Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 14
PENDEKAR itu
dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis oleh Hwa-i
Kaipangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Sesudah membaca surat
tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang dimaksud
dalam surat itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu
dengan tajam menyelidik.
"Saya
masih belum mengerti juga apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya,
Lee-ciangkun."
"Saya
gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan menjadi
isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan terutama
sekali saya amat khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa ketua
Hwa-i Kaipang adalah seorang yang amat lihai."
"Ciangkun,
saya telah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari utara itu
berkepandaian tinggi apa lagi yang perlu dikhawatirkan?"
"Saya
takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andai kata dia menang dan
ketua Hwa-i Kaipang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka saya
telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu dan
tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap."
"Hemmm,
apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini?" tanya
Tio Sun.
Tentu saja
dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia pun tidak tahu urusannya. Dia
mendengar bahwa Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis yang sangat besar dan
berpengaruh, dan belum pernah terdengar melakukan kejahatan-kejahatan di
sekitar kota raja, sungguh pun di kalangan kang-ouw juga tidak mempunyai nama
yang harum.
Sebaliknya,
dia tidak kenal sama sekali kepada wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu.
Kalau hanya karena wanita itu adalah kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita
itu, sungguh hal ini sama sekali tidak mungkin.
"Begini,
taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan
ketua Hwa-i Kaipang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apa lagi
kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya
percaya bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang
tak berarti itu."
Tio Sun
mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Mendadak
dia merasa tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak
berkeberatan, tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang
menimbulkan permusuhan itu.
"Mengapa
Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kaipang?"
Mendengar
pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak kaget juga. Akan tetapi urusan
ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu dia pun telah
menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata,
"Ahh,
sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran
dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio
mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka berjumpa
dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di
restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya
luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio segera mengusirnya. Akan
tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia
malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara
mereka. Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah
bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban.
Pengemis itu pun roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio kemudian mengajak sang
pangeran cepat-cepat ke kota raja, menyangka bahwa urusan itu sudah tidak
berekor lagi karena pengemis itu tidak mengenakan pakaian sebagai anggota Hwa-i
Kaipang. Tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kaipang yang mengejar dan
membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya.
Terjadilah lagi pertempuran dan ketiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu
panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan
lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat
tantangan itu."
Tio Sun
menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semuanya
didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu
kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa
dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dengan
isterinya, sungguh pun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak
menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.
Melihat
pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana,
taihiap? Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong
kami."
"Lee-ciangkun,
sesungguhnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi apa
bila hanya menjadi seorang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan
tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kaipang itu, tidak mau
didamaikan?"
"Kalau
begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi
saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada
saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio pada waktu dikeroyok. Saya tidak
mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan
pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan
pribadi saya dan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan,
sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak."
Tio Sun
tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun."
Lee Siang
cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera
membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap sesudah
lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin
(nyonya) sekali pun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu.
Saya malu..."
"Saya
mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun."
Panglima itu
kemudian berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam
rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lantas memondong
puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan
isterinya mengomel,
"Ihhh,
anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!"
"Ah,
Pek Lian tidak manja, ya? Ayah menggendong karena sayang, bukan
memanjakan!"
Pek Lian
mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tak minta dipondong,
ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh?"
Dikeroyok
dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia
bertanya, "Siapa sih orang tadi? Kulihat dia bukan seorang pedagang
langganan atau pun kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian
serius!"
"Ohh,
dia? Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kim-i-wi Lee Cin. Masih
ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin?"
"Ahh,
Panglima? Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi
kita?" tanya Kwi Eng dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus
perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara
demikian serius?
Diam-diam
Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee
Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan
isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata,
"Dia
datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit
salah paham dengan ketua Hwa-i Kaipang dan minta tolong kepadaku agar
mendamaikan urusan itu."
"Ketua
Hwa-i Kaipang? Ihhh, perkumpulan pengemis itu tidak berbau harum. Suamiku,
urusan apakah yang perlu kau damaikan itu?"
Tio Sun
sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus sehingga tidak ada
gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu
betapa ketua Hwa-i Kaipang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang sudah
menolong seorang musuh Hwa-i Kaipang ketika ribut dengan para pengemis di luar
pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-ipang mengancam, maka Panglima Lee
Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk
menjadi orang penengah.
"Mengapa
justru engkau yang dimintainya tolong? Bukankah dia itu panglima dan banyak
mengenal orang pandai di sini?"
"Dia
adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Dan
kukira tidak ada jahatnya bila hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan
kecil ini tidak perlu kau khawatirkan." hatinya merasa lega karena
isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan
yang menjadi biang keladi urusan itu.
Setelah
mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya
dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah
saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi
saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.
Panglima Lee
Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu sudah
menunggu di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang
gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu
dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya
sengaja dikosongkan, dan di sana hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku
untuk mereka berdua.
Ketika Lee
Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan
mengatakan bahwa dia sudah makan malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang
lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak.
"Ah,
hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil
menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.
Melihat ini,
Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur, "Tenanglah,
ciangkun, kenapa harus gelisah? Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan
bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan? Akan tetapi sunyi benar gedungmu
ini?"
"Memang
saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir supaya percakapan kita nanti
tidak sampai terdengar oleh orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya
sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan
kekerasan. Akan tetapi talhiap berjanji akan melindungi saya, bukan?"
Tio Sun
mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, kemudian
meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tak akan
menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... ehh, mana dia wanita
pengawal dari utara itu? Bukankah dia yang dicari?"
"Ah,
saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Jika melihat dia, salah-salah urusan
akan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia
akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dahulu dua orang yang saling marah
dan mendendam, bukan?"
Tio Sun
mengangguk, setuju. Lee Siang yang nampaknya selalu gelisah itu lalu hendak
menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan masa lalu, waktu Tio Sun
masih terjun di dunia kang-ouw bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti
seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara
cerdik dan sepintas lalu seakan-akan tidak sengaja dan hanya ingin mengisi
waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan
tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu.
Mula-mula
dia menanyakan mengenai pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai.
Kemudian dengan hati-hati dia menanyakan di mana adanya putera ketua
Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong!
"Setahu
saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang
Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia
menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana."
Diam-diam
giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapatkan keterangan di mana adanya
Yap Kun Liong, salah seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh
kekasihnya! Dan pada saat itu pula, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya
nambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh
panca inderanya ditujukan ke bagian atas karena pendengarannya yang terlatih
dan lebih tajam dari pada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak
wajar.
Wajah Lee
Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio
Sun pun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang
gagah berani, juga seorang Panglima Kwi-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya!
Dan pada saat
itu pula terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi
perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu!
Seperti setan tidak kelihatan yang bicara!
Akan tetapi
Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu
Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khikang, dengan tenaga sakti di dalam pusar sudah
mendorong keluar suara hingga menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh
biar pun hanya diucapkan secara lirih!
"Kim
Hong Liu-nio, lekaslah keluar dan jangan bersembunyi di balik perlindungan
seorang panglima!"
Tio Sun
mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang
mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak
perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan terdapat nada mengejek di
dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama!
Akan tetapi
dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya
hanya melerai dan menengahi, apa bila mungkin mendamaikan kedua fihak yang
sedang bersengketa?
Mendadak
terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa
ketegangan mau pun kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu
adalah Hwa-i Kaipangcu?" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh
orang yang berada di atas.
Kembali
terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh dengan kewibawaan,
"Kami adalah ketua Hwa-i Kaipang, dan kami datang hanya untuk berurusan
dengan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!"
Sebelum Tio
Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata
nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini!
Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan
galak, bahkan seperti orang menantang.
Tio Sun
kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama
sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum
orangnya datang panglima itu nampaknya begitu ketakutan, akan tetapi sekarang
setelah orangnya datang dan sudah memperlihatkan Ilmu Coan-im-jip-bit yang
membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang!
Sungguh tak tahu diri!
Akan tetapi
dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu sebab seluruh perhatiannya
dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin menyambar dan
seperti seekor burung saja, sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di
dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek.
Aneh sekali
kakek ini, terutama pakaiannya sebab dia memakai pakaian baru yang penuh
tambal-tambalan belang-bonteng serta berkembang-kembang, sungguh menyolok
sekali. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh
tambalan itu masih baru, yang memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya
baru. Tubuhnya pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti
muka tikus karena selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian
mulutnya merupakan ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya
bergerak-gerak.
Berbeda
dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang lain yang menandai kedudukan atau tingkat
mereka di dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya, kakek
ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justru inilah tanda bahwa dia merupakan
tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kaipang! Seperti semua ketua Hwa-i
Kaipang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan namanya sendiri, dan hanya
menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek ini
sudah enam puluh tahun lebih.
Sepasang
mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang
laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu lalu
mencari-cari di sekeliling ruangan itu. Dan tanpa mempedulikan dua orang pria
itu, bahkan seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini kemudian
berseru,
"Kim
Hong Liu-nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!"
Sikap ini
memang angkuh sekali, maka diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa seorang
ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kaipang bersikap demikian congkaknya. Lee Siang
melangkah maju dengan sikap marah.
"Lo-kai
(pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku, dan kau
sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!"
Mendengar
kata-kata ini, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan sepasang alisnya
berkerut, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami
tidak akan datang ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong
Liu-nio di sini! Selamanya kami tak pernah ada urusan dengan seorang Panglima
Kim-i-wi, maka harap lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan
menganggap bahwa antara kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan
apa-apa!"
Lee Siang
menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku melarang
kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kaipang mengganggu Kim Hong Liu-nio yang
telah menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa?"
Pengemis
yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami
selamanya tidak pernah menentang kaisar mau pun pasukan Kim-i-wi, akan tetapi
kalau ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi
kami dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!"
"Jembel
tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kau kira aku takut kepadamu?" Sesudah
berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang
sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi
tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar bukan main, sehingga pedangnya
berdesing dan mengeluarkan sinar kilat.
"Ciangkun,
jangan...!" Tio Sun berseru kaget.
Semua itu
terjadi demikian cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak
pandai bicara, tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tak
mempedulikan atau tidak mendengar cegahannya tadi karena panglima itu langsung
menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah pengemis tua itu!
"Lee-ciangkun,
jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan mudah
saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya.
Akan tetapi
kembali Lee Siang telah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi,
disabetkan ke samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya
sudah bergerak menendang ke arah pusar lawan.
"Hemm,
engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu
membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki
tendangan itu.
"Tranggg...!
Dukkk...!"
Tubuh Lee
Siang terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Dia mengaduh dan
terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki kecil pengemis itu terasa
nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan tetapi, Lee Siang menjadi
semakin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang dengan kedua tangan
kosong secara nekat!
Tio Sun
maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu dapat
terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas. Ketika
Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu telah menggerakkan tongkatnya, maksudnya
hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira lain,
menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, karena itu dia langsung
menerjang ke depan sambil menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu!
"Aihh...!"
Hwa-i Sin-kai terkejut sekali menyaksikan gerakan Tio Sun, apa lagi dari tangan
pendekar ini menyambar hawa yang sangat kuat. Kakek pengemis ini menyangka
bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, karena itu dia pun
semakin marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya
menantang Kim Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan.
Dia sudah
marah kepada Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah
menyelamatkan Kim Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, sesudah melihat
sendiri betapa panglima itu menyerangnya, bahkan dibantu seorang pengawal yang
sangat lihai, kemarahannya memuncak dan tanpa bertanya lagi dia telah
menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram itu, langsung menariknya kembali
sehingga tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke arah leher Tio
Sun!
"Ahhh...!"
Tio Sun terkejut sekali dan juga marah.
Totokan ke
arah lehernya itu merupakan serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan
kejamnya kakek pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai berniat membunuh pengawal
itu walau pun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara
parah.
Hwa-i
Sin-kai juga terkejut sekali saat melihat betapa pengawal itu menangkis
tongkatnya dengan tangan kosong dan berhasil membuat tongkatnya menyeleweng dan
luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang sanggup menangkis tongkatnya
dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena
tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main,
tanda bahwa kakek itu memang amat lihai.
"Bagus!
Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak kakek
itu sambil menggerakkan tongkatnya.
"Nanti
dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..."
Akan tetapi
dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam dia,
kakek jembel ini memang jahat!"
Melihat Lee
Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun menjadi
marah.
"Tarr-tarrr-tarrrr...!"
Suara
ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu sabuk yang digerakkan
seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang memainkan joan-pian, dan
tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah tengkuk kakek pengemis itu.
"Bagus!"
kakek itu berseru kaget dan juga kagum.
Dia memang
tahu bahwa di kota raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak dikiranya dia
akan bertemu dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang.
Tongkatnya segera diputar menyambut, dan dalam belasan jurus saja Tio Sun
terdesak hebat!
Kiranya
kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kaipang itu memang luar biasa lihainya. Ilmu
tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah
mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah merupakan
lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan itu
kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang
berbahaya!
"Hebat...!"
Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan yang amat
berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan
mencabut pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang
untuk menjadi orang penengah!"
"Pengawal
busuk, keluarkan semua kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek
pengemis itu yang salah duga ketika melihat Tio Sun mencabut pedang pula di
samping sabuknya yang amat lihai, padahal pendekar itu mencabut pedang hanya
untuk menjaga diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu.
Tio Sun
menjadi marah juga, segera menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya
menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.
"Prakkkk!"
Tio Sun
terkejut bukan main karena kakek itu mempergunakan tangan kiri yang telanjang
untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya
yang paling hebat, yakni Ta-houw Sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau),
dan baru sekarang kakek itu mempergunakan tangan saktinya untuk menangkis
pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang
dahsyat.
Tio Sun
mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak
lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan kepalang. Dia tadi telah menduga bahwa
Tio Sun tentu bukanlah pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu,
maka dia hendak mencoba kepandaiannya saja lalu merobohkan tanpa membunuhnya.
Akan tetapi kenapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik
lagi?
Dia
memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa orang
gagah itu benar-benar telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya
Ta-houw Sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis
pedang saja!
"Tangkap
pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak.
Maka
muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru gedung itu dan terutama
sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali
serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai
tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!
Kakek itu
kaget bukan main dan dia pun terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan
sesudah menangkis ketujuh totokan bertubi-tubi yang sangat hebat itu, bahkan
yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita
cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera
merah!
"Kau
Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.
Wanita
cantik itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri,
datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang,
kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya,
seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.
"Bedebah
kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.
"Cring-cring-cringgg...!"
Tiga kali
tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, maka kakek
pengemis itu semakin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat
kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini betul-betul
amat lihai, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya
tak ada yang sanggup menandingi wanita ini!
"Menyerahlah
kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio
Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"
Bukan main
kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Dengan terbelalak dia
memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu,
dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan
yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan
tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ahh, tidak...!"
Melihat
semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa apa bila dia melawan, biar
pun belum tentu dia kalah dan meski pun di situ terdapat wanita yang amat lihai
itu, akan tetapi tentulah dia akan dicap sebagai pemberontak yang berani
melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat
keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal
yang mengepungnya, kemudian berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari
tempat itu.
Lee Siang
memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan
pengemis tua itu sangat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata.
Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata sudah tewas! Maka dia lalu menyuruh para
pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia
sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.
Dapat
dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta
dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya. Apa lagi ketika
melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima
Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba saja memasuki rumahnya dan menjura di depannya
sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka.
"Tio-hujin...!"
Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. Saya datang dengan membawa berita
duka... Tio-taihiap"
"Ada
apa? Apa yang terjadi? Mana suamiku?" Tiba-tiba saja Souw Kwi Eng bertanya
dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.
"Dia...
dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam kereta..."
Terdengar
jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke kereta,
seperti orang gila dia merenggut tirai kereta hingga terbuka dan melihat
jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta itu. Souw Kwi Eng
kembali menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk
jenazah itu, memeluki suaminya sambil menangis tersedu-sedu.
Para pelayan
berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari dalam rumah
keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerii ibunya yang
sangat mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang
berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya
dari belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan.
"Ibu,
ada apakah ibu...? Kenapa ibu menangis?" Dia masih belum dapat melihat
jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya.
Mendengar
suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tangisnya tertahan, lalu perlahan dia
memutar tubuh lantas memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian dia
menubruk anaknya dan merangkulnya.
"Pek
Lian, anakku... ahh, ayahmu... ayahmu...!"
Dan kalau
saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya di dalam pelukannya, tentu nyonya muda
ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan berputar, cepat-cepat
dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya sehingga
semuanya menjadi terang kembali.
"Ibu,
ada apakah...? Ayah kenapa...?" Lapat-lapat terdengar suara anaknya.
Souw Kwi Eng
membuka matanya. "Ayahmu...? Ahhh, ayahmu... telah meninggal dunia,
anakku... Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta.
Pada saat
itu Lee Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah
itu. Akan tetapi Souw Kwi Eng melarangnya.
"Biarkan
aku yang mengangkatnya sendiri...!"
Tenang
sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia pun masih terisak-isak,
akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat
itu, segera dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah,
diikuti oleh Pek Lian yang memandang pucat dan mata terbelalak. Anak ini belum
mengerti benar, bagaimana kematian itu dan mengapa ayahnya mati.
Semua orang
memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka
bagai ditusuk-tusuk saat menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong
jenazah suaminya, melangkah satu per satu menuju ke dalam rumah dengan sikap
yang penuh khidmat. Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang
dipondongnya itu lewat di depan mereka.
Kwi Eng
meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya, kemudian dia
menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak ada
luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya sudah tewas. Maka dia
lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini
tak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh di atas lantai.
Kwi Eng
siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggil dirinya. Dia bangkit
duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan.
Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan
yang lain, karena itu kembali air matanya kembali bercucuran.
"Ibu...!"
"Pek
Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.
"Tio-hujin...
kami sungguh menyesal sekali..."
Kwi Eng
mengangkat mukanya memandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya,
turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri
dengan muka menunduk. Sampai beberapa lama Kwi Eng memandang panglima itu, air
matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam
kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua
menangis. Kemudian terdengarlah suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan
parau, kadang-kadang tertahan isak.
"Sekarang
katakan, siapa yang membunuh suamiku? Siapa...?" Pertanyaan itu, terutama
kata terakhir itu mengandung ancaman yang hebat bukan main, mengandung dendam
dan kemarahan yang terasa oleh semua orang sehingga semua yang mendengarnya
merasa bulu tengkuk mereka maremang.
Dengan muka
pucat Lee Siang yang masih menunduk itu kemudian menjawab, "Yang membunuhnya
adalah ketua dari Hwa-i Kaipang."
"Ketua
Hwa-i Kaipang...?" Kwi Eng seakan-akan hendak menanamkan nama ini di dalam
benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi? Mengapa
suamiku sampai terbunuh olehnya?" Lalu dia pun teringat akan cerita
suaminya pagi tadi, maka dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya
untuk menjadi orang penengah?"
Lee Siang
menarik napas panjang. "Sesungguhnya memang begitulah. Akan tetapi, ketua
Hwa-i Kaipang itu mendesaknya, mereka lalu bertanding, kami telah berusaha
membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah
roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu
mencegahnya..."
"Dan
ketua Hwa-i Kaipang itu? Ke mana dia...?"
"Dia
melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya."
Souw Kwi Eng
menghampiri pembaringan suaminya, lalu berlutut dan menyentuh lengan suaminya.
"Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia
kembali merangkul dan menangis lagi.
Pek Lian
juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang pada jenazah ayahnya,
kemudian sesudah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu,
dia pun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak, "Ayahhhh...
ayaaaahhh..." Dan menangislah anak itu bersamanya.
Setelah
mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama sekali tidak ada
artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama
para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio
Sun.
Semalam itu
Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan serta
pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada
yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar
kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan
rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian
iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari sampailah dia di
kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini
berangkulan sambil menangis.
Sedapat
mungkin Kwi Beng menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti
mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun,
sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi.
Memang hanya
anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram
oleh suka mau pun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan kejadian
selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan
suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut.
Pek Lian
hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya begitu berduka, melihat ibunya
menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya,
dan memang batin anak-anak lebih bebas dari pada batin orang dewasa yang sudah
terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu
dicabut lepas, akan mendatangkan luka parah di dalam batin.
"Aku
akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk
yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti
mati adik iparnya.
***************
Perkumpulan
Hwa-i Kaipang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggotanya
berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan di seluruh Propinsi
Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih
sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota
raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kaipang.
Hal ini
adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka
hampir setiap hari kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu
ramai dikunjungi oleh tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani
ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka
yang memiliki banyak anggota yang tersebar luas itu. Tentu saja yang
berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kaipang yang
bertingkat tinggi, yaitu yang bertingkat lima ke atas.
Setelah
terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dan Kim Hong Liu-nio yang menjadi
berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi,
maka para tokoh Hwa-i Kaipang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka
mereka mulai melakukan penjagaan serta mempergunakan kuil tua di dalam hutan
itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan.
Hwa-i Sin-kai
merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa
kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak
pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan, seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh
besar di kalangan kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan
orang muda itu sebagai musuh.
Dia menyesal
mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti
kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Namun dia juga merasa heran
mengapa orang muda yang segagah itu demikian mudah tewas, hanya setelah dia
mengeluarkan pukulan Ta-houw Sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya
itu belum mengenai tubuh lawan!
Bagaimana
pun juga, ketua Hwa-i Kaipang ini tidak merasa bersalah! Bila mana putera
Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu
merupakan kesalahannya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee
Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kaipang dan
iblis betina Kim Hong Liu-nio?
Sebagai
ketua Hwa-i Kaipang dia hanya memiliki permusuhan pribadi dengan Kim Hong
Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggota pengemis juga telah menghina
dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang. Maka dia tidak merasa salah
kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis
betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun!
Akan tetapi
beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu,
tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan
itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang amat dikhawatirkan
hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan
pasukan pemerintah, Hwa-i Kaipang tidak akan berdaya banyak, dan adalah
berbahaya kalau sampai Hwa-i Kaipang dianggap sebagai pemberontak oleh
pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kaipang telah
memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi.
Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kaipang.
Akan tetapi
suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba
putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikit
pun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i
Kaipang yang diam-diam melakukan penjagaan, lalu mengikuti gerak-gerik dua
orang ini dengan penuh perhatian.
Keadaan dua
orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan sekaligus juga
mencurigakan. Hanya pakaian serta gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu
sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria
dan seorang wanita. Akan tetapi kecuali perbedaan jenis kelamin ini, wajah
kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang
amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan,
mata mereka yang berwarna agak kebiruan!
Dua orang
ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama bersama adik
kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah
Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan,
kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kaipang!
Tidak sulit
bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang
utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh kegeraman kakak
beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam
atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kaipang!
Dengan cepat
para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka mengenai kedatangan
dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, yaitu kakek pengemis kurus
tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum
kedua orang muda ini sampai di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di
depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata,
"Maafkan,
dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kaipang minta dengan hormat
agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini."
Souw Kwi
Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang. Melihat buntalan di punggung kakek
pengemis itu, Kwi Beng tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan tokoh Hwa-i
Kaipang tingkat kedua. Maka Kwi Beng lalu mewakili adiknya menjawab,
"Kami
berdua memang hendak memasuki sarang Hwa-i Kaipang, mengapa kami harus
mengambil jalan lain?"
Mendengar
jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu
penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima hingga tingkat tiga, ada
sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biar pun
setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi
segala kemungkinan.
"Ah,
begitukah?" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya
memandang penuh selidik.
Dia melihat
dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan
sikap mencurigakan, apa lagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata
pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang digunakan
sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua
orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan
pakaian mereka pun adalah pakaian orang berkabung!
"Siapakah
kalian berdua? Dan ada keperluan apakah sehingga kalian memasuki sarang Hwa-i
Kaipang?"
Souw Kwi
Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa engkau
merupakan seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang. Ketahuilah bahwa kami
datang bukanlah untuk berurusan dengan Hwa-i Kaipang, melainkan dengan pangcu
dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan
kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kaipangcu!"
Lo-thian
Sin-kai memandang tajam sambil menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang
kembar ini!
"Siapakah
kalian berdua? Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami?"
"Tidak
akan kuberi tahukan kepada siapa pun, kecuali ketua Hwa-i Kaipang si jahanam
keparat!" Mendadak Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak
dengan marah sekali.
"Ahh...!"
Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul.
"Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio...?"
"Jembel
busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti?
Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, dia harus membayarnya sekarang juga!"
Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat
sehingga pedang itu mengeluarkan cahaya berkilauan. "Dan kalau pangcu
kalian terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, aku akan
mencarinya sampai dapat!"
"Dan
harap kalian para tokoh Hwa-i Kaipang tidak mencampuri karena urusan ini adalah
urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.
"Orang-orang
muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar
suara halus.
Dari jauh
muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang
sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata
sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah
dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kaipang sendiri.
Kwi Eng dan
Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini. Mereka melihat betapa
semua tokoh Hwa-i Kaipang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang
kepada kakek kecil pendek yang baru datang. maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek
ini adalah Hwa-i Kaipangcu, musuh besarnya yang sudah membunuh suaminya. Tanpa
terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang
memandang dengan penuh dendam dan kebencian.
"Engkaukah
orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun?" Kwi Eng
bertanya, suaranya menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.
Kakek itu
menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kaipang dengan
iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang
ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang
gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu
nyawa dengan dia!
"Apakah
kami berhadapan dengan Tio-hujin?" tanyanya dengan suara halus.
"Benar,
aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kau bunuh tanpa dosa itu. Sekarang
kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!"
"Dan
orang muda ini siapa?"
"Aku
adalah kakak kembar dari adikku ini, dan aku pun menyediakan selembar nyawaku
untuk membalas dendam ini!"
"Ahh,
sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua
mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas? Karena dia membantu Panglima Lee Siang
yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami.
Dan sebetulnya aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap bisa tewas,
padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!"
Ucapan itu
keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng
terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang apa bila hati
sudah diracuni oleh dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apa pun
yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu
salah!
"Keparat
keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan pedangnya
menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga
langsung menyerang dengan pedangnya.
"Ahh,
terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir
panjang!" ketua Hwa-i Kaipang itu berkata dengan penuh sesal sambil
menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang.
Dia sudah
kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam sebuah pertandingan yang jujur, dan
kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu serta kakak kembarnya
dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok, maka
dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh
kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa
boleh buat!
Dua orang
kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw
Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak mempunyai bakat yang terlalu baik
sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja
yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi
kakek yang amat lihai ini, apa lagi kakak beradik kembar itu! Karena itu dalam
dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka sudah dibikin terpental oleh kakek
sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!
Melihat
kelihaian kakek itu dan karena pedangnya telah terpental pula, dua orang kakak
beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak
nyaring Kwi Eng segera mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi
kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya,
beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kaipang. Melihat ini, Kwi
Beng tidak mau tinggal diam dan dia pun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya.
"Hemmm...!"
Hwa-i Sin-kai berseru keras.
Dia lalu
memutar tongkatnya sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang
bergulung-gulung hingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya.
Terdengar suara nyaring berkali-kali kemudian pisau-pisau terbang itu terlempar
ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai
habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, akan tetapi
tidak ada sebatang pisau pun yang mengenai sasaran.
"Kakek
iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru
dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong!
Sesungguhnya,
kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari
Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok
dengan menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan di samping itu, juga
mereka telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan sudah
mengusai penggabungan tenaga Im dan Yang.
Akan tetapi,
karena bakat mereka tak terlalu besar, maka mereka hanya dapat menguasai
sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka biar pun kini keduanya menggunakan
ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai, mereka ini tidak dapat banyak
berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja ujung tongkat di tangan kakek itu
telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga pemuda ini bergulingan, dan juga
menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda itu pun terguling roboh.
"Iblis
tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan
kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya.
Memang dia
sudah mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang
bodoh, dan dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu tentu seorang yang
memiliki ilmu tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti adik iparnya itu
pun sampai tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah
mempersiapkan senjata api ini, meski pun ayahnya meninggalkan pesan supaya dia
jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan terancam
keselamatannya.
Sekarang
agaknya keselamatannya memang tidak terancam, karena kakek itu agaknya tidak
hendak membunuh dia dan adiknya, akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu
akan melawan terus sampai mati. Dari pada adiknya yang mati, lebih baik kakek
itu!
"Darr-darrr...!"
Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis tingkat tiga
dengan pundak dan lengan terluka.
Ternyata
tadi pada saat pemuda itu mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera
menubruk ke depan pemuda itu sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh
adalah kakek ini dan bukan Hwa-i Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah,
tubuhnya menyambar ke depan dan begitu tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi
Beng sudah terlempar jauh dan tangan pemuda itu berdarah!
Akan tetapi
Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng juga telah bangkit dan terus
menerjang lagi dengan nekatnya. Kakek itu mendengus dan kembali tongkatnya
membuat keduanya roboh terguling.
"Orang-orang
muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlampau rendah untuk berani kurang
ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian
cepat-cepat pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis
kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang terkena tembakan tadi
terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya.
"Biarlah,
mereka berdua perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil
berdiri menanti dengan muka marah.
Dua orang
muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali
mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kaipang mulai menertawakan mereka.
Mereka itu hanya seperti dua anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kaipang
yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan sangat mudahnya dia dapat
membunuh kedua orang muda itu.
Muka Kwi Eng
sudah bengkak akibat kena tamparan sedangkan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan
darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang
muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi.
"Plakkk!
Dukkk!"
Kini dua
orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari
kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening,
sedangkan kaki Kwi Beng terpukul tongkat sehingga ketika dia bangkit berdiri,
dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekad mereka adalah
untuk melawan sampai mati!
Pada saat
itu terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, "Sungguh
tak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan
ilmu kepandaian yang tidak seberapa!"
Semua orang
terkejut dan menengok. Kiranya yang bicara itu adalah seorang gadis yang
berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan
sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek saat dia memandang
kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang itu.
Di
sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius
dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi,
tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, ada pun pemuda itu
berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini
berpakaian ringkas sederhana dan tak terlihat membawa senjata, malah
kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya
yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan.
Mendengar
ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek
pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua
orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian
dua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiri pun berani menghadapi
salah seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju
sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para
tokoh yang lebih rendah tingkatnya.
Ketika
melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang
tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina.
Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanya, maka dia mendahului
ketuanya itu menegur, "Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut
mencampuri urusan kami?"
Gadis itu
tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah
mendengar di dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kaipang ditandai
tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak
tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai tiga
buntalan, jadi lumayan juga kepandaianmu mengemis. Akan tetapi kalau engkau
mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak
menimbulkan iba seperti pengemis tulen!"
Pengemis
tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh
tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain ialah Hek-bin Mo-kai, tokoh
tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan
oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang
biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi
makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah.
Semua orang
memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga
memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini.
"Bocah
lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah
tentu kelancangan mulutmu itu akan kau tebus mahal sekali!"
Gadis itu
ternyata lincah dan jenaka sekali. Ia tersenyum manis dan memandang kepada si
muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ahh, kaum pengemis agaknya
mengenal harga juga, ya? Berapa mahalkah tebusan kelancanganku itu? Sebungkus
sayuran sisa? Ataukah beberapa keping uang tembaga?"
Bukan hanya
Hek-bin Mo-kai saja yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kaipang menjadi
marah sekali. Telah berkali-kali mereka mengalami penghinaan dari wanita yang
bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua
orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat
dua, sudah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Dan kini
muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan
memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali.
Lebih-lebih
Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim
Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari
Hwa-i Kaipang yang sangat tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda!
Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot nama besarnya, bahkan
mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita
muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia
menjadi marah bukan main.
"Perempuan
kurang ajar dan lancang! Apa kau sudah bosan hidup? Siapakah engkau?"
bentaknya.
Akan tetapi
gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi
hanya berdiri memandang, lalu dia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk
berbicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang
tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini.
Benarkah?"
Melihat
sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi
semakin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan
semua suara bising dari para pengemis pun terhenti sama sekali. Suasana menjadi
hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya terus
memandang dengan perasaan heran.
"Nona,
benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kaipang. Nona siapakah
dan..."
"Pangcu,
anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini
dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kaipang! Engkau adalah
ketua kaipang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini dan
menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar. Akan tetapi
melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak
berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kaipang hanya
merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan
tetapi di atas panggung berpura-pura mohon belas kasihan orang dengan
mengemis!"
Kembali
terdengar suara berisik pada saat para pengemis itu menjadi marah mendengar
ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu
menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para
pembantu serta anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam bisa mengenal bahwa
pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani
bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio,
adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau,
pikirnya.
"Nona
muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang keadaannya
belum diselidiki lebih dulu adalah tindakan yang sangat coroboh. Ketahuilah
bahwa kedua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau.
Sesudah mereka menantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga
terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina
mereka? Kau lihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku
seorang tua?"
Gadis itu
agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini
dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di
bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua,
biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang
muda itu pun tidak mungkin akan sanggup menandingi kakek itu. Maka dia lantas
menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum.
"Enci
yang baik, mengapa kalian berdua yang belum mempunyai kepandaian cukup tinggi
berani menandingi ketua jembel ini dan ingin mencari celaka sendiri?"
Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran.
Kwi Beng
yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi
semakin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia beserta adiknya
amat direndahkan orang. Dia pun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan
bantuan siapa pun juga dalam urusan pribadi ini, apa lagi karena dia sama
sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu.
"Kami
tak membutuhkan bantuan siapa pun! Hayo, tua bangka kejam, mari kita lanjutkan
pertempuran kita tadi, kami berdua tidak akan berhenti sebelum nyawa kami
putus!" Dan Kwi Beng telah menyerang kembali dengan nekatnya, mengirim
pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat.
"Wuuuuuttt...!
Plakkk!"
Betapa pun
dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sinkang-nya jauh di bawah
tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali
membuat tubuh Kwi Beng terguling!
Pemuda yang
nekat ini telah bergerak kembali, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok
It-ci-san, yaitu sepasang tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok
jalan darah lawan. Akan tetapi kembali kakek itu menggerakkan tangan kirinya,
menangkis dan mendorong hingga tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak
keras sehingga ketika bangkit kembali dia terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi
Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang
lengannya.
"Enci,
tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah,
akan tetapi keberanian yang hanya nekat dan membabi-buta, dipakai tanpa
perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan suatu ketololan!
Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!"
"Nona,
suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah
kau menganggapnya tidak benar kalau aku bersama kakakku ini mengadu nyawa untuk
membalas dendam?" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang
gadis itu, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang
dipegang itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apa lagi hendak melepaskan
diri dari pegangan itu.
Mendengar
kata-kata Kwi Eng tadi, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar
berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam
yang tadi diakuinya sebagai adiknya, kini pun memandang kepada kakek pengemis
itu dengan alis berkerut.
"Ahh,
kiranya begitukah? Pangcu, engkau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini
datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tak
mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami
enci ini secara sewenang-wenang, maka tidak mengherankan kalau mereka kini
datang untuk membalas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang
tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini?"
Mendengar
ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat
menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau
benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!"
Dan tanpa
menunggu ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya
menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali
sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk.
Kwi Beng
adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biar pun keadaan dirinya telah
babak-belur dan luka-luka, akan tetapi melihat gadis yang datang untuk membela
dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada
dalam bahaya, maka dia segera meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis
bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya.
"Wuuuuttt...!
Plakkk...! Desss!"
Kakek
bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting
kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu.
Tadi ketika
dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang
berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya
terasa nyeri bukan main. Kemudian, tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan
tertangkis, lalu membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam
itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng.
Akan tetapi
pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya
mendorong dan kakek bermuka hitam itu segera terhuyung ke belakang sedangkan
Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan
kecil halus yang telah menangkap lengannya.
"Saudara
Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku." Gadis
itu tiba-tiba berkata halus.
Kwi Beng
terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia
merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan
dalam keadaan marah dan tengah berhadapan dengan ketua kaipang itu, dia tak
memiliki waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, sesudah dia memandang
dengan penuh perhatian, barulah dia teringat.
"Adik
Mei Lan...?!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini
adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu,
ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itu pun gadis ini pernah
menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah
Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah
mereka.
Gadis cantik
itu memandang padanya, tersenyum kemudian mengangguk membenarkan. Memang gadis
itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di
dalam cerita Dewi Maut sudah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari
ayahnya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment