Siang dan Kim Hong yang memandang dengan mata
berapi-api.
"Ha-ha-ha,
sudah dapat olehku. Ha-ha-ha! Akhirnya harta pusaka itu, harta karun Jenghis
Khan, terjatuh ke dalam tanganku!" Kakek hitam itu menyimpan kembali
gulungan peta ke dalam tubuh, lantas tiba-tiba dia berkata kepada dua orang
pembantunya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, "Sekarang,
kalian bunuh bocah she Bu dan gadis she Toan ini! Kalau tidak, mereka itu akan
menjadi perintang saja!"
Tentu saja
Kok Siang terkejut mendengar ini dan In Bwee yang sudah dapat bergerak itu
menjerit dan menubruk kaki pamannya sambil menangis. "Paman, jangan bunuh
dia... ah, jangan bunuh dia...!"
Pat-pi Mo-ko
menggerakkan kakinya hingga tubuh keponakan dan muridnya itu terlempar.
"Huh, murid durhaka. Masih baik aku tidak menyuruh membunuh engkau
sekalian!"
"Paman,
jangan bunuh dia... atau bunuh saja aku sekalian bersama dengannya!" In
Bwee menangis.
"Engkau
tidak percaya padaku, Bu-twako! Omongan orang semacam dia itu mana dapat
dipercaya? Begitu peta dikuasainya, tentu kita langsung dibunuh!" kata Kim
Hong, sama sekali tidak menyesal karena gadis perkasa ini yakin bahwa pada saat
itu, Thian Sin tentu sudah bersiap-siap untuk menolongnya.
Tadi,
lapat-lapat dia bisa mendengar suara burung ekor merah. Burung itu hanya
terdapat di sekitar kepulauan yang berada di Laut Timur, terutama di Pulau
Teratai Merah di mana mereka tinggal. Karena suara burung itu tidak dikenal
oleh semua orang yang berada di situ ketika berbunyi, maka ialah satu-satunya
orang yang mengenalnya dan tahu bahwa itu adalah tanda rahasia dari Thian Sin
yang tentu berada di sekitar tempat penahanan itu. Maka dia pun merasa lega dan
tenang saja. Kekasihnya itu tak mungkin membiarkan dia celaka tanpa turun
tangan.
Kok Siang
marah sekali. Dengan mata mendelik dia memandang kepada Pat-pi Mo-ko, lalu
berkata dengan suara nyaring. "Pat-pi Mo-ko, kiranya selain jahat dan
kejam, engkau juga seorang pengecut yang suka menjilat ludah sendiri! Engkau
telah berjanji..."
"Ha-ha-ha,
bagaimana janjiku, kutu buku? Semua orang tadi telah mendengar akan bunyi
janjiku itu! Aku berjanji bahwa apa bila engkau memberi tahu tentang peta, aku
tidak akan membiarkan dua orang gadis ini diperkosa, bukan? Nah, siapa yang
hendak memperkosa mereka? Aku tidak pernah berjanji bahwa aku tidak akan
membunuh engkau dan sahabat Pendekar Sadis ini! Jadi, bila sekarang aku
menyuruh membunuh kalian, maka aku tidak menyalahi janji! Ha-ha-ha!"
Kok Siang
hanya dapat memandang dengan dua mata mendelik. Tak disangkanya bahwa datuk
sesat itu sedemikian curangnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu
membantah lagi. Dia pun bukan pengecut yang takut mati, maka melihat sikap Kim
Hong yang tenang, dia pun merasa malu kalau harus banyak ribut untuk
mempertahankan nyawanya.
Pada saat
itu, Su Tong Hak melangkah maju mendekati Pat-pi Mo-ko. "Kurasa tidak
benar kalau membunuh mereka sekarang."
"Su
Tong Hak! Engkau tadi telah memberi nasehat baik sekali untuk memaksa pemuda
itu mengaku. Akan tetapi sekarang kenapa engkau melarang aku untuk membunuh
mereka? Mereka itu berbahaya sekali!"
Su Tong Hak
tersenyum sambil meraba-raba kumisnya yang kecil panjang. "Pat-pi Mo-ko,
aku melarangmu dengan perhitungan yang amat matang. Coba kau dengarkan
baik-baik pendapatku. Pemuda itu sama sekali belum waktunya untuk dibunuh.
Meski pun kita telah mendapatkan peta itu, akan tetapi siapa berani menanggung
kalau peta itu benar-benar asli? Siapa tahu kalau itu pun hanya palsu saja dan
yang asli masih dia sembunyikan di tempat lain?"
Pat-pi Mo-ko
nampak kaget dan cepat menoleh, memandang kepada pemuda sastrawan itu yang
hanya tersenyum mengejek. Kakek tinggi besar hitam ini mengangguk-angguk, dapat
melihat kebenaran pendapat pedagang yang cerdik itu.
"Maka,
membunuhnya sekarang sungguh tidak menguntungkan. Kita selidiki dulu apakah
peta ini benar, baru kita boleh membunuhnya. Demikian pula dengan nona itu.
Bukankah dia itu sahabat baik Pendekar Sadis? Kalau dia masih berada di tangan
kita, setidaknya dia akan berguna untuk dijadikan sandera, untuk mencegah
Pendekar Sadis mengganggu kita sampai usaha kita berhasil. Bagaimana pendapat
ini, tepatkah?"
Untuk
sejenak Pat-pi Mo-ko menunduk sambil mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian
dia menepuk-nepuk pundak Su Tong Hak dan tertawa lebar. "Ha-ha-ha, engkau
sungguh berbakat untuk menjadi penasehat. Bagus sekali, aku setuju! Malah kita
harus membawa mereka itu bersama ke tempat harta karun seperti yang ditunjukkan
oleh peta ini, dan di sanalah nasib mereka itu ditentukan! Ha-ha-ha!"
***************
Thian Sin
yang menyamar sebagai prajurit penjaga dan menyaksikan, mendengar semua itu,
tentu saja mengalami ketegangan dan kegelisahan yang sangat hebat. Beberapa
kali tubuhnya menegang dan beberapa kali hampir saja dia tidak mampu lagi
menahan gelora hatinya yang seolah-olah mendorongnya untuk cepat-cepat turun
tangan.
Ketika dia
melihat pakaian luar Kim Hong dirobek, dia hanya mengepal tinju saja. Dia tahu
bahwa Pat-pi Mo-ko hanya menggertak. Akan tetapi pada saat dia melihat In Bwee
hampir saja diperkosa, dia harus menggigit bibirnya untuk menahan hatinya. Dia
maklum bahwa dia harus kuat menghadapi semua itu. Keadaan masih tidak
menguntungkan baginya.
Kalau dia
menyerbu, mungkin saja dia mampu menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi
amatlah berbahaya bagi keselamatan tiga orang itu. Dia takkan mampu melindungi
mereka karena di situ terlalu banyak terdapat orang-orang pandai yang tak
mungkin dapat dirobohkan dalam waktu singkat sehingga selagi dia dikeroyok, Kim
Hong, Kok Siang dan In Bwee tentu mudah sekali terbunuh lawan. Dan dia tidak
menghendaki hal itu terjadi. Terutama sekali dia tidak ingin kehilangan Kim
Hong! Maka dia menanti sampai saat yang paling memuncak dan yang akan
memaksanya turun tangan. Kalau masih ada harapan, dia akan sabar menanti.
Dia pun kaget
bukan main ketika mendengar pengakuan Kok Siang tentang peta asli itu. Ahh,
tidak disangkanya bahwa pengakuan Kok Siang ketika mereka berdua itu terjatuh
ke dalam air, ternyata bukan hanya siasat pemuda itu, melainkan memang
satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka.
Kini
mengertilah dia mengapa Kim Hong bertahan mati-matian. Kiranya kunci rahasia
itu berada di tangan Kok Siang yang menyimpan peta rahasia yang asli. Dan kunci
emasnya yang asli ada padanya! Kini Kok Siang sudah mengaku, tempat itu tentu
akan ditemukan oleh Mo-ko. Akan tetapi Thian Sin masih dapat tersenyum geli
karena dia tahu bahwa usaha Mo-ko yang sudah mendapatkan peta asli itu tetap
saja akan sia-sia karena kunci emas yang asli berada padanya!
Ketika
melihat Kim Hong dan Kok Siang hendak dibunuh, dia sudah hampir meloncat ke
depan. Akan tetapi hatinya lega pada saat dia mendengar Su Tong Hak yang
membujuk datuk sesat itu dengan alasan yang amat kuat. Diam-diam Thian Sin
mengerti bahwa Su Tong Hak memang merupakan orang yang amat cerdik.
Pedagang itu
kini menginjak dua perahu, keduanya memungkinkan dia untuk memperoleh
keuntungan. Di satu pihak, pedagang itu menyelundupkan dia sehingga menganggap
dia sekutunya, tentu dengan harapan untuk selain ada kawan menghadapi ancaman Mo-ko
yang serakah, juga kalau sampai pihak Mo-ko gagal dan Pendekar Sadis yang
menang, setidaknya pedagang itu dapat mengharapkan bagian.
Sebaliknya,
bila Pat-pi Mo-ko yang menang, saudagar ini pun masih bisa mengharapkan bagian.
Maka dia menyelundupkan dan tidak membuka rahasia Thian Sin, akan tetapi di
lain pihak ia pun membantu Mo-ko, salah satu di antaranya melalui nasehat
kejinya untuk memperkosa In Bwee dalam usaha memaksa pengakuan Kok Siang.
Ketika
melihat Pat-pi Mo-ko membawa pasukan pergi untuk mengambil peta asli seperti
yang ditunjukkan oleh Kok Siang, Thian Sin tidak ikut membayangi. Sebenarnya
dia telah memperoleh kesempatan baik untuk membayangi datuk itu ke tempat
penyimpanan peta asli lalu merampasnya, dan bila perlu membunuh kakek tinggi
besar hitam itu. Akan tetapi kalau Kim Hong, Kok Siang dan juga In Bwee masih
menjadi tawanan, apa artinya itu? Yang penting adalah melindungi mereka.
Oleh karena
itu, Thian Sin hanya menanti dalam persembunyiannya. Biarlah Pat-pi yang
mengambilkan peta itu untuknya, bahkan biarkan saja datuk itu bersama anak
buahnya mencarikan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan itu untuknya!
Maka, ketika
pada keesokan harinya rombongan besar Pat-pi Mo-ko berangkat menuju ke tempat
penyimpanan harta karun, diam-diam Thian Sin juga membayangi rombongan itu.
Tiga orang tawanan muda itu pun dibawa dengan kereta dalam keadaan terbelenggu
kaki tangannya.
Pat-pi Mo-ko
Bouw Kim Seng sendiri mengepalai pasukan ini dengan menunggang kereta bersama
tiga orang tawanannya. Para pembantu utamanya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan
Tiat-ciang Lui Cai Ko, naik kuda dan mengawal di kanan kiri kereta. Su Tong Hak
tidak ketinggalan, juga duduk di atas kereta di dekat kusir.
Kereta ke
dua berjalan di belakang dan di dalam kereta ini duduk Phang-taijin, pembesar
yang menjadi sekutu Pat-pi Mo-ko! Setelah mendengar bahwa peta asli sudah
terjatuh ke tangan sekutunya, jaksa ini tak dapat menahan keinginan hatinya
untuk ikut menyaksikan pengambilan harta pusaka atau harta karun Jenghis Khan!
Seratus
orang prajurit pengawal turut memperkuat rombongan itu, sebagian mengawal di
depan dan sebagian di belakang. Mereka itu bukan hanya mengawal untuk menjaga
agar jangan ada pihak lawan, terutama sekali Pendekar Sadis yang masih
mendatangkan rasa gentar di dalam hati Pat-pi Mo-ko, akan tetapi juga
dipersiapkan untuk bekerja di tempat penyimpanan harta karun, kalau-kalau untuk
mengambil harta karun itu diperlukan banyak tenaga untuk menggali dan
sebagainya.
Perjalanan
itu cukup jauh dan merupakan perjalanan yang sangat menarik karena tempat itu
ternyata berada di luar Tembok Besar! Mula-mula jantung Thian Sin berdebar
tegang ketika rombongan itu menyeberang Tembok Besar di sebelah utara kota raja
karena jalan itu menuju ke Lembah Naga! Akan tetapi ternyata rombongan itu
membelok ke timur.
Kalau dari
luar Tembok Besar itu kemudian dilanjutkan ke utara sampai kaki Pegunungan
Khing-an-san di tepi Sungai Huang-ho, di sanalah letaknya Lembah Naga tempat
tinggal ayah angkatnya, Si Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Namun ternyata
perjalanan ini tidak sejauh itu dan sesudah menunda perjalanan semalam di
sebuah dusun, pada esok harinya mereka sampai di tempat tujuan, yaitu di kota
Ying-kouw, sebuah kota pelabuhan yang letaknya di Teluk Cili atau Teluk Po-hai
sebelah utara!
Setelah
mereka tiba di kota Ying-kouw, kehadiran Jaksa Phang ternyata amat berjasa dan
berguna. Pembesar setempat menyambutnya dengan penuh hormat dan memberi tempat
menginap yang layak, bahkan juga menjamu mereka dengan makan minum. Kepada para
pembesar setempat Jaksa Phang menjelaskan bahwa dia sebagai jaksa kota raja
sedang menyelidiki sebuah perkara pencurian dan menurut penyelidikan harta yang
dicuri itu telah dilarikan menuju ke tempat ini.
Tentu saja
para pembesar di kota Ying-kouw amat terkejut dan bersedia untuk membantu
sedapat mungkin. Akan tetapi Jaksa Phang langsung menolak, mengatakan bahwa
untuk menemukan harta curian itu dia sudah mempersiapkan para pembantunya, juga
pasukan. Sementara itu, tiga orang muda yang menjadi tawanan, yang oleh Jaksa
Phang dikatakan sebagai orang-orang yang tersangkut di dalam pencurian
besar-besaran itu, dimasukkan tahanan dan dijaga ketat sekali.
Pada malam
itu, diam-diam Pat-pi Mo-ko bersama Jaksa Phang, juga para pembantunya, Su Tong
Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, mempelajari peta asli yang
sudah diterjemahkan itu. Ternyata menurut catatan dalam peta kuno itu, harta
karun yang dimaksudkan itu berada di dalam sebuah di antara goa-goa yang banyak
terdapat di tepi pantai yang curam, di luar kota Ying-kouw sebelah timur.
Semalam itu mereka tidak dapat tidur, dengan hati tegang mereka menunggu
datangnya pagi karena mereka ingin segera dapat menemukan harta karun Jenghis Khan
itu.
Pagi itu
cerah sekali. Langit bersih, tiada segumpal pun awan yang menghalangi cahaya
matahari pagi yang muncul dari permukaan laut, kemudian makin meninggi merubah
sinar kemerahan menjadi keemasan, kemudian semakin meninggi dan sinar itu
berubah pula menjadi keperakan. Dan matahari pagi itu agaknya menenangkan
lautan yang semalam menggelora dan menyerbu jauh ke pantai. Sekarang ombak
mulai kembali ke lautan dan permukaan laut menjadi tenang, hanya ada
keriput-keriput kecil yang membuat bayangan jalan putih matahari itu
bergoyang-goyang lucu.
Dari atas
tebing, rombongan itu memandang ke bawah. Dari tempat setinggi kurang lebih
tiga ratus meter itu, lautan tampaknya semakin lembut dan tenang, seperti
permukaannya tertutup beludru biru yang terhampar luas hingga ke ujung kaki
langit. Menjenguk dari atas tebing itu mendatangkan rasa ngeri, membuat bulu
tengkuk meremang dan menimbulkan rasa takut.
Rasa takut
melihat tempat tinggi, seperti juga perassan takut akan apa pun juga, timbul
oleh bayangan pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita
berdiri di atas tebing lantas melihat ke bawah, tidak akan timbul rasa takut
kalau saja kita tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi begitu pikiran
membayangkan bagaimana ngerinya jika sampai tergelincir dan terjatuh dari
tempat yang demikian tingginya, maka otomatis bulu tengkuk meremang dan
muncullah rasa takut yang membuat jantung berdebar dan kaki gemetar.
Tiga orang
muda yang menjadi tawanan dikurung oleh satu pasukan yang dipimpin oleh komandan
pasukan, juga oleh Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, sedangkan
Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri melakukan pemeriksaan dan dengan hati-hati
sekali dia menuruni tebing yang curam itu, bergantungan pada batu-batu dan
akar-akar pohon. Sementara itu, dengan kaki dan tangan terikat rantai panjang,
tiga orang muda itu duduk berkumpul.
Seperti
biasa pada beberapa hari selama menjadi tawanan ini, Kim Hong nampak tenang
saja, memandang kepada Kok Siang yang duduk bersandar pada batu dan In Bwee
yang duduk menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya. Sejak In Bwee dijadikan
tawanan pula bersama kekasihnya, gadis ini selalu mendekati Kok Siang dan
nampak sudah begitu pasrah, ingin sehidup semati dengan pemuda itu yang dari
pandang matanya juga amat menyayangnya.
Malam tadi,
pada saat dua orang muda yang saling berkasihan itu menyatakan ingin mati
bersama, Kim Hong menghibur mereka. "Jangan putus asa lebih dahulu,
harapan masih banyak bagi kita untuk meloloskan diri," katanya berbisik
sehingga tidak terdengar jelas oleh para penjaga di luar kamar tahanan mereka
yang agaknya sudah jemu menjaga.
"Hemmm,
kematian kita sudah berada di depan mata, aku tidak pernah putus asa, akan
tetapi aku pun tahu apa bila keadaan kita sudah tidak ada kemungkinan untuk
lolos pula," kata Kok Siang.
"Aku
tidak takut mati selama bersamamu, koko," kata In Bwee sambil merebahkan
diri di atas pangkuan kekasihnya.
Kim Hong
tersenyum. "Kalian lupa bahwa di luaran masih ada kekasihku yang tak akan
mungkin membiarkan kita mati."
"Pendekar
Sadis?" In Bwee berkata penasaran. "Kalau memang dia mempedulikan
kita, kenapa tidak sejak tadi dia turun tangan?"
"Dia
bukan anak kecil yang ceroboh. Dia menanti saat baik. Percayalah kepadanya. Dia
akan berusaha dengan taruhan nyawanya untuk menyelamatkan kita. Bahaya masih
jauh sekali. Kalau tidak, apa kalian kira aku akan enak-enak saja begini?"
Berkata demikian, Kim Hong memandang kepada rantai di kaki tangannya.
Memang, jika
saja dia menghendaki, dengan sinkang-nya dia akan mampu mematahkan belenggu ini
dan mengamuk. Pat-pi Mo-ko terlalu memandang rendah kepadanya dan hal ini baik
sekali. Memang inilah yang dia kehendaki maka ketika diadu melawan Kok Siang,
dia sengaja mengalah.
Karena
memandang rendah, maka tentu Mo-ko menjadi lengah, bahkan kini memasang rantai
belenggu sembarangan saja, tidak melumpuhkannya dengan totokan. Mungkin Kok
Siang dan In Bwee tidak akan sanggup mematahkan belenggu mereka, akan tetapi
dia merasa yakin bahwa dia akan dapat melakukannya bila mana memang tiba
saatnya yang baik.
Kedua tangan
mereka diikat belenggu di pergelangan tangan dan kedua lengan itu berada di
belakang tubuh. Jarak antara dua lengan itu hanya kurang lebih tiga puluh
sentimeter, namun cukup untuk melalui kepala.
Ia pernah
mempelajari ilmu Sia-kut-hoat, yaitu sejenis ilmu melemaskan diri melepaskan
tulang dan dengan ilmu ini, yang membuat tubuhnya menjadl lemas seperti tubuh
ular, dia akan dapat menarik kedua lengan itu dari belakang ke atas kepala,
kemudian diturunkan ke depan dengan menekuk sambil melemaskan tulang pangkal
lengan hingga sepasang lengannya itu akan berpindah ke depan!
Dengan kedua
tangan di depan, ia akan mengerahkan sinkang mematahkan belenggu itu, atau
setidaknya, ia sudah akan dapat mempergunakan kedua tangannya untuk membuat
para penjaga tidak berdaya lantas merampas kunci-kunci belenggu mereka. Akan
tetapi saatnya belum tiba dan bila ia melakukannya sebelum waktunya, tentu ia
akan dikeroyok sedangkan sebelum dia mampu meloloskan Kok Siang dan In Bwee,
dia tidak akan mau mencobanya. Saat yang ditunggu-tunggu itu adalah saat
kemunculan Thian Sin, maka dia tetap bersabar karena merasa yakin bahwa belum
munculnya kekasihnya itu tentu atas dasar perhitungan yang matang.
Setelah
menyelidiki sampai ke bawah, Pat-pi Mo-ko lalu naik lagi. Dia sudah mempelajari
tebing itu dan maklum bahwa hanya para pembantunya yang pandai ilmu silat
sajalah yang akan mampu menuruni tebing itu. Padahal, menurut peta, goa di mana
harta karun itu disimpan, tertutup oleh batu-batu karang yang berguguran dari
atas selama ratusan tahun dan untuk menyingkirkan batu-batu besar ini dibutuhkan
tenaga para prajurit. Maka mereka semua harus dapat turun ke bawah, ke tepi
pantai di mana terdapat goa-goa itu.
Sesudah tiba
di atas tebing, Pat-pi Mo-ko lalu berunding dengan jaksa Phang dan para
pembantunya, kemudian mengambil keputusan hendak mengerahkan anak buah mereka
untuk membuat jalan darurat ke bawah tebing. Mereka memang sudah bersiap
membawa alat-alat, dan mulailah seratus orang prajurit itu bekerja, membuat
jalan dari atas tebing ke bawah.
Lewat tengah
hari, mereka semua sudah berhasil menuruni tebing itu dan berkumpul di pantai
yang luas di bawah tebing, di mana terdapat goa-goa batu karang yang sebagian
besar tertutup dengan batu-batu karang sebesar perut kerbau yang berguguran
dari atas. Mulailah mereka bekerja keras membongkari batu-batu karang di depan
dan atas sebuah goa menurut petunjuk Mo-ko yang telah mengukur sesuai dengan
petunjuk peta. Menurut peta itu, apa bila dari bawah ini orang melihat ke atas,
maka akan terdapat tonjolan tebing yang bentuknya seperti kepala naga. Goa itu
terletak persis di bawah kepala naga itu.
Tenaga
seratus orang yang dikerahkan tentu saja segera dapat menyelesaikan pekerjaan
itu dengan cepat. Setelah matahari mulai condong ke barat sehingga tempat itu tak
panas lagi karena sinar matahari tertutup oleh puncak tebing, para prajurit
yang bekerja tiba-tiba bersorak ketika mereka melihat goa besar yang tertutup
batu-batu tadi.
Pat-pi Mo-ko
lalu menyuruh mereka semua mundur. Dia sendiri segera mengajak jaksa Phang, Su
Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, beserta dua orang
pembantunya yang menarik rantai yang membelenggu ketiga orang muda itu,
memasuki goa. Para prajurit disuruh menanti di luar.
Dengan wajah
berseri serta jantung berdebar mereka semua memasuki mulut goa yang cukup lebar
itu. Juga Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee merasakan ketegangan di dalam hati
mereka. Kim Hong dan Kok Siang merasa tegang karena mereka pun ingin melihat
harta karun itu, ada pun In Bwee merasa tegang karena dia merasa khawatir
kalau-kalau kekasihnya akan dibunuh setelah harta karun itu terdapat oleh
pamannya.
Goa yang
lebar itu ternyata di bagian dalamnya menyempit dan akhirnya mereka berhenti
pada sebuah pintu batu. Dari bentuknya, dapat diduga bahwa daun pintu ini tentu
buatan manusia, merupakan batu tebal berbentuk persegi empat dan di
tengah-tengah daun pintu batu itu terdapat sebuah lubang kecil. Itulah lubang
kuncinya!
"Ahh,
di sinilah tempatnya! Tak salah lagi!" kata Pat-pi Mo-ko dan suaranya
gemetar, juga tangannya ketika dia mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam
saku bajunya. Kunci emas yang sudah diterimanya dari In Bwee yang telah
berhasil mengambilnya dari tangan Pendekar Sadis!
Semua mata
para pembantu Pat-pi Mo-ko memandang dengan penuh ketegangan serta kegembiraan,
akan tetapi pandang mata Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee yang sudah tahu bahwa
kunci emas itu palsu, adalah kegembiraan yang bercampur dengan kegelian hati,
akan tetapi juga tegang karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana akan
jadinya nanti setelah datuk sesat itu tidak berhasil membuka dengan kunci
palsu.
Seperti juga
kuncinya, lubang kunci itu terbuat dari pada emas, akan tetapi ketika Pat-pi
Mo-ko memasukkan kunci itu ke lubangnya, ternyata ukurannya tidak cocok dan
kunci itu sama sekali tidak dapat masuk!
"Ehh...?!"
Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya dan menusuk-nusukkan kunci itu, memutar-mutar,
akan tetapi tetap saja kunci emas itu tidak dapat memasuki lubang kecil itu
karena memang bukan ukurannya.
Lubang itu kecil
memanjang dan berlika-liku, harus menggunakan kunci yang pas ukuran serta
cetakannya. Akhirnya Pat-pi Mo-ko menjadi marah karena dia mulai sadar bahwa
kunci emas itu adalah palsu!
"Keparat!"
bentaknya sambil mencabut kembali kunci itu, memandang kepada kunci itu
kemudian menoleh kepada keponakannya yang memandang dengan mata terbelalak dan
muka pucat.
"In
Bwee! Keparat kau! Kunci apa yang kau berikan kepadaku ini?"
"Katanya
itu kunci emas..."
"Bohong!
Ini kunci palsu!"
"Paman,
aku hanya menerima dari dia yang mengatakan bahwa itulah kuncinya. Mana aku
bisa tahu apakah kunci itu palsu ataukah tulen?" bantah Im Bwee.
"Hi-hik,
orangnya berhati jahat dan palsu, mendapatkan peta palsu dan sesudah akhirnya
menemukan peta asli dengan cara yang keji, masih juga tidak berhasil karena
kuncinya pun palsu!" Kim Hong mentertawakan.
"Jahanam!"
Pat-pi Mo-ko membentak marah. "Kalau engkau tidak memberikan kuncinya yang
tulen, akan kusiksa kau sampai mampus!"
"Hi-hik,
lucunya! Jangan-jangan sesudah kau dapatkan harta karun itu, ternyata harta itu
pun palsu, Mo-ko! Alangkah lucunya! Ingin sekali aku melihat mukamu!" Kim
Hong tidak mempedulikan ancaman orang.
Mendengar
ini, Mo-ko menoleh ke arah pintu yang tidak dapat dibukanya itu. Ucapan itu
sungguh terasa menusuk perasaannya. Bagaimana jika betul demikian? Bagaimana
kalau sesudah semua jerih payah, semua harapan muluk ini, ternyata harta karun
itu palsu dan hanya merupakan permainan orong gila di jaman dahulu belaka? Dia
bukan hanya akan kecewa setengah mati, akan tetapi juga amat malu karena
namanya tentu akan menjadi buah tertawan orang sedunia kang-ouw bahkan dia akan
dianggap seperti seorang badut! Bayangan ini membuatnya menjadi marah dan
penasaran sekali.
Sementara
itu, ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko tak mampu membuka pintu itu dengan
kunci emasnya, tahulah Su Tong Hak bahwa kunci emas yang katanya diterima oleh
In Bwee dari Pendekar Sadis itu adalah palsu. Tentu kunci aslinya masih berada
di tangan pendekar itu, pikirnya. Maka bekerjalah otak yang bercabang itu.
Kini tidak
menguntungkan jika menempel kepada Pat-pi Mo-ko. Lebih baik sekarang juga
berusaha mendekati Pendekar Sadis dan dia merasa yakin bahwa pendekar itu
berada di antara para prajurit yang berjaga di luar. Berpikir demikian,
diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang dicekam ketegangan
melihat betapa kunci itu tidak dapat membuka pintu, Su Tong Hak cepat
meninggalkan goa itu dan keluar, menghampiri para prajurit yang sedang
beristirahat di luar goa sambil mencari-cari. Para prajurit itu sedang
berkumpul di depan goa, di luar sambil mencoba untuk melihat ke dalam karena
mereka pun ingin sekali melihat apakah harta karun itu dapat ditemukan.
Pat-pi Mo-ko
sudah menjadi marah bukan kepalang, marah karena kecewa dan merasa
dipermainkan. Dia menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya
yang berotot, kekar dan kelihatan kuat sekali. Dengan menggerak-gerakkan kedua
lengannya yang besar, dia mengerahkan tenaga sinkang-nya hingga terdengar suara
berkerotokan dari kedua lengan itu, bahkan nampak uap mengepul dari kedua
telapak tangannya.
Melihat ini,
diam-diam Kim Hong terkejut dan kagum. Ternyata bahwa datuk ini memang sudah
mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi dan memiliki sinkang yang sangat kuat.
Teringatlah dia ketika pertama kali terjebak dalam kompleks tahanan kantor
kejaksaan, ia pernah melompat untuk mendobrak pintu tetapi disambut oleh
pukulan kakek itu sehingga dia terlempar kembali ke bawah.
"Hyaattttt...!"
Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko menerjang ke depan, ke arah pintu, kedua tangannya
menghantam ke arah pintu batu itu dengan niat untuk menghantam pecah pintu
rahasia itu, membukanya tanpa bantuan kunci lagi.
Hebat bukan
main pukulan kedua telapak tangannya ini. Tiba-tiba saja seluruh ruangan goa
itu tergetar keras, disusul oleh gemuruh dari atas goa. Suara bergemuruh itu
semakin hebat, pintu batu itu retak akan tetapi tidak pecah dan tidak runtuh,
malah kini terdengar suara yang amat berisik dari luar goa, disusul oleh
teriakan-teriakan mengerikan dari para prajurit yang tadi berkumpul di luar
goa.
Mendengar
suara itu, Pat-pi Mo-ko dan semua orang yang berada di dalam goa itu cepat
memutar tubuh dan memandang. Ketika mereka melihat apa yang tejadi di luar goa,
mata mereka terbelalak dan pucat.
Ternyata
dari atas tebing sedang berjatuhan ratusan batu-batu besar, menggelinding ke
bawah kemudian menghantam para prajurit yang berada di luar goa itu bagaikan
hujan lebatnya! Ketika akhirnya suara gemuruh berhenti dan tidak ada lagi batu
yang melayang turun, semua orang keluar dan penglihatan di luar goa sungguh
amat mengerikan.
Hampir
seluruh prajurit yang jumlahnya seratus orang itu tewas tertimbun atau
terhimpit batu-batu besar. Darah mengalir ke mana-mana dan suara
erangan-erangan orang yang terhimpit batu sangat mengerikan. Paling banyak
tinggal belasan orang saja yang selamat secara ajaib dan hanya mengalami
luka-luka kecil. Dan di antara mereka yang tewas itu terdapat pula Su Tong Hak
yang terhimpit batu dengan kepala remuk dan lenyap menjadi berkeping-keping!
Melihat hal
ini, pucatlah wajah Jaksa Phang. "Celaka...!" serunya dengan tubuh
menggigil melihat betapa pasukannya terbinasa.
"Keparat!
Harus kubunuh bedebah-bedebah itu!" Dan dia pun lari kembali memasuki goa
teringat kepada tiga orang tawanannya.
Akan tetapi
matanya terbelalak melihat betapa Toan Kim Hong dan dua orang yang lain itu
sudah bebas dari belenggu dan di situ telah berdiri pula seorang pemuda tampan
yang berpakaian sebagai seorang prajurit. Mula-mula dia mengira bahwa tentu dia
seorang di antara prajurit yang lolos dari hujan batu. Namun melihat sikap
prajurit itu yang merangkul Kim Hong, jantungnya segera berdebar tegang, ada
pun matanya memandang terbelalak kepada prajurit muda yang tampan dan gagah
itu. Prajurit itu bukan lain adalah Thian Sin, Si Pendekar Sadis!
Seperti
sudah kita ketahui, pendekar ini menanti saat baik dan membiarkan pihak musuh
mencarikan tempat harta karun itu untuknya. Dia melihat bahwa keselamatan
kekasihnya, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee masih terancam. Maka dia mengikuti
semua persiapan Pat-pi Mo-ko yang hendak memimpin rombongan untuk mencari harta
karun Jenghis Khan menurut petunjuk di peta asli, kemudian diam-diam dia pun
membayangi rombongan itu, kadang-kadang menyamar sebagai prajurit,
kadang-kadang pula membayangi dari jauh.
Sesudah
rombongan itu tiba di tempat tujuan dan membongkari batu-batu besar, dia pun
menyamar sebagai prajurit dan turut pula membantu! Pada waktu Pat-pi Mo-ko
serta para pembantunya memasuki goa untuk membuka pintu rahasia, dia pun
melihat dari luar, di barisan terdepan sehingga dengan ketajaman matanya dia
dapat menyaksikan apa yang terjadi di dalam goa.
Thian Sin
sendiri terkejut bukan main ketika Pat-pi Mo-ko menggunakan tenaga sinkang yang
amat kuat untuk menghantam pintu rahasia di dalam goa, yang lalu mengakibatkan
hujan batu dari atas. Dia tahu bahwa pukulan itu menggetarkan tebing sehingga
batu-batu karang yang berada di atas goa menjadi terguncang kemudian longsor.
Untung bahwa dia masih sempat bertindak cepat, dan dengan cekatan sekali dia
melompat ke depan lantas berlindung di dalam goa kecil di samping goa besar
itu.
Pada saat
hujan batu sudah mereda dan semua orang yang berada di dalam goa besar itu
keluar, dia lalu menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Mula-mula
dia menggabungkan diri dengan tenaga Kim Hong untuk mematahkan belenggu dari
lengan dan kaki kekasihnya itu. Setelah menciumnya sekali tanpa mengeluarkan
kata-kata, Thian Sin dibantu oleh Kim Hong lalu melepaskan belenggu yang
merantai tangan dan kaki Kok Siang dan In Bwee. Itulah sebabnya ketika Pat-pi
Mo-ko kembali ke dalam goa, mereka telah bebas semua dari belenggu mereka!
Thian Sin
tersenyun memandang kepada musuh yang baru pertama kali ini dihadapinya dan dia
berkata, "Selamat bertemu, Pat-pi Mo-ko! Bagaimana dengan kiriman kunci
emas dariku itu? Cukup menyenangkan?"
"Pendekar
Sadis! Engkau telah menipuku dengan kunci palsu!" Bentak Pat-pi Mo-ko yang
dengan mudah bisa menduga siapa adanya pemuda tampan dan gagah yang menyamar
sebagai seorang prajurit ini.
"Kuncinya
yang asli juga ada, Mo-ko, ada padaku. Akan tetapi tidak akan mudah engkau bisa
mendapatkannya dariku!" Sambil berkata demikian, Thian Sin mengeluarkan
sebuah kunci emas dari saku bajunya dan mengacungkannya ke atas, memamerkannya
kepada datuk jahat itu. Hal ini membuat muka Pat-pi Mo-ko menjadi semakin
hitam.
Pada saat
itu, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko serta Phang-taijin sudah masuk
pula ke dalam goa. Mereka pun terheran dan terkejut melihat betapa tiga orang
tawanan itu telah bebas dan sekarang memandang kepada pemuda yang berpakaian
prajurit, yang tahu-tahu telah muncul di dalam goa itu.
Hai-pa-cu
Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah
dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang. Akari
tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Dia pun sudah mendengar
dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan supaya berhati-hati karena
Pendekar Sadis di samping terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu tidak
akan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka.
Dan kini,
tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar
prajurit yang berada di dalam goa dan agaknya telah membebaskan para tawanan.
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis? Betapa pun juga, agak lega
hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak
membayangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah
kepada seorang pemuda tampan seperti itu.
"Berikan
kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!" bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara
penuh geram. "Atau, engkau akan mati di tanganku!"
"Ha-ha-ha,
suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah semenjak lama namamu
tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau selesai
membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Engkau ingin
minta kunci? Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih
luas."
"Baik!
Aku pun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan sekarang ingin sekali
melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!" Sesudah berkata
demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang
Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir.
Sesudah tiba
di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk
melindunginya. Enam belas orang prajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya
sudah penuh luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh oleh rasa ngeri dan
takut, lalu datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan
perlindungan siapa! Mereka semua berkumpul, bagaikan sekumpulan kanak-kanak
yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan.
Thian Sin
bersama tiga orang muda itu pun melangkah keluar dari dalam goa. Di luar, tiga
orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap sedia. Dan
seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata
masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki
tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan
menggunakan senjatanya!
Pada saat
melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin, "Ceng-taihiap,
Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!"
"Dan
Pat-pi Mo-ko itu bagianku!" kata pula Kim Hong.
"Tidak,
Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling
Tiat-ciang Lui Cai Ko itu."
"Ahh,
si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!" kata Kim Hong.
Thian Sin
tersenyum. "Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang banyak
menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara
ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan
saja!"
Kim Hong
tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Akan tetapi mereka adalah orang-orang
jahat semua, patut untuk dibasmi habis."
"Bagaimana
dengan jaksa korup itu?" tanya Thian Sin.
"Serahkan
saja kepadaku!" kata Kok Siang yang tersenyum nakal. "Dia pun perlu
dihajar dengan cara lain."
Maka sesudah
mereka bertiga sampai di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya
menonton karena dia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka telah
siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya.
"Nah,
Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan? Di tempat sunyi dan para
prajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok
kami," kata Than Sin tersenyum.
In Bwee yang
merasa tidak kebagian pekerjaan itu tiba-tiba saja berkata, "Kalau mereka
berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!"
Pat-pi Mo-ko
yang biasanya sangat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini
memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di
sana memang sungguh mengerikan. Para prajurit yang terhimpit batu, ada yang
tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada pula yang
berkelojotan dan darah di mana-mana! Semua itu merupakan tanda mala petaka
hebat di pihaknya.
Dan dia tahu
bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus
menghadapinya kembali. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tak bisa terlampau
diharapkan akan dapat mengatasi Toan Kim Hong. Meski dia sendiri tidak takut
melawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan
Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga.
"Pendekar
Sadis, jika kita saling gempur, tentu satu di antara kita akan tewas sedangkan
yang lain besar kemungkinan akan menderita luka-luka pula. Harta karun itu
tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau
aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan
harta karun itu dan kita bagi rata!"
Thian Sin
tersenyum sambil bertolak pinggang. "Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini
merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin
saja usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami
adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada
arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang
terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apa engkau bisa
mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?"
"Benar-benarkah
engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?" Sekali lagi Pat-pi Mo-ko
membentak.
"Sayang
sekali..."
Baru sampai
di situ Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan
mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah
maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka
begitu menyerang dia sudah mengerahkan sinkang-nya yang tadi mampu
mengguncangkan goa dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor. Tangan kirinya
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan
jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih
dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan.
Thian Sin
tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka
dengan tenang dia pun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Memang
tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, tetapi membuat kakek
tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan
sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini cepat
mengerahkan tenaga pada lengannya kemudian menangkis, sengaja hendak mengadu
tenaga dengan pendekar yang masih muda itu.
"Dukkk...!"
Dua tenaga
raksasa bertemu sehingga batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu
seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu,
tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikit pun juga, akan tetapi
Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya
agak menggigil kedinginan!
Kedua
matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan
itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang
demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan? Dan kekuatan itu!
Bukan kepalang dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan
seluruh tenaga.
Akan tetapi,
kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga
langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sinkang,
dia tak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Dia pun lalu
mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan
tubuh dan tangannya, maka nampaklah dua gulungan sinar membungkus dan
menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara
lebah-lebah mengamuk.
Itulah ilmu
pedang pasangan Pek-hong Siang-kiam (Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang
menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi
Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia mempunyai kecepatan gerak tangan
yang membuat lengannya seperti nampak menjadi banyak. Akan tetapi menghadapi
Pendekar Sadis, dia tak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan sekarang
mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu.
Akan tetapi,
sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya
sendiri. Meski pun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak
kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya, namun dia
tidak merasa khawatir dan mengandalkan ginkang-nya untuk menghadapi amukan
sepasang pedang itu.
Tubuhnya
berkelebatan dan kadang-kadang bagaikan kapas ringannya sehingga sebelum pedang
menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang sehingga dapat
menghindar dengan cepatnya, lantas kedua kaki tangannya tidak tinggal diam dan
segera membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan
dengan serangan sepasang pedang lawan.
Hai-pa-cu
Can Hoa sudah pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu,
dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tak merasa
gentar karena kini dia sudah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya
sangat mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka walau pun tadi dia
bertangan kosong, sekarang melihat Kok Siang sudah menghadapinya, dia pun tidak
ragu-ragu lagi mencabut goloknya.
Bukan saja
golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi dia pun tahu bahwa
pemuda ini sudah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang
tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sastrawan ini. Selain
itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan
pit dari emas dan perak itu. Senjatanya itu terjatuh saat pemuda ini terjebak
ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu sudah
dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini. Maka, jika
dibandingkan dengan pertemuannya pertama, kini pihaknya lebih banyak memperoleh
keuntungan dan dia merasa yakin bahwa sekali ini dia akan menang dan akan dapat
membalas kekalahannya tempo hari.
"Kutu
buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!"
Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan sambil memutar
goloknya dan menyerang kalang kabut.
Tiba-tiba
saja nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu
dengan gerakan menggunting dari kanan kiri.
"Cringggg...!"
Hai-pa-cu
Can Hoa terkejut setengah mati ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan
cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan
perak.
"Ehhh...!"
Teriaknya kaget dan heran ketika melihat betapa pemuda itu sudah memegang
sepasang senjatanya!
Tentu saja
dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong,
sudah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat
tahanan. Ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu
dibawanya dan tadi di dalam goa, dia telah mengembalikan senjata itu kepada
pemiliknya masing-masing.
Kok Siang
tersenyum mengejek. "Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti
di sana untuk membuat perhitungan denganmu!"
Hai-pa-cu
Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan dia pun sudah menyerang lagi,
goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, namun di balik keganasan sikapnya
ini, tersembunyi rasa gentar yang amat hebat, membuat mukanya pucat dan kedua
matanya terbelalak. Di lain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan
tenang, merasa yakin bahwa akhirnya dia pasti akan mampu mengalahkan penjahat
yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini.
Kim Hong
tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan
dengan senyum mengejek. "Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan
satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!"
Tiat-ciang
Lui Cai Ko masih hendak berlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia
masih merasa malu apa bila harus mengeluarkan senjata, maka dia pun tertawa dan
berkata. "Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, maka
engkau akan kutelanjangi dan kuperkosa di sini juga!"
Sebelum
kata-katanya habis, dia telah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke
arah dada ada pun tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram
ke arah pundak. Serangan yang sangat hebat dan sekaligus sudah menggunakan
kedua tangan dan sebelah kaki.
Akan tetapi,
Kim Hong yang mempunyai tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan
mudahnya berloncatan mengelak lantas ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat
dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata
lawan.
"Wuuuuttt...!
Plakk!"
Dan
sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat
tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan bahkan nyaris jatuh terbanting
kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia
meloncat bangun kembali. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya
menyeringai, seperti orang tertawa!
Dia merasa
malu dan marah bukan main. Dalam satu gebrakan saja dia telah dirobohkan lawan!
Sekarang dia pun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah
seorang yang memiliki ginkang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat
sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang
berbahaya sekali, walau pun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan
tendangannya tadi pun tidak begitu kuat.
Benar-benar
pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia kurang
waspada. Dia tidak melihat bahwa jika Kim Hong menghendaki, sekali tendangan
tadi saja sudah akan dapat meremukkan tulang gerahamnya! Gadis itu memang
sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya.
"Wuuut...!
Wuuut...!"
Tiat-ciang
Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan
kirinya telah memegang sebatang pisau yang panjangnya sekitar tiga puluh senti,
ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam
cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja
yang pada ujungnya dipasang kaitan seperti mata kail!
Sungguh
senjata-senjata yang sangat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi
karena ia sudah dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawan, ia pun tidak
merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya melainkan hanya menanti
dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan
tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biar pun nampaknya santai saja,
sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah
dipenuhi dengan tenaga sinkang yang tinggi dan kuat.
"Hi-hik,
itu senjatamu? Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan
matamu menjadi juling itu tentu karena terlampau sering memutar cambuk itu.
Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, lalu
dari juling menjadi buta!" Kim Hong mengejek tanpa mempedulikan serangan
lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu.
Dengan hanya
sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang maka sambaran pisau
pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Dan ketika pada detik
berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim
Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar
lewat ada pun ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup
batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur
pinggirnya kena hantem ujung cambuk.
Tentu saja
Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang
kabut dan seperti biasanya, kewaspadaan orang yang sedang dihimpit kemarahan
akan berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan
perhitungan lagi. Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya
juga berkilauan menyambar-nyambar.
Akan tetapi
dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri. Dara ini belum
juga balas menyerang karena dia ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya
sebelum turun tangan.
Sementara
itu, melihat betapa ketiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir
kehabisan prajurit sekaligus juga kehabisan nyali itu, dengan diam-diam
memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu supaya
mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju
beberapa langkah diiringkan oleh para prajurit, menuju ke jalan darurat menuju
naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah
mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang.
"Orang
she Phang, engkau hendak lari ke mana? Siapa pun tidak boleh pergi dari
sini!" kata In Bwee dengan sikap kereng. Melihat ini, Phang-taijin
membelalakkan matanya.
"Nona
Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi? Ingat, aku
boleh menangkapmu dan menuduhmu pemberontak yang melawan pejabat!"
Phang-taijin menggertak dan bersikap galak.
In Bwee
tersenyum manis. Sekarang dara ini mulai berbesar hati. Biar pun dibandingkan
dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlampau rendah, akan tetapi
sebagai seorang murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk bisa
menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin.
Dia lalu
teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan
memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat
ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, dia pun segera
menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya.
"Orang
she Phang, pada saat sekarang, engkau masih ingin mengandalkan kedudukan? Siapa
pun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan
penjahat, dan urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
pemerintah."
Karena yang
menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang
perajutit itu maju. "Hajar gadis lancang ini!" katanya.
Enam belas
orang prajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan
menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka adalah melarikan
diri dari tempat yang telah berubah menjadi seperti neraka ini. Akan tetapi
mereka takut untuk membangkang perintah, terlebih lagi melihat bahwa gadis itu
hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan
menyerbu.
In Bwee
menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para prajurit itu
mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini.
Ketika Kok
Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para prajurit, dia menjadi marah dan
khawatir. Dia segera mengeluarkan teriakan melengking lantas sepasang
siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di
depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan pada lain waktu, sebuah
tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya
terlempar jauh dan sebelum Si Macan Tutul Laut itu sempat memperbaiki
posisinya, ada sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya.
"Aughhhhh...!"
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh lalu tewas
tidak lama kemudian karena pit emas di tangan kanan Kok Siang telah menembus
tenggorokan dan menotok jalan darah maut.
Kok Siang
tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke
arah kekasihnya. Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tidak beralasan
karena belasan orang itu sekarang telah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan
belum terkena pukulan atau tendangannya telah menjatuhkan diri dan pura-pura
luka sehingga tak dapat melawan lagi. Kini tinggal Phang-taijin yang berdiri
dengan wajah pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan
suara.
Melihat
betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah
terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cabuk atau cambuk baja itu
menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara
melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung
cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah
kanannya hanya dielakkannya saja, sambil tangan kirinya dari bawah menghantam
ke atas dan tepat mengenai dada lawan.
"Ngukkk!"
Tiba-tiba
saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah,
kedua tangan melepaskan senjata dan mendekap ke arah atas perut gendutnya,
matanya semakin juling menatap ke arah perut dan akhirnya dia pun roboh
terkulai. Sekali pukulan dari jari tangan halus Kim Hong tadi sudah menyalurkan
kekuatan sinkang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup
untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh
dibandingkan dengan Toan Kim Hong.
Sekarang
mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim
Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang.
Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biar
pun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu mempergunakan
sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak
pernah terdesak.
Tubuhnya
bagai menyelinap dan beterbangan di antara dua sinar pedang yang
bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang jika diingat betapa sedikit
saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak! Akan tetapi juga amat
indahnya!
Sesudah
lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang sangat diandalkannya itu tidak
mampu mendesak lawan, Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali.
Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang sehebat ini. Kini mengertilah
dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang
lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Ternyata ilmu kepandaian pemuda ini
memang hebat bukan main, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini
tidak dikenalnya.
Karena
merasa kewalahan untuk bisa mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu
diputar sedemikian rupa sehingga andai kata ada hujan lebat dari atas menimpa
dirinya sekali pun, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya.
Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti tubuhnya, seolah-olah
telah berubah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang
melindunginya dari ancaman apa pun dari luar.
Melihat
siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa jika dia tidak cepat mengeluarkan ilmu
simpanannya, maka akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini.
Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, dan pada saat lawan mundur, dia
merendahkan dirinya dan mendadak dari mulutnya keluar suara melengking nyaring
yang menggetarkan jantung lawan, disusul dengan tubuhnya yang tadi merendah itu
kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan
dahsyat sekali.
Pat-pi Mo-ko
Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia
berusaha untuk secepatnya menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan,
ke arah bayangan lawan yang meluncur itu.
"Bressss...!"
Terjadinya
benturan itu sukar diikuti dengan pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu tubuh
Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang
kemudian terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak
bergerak lagi. Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke
tengkuk, ada pun pedang ke dua masih terkepal di tangan kiri.
Kiranya
dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu
membalik lalu menembus leher sendiri. Maka tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng
dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa
Phang di kota raja itu!
***************
Kota raja
lantas geger ketika pada suatu pagi, tubuh Jaksa Phang tergantung tinggi-tinggi
di depan kantornya dengan kaki tangan terikat dan ikatan tangannya itu
digantungkan di atas wuwungan bagian depan sehingga nampak dari jalan. Hal ini
segera menarik banyak perhatian, apa lagi karena ada sehelai kain putih lebar
yang tergantung dan tubuh jaksa Phang itu penuh dengan tulisan yang rapi dan
indah.
Ketika
orang-orang menolongnya dan membaca tulisan itu, keadaan menjadi makin geger
dan berita itu segera menjalar luas di kota raja. Isi tulisan itu membuka
rahasia jaksa itu tentang perbuatan-perbuatannya yang korup dan jahat, tentang
persekutuannya dengan penjahat-penjahat dan betapa kantor kejaksaan dijadikan
tempat persembunyian penjahat besar Pat-pi Mo-ko!
Berita ini
sampai ke dalam istana sehingga kaisar sendiri menjadi marah dan malu, lalu
memerintahkan untuk menangkap jaksa Phang itu, dipecat dan dijatuhi hukuman
berat. Mudah kita duga bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah Bu Kok Siang
orangnya!
Sesudah
Thian Sin muncul lantas membebaskan dia, Kim Hong dan In Bwee, kemudian mereka
berhasil membasmi para datuk sesat berikut anak-anak buahnya, maka Thian Sin
lalu mengajak mereka bertiga, sambil membawa Phang-taijin sebagai tawanan,
pergi ke goa di mana terdapat pintu tadi. Kok Siang menotok roboh jaksa itu dan
melemparnya ke sudut, kemudian Thian Sin mengeluarkan kunci emas yang asli dari
sakunya dan ternyata kunci itu tepat sekali memasuki lubang kunci dari emas di
tengah-tengah daun pintu baja. Thian Sin memasukkan kuncinya kemudian
memutar-mutar.
Tiba-tiba
terdengar suara keras hingga semua orang menjadi kaget dan berhati-hati, takut
kalau-kalau terjadi longsor batu-batu karang lagi seperti tadi. Akan tetapi
sesudah suara keras itu berhenti, ternyata lantai di sebelah kanan daun pintu
itu amblong dan berlubang.
Kiranya
kunci itu hanya menggerakkan alat rahasia yang sudah dipasang di situ di mana
terdapat batu besar yang digerakkan oleh alat baja bergeser dan menurun. Di
balik batu besar itu terdapat lubang dan inilah tempat rahasia penyimpanan
harta karun. Bukan di belakang daun pintu, karena belakang pintu itu tidak ada
apa-apanya, hanya ada dinding tebing batu karang. Sesudah rasa kagetnya hilang,
Thin Sin lalu memeriksa lubang dan di sini mereka menemukan empat buah peti
kuno berukir.
"Ah,
inilah harta karun itu!" Thian Sin berseru.
Empat orang
itu merasa girang bukan main, seperti sekumpulan anak-anak yang berhasil
menemukan sesuatu yang menarik. Mereka lalu mengeluarkan empat buah peti kuno
itu dan sesudah empat buah peti itu dibuka, ternyata berisi emas dan permata
intan berlian ratna mutu manikam, logam mulia dan batu mulia berkilau-kilauan
menyilaukan mata!
Bagaikan
anak-anak kecil yang melihat mainan bagus, mereka merakup benda-benda itu,
dipermainkan di antara jari-jari tangan dengan sepasang mata bersinar-sinar
serta wajah berseri-seri.
"Bukan
main! Kalau saja benda sebanyak ini sampai terjatuh ke tangan mereka, sungguh
sayang!" akhirnya Kok Siang berkata.
"Harta
karun Jenghis Khan ini rahasianya ditemukan oleh keluarga Ciang, maka kita
harus menyerahkan kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su," Kim Hong
berkata dengan suara tegas. Mendengar ini, tiba-tiba Kok Siang menjura kepada
wanita itu.
"Nona
Toan, sungguh bijaksana sekali ucapan itu dan aku merasa takluk. Seorang
seperti nona ini dan juga Ceng-taihiap, barulah pantas disebut pendekar!"
"Sayang,
orang yang berhak sudah tidak ada lagi!" kata Thian Sin.
"Apa
maksudmu, Thian Sin?" Kim Hong bertanya dan Kok Siang bersama In Bwee juga
memandang heran.
"Aku
sudah melihat pemuda petani itu. Dia disiksa untuk dipaksa mengaku tentang peta
asli. Tentu saja dia sendiri tidak tahu dan penyiksaan itu membuat dia terluka
parah maka ketika aku mengunjunginya di dalam sel tahanannya di kompleks
kejaksaan itu, dia pun meninggal dunia tanpa dapat ditolong lagi."
"Ahhh...!"
In Bwee berseru dan merasa kasihan sekali.
Karena
menemukan harta karun Jenghis Khan, keluarga petani yang terdiri dari ayah ibu
dan anak itu semua telah tewas! Agaknya jalan pikiran In Bwee ini terasa juga
oleh tiga orang pendekar itu. Kok Siang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jenghis
Khan terkenal dengan kekerasan dan kekejamannya, dan harta karunnya ini pun
ternyata membawa kutukan bagi para penemunya. Untung sekali sekarang telah
jatuh ke tangan kalian, sepasang pendekar budiman. Mudah-mudahan saja harta
karun itu akan dapat bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang
melalui tangan kalian berdua."
"Sekarang
harta karun ini milik kita bersama, Bu-twako," kata Kim Hong. "Kita
bersama yang sudah mendapatkannya, oleh karena itu kita semua pula yang berhak
memilikinya. Kita akan bagi rata..."
"Tidak,
aku tidak mau! Sejak kecil aku menjadi anak orang kaya, dan aku bahkan sering
kali melihat betapa kekayaan tak selalu mendatangkan kebahagiaan. Tidak, kini
aku ingin hidup seadanya dan miskin... di samping Siang-koko..." Dan gadis
itu segera memegang lengan pemuda pujaannya itu sambil memandang mesra.
Kok Siang
tersenyum. "Baik, Bwee-moi atau pun aku tidak berhak sama sekali, juga
tidak membutuhkan. Aku sendiri bukan orang miskin. Aku menerimanya dari paman
Louw, dan paman Louw sama sekali tidak berhak. Lagi pula, mendiang pamanku itu
memalsu peta, bukan karena ingin menguasai yang asli, melainkan karena curiga
kepada Su Tong Hak dan ingin menolong dan kelak menyerahkannya kepada yang
berhak, yaitu Ciang Kim Su. Maka, sesudah sekarang jatuh ke tangan kalian yang
memang berjasa dan hanya karena adanya kalian maka harta ini dapat ditemukan,
maka hanya kalian berdualah yang berhak memilikinya, Ceng-taihiap dan Nona
Toan."
Thian Sin
menghela napas kemudian memandang kagum pada Kok Siang dan In Bwee. "Ahh,
dalam dunia ini sungguh jarang dapat ditemukan orang-orang seperti kalian
berdua. Biasanya, di mana terdapat harta, tentu terjadi perebutan. Untuk
memiliki harta, manusia tak segan melakukan segala macam kejahatan dan
kekejaman. Akan tetapi kalian malah menolaknya. Kami sendiri juga tidak
membutuhkan harta. Akan tetapi karena harta karun ini telah terjatuh ke tangan
kita, sudah seharusnya kalau kita pergunakan untuk kebaikan. Memerangi
kejahatan bukan merupakan suatu hal yang mudah dan ringan, juga kadang-kadang
membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, harta karun Jenghis Khan yang aku
yakin tentu sudah bergelimang darah ini, yang sekarang saja sudah membunuh
puluhan orang di luar goa, akan dapat kita pakai untuk menebus dosa-dosanya,
untuk bermanfaat bagi banyak orang dan untuk biaya memerangi kejahatan. Engkau
pun berhak mendapat bagianmu, Bu-siucai."
Akan tetapi
Kok Siang menggeleng kepalanya sambil tersenyum lalu merangkul leher In Bwee
yang memegang lengannya. "Tidak, taihiap. Dalam peristiwa perebutan harta
karun Jenghis Khan ini, aku telah memperoleh bagianku sendiri, telah memperoleh
harta karun yang tiada keduanya di dunia ini, yang jauh lebih berharga dari
pada semua harta dalam empat peti itu, yaitu Bwee-moi!"
Thian Sin
dan Kim Hong tersenyum saling pandang, sedangkan In Bwee menjadi merah mukanya
dan tersenyum bangga dan bahagia. Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau
memaksa lagi dan mereka pun lalu meninggalkan tempat itu, membawa empat peti
harta karun dan juga membawa Phang-taijin sebagai tawanan.
Mereka
menggunakan kereta yang tertinggal di atas tebing dan pada malam itu juga, Kok
Siang membereskan Phang-taijin, menulis surat pembeberan rahasia busuk pembesar
itu dan menggantungkan pembesar korup serta suratnya ke wuwungan depan rumah
gedung pembesar itu. Ketika Kok Siang melakukan hal ini, dia ditemani oleh In
Bwee, Thian Sin dan Kim Hong. Akan tetapi Pendekar Sadis beserta kekasihnya
tidak mau mengganggu dan membiarkan saja sastrawan perkasa itu bisa memuaskan
hatinya dengan melakukan hukuman itu sendiri.
Sesudah
selesai melakukan tugas terakhir dalam urusan harta karun Jenghis Khan itu,
mereka berkumpul di tempat sunyi di luar kota raja, di mana telah menanti
sebuah kereta yang akan membawa Pendekar Sadis bersama kekasihnya meninggalkan
kota raja pada malam hari itu juga. Empat buah peti harta karun itu sudah
disusun rapi di dalam kereta, ditutupi dan tidak nampak dari luar.
Dua pasang
orang muda itu kini saling berhadapan di bawah sinar bulan purnama. Cuaca dan
pemandangan indah sekali, mendatangkan rasa kegembiraan luar biasa walau pun
ada sedikit rasa haru karena mereka hendak saling berpisahan.
"Kami
harap saja kalian akan dapat menjadi pasangan yang baik dan berbahagia,"
kata Kim Hong sambil memeluk In Bwee dan gadis hartawan ini mengusap air
matanya karena selama beberapa hari menjadi kenalan Kim Hong dia merasa sangat
kagum dan sayang kepada pendekar wanita itu.
"Mudah-mudahan
saja kami akan dapat menjadi pasangan berbahagia seperti ji-wi," kata In
Bwee.
"Bagaimana
rencanamu selanjutnya dengan nona Bouw, Bu-siucai?" Thian Sin bertanya.
"Kami
akan minta persetujuan dari orang tua Bwee-moi secara terang-terangan. Dan kami
sudah bersepakat bahwa andai kata orang tuanya tidak menyetujui, maka kami
berdua akan pergi begitu saja!"
Kim Hong dan
Thian Sin tertawa. "Aih, mudah-mudahan tidak. Kami kira, orang tua adik
Bwee akan cukup bijaksana untuk dapat melihat bahwa mereka sudah memiliki
seorang calon mantu yang hebat!" kata Kim Hong.
"Dan bagaimana
dengan ji-wi (kalian berdua)?" tanya Bu Kok Siang.
"Kami
akan pulang dan beristirahat," jawab Thian Sin.
"Di
mana... ahh, ji-wi sudah menjelaskan bahwa ji-wi tak akan memberi tahukan
tempat tinggal ji-wi kepada siapa pun juga. Biarlah, kami hanya berdoa semoga
kelak kita masih akan dapat saling bertemu pula," kata Kok Siang.
Setelah
bersalaman kemudian saling memberi hormat, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong
memasuki kereta dan Thian Sin melarikan kuda-kuda penarik kereta, diikuti oleh
pandang mata Kok Siang dan In Bwee, sampai kereta itu lenyap ditelan kegelapan
di sudut sana. Mereka merasa terharu dan kehilangan, akan tetapi ketika mereka
teringat bahwa mereka kini bersama, lenyaplah rasa kehilangan itu maka sambil
bergandeng tangan mereka pun pulang kembali ke kamar mereka di rumah penginapan
di mana mereka menyewa dua buah kamar untuk mereka.
Dan dapat
dibayangkan betapa terkejut hati mereka ketika melihat bahwa di kamar Kok Siang
terdapat sebuah di antara empat peti harta karun itu, dengan isi yang masih
penuh dan utuh! Dan di atas peti itu terdapat tulisan
SEMOGA
KALIAN BERBAHAGIA.
Kedua orang
itu saling pandang dan akhirnya In Bwee menubruk calon suaminya sambil
menangis, terharu akan kebaikan hati Pendekar Sadis dan kekasihnya.
***************
Sementara
itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua sosok tubuh berada di dalam
sebuah perahu layar, dan perahu itu dengan perlahan meninggalkan pantai menuju
ke laut bebas. Sebuah perahu layar yang berukuran sedang saja, tidak ada anak
perahunya kecuali mereka berdua.
Di atas dek
perahu terdapat tiga buah peti kuno berukir indah. Mereka itu adalah Thian Sin
dan Kim Hong yang sedang berlayar menuju pulang, ke tempat tinggal mereka yaitu
di Pulau Teratai Merah, membawa hasil petualangan mereka, yaitu tiga peti
berisikan harta karun Jenghis Khan!
T A M A T
Serial Selanjutnya : Siluman Goa Tengkorak
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment