CeritaSilat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 03
SEJAK kecil
dia sudah belajar sastera karena sebelum keluarga ayahnya terbasmi dalam perang
pemberontakan yang lalu, ayahnya adalah seorang yang kaya raya dan dia diberi
kesempatan mempelajari sastera sampai mendalam. Pada saat keluarganya tewas
dalam kerusuhan perang, hanya dia seorang yang selamat dan akhirnya dia diambil
murid oleh Go-bi-pai. Semenjak saat itu, di samping giat mempelajari ilmu silat
tinggi, dia juga masih tekun memperdalam ilmunya tentang sastera.
Setelah dia
diusir oleh gurunya, Hok Boan lalu mencoba untuk mengikuti ujian di kota raja
dengan harapan akan lulus dan memperoleh pangkat. Akan tetapi harapannya
menjadi buyar karena dia gagal dalam ujian. Dia merasa bosan untuk mengulang
lagi dan mulailah dia merantau dan bertualang.
Dengan kepandaiannya
yang tinggi, tidak sukar baginya untuk memperoleh uang karena dia tidak pantang
memasuki gudang harta seorang hartawan dan mengambil beberapa kati uang emas
atau perak untuk keperluannya bertualang. Selama beberapa tahun, dia terus
berpindah-pindah, sampai akhirnya dia hampir dikeroyok oleh guru silat dan anak
muridnya di Koan-sui itu.
Kini di
dalam perjalanannya ke utara, ke dusun Pek-hwa-cung untuk memesan sebatang
pedang yang baik, buatan pandai besi Bhe Coan yang terkenal, dia bertemu dengan
isteri Bhe Coan yang demikian manis menarik, yang bertubuh montok dan padat,
tentu saja wanita seperti Leng Ci itu tidak dapat terlewatkan begitu saja dari
pandangan mata Hok Boan yang berminyak! Dan ketika mereka makan bersama dan dia
mengujinya dengan rabaan di bawah meja, mendorong Hok Boan untuk melanjutkan
petualangannya sampai berhasil.
Tak lama
kemudian, suara dencing di bengkel itu berhenti dan terdengarlah langkah kaki
Bhe Coan dan isterinya menuju ke kamar. Hok Boan cepat merebahkan dirinya lagi
dan dengan pengerahan sinkang-nya, dia sekarang berkeringat dan mukanya pucat
kembali. Terengah-engah dia rebah terlentang seperti orang kepanasan.
Bhe Coan
beserta isterinya masuk ke kamar itu. "Siauwte, ini obatnya. Akan tetapi
tidak kelirukah? Menurut isteriku..."
Bhe Coan
memandang isterinya.
"Kui-kongcu,
tukang obat yang menjual obat-obat menurut catatanmu tadi mengatakan bahwa ini
bukanlah obat untuk penyakit demam panas. Ketika aku bertanya obat apa, dia
hanya tertawa dan dia tidak mau menjawab, hanya berkata bahwa ini bukan obat
penyakit panas. Jangan-jangan kau keliru membuat catatan, kongcu."
"Ahh,
tukang obat kampungan... mana dia tahu...? Aku sudah pernah mengobati penyakit
ini dengan obat itu... harap twaso suka cepat menggodoknya, dengan air tiga
mangkok sampai tinggal semangkok... dan harap sediakan arak yang keras...
sebagai campuran..." Dia kembali merebahkan diri dan terengah-engah,
napasnya memburu, juga keringatnya semakin banyak.
"Cepat
masak obat ini!" kata Bhe Coan kepada isterinya dan wanita itu cepat
melakukan perintah suaminya. Bhe Coan mendekati tamunya. "Bagaimana
siauwte? Berbahayakah keadaanmu?"
Hok Boan
memaksa senyum dan menggelengkan kepala. "Jangan khawatir, twako... jika
berbahaya tentu aku juga tahu... aku… aku pernah mengalaminya, malah lebih
hebat dari sekarang. Tetapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkan
saja aku, lanjutkan pembuatan pedang itu supaya tidak terlambat... aku
berterima kasih kepada twako dan twaso..."
Bhe Coan
menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu. "Jangan
berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharapkan kesembuhanmu."
Dia lalu pergi dan tidak lama kemudian sudah terdengar lagi bunyi dencing
palunya yang memukul-mukul.
Leng Ci
melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang berwarna hitam berikut
seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati
pembaringan di mana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat.
"Kui-kongcu,
obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Apa mau diminum
sekarang?"
"Baik...
baik..." Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. "Auhhhh..."
Dan dia hampir terguling.
Leng Ci
cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa
hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak
harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia memejamkan matanya dan duduk.
"Pusingkah,
kongcu...?"
Dia
mengangguk dan membuka matanya "Ya, agak pusing, twaso..."
"Mau
minum obat sekarang? Sudah kusediakan bersama araknya."
"Nanti
dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukanlah obat
untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan bila sampai obat
yang kau beli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, maka justru
merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika..."
"Ihhh...!"
Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak
memandang kepada obat di atas meja itu. "Kalau begitu, jangan diminum,
kongcu!"
Kui Hok Boan
tersenyum. "Akan tetapi obat itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang
yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya,
apakah obat itu cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso
umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan
tetapi... ahhh, aku hanya akan merepotkan twaso saja..."
"Ahhh,
tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya?"
"Campurannya
adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum.
Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok
untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat
meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu.
Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan
menolongku."
"Kalau
cuma begitu saja, aku pun dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah obat
itu tidak berbahaya?"
"Aku
tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku?"
Leng Ci
menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok
Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke
dalam mangkok lain, setengah mangkok banyaknya, lalu dicampurinya dengan
setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali.
"Aku
akan mencobanya, kongcu."
"Minumlah,
twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat."
Tanpa curiga
nyonya muda itu lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak manis dan memang
bukan tidak enak, apa lagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu
terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu.
"Kalau
arak itu terlalu keras, duduklah, twaso..."
Leng Ci
tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk
di atas bangku sambil memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi
dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali.
"Bagaimana,
twaso?" Hok Boan bertanya lagi saat melihat wanita ini membuka matanya.
Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya sedikit memburu, matanya
bersinar aneh.
"Panas...
rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh..."
"Ah,
kalau begitu cocok untukku!" Hok Boan bangkit duduk. "Tolong
campurkan obat itu dengan arak seperti tadi..."
Leng Ci
bangkit berdiri kemudian menuangkan arak ke dalam mangkok obat yang tinggal
separuh itu, lalu dia mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan
meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh
dengan keringat, juga lehernya. Dia bergerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk
kembali dan memandang kepadanya.
"Ahhh...
panas sekali... panas...!" Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri.
"Bagaimana,
kongcu?" Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi
pembaringan dengan khawatir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai
berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya.
"Panas,
tolong bukakan kancing bajuku..." Hok Boan merintih.
Jari-jari
tangan yang kecil itu agak gemetar saat membukakan kancing-kancing baju Hok
Boan, apa lagi karena pemuda itu terus menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari
tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu.
"Panas
sekali...," kembali Hok Boan merintih.
"Aku...
aku pun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu..."
"Kalau
begitu, kenapa bajumu tidak dibuka saja?"
"Kongcu...
ehhh...?"
Namun kedua
lengan pemuda itu telah merangkulnya, merangkul pinggang dan lehernya, dan
tubuh Leng Ci telah ditariknya ke atas pembaringan. Wanita itu hendak meronta
akan tetapi terlambat. Hok Boan sudah memeluk dan menciumnya, dan Leng Ci telah
diamuk oleh nafsunya sendiri yang didorong oleh obat yang diminumnya, karena
memang obat itu adalah obat perangsang!
Nyonya muda
itu memang telah mempunyai hati terpikat dan menyeleweng terhadap Hok Boan.
Kini, berada begitu dekat dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, apa lagi
didorong oleh obat yang diminumnya, dia lupa segala, lupa bahwa tak jauh dari
kamar itu, suaminya sedang bekerja dan bunyi dencing besi dipukul terdengar
jelas dari situ.
"Sakitku
adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat
menyembuhkan aku...," Hok Boan berbisik kepada wanita yang sudah diamuk nafsu
itu, yang kini sama sekali tidak lagi menolak, bahkan bersama Hok Boan dengan
suka rela memasuki jurang perjinahan!
Kini yang
terdengar hanya suara puputan pembuat api dan suara dencing besi dipukul.
Pekerjaan pandai besi adalah pekerjaan yang mengeluarkan suara hiruk-pikuk, dan
Hok Boan tidaklah lupa daratan sama sekali seperti halnya Leng Ci. Tidak, dia
amat hati-hati dan telinganya tak pernah meninggalkan suara dari bengkel itu
sehingga dia tahu bahwa suami wanita ini masih sibuk bekerja!
Menjelang
tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu sambil
menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya.
"Suamimu
sudah berhenti bekerja..." bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan
pakaian dan sudah kembali rebah terlentang ketika terdengar langkah kaki Bhe
Coan menuju ke kamar itu!
Dengan amat
tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya. Pada saat suaminya
muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong keluar dari kamar.
Bhe Coan
tidak memperhatikan isterinya. Jika dia memperhatikan tentu dia akan melihat
wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan
itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki
kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia
tidak pernah menaruh kecurigaan apa pun terhadap isterinya.
"Bagaimana,
Kui-siauwte?" tanyanya. "Wajahmu tidak sepucat tadi, sudah agak
merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat..."
"Ahh,
terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu
sungguh hebat dan menyembuhkan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum
obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat
perawatan twaso, twako."
Bhe Coan
tersenyum. "Ahhh, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau
sudah mendingan."
Demikianlah,
semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya
membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah membuang kesempatan itu untuk
bermain cinta, melakukan hubungan jinah yang kotor itu. Mereka berenang dalam
nafsu mereka, terseret oleh gelombang nafsu birahi yang memabokkan.
Memang
demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, semakin
berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, semakin kurang! Segala
macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu,
makin banyak yang didapatnya, makin serakah pula.
Seorang yang
gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tak akan ada
puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Orang yang gila kekuasaan,
gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga begitu. Kalau nafsu keinginannya
makin dikejar, kalau yang didapatkannya makin banyak, maka makin kuranglah dia merasa!
Sama pula
dengan semua itu, nafsu birahi pun demikian. Karena makin banyak dialami dalam
pemuasannya, semakin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, semakin kuat pula
pendorong yang membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan kalau bisa
ingin mendapatkannya lebih banyak lagi.
Leng Ci
bersama Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan
melalui pelampiasan nafsu birahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih
banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka bagaikan
orang-orang yang kelaparan, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan.
Sekarang
mereka mulai berani saling bertemu pada waktu malam, pada waktu Bhe Coan tidur
mendengkur dan secara diam-diam Leng Ci menyelinap meninggalkan kamarnya untuk
menikmati kepuasan sejenak bersama dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu,
lalu kembali menyelinap ke dalam kamar suaminya sambil mencibirkan bibirnya
kepada tubuh suaminya yang tidur mendengkur!
Beberapa
hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di
kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam isterinya selalu
menolak dia melakukan pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan
dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ
terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan
isterinya.
Sementara
itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah
berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, hanya sepanjang
lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh
sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang waktu pembakarannya serta
pembenamannya di dalam air sudah diperhitungkan secara tepat.
Dengan hati
puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya, dan terdengar
suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu memang hebat! Bentuknya sudah
sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memperindah gagangnya saja.
Dengan
senyum di bibir dan dengan hati girang Bhe Coan membawa pedang itu ke kamar
tamunya. Sekali ini, karena kegirangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat
memamerkan hasil karyanya kepada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas
sepatu karena dia memang masih hendak bekerja.
Tiba-tiba
saja dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia
terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau
di dalam kamar dengan dia!
Akan tetapi
ketika dia sampai di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih
rebah terlentang, ada pun Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat,
lalu pergi meninggalkan kamar.
Wajah
isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia
melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat
keluar lagi dan mengejar isterinya.
"Leng
Ci...!" panggilnya perlahan.
Isterinya
berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran. "Ada apakah?"
"Tadi
aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?"
Isterinya
tersenyum. "Hi-hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok, aku
melihat Kwi-kongcu mengigau sambil bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku geli
melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku."
"Ahhh..."
Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar
tamunya.
"Nah,
kau dengar...?" Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari
situ untuk mencuci mangkok.
Berindap-indap
Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu
sedang mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian
sumbang.
Peristiwa
itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi ada sesuatu yang masih
mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum pada saat menghentikan Leng Ci
dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian.
Padahal, pada waktu pagi biasanya isterinya tidak pernah merias diri seperti
itu apa lagi memakai wangi-wangian.
Dan anehnya
pula, biar pun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di
bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak
awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa
aneh dan heran saja.
Sore hari
itu Bhe Coan berpamit pada isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang
berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di
kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang
atau senjata lain.
Sesudah
pandai besi itu pergi, walau pun kepergiannya itu tidak akan makan waktu lama,
tetap saja merupakan peluang yang tidak mau disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng
Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka
yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu.
Di kota
kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang telah
lama dikenalnya. Begitu melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar
menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil
berkata, "Hemmm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu,
ya."
Bhe Coan
memandang tukang obat itu dengan alis berkerut, "Ehh, Lao Tung, apa pula
maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa
kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?"
"Ha-ha-ha,
masih pura-pura tak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang
membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih hendak mengobati orang
sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, tetapi demamnya orang yang
berhati muda!" Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran.
"Lao
Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang
membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu
mengapa?"
"Memang
dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali
bukan obat untuk penyakit demam!"
Bhe Coan
teringat akan kata-kata isterinya pada saat pulang dari membeli obat. Isterinya
menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan
obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa.
"Lao
Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?"
Dengan mulut
masih menyeringai Lao Tung menjawab, "Apakah kau benar-benar tidak tahu?
Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu birahi, obat
untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!"
Bhe Coan
menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan
meski pun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang
akan tetapi hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui
Hok Boan membeli obat perangsang?
Akan tetapi,
dia melihat sendiri bahwa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang
pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua
itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh
tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya.
Dia tidak
tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu
sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan
menggerogoti hati dan pikirannya. Belakangan wajah isterinya selalu gembira,
kedua matanya bersinar-sinar.
Anehnya,
semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau
didekatinya pada waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau
siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang
terjadi dengan isterinya? Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan,
sampai-sampai pernah pula beberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman
kepadanya!
Pada waktu
tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki
tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk
di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan
kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang.
"Ahhh,
kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!" katanya dan dia mengerling ke
arah isterinya.
Wajah isterinya
juga kelihatan berseri gembira, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah
yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak. Rambutnya
licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda
dengan malam tadi, tampaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja
sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru berganti pakaian
di sore hari.
"Terima
kasih, twako. Sudah jauh lebih baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu
minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai,
twako?"
"Sudah,
tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan
hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan
selesailah pesananmu, siauwte."
"Terima
kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga..."
"Ehh,
siapakah anak ini dan mengapa kau ajak ke sini?" tiba-tiba Leng Ci
bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu.
"Dia
adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan
api agar pekerjaan lebih lancar," jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu
mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua
orang itu sudah sibuk bekerja di bengkel.
Mengingat
bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari lagi, Hok Boan dan Leng Ci
makin menggila dalam hubungan perjinahan mereka. Agaknya mereka bersepakat
untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka
sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya. Mereka seperti tak mengenal lelah, dan
karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan
selalu sibuk di dalam bengkelnya, maka mereka menjadi lengah dan lalai. Kini
mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu!
Pada
keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan sudah bekerja di bengkelnya, dibantu
oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang
pada landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, dalam
kamarnya Hok Boan juga menyambut datangnya Leng Ci yang terlihat segar sehabis
mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk
pemuda itu, merangkul lantas menangis!
Heh, mengapa
menangis, sayang?" Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium
air mata yang membasahi pipi. "Tiada pertemuan tanpa perpisahan, namun
kita masih mempunyai waktu sehari ini."
"Kongcu,
aku tidak tahan kalau harus berpisah darimu. Besok... besok kau bawalah aku
besertamu, kongcu..."
"Hemm,
mana mungkin begitu, manis? Engkau adalah isteri Bhe-twako dan..."
"Sekarang
aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku
menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya,
kongcu?"
"Kau
memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci."
"Kongcu...
kau kasihanilah aku, bawalah aku besok..."
"Ssstttt...
bagaimana besok sajalah."
Leng Ci
memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia kini sudah terbuai oleh belaian
pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing
yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segalanya, membiarkan saja
pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam kembali ke
dalam lautan nafsu yang bergelora.
Bunyi suara
berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar pada waktu Leng Ci rebah
terlentang, kepalanya miring berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai
rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya.
"Kongcu..."
"Hemmm..."
"Kalau
kau tidak mau membawaku, aku akan hidup seperti dalam neraka...!"
"Ahh,
jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci."
"Akan
tetapi aku tidak cinta padanya."
"Bukankah
engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi
isterinya secara suka rela?"
"Ya...
akan tetapi setelah bertemu denganmu..."
"Kau
memang manis!" Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya,
lalu mencium mukanya.
Mereka tidak
tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di
tangannya! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk
membuat tapal kaki kuda, dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu
masih terdengar terus.
Akan tetapi
dia sendiri keluar meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu
untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah
isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan
betapa kaget, heran, marah dan malunya pada waktu dia melihat isterinya sedang
berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang!
"Jahanam
busuk kau orang she Kui!" bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar!
Leng Ci dan
Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi
pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu mencoba untuk menyembunyikan
tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak
memandang pandai besi yang tahu-tahu telah berdiri di depan pembaringan itu.
Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar, maka
tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang
membantu pandai besi itu! Alangkah bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara
pukulan yang jauh lebih lemah itu!
Sejenak Bhe
Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Begitu tenangnya! Sama
sekali tidak kelihatan takut, malah sekarang tersenyum! Kemarahannya memuncak
karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya,
semenjak ‘sakit’ itu tentu telah berjinah dan bermain gila dengan isterinya!
Kini barulah
dia mengerti. Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isterinya
tidak pernah mau melayaninya! Ternyata pada waktu siangnya, dari pagi sampai
petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan
ini, isterinya berjinah di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah
menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri!
"Bedebah,
engkau memang layak mampus!" bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke
depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada
Hok Boan.
Akan tetapi,
gerakan yang sangat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak
pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat,
tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan laksana seekor burung
terbang saja ringannya.
"Creppppp...
aiiiihhhh...!"
"Ohh,
tidak...!" Bhe Coan berseru kaget, matanya terbelalak memandang kepada
isterinya yang menjerit.
Pedang yang
tadi ditusukkan ke arah dada Hok Boan, sekarang sudah amblas menusuk dada
isterinya sendiri, tepat pada ulu hati, di antara dua buah bukit dada membusung
itu. Kemarahannya kepada Hok Boan makin meluap. Dia mencabut pedangnya hingga
darah muncrat dari dada Leng Ci dan nyonya muda ini langsung terjengkang
terlentang di atas pembaringan, darahnya muncrat-muncrat menodai tilam kasur
yang selama beberapa hari ini telah dinodai oleh perjinahannya dan kaki
tangannya berkelojotan, matanya terbelalak seperti orang kaget dan takut.
"Keparat
kau! Jahanam kau!" Bhe Coan memaki-maki dan membalik, menghadapi Hok Boan
yang sudah membereskan pakaiannya dengan sikap tenang saja.
"Sudahlah,
Bhe-twako, engkau baru saja membunuh isterimu. Sudah saja dan serahkan pedang
itu kepadaku. Aku akan pergi dari sini sekarang juga."
Sikap tenang
dan kata-kata Hok Boan membuat kemarahan Bhe Coan makin memuncak. Dia masih
belum menduga bahwa tamunya ini memiliki kepandaian silat yang jauh lebih
tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
"Bangsat
hina Kui Hok Boan! Aku sudah menerimamu sebagai keluarga sendiri, aku telah
bersusah payah membuatkan pedang pesananmu, akan tetapi engkau bahkan menggoda
isteriku. Nah, pedang ini akan merobek-robek perutmu, dan aku akan mencincang
hancur lebur tubuhmu yang kotor dan hina!"
Bhe Coan
kini menerjang dan pedang itu menyambar-nyambar. Namun, dengan tenang Hok Boan
mengelak ke kanan dan kiri, kemudian selimut yang tadi dibawanya ketika dia
meloncat itu menyambar ke depan, menutupi kepala tuan rumah.
"Wuuuttt...!
Prakkk!"
Tubuh Bhe
Coan terpelanting, ada pun pedang itu telah dirampas oleh tangan Hok Boan.
Sasterawan muda ini segera meninggalkan kamar itu, tidak mempedulikan lagi
tubuh Bhe Coan yang kepalanya tertutup selimut dan perlahan-lahan selimut itu
menjadi merah oleh darah dari kepala pandai besi itu yang retak-retak akibat
pukulan tangan Hok Boan yang ampuh. Tanpa melihat pun sasterawan muda ini
maklum bahwa tamparannya tadi telah merenggut nyawa orang! Dengan tenang Hok
Boan mengumpulkan pakaiannya dan tidak lama kemudian sudah membalapkan kudanya
keluar dari dusun itu.
Anak kecil
pembantu Bhe Coan yang menanti kembalinya majikannya, kini menjadi tidak sabar
karena dia harus menanyakan sesuatu mengenai tapal kaki kuda yang dibuatnya.
Dia memasuki rumah dan mencari-cari Bhe Coan. Ketika dia menjenguk ke dalam
kamar yang pintunya terbuka itu, dia terbelalak, mukanya pucat sekali dan
tubuhnya menggigil.
Nyonya
majikannya sudah menggeletak terlentang dengan tubuh bagian atas telanjang sama
sekali, bermandi darah dan tak bergerak lagi dengan mata terbelalak menakutkan,
sedangkan majikannya terbujur di atas lantai, kepalanya tertutup selimut dan
selimut itu penuh darah pula.
Anak itu
menjerit dan berlari keluar, jatuh bangun dan sebentar saja, dusun Pek-hwa-cung
menjadi gempar! Semua orang menduga bahwa Bhe Coan serta isterinya tentu
terbunuh oleh tamunya seperti yang dituturkan oleh anak pembantu pandai besi
itu, namun karena sejak datang ke dusun itu Hok Boan tidak pernah keluar pintu
dan selalu mengeram diri saja di kamarnya bersama Leng Ci, maka tidak ada orang
yang pernah melihatnya atau mengenalnya.
***************
Menurut
berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka
yang tidak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di
Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga peninggalan Raja Sabutai. Berita
inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun
Pek-hwa-cung, dia teringat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia
singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat
menari hatinya itu.
Berita itu
datang dari para prajurit yang dahulu pernah menyerbu Lembah Naga bersama para
pendekar sakti. Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi
tempat-tempat itu. Pertama, karena tempat itu memang berada sangat jauh dari
tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga
karena mereka sudah tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak
sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih
belum tentu kebenarannya.
Akan tetapi
Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang selalu hidup malang-melintang
seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita
membuat dia senang saja berada di mana pun, karena di mana pun dia mengharapkan
untuk dapat bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya. Dan ternyata benar,
di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang
dan puas.
Istana
Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat
tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian
markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan
kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
Lembah itu
berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang
menikung di situ kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Kalau dilihat
dari atas Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan bagai seekor naga yang
tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah
Naga.
Oleh karena
lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh
dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang
rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang
tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang
berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya.
Jalan menuju
ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena sungguh tidak mungkin
mendatanginya dari arah lain mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh
jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari arah selatan ini pun bukan
merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya saja jalan dari selatan
ini kelihatannya masih mungkin dilalui manusia, sungguh pun dalam kenyataannya,
jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang
mengerikan.
Mengapa
demikian? Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari
namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu berbahaya
sekali. Dan memang benarlah.
Padang
rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang
terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja
yang nampak, dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang
juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu lalu tersesat dan
kemudian menjadi korban pula sehingga bangkai-bangkai dan mayat berserakan di
sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai.
Daerah
Padang Bangkai ini memang amat berbahaya. Banyak sekali tempat-tempat yang
kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat
kejam. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan
rumput-rumput yang hijau segar laksana beludru, akan tetapi bagi mereka yang
sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal
musim itu, baik di musim panas mau pun di musim semi tetap hijau segar itu
merupakan tempat maut yang mengerikan.
Salah sangka
akan membuat banyak manusia mau pun binatang yang kebetulan lewat, terperosok
ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri
karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang
kalau diinjak ternyata di bawahnya merupakan lumpur lembut yang sanggup
menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya.
Lumpur
lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali
sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke
dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada
rumput-rumput dan biar pun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh
atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan
separuh tubuh masih di luar.
Apa yang
terjadi? Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap
darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah
atau pun lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu!
Ada pula
terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan kiranya
bahwa rumput pada bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali saja
kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya
atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas.
Juga
terdapat bagian yang rumputnya berupa ilalang setinggi orang dewasa, yang mudah
menyesatkan karena luasnya, juga karena lorong di antara ilalang tinggi ini
bercabang-cabang dan berliku-liku, dan bentuknya sama semua, yaitu lorong
setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi.
Orang dapat
tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja
tempat ini amat berbahaya, belum lagi bila diingat akan banyaknya
binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun
ilalang yang tinggi lebar itu.
Dan di
tengah-tengah perjalanan di antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah
Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai. Air yang
mengelilingi dusun ini dahulu sengaja dibuat oleh Raja Sabutai, karena tempat
ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak
menyerbu Lembah Naga.
Air yang
mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho, maka siapa pun juga yang
hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu
menyeberangi sungai itu dengan melewati jembatan yang terdapat di situ,
satu-satunya jembatan yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian
menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun.
Jalan lain
menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati
dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di
bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun
yang berada di sebelah kanan dusun.
Untuk
melanjutkan perjalanan dengan perahu pun jelas tidak mungkin, karena selain tak
nampak sebuah pun perahu di situ, juga andai kata ada orang yang membuat perahu
dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, maka sebelum sampai di tempat
tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni
dusun itu.
Beberapa
tahun yang lalu, pada saat Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di
Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan
sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya
Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, pada waktu
rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua
anak buah mereka sudah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka
Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali.
Akan tetapi,
semenjak kepala perampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak
buahnya menjadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan
tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena di samping keadaan yang berbahaya
dari tempat itu, masih ditambah lagi oleh ancaman bahaya yang datang dari para
perampok itu sendiri.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba
untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena
lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang
baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin
anak buahnya menyerbu, akan tetapi dia pun lantas ditundukkan oleh Liong Si Kwi
sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut
dihormati.
Demikianlah,
Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang
lebih tiga puluh orang. Tentu saja mereka tak dapat mengharapkan banyak hasil
di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk
Khing-an-san, karena di samping hal ini amat berbahaya, juga penduduk
dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin.
Bahkan
mereka juga tak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur
seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di
tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, juga mereka tidak mau memancing
kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu.
Maka, para
perampok ini hanya ‘mencari nafkah’ dengan cara merampok para pedagang yang
lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati
oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning. Jadi, Padang
Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja.
Selama
tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang
berani mendatangi sarang mereka. Apa lagi mendatangi dusun yang kini mereka
jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah
nampak seorang pun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan
daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuat para perampok itu merasa aman.
Akan tetapi
pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari baru mulai menyinari bumi dengan
cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datang dari selatan. Ketika
tiba di depan padang rumput yang sangat luas itu, si penunggang kuda
menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian.
"Hemm,
inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai...," katanya seorang diri dan
dia lalu turun dari atas kuda. Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah
pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke
depan.
"Bukan
main luasnya," kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil
tempat air dari sela kuda kemudian sambil duduk di atas rumput, dia lalu minum
beberapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher
dan dahi dengan ujung lengan bajunya yang lebar.
Orang ini
bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung di
mana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka,
pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung
dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san.
Sebelum dia
menuju ke utara, dia memang sudah menyelidiki dan mempelajari keadaan Lembah
Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggota pasukan tentara
kerajaan yang dulu pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga. Dari para
anggota pasukan inilah dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang
Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang
Bangkai.
Dia tidak
mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang
selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat
kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang betul seperti yang digambarkan
oleh anggota pasukan yang pernah datang ke tempat ini.
Memang mengerikan
keadaannya. Dari atas pohon nampak cahaya matahari menimpa padang rumput yang
luas dan terdapat bermacam-macam warna di sepanjang padang yang luas itu.
"Ada
lorong kecil menuju ke arah selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi
setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan
padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah
tempat-tempat yang amat berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong
setapak ini tanpa mengetahui keadaannya terlebih dahulu." Demikian antara
lain penuturan anggota pasukan kerajaan itu.
Sesudah
membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik
lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil
yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang
mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas menatap ke depan, siap
menghadapi bahaya yang mungkin datang dari mana pun juga, sungguh pun tempat
itu amat sunyi dan tampaknya merupakan tempat yang aman.
Ketika
matahari sudah naik tinggi, tibalah dia ujung jalan kecil itu. Sekarang di
depannya terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput
yang warnanya lain, ada yang merah, ada pula yang kebiruan dengan bentuk yang
aneh-aneh. Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia
memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu.
Dia
mendengar penuturan anggota pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini
bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya
menanti binatang-binatang kecil yang suka menghisap darah serta menggerogoti
daging! Mengerikan! Akan tetapi kalau melihat rumput-rumput hijau segar itu,
sukar untuk dapat mempercayai cerita itu.
"Lebih
baik menempuh bahaya diserang ular dan binatang buas," pikirnya.
Dia
mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, di mana terdapat pula jalan
setapak, akan membawa orang ke padang ilalang yang tingginya seperti manusia
dewasa di mana terdapat banyak ular dan binatang lain.
Tadi Hok
Boan telah mematahkan cabang pohon dan kini tangannya sudah memegang sebatang
tongkat panjang seperti toya, kemudian dia menggerakkan kudanya memasuki lorong
setapak di antara rumput-rumput kuning itu. Kudanya bergerak perlahan memasuki
lorong itu dan benar saja, makin lama lorong itu makin menurun, agaknya karena
rumput-rumput itu menjadi makin tinggi, ataukah rumput ilalang yang tumbuh di
kanan kiri sudah setinggi paha kudanya.
Kuda yang
ditunggangi Hok Boan maju terus. Tiba-tiba kuda itu berhenti melangkah, lalu
meringkik keras dan mengangkat dua kaki depan ke atas. Terdengar bunyi
berkerosakan disusul oleh suara salak anjing dari jauh. Hok Boan terkejut, akan
tetapi dia sudah siap dengan tongkatnya.
Tak lama
kemudian, muncul delapan ekor anjing liar yang menyerang dari depan, kanan dan
kiri. Akan tetapi, Hok Boan sudah bersiap-siap dengan tongkatnya dan beberapa
kali tongkatnya bergerak memukul. Setiap gerakannya tentu langsung meremukkan
kepala seekor anjing sehingga tidak lama kemudian, bangkai delapan anjing liar
itu berserakan di tempat itu.
Akan tetapi
kuda itu menggigil, agaknya ketakutan. Ketika Hok Boan memaksanya untuk maju,
kuda itu meringkik dan maju perlahan-lahan. Kini mereka sampai di lorong
setapak yang memisahkan antara rumput ilalang tinggi dengan rumput hijau segar
yang berada di sebelah kiri. Hok Boan menjaga benar-benar agar kudanya tidak
makan rumput itu atau menginjak bagian kiri.
Akan tetapi
tiba-tiba saja terdengar suara mendesis-desis dan berkerosakan. Ilalang itu
bergoyang-goyang dan kini kudanya menjadi semakin ketakutan, meringkik-ringkik
ganas, mendengus-dengus. Kembali Hok Boan menyiiapkan tongkatnya dan begitu dia
melihat muncuinya ular-ular yang datang menyerang, dia cepat memutar tongkatnya
itu, memukul remuk kepala beberapa ekor ular yang datang mendekat. Akan tetapi,
kuda itu menjadi ketakutan, tiba-tiba meringkik dan meloncat ke kiri, jauh
sekali, ke arah padang rumput hijau.
"Blessss...!"
Begitu empat
buah kaki kuda itu tiba di atas tanah berumput hijau, seketika kaki-kaki itu
amblas ke bawah sampai seperut kuda! Hok Boan terkejut bukan main, akan tetapi
dia memang cerdik. Dia tidak menjadi gugup dan masih ingat untuk tidak meloncat
turun. Tahulah dia bahwa kudanya telah terperosok ke dalam lumpur maut yang
menghisap dari bawah.
Kuda itu tak
akan dapat tertolong lagi. Maka dia lalu menggunakan kuda itu sebagai batu
loncatan, meloncat ke kanan dan sampai di lorong setapak tadi. Dia mendengar
kudanya meringkik-ringkik kadang mendengus-dengus. Ketika dia menoleh dan
memandang, bulu tengkuknya meremang. Mengerikan sekali memang.
Kuda itu
tenggelam semakin dalam, kini tubuhnya sudah tenggelam semua, tinggal leher
berikut kepalanya, matanya terbelalak, hidungnya mendengus-dengus, mulutnya
berbusa. Bagian tubuh yang tinggal ini pun tidak lama bertahan karena leher dan
kepalanya segera terbenam pula dan tidak nampak lagi bekas-bekasnya. Rumput
hijau itu sudah menjadi rata kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Hok Boan
menjadi marah bukan main. Dengan menggunakan pedangnya dan batu yang terdapat
di situ, dia lalu membuat api dan membakar padang ilalang yang penuh dengan
ular-ular tadi. Api berkobar dan menjalar, membakar seluruh padang ilalang itu!
Hok Boan
sendiri menjauh, kembali ke tempat tadi karena dia merasa terlalu berbahaya
untuk melanjutkan perjalanan. Biar tempat yang berbahaya itu habis terbakar
lebih dahulu sebelum dia melanjutkan perjalanan, pikirnya.
Untung pada
saat dia meloncat dari atas kudanya tadi, dia tidak lupa untuk menyambar
bungkusannya yang terisi pakaian dan bekal makanan. Sekarang dia duduk
memandang padang ilalang yang terbakar itu sambil menggerogoti roti kering.
Benar juga
penuturan anggota pasukan kerajaan itu. Melakukan perjalanan menuju ke Lembah
Naga akan melalui tempat-tempat berbahaya dan sampai berhari-hari tidak akan
bertemu dengan dusun, karena itu sebaiknya membawa bekal makanan. Kalau dia
tidak membawa bekal roti kering, dia bisa kelaparan.
Kebakaran di
Padang Bangkai itu hebat sekali. Padang ilalang itu penuh dengan ilalang kering
dan sudah berbulan-bulan ini tidak pernah turun hujan, maka tentu saja api yang
mengamuk itu memperoleh bahan bakar secukupnya sehingga api segera
berkobar-kobar membasmi seluruh padang ilalang itu selama sehari semalam!
Pada hari ke
dua, setelah api kehabisan makanan dan mulai padam, meninggalkan puing, abu dan
asap, muncullah serombongan orang dari Padang Bangkai, memeriksa keluar dan
sampai di tempat yang kebakaran itu. Mereka ini adalah Sin-jio Coa Lok bersama
tiga puluh orang anak buahnya.
Ketika api
sedang mengamuk, mereka ini tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menonton saja
ketika api mengamuk hebat, merubah padang ilalang itu menjadi lautan api. Akan
tetapi setelah api mulai padam, mereka lalu keluar dari sarang mereka untuk
mengadakan pemeriksaan dan untuk menyelidiki apakah yang menjadi penyebab
kebakaran itu karena sepanjang pengetahuan mereka, tidak pernah ada orang yang
berani mendekati daerah Padang Bangkai, apa lagi melakukan pembakaran.
Akan tetapi
sekali ini mereka keliru dan memandang dengan hati penuh keheranan ketika
mereka melihat seorang laki-laki muda berpakaian sasterawan duduk melenggut di
bawah pohon. Melihat ada seorang asing di daerah ini, mereka bukan hanya merasa
heran, akan tetapi juga curiga sekali. Andai kata bukan orang ini yang
melakukan pembakaran, tentu orang ini melihat siapa yang melakukannya, maka
atas isyarat tangan kepala perampok itu, gerombolan ini cepat menghampiri pohon
di mana laki-laki itu duduk di bawahnya dan mengurung pohon itu.
Laki-laki
itu adalah Kui Hok Boan. Tentu saja dia tahu ketika ada segerombolan orang
kasar itu muncul dari Padang Bangkai. Mula-mula dia merasa heran bukan main dan
juga terkejut karena menurut keterangan yang diperolehnya dari anggota pasukan
kota raja itu, bahwa Padang Bangkai mau pun Lembah Naga kini merupakan tempat
berbahaya yang kosong karena penghuninya telah dibasmi oleh para pendekar yang
memimpin pasukan kerajaan. Bagaimana kini tahu-tahu muncul segerombolan orang
itu?
Dari
gerak-gerik mereka, Kui Hok Boan yang sudah memiliki banyak pengalaman di dunia
kang-ouw itu sudah bisa menduga bahwa mereka merupakan gerombolan penjahat,
atau setidaknya orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga serta
kekerasan untuk memaksakan kemauan dan keinginan mereka kepada orang-orang
lain. Dan melihat pria berusia empat puluh tahun yang memegang sebatang tombak
panjang itu, yang berjalan di muka dan memberi isyarat dengan tangan, dia dapat
menduga pula bahwa laki-laki itu tentulah yang menjadi kepala dari gerombolan
itu.
Hok Boan
bersikap tenang saja, malah ketika mereka melihatnya dan menghampiri dari jauh,
dia sudah duduk melenggut di bawah pohon, seakan-akan tidak melihat kedatangan
mereka. Akan tetapi tentu saja seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya sudah siap
siaga. Pedangnya dia sembunyikan di bawah buntalan pakaian sedangkan tongkat
ranting pohon itu menggeletak di dekatnya.
"Hemm,
sungguh aneh, di tempat seperti ini ada seorang sasterawan kesasar!" kata
Coa Lok sambil meraba dagunya, "Hai, kutu buku, bangunlah!"
Akan tetapi
Hok Boan masih pura-pura tidur. Dia ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh
orang-orang ini sehingga dari perbuatan mereka, dia sudah bisa menilai
orang-orang macam apa adanya mereka. Ketika melihat bahwa sasterawan muda itu
masih enak saja melenggut, seorang anak buah perampok menjadi sangat penasaran
lantas menghampiri, memegang pundak Hok Boan dan mengguncangnya dengan kasar
dan kuat-kuat. Tubuh Hok Boan tergoncang-goncang keras.
"Heh,
babi malas! Tai-ong kami menegurmu! Bangun!"
Kui Hok Boan
gelagapan, menggosok-gosok matanya, lalu bangkit duduk. Di hadapannya berdiri
Coa Lok yang bermuka kekuning-kuningan dan yang memegang tombak panjang. Tombak
itu dipegang dengan tangan sambil berdiri di depannya. Sikap kepala perampok
ini tidaklah begitu kasar dan buas, tidak seperti tiga puluh orang anak buahnya
yang kini memandang dengan mulut menyeringai dan sinar mata buas.
"Ahh,
siapakah kalian? Dari mana kalian datang?" Hok Boan bertanya dan bangkit
berdiri tanpa mengambil buntalan, pedangnya mau pun kayu ranting itu.
Melihat
sikap orang muda itu, Sin-jio Coa Lok yang menyangka bahwa pemuda itu tentu
seorang sasterawan yang suka melancong dan kesasar di tempat itu, bersikap
lunak dan berkata, "Orang muda, apakah engkau tidak tahu bahwa engkau
sedang berada di daerah Padang Bangkai?"
Hok Boan
pura-pura terkejut. "Padang Bangkai? Betapa menyeramkan nama itu!"
"Ha-ha-ha,
dan engkau akan menjadi bangkai pula di sini, kutu busuk!" terdengar
seorang anak buah perampok mengejek dan terdengar suara ketawa di sana-sini.
"Orang
muda, ketahuilah bahwa kami adalah para penghuni Padang Bangkai ini. Engkau
telah memasuki wilayah kekuasaan kami. Siapakah engkau?" Coa Lok bertanya.
"Namaku
adalah Kui Hok Boan."
"Bagaimana
engkau bisa datang ke tempat ini?"
"Bagaimana?
Dengan berkuda, melalui padang ilalang itu. Akan tetapi ada segerombolan anjing
liar menyerangku dan untung aku berhasil mengusir mereka. Ketika segerombolan
ular datang menyerang, kudaku terkejut dan meloncat ke padang rumput hijau, terbenam
dan tewas. Aku mendongkol sekali dan kubakar padang ilalang itu."
"Setan
alas!"
"Keparat
jahanam!"
"Jadi
kutu buku ini yang membakarnya!"
Tiga puluh
orang itu sudah mengepung dengan sikap mengancam, akan tetapi Coa Lok
mengangkat tangan kiri ke atas dan mengisyaratkan anak buahnya untuk mundur.
Dia melihat ada sesuatu yang aneh dan mengherankan. Bagaimana sasterawan muda
yang kelihatan lemah ini mampu mengusir gerombolan anjing liar yang sangat
galak dan buas itu? Dan sesudah kudanya tenggelam ke dalam lumpur maut,
bagaimana sasterawan ini masih mampu menyelamatkan diri? Tentu orang ini
bukanlah seorang sasterawan biasa yang lemah!
"Kui
Hok Boan, engkau telah lancang tangan membakar padang ilalang. Apa maksudmu
datang ke sini?" Coa Lok membentak lagi.
"Aku
membakar padang ilalang itu karena padang itu membikin tempat ini menjadi
buruk, membuat tempat ini merupakan tempat yang tersembunyi dan terputus dari
dunia luar. Dan maksud kedatanganku ke sini? Aku hendak pergi ke Padang Bangkai
dan Lembah Naga."
Sejenak
suasana menjadi sunyi sesudah pemuda ini menjawab seperti itu, lalu menjadi
berisik karena anak buah perampok saling bicara sendiri. Akhirnya Coa Lok
mengangkat tangan menyuruh mereka diam. Dia memandang kepada pemuda sasterawan
itu penuh perhatian, lalu berkata, suaranya mengandung kemarahan.
"Orang
muda she Kui, jangan kau main-main! Padang Bangkai adalah daerah kekuasaan
kami, seorang pun tidak boleh memasukinya, dan Lembah Naga adalah daerah
terlarang bagi siapa pun juga. Katakan, apa sebetulnya kehendakmu?"
Kini Hok
Boan tersenyum lebar dan memandang kepala perampok itu. "Engkau masih
belum tahu? Aku datang untuk menaklukkan Padang Bangkai dan Lembah Naga!"
Terdengar
suara ketawa bergelak ketika para perampok mendengar jawaban ini. Bahkan Coa Lok
sendiri tersenyum masam. "Orang muda, agaknya engkau sudah menjadi
gila!" katanya.
"Tai-ong,
serahkan kepadaku untuk menyembelih anjing ini yang sudah berani membakar
padang ilalang!" kata salah seorang anggota perampok yang bertubuh tinggi
besar dan bermuka brewok sehingga nampaknya menyeramkan sekali. Orang ini
terkenal dengan tenaganya yang besar dan disegani di antara kawan-kawannya.
Karena
merasa bahwa orang muda berpakaian sasterawan ini memang keterlaluan, apa lagi
sudah bersalah membakar padang ilalang yang merupakan pelindung bagi Padang
Bangkai, Coa Lok mengangguk memberi ijin. Semua orang mundur untuk memberi
ruang kepada si brewok yang hendak menyembelih sasterawan itu.
Si brewok
tinggi besar sekarang melangkah maju sambil menyeringai. Tangan kanannya
memegang sebatang golok besar yang tajam mengkilap. Sepasang matanya yang lebar
itu terbelalak penuh ancaman, ada pun hidungnya mendengus-dengus. Dia seperti
seekor harimau kelaparan haus darah dan agaknya tugas membunuh orang ini
mendatangkan ketegangan yang menggembirakan hatinya!
Tentu saja
Kui Hok Boan tidak merasa takut sama sekali. Dia berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar, kedua tangan di pinggang, lantas berkata mengejek, "Heh,
babi gemuk, bukannya aku yang akan menjadi korban golok pemotong babimu itu,
melainkan engkau sendiri!"
Dimaki babi
gemuk, si brewok itu menjadi marah, apa lagi karena beberapa orang
kawan-kawannya tertawa mendengar ini. "Anjing kurus! Kau berani memaki
aku? Huh, terlalu enak kalau kau disembelih begitu saja! Aku akan merobek-robek
seluruh tubuhmu dengan kedua tanganku ini saja!"
"Capppp…!"
Dia membanting goloknya ke bawah dan golok itu menancap di atas tanah sampai
setengahnya, gagangnya bergoyang-goyang saking kerasnya bantingan itu.
"Bagus!
Dengan melepaskan golokmu, berarti engkau menyelamatkan nyawamu sendiri, babi
gemuk," Hok Boan berkata.
Pada saat si
brewok itu menerjangnya dengan dua lengan dikembangkan seperti biruang besar,
tiba-tiba saja pemuda sasterawan itu menggerakkan kedua kakinya dan si brewok
menjadi bingung karena pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Akan
tetapi para anak buah perampok terkejut karena mereka melihat betapa tubuh
sasterawan muda itu bagaikan seekor burung saja tadi sudah melayang melalui
atas kepala si brewok dan kini telah hinggap dengan kaki kirinya di atas gagang
golok yang menancap di atas tanah itu!
Gagang golok
itu masih bergoyang-goyang dan tubuh si sasterawan juga ikut bergoyang-goyang,
akan tetapi kedua tangannya masih bertolak pinggang sedangkan kaki kanannya
diangkat ke lututnya!
"Dengarlah
kalian semua! Aku datang untuk memimpin kalian dan hanya kalau pemimpin lama
kalian itu mau berlutut dan minta ampun, maka aku suka mengampuninya!"
Terdengar
suara menggereng dan si brewok tadi sudah menubruk lagi ke depan dengan
kemarahan meluap. Karena Hok Boan yang berdiri di atas gagang golok itu
menghadapi kepala perampok, maka si brewok menyerangnya dari belakang. Kedua
telapak tangan yang besar itu terbuka dan seperti cakar harimau hendak
mencengkeramnya.
Tanpa
menoleh, Hok Boan mengayunkan kaki kanan yang tadi ditekuk ke lutut kaki kiri,
dengan gerakan yang cepat sekali.
"Wuuuuttt...!
Desss...!"
Tubuh si
brewok terpelanting ketika perutnya bertemu dengan tendangan yang tiba-tiba
ini. Kaki sasterawan itu sudah lebih dahulu mengenai perutnya sebelum kedua tangannya
dapat menjamah tubuh lawan dan tendangan itu demikian kuatnya hingga dia
terpelanting dan terguling-guling.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment